Sebuah Lasykar truk Masuk kota Salatiga Mereka menyanyikan lagu 'Sudah Bebas Negeri Kita' Di jalan Tuntang seorang anak kecil Empat tahun terjaga :
'Ibu, akan pulangkah Bapa, dan membawakan pestol buat saya ?' (1963)
Juni 1973
BAGAIMANA KALAU
Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, tapi buah alpukat, Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat, Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, dan kepada Koes Plus kita beri mandat, Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, dan ibukota Indonesia Monaco, Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, salju turun di Gunung Sahari, Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop, Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia dibayar dengan pementasan Rendra, Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan, Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan margasatwa Afrika, Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil mempertimbangkan protes itu, Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita
pelihara ternak sebagai pengganti Bagaimana kalau sampai waktunya kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.
1971
Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga Suaranya keras, menangis berhiba-hiba Begitu lahir ditating tangan bidannya Belum kering darah dan air ketubannya Langsung dia memikul hutang di bahunya Rupiah sepuluh juta
Kalau dia jadi petani di desa Dia akan mensubsidi harga beras orang kota Kalau dia jadi orang kota Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya Kalau dia bayar pajak Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga Mulutmu belum selesai bicara Kau pasti dikencinginya.
1998
Pada tahun keenam Setelah di kota kami didirikan Sebuah Musium Perjuangan Datanglah seorang lelaki setengah baya Berkunjung dari luar kota Pada sore bulan November berhujan dan menulis kesannya di buku tamu Buku tahun keenam, halaman seratus-delapan
Bertahun-tahun aku rindu Untuk berkunjung kemari Dari tempatku jauh sekali Bukan sekedar mengenang kembali Hari tembak-menembak dan malam penyergapan Di daerah ini Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan Dan potret-potret para pahlawan Mengusap-usap karaben tua Baby mortir buatan sendiri Atau menghitung-hitung satyalencana Dan selalu mempercakapkannya
Alangkah sukarnya bagiku Dari tempatku kini, yang begitu jauh Untuk datang seperti saat ini Dengan jasad berbasah-basah Dalam gerimis bulan November Datang sore ini, menghayati musium yang lengang Sendiri Menghidupkan diriku kembali Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya Di waktu kebebasan adalah impian keabadian Dan belum berpikir oleh kita masalah kebendaan
Begitulah aku berjalan pelan-pelan Dalam musium ini yang lengang Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga Kesangkutan ikat-ikat kepala, sangkur-sangkur berbendera Maket pertempuran Dan penyergapan di jalan Kuraba mitraliur Jepang, dari baja hitam Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt
PENGOEMOEMAN REPOEBLIK yang mulai berdebu Gambar lasykar yang kurus-kurus Dan kuberi tabik khidmat dan diam Pada gambar Pak Dirman Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali Ke ruangan yang sepi dan dalam Jendela musium dipukul angin dan hujan Kain pintu dan tingkap bergetaran Di pucuk-pucuk cemara halaman Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan
Di depan tugu dalam musium ini Menjelang pintu keluar ke tingkat bawah Aku berdiri dan menatap nama-nama Dipahat di sana dalam keping-keping alumina Mereka yang telah tewas Dalam perang kemerdekaan Dan setinggi pundak jendela Kubaca namaku disana.....
