Anda di halaman 1dari 46

A.

PENGANTAR

Psikologi telah lama didominasi oleh pendekatan empiris terhadap studi


tentang tingkah laku individu. Banyak ahli psikologi Amerika yang
menunjukkan kepercayaan pada definisi-definisi operasional dan hipotesis-
hipotesis yang bisa diuji serta memandang usaha memperoleh data empiris
sebagai satu-satunya pendekatan yang sahih guna memperoleh informasi tentang
tingkah laku manusia. Di masa lalu tidak terdapat bukti adanya minat yang
serius terhadap aspek-aspek filosofis dari konseling dan psikoterapi. Pendekatan,
eksistensial-humanistik, di lain pihak, menekankan renungan-renungan filosofis
tentang apa artinya menjadi manusia yang utuh. Banyak ahli psikologi yang
berorientasi eksistensial yang mengajukan argumen menentang pembatasan studi
tingkah laku manusia pada metode-metode yang digunakan oleh ilmu
pengetahuan alam. Sebagai contoh, Bugental (1965), Rogers (1961), May (1953,
1958, 1961, 1967, 1969), Frankl (1959, 1963), jourard (1968, 1971), Maslow
(1968, 1970), dan Arbuckle (1975) yang mengemukakan kebutuhan psikologi
akan suatu perspektif yang lebih luas yang mencakup pengalaman subjektif klien
atas dunia pribadinya.
Tujuan dasar banyak pendekatan psikoterapi adalah membantu individu
agar mampu bertindak, rnenerima kebebasan dan tanggung jawab untuk
tindakan-tindakannya. Terapi eksistensial, terutama, berpijak pada premis bahwa
manusia tidak bisa melarikan diri dari kebebasan dan bahwa kebebasan dan
tanggung jawab itu saling berkaitan. Dalam penerapan-penerapan. terapeutiknya,
pendekatan eksistensial-humanistik memusatkan perhatian pada asumsi-asumsi
filosofis yang melandasi terapi. Pendekatan eksistensial humanistik menyajikan
suatu landasan filosofis bagi orang-orang dalam. hubungan dengan sesamanya
yang menjadi ciri-khas, kebutuhan yang unik dan menjadi tujuan konselingnya,
dan yang melaiui implikasi-implikasi bagi usaha membantu individu dalam
menghadapi pertanyaan-pertanyaan dasar yang menyangkut keberadaan
manusia.
B. KONSEP-KONSEP UTAMA

Pandangan tentang Sifat Manusia


Psikologi eksistensial-humanistik berfokus pada kondisi manusia.
Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman
atas manusia alih-alih suatu sistem teknik-teknik yang digunakan untuk
mempengaruhi klien. Oieh karena itu, pendekatan eksistensial-humanistik bukan
suatu aliran terapi, bukan pula suatu teori tunggal yang sistematik. Pendekatan
terapi eksistensial juga bukan suatu pendekatan terapi tunggal, melainkan suatu
pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya
berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia. Karena
konsep-konsep eksistensial tentang manusia akan dibahas lebih rinci pada
pembahasan selanjutnya, yakni pada pembahasan tentang penerapan teknik-
teknik dan prosedur-prosedur terapeutik, maka pada pembahasan berikut
konsep-konsep tentang manusia itu akan dirangkum secara ringkas. Yang akan
diungkap berikut ini adalah konsep-konsep utarna dari pendekatan eksistensial
yang membentuk landasan bagi praktek terapeutik.

Kesadaran diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu
kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir
dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri itu pada seseorang, maka akan
semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu. Kesanggupan untuk
memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan secara bebas di dalam kerangka
pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada manusia. Kebebasan
memiliki dan bertindak itu disertai tanggung jawab. Para eksistensialis
menekankan bahwa manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya.
Manusia bukanlah bidak dari kekuatan-kekuatan yang deterministik dari
pengondisian.
Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan
kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan eksistensial
juga bisa diakibatkan oleh kesadaran atas keterbatasannya dan atas kemungkinan
yang tak terhindarkan untuk mati (nonbeing). Kesadaran atas kematian memiliki
arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesadaran tersebut
menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang
terhatas untuk mengaktualkan potensi-potensinya. Dosa eksistensial, yang juga
merupakan bagian dari kondisi manusia, adalah akibat dari kegagalan individu
untuk benar-benar menjadi sesuatu sesuai dengan kemampuannya.

Penciptaan makna
Manusia itu unik, dalam arti bahwa dia berusaha untuk menemukan
tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi
kehidupan. Menjadi manusia juga berarti menghadapi kesendirian : manusia
lahir ke dunia sendirian dan mati sendirian pula. Sungguhpun pada hakikatnya
sendirian, manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya
dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah makhluk rasional.
Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna bisa menimbulkan
kondisi-kondisi isolasi, depersonalisasi, alineasi, keterasingan, dan kesepian.
Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri, yakni mengungkapkan
potensi-potensi manusiawinya. Sampai taraf tertentu, jika tidak mampu
mengaktualkan diri, ia bisa menjadi "sakit". Patologi dipandang sebagai
kegagalan menggunakan kebebasan untuk mewujudkan potensi-potensi
seseorang.

C. PROSES-PROSES TERAPEUTIK

Tujuan-tujuan Terapeutik
Terapi eksistensial bertujuan agar klien mengalami keberadaannya secara,
otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar
bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya.
Bugental (1965) menyebut keotentikan sebagai "urusan utama psikoterapi" dan
"nilai eksistensial pokok". Terdapat tiga karakteristik dari keberadaan otentik:
(1) menyadari sepenuhnya keadaan sekarang, (2) memilih bagaimana hidup pada
saat sekarang, dan.(3) memikul tanggung jawab untuk memilih. Klien yang
neurotik adalah orang yang kehilangan rasa ada, dan tujuan terapi adalah
membantunya agar ia memperoleh atau menemukan kembali kemanusiaannya
yang hilang.
Pada dasarnya, tujuan terapi eksistensial adalah meluaskan kesadaran diri
klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi
bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya. Penerimaan tanggung jawab
itu bukan suatu hal yang mudah; banyak orang yang takut akan beratnya
bertanggung jawab atas menjadi apa dia sekarang dan akan menjadi apa dia
selanjutnya. Mereka harus memilih, misalnya, akan tetap berpegang pada
kehidupan yang dikenalnya atau akan membuka diri kepada kehidupan yang
kurang pasti dan lebih menantang. Justru tiadanya jaminan-jaminan dalam
kehidupan itulah yang menimbulkan kecemasan. Oleh karena itu, terapi
eksistensial juga bertujuan membantu klien agar mampu menghadapi kecemasan
sehubungan dengan tindakan memilih diri, dan menerima kenyataan bahwa
dirinya lebih dari sekadar korban kekuatan-kekuatan deterministik di luar
dirinya.

Fungsi dan Peran Terapis


Tugas utama terapis adalah berusaha memahami klien sebagai ada. Dalam
dunia. Teknik yang digunakan mengikuti alih-alih mendahui pemahaman.
Karena menekankan pada pengalaman klien sekarang, para terapis eksistensial
menunjukkan keleluasaan dalam menggunakan metode-metode, dan prosedur
yang digunakan oleh mereka bisa bervariasi tidak hanya dari klien yang satu
kepada klien yang lainnya, tetapi juga dari satu ke lain fase terapi yang dijalani
oleh klien yang sama.
Meskipun terapi eksistensial bukan merupakan metode tunggal,
dikalangan terapis eksistensial dan humanistik ada kesepakatan menyangkut
tugas-tugas dan tanggung jawab terapis. Buhler dan Allen (1972) sepakat bahwa
psikoterapi difokuskan pada pendekatan terhadap hubungan manusia alih-alih
sistem teknik. Menurut Buhler dan Allen, para ahli psikologi humanistik
memiliki orientasi bersama yang mencakup hal-hal berikut:

1. Mengakui pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi.


2. Menyadari peran dari tanggung jawab terapis.
3. Mengakui sifat timbal batik dari hubungan terapeutik.
4. Bercrientasi pada pertumbuhan.
5. Menekankan keharusan terapis terlibatclengan klien sebagai suatu pribadi
yang menyeluruh.
6. Mengakui bahwa putusan-putusan dan pilihan-pilihan akhir terletak ditangan
klien.
7. Memandang terapis sebagai model, dalam arti bahwa terapis dengan gaya
hidup dan pandangan humanistiknya tentang manusia bisa secara implisit
menunjukkan kepada klien potensi bagi tindakan kreatif dan positif.

8. Mengakui kebebasan klien untuk mengungkapkan pandangan dan untuk


mengembangkan tujuan-tujuan dan nilainya sendiri.

9. Bekerja ke arah mengurangi kebergantungan klien serta meningkatkan


kebebasan klien.
May (1961, hlm 81) memandang tugas terapis di antaranya adalah
rnembantu klien agar menyadari keberadaannya dalam dunia: "Ini adalah saat
ketika pasien melihat dirinya sebagai orang yang terancam, yang hadir di dunia
yang mengancam dan sebagai subjek yang memiliki dunia".
Frankl (1959, hlm. 174) menjabarkan peran terapis sebagai "spesialis
mata daripada sebagai pelukis", yang bertugas "memperluas dan memperlebar
lapangan visual pasien sehingga spektrum keseluruhan dari makna dan nilai-nilai
menjadi disadari dan dapat diamati oleh pasien".
Untuk contoh mengenai bagaimana seorang terapis yang berorientasi
eksistensial bekerja dalam pertemuan terapi, jika klien mengungkapkan
perasaan-perasaannya kepada terapis pada pertemuan terapi, maka terapis akan
bertindak sebagai berikut.

1. Memberikan reaksi-reaksi pribadi dalam kaitan dengan apa yang dikatakan


oleh klien.

2. Terlibat dalam sejumlah pernyataan pribadi yang relevan dan pantas tentang
pengalaman-pengalaman yang mirip dengan yang dialami oleh klien.

3. Meminta kepada klien untuk mengungkapkan ketakutannya terhadap


keharusan memilih dalam dunia yang tak pasti.

4. Menantang klien untuk rnelihat seluruh cara dia menghindari pembuatan


putusan-putusan dan memberikan penilaian terhadap penghindaran itu.

5. Mendorong klien untuk memeriksa jalan hidupnya pada periode sejak


memulai terapi dengan bertanya: "Jika Anda bisa secara ajaib kembali
kepada cara Anda ingat kepada diri Anda sendiri sebelum terapi, maukah
Anda melakukannya sekarang?"

6. Beri tahukan kepada klien bahwa ia sedang mempelajari apa yang


dialaminya sesungguhnya adalah suatu sifat yang khas sebagai manusia:
bahwa dia pada akhirnya sendirian, bahwa dia harus memutuskan untuk
dirinya sendiri, bahwa dia akan mengalami kecemasan atas ketidakpastian
putusan-putusan yang dibuat, dan bahwa dia akan berjuang untuk
menetapkan makna kehidupannya di dunia yang sering tampak tak
bermakna.

Pengalaman Klien dalam Terapi


Dalam terapi eksistensial, klien mampu mengalami secara subjektif
persepsi-persepsi tentang dunianya. Dia harus aktif dalarn proses terapeutik,
sebab dia harus memutuskan ketakutan-ketakutan, perasaan-perasaan berdosa,
dan kecemasan-kecemasan apa yang akan dieksplorasinya. Memutuskan untuk
menjalani terapi saja sering merupakan tindakan yang menakutkan.
Pendek kata, klien dalam terapi eksistensial terlibat dalam pembukaan
pintu menuju diri sendiri. Pengalaman sering menakutkan, atau menyenangkan,
mendepresikan, atau gabungan dari semua perasaan tersebut. Dengan membuka
pintu yang tertutup, klien mulai melonggarkan belenggu deterministik yang telah
menyebabkan dia terpenjara secara psikologis. Lambat laun klien menjadi sadar,
apa dia tadinya dan siapa dia sekarang, Serta klien lebih mampu menetapkan
masa depan macam apa yang diinginkannya. Melalui proses terapi, klien bisa
mengeksplorasi alternatif-alternatif guna membuat pandangan-pandangannya
menjadi riel.

