Anda di halaman 1dari 4

ECOLABELING

Sejak berlangsungnya konperensi Stockholm pada tahun 1972, masalah lingkungan hidup
nampaknya terus berkembang "menjadi isu global ". Negara-negara industri maju,
khususnya di Amerika dan Eropa semakin meningkat kepeduliannya terhadap kondisi
lingkungan di seluruh bagian dunia. Sebaliknya negara-negara berkembang juga terpacu
untuk terus menerus meningkatkan upaya dalam menjaga, memelihara, dan
meningkatkan kualitas lingkungan hidup di negaranya masing-masing.

Dalam bidang kehutanan, isu lingkungan hidup global menjadi salah satu bahan diskusi
utama dalam sidang Council ke 8 International Tropical Timber Organization (ITTO)
yang berlangsung di Bali pada tahun 1990. Salah satu hasil penting dari sidang tersebut
adalah komitmen untuk terlaksananya pengelolaan hutan yang lestari paling lambat pada
tahun 2000. Mulai tahun 2000, akan dilakukan pemberian label atau sertifikat bagi
produk-produk yang terbuat dari kayu tropis.

Label dimaksud adalah pertanda yang memberikan keterangan bahwa kayu yang
dipergunakan untuk membuat produk tertentu berasal dari hutan yang dikelola secara
lestari. Menanggapi hal ini, pemerintah Indonesia, bekerja sama dengan pihak swasta
kehutanan dan lembaga-lembaga non pemerintah yang peduli akan perkembangan hutan
dan kehutanan, segera mempersiapkan diri dan melakukan antisipasi.

Persiapan dan antisipasi ini menyangkut aspek legal dan institusional. Termasuk aspek
legal adalah pembuatan peraturan-peraturan, sedangkan aspek institusional menyangkut
wadah kelembagaannya. Dibentuklah kemudian apa yang dinamakan Lembaga Ekolabel
Indonesia (LEI) yang dipimpin oleh Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Prop.Emil Salim. Sifat kerja Lembaga ini independen, tidak terikat dengan lembaga atau
instansi pemerintah manapun, dan diberikan kewenangan untuk memberikan penilaian
terhadap pelaksanaan pengelolaan kelestarian hutan tropis Indonesia. Sejak dibentuknya
LEI pada tahun 1994, lembaga ini aktif melakukan berbagai kegiatan yang melibatkan
berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan masalah perkembangan hutan dan
kehutanan.

Pengertian Ekolabel berasal dari kata "eco" yang berarti lingkungan, dan "label" yang
berarti tanda atau sertifikat. Jadi, ekolabel dapat diartikan sebagai kegiatan- kegiatan
yang bertujuan guna pemberian sertifikat yang mengandung kepedulian akan aspek-aspek
yang berkaitan dengan unsur lingkungan hidup. Kata "ekolabelling" pada saat ini sudah
sedemikian populer dan jauh berkembang dan banyak dipergunakan dimana-mana,
sehingga kemudian diasosiasikan dengan berbagai kegiatan baik yang sifatnya fisik
(lapangan) maupun non-fisik (peraturan, tata cara, kelembagaan, dsb.)

Yang perlu diperhatikan sebenarnya adalah adanya perbedaan antara ecolabelling dengan
pengelolaan hutan lestari atau sustainable forest management (SFM). Ecolabelling lebih
terfokus kepada tahapan-tahapan pemberian sertifikasi, sedangkan SFM lebih menitik
beratkan kepada pelaksanaan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. SFM dengan
demikian dapat terkait baik langsung maupun tidak langsung yaitu Ecolabelling memberi
sertifikasi bagi produk hasil hutan yang telah dikelola secara lestari (baik hutan alam
maupun tanaman serta produk non kayu).

Pada prinsipnya, pemberian sertifikat dalam kegiatan ecolabelling dilaksanakan dengan


melakukan pengujian terhadap setiap tahap kegiatan pengusahaan hutan. Sebagai
ilustrasi, gambar berikut memperlihatkan contoh proses pemberian sertifikat yang dapat
dilakukan dalam pengelolaan hutan produksi.