Demikian cerita kakek penjaga Tentang pengunjung lelaki setengah baya Berkemeja dril lusuh, dari luar kota Matanya memandang jauh, tubuh amat kurusnya Datang ke musium perjuangan Pada suatu sore yang sepi Ketika hujan rinai tetes-tetes di jendela Dan angin mengibarkan tirai serta pucuk-pucuk cemara Lelaki itu menulis kesannya di buku-tamu Buku tahun-keenam, halaman seratus-delapan Dan sebelum dia pergi Menyalami dulu kakek Aki
Dengan tangannya yang dingin aneh Setelah ke tugu nama-nama dia menoleh Lalu keluarlah dia, agak terseret berjalan Ke tengah gerimis di pekarangan Tetapi sebelum ke pagar halaman Lelaki itu tiba-tiba menghilang
Inilah peperangan Tanpa jenderal, tanpa senapan Pada hari-hari yang mendung Bahkan tanpa harapan
Di sinilah keberanian diuji Kebenaran dicoba dihancurkn Pada hari-hari berkabung Di depan menghadang ribuan lawan
1966
"Ibu telah merelakan kalian Untuk berangkat demonstrasi Karena kalian pergi menyempurnakan Kemerdekaan negeri ini"
Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada Atau gas airmata Tapi langsung peluru tajam Tapi itulah yang dihadapi Ayah kalian almarhum Delapan belas tahun yang lalu
Pergilah pergi, setiap pagi Setelah dahi dan pipi kalian Ibu ciumi Mungkin ini pelukan penghabisan (Ibu itu menyeka sudut matanya)
Tapi ingatlah, sekali lagi Jika logam itu memang memuat nama kalian (Ibu itu tersedu sedan)
Atau dendam kesumat Pada seseorang Walapun betapa zalimnya Orang itu
Niatkanlah menegakkan kalimah Allah Di atas bumi kita ini Sebelum kalian melangkah setiap pagi Sunyi dari dendam dan kebencian Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan Serta rasul kita yang tercinta
pergilah pergi Iwan, Ida dan Hadi Pergilah pergi Pagi ini
(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka Dan berangkatlah mereka bertiga Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata)
1966
DOA
Tuhan kami Telah nista kami dalam dosa bersama Bertahun-tahun membangun kultus ini Dalam pikiran yang ganda Dan menutupi hati nurani
Tuhan kami Telah terlalu mudah kami Menggunakan AsmaMu Bertahun di negeri ini Semoga Kau rela menerima kembali Kami dalam barisanMu
1966
Jalan Segara
1966
Dan sangat paham akan isinya Tetapi tentang pasal penyerahan Itu adalah suatu penghinaan
Konvoi sejam lamanya menderu Di kota. Api kavaleri memancar-mancar Di roda-rantai dan aspal
Angin meniup dalam panas dan abu Abu baja. Nyala yang menggeletar-geletar Sepanjang suara
Kami yang bertahan Beberapa ratus meter jauhnya Bukanlah serdadu-serdadu bayaran Atau terpaksa berperang karena pemerintahan
Kebebasan manusia di atas buminya Adalah penyebab hadir pasukan ini Dan pasukan-pasukan lainnya
mengumpulkan seorang tukang cukur, penanam-penanam sayur gembala-gembala, (semua buta huruf) kecuali dua anak SMT sopir taksi dan seorang mahasiswa kedokteran dalam pasukan di pos terdepan ini
Terik dan lengang dipandang tak bertuan Abu naik perlahan dari bumi Bumi yang telah diungsikan
Guruh dari jauh, konvoi menderu Suara panser dan tank-tank kecil Mengacukan senjata-senjata baru
Kami tidak punya batalion paratroop Cadangan sulfa, apalagi mustang dan lapis-baja Kami hanya memiliki karaben-karaben tua Bahkan bambu pedesaan, ujungnya diruncingkan
Pasukan ini tak bicara dalam bahasa akademi militer Tidak juga memiliki pengalaman perang dunia Tetapi untuk kecintaan akan kebebasan manusia Di atas buminya Pasukan ini sudah menetapkan harganya
Sebentar lagi malampun akan turun membawa kesepian ajal adalam gurun
Tidakkah engkau bisa menempatkan diri sebentar, di tempat kami Memikirkan bahwa ibumu tua diungsikan tersaruk-saruk berjalan kaki Setelah rumah-rumah di kampungmu dibakari setelah adik kandungmu ditembak mati
Di seberang sini berjaga pengawalan Tanpa gardu dan kemah, berbaju lusuh dalam semak Dialah yang terdepan dengan sepucuk Lee & Field Dialah huruf pertama dari Republik
KALIAN CETAK KAMI JADI BANGSA PENGEMIS, LALU KALIAN PAKSA KAMI MASUK MASA PENJAJAHAN BARU, Kata Si Toni
Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami Sejak lahir sampai dewasa ini Jadi sangat tepergantung pada budaya Meminjam uang ke mancanegara Sudah satu keturunan jangka waktunya Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia Kita gadaikan sikap bersahaja kita Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta
Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri Sambil kepala kita dimakan begini Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama Menggigit dan mengunyah teratur berirama
Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini Bagai ikan kekurangan air dan zat asam Beratus juta kita menggelepar menggelinjang Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya Meminjam kepeng ke mancanegara Dari membuat peniti dua senti Sampai membangun kilang gas bumi Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi
Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami Kalian lah yang membuat kami jadi begini Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini
1998
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya, Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat, sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Paris, 1971
Langit akhlak telah roboh di atas negeri Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri Karena hukum tak tegak, semua jadi begini Negeriku sesak adegan tipu-menipu Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku
Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku
Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan
Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan Berjuta belalang menyerang lahan pertanian Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan
Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api
Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri
Kukenangkan tahun 47 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri Seluruh korban empat tahun revolusi Dengan Mei 98 jauh beda, jauh kalah ngeri Aku termangu mengenang ini Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri
Ada burung merpati sore melayang Adakah desingnya kau dengar sekarang Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?