Hubungan antara Terapis dan Klien


Hubungan terapeutik sangat penting bagi terapis eksistensial. Penekanan
diletakkan pada pertemuan antar manusia dan perjalanan bersama alih-aiih pada
teknik-teknik yang mempengaruhi klien. Isi pertemuan terapi adalah pengalaman
klien sekarang, bukan "masalah" klien. Hubungan dengan orang lain dalam
kehadiran yang otentik difokuskan kepada "di sini dan sekarang". Masa lampau
atau masa depan hanya penting bila waktunya berhubungan langsung.
Dalam menulis tentang hubungan terapeutik, Sidney Jourard (1971)
mengimbau agar terapis, melalui tingkah lakunya yang otentik dan terbuka,
mengajak klien kepada keotentikan. Jourard meminta agar terapis membangun
hubungan Aku-Kamu, di mana pembukaan diri terapis yang spontan menunjang
pertumbuhan dan keotentikan klien. Sebagaimana dinyatakan oleh Jourard
(1971, hlm. 142-150), "Manipulasi melahirkan kontramanipulasi. Pembukaan
diri melahirkan pembukaan diri pula". la juga menekankan bahwa hubungan
terapeutik bisa menguhah terapis sebagaimana ia mengubah klien. "Hal itu
berarti bahwa siapa yang menginginkan ada dan pertumbuhannya tidak berubah,
tidak perlu menjadi terapis".
Jourard adalah satu contoh yang baik tentang seorang terapis yang
rnengembangkan gaya diri yang berorientasi humanistik. la menunjukkan bahwa
menjadi unik, otentik, dan menggunakan teknik-teknik yang beragam dalam
kerangka humanistik adalah suatu hal yang mungkin. Terapis mengundang klien
untuk tumbuh dengan mencontoh tingkah laku yang otentik. Terapis mampu
menjadi jernih ketika kejernihan itu diperlukan dalam hubungan terapeutik, dan
dengan kemanusiawiannya dia menstimulasi klien untuk mengetuk potensinya
ke arah yang nyata (realness)

Jourard tetap berpendapat bahwa jika terapis menyembunyikan diri dalam


pertemuan terapi, maka dia terlibat dalam tingkah laku tidak otentik yang sama
dengan yang menimbulkan gejala-gejala pada diri klien. Menurut Jourard, cara
untuk membantu klien agar menemukan dirinya yang sejati serta agar tidak
menjadi asing dengan dirinya sendiri adalah, terapis secara spontan
membukakan pengalaman otentiknya kepada klien pada saat yang tepat dalam
pertemuan terapi. Hal ini bukan berarti bahwa terapis harus menghentikan
penggunaan teknik-teknik, diagnosis-diagnosis, dan penilaian-penilaiannya,
melainkan terapis harus sering menyatakan atau menyampaikan kepada klien
bahwa dia tidak ingin mengungkapkan apa yang dipikirkan atau dirasakannya.

D. PENERAPAN: TEKNIK-TEKNIK DAN PROSEDUR-PROSEDUR


TERAPEUTIK

Tidak seperti kebanyakan pendekatan terapi, pendekatan eksistensial-


humanistik tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Prosedur-
prosedur terapeutik bisa dipungut dari beberapa pendekatan terapi lainnya.
Metode-metode yang berasal dari terapi Gestalt dan Analisis Transaksional
sering digunakan, dan sejumlah prinsip dan prosedur psikoanalisis bisa
diintegrasikan ke dalam pendekatan eksistensial-humanistik. Buku The Search
for Authenticity (1965) dari Bugental adalah sebuah karya lengkap yang
mengemukakan konsep-konsep dan prosedur-prosedur psikoterapi eksistensial
yang berlandaskan model psikoanalitik. Bugental menunjukkan bahwa konsep
inti psikoanalisis tentang resistensi dan transferensi bisa diterapkan pada filsafat
dan praktek terapi eksistensial. la menggunakan kerangka psikoanalitik untuk
menerangkan fase kerja terapi yang berlandaskan konsep-konsep eksistensial
seperti kesadaran, emansipasi dan kebebasan, kecemasan eksistensial, dan
neurosis eksistensial.
Rollo May (1953, 1958, 1961), seorang psikoanalisis Amerika yang
diakui luas atas pengembangan psikoterapi eksistensial di Amerika, juga telah
mengintegrasikan metodologi dan konsep-konsep psikoanalisis ke dalam
psikoterapi eksistensial.
Pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang menempati kedudukan sentral
dalam terapi adalah: Seberapa besar saya menyadari siapa saya ini? Bisa
menjadi apa saya ini? Bagaimana saya bisa memilih menciptakan kembali
identitas diri saya yang sekarang? Seberapa besar kesanggupan saya untuk
menerima kebebasan memilih jalan hidup saya sendiri? Bagaimana saya
mengatasi kecemasan yang ditimbulkan o!eh kesadaran atas pilihan-pilihan?
Sejauh mana saya hidup dari dalam pusat diri saya sendiri? Apa yang saya
lakukan untuk menemukan makna hidup ini? Apa saya menjalani hidup,
ataukah saya hanya puns atas keberadaan saya? Apa yang saya lakukan untuk
membentuk identitas pribadi yang saya inginkan?
Pada pembahasan di bawah ini diungkap dalil-dalil yang mendasari
praktek terapi eksistensial humanistik. Dalil-dalil ini, yang dikembangkan dari
suatu survai atas karya-karya para penulis psikologi eksistensial, berasal dari
Frankl (1959, 1963), May (1953, 1958, 1961), Maslow (1968), Jourard, (1971),
dan Bugental (1965), merepresentasikan sejumlah tema yang penting yang
merinci praktek-praktek terapi.

Tema-terra dan Dalil-dalil Utama Eksistensial: Penerapan-penerapan pada


Praktek Terapi
Dalil 1: Kesadaran Diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk rnenyadari diri yang menjadikan
dirinya mampu melampaui situasi sekarang dan membentuk basis bagi
aktivitas-aktivitas berpikir dan memilih yang khas manusia.
Kesadaran diri itu membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain.
Manusia bisa tampil di luar diri dan berefleksi atas keberadaannya. Pada
hakikatnya, semakin tinggi kesadaran diri seseorang, maka ia semakin hidup
sebagai pribadi atau, sebagaimana dinyatakan oleh Kierkegaard, "Semakin
tinggi kesadaran, maka semakin utuh diri seseorang." Tanggung jawab
berlandaskan kesanggupan untuk sadar. Dengan kesadaran, saseorang bisa
menjadi sadar atas tanggung jawabnya untuk memilih. Sebagaimana dinyatakan
oleh May (1953), "Manusia adalah makhluk yang bisa menyadari dan oleh
karenanya, bertanggung jawab atas keberadaanya."
Dengan demikian, meningkatkan kesadaran berarti meningkatkan
kesanggupan seseorang untuk mengalami hidup secara penuh sebagai manusia.
Pada inti keberadaan manusia, kesadaran membukakan kepada kita bahwa:
1. Kita adalah makhluk yang terbatas, dan kita tidak selamanya mampu
rnengaktualkan potensi-potensi.

2. Kita memiliki potensi mengambil atau tidak mengambil tindakan.


3. Kita memiliki suatu ukuran pilihan tentang tindakan-tindakan yang akan
diambil, karena itu kita menciptakan sebagian dari nasib kita sendiri.

4. Kita pada dasarnya sendirian, tetapi memiliki kebutuhan untuk berhubungan


dengan orang lain; kita menyadari bahwa kita terpisah, tetapi juga terkait
dengan orang lain.

5. Makna adalah sesuatu yang tidak diperoleh begitu saja, tetapi merupakan
hasil dari pencarian kita dan dari penciptaan tujuan kita yang unik.

6. Kecemasan eksistensial adalah bagian hidup yang esensial sebab dengan


meningkatnya kesadaran kita atas keharusan memilih, maka kita mengalami
peningkatan tanggung jawab atas konsekuensi-konsekuensi tindakan
memilih.

7. Kecemasan timbul dari penerimaan ketidakpastian masa depan.


8. Kita bisa mengalami koridisi-kondisi kesepian, ketidakbermaknaan,
kekosongan, rasa berdosa, dan isolasi, sebab kesadaran adalah kesanggupan
yang mendorong kita untuk mengenal kondisi-kondisi tersebut.
Kesadaran bisa dikonseptualkan dengan cara sebagai berikut:
Umpamakan Anda berjalan di lorong yang di kedua sisinya terdapat banyak
pintu. Bayangkan bahwa Anda bisa membuka beberapa pintu, balk membuka
sedikit ataupun membuka lebar-lebar. Barangkali, jika Anda membuka satu
pintu, Anda tidak akan menyukai apa yang Anda temukan di dalamnya
-menakutkan atau menjijikkan-. Di lain pihak, Anda bisa menemukan sebuah
ruangan yang dipenuhi oleh keindahan. Anda mvngkin berdebat dengan diri
sendiri, apakah akan membiarkan pintu itu tertutup atau terhuka.
Penulis percaya, kita bisa memilih meningkatkan kesadaran atau
mengurangi pengenalan diri kita. Penulis menyaksikan pergulatan antara hasrat
yang bertentangan dalam hampir setiap peertemuan terapi. Karena kesadaran dir
terdapat pada akar kebanyakan kesanggupan manusia yang lainnya, maka
putusan untuk meningkatkan kesadaran diri adalah fundamental bagi
pertumbuhan manusia. Berikut ini adalah daftar dari beberapa pemunculan
kesadaran yang dialami orang bai dalam konseling individual maupun
konseling kelompok :
1. Mereka menjadi sadar bahwa dalam usaha yang nekat untuk dicintai,
mereka sebenarnya kehilangnn pengalaman dicintai.
2. Mereka melihat. Bagaimana mereka menukarkan keamanan yang diperoleh
dari kebergantungan dengan kecemasan-kecemasann yang menyertai
pengambilan putusan untuk diri sendiri.
3. Mereka mengakui, bagaimana meeerekam berusaha mengingkari berbagai
ketidakkonsistenan diri mereka sendiri, dan bagaimana mereka menolak
apa-apa yang ada didalam diri sendiri, yang mereka anggap tidak bissa
diterima.
4. Mereka mulai melihat bahwa identitas diri mereka terlambat pada
penentuan orang lain, yakni mereka lebih suka mencari peersetujuan dan
pengukuhan dari orang lain daripada mencari pengukuhan dari diri ssendiri.
5. Mereka belajar bahwa diri mereka dengan berbagai cara dibiarkan menjadi
tawanan pengalaman-pengalaman maasa lampau.
6. Mereka menemukan sejumlah besar faset pada diri mereka sendiri, dan
menjadi sadar bahwa dengan merepresi satu sisi dari keberadaan mereka,
mereka merepresi sisi keberadaan lainnya. Misalnya, jika mereka merepresi
tragedi berarti mereka menutup diri dari kesenangan; jika mereka
mengingkari kebencian berarti mereka mengingkari kesanggupan untuk
mencintai; jika mereka mengusir sifat-sifat buruk berarti mereka mengusir
sifat-sifat baiknya sendiri.
7. Mereka bisa belajar bahwa mereka tidak bisa mengabaikan masa depan
maupun masa lampau, sebab mereka bisa belajar dari masa lampau; dan
dengan memahami masa lampauu mereka bissa membentuk masa depan.
8. Mereka dapat menyadari bahwa mereka dirisaukan oleh ajal dan kematian
sehingga mereka tidak mampu menghargai kehidupan.
9. Mereka mampu menerima keterbatasan-keterbatasan, tetapi tetap merasa
pantas, sebab mereka mengerti bahwa mereka tidak perlu menjadi sempurna
untuk merasa pantas.
10. Mereka bisa mengakui bahwa mereka gagal untuk hidup pada saat sekarang
karena dikuasai oleh masa lampau maupun oleh rencana masa depan, atau
karena mencoba mengerjakan terlalu banyak hal sekaligus.
Dalam pengertian yang sesungguhnya, peningkatan kesadaran diri yang
mencakup kesadaran atas alternatif-alternatif, motivasi-motivasi, faktor-faktor
yang membentuk pribadi, dan atas tujuan-tujuan pribadi, adalah tujuan segenap
konseling. Bagaimanapun, penulis tidak percaya bahwa tugas terapis adalah
mencari orang-orang yang tidak sadar dan mengatakan kepada mereka bahwa
mereka perlu meningkatkan kesadaran diri. Boleh jadi orang-orang tersebut
merasa puns dan sedikit pun tidak berminat pada pernbangkitan kesadaran.
Apabila seseorang memang datang untuk mendapat terapi, atau mencari
pengalaman kelompok, atau meminta penyuluhan, maka persoalannya lain
sekali.
Penulis juga percaya, adalah tugas terapis untuk menunjukkan kepada
klien bahwa harus ada pengorbanan untuk peningkatan kesadaran diri. Dengan
menjadi lebih sadar, klien akan lebih sulit untuk "kembali ke rumah lagi".
Kekurangtahuan atas kondisi diri bisa jadi memberikan kepuasan bersama
perasaan mati sebagian. Akan tetapi, dengan membuka pintu ke dunia diri,
maka orang itu dapat diharapkan akan berjuang lebih ulet serta memiliki
kemampuan untuk mendapat lebih banyak pemenuhan.
Dalil 2: Kebebasan dan Tanggung Jawab
Manusia adalah makhluk yang menentukan diri, dalam arti bahwa dia
memiliki kebebasan untuk memilih di antara alternatif-alternatif. Karena
manusia pada dasarnya bebas, maka dia harus bertanggung jawab atas
pengarahan hidup dan penentuan nasibnya sendiri.
Pendekatan eksistensial meletakkan kebebasan, determinasi diri,
keinginan dan putusan pada pusat keberadaan manusia. Jika kesadaran dan
kebebasan dihapus dari manusia, maka dia tidak lagi hadir sebagai manusia,
sebab kesanggupan-kesanggupan itulah yang memberinya kemanusiaan.
Pandangan eksistensial adalah bahwa individu, dengan putusan-putusannya,
membentuk nasib dan mengukir keberadaannya sendiri. Seseorang menjadi apa
yang diputuskannya, dan dia harus bertanggung jawab atas jalan hidup yang
ditempuhnya. Tillich mengingatkan, "Manusia benar-benar menjadi manusia
hanya saat mengambil putusan. Sartre mengatakan, "Kita adalah pilihan kita."
Nietzsche menjabarkan kebebasan sebagai "kesanggupan uniuk menjadi apa
yang memang kita alarni" Ungkapan Kierkegaard, "memilih diri sendiri",
menyiratkan bahwa seseorang bertanggung jawab atas kehidupan dan
keberadaannya. Sedangkan Jaspers menyebutkan bahwa "kita adalah makhluk
yang memutuskan".
Kebebasan adalah kesanggupan untuk meletakkan perkernbangan
ditangan sendiri dan untuk memilih di antara alternatif-alternatif. Tentu saja
kebebasan memiliki batas-batas, dan pilihan-pilihan dibatasi oleh factor-faktor
luar. Akan tetapi, kita memang memiliki unsur memilih. Kita tidak sekadar
dipantulkan ke sana kemari seperti bola-bola biliar. Sebagaimana dinyatakan
oleh May (1961, hlm. 41-42), "Betapa pun besarnya kekuatan-kekuatan yang
menjadikan manusia sebagai korban, manusia memiliki. kesanggupan untuk
mengetahui bahwa dirinya menjadi korban, dan dari situ dia bisa mempengaruhi
dengan cara tertentu, bagaimana dia memperlakukan nasibnya sendiri". Viktor
Frankl tak putus-putusnya menekankan kebebasan dan tanggung jawab manusia.
seperti dinyatakan oleh Frankl (1959, hlm. 122), "Hidup terutama berarti
memikul tanggung jawab untuk menemukan jawaban yang tepat bagi masalah-
masalahnya dan untuk menunaikan tugas-tugas yang terus-menerus diberikannya
kepada, masing-masing individu". Hal yang tidak pernah bisa direbut dari
manusia; adalah kebebasannya. Kita setidaknya bisa memilih sikap dalam
perangkat keadaan yang bagaimanapun. Kita adalah makhluk yang menentukan
diri sendiri untuk menjadi apa yang kita pilih.
Barangkali soal utama dalam konseling dan psikoterapi adalah kebebasan
dan tanggung jawab. Tema eksistensial inti adalah bahwa kita menciptakan diri
dengan pengambilan pilihan-pilihan, kita menjadi arsitek masa kini dan masa
dapan kita sendiri. Sebenarnya, kita "dihukum" untuk bebas dan untuk
mengalami kecemasan yang menyertai kebebasan memilih untuk diri kita
sendiri. Para eksistensialis tidak, melihat dasar bagi konseling dan psikoterapi
tanpa pengakuan atas kebebasan dan tanggung jawab yang dimiliki oleh masing-
masing individu. Tugas terapis adalah membantu kliennya dalam menemukan
cara-cara klien sama sekali menghinclari penerimaan kebebasannya, dan
mendorong klien itu untuk belajar menanggung risiko atas keyakinannya
terhadap akibat penggunaan kebebasannya. Yang jangan dilakukan adalah
melumpuhkan klien dan membuatnya bergantung secara neurotik pada terapis.
Terapis perlu mengajari klien bahwa dia bisa mulai membuat pilihan meskipun
klien boleh jadi telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk melarikan
diri dari kebebasan memiliki.