Pada gambar 1. terlihat jelas bahwa kegiatan sertifikasi dapat dilakukan mulai dari
pemungutan bahan baku di lapangan sampai dengan dihasilkannya produk akhir dari
kegiatan pengusahaan hutan. Dalam pelaksanaannya, sertifikat dapat diberikan setelah
dilakukan pengujian-pengujian berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pengujian ini
meliputi kegiatan-kegiatan administratif adalah tertib penataan dan pembuatan dokumen-
dokumen yang diperlukan dalam menyelenggarakan pengelolaan hutan, sedangkan
kegiatan teknis dilapangan meliputi perencanaan, tata cara pemungutan, sampai dengan
pengolahan. Kedua macam kegiatan tersebut harus merupakan suatu rangkaian kegiatan
yang tidak terpisahkan dari prinsip-prinsip manajemen hutan lestari.

Kriteria dan Indikator Untuk melihat dan membuktikan apakah suatu pengelolaan hutan
sedang atau telah dilaksanakan untuk mencapai tujuan-tujuan kelestarian hutan,
diperlukan berbagai syarat atau kriteria dan indikator atau ciri-ciri. Kriteria dan indikator
hutan lestari ini pada mulanya dikeluarkan sebagai upaya para ahli kehutanan seluruh
dunia (atas sponsor ITTO) untuk menguji apakah hutan yang dikelola selama ini telah
benar-benar ditujukan berdasarkan azas kelestarian? Buah pikir para ahli kehutanan
tersebut kemudian dituangkan dalam suatu komunike bersama yang merupakan salah satu
hasil penting dalam sidang Council ke 8 yang diselenggarakan di Bali pada tahun 1990.
Kriteria dan indikator yang diperkenalkan ITTO kemudian berkembang lebih jauh lagi
karena ditemukannya hal-hal yang kurang sesuai/tepat dengan kondisi yang berbeda
untuk setiap type hutan yang ada di seluruh bagian dunia. Selain ITTO, paling tidak
terdapat empat kelompok inisiatif yang juga mencoba merumuskan kriteria dan indikator
hutan lestari. Inisiatif-inisiatif tersebut dilahirkan baik melalui lembaga internasional
maupun melalui konperensi internasional. Forest Stewardship Council (FSC), misalnya,
merumuskan 9 prinsip kriteria dan indikator hutan lestari.

Kemudian "Helsinki process" yang diadopsi oleh Ministrial Conference on Protection of


Forest di Eropa merumuskan 6 kriteria dan 27 indikator hutan lestari. Selanjutnya
"Montreal process" yang dikukuhkan di Santiago mengeluarkan 7 kriteria dan 67
indikator untuk konservasi dan pengelolaan hutan-hutan temperate dan boreal.
Selanjutnya untuk daerah Amazon di Amerika Latin dikenal adanya "Tarapoto proposal"
sebagai hasil perjanjian kerjasama Amazon (Amazon Cooperation Treaty, ACT) yang
merumuskan 12 kriteria dan 77 indikator untuk pengelolaan hutan lestari di wilayah
Amazon. Untuk daerah hutan kering (dry zone) di wilayah Afrika, FAO dan UNEF
memunculkan 7 usulan kriteria dan 47 indikator hutan lestari. Di Indonesia, tidak
ketinggalan pihak swasta kehutanan yang tergabung dalam Asosiasi Pengusahaan Hutan
Indonesia (APHI) telah secara aktif memperkenalkan konsep kriteria dan indikatornya
yang merupakan buah pikir para pakar kehutanan.

Kriteria dan indikator yang diusulkan APHI tersebut sampai saat ini masih terus dibahas
dan diuji cobakan di lapangan. Selanjutnya, LEI juga tidak ketinggalan mengeluarkan
kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari yang dapat dilihat dari lima dimensi, yaitu
dimensi kawasan, dimensi produksi dan rentabilitas hutan, dimensi efisiensi pemanfaatan
sumberdaya hutan, dimensi profesionalisme manajemen, dan dimensi rentabilitas usaha.