Ada burung merpati sore melayang Adakah desingnya kau dengar sekarang
1998
Taufiq Ismail
Dengan rasa rindu kukenang pemilihan umum setengah abad yang lewat
Waktu itu tak dikenal singkatan jurdil, istilah jujur dan adil
Jujur dan adil tak diucapkan, jujur dan adil cuma dilaksanakan
ditumpahkan
Pada waktu itu tidak sebuah mobil pun digulingkan lalu dibakar
Pada waktu itu tidak sebuah pun bangunan disulut api berkobar
keganasan
sopan
Bangsaku.
2004
Taufiq Ismail
Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu Bersama beberapa ribu kawanmu Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju
Bersama-sama membuka sejarah halaman satu Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu Sampai kini sejak kau lahir dahulu Inilah pengakuan generasi kami, katamu Hasil penataan dan penataran yang kaku Pandangan berbeda tak pernah diaku Daun-daun hijau dan langit biru, katamu Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu Maka kami bergeraklah kini, katamu Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu.
1998
Taufiq Ismail
Tidak ada pilihan lain. Kita harus Berjalan terus Karena berhenti atau mundur Berarti hancur.
Apakah akan kita jual keyakinan kita Dalam pengabdian tanpa harga Akan maukah kita duduk satu meja Dengan para pembunuh tahun lalu Dalam setiap kalimat yang berakhiran "Duli Tuanku?"
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan Mengacungkan tangat untuk oplet dan bus yang penuh Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
1966
diambil dari buku Tirani dan Benteng (Yayasan Ananda, Jakarta, 1993, halaman 113)
Saudara-kandungku pulang perang, tangannya merah Kedua pundak landai tiada tulang selangka
Dia tegak goyah, pandangnya pada kami satu-satu Aku tahu kau kembali jua anakku
Tiba-tiba dia roboh di halaman dia kami papah Ibu pun perlahanmengusapi dahinya tegar Tanganku amis ibu, tanganku berdarah Aku tahu kau kembali jua anakku
Siang itu dia tergolek ibu, lekah perutnya Aku tak membidiknya, tapi tanganku bersimbah Tunduk terbungkuk matanya sangat papa Kami sama rebah, kupeluk dia di tanah
Kauketuk sendiri ambang dadamu anakku Usapkan jemari sudah berdarah Simpan laras bedil yang memerah Kutahu kau kembali jua anakku
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga Ke Wisconsin aku dapat beasiswa Sembilan belas lima enam itulah tahunnya Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya, Whitefish Bay kampung asalnya Kagum dia pada revolusi Indonesia Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya Dadaku busung jadi anak Indonesia Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy Dan mendapat Ph.D. dari Rice University Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army Dulu dadaku tegap bila aku berdiri Mengapa sering benar aku merunduk kini
II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak Hukum tak tegak, doyong berderak-derak Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak, Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza Berjalan aku di Dam, Champs lyses dan Mesopotamia Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata Dan kubenamkan topi baret di kepala Malu aku jadi orang Indonesia.
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu, Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan, Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari, Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal, anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden, menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati, agar orangtua mereka bersenang hati, Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan, Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak utus dilarang-larang, Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat belanja modal raksasa, Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah, ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat, Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman, Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja, fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar, Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor pertandingan yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja, Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng, Nipah, Santa Cruz dan Irian, ada pula pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan, dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak Hukum tak tegak, doyong berderak-derak Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak, Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza Berjalan aku di Dam, Champs lyses dan Mesopotamia Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata Dan kubenamkan topi baret di kepala Malu aku jadi orang Indonesia.