Dalil 3: Keterpusatan dan Kebutuhan akan Orang Lain


Setiap individu memiliki kebutuhan untuk memelihara keunikan dan
keterpusatannya, tetapi pada saat yang sama ia memiliki kebutuhan untuk keluar
dari dirinya sendiri dan untuk berhubungan dengan orang lain serta dengan alam.
Kegagalan dalam berhubungan dengan orang lain dan dengan alam
menyebabkan ia kesepian, mengalami alienasi, keterasingan, dan
depersonalisasi.
Kita masing-masing memiliki kebutuhan yang kuat untuk menemukan
suatu diri, yakni menemukan identitas pribadi kita. Akan tetapi, penemuan siapa
kita sesungguhnya bukanlah suatu proses yang otomatis; ia rnembutuhkan
keberanian. Secara paradoksal kita juga memiliki kebutuhan yang kuat untuk
keluar dari keberadaan kita. Kita membutuhkan hubungan dengan keberadaan-
keberadaan yang lain. Kita harus memberikan diri kita kepada orang lain dan
terlibat dengan mereka. Banyak penulis eksistensial yang membahas kesepian,
ketidakmantapan di suatu lingkungan atau kebiasaan, dan keterasingan, yang
bisa dilihat sebagai kegagalan untuk mengembangkan ikatan dengan sesama clan
dengan alam. Kegagalan ini, menjadi masalah yang gawat bagi orang yang
tinggal di dalam masyarakat industri dan perkotaan, yang dalam usahanya yang
nekat untuk melarikan diri dari kesepian, ia menjadi pribadi yang outer-directed
dalam kerumunan,. yang kesepian sebagaimana dikatakan oleh Riesman.
Sebagai akibat dari kekosongan dan kehampaan batin dan kekurangan rasa ada,
ia mencoba menenggelamkan diri ke dalam massa yang anonim.

Keberanian untuk ada


Usaha menemukan inti dan belajar bagaimana hidup dari dalam
rnernerlukan keberanian. Kita berjuang untuk menemukan, untuk menciptakan,
dan untuk memelihara inti dari ada kita. Salah satu ketakutan terbesar dari para
klien adalah bahwa mereka akan tidak menemukan inti, diri, dan substansi, dan"
menemukan kenyataan bahwa mereka hanyalah refleksi-refleksi pengharapan
orang lain alas diri mereka. Seorang klien mungkin mengatakan, "Ketakutan..
saya adalah menemukan bahwa saya bukan siapa-siapa, bahwa benar-benar tidak
ada suatu apapun bagi saya, dan bahwa saya tidak memiliki diri. Saya akan
menemukan bahwa saya adalah kerang yang kosong, hampa, dan tidak ada lagi
yang eksis jika saya menanggalkan topeng saya."
Para terapis eksistensial bisa memulai dengan meminta kepada para
kliennya untuk mengakui perasaannya sendiri bahwa mereka tidak lebih dari
sejumlah pengharapan orang lain, dan bahwa mereka hanyalah introyek-introyek
dari orang tua dan orang tua pengganti. Bagaimana perasaan mereka pada saat
ini? Apakah mereka ditakdirkan untuk tetap seperti itu? Adakah jalan keluar?
Dapatkah mereka menciptakan suatu diri setelah menemukan bahwa mereka
tanpa diri? Dari mana mereka bisa memulai?, Sekali klien menunjukkan
keberanian untuk mengakui ketakutannya, mengungkapkan ketakutan dengan
kata-kata dan membaginya, maka ketakutan, itu tidak akan begitu
menyelubunginya. Penulis menemukan bahwa tempat untuk mulai bekerja bagi
terapis adalah mengajak klien untuk menerima, cara-cara dia hidup di luar
dirinya sendiri dan mengeksplorasi cara-cara, untuk keluar dari pusatnya sendiri.
Kesulitan yang dialami oleh banyak orang di antara kita adalah pencarian
arah, jawaban-jawaban, nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan dari orang lain yang
dianggap penting di lingkungan kita. Kita lebih suka menjual diri dengan
menjadi apa yang diharapkan oleh orang lain daripada menaruh kepercayaan
pada diri sendiri untuk menemukan jawaban-jawaban bagi konflik-konflik dalam
kehidupan kita. Ada kita menjadi berakar pada ada orang lain, dan kita menjadi
orang asing bagi diri kita sendiri.
Kebutuhan akan diri berkaitan dengan kebutuhan untuk menjalani
hubungan yang bermakna dengan orang lain. jika kita hidup dalam isolasi dan
tidak memiliki hubungan yang nyata dengan orang lain, maka kita mengalami
perasaan terabaikan, terasingkan, dan terkucilkan. Salah satu fungsi terapi adalah
membantu klien untuk membedakan kebergantungan yang neurotik kepada
orang lain dan hubungan terapeutik di mana hubungan kedua belah pihak
ditingkatkan. Terapis bisa memberikan tantangan pada para klien untuk
memeriksa apa yang diperoleh dari hubungan mereka, bagaimana mereka
menghindari hubungan yang akrab, bagaimana mereka mencegah hubungan
yang setara, dan cara-cara yang memungkinkan mereka menciptakan hubungan
manusiawi yang terapeutik, sehat, dan matang.

Pengalaman kesendirian
Para eksistensialis berdalil bahwa bagian dari kondisi manusia adalah
pengalaman kesendirian. Bagaimana, kita bisa memperoleh kekuatan dari
pengalaman melihat kepada diri sendiri dan dari merasakan kesendirian dan
keterpisahan. Rasa terisolasi muncul ketika kita menyadari bahwa kita tidak
bisa bergantung pada orang lain dalam mengukuhkan diri, yakni kita sendirilah
yang harus memberikan makna kepada hidup kita, kita sendiri yang harus
menetapkan bagaimana kita akan hidup, kita sendiri yang harus menemukan
jawaban-jawaban, dan kita sendiri yang harus memutuskan apakah kita akan
menjadi sesuatu atau tidak menjadi sesuatu. jika kita tidak sanggup
menoleransi diri ketika kita mengalami kesendirian, bagaimana mungkin kita
mengharapkan orang lain bisa cliperkaya oleh kehadiran kita. Sebelum kita
bisa memiliki jalinan hubungan yang kuat dengan orang lain, kita terlebih
dahulu harus memiliki jalinan hubungan dengan diri kita sendiri.". Kita harus
belajar mendengarkan diri kita sendiri. Kita terlebih dahul harus mampu berdiri
tegak sendirian sebelum berdiri di samping orang lain.
Terdapat suatu paradoks dalam dalil yang menyebutkan bahwa manusia
secara eksistensial sendirian, tetapi juga berhubungan. Paradoks ini
menguraikan kondisi manusia. Keliru apabila kita berpikir bahwa kita bisa dan
perlu memperbaiki kondisi itu. pada akhirnya kita sedirian. Kita mengalami
kesendirian eksistensial ketika kita mengakui dan menerima bahwa kita
memikul tanggung jawab atas pilihan-pilihan kita berikut hasil-hasilnya bahwa
komunikasi total dari individu yang satu dengan individu yang lainnya tidak
pernah bisa dicapai, bahwa kita adalah individu-individu yang terpisah dari
orang lain, dan bahwa kita adalah unik.

Pengalaman keberhubungan
Kita adalah makhluk yang relasional, dalam arti bahwa kita bergantung
pada hubungan dengan orang lain untuk kemanusiaan kita. Kita memiliki
kebutuhan untuk menjadi orang yang berarti dalam dunia orang lain, dan kita
butuh akan perasaan bahwa kehadiran orang lain penting dalam dunia kita.
Apabila kita memperbolehkan orang lain memiliki arti dalam dunia kita, maka
kita mengalami keterhubungan yang bermakna. Apabila kita mampu tegak
sendiri dan menyelam ke dalam diri sendiri untuk memperoleh kekuatan, maka
hubungan kita dengan orang lain berlandaskan pemenuhan bukan deprivasi.
Bagaimanapun, jika kita secara pribadi merasa mengala deprivasi, maka hanya
sedikit yang diharapkan dari hubungan kita denga orang lain kecuali hubungan
bergantung, parasitik, dan simbiotik.
Dalil 4: Pencarian Makna
Salah satu karakteristik yang khas pada manusia adalah perjuangannya
untuk merasakan arti dan maksud hidup. Manusia pada dasarnya selalu dalam
pencarian makna dan identitas pribadi.
Menurut pengalaman penulis, konflik-konflik yang menclasari sehingga
membawa orang-orang ke dalam konseling dan terapi adalah dilema-dilema
yang berkisar pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial: Mengapa saya berada?
Apa yang saya inginkan dari hidup? Apa yang memberikan maksud kepada
hidup saga? Di mana sumber makna bagi saya dalam hidup ini?
Terapi eksistensial bisa menyediakan kerangka konseptual untuk
membantu klien dalam usahanya mencari makna hidup. Pertanyaan-pertanyaan
yang bisa diajukan oleh terapis kepada kliennya adalah: Apakah Anda menyukai
arah hidup Anda? Apakah Anda puas atas apa Anda sekarang dan akan menjadi
apa Anda? Apakah Anda aktif melakukan sesuatu yang akan mendekatkan Anda
pada ideal-diri Anda? Apakah Anda mengetahui apa yang Anda inginkan? Jika
Anda bingung mengenai siapa Anda dan apa yang Anda inginkan, apa yang
Anda lakukan untuk memperoleh kejelasan?