Berikut ini adalah kriteria dan indikator yang pertama kali diperkenalkan ITTO.
Berdasarkan kacamata ITTO, untuk dapat terlaksananya manajemen hutan lestari, maka
terdapat lima pokok kriteria yang harus dipenuhi, yaitu :

1. Forest Resource Base, yaitu terjaminnya sumber-sumber hutan yang dapat


dikelola secara lestari.
2. The Continuity of Flow of Forest Products, yaitu kontinuitas hasil hutan yang
dapat dipungut berdasarkan azas-azas kelestarian.
3. The level of Environmental Control, yang secara sungguh-sungguh
mempertimbangkan kondisi lingkungan dan dampak-dampaknya yang perlu
diperhatikan dalam pengelolaan hutan lestari yang berwawasan lingkungan.
4. Social and Economic Aspects, yaitu dengan memperhitungkan pengaruh-
pengaruh kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar
hutan. Dalam tingakt nasional, juga memperhitungkan peningkatan pendapatan
penduduk dan negara dalam arti luas.
5. Institutional Frameworks, yaitu penyempurnaan wadah kelembagaan yang
dinamis dan mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan lestari. Institutional
frameworks juga mencakup pengembangan sumber daya manusia, serta kemajuan
penelitian, ilmu dan teknologi yang kesemuanya turut mendukung terciptanya
manajemen hutan lestari.

Kelima kriteria yang diperkenalkan ITTO tersebut kemudian dijabarkan lebih


lanjut dalam bentuk ciri-ciri atau indikator yang kesemuanya mengarah kepada
terlaksananya kriteria pertama (Forest Resource Base), maka indikator berikut ini
merupakan tanda-tanda yang diperlukan dalam pelaksanaan manajemen hutan
yang lestari.

1. Tersedianya tata guna hutan yang komprehensif yang secara penuh


mempertimbangkan tujuan-tujuan pengelolaan hutan dan kehutanan.
2. Tercukupinya luas hutan permanen, yaitu hutan tetap yang dipertahankan
fungsinya sebagai hutan. Luas hutan yang permanen akan mendukung
target dan sasaran pembangunan hutan dan kehutanan.
3. Ditetapkannya target dan sasaran pembangunan hutan tanaman, distribusi
kelas umur, dan rencana tanaman tahunan.

Kriteria dan indikator yang disusun LEI pada prinsipnya merupakan hasil
modifikasi kriteria dan indikator rumusan ITTO dan FSC. Menurut, LEI tujuan
kelestarian hutan hanya akan dapat dicapai apabila tiga fungsi utama kelestarian
hutan tetap terjaga.

Pertama adalah kelestarian hasil hutan; kedua, kelestarian fungsi ekologis, dan
ketiga, kelestarian fungsi sosial budaya. Walaupun kriteria dan indikator yang
diperkenalkan ITTO telah berkembang begitu jauh, namun masih perlu dikaji
ulang maksud dan tujuannya, karena pada hakekatnya merupakan temuan pertama
para ahli kehutanan sedunia yang mencoba merumuskan kriteria dan indikator
sampai kepada level unit manajemen yang terkecil.

Tulisan ini paling tidak menyingkap dua hal penting yang banyak menjadi bahan
perbincangan para pemerhati hutan dan kehutanan. Yang pertama adalah tentang
pengertian ecolabeling yang berbeda dengan sustainable forest management.
Yang kedua adalah mengenai pentingnya kriteria dan indikator dalam pengelolaan
hutan lestari. Sebagai penutup, kiranya perlu disimak bahwa kriteria dan indikator
manapun yang akan dipakai sebagai acuan kiranya perlu diperhatikan paling tidak
tiga aspek penting, yaitu adanya keseimbangan antara unsur-unsur ekonomi,
sosial, dan lingkungan hidup. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana membuat
agar ketiga aspek tadi betul-betul dapat diperhitungkan dengan seimbang. Dengan
kata lain, pemanfaatan hutan perlu memberikan keuntungan yang sebesar-
besarnya baik bagi negara maupun masyarakat sekitarnya (aspek sosial ekonomi)
tanpa mengorbankan aspek kelestarian hutan dan fungsi ekologisnya. Selesai

Anda mungkin juga menyukai