1998
Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang Jangan kau kecewa, Hadi
Setiap perjuangan yang akan menang Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian Dan para jagoan kesiangan
1966
Oleh :
Taufiq Ismail
yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan fondasinya batu karang dan pualam pilihan atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan dan kubahnya tembus pandang, berkilauan digosok topan kutub utara dan selatan
Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran dengan warna platina dan keemasan berbentuk daun-daunan sangat beraturan serta sarang lebah demikian geometriknya ranting dan tunas jalin berjalin bergaris-garis gambar putaran angin
Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya menyentuh lapisan ozon dan menyeru azan tak habis-habisnya membuat lingkaran mengikat pinggang dunia kemudian nadanya yang lepas-lepas disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas yang memperindah ratusan juta sajadah
Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya engkau berjalan sampai waktu asar tak bisa kau capai saf pertama sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu bershalatlah di mana saja di lantai masjid ini, yang luas luar biasa
Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian yang menyimpan cahaya matahari kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita
Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya tempat orang-orang bersila bersama dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan dalam simpul persaudaraan yang sejati dalam hangat sajadah yang itu juga terbentang di sebuah masjid yang mana
Tumpas aku dalam rindu Mengembara mencarinya Di manakah dia gerangan letaknya ?
Pada suatu hari aku mengikuti matahari ketika di puncak tergelincir dia sempat lewat seperempat kuadran turun ke barat dan terdengar merdunya azan di pegunungan dan aku pun melayangkan pandangan mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan dia berkata :
dia menunjuk ke tanah ladang itu dan di atas lahan pertanian dia bentangkan secarik tikar pandan kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran airnya bening dan dingin mengalir beraturan tanpa kata dia berwudhu duluan aku pun di bawah air itu menampungkan tangan ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan hangat air terasa, bukan dingin kiranya demikianlah air pancuran bercampur dengan air mataku yang bercucuran.
Jika adalah yang harus kaulakukan Ialah menyampaikan kebenaran Jika adalah yang tidak bisa dijual-belikan Ialah ang bernama keyakinan
Jika adalah yang harus kau tumbangkan Ialah segala pohon-pohon kezaliman Jika adalah orang yang harus kauagungkan Ialah hanya Rasul Tuhan Jika adalah kesempatan memilih mati Ialah syahid di jalan Ilahi
April, 1965
Sebuah orde tenggelam sebuah orde timbul tapi selalu saja ada suatu lapisan masyarakat di atas gelombang itu selamat Mereka tidak mengalami guncangan yang berat Yang selalu terapung di atas gelombang Seseorang dianggap tak bersalah sampai dia dibuktikan hukum bersalah Di negeri kami ungkapan ini begitu indah Kini simaklah sebuah kisah Seorang pegawai tinggi gajinya satu setengah juta rupiah Di garasinya ada Volvo hitam, BMW abu-abu,
Honda metalik, dan Mercedes merah Anaknya sekolah di Leiden, Montpellier dan Savana Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan macam-macam indah Setiap semester ganjil istri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura
Setiap semester genap istri gelapnya liburan di Eropa dan Afrika Anak-anaknya .... Anak-anaknya pegang dua pabrik, tiga apotik dan empat biro jasa Selain sepupu dan kemenakannya buka lima toko onderdil, lima biro iklan, dan empat pusat belanja. Ketika rupiah anjlok terperosok, kepeleset macet dan hancur jadi bubur, dia, hah! dia ketawa terbahak-bahak karena depositonya dolar Amerika semua Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit Barat, jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat Krisis makin menjadi-jadi Di mana-mana orang antri Maka 100 kotak kantong plastik hitam dia bagi-bagi Isinya masing-masing: Lima genggam beras, empat cangkir minyak goreng, dan tiga bungkus mie cepat jadi. Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi dan masuk koran halaman lima pagi sekali Gelombang mau datang, Datang lagi gelombang setiap bah air pasang