Masalah penyisihan nilai-nilai lama


Salah satu masalah dalam terapi adalah penyisihan nilai-nilai tradisional
(dan nilai-nilai yang dialihkan kepada seseorang) tanpa disertai penemuan nilai-
nilai lain yang sesuai untuk menggantikannya. Apa yang dilakukan oleh terapis
jika menghadapi klien yang tidak lagi berpegang pada nilai-nilai yang tidak
pernah sungguh-sungguh ditantang atau diinternalkan, dan klien tersebut
sekarang mengalami keadaan hampa? Klien membutuhkan petunjuk-petunjuk
dan nilai-nilai baru yang cocok dengan fase-fase yang ditemuinya. Tugas
terapis dalam proses terapeutik adalah membantu klien dalam menciptakan
suatu sistem nilai berlandaskan cara hidup yang konsisten dengan cara ada-nya
klien.
Terapis harus menaruh kepercayaan terhadap kesanggupan klien dalam
menemukan sistem nilai yang bersumber pada dirinya sendiri dan yang
memungkinkan hidupnya bermakna. Klien tidak diragukan lagi akan bingung
dan mengalami kecemasan sebagai akibat tidak adanya nilai-nilai yang jelas.
Kepercayaan terapis terhadap klien adalah variabel yang penting dalam
mengajari klien agar mempercayai kesanggupannya sendiri dalam menemukan
sumber nilai-nilai baru dari dalam dirinya.

Belajar untuk menemukan makna dalam hidup


Logoterapi, yang dikembangkan oleh Viktor Frankl dirancang untuk
membantu individu dalam menemukan makna dalam hidupnya. Menurut Frankl
(1959), pencarian makna dalam hidup adalah salah satu ciri manusia.
"Keinginan kepada makna" adalah perjuangan utama manusia. Hidup tidak
memiliki makna dengan sendirinya. Manusialah yang harus rnenciptakan dan
menemukan makna hidup itu.
Penulis yakin, adalah penting untuk menyadari bahwa persoalan makna
pada setiap tahap kehidupan. Anak-anak berusaha menernukan. arti alam raga
pada satu tahap. Selama masa remaja, pertanyaan-pertanyaan; baru tentang
makna muncul. Para remaja yang sehat mempertanyakan nilai-nilai yang
mereka anut, tertantang untuk menemukan sumber nilai-nilainya sendiri, dan
memandang berbagai ketidak-konsistenan data dunianya secara kritis. Mereka
bergulat untuk menemukan keunikannya sendiri. Orang-orang yang beranjak
tua menghadapi krisis lain dalam hidupnya. Sekarang, setelah sebagian besar
proyek hidup mereka terselesaikan dan vitalitas hidup mereka nnenurun, makna
hidup apa yang dapat mereka temukan? Apakah hidup mereka bermakna?
Apakah hidup mereka berartidalam hidup orang lain?
Dalam pandangan para eksistensialis, tugas utama konselor adalah
mengeksplorasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ketakberdayaan,
keputusasaan, ketakbermaknaan, dan kekosongan eksistensial. Sebenarnya,
sejumlah eksistensialis menyatakan bahwa dan ketidak bermaknaan dan dunia
yang absurd kita bisa menemukan sumber kreativitas. Absurditas dan
ketakbermaknaan hidup membiarkan kita menciptakan makna di dunia ini.
Tugas proses terapeutik adalah menghadapi masalah ketidakbermaknaan dan
membantu klien dalam membuat makna dari dunia yang kacau.
Frankl (1959) rnenandaskan bahwa fungsi terapis bukanlah
menyampaikan kepada klien apa makna hidup yang harus diciptakannya,
melainkan mengungkapkan bahwa klien bisa menemukan makna, bahkan juga
dari penderitaan. Dengan pandangannya itu Frankl bukan hendak menyebarkan
aroma yang pesimistik dari filsafat eksistensial, melainkan mengingatkan
bahwa penderitaan manusia (aspek-aspek tragis dan negatif dari hidup) bisa
diubah menjadi prestasi melalui sikap yang diambilnya dalam menghadapi
penderitaan itu. Frankl juga menekankan bahwa orang-orang bisa menghadapi
penderitaan, perasaan berdosa, kematian, dan dalam konfrontasi, menantang
penderitaan, sehingga mencapai kemenangan. Ketidakbermaknaan dan
kehampaan eksistensial adalah masalah-masalah utama yang harus dihadapi
dalam proses terapeutik.

Pandangan eksistensial tentang psikopatologi


Para terapis eksistensial memanclang neurosis sebagai kehilangan rasa
ada, yang membawa serta pembatasan kesadaran dan penutupan kemungkinan-
kemungkinan yang merupakan manifestasi-manifestasi dari ada. Mereka juga
menyebut "frustrasi eksistensial" atau "kehampaan eksistensial" sebagai akibat
kegagalan ketika mencari makna dalam hidup. Ketidakbermaknaan
mengakibatkan kekosongan dan kehampaan. Pria dan wanita dihantui oleh
kekosongan dalam hidup mereka. Oleh karenanya, mereka menarik diri dari
perjuangan mengembangkan clan mengaktualkan potensi-potensi mereka yang
unik.
Dosa eksistensial berkaitan dengan konsep psikopatologi. Dosa
eksistensial itu timbal dari perasaan tidak lengkap atau dari kesadaran seseorang
bahwa dirinya menjadi sebagaimana mestinya. Dosa eksistensial juga
merupakan kesadaran pada seseorang bahwa tindakan-tindakan dan pilihan-
pilihannya tidak bisa menyatakan potensi-potensinya secara penuh sebagai
pribadi. Sampai tahap orang membatasi pemenjadiannya sendiri, ia menjadi
sakit. Penyempitan hidup yang dilakukan oleh seseorang dalam usaha
mengatasi hal-hal yang tidak dikenalnya, menghasilkan pembatasan atas
perkembangannya sebagai pribadi.
Kesehatan psikologis adalah pemanfaatan segenap potensi. Sebaliknya,
ketidakmampuan menggunakan potensi-potensi itu menyebabkan sakit.
Patologi, yang dipandang sebagai sesuatu yang dipelajari, adalah akibat
frustrasi batin atau kegagalan untuk menjadi yang sesuai dengan
kemampuannya.

Dalil 5 Kecemasan sebagai Syarat Hidup


Kecemasan adalah suatu karakteristik dasar manusia. Kecemasan tidak
perlu merupakan sesuatu yang patologis, sebab ia bisa menjadi suatu tenaga
motivasional yang kuat untuk pertumbuhan. Kecemasan adalah akibat dari
kesadaran atas tanggung jawab untuk memilih.

Kecemasan sebagai sumber pertumbuhan


Sebagai karakteristik manusia yang mendasar, kecemasan adalah reaksi
terhadap ancaman. Kecemasan menyerang inti keberadaan. Kecemasan adalah
apa yang dirasakan ketika keberadaan diri terancam.
Kecemasan bisa menjadi perangsang bagi pertumbuhan, dalam arti bahwa
kita mengalami kecemasan dengan meningkatnya kesadaran kita atas kebebasan
dan atas konsekuensi-konsekuensi dari penerimaan ataupun penolakan
kebebasan kita itu. Sebenarnya, apabila kita membuat suatu putusan yang
melibatkan rekonstruksi hidup kita, kecemasan yang menyertai pembuatan
putusan itu bisa menjadi tanda bahwa kita memang telah slap untuk mengalami
perubahan pribadi. Tanda itu konstruktif, sebab ia memberi tahu kita bahwa
tidak semua hal berjalan baik. jika kita bisa menangkap pesan-pesan yang
terkandung dalam kecemasan, maka kita akan berani mengambil langkah-
langkah yang diperlukan guna mengubah arah hidup kita.

Pelarian dari kecemasan


Seperti kita ketahui, kecemasan adalah produk sampingan dari perubahan.
Bentuk kecemasan yang konstruktif (kecemasan eksistensial) adalah fungsi dari
penerimaan kita atas kesendirian dan meskipun kita bisa menemukan hubungan
yang bermakna dengan orang lain, kita pada dasarnya tetap sendirian.
Kecemasan eksistensial juga muncul dari perasaan bersalah yang dialami apabila
kita gagal mengaktualkan potensi-potensi kita.
Namun, demikian banyak klien yang membutuhkan konseling
menginginkan penyelesaian-penyelesaian yang membuat mereka mampu tidak
menderita oleh kecemasan. Meskipun Dun usaha-usaha untuk menghindari
kecemasan dengan menciptakan ilusi bahwa dalam hidup ini terdapat keamanan
yang dapat membantu kita mengatasi hal-hal yang tidak dikenal, kita
sesungguhnya tahu sampai taraf tertentu bahwa kita menipu diri ketika mengira
bahwa kita telah menemukan keamanan yang pasti. Kita bisa mementahkan
kecemasan dengan membatasi hidup, dan dengan demikian mengurangi pilihan-
pilihan. Membuka diri terhadap hidup baru, bagaimanapun, berarti membuka
diri terhadap kecemasan, dan kita berkorban terialu banyak apabila kita
memintas lingkaran kecemasan.
Orang-orang yang memiliki keberanian untuk menghadapi dirinya sendiri,
bagaimanapun, merasa takut. Penulis yakin bahwa orang yang memiliki
kesediaan untuk hidup dengan ditemani oleh kecemasan adalah orang yang
telah memperoleh keuntungan dari terapi pribadi. Orang yang terialu cepat
melarikan diri ke dalam pola-pola yang menyenangkan bisa mengalami
keiegaan sementara, tetapi dalam jangka panjang dia bisa mengalami frustrasi
karena terpaku pada cara-cara lama.

lmplikasi-implikasi konseling bagi kecemasan


Kebanyakan orang mencari bantuan profesional karena mereka
mengalami kecemasan atau depresi. Banyak klien yang memasuki kantor
konselor disertai harapan bahwa konselor akan mencabut penderitaan mereka
atau setidaknya akan memberikan formula tertentu untuk mengurangi
kecemasan mereka. Konselor yang berorientasi eksistensial, bagaimanapun,
bekerja tidak sematamata untuk menghilangkan gejala-gejala atau mengurangi
kecemasan. Sebenarnya, konselor eksistensial tidak memandang kecemasan
sebagai hal yang tak diharapkan. la akan bekerja dengan cara tertentu sehingga
untuk sementara klien bisa mengalami peningkatan taraf kecemasan.
Pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan adalah: Bagaimana klien mengatasi
kecemasan? Apakah kecemasan merupakan fungsi dari pertumbuhan ataukah
fungsi kebergantungan pada tingkah laku neurotik? Apakah klien menunjukkan
keberanian untuk membiarkan dirinya menghadapi kecemasan atas hal-hal yang
tidak dikenalnya?
Kecemasan adalah bahan bagi konseling yang produktif, baik konseling
individual maupun konseling kelompok. jika klien tidak mengalami kecemasan,
maka motivasinya untuk berubah akan rendah. Kecemasan dapat
ditransformasikan ke dalam energi yang dibutuhkan untuk bertahan menghadapi
risiko bereksperimen dengan tingkah laku baru. Oleh karena itu, terapis yang
berorientasi eksistensial bisa membantu klien untukmenyadari bahwa belajar
menoleransi keberdwiartian dan ketidaktentuan. Serta belajar bagaimana hidup
tanpa sandaran dapat merupakan fase yang penting dalam perjalanan dari hidup
bergantung kepada menjadi pribadi yang lebih otonom. Terapis dan klien bisa
mengeksplorasi kemungkinan bahwa, meskipun keluar dari pola-pola yang
melumpuhkan dan pembangunan gaya hidup baru bisa menghasilkan
kecemasan untuk sementara, karena klien lebih merasa puas dengan cara-cara
yang lebih baru dalam mengada, kecemasan akan berkurang. Karena klien
mulai dapat mempercayai diri, maka kecemasan sebagai akibat dugaan akan
datangnya bencana menjadi berkurang.

