Anda di halaman 1dari 19

http://kabar-pendidikan.blogspot.

com
Inovasi dilakukan apabila guru benar-benar menyakini bahwa pembaharuan itu memang harus dilakukan dan diperlukan. Berbicara mengenai inovasi (pembaharuan) mengingatkan kita pada istilah invention dan discovery. Invention adalah penemuan sesuatu yang benar-benar baru artinya hasil karya manuasia. Discovery adalah penemuan sesuatu (benda yang sebenarnya telah ada sebelumnya. Dengan demikian, inovasi dapat diartikan usaha menemukan benda yang baru dengan jalan melakukan kegiatan (usaha) invention dan discovery. Dalam kaitan ini Ibrahim (1989) mengatakan bahwa inovasi adalah penemuan yang dapat berupa sesuatu ide, barang, kejadian, metode yang diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat). Inovasi dapat berupa hasil dari invention atau discovery. Inovasi dilakukan dengan tujuan tertentu atau untuk memecahkan masalah (Subandiyah, 1992:80). Sehingga inovasi kurikulum adalah suatu gagasan atau praktek kurikulum baru dengan mengadopsi bagian-bagian yang potensial dari kurikulum tersebut dengan tujuan untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan tertentu. Inovasi sendiri terkait dengan pengambilan keputusan yang diambil, baik menerima bahkan menolak hasil dari inovasi. Ibrahim (1988: 71-73) menyebutkan bahwa tipe keputusan inovasi pendidikan termasuk didalamnya inovasi kurikulum dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: 1. Keputusan inovasi pendidikan opsional, yang mana pemilihan menerima atau menolak inovasi berdasarkan keputusan yang ditentukan oleh individu secara mandiri tanpa tergantung atau terpengaruh dorongan anggota sosial lain; 2. Keputusan inovasi pendidikan kolektif, yang mana pemilihan menerima dan menolak inovasi berdasarkan keputusan yang dibuat secara bersama atas kesepakatan antar anggota sistem sosial; 3. Keputusan inovasi pendidikan otoritas, yang mana pemilihan untuk menerima dan menolak inovasi yang dibuat oleh seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai kedudukan, status, wewenang dan kemapuan yang lebih tinggi daripada anggota lain dalam sistem sosial; 4. Keputusan inovasi pendidikan kontingen, yang mana pemilihan untuk menerima atau menolak keputusan inovasi pendidikan baru dapat dilakukan setelah ada keputusan yang mendahuluinya.

Dipublikasikan Oleh: M. Asrori Ardiansyah, M.Pd Pendidik di Malang

Pengembangan Strategi Pembelajaran yang Inovatif


-Ads LinkUntuk mencapai pembelajaran yang berkualitas/unggul, maka perlu dirancang strategi yang inovatif. Pembelajaran Unggul adalah proses belajar mengajar yang kembangkan dalam rangka membelajarkan semua siswa berdasarkan tingkat keunggulannya untuk menjadikannya beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menguasi ilmu pengetahuan dan teknologi secara mandiri namun dalam kebersamaan, mampu menghasilkan karya yang terbaik dalam menghadapi persaigan pasar bebas. Merujuk pada konsepsi di atas, perlu ditegaskan bahwa pembelajaran unggulan bukanah pembelajaran yang secara khusus dirancang dan dikembangkan hanya untuk siswa yang unggul