Dia senantiasa terapung di atas banjir bandang Banyak orang tenggelam toh mampu timbul lagi lalu ia berkata sambil berdiri: Yaaa... masing-masing kita kan punya sejeki sendiri-sendiri Seperti bandul jam bergoyang-goyang kekayaan misterius mau diperiksa Kekayaan... tidak jadi diperiksa Kakayaan... mau diperiksa Kekayaan... tidak jadi diperiksa Kekayaan... mau diperiksa Kekayaan... tidak jadi diperiksa Kekayaan... harus diperiksa Kekayaan... tidak jadi diperiksa (Dibacakan di beberapa pentas baca puisi di Jakarta)
Rindu Pada Stelan Jas Putih dan Pantalon Putih Bung Hatta
(Dibacakan oleh Taufiq Ismail pada: Acara Deklarasi Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi, Sumatera Barat, di Asrama Haji, Tabing, Padang, tgl. 15 Ramadhan 1424 H/10 Nopember 2003 M)
I. Di awal abad 21, pada suatu Subuh pagi aku berjalan kaki di Bukittinggi, Hampir tak ada kabut tercantum di leher Singgalang dan Merapi, yang belum
dilangkahi matahari,
Lalu lintas kota kecil ini dapat dikatakan masih begitu sunyi,
Menurun aku di Janjang Ampek Puluah, melangkah ke Aue Tajungkang, berhenti aku di depan rumah kelahiran Bung Hatta,
Di rumah beratap seng nomor 37 itulah, di awal abad 20, lahir seorang bayi laki-laki yang kelak akan menuliskan alphabet cita-cita bangsa di langit pemikirannya dan merancang peta Negara di atas prahara sejarah manusianya,
Dia tak suka berhutang. Sahabat karibnya, Bung Karno, kepada gergasi-gergasi dunia itu bahkan berteriak, "Masuklah kalian ke neraka dengan uang yang kalian samarkan dengan nama bantuan, yang pada hakekatnya hutang itu".
Suara lantang 39 tahun yang silam itu terapung di Ngarai Sianok, hanyut di Kali Brantas, menyelam di Laut Banda, melintas di Selat Makassar, hilang di arus Sungai Mahakam, kemudian tersangkut di tenggorokan 200 juta manusia,
Dua ratus juta manusia itu, terbelenggu rantai hutang di tangan dan kaki, di abad kini. Petinggi negeri di lobi kantor Pusat Pegadaian Dunia duduk
antri, membawa kaleng kosong bekas cat minta sekedarnya diisi. Setiap mereka pulang, hutang menggelombang, setiap bayi lahir langsung dua puluh juta rupiah berkalung hutang, baru akan lunas dua generasi mendatang.
II. Jalan kaki pagi-pagi di Bukittinggi, aku merenung di depan rumah beratap seng di Aue Tajungkang nomor 37 ini, yang di awal abad 20 lalu tempat lahir seorang bayi laki-laki
Aku mengenang negarawan jenius ini dengan rasa penuh hormat karena rangkaian panjang mutiara sifat: tepat waktu, tunai janji, ringkas bicara, lurus jujur, hemat serta bersahaja,
Angku Hatta, adakah garam sifat-sifat ini masuk ke dalam sup kehidupanku? Kucatat dalam puisiku, Angku lebih suka garam dan tak gemar gincu. Tujuh windu sudah berlalu, aku menyusun sebuah senarai perasaan rindu,
Rindu pada sejumlah sifat dan nilai, yang kini kita rasakan hancur bercerai-berai,
Kesatuan sebagai bangsa, rasa bersama sebagai manusia Indonesia, ikatan sejarah dengan pengalaman derita dan suka, inilah kerinduan yang luput dari sekitar kita,
Kita rindu pada penampakan dan isi jiwa bersahaja, lurs yang tabung, waktu yang tepat berdentang, janji yang tunai, kalimat yang ringkas padat, tata hidup yang hemat,
Tiba-tiba kita rindu pada Bung Hatta, pada stelan jas putih dan pantaloon putihnya, symbol perlawanan pada disain hedonisme dunia, tidak sudi berhutang, kesederhanaan yang berkilau gemilang,
Kesederhanaan. Ternyata aku tak bisa hidup bersahaja. Terperangkap dalam krangkeng baja materialisme, boros dan jauh dari hemat, agenda serba bendaku ditentukan oleh merek 1000 produk impor, iklan televise dan gaya hidup imitasi,
Bicara ringkas. Susah benar aku melisankan fikiran secara padat. Agaknya genetika Minang dalam rangkaian kromosomku mendiktekan sifat bicaraku yang berpanjang-panjang. Angk Hatta, bagaimana Angku dapat bicara ringkas dan padat? Teratur dan apik? Aku mengintip Angku pada suatu makan siang di Jalan Diponegoro, yang begitu tertib dan resik,
Tepat waktu. Bung Hatta adalah tepat waktu untuk sebuah bangsa yang selalu terlambat. Dari seribu rapat, sembilan ratus biasanya telat. Kegiatanku yang tepat waktu satu-satunya ialah ketika berbuka puasa.