Dalil 6: Kesadaran atas Kematian dan Non-Ada


Kesadaran atas kematian adalah kondisi manusia yang mendasar yang.
memberikan makna kepada hidup.
Para eksistensialis tidak memandang kematian secara negatif. Menurutt,
mereka, karakteristik yang khan pada manusia adalah kemampuannya untuk,
memahami konsep masa depan dan tak bisa dihindarkannya kernatian. Justru
kesadaran atas akan terjadinya ketiadaan memberikan makna kepada
keberadaan, sebab hal itu menjadikan setiap tindakan manusia itu berarti.
Para eksistensialis mengungkapkan bahwa hidup memiliki makna karena
memiliki pembatasan waktu. Jika kita memiliki keabadian untuk
mengaktualkan potensi kita, maka tidak akan ada hal yang mendesak. Karena
kita bersifat lahiriah, bagaimanapun, kematian menjadi pendesak bagi kita agar
menganggap hidup dengan serius. Mengingkari bahwa kematian tak dapat
dihindarkan membatasi kemungkinan kayanya hidup. Hal itu tidak berarti
bahwa hidup dalam teror kematian terus-menerus adalah hidup yang sehat, juga
tidak berarti bahwa kita harus tenggelam dalam pemikiran tentang kematian.
Pesan yang terkandung adalah, karena kita bersifat terbatas, waktu kini menjadi
penting bagi kita. Waktu kini amat berharga karena hanya itulah yang benar-
benar menjadi milik kita.
Ketakutan terhadap kematian cdan ketakutan terhadap kehidupan
memiliki korelasi. Ketakutan terhadap kematian membayangi mereka yang
takut mengulurkan tangan dan benar-benar merangkul kehidupan. Jika kita
mengukuhkan hidup dan berusaha hidup waktu kini sepenuh-penuhnya, kita
tidak akan dihantui oleh berakhirnya kehidupan. jika kita takut mati, maka kita
juga takut hidup, seakan-akan kita mengatakan, "Kita takut mati karena kita
belum pernah benar-benar hidup."
Karena beberapa di antara kita merasa takut menghadapi kenyataan
kematian kita sendiri, kita mungkin berusaha untuk menghindari fakta ketiadaan
(nonbeing) yang akan terjadi. Bagaimanapun, jika kita mencoba melarikan diri
dari konfrontasi dengan ketiadaan, maka kita harus berkorban. Menurut May
(1961, hlm. 65), "Pengorbanan untuk mengingkari kematian adalah kecemasan
yang tak menentu, pengucilan diri. Untuk memahami dirinya dengan sempurna,
manusia harus menghadapi kematian dan sadar akan kematian pribadinya."

Frankl (1965) sejalan dengan May dan menyebutkan bahwa kematian


memberikan makna kepada keberadaan manusia. Jika kita tidak akan pernah
mati, maka kita bisa menunda tindakan untuk selamanya. Akan tetapi, karena
kita terbatas, apa yang kita lakukan sekarang memiliki arti khusus. Bagi Frankl,
yang menentukan kebermaknaan hidup seseorang bukan lamanya, melainkan
bagaimana orang itu hidup.

Implikasi-implikasi konseling
Penulis sampai pada pandangan bahwa kematian dan kehidupan adalah
lawan yang setara. Untuk tumbuh kita harus bersedia membiarkan sebagian dari
masa lampau kita berlalu. Bagian-bagian tertentu dari diri kita harus mati bila
dimensi-dimensi baru harus muncul. Kita tidak bisa berpegang. pada aspek-
aspek neurotik masa lampau kita jika kita sekaligus mengharapkan sisi kita
yang lebih kreatif berkembang.
Satu teknik kelompok yang telah terbukti berguna adalah meminta
kepada kelompok orang (klien) untuk mengkhayalkan diri mereka berada dalam
ruangan yang sama dengan orang-orang yang sama sepuluh tahun yang akan
datang. Penulis meminta kepada mereka untuk membayangkan bahwa mereka
tidak mengikuti putusan-putusan yang telah mereka buat dan bahwa mereka
gagal menerima peluang untuk mengubah diri dengan cara-cara yang sangat
diinginkan. Mereka juga diminta membayangkan bahwa mereka tidak
menghadapi bagian-bagian diri yang ditakuti, bahwa urusan rnereka yang tak
selesai tetap tidak terselesaikan, bahwa mereka tidak menggarap, proyek-proyek
mereka, dan bahwa mereka memilih untuk tetap seperti sekarang alih-alih
mengambil risiko untuk berubah. Kemudian penulis, meminta kepada mereka
untuk berbicara tentang kehidupan mereka seakan-akan mereka tahu bahwa diri
mereka sedang mendekati ajal. Praktek ini bisa memobilisasi para klien untuk
memandang waktu yang mereka." miliki secara serius dan is bisa mencegah
mereka menerima kemungkinan bahwa mereka bisa menerima keberadaan
seperti zombie alih-alih kehidupan yang lebih sempurna.

Dalil 7. Perjuangan untuk Aktualisasi Diri


Manusia berjuang untuk aktualisasi diri, yakni kecenderungan untuk
menjadi apa saja yang mereka mampu.
Setiap orang memiliki dorongan bawaan untuk menjadi seorang pribadi,
yakni mereka memiliki kecenderungan ke arah pengembangan keunikan
ketunggalan, penemuan identitas pribadi, dan perjuangan demi aktualisasi
potensi-potensinya secara penuh. jika seseorang mampu mengaktualkan potensi-
potensinya sebagai pribadi, maka dia akan mengalami kepuasan yang paling
dalam yang bisa dicapai oleh manusia, sebab demikianlah alam mengharapkan
mereka berbuat.
Menjadi pribadi bukanlah suatu proses yang otomatis, namun setiap orang
memiliki hasrat untuk menjadi sesuatu yang sesuai dengan kemampuannya. Jika
biji eik (oak) bisa secara otomatis tumbuh menjadi pohon eik, kita manusia
menjadi jenis pribadi yang kita pilih. Alam seolah-olah berkata kepada kita,
"Kamu harus menjadi apa saja yang kamu bisa." Menjadi sesuatu memerlukan
keberanian. Apakah kita ingin menjadi sesuatu atau tidak menjadi sesuatu adalah
pilihan kita. Ada pergulatan yang terus-menerus di dalam diri kita. Meskipun
kita ingin tumbuh ke arah kematangan, kemandirian, dan aktualisasi, kita
menyadari bahwa perluasan diri adalah suatu proses yang menyakitkan. Itulah
sebabnya perjuangan itu adalah antara keamanan dari kebergantungan dan
kesenangan dengan sakitnya pertumbuhan.
Apa saja ciri-ciri orang yang mengaktualkan diri? Penemuan Abraham
Maslow (1968, 1970) dari penelitiannya terhadap subjek-subjek yang sehat
memberikan kepada kita suatu perspektif untuk memahami sifat aktualisasi diri.
Maslow berbicara tentang "psikopatologi orang rata-rata". Orang-orang yang
disebut normal tidak pernah menumbuhkan diri menjadi apa yang mereka
sanggup. Maslow berargumen bahwa orang-orang yang sehat berbeda dengan
orang-orang yang "normal", baik jenisnya maupun tingkatannya, dan bahwa
penelitian tentang orang yang sehat maupun yang rata-rata menghasilkan dua
macam psikologi yang berbeda. la juga mengkritik orientasi psikologi Freudian
atas penekanannya pada sisi yang sakit clan ketimpangan manusia. Menurutnya,
jika kita melandaskan penemuan kita pada populasi yang sakit, maka kita hanya
akan memiliki psikologi yang sakit. Menurut Maslow pula, perhatian terlalu
banyak diberikan kepada kecemasan, kebencian, neurosis, dan ketidakmatangan
manusia.
Dalam upaya menciptakan psikologi humanistik yang berfokus pada "bisa
menjadi apa seseorang", Maslow merancang suatu studi yang menggunakan
subjek-subjek yang terdiri dari orang-orang yang mengaktualkan diri. Beberapa
ciri yang ditemukan oleh Maslow (1968, 1970) pada, orang-orang yang
mengaktualkan diri itu adalah: kesanggupan menoleransi dan bahkan
menyambut ketidaktentuan dalam hidup mereka, penerimaan terhadap diri
sendiri dan orang lain, kespontanan dan kreativitas, kebutuhan akan privacy dan
kesendirian, otomoni, kesanggupan menjalin hubungan interpersonal yang
mendalam dan intens, perhatian yang tulus terhadap orang lain, rasa humor,
keterarahan kepada diri sendiri (kebalikan dari kecenderungan untuk hidup
berdasarkan pengharapan orang lain), dan tidak adanya dikotomi-dikotomi yang
artifisial (seperti kerja-bermain, cinta-benci, lemah-kuat).
Dalil Maslow tentang aktualisasi diri memiliki implikasi-implikasi yang
jelas bagi praktek psikologi konseling, sebab tendensi ke arah pertumbuhan dan
aktualisasi merangkum kekuatan utama yang menggerakkan prose, terapeutik.
Menurut kodratnya, manusia memiliki dorongan yang kuat kearah aktualisasi
diri dan ingin mencapai lebih dari sekedar keberadaan yang aman tetapi stabil.
Kecenderungan dasarnya adalah mencapai potensinya yang tertinggi sekalipun
harus berhadapan dengan masalah-masalah internal dan penolakan-penolakan
eksternal.
Carl Rogers (1961), seorang tokoh utama dalam penciptaan psikologi
humanistik, membangun teori dan praktek terapinya di alas konsep tentang
"pribadi yang berfungsi penuh", yang sangat mirip dengan "orang yang
mengaktualkan diri" yang dikemukakan oleh Maslow. Rogers mempercayai
dapat dipercayanya sifat manusia dan memandang gerak ke arah berfungsi
penuh sebagai suatu kebutuhan dasar. Menurut Rogers, apabila manusia
berfungsi secara bebas, maka dia akan bersifat konstruktif dan dapat dipercaya.

E. RANGKUMAN DAN EVALUASI


Salah satu kritik terhadap pendekatan eksistensial bagi praktek terapi
adalah: bahwa ia tidak memiliki pernyataan yang sistematis mengenai prinsip-
prinsip dan praktek-praktek psikoterapi. Pendekatan ini paling sering dikritik
karena kelemahannya dalam metodologi. Sementara kritikus mengkritiknya
karena bahasa dan konsepnya yang mistikal, kritikus lainnya menolaknya karena
menganggapnya sebagai gerakan sementara yang berlandaskan reaksi terhadap
pendekatan ilmiah dan positivistik. Orang-orang yang menyukai praktek terapi
yang berlandaskan penelitian menekankan bahwa konsep-konsep itu harus benar
secara empiris, bahwa definisi-definisi harus dibuat operasional, dan bahwa
hipotesis-hipotesis harus dapat diuji.
Meskipun kritik-kritik itu memiliki landasan-landasan pembenaran, terapi
eksistensial sesungguhnya menekankan aspek-aspek yang unik yang oieh
pendekatan-pendekatan lain diabaikan. Greening (19711) dengan baik
merangkum humanisme eksistensial sebagai orientasi yang khas ketika ia
menulis:
Humanisme eksistensial sebagai suatu orientasi psikologi
menggabungkan aspek-aspek eksistensialisme dan humanisme dengan
cara yang membuktikan sumbangan-sumbangan keduanya sambil
mencoba menghindari kekurangan-kekurangannya. ladi, humanisme
eksistensial lebih meyakinkan dibandingkan banyak eksistensialisme,
namun lebih mengenal keterbatasan dan keniscayaan aktualisasi diri
manusia dibanding dengan para humanis yang terpusat pada
kesenangan dan pertumbuhan. Humanisme eksistensial mencakup
pengakuan eksister%*alisme terhadap kekacauan absurditas,
keniscayaan, keputusasaan, dan "keterlemparan" manusia ke dalam
dunia tempat dia sendiri bertanggung jawab atas pemenjadiannya.
Humanisme eksistensial juga mencakup dalil humanistik bahwa
manusia memiliki potensi yang besar untuk mentransformasikan
dirinya sendiri sebagai suatu dorongan yang tidak bisa ditekan kepada
pengalaman pemenuhan dalam menguji batas-batas potensi itu terhadap
hambatan-hambatan yang inheren pada keberadaan. (Greening, 1971,
hlm. 9)
Fokus pada sifat manusia, pentingnya hubungan antara terapis dan klien,
dan kebebasan klien untuk menentukan nasibnya sendiri adalah aspek-aspek
yang berarti. Pendekatan eksistensial-humanistik tidak mengecilkan manusia
menjadi kumpulan naluri ataupun hasil pengondisian. Alih-alih ia menyajikan
suatu filsafat yang menjadi landasan bagi praktek terapi.
Pendekatan eksistensial mengembalikan pribadi kepada fokus sentral
memberikan gambaran tentang manusia pada tarafnya yang tertinggi. Selain itu,
pendekatan eksistensial juga menunjukkan bahwa manusia selalu ada dalam
proses pemenjadian dan bahwa manusia secara sinambung mengaktualkan dan
memenuhi potensinya. Pendekatan eksistensial secara tajam berfokus pada fakta-
fakta utama keberadaan manusia kesadaran diri dan kebebasan yang konsisten.
Bagi Para eksistensialis, pemberian penghargaan kepada pandangan baru tentang
kematian adalah suatu hal yang positif, bukan sesuatu yang tidak sehat yang
menjadi pengganti ketakutan, sebab kematian memberikan makna pada hidup.
Selanjutnvapara eksistensialis telah menyumbangkan suatu dimensi baru kepada
pemahaman atas kecemasan, perasaan berdosa, frustrasi, kesepian, dan
keterkucilan.
Menurut penilaian penulis, salah satu sumbangan utama dari pendekatan
eksistensial-humanistik adalah penekanannya pada kualitas manusia kepada
manusia dari hubungan terapeutik. Aspek ini, mengurangi kemungkinan
dehumanisasi psikoterapi yang menganggap psikoterapi sebagai proses mekanis.
Juga, penulis menemukan bahwa filsafat yang melandasi terapi eksistensial
humanistik sangat menarik. Penulis terutama rnenyukai penekanannya pada
kebebasan, tanggung jawab, dan kesanggupan individu untuk merancang ulang
kehidupannya melalui tindakan memilih dengan kesadaran. Dari titik pandang
penulis, model ini menyajikan suatu landasan filosofis yang jelas untuk
membangun suatu gaya yang bersifat pribadi dan unik dari praktek terapi karena
menunjukkan dirinya kepada inti perjuangan manusia kontemporer.
Di lain pihak, penulis mengira bahwa teori ini juga memiliki beberapa
kekurangan yang menonjol. Banyak konsep penting dan abstrak dari
eksistensialisme yang sulit dimengerti dan bahkan lebih sulit lagi untuk
diterapkan pada praktek. Konsep-konsep dan perbendaharaan kata yang luas dan
sulit dimengerti dengan sia-sia menyulitkan proses terapeutik. Sedikitnya teknik
yang dihasilkan oleh pendekatan eksistensial-humanistik menjadikan para
praktisi perlu mengembangkan prosedur-prosedur penemuannya sendiri atau
memungutnya dari aliran-aliran terapi lain.
Akhirnya, meskipun penulis menganggap pendekatan eksistensial-
humanistik memiliki banyak hal yang bisa diberikan kepada klien yang fungsi
psikologis dan sosialnya relatif tinggi, penulis memandang pendekatan
eksistensial-humanistik ini amat terbatas penerapannya pada para klien yang
fungsinya rendah, pada para klien yang berada dalam keadaan krisis, dan pada
para klien yang miskin. Pendek kata, para klien yang berjuang untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pokok untuk memelihara kelangsungan hidupnya dan
yang tidak berminat pada aktualisasi diri atau makna-makna eksistensial, kurang
tepat untuk ditangani melalui terapi eksistensial-humanistik.