darisisi akademik semata, melainkan lebih merupakan pembelajaran yang secara metodologis maupun psikologis dapat membuat semua siswa mengalami belajar secara maksimal dengan memperhatikan kapasitasnya masing-masing. Menurut Bafadhal ada tiga indikator pembelajaran unggulan. Pertama, pembelajaran unggulan apabila dapat melayani semua siswa (bukan hanya pada sebagian siswa). Kedua, dalam pembelajaran unggulan semua anak mendapatkankan pengalaman belajar semaksimal mungkin. Ketiga, walaupun semua siswa mendapatkan pengalaman belajar maksimal, prosesnya sangat bervariasi bergantung pada tingkat kemampuan anak yang bersangkutan. Dengan demikian, pembelajaran yang unggul berpusat pada siswa (student center). Untuk menciptakan proses belajar yang unggul/ berkualitas dalam pembelajaran fullday, maka perlu dikembangkan strategi khusus yang membuat siswa termotivasi untuk belajar dan selalu merasakan kesenangan dalam belajarnya. Dalam mengembangkan strategi belajar yang demikian, siswa menjadi pusat perhatian utama. Dewasa ini, pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center) lebih dikenal dengan istilah PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Pembelajaran Aktif Pembelajaran aktif merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang lebih banyak melibatkan aktivitas peserta didik dalam mengakses berbagai informasi dan pengetahuan untuk dibahas dan dikaji dalam pembelajaran di kelas, sehingga mereka mendapatkan berbagai pengalaman yang dapat meningkatkan pemahaman dan kompetensinya. Lebih dari itu, pembelajaran aktif memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi, seperti menganalisis dan mensintesis, serta melakukan penilaian terhadap berbagai peristiwa belajar dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran aktif memiliki persamaan dengan model pembelajaran self discovery learning, yakni pembelajaran yang dilakukan pesereta didik untuk menanyakan kesimpulan sendiri sehingga dapat menjadikan nilai baru yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran aktif guru dapat memposisikan dirinya sebagai fasilisator yang bertugas memberikan kemudahan belajar (to facilitate of learning) kepada peserta didik. Peserta didik terlibat secara aktif dan banyak berperan dalam proses pembelajaran, sedangkan guru lebih banyak memberikan arahan, bimbingan, serta mengatur sirkulasi proses pembelajaran. 2) Pembelajaran Kreatif Pembelajaran kreatif mengharuskan guru dapat memotivasi dan memunculkan kreativitas peserta didik selama pembelajaran berlangsung, dengan menggunakan beberapa metode atau strategi yang bervariasi misalnya kerja kelompok, bermain peran dan memecahkan masalah. Pembelajaran kreatif menuntut guru untuk mampu merangsang kreativitas peserta didik, baik dalam mengembangkan kecakapan dalam berefikir maupun dalam melakukan suatu tindakan. Berfikir kreatif selalu dimulai dengan berfikir kritis, yakni menemukan dan melahirkan sesuatu yang sebelumnya tidak ada atau memperbaiki sesuatu. Berfikir kreatif harus dikembangkan dalam proses pembelajaran, agar peserta didik terbiasa dalam mengembangkan kreativitasnya. Sedangkan menurut Campbell, kreatif mengandung arti inovatif, belum ada sebelumnya, segar, menarik, aneh, dan mengejutkan. Selain itu kreatif adalah berguna, memiliki lebih baik, praktis, mempermudah, memperlancar, mengembangkan, mendidik memecahkan masalah, mengatasi kesulitan, mendatangkan hasil yang baik, dapat dimengerti. 3) Pembelajaran Efektif Pembelajaran dapat dikatakan efektif jika mampu memberikan pengalaman baru, membentuk