Kelurusan dan kejujuran. Pertahanan apa yang mesti dibangun di dalam sebuah pribadi supaya orang bisa selalu jujur? Jujur dalam masalah rezeki, jujur kepada isteri, jujur kepada suami, jujur kepada diri sendiri, jujur kepada orang banyak, yang bernama rakyat? Rakyat yang di tipu terus-menerus itu.
Ketika kita rindu bersangatan kepada sepasang jas putih dan pantaloon putih itu, kita mohonkan kepada Tuhan, semoga nilai-nilai dan sifat-sifat luhur yang telah hancur berantakan, kepada kita utuh dikembalikan.
III.
Jalan kaki pagi-pagi di Bukittinggi, di depan rumah beratap seng di Aue Tajungkang nomor 37 ini aku menengok ke kanan dan ke kiri, kemudian aku masuk ke dalamnya, dan di ruang tamu menatap potret dinding aku berdiri,
Tampaklah Bung Hatta di antara rakyat banyak dalam gambar itu. Tiba-tiba Bung Hatta keluar dari gambar sepia itu.
Aku tergagap bicara. ^Angku, mangadu ambo kini. Angku, saya mengadu kini. Krisis berlapis-lapis bagaikan tak habis-habis. Krisis ekonomi, politik, penegakan hokum, pendidikan, pengangguran, kemiskinan, keamanan, kekerasan, pertumpahan darah, pemecah-belahan, dan di atas semua itu, krisis akhlak bangsa,
"Otoritarianisme panjang menyuburkan perilaku materialistic, tamak, serakah, tipu-menipu, konspiratif, mengutamakan keluarga dekat, memenangkan golongan sendiri, dan tingkah laku feodalistik,
Krisis nilai luhur merubah potret wajah bangsa menjadi anarkis, bringas, ganas, tak bersedia kalah, tak segan memfitnah, memaksakan kehendak, pendendam, perusak, pembakar dan pembunuh. Kekerasan, api, batu, peluru, puing mayat, asap dan bom sampai ke seluruh muka bumi,
Tetapi tentang bom itu, nanti dulu. Sepuluh dua puluh tahun lagi, lihat, akan terungkap apa sebenarnya sandiwara besar skenario dunia yang dipaksakan hari ini. Mentang-mentang.
Aku menarik nafas. Bung Hatta diam. Tak ada senyum di wajahnya Angku Hatta. Harga apa saja di Indonesia naik semua, kecuali satu. Harga nyawa. Nyawa murah dan luar biasa jatuh nilainya. Di setiap demo orang mati. Tahanan polisi gampang mati. Pencuri motor dibakar mati. Anak-anak sekolah belasan tahun dalam tawuran, tanpa rasa salah dengan
ringan membunuh temannya lain sekolah. Mahasiswa senior yang garang menggasak, menggampar, menyiksa juniornya sampai mati. Tahun depan pembunuhan di kampus lain di ulang lagi. Dendam dipelihara dan diturunkan"
Alkohol, nikotin, judi, madat, putau, ganja dan sabu-sabu telah meruyak dan mencengkeram negeri kita, mudah dibeli di tepi jalan, di sekolah, di mana-mana. Indonesia telah menjadi sorga pornografi paling murah di dunia. Dengan uang sepuluh ribu anak SLTP dengan mudah bisa membeli VCD coitus lelaki-perempuan kulit putih 60 menit, 6 posisi dan 6 warna. Anak-anak SD membaca komik cabul dari Jepang. Di televisi peselingkuhan dianjurkan dan diajarkan."
Gelombang hidup permisif, gaya serba boleh ini melanda penulis-penulis pula.
Penulis-penulis perempuan, muda usia, berlomba mencabul-cabulkan karya, asyik menggarap wilayah selangkang dan sekitarnya dan kompetisi Gerakan Syahwat Merdeka. Betapa tekun mereka melakukan rekonstruksi dan dekonstruksi daftar instruksi posisi syahwat selangkangan abad 21 yang posmo perineum ini.