Materi tambahan

Logoterapi (sebuah pendekatan Eksistensialis)


Bagian I.
Di Wina Austria, Victor Emil Frankl dilahirkan pada tanggal 26 Maret
1905 dari keluarga Yahudi yang sangat kuat memegang tradisi, nilai-nilai dan
kepercayaan Yudaisme. Hal ini berpengaruh kuat atas diri Frankl yang
ditunjukkan oleh minat yang besar pada persoalan spiritual, khususnya persoalan
mengenai makna hidup. Di tengah suasana yang religius itulah Frankl menjalani
sebagian besar hidupnya.
Dalam bagian pertama buku “Man's Seach for Meaning” (Frankl, 1963),
mengisahkan penderitaan Frankl selama menjadi tawanan Yahudi di Auschwitz
dan beberapa kamp konsentrasi Nazi lainnya. Kehidupannya selama tiga tahun di
kamp konsentrasi adalah kehidupan yang mengerikan se cara kejam. Setiap hari,
ia menyaksikan tindakan-tindakan kejam, penyiksaan, penembakan, pembunuhan
masal di kamar gas atau eksekusi dengan aliran listrik. Pada saat yang sama, ia
juga melihat peristiwa-peristiwa yang sangat mengharukan; berkorban untuk
rekan,kesabaran yang luar biasa, dan daya hidup yang perkasa. Di samping para
tahanan yang berputus asa yang mengeluh,"mengapa semua ini terjadi pada kita?
", mengapa aku harus menanggung derita ini?", ada juga para tahanan yang
berpikir "apa yang harus kulakukan dalam keadaan seperti ini?". Yang pertama
umumnya berakhir dengan kematian, dan yang kedua banyak yang lolos dari
lubang jarum kematian.
Menurut Jalaluddin Rakhmat (Pengantar dalam Danah Zohar & Ian
Marshall, 2002), hal yang membedakan keduanya adalah pemberian makna. Pada
manusia ada kebebasan yang tidak bisa dihancurkan bahkan oleh pagar kawat
berduri sekalipun. Itu adalah kebebasan untuk memilih makna. Sambil mengambil
pemikiran Freud tentang efek berbahaya dari represi dan analisis mimpinya,
Frankl menentang Freud ketika dia menganggap dimensi spiritual manusia
sebagai sublimasi insting hewani. Dengan landasan fenomenologi, Frankl
membantah dan menjelaskan bahwa perilaku manusia tidak hanya diakibatkan
oleh proses psikis saja. Menurutnya, pemberian makna berada di luar semua
proses psikologis. Dia mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut dengan
Logoterapi (berasal dari kata Yunani "Logos" yang berarti"makna").
Logoterapi memandang manusia sebagai totalitas yang terdiri dari tiga
dimensi; fisik, psikis, spiritual. Untuk memahami diri dan kesehatan, kita harus
memperhitungkan ketiganya. Selama ini dimensi spiritual diserahkan pada agama,
dan pada gilirannya agama tidak diajak bicara untuk urusan fisik dan psikilogis.
Kedokteran, termasuk psikologi telah mengabaikan dimensi spiritual sebagai
sumber kesehatan dan kebahagiaan(Jalaluddin Rahmat, 2004).
Frankl menyebut dimensi spiritual sebagai "noos" yang mengandung
semua sifat khas manusia, seperti keinginan kita untuk memberi makna, orientasi-
orientasi tujuan kita, kreativitas kita, imajinasi kita, intuisi kita, keimanan kita,
visi kita akan menjadi apa, kemampuan kita untuk mencintai di luar kecintaan
yang fisik psikologis, kemampuan mendengarkan hati nurani kita di luar kendali
superego, secara humor kita. Di dalamnya juga terkandung pembebasa diri kita
atau kemampuan untuk melangkah ke luar dan memandang diri kita, dan
transendensi diri atau kemampuan untuk menggapai orang yang kita cintai atau
mengejar tujuan yang kita yakini. Dalam dunia spiritual, kita tidak dipandu, kita
adalah pemandu, pengambil keputusan. Semuanya itu terdapat di alam tak sadar
kita. Tugas seorang logoterapis adalah menyadarkan kita akan perbendaharaan
kesehatan spiritual ini.
Bagian II.
Peradaban Barat modern dengan revolusi industri yang membuat
suatusyndrome kehampaan (emptyness) eksistensial dengan ditandai oleh
kebosanan, kehampaan, ketiadaan tujuan, masyarakat mengalami dehumanisasi,
yang tidak peduli terhadap apa yang akan dilakukan dalam hidup. Semuanya
berasal dan datang dari kondisi masyarakat yang tidak menguntungkan. Revolusi
industri menjadikan seorang pekerja mengabdi kepada kepentingan majikan, dan
kehilangan semua hubungan dengan barang yang diproduksinya. Hilangnya
hubungan pribadi (individualisme, permisifisme), tidak adanya pandangan
bersama mengenai kehidupan yang lebih baik di masa depan, lebih
mengutamakan suatu hal yang bersifat materi (Materialisme, kapitalisme,
hedonisme), dan mengabaikan hal-hal yang spiritual. Erich Fromm (1988)
menyatakan bahwa banyak orang merasa dirinya seperti komoditi yang
diperjualbelikan dan pada saat berikutnya menjadi penjaja komoditi. Dunia Barat
kontemporer telah menghasilkan manusia hampa yang mencari makna. Jika di
masa lalu orang neurotik itu diibaratkan seperti orang patah kaki, maka dalam
dunia modern, seorang neurotik umumnya adalah orang yang memiliki dua kaki
sempurna tetapi tidak tahu ke mana kaki itu harus pergi melangkah???
Dalam hidup ini ada beberapa ancaman sebagai penyebab "kecemasan
eksistensial", hal ini merupakan aspek terpenting yang menentukan apakah hidup
kita bermakna atau hanya kesia-siaan, adalah “pertama” kematian: kita semua
adalah makhluk yang fana', kematian sewaktu-waktu akan datang menjemput
kita. “Kedua”, takdir, garis kehidupan kita mungkin suatu kesengsaraan atau
malapetaka, semuanya tidak bias diramalkan atau dikendalikan. */Ketiga/*,
keharusan untuk membuat pilihan mengandung kecemasan eksistensial melalui
setidaknya dengan tiga cara; a). kadang-kadang kita mesti menjatuhkan suatu
pilihan tanpa informasi yang cukup, b). ketika mengambil keputusan, manusia
cenderung untuk mencari bimbingan dari sumber transcendental yang lebih tinggi,
c). menjatuhkan pilihan berarti mengabaikan pilihan lainnya (Zainal Abidin,
2002).
Gambaran tentang adanya kecemasan eksistensial ini dapat kita jumpai
misalnya yang terjadi di kalangan mahasiswa, tampak kecenderungannya untuk
hidup demi kepuasan sesaat, penggunaan Narkotika, hidup hura-hura, berpesta
pora, pergaulan bebas, sampai seks bebas, kegairahan yang besar terhadap unsur-
unsur fisik (hedonisme) merupakan bukti adanya krisis kebermaknaan hidup.
Pemuasan pada kepuasan sementara hanya merupakan “penamba” pada
kekosongan dan kebosanan yang berakar dari ketiadaan makna? Untuk apa
mereka hidup?
Hilangnya makna, kehampaan eksistensial yang lazim terjadi di zaman
modern sekarang ini dalam buku “Man's seach for meaning” (Frankl, 1963)
dijelaskan bahwa mereka tersebut tidak sendirian menghadapi hidup yang tak
bermakna, mereka pada dasarnya merupakan bagian dari "invisible
community"yang mengalami kehampaan serupa. Frankl memberi pesan bahwa
kita harus memiliki keberanian dan kesabaran. Yakni keberanian untuk
membiarkan masalah ini untuk sementara waktu tak terpecahkan, dan kesabaran
untuk tidak menyerah dan mengupayakan penyelesaian.
Inti ajaran Frankl adalah pandangan bahwa menjalani hidup dimaksudkan
untuk suatu tujuan tertentu. Motivasi utama dari manusia adalah untuk
menemukan tujuan itu, itulah makna hidup. Pencarian makna yang kita lakukan
merupakan fenomena kompleks yang membutuhkan penggalian, dan untuk
memahaminya kita harus "menjalaninya". Tentang "makna" menurut Zainal
Abidin (2002), ada dua hal yang perlu diperhatikan;
Pertama, makna tidak sama dengan aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah
suatu proses yang menjadikan kita seperti adanya kita, dimana kita
mengembangkan dan menyadari cetak biru (blue-print) dari potensi dan bakat kita
sendiri. Namun, meski seseorang sanggup sepenuhnya mengembangkan
potensinya, belum tentu ia telah memenuhi makan hidupnya. Makna tidak terletak
pada diri kita, melainkan terletak di dunia luar. Kita tidak menciptakan makna,
atau memilihnya, melainkan harus menemukannya. Dengan kata lain, untuk dapat
menemukan makna kita harus ke luar dari persembunyian dan menyongsong
tantangan di luar sana yang memang ditujukan kepada kita. Tujuan/makna adalah
sesuatu yang "transcendental", sesuatu yang berada di luar "pemiliknya" (Frankl,
1963). Maka ketika seseorang mencari bimbingan untuk menjatuhkan pilihanya,
tidak akan ia menjumpai kekosongan, tetapi ia menemukan makna hidupnya pada
sesuatu di luar atau di atas dirinya. Hidup tidaklah semata mengarahkan diri pada
realisasi diri ataupun sesuatu dalam diri kita, melainkan mengarahkan diri pada
makna yang harus kita penuhi. Dengan begitu "kefanaan" menjadi kurang
menakutkan. Maknalah yang memelihara hidup kita. "Melekatkan diri pada
sesuatu yang melebihi usia hidup memberi manusia suatu keabadian"
Keterasingan dari dunia, lantaran cara hidup serba mekanis, menjadi
berkurang ketika kita tahu bahwa kita berada di dunia untuk suatu tanggung jawab
yang mesti dipenuhi. Manusia mampu bertahan hidup di gurun yang sangat
tandus, jika gurun tersebut menawarkan suatu tugas yang harus dipenuhi.
Sebaliknya ada orang yang mati bunuh diri minum racun di istana mewah karena
tidak tahu untuk apa dia hidup.
Kedua, hidup setiap orang memiliki makna yang unik, setiap orang
memiliki peran unik yang harus dipenuhi atau diperankan, suatu peran yang tak
dapat digantikan oleh orang lain. Setiap orang lahir ke dunia ini mewakili sesuatu
yang baru, yang itu tidak ada sebelumnya. Sesuatu yang original dan unik. Tugas
setiap orang adalah untuk memahami bahwa tidak pernah ada seorang pun serupa
dirinya, karena jika memang pernah ada seseorang yang serupa dengan dirinya,
maka ia tidak diperlukan. Setiap orang adalah sesuatu yang baru, dan harus