kompetensi peserta didik, serta mengantarkan mereka ketujuan yang ingin dicapai secara optimal. Hal ini dapat dicapai dengan melibatkan peserta didik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran, peserta didik harus melibatkan secara penuh agar bergairah dalam pembelajaran, sehingga pembelajaran benar-benar kondusif dan terarah pada tujuan dan pembentukan kompetensi peserta didik. Pembelajaran efektif menuntut keterlibatan peserta didik secara aktif, karena mereka merupakan pusat kegiatan pembelajaran dan pembentukan kompetensi. Peserta didik harus didorong untuk menafsirkan informasi yang disajikan oleh guru sampai informasi tersebut dapat diterima oleh akal sehat. Dalam pelaksanaannya, memelukan proses pertukaran pikiran, diskusi dan perdebatan dalam rangka pencapaian pemahaman yang sama terhadap materi standar. Pembelajaran yang efektif harus ditunjang dengan lingkungan memadai, dari situ guru harus mampu mengelola tempat belajar dengan baik, mengelola peserta didik, mengelola kegiatan pembelajaran, mengelola isi atau materi pembelajaran dan mengelola sumber-sumber belajar seperti modul dan diktat. 4) Pembelajaran Menyenangkan Pembelajaran menyenangkan (joy instruction) merupakan suatu proses pembelajaran yang di dalamnya terdapat sebuah kohesi yang kuat antara pendidik dan peserta didik, tanpa ada perasaan terpaksa atau tertekan (not under pressure). Dengan kata lain, pembelajaran yang menyenangkan adalah adanya hubungan yang baik antara peserta didik dan pendidik dalam posisi pembelajaran. Guru memposisikan diri sebagai mitra belajar peserta didik dalam proses pembelajaran, bahkan dalam hal tertentu tidak menutup kemungkinan guru belajar dari peserta didiknya. Hal ini disebabkan karena pesatnya perkembangan teknologi informasi sehingga memungkinkan siswa dapat memperoleh informasi lebih cepat dari pada gurunya. Sehingga dalam hal ini perlu diciptakan suasana yang demokratis, dan tidak ada beban baik bagi guru maupun bagi peserta didik dalam melakukan proses pembelajaran. Untuk mewujudkan proses pembelajaran yang menyenangkan, guru harus mampu merancang pembelajaran yang baik, memilih materi yang tepat, serta memilih dan mengembangkan strategi yang dapat melibatkan peserta didik secara optimal. Bambang Ari Sugianto, fasilitator Managing Basic Education Bahasa Inggris, menyatakan bahwa pembelajaran yang menyenangkan berarti siswa asyik terlibat dalam proses pembelajaran karena penugasan yang diberikan guru menantang, sesuai dengan kebutuhannya serta berada dalam dunianya. Di lain pihak siswa merasa nyaman karena tidak dimarahi atau dicemooh ketika siswa membuat kesalahan sehingga berani berbeda dan tidak takut membuat kesalahan terutama di dalam kelas. Semua stretegi tersebut dirancang agar tujuan pendidikan khususnya pendidikan agama dapat dicapai secara optimal. Di saat pembelajaran PAI di sekolah umum dihadapkan pada berbagai problem seperti terbatasnya alokasi waktu, heterogennya pemahaman siswa tentang agama sampai pada immage yang miring tentang pelajaran agama, maka model pembelajaran PAKEM akan menjadi salah satu solusi efektif. Lebih dari itu, menurut Muhaimin, pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius di sekolah dapat dilakukan melalui dua strategi, yaitu: bersifat vertikal dan horisontal. Pertama, penciptaan budaya religius yang bersifat vertikal dapat diwujudkan dalam bentuk meningkatkan hubungan dengan Allah SWT melalui peningkatan secara kuantitas maupun kualitas kegiatan-kegiatan keagamaan di sekolah yang bersifat ubudiyah, seperti: sholat berjamaah, puasa Senin Kamis, khotmul Quran, doa bersama dan lain-lain.