Dari uap alkohol, asap nikotin dan narkoba, dari bau persetubuhan liar 20 juta keeping VCD biru, dari halaman-halaman komik dan buku cabul menyebar hawa lendir yang mirip aroma bangkai anak tikus terlantar tiga hari di selokan pasar desa ke seluruh negeri.
Aku melihat orang-orang menutup hidung dan jijik karenanya. Jijik. Malu aku memikirkannya"
Jan aku tenan isin sakpore, sakpore, isin buanget dadi wong Indonesia, Lek asane dadi nak Indonesia,
Malu aku jadi orang Indonesia. (*) Bahasa Jawa, Bali, Bugis, Sunda dan Minangkabau.
Aku berhenti bicara. Bung Hatta masih tetap diam. Matanya merenung sangat jauh. Tiba-tiba bayangan wajahnya menghilang.
IV Indonesia tersaruk-saruk. Terpincang-pincang dan sempoyongan, Dicambuki krisis demi krisis seperti tak habis-habis. Indonesia kini sedang menangis. Dari status Negeri Cobaan, Dia turun derajat menjadi Negeri Azab, Dan kini sedang bergerak merosot kearah Negeri Kutukan. Indonesia tak habis-habis menangis.
Kusut, masai, Nestapa, duka, Pengap dan gelap. Dari dalam sumur berlumpur ini, Dari dasar tubir yang menyesakkan nafas ini Kami menengadah ke atas, Masih melihat sepotong langit Dan mengharapkan cahaya. Kami tetap berikhtiar, Terus bekerja keras Seraya menggumamkan doa.
Tuhan, Jangan biarkan negeri kami Yang kini sudah menjadi Negeri Azab, Bergerak merosot kea rah Negeri Kutukan.
SALEMBA
Alma Mater, janganlah bersedih Bila arakan ini bergerak pelahan Menuju pemakaman Siang ini
1966
Sebuah jaket berlumur darah Kami semua telah menatapmu Telah berbagi duka yang agung Dalam kepedihan berahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita Di bawah terik matahari Jakarta Antara kebebasan dan penindasan Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang Seraya mengucapkan 'Selamat tinggal perjuangan' Berikrar setia kepada tirani Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Pesan itu telah sampai kemana-mana Melalui kendaraan yang melintas Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa Prosesi jenazah ke pemakaman Mereka berkata Semuanya berkata LANJUTKAN PERJUANGAN
1966
Umat miskin dan penganggur berdiri hari ini Seratus juta banyaknya Di tengah mereka tak tahu akan berbuat apa
Kini kutundukkan kepala, karena Ada sesuatu besar luar biasa Hilang terasa dari rongga dada Saudaraku yang sirna nafkah, tanpa kerja berdiri hari ini Seratus juta banyaknya Kita mesti berbuat sesuatu, betapun sukarnya.
1998
Ini bicara blak-blakan saja, bang Buka kartu tampak tampang Sehingga semua jelas membayang Monoloyalitas kami
sebenarnya pada uang Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara Koyak tampak terkubak semua Sehingga buat apa basi dan basa Sila kami Keuangan Yang Maha Esa Jangan sungkan buat apa yah-payah Analisa psikis toh cuma kwasi ilmiah Tak usahlah sah-susah Ideologiku begitu jelas ideologi rupiah Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan Setiap jeroan berjajar kelihatan Sehingga jelas sebagai keseluruhan Asas tunggalku memang keserakahan.
1998
Mahasiswa takut pada dosen Dosen takut pada dekan Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri Menteri takut pada presiden Presiden takut pada mahasiswa takut '66, takut '98 - 1998
(1998)
Sekali datang
(1958)
Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,
Di sawah petani merokok, di pabrik pekerja merokok, di kantor pegawai merokok, di kabinet menteri merokok, di reses parlemen anggota DPR merokok, di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara-perwira nongkrong merokok, di perkebunan pemetik buah kopi merokok, di perahu nelayan penjaring ikan merokok, di pabrik petasan pemilik modalnya merokok, di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,
Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok, di ruang kepala sekolah ada guru merokok, di kampus mahasiswa merokok, di ruang kuliah dosen merokok, di rapat POMG orang tua murid merokok, di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok,
Di angkot Kijang penumpang merokok, di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok, di loket penjualan karcis orang merokok, di kereta api penuh sesak orang festival merokok, di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok, di andong Yogya kusirnya merokok, sampai
Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,
Di pasar orang merokok, di warung Tegal pengunjung merokok, di restoran di toko buku orang merokok, di kafe di diskotik para pengunjung merokok,
Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan abab rokok, bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok,
Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS,
Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena,
merokok, di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok, di ruang tunggu dokter pasien merokok, dan ada juga dokter-dokter merokok,
Istirahat main tenis orang merokok, di pinggir lapangan voli orang merokok, menyandang raket badminton orang merokok, pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok, panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,
Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil 'ek-'ek orang goblok merokok, di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok, di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,
Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa. Mereka ulama ahli hisap. Haasaba, yuhaasibu, hisaaban. Bukan ahli hisab ilmu falak, tapi ahli hisap rokok. Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, ke mana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99
butirnya,
Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri. Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?
Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu. Mamnu'ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz. Kyai, ini ruangan ber-AC penuh. Haadzihi al ghurfati malii'atun bi mukayyafi al hawwa'i. Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok. Laa taqtuluu anfusakum.
Min fadhlik, ya ustadz. 25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan. 4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?
Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu 'alayhimul khabaaith. Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama. Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan,
Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini. Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu
ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir. Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk,
Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas, lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba,
Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita, jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya,
Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku' dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,
Seseorang dianggap tak bersalah, sampai dia dibuktikan hukum bersalah. Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. Kini simaklah sebuah kisah,
Seorang pegawai tinggi, gajinya sebulan satu setengah juta rupiah, Di garasinya ada Honda metalik,Volvo hitam, BMW abu-abu, Porsche biru dan Mercedes merah. Anaknya sekolah di Leiden, Montpelier dan Savannah. Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan Macam Macam Indah, Setiap semester ganjil, isteri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura. Setiap semester genap, isteri gelap liburan di Eropa dan Afrika,
tiga apotik dan empat biro jasa. Saudara sepupu dan kemenakannya punya lima toko onderdil, enam biro iklan dan tujuh pusat belanja, Ketika rupiah anjlok terperosok, kepleset macet dan hancur jadi bubur, dia ketawa terbahak- bahak karena depositonya dalam dolar Amerika semua. Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit barat, jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat,
Krisis makin menjadi-jadi, di mana-mana orang antri, maka seratus kantong plastik hitam dia bagi-bagi. Isinya masing-masing lima genggam beras, empat cangkir minyak goreng dan tiga bungkus mi cepat-jadi. Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi, dan masuk berita koran Jakarta halaman lima pagi-pagi sekali,
Gelombang mau datang, datanglah gelombang, setiap air bah pasang dia senantiasa terapung di atas banjir bandang. Banyak orang tenggelam tak mampu timbul lagi, lalu dia berkata begini,
Seperti bandul jam tua yang bergoyang kau lihatlah: kekayaan misterius mau diperiksa, kekayaan tidak jadi diperiksa, kekayaan mau diperiksa, kekayaan tidak diperiksa, kekayaan harus diperiksa, kekayaan tidak jadi diperiksa. Bandul jam tua Westminster, tahun empat puluh satu diproduksi, capek bergoyang begini, sampai dia berhenti sendiri,
Kemudian ide baru datang lagi, isi formulir harta benda sendiri, harus terus terang tapi, dikirimkan pagi-pagi tertutup rapi, karena ini soal sangat pribadi, Selepas itu suasana hening sepi lagi, cuma ada bunyi burung perkutut sekali-sekali, Seseorang dianggap tak bersalah, sampai dia dibuktikan hukum bersalah.
Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. Bagaimana membuktikan bersalah, kalau kulit tak dapat dijamah. Menyentuh tak bisa dari jauh, memegang tak dapat dari dekat,
Karena ilmu kiat, orde datang dan orde berangkat, dia akan tetap saja selamat, Kini lihat, di patio rumahnya dengan arsitektur Mediterania, seraya menghirup teh nasgitel dia duduk menerima telepon dari isterinya yang sedang tur di Venezia, sesudah menilai tiga proposal, dua diskusi panel dan sebuah rencana rapat kerja,
Sementara itu disimaknya lagu favorit My Way, senandung lama Frank Sinatra yang kemarin baru meninggal dunia, ditingkah lagu burung perkutut sepuluh juta dari sangkar tergantung di atas sana
1998