memenuhi suatu tugas dan panggilan mengapa ia diciptakan di dunia ini (Buber
dalam Zainal Abidin, 2002).
Bagian III.
Pengembaraan dalam mencari eksistensi kita, dapat kita temukan ketika
kita berupaya memahami makna hidup kita sendiri. Saat kita menyadari dalam hal
apa kita adalah unik. Berbeda dari orang lain, tugas unik apa yang telah kita
penuhi, yakni suatu tugas yang hanya dapat dipenuhi oleh seorang seperti "aku",
dan tidak ada seorang pun yang sama seperti aku. Penemuan makna memberi kita
suatu pemahaman mengenai takdir, semua kegembiraan dan kesedihan tampak
menjadi bagian yang sesuai dari keseluruhan riwayat hidup kita. Ibarat kepingan-
kepingan /"keramik"/ yang membentuk sebuah"mozaik" perjalanan hidup kita.
Setiap kepingan-kepingan tersebut pasti bermanfaat, tidak ada yang sia-sia. Setiap
peristiwa adalah satu langkah yang mendekatkan kita untuk menjadi manusia
sepenuhnya, yang memenuhi suatu "peran" yang memang "hanya" untuk kita.
Menurut Jalaluddin Rakhmat (Pengantar dalam Danah Zohar & Ian
Marshall, 2002), ada lima situasi ketika makna membersit ke luar dan mengubah
jalan hidup kita -menyusun kembali hidup kita yang porak poranda-, yaitu:
1. Makna kita temukan ketika kita menemukan diri kita (self discovery)
2. Makna muncul ketika kita menentukan pilihan, hidup menjadi tanpa makna
ketika kita terjebak dalam suatu keadaan, ketika kita tidak dapat memilih
3. Makna dapat kita temukan ketika kita merasa istimewa, unik, dan tak
tergantikan oleh orang lain
4. Makna membersit dalam tanggung jawab
5. Makna mencuat dalam situasi transendensi, gadungan dari keempat hal di atas,
ketika mentransendensikan diri kita melihat seberkas diri kita yang autentik,
kita membuat pilihan, kita merasa istimewa, kita menegaskan tanggung jawab
kita.
Transendensi adalah pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik,
ke luar dari pengalaman kita yang biasa, ke luar dari suka dan duka kita, ke luar
dari diri kita yang sekarang, ke konteks yang lebih luas. Pengalaman transendensi
adalah pengalaman spiritual. Kita dihadapkan pada makna akhir"the ultimate
meaning" yang menyadarkan kita akan "aturan Agung" yang mengatur alam
semesta. Kita menjadi bagian penting dalam aturan ini. Apa yang kita lakukan
mengikuti rancangan besar "grand design" yang ditampakkan kepada kita. Inilah
dimensi spiritual dari ajaran logoterapi Victor E. Frankl.Hanna Djumhana
Bastaman (1994), menyimpulkan tentang logoterapi berpandangan bahwa
manusia dengan kesadaran dirinya mampu melepaskan diri dari ancaman-
ancaman pengaruh lingkungan dan berbagai bentuk kecenderungan alami ke arah
suatu keadaan atau perkembangan tertentu dalam dirinya sendiri. Dengan
logoterapi kita dapat menemukan hasrat hidup bermakna “the will to meaning”
sebagai motif dasar manusia, yang berlawanan dengan hasrat hidup senang (the
will to pleasure dari Freud, dan hasrat hidup berkuasa the will to power-nya
Alfred Adler. Dalam pandangan logoterapi the will to pleasure merupakan hasil
(by product) dan the will to power merupakan sarana untuk memenuhi the will to
meaning.
Menurut ajaran logoterapi, bahwa kehidupan ini mempunyai makna dalam
keadaan apapun dan bagaimanapun, termasuk dalam penderitaaan sekalipun,
hasrat hidup bermakna merupakan motivasi utama dalam kehidupan ini, Manusia
memiliki kebebasan dalam upaya menemukan makna hidup, yakni melalui karya-
karya yang diciptakannya, hal-hal yang dialami dan dihayati -termasuk cinta
kasih-, atau dalam setiap sikap yang diambil terhadap keadaan dan penderitaan
yang tidak mungkin terelakkan. Manusia dihadapkan dan diorientasikan kembali
kepada makna, tujuan dan kewajiban hidupnya. Kehidupan tidak selalu
memberikan kesenangan kepada kita, tetapi senantiasa menawarkan makna yang
harus kita jawab. Tujuan hidup buka nlah untuk mencapai keseimbangan tanpa
tegangan, melainkan sering dalam kondisi tegangan antara apa yang kita hayati
saat ini dengan prospek kita di masa depan. Logoterapi memperteguh daya tahan
psikis kita untuk menghadapi berbagai kerawanan hidup yang kita alami. Dalam
prakteknya logoterapi dapat mengatasi kasus fobia dengan menggunakan
teknik “paradoxical intention”, yaitu mengusahakan agar orang mengubah sikap
dari yang semula memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (self detachment)
terhadap keluhan sendiri, kemudian memandangnya secara humoritas. Logoterapi
juga dapat diterapkan pada kasus-kasus frustasi eksistensial, kepapaan hidup,
kehampaan hidup, tujuannya adalah membantu kita untuk menyadari adanya daya
spiritual Yang terdapat pada setiap orang, agar terungkap nyata (actual) yang
semula biasanya ditekan (repressed), terhambat (frustasi) dan diingkari. Energi
spiritual tersebut perlu dibangkitkan agar tetap teguh menghadapi setiap
kemalangan dan derita.
Dalam kehidupan, mungkin hasrat hidup bermakna sebagai motif utama
tidak dapat terpenuhi, karena ketidakmampuan orang melihat, bahwa dalam
kehidupan itu sendiri terkandung makna hidup yang sifatnya potensial, yang perlu
disadari dan ditemukan, keadaan ini menimbulkan semacamfrustasi yang disebut
frustasi eksistensial, yang pada umumnya diliputi oleh penghayatan tanpa makna
(meaningless). Gejala-gejalanya sering tidak terungkapkan secara nyata, karena
biasanya bersifat "latent" dan terselubung. Perilaku yang biasanya merupakan
selubung frustrasi eksistensial itu sering tampak pada berbagai usaha kompensasi
dan hasrat yang berlebihan untuk berkuasa, atau bersenang-senang, mencari
kenikmatan duniawiyah (materialisme). Gejala ini biasanya tercermin dalam
perilaku yang berlebihan untuk mengumpulkan uang, manic-bekerja
(wokerholic), free sex, dan perilaku hedonisme lainnya.
Frustrasi eksistensial akan terungkap secara eksplisit dalam penghayatan
kebosanan dan sifat apatis. Kebosanan merupakan ketidakmampuan sesorang
untuk membangkitkan minat, sedangkan apatisme merupakan ketidakmampuan
untuk mengambil prakarsa (inisiatif). frustrasi eksistensial adalah identik dengam
kehampaan eksistensial, dan merupakan salah satu factor yang dapat menjelmakan
neurosis. Neurosis ini dinamakan“neurosis noogenik”, karena karakteristiknya
berlainan dengan neurosis yang klinis konvensional. Neurosis noogenik tidak
timbul sebagai akibat adanya konflik antara id, ego, superego, bukan konflik
insingtif, bukan karena berbagai dorongan impuls, trauma psikologis, melainkan
timbul sebagai akibat konflik moral, antar nilai-nilai, hati nurani, dan problem
moral etis, dan sebagainya (Bastaman, 1995).
Kehampaan eksistensial pada umumnya ditunjukkan dengan perilaku yang
serba bosan dan apatis, perasaan tanpa makna, hampa, gersang, merasa kehilangan
tujuan hidup, meragukan kehidupan. Logoterapi membantu pribadi untuk
menemukan makna dan tujuan hidupnya dan menyadarkan akan tanggung
jawabnya, baik terhadap diri sendiri, hati nurani, keluarga, masyarakat, maupun
kepada Tuhan. Tugas seorang logoterapis dalam hal ini adalah sekedar membuka
cakrawala pandangan klien dan menjajaki nilai-niliai yang memungkinkan dapat
diketemukan makna hidup, yaitu nilai-nilai kritis, kreatif, dan sikap bertuhan.
Dengan demikian logoterapi mencoba untuk menjawab dan menyelesaikan
berbagai problem, krisis, dan keluhan manusia masa kini, yang initinya adalah
seputar hasrat untuk hidup secara bermakna.
Dalam prakteknya, logoterapis membantu klien agar lebih sehat secara
emosional, dan salah satu cara untuk mencapainya adalah memperkenalkan
filsafat hidup yang lebih sehat, yaitu mengajak untuk menemukan makna
hidupnya. Menemukan makna hidup merupakan sesuatu yang kompleks. Pada
banyak kasus, logoterapis hanya dapat mengajak klien untuk mulai
menemukannya. Logoterapis harus menghindar untuk memaksakan suatu makna
tertentu pada klien, melainkan mempertajam kepada klien akan makna hidupnya.
Mungkin cara yang lebih baik yang dapat dilakukan seorang logoterapis guna
membantu klien agar mengenali apa yang ingin ia lakukan dalam hidup adalah
memperdulikan dan menciptakan atmosfir yang bersahabat, sehingga klien bebas
menjelajahi keunikan dirinya tanpa merasa takut ditolak. Sebagimana setiap orang
yang sedang jatuh cinta pada umumnya mampu secara intuitif mengenali makna
unik apa yang terdapat dalam hidup orang yang dicintainya.
Bagian IV.
Melihat uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa logoterapi
mengajarkan bahwa setiap kehidupan individu mempunyai maksud, tujuan,
makna yang harus diupayakan untuk ditemukan dan dipenuhi. Hidup kita tidak
lagi kosong jika kita menemukan suatu sebab dan sesuatu yang dapat
mendedikasikan eksistensi kita. *Namun kalaulah hidup diisi dengan
penderitaaan pun, itu adalah kehidupan yang bermakna, karena keberanian
menanggung tragedi yang tak tertanggungkan merupakan pencapaian atau
prestasi dan kemenangan.*
Banyak orang menyatakan bahwa logoterapi Victor E. Frankl sangat dekat
dengan ajaran agama (spiritual), atau juga bisa merupakan "agama sekuler". Bagi
Frankl makna hidup adalah daya yang membimbing eksistensi manusia,
sebagaimana para Nabi membimbing umatnya. Frankl menggabungkan wawasan
dari agama-agama dan filsafat-filsafat lama, serta mengaplikasikannya dalam
kehidupan pribadinya selama tiga tahun yang kelam di kamp konsentrasi Nazi
yang dituangkan dalam suatu teori psikoterapi, ajaran tersebut dinamakan dengan
logoterapi.