Kedua, penciptaan budaya religius yang bersifat horizontal yaitu lebih mendudukkan sekolah sebagai institusi sosial religius, yang jika dilihat dari struktur hubungan antar manusianya, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga hubungan yaitu: (1) hubungan atasan-bawahan, (2) hubungan profesional, (3) hubungan sederajat atau sukarela yang didasarkan pada nilai-nilai religius, seperti: persaudaraan, kedermawanan, kejujuran, saling menghormati dan sebagainya. Pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah yang bersifat horizontal tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan pembiasaan, keteladanan dan pendekatan persuasif atau mengajak kepada warga sekolah dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan mereka. Sikap kegiatannya berupa proaksi, yakni membuat aksi atas inisiatif sendiri, jenis dan arah ditentukan sendiri, tetapi membaca munculnya aksi-aksi agar dapat ikut memberi warna dan arah pada perkembangan nilai-nilai religiusitas di sekolah. Bisa pula berupa antisipasi, yakni tindakan aktif menciptakan situasi dan kondisi ideal agar tercapai tujuan idealnya. Secara lebih terperinci, strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah, menurut Muhaimin dapat dilakukan melalui empat pendekatan, yaitu: Pertama, pendekatan struktural, yaitu strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah sudah menjadi komitmen dan kebijakan pimpinan sekolah, sehingga lahirnya berbagai peraturan atau kebijakan yang mendukung terhadap lahirnya berbagai kegiatan keagamaan di sekolah beserta berbagai sarana dan prasarana pendukungnya termasuk dari sisi pembiayaan. Dengan demikian pendekatan ini lebih bersifat top down yakni kegiatan keagamaan yang dibuat atas prakarsa atau instruksi dari pejabat atau pimpinan sekolah. Kedua, pendekatan formal, yaitu strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah dilakukan melalui pengoptimalan kegiatan belajar mengajar (KBM) mata pelajaran PAI di sekolah yang setiap minggu untuk sekolah negeri ditetapkan dua jam pelajaran. Dengan demikian, dalam pendekatan formal ini, guru PAI mempunyai peran yang lebih banyak dibanding guru-guru mata pelajaran yang lain. Karena bagaimana meningkatkan kualitas mutu pembelajaran PAI di kelas sepenuhnya merupakan tanggungjawab guru PAI termasuk kegiatan ko-kurikuler pendukungnya. Ketiga, pendekatan mekanik, yaitu strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah didasari oleh pemahaman bahwa kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masingmasing bergerak dan berjalan menurut fungsinya. Masing-masing gerak bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemenelemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak dapat berkonsultasi. Pendekatan mekanik ini di sekolah dapat diwujudkan dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan ekstrakurikuler bidang agama. Artinya dengan semakin menyemarakkan berbagai kegiatan ekstrakurikuler bidang agama di sekolah, warga sekolah khususnya para siswa tidak hanya memahami PAI secara kurikuler di kelas saja, namun juga diwujudkan dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang saling terintegrasi dengan kegiatan sekolah lainnya. Dalam pendekatan mekanik ini, pengurus OSIS khususnya bidang agama memiliki peran penting dalam pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah. Keempat, pendekatan organik, yaitu penciptaan suasana religius yang disemangati oleh adanya pandangan bahwa pendidikan agama adalah kesatuan atau sebagai sistem sekolah yang berusaha mengembangkan pandangan atau semangat hidup agamis, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup, perilaku dan keterampilan hidup yang religius dari seluruh warga sekolah. Artinya strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah sudah menjadi komitmen dan mendapat dukungan dari seluruh warga sekolah.

Sedangkan menurut Tasfir, strategi yang dapat dilakukan oleh para praktisi pendidikan untuk membentuk budaya religius sekolah, diantaranya melalui: (1) memberikan contoh (teladan); (2) membiasakan hal-hal yang baik; (3) menegakkan disiplin; (4) memberikan motivasi dan dorongan; (5) memberikan hadiah terutama psikologis; (6) menghukum (mungkin dalam rangka kedisiplinan); (7) penciptaan suasana religius yang berpengaruh bagi pertumbuhan anak. Dengan demikian secara umum ada empat komponen yang sangat mendukung terhadap keberhasilan strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah, yaitu: pertama, kebijakan pimpinan sekolah yang mendorong terhadap pengembangan PAI; kedua, keberhasilan kegiatan belajar mengajar PAI di kelas yang dilakukan oleh guru agama; ketiga, semakin semaraknya kegiatan ekstrakurikuler bidang agama yang dilakukan oleh pengurus OSIS khususnya Seksi Agama; dan keempat, dukungan warga sekolah terhadap keberhasilan pengembangan PAI.

