Tuk kujalinkan bagimu sebagai rajutan jubah surga. Meski pun ku tahu itu sungguh, Bahwa sejatinya balasan apapun dari diriku Sejatinya tiada akan pernah setimpal.
Langit merekah cahaya. Semesta baru sekejap menjemput pagi, kala selengking tangis seorang bayi memecah hening subuh dengan sempurna. Mata peri itu bercahaya. Di antara kabut pagi buta ia berpendar, syahdu menatap seraut wajah merah, mungil, rapuh, yang disodorkan ibu bidan ke dalam dekapnya. Mata peri itu berkerjap, membuncahkan suka cita yang meluap ruah. Betapa pun tubuh itu sesungguhnya payah. Betapa pun badan itu sepayah-payahnya letih. Namun senyumnya tak henti merekah lebar, menyaksikan tangis kuat bayinya yang menendang sehat. Dalam itu semua, ia tak pernah sepatahpun melontarkan keluh. Ya, ialah sosok mata peri itu. Ialah sosok yang disebutkan baginda Rasulullah saw. memendam surga di bawah telapaknya. Ialah, ibunda. Ialah ibunda, sosok mulia yang senantiasa memancarkan kasih tak terperi dari hari ke hari. Satu-satunya sosok yang benar-benar bersedia membagi separuh jiwa, raga dan hidupnya untuk kita di dunia. Bahagianya adalah bila kita tersenyum. Ketakutannya adalah bila kita menangis. Deritanya adalah bila kita terluka. Tuhan, bagaimana Engkau menciptakan sosok mulia itu. Hingga pengabdian seumur hidup padanya pun takkan mampu membayar pengorbanannya. Hingga ridha-Mu pun bergantung pada keridhaannya. Hingga berkata 'ah kepadanya pun Engkau laknatkan.
Lihatlah bagaimana mata peri itu kan merautkan gundah tiada banding, saat kita terbaring merintih sakit. Setia beliau terjaga di sisi ranjang. Lekat mengawasi kita dengan punggung tegak yang disangga hanya dengan kursi kayu keras. Sekalipun itu hanya demam panas biasa. Yang sekedar dikompres handuk basah pun bisa saja.
Ingatlah bagaimana bintang kejora yang membayang di matanya itu memecah geram. Tatkala kita bandel mengerjakan larangannya dan menjauhi perintahnya`. Saat sedikit saja mencoba berani menantang bahaya, atau bahkan saat sekedar bermain kebanyakan hingga lupa belajar dan nilai ulangan kebakaran` . Maka tak ayal lagi, nasihat wejangannya, yang seringkali oleh jiwa remaja kita anggap ceramah, kan segera mengalir tanpa perlu dipinta. Kuping remaja tanggung kita pun merespon ucapan-ucapan mutiara itu dengan penuh enggan. Aksi tutup kuping cuek bebek pun kita lancarkan. Namun, sungguh mata kejora itu sama sekali tak mengguratkan geram yang terbakar amarah. Melainkan geramnya itulah penanda kasihnya. Kasih yang bersumber dari mata air sayang yang selalu mengalir tak pernah kering. Itulah kasih sayangnya, kasih sayang ibunda.
Dan, kejora yang bersinar di matamu, Bunda, takkan kubiarkan luruh. Walau semenit, walau sedetik sekalipun.
Hanya bias senyum di wajah bunda itulah yang sanggup menjadi penanda hatinya, tatkala menyaksikan pipi-pipi kecil itu mulai menggembung sehat, menyunggingkan senyum kecil imut lucu nan menggemaskan. Tatkala bunda melihat gigi-gigi susu putih itu mulai tumbuh dari gusinya yang lunak dan merah. Tatkala bunda membimbing kaki-kaki kecil itu mulai menjejak langkahnya yang pertama di bumi Allah. Membuncahlah bahagia di mata peri itu, yang sedikitpun tiada hendak ditukar sekalipun dengan dunia dan seisinya.
Hingga akhirnya bayi mungil itu pun beranjak kanak-kanak dan remaja.