Menurut Frankl, keadaan dimana seorang individu kekurangan arti dalam


kehidupan disebut sebagai kondisi noőgenic neurosis. Inilah keadaan yang
bercirikan tanpa arti, tanpa maksud, tanpa tujuan dan hampa. Menurut Frankl,
individu semacam ini berada dalam kekosongan eksistensial (existential vacuum),
suatu kondisi yang menurut keyakinan Frankl adalah lumrah dalam zaman
modern.
Menurut Frankl, hakekat dari eksistensi manusia terdiri dari 3 faktor, yaitu:
1.  Spiritualitas. Spiritualitas adalah suatu konsep yang sulit dirumuskan, tidak
dapat direduksikan, tidak dapat diterangkan dengan istilah – istilah material,
meskipun dapat dipengaruhi oleh dunia material, namun tidak dihasilkan atau
disebabkan oleh dunia material itu.Merupakan suatu konsep yang sulit
dirumuskan namun tidak dapat direduksikan dan tidak dapat diterangkan
dengan bentuk-bentuk yang bersifat material, kendatipun spiritual dapat
dipengaruhi oleh dimensi kebendaan. Namun tetap saja spiritualitas tidak
dapat disebabkan ataupun dihasilkan oleh hal-hal yang bersifat bendawi
tersebut. Istilah spiritual ini dapat disinonimkan dengan istilah jiwaManusia
tidak dapat didikte oleh faktor-faktor non-spiritual seperti instink, kondisi
spesifik, atau lingkungan
2.  Kebebasan. Adanya suatu keadaan dimana manusia tidak didikte oleh faktor –
faktor non spiritual, insting, warisan kita yang khusus atau kondisi
lingkungan.Kebebasan tidak dibatasi oleh hal-hal yang bersifat non spiritual,
oleh insting-insting biologis, apalagi oleh kondisi-kondisi
lingkungan. Manusia dianugerahi kebebasan oleh penciptanya, dan dengan
kebebasan tersebut ia diharuskan untuk memilih bagaimana hidup dan
bertingkah laku yang sehat secara psikologis.Individu yang tidak tahu
bagaimana cara memanfaatkan kebebasan yang dianugerahkan Tuhan
kepadanya, adalah individu yang mengalami hambatan psikologis atau
neurotis. Individu yang neurotik akan menghambat pertumbuhan sekaligus
pemenuhan potensi- potensi yang mereka miliki, sehingga akan mengganggu
perkembangan sebagai individu secara penuh.
3.  Tanggung jawab. Tidak cukup merasa bebas untuk memilih namun manusia
juga harus menerima tanggung jawab terhadap pilihan tersebut. Logotherapy
mengingatkan manusia terhadap tanggung jawab dengan kalimat berikut,
“Hiduplah seolah – olah anda hidup untuk kedua kalinya, dan bertindak salah
untuk pertama kalinya kira – kira demikian anda bertindak sekarang.”Individu
yang sehat secara psikologis menyadari sepenuhnya akan beban dan tanggung
jawab yang harus mereka pikul dalam setiap fase kehidupannya, sekaligus
menggunakan waktu yang mereka miliki dengan bijaksana agar hidup dapat
berkembang ke arah yang lebih baik.Kehidupan yang penuh arti sangat
ditentukan oleh kualitasnya, bukan berapa lama atau berapa panjang usia
hidup. Keberadaan manusia akan menjadi sehat dan efektif jika faktor-faktor
tersebut di atas dapat terealisasikan dengan baik dan benar dalam setiap
tindakan yang dilakukan oleh individu.
Untuk mencapai dan menggunakan spiritualitas, kebebasan dan tanggung
jawab semuanya tergantung pilihan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Tanpa
ketiga – tiganya tidak mungkin menemukan arti dan maksud dalam kehidupan.
Dalam sistem Frankl, ada satu dorongan yang fundamental yakni kemauan akan
arti yang kuat hingga mampu mengalahkan semua dorongan lain pada manusia.
Tanpa arti untuk kehidupan, tidak ada alasan untuk meneruskan kehidupan. Arti
kehidupan sangat istimewa dan unik bagi setiap individu sehingga arti kehidupan
menjadi berbeda dari orang yang satu dengan orang yang lain bahkan dari momen
yang satu ke momen berikutnya. Karena adanya perbedaan tersebut maka setiap
orang harus menemukan caranya sendiri untuk memberikan respon.
Logoterapi dibangun diatas tiga asumsi dasar yang satu sama lain saling
mempengaruhi, yaitu :
1.  Fredom of will (kebebasan bersikap dan berkehendak)
Frankl sangat menantang pendekatan-pendekatan psikologi/psikiatri
yang menyatakan kondisi manusia dipengaruhi dan ditentukan oleh insting-
insting biologis atau konflik masa kanak-kanak atau sesuatu kekuatan dari luar
lainnya. Menurut Frankl meskipun kondisi luar tesebut mempengaruhi
kehidupan, namun individu bebas memilih reaksi dalam menghadapi kondisi-
kondisi tersebut. Manusia memang tidak akan dapat bertahan dan mampu
menghilangkan kekuatan-kekuatan luar tersebut, tetapi bebas memilih sikap
untuk menghadapi, merepson dang menangani kekuatan tersebut. Manusia
harus menghargai kemampuannya dalam mengambil sikap untuk mencapai
kondisi yang diinginkannya.Manusia tidak sepenuhnya dikondisikan dan
ditentukan oleh lingkungannya, namun dirinyalah yang lebih menentukan apa
yang akan dilakukan terhadap berbagai kondisi itu. Dengan kata lain
manusialah yang menentukan dirinya sendiri.
2.  Will to Meaning (kehendak untuk hidup bermakna)
Kehendak akan arti kehidupan maksudnya kebutuhan manusia untuk
terus mencari makna hidup untuk eksistensinya. Semakin individu mampu
mengatasi dirinya maka semakin ia mengarah pada suatu tujuan sehingga ia
menjadi manusia yang sepenuhnya. Arti yang dicari tersebut memerlukan
tanggung jawab pribadi karena tidak seorangpun bisa memberikan pengertian
dan menemukan maksud dan makna hidup kita selain diri kita sendiri. Dan itu
merupakan tanggung jawab masing-masing pribadi untuk mencari dan
menemukannya. Menurut Frankl keinginan untuk hidup yang bermakna ini
merupakan motivasi utama yang tedapat pada manusia untuk mencari,
menemukan dan memenuhi tujuan dan arti hidupnya.
3.  Meaning of Life (makna hidup)
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang selalu berusaha untuk
memaknai hidupnya. Pada beberapa orang, pencarian makna hidup bisa
berakhir dengan keputusasaan. Keputusasaan dan kehilangan makna hidup ini
merupakan neurosis, dan Frankl menyebut kondisi ini noogenic
neurosis. Sebutan itu bermakna bahwa neurosis ini berbeda dengan yang
disebabkan oleh konfliks psikologis dalam individu. Noogenic
neurosismenggambarkan perasaan tidak bermakna, hampa, tanpa tujuan dan
seterusnya. Orang-orang seperti ini berada dalam kekosongan eksistensial
(existential vacuum). Tetapi Frankl mengatakan bahwa kondisi tersebut
lumrah terjadi di zaman modern ini. Frankl menganggap bahwa makna hidup
itu bersifat unik, spesisfik, personal, sehingga masing-masing orang
mempunyai makna hidupnya yang khas dan cara penghayatan yang berbeda
antara pribadi yang satu dengan yang lainnya.
Salah satu indikator ketidak bermaknaan hidup adalah rasa bosan. Orang-
orang yang merasa bosan dan merasa bodoh terhadap noogenic
neurosisdisebabkan oleh:
1. Kehilangan instink-instink alamiah untuk berhubungan dengan alam
2. Merasa adat kebiasaan, tradisi, dan nilai-nilai untuk menentukan tingkah
laku sehingga seakan ada yang mengatur langkah hidupnya
Mencari arti dapat merupakan tugas yang membingungkan, menantang
dan menambah tegangan bukan mengurangi tegangan batin, namun sesungguhnya
menurut Frankl, peningkatan tegangan ini adalah prasyarat untuk kesehatan
psikologis. Kaitannya dengan kepribadian, menurut Frankl, suatu kepribadian
yang sehat mengandung tingkat tegangan tertentu antara apa yang telah dicapai
dan apa yang harus dicapai dimana orang – orang yang sehat selalu
memperjuangkan tujuan yang akan memberikan arti tersebut.
Ada 3 cara yang dikemukakan oleh logotherapy untuk menuntun pada
pencarian arti kehidupan, yaitu:
1. Dengan memberi kepada dunia lewat suatu ciptaan / karya.
2. Dengan mengambil sesuatu dari dunia melalui pengalaman
3. Dengan sikap yang diambil manusia dalam menyikapi penderitaan.
Ketiga cara tersebut kemudian terkait dengan tiga sistem nilai dalam
pemberian arti kepada kehidupan, yaitu:
1. Nilai – nilai daya cipta; yang menyangkut pemberian kepada dunia,
diwujudkan dalam aktivitas yang kreatif dan produktif. Arti diberikan
kepada kehidupan melalui tindakan yang menciptakan suatu hasil yang
kelihatan atau ide yang tidak kelihatan atau dengan melayani orang –
orang lain yang merupakan suatu ungkapan individu.
2. Nilai – nilai pengalaman, menyangkut penerimaan dari dunia,
diwujudakan dengan menyerahkan diri kepada keindahan yang ada di alam
sekitar atau seni. Menurut Frankl ada kemungkinan memenuhi arti
kehidupan dengan mengalami beberapa segi kehidupan secara intensif,
walaupun individu tidak melakukan suatu tindakan yang positif. Yang
menentukan bukan berapa banyak puncak yang kita capai atau berapa
lama seseorang tinggal dalam tingkatan pencapaian tersebut namun
intensitas yang kita alami terhadap hal – hal yang kita miliki.
3. Nilai-nilai sikap. Situasi-situasi yang menimbulkan nilai-nilai sikap ialah
situasi-siatuasi dimana manusia tak mampu mengubah atau menghindari
situasi tersebut. Apabila dihadapkan dalam situasi ini maka satu-satunya
cara untuk menyikapinya adalah menerima situasi tersebut. Cara bagaiman
manusia menerima situasi tersebut, keberanian dalam menahan
penderitaan tersebut, kebijaksanaan yang kita perlihatkan ketika
berhadapan dengan bencana marupakan ujian dan ukuran terakhir dari
pemenuhan kita sebagai manusia.
Orang-orang yang menemukan arti dalam kehidupan mencapai keadaan
transedensi diri, keadaan yang terakhir untuk kepribadian yang sehat. Dalam
pandangan Frankl dorongan utama dalam kehidupan adalah bukan diri melainkan
arti. Menjadi manusia sepenuhnya berarti mengadakan hubungan dengan
seseorang atau orang lain di luar diri sendiri.
Menurut Frankl, terdapat dua tujuan yang berorientasi pada diri adalah
kesenangan dan aktualisasi diri.
1. Frankl menyatakan semakin banyak kita dengan sengaja berjuang untuk
kesenangan maka mungkin semakin kurang kita mendapatkannya.
2. Satu-satunya cara untuk mengaktualisasikian-diri ialah melalui pemenuhan arti
di luar diri.
Frankl tidak menyajikan suatu daftar dari sifat-sifat kepribadian yang
sehat. Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan orang-orang macam apakah
mereka itu :
1. Mereka bebas memilih tindakan mereka sendiri
2. Mereka secara pribadi bertanggung jawab terhadap tingkah laku hidup
mereka dan sikap yang mereka anut terhadap nasib mereka
3. Mereka tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar diri mereka
4. Mereka telah menemukan arti dalam kehidupan yang cocok dengan
mereka
5. Mereka secara sadar mengontrol kehidupan mereka
6. Mereka mampu mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai
pengalaman, atau nilai-nilai sikap
7. Mereka telah mengatasi perhatian terhadap diri
Ada beberapa sifat lain dari kepribadian-kepribadian yang sehat, di antaranya:
1. Mereka berorientasi ke masa depan, diarahkan pada tujuan-tujuan dan
tugas-tugas yang akan datang.
2. Komitmen terhadap pekerjaan. Salah satu cara untuk memperoleh arti
dari kehidupan adalah dengan nilai-nilai daya cipta, memberi sesuatu
kepada dunia, dan nilai ini dengan sangat baik diungkapkan melalui
pekerjaan atau tugas seseorang.
3. Kemampuan memberi dan menerima cinta. Apabila kita dicintai, kita
menjadi orang yang sangat diperlukan dan tidak dapat diganti. Apabila
kita mencintai, kita dapat membuat orang yang dicintai sanggup
merealisasikan potensi-potensi yang belum dimanfaatkan dengan
menyadarkan mereka tentang potensi mereka untuk menjadi apa.
Daftar Pustaka:
Abidin, Zainal. Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung:
Refika Aditama. 2002. Baharuddin, Paradigma.
Analisis tentang Diri dan Tingkah Laku Manusia, Risalah Gusti, Surabaya, 1995.
Bastaman, Hanna Djumhana, "Dimensi Spiritual dalam Teori Psikologi
Kontemporer: Logoterapi Victor E. Frankl", dalam Jurnal Ulumul Qur'an, Nomer
4 Vol. V. Tahun 1994. halm 14-21.
Bastaman, Hanna Djumhana, "Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju
Psikologi Islami", Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995.
Corey, G., Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Refika Aditama,
Bandung, 2010.
Frankl, V.E., "Man's Seach for Meaning: An Introduction to Logotherapy",
Washington Square Press, New York, 1963.
Fromm, Erich, "Psikologi dan Agama", trj. Oleh Chairul Fuad Yusuf dan Prasetya
Utama, Atira, Jakarta, 1988.
Koeswara, E., "Logoterapi: Psikoterapi Victor Frankl", Kanisius, Yogyakarta,
1992
Rakhmat, Jalaluddin, Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, "SQ:
Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik
untuk Memaknai Kehidupan", Mizan, Bandung, 2002.
Rakhmat, Jalaluddin, "Psikologi Agama: Sebuah Pengantar", Mizan Bandung,
2004. Sukanto, Mm, Dardiri Hasyim, "Nafsiologi: Refleksi
Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur'an", Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2004.
PENDEKATAN PSIKOTERAPI EKSISTENSIAL

Dosen Pengampu: H. Arista Adi Nugroho, S.Psi.,M.M

DISUSUN OLEH:

SUPRAPTO G0108021

ELIZABETH A P S G0108053

FAHIMA G G0108056

I KADEK E T G0108062

HERWINDA N S G0108124

NORYSTA C R G0108128

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

TAHUN 2011

Anda mungkin juga menyukai