Dipublikasikan Oleh: M. Asrori Ardiansyah, M.Pd Pendidik di Malang Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com, http://grosirlaptop.blogspot.com Ads LinkBerikut ini beberapa gambaran tentang bentuk Implementasi Inovasi Pendidikan di SMK Telekomunikasi Darul Ulum Jombang. 1. Visi dan Misi Pendidikan Islam Sebelum berbicara misi dan visi pendidikan, kita jelaskan konsep tentang misi dan visi serta keterkaitannya core beliefs (membangkitkan semangat tinggi terhadap usaha perwujudan visi) dan core values (memberikan makna terhdap suatu proses sebagai pengabdian kepada Tuhan). Pengertian misi adalah jalan pilihan (the chosen track) suatu organisasi untuk menyediakan produk/jasa bagi coustomernya. Perumusan misi merupakan suatu usaha untuk menysusn peta perjalanan mewujudkan visi. Sedangkan visi merupakan suatu pikiran yang malampaui realitas sekarang, sesuatu keadaan yang kita wujudkan yang belum pernah kita alami sebelumnya, suatu keadaan yang akan kita wujudkan yang belum pernah kita alami sebelumnya. Visi pendidikan merupakan suatu pandangan atau keyakinan bersama seluruh komponen pendidikan (sekolah) akan keadaan masa depan yang diinginkan. Visi pendidikan harus dinyatakan dalam bentuk kalimat yang jelas, positif, realistis, menantang mengandung partisipasi dan menunjukkan gambaran masa depan (Zamroni, 2003: 35-36). Sedangkan misi erat kaitannya dengan visi, apabila visi menyatakan tentang global masa depan, maka misi merupakan pernyataan formal tentang tujuan utama yang akan direalisasi. Untuk keberhasilan suatu tugas pendidik, kita harus menciptakan visi masa depan yang jelas dan memacu. Visi semacam ini membantu pikiran bawah sadar (pusat timbul emosional dalam otak) untuk mencapai tujuan yang telah anda tetapkan (Colin Rose, 1999: 39). Dengan keberadaan visi

dalam lembaga pendidikan sebagai inspirasi dan mendorong warga sekolah untuk bekerja lebih giat untuk mencapai visi yang telah ditetapkan. Sehingga makna dalam melaksanakan tugas belajar lebih terarah dan terfokus, karena ada rambu-rambu yang harus dilaksanakan dalam proses belajar mengajar. Yang tidak kalah pentingnya dalam misi dan visi pendidikan adalah rencana aksi (serangkaian langkah yang perlu anda ambil dalam mencapai sasaran yang spesifik dan tertulis). Dengan demikian, adanya misi dan visi pendidikan berarti mempunyai tujuan pendidikan, dan jika mempunyai tujuan pendidikan, lembaga pendidikan akan menciptakan keteguhan dan kemauan dalam mendidik. Jadi kalau misi merupakan ide-ide, cita-cita dan gambaran di masa depan yang tidak terlalu jauh, maka misi merupakan upaya untuk konkritisi visi dalam wujud tujuan dasar yang akan diwujudkan. Pada saat sekarang ini, tuntutan perumusan visi baru pendidikan menjadi keharusan, karena pendidikan Islam perlu menyusun visi baru baik di tingkat makro maupun mikro. Misal rumusan visi pendidikan Islam di tingkat makro yakni bagaimana pendidikan dapat menunjang transformasi menuju masyarakat madani yang ditandai oleh suatu sistem kehidupan baru sesuai dengan citacita bangsa Indonesia pada era reformasi ini yang memiliki identitas berdasarkan nilai-nilai Islami dan budaya Indonesia. Sedangkan visi pendidikan Islam pada tingkat mikro misal: bagaimana pendidikan Islam menghasilkan individu religius yang memiliki integritas pribadi merdeka, demokrasi, toleransi kemanusiaan yang tinggi serta memiliki orientasi global. Dalam upaya menyusun visi pendidikan Islam, Teuku Amirudin, mengusulkan perlu mempertimbangkan lima visi dasar pendidikan manusia abad 21, sebagaimana diajukan oleh UNESCO (United Nation Education Scentific, and Cultural Organization) yakni: Belajar bagaimana berpikir (Learning to think), belajar bagaimana bekerja (learning to do), belajar menjadi diri sendiri (learning to be), belajar untuk mencari hidup (learning how to learn), dan belajar untuk bersama (learning how to live together). Dalam usaha mewujudkan misi dan visi pendidikan harus dilandasi dengan core beliefe, core values, serta dilaksanakan dengan kebijakan dan strategi yaitu: menetapkan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan dengan memanfaatkan berbagai potensi yang ada. Dalam hal ini, yang dimiliki SMK Telekomunikasi Darul Ulum adalah SMK Telekomunikasi Darul Ulum membuka program keahlian Telekomunikasi Informatika yang dibagi menjadi 2 (dua) bidang minat yaitu: Bidang Minat Multimedia dan Bidang Minat Rekayasa Perangkat Lunak. a. Bidang Minat Multimedia Tujuan Umum Program Keahlian Multimedia secara umum mengacu pada isi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) pasal 3 mengenai tujuan Pendidikan Nasional dan penjelasan pasal 15 yang menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Tujuan Khusus, Program Keahlian Multimedia adalah membekali peserta didik dengan keterampilan, pengetahuan dan sikap agar kompeten, yaitu: 1) Mengoperasikan software dan periferal digital illustration, digital imaging, dan web design; 2) Mengoperasikan software dan periferal multimedia, presentation, 2D animation, dan 3D animation; 3) Mengoperasikan software dan periferal digital audio, digital video, dan visual effects.

b. Bidang Minat Rekayasa Perangkat Lunak Tujuan Umum Program Keahlian Multimedia secara umum mengacu pada isi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) pasal 3 mengenai tujuan Pendidikan Nasional dan penjelasan pasal 15 yang menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Tujuan Khusus Program Keahlian Rekayasa Perangkat Lunak yaitu: 1) Menginstalasi software aplikasi spesifik; 2) Mengoperasikan software aplikasi spesifik; 3) Merawat software aplikasi spesifik; 4) Membangun software aplikasi spesifik; 5) Mengelola usaha di bidang pembuatan software aplikasi. 2. Strategi Pendidikan Islam Kata strategi pendidikan Islam bermakna sejumlah prinsip-prinsip dan pikiran yang mengarahkan sistem-sistem pendidikan di dalam dunia Islam. Memperhatikan bahwa kata terakhir Islam, bisa dipahami bahwa semua aktifitas pendidikan yang dilaksanakan memiliki ciri-ciri khas yang tergambar dalam aqidah Islamiyah. Oleh karena itu, patutlah strategi pendidikan itu mempunyai corak Islam. Strategi yang diusulkan di sini terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: tujuan, dasar dan prioritas dalam tindakan. Pertama, tujuan. Rumusan pendidikan Islam haruslah memperhatikan tentang awal kedatangan Islam yang tidak lain adalah memiliki misi untuk memperbaiki keadaan manusia dan untuk mencapai kesempurnaan agama. Sebagaimana firman Allah dalam (QS.5: 4) dan (QS.3: 110). Oleh karena itu, berdasar firman-Nya tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan yang ingin dicapai olehpendidikan Islam adalah pembentukan insan saleh dan beriman kepada Allah dan agama-Nya, dan pembentukan masyarakat yang saleh yang mengikuti petunjuk agama Islam dalam segala urusannya. Kedua, dasar-dasar pokok. Meliputi, keutuhan (syumuliah) yang bermakna pendidikan Islam haruslah utuh memperhatikan segala aspek manusia; badan, jiwa, akal dan ruhnya. Keterpaduan, mengandung pengertian bahwa pendidikan Islam haruslah memadukan dan berinteraksi dengan perkembangan zaman dan Kesinambungan, sistem pendidikan Islam itu perlu memberi peluang belajar pada tiap tingkatan umur, tingkatan persekolahan dan setiap suasana. Serta berdasar pada prinsip keaslian, yaitu pendidikan Islam haruslah mengacu pada pondasi dan sumber agama yakni Al-Quran dan Al-Hadist. Ketiga, Prioritas dalam tindakan. Berdasarkan dari tujuan dan dasar pendidikan Islam tersebut, maka prioritas utama yang segara dilaksanakan adalah sebagai berikut: (a). berusaha memberi kesempatan sekolah pada semua anak usia belajar dan membekalinya dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan, (b). mengukuhkan pendidikan agama dan akhlak dalam seluruh tahap belajar siswa, (c). mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak guna menunjang dan menyempurnakan tujuan pendidikan Islam. Dalam hal ini, strategi pendidikan Islam yang dilakukan SMK Telekomunikasi Darul Ulum adalah: a. Meningkatkan mutu pendidikan berbasis pesantren/keagamaan sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan ilmu dan teknologi. b. Menyelenggarakan pendidikan kejuruan terpadu dengan pendidikan pondok pesantren dalam rangka mencetak sumber daya manusia yang profesional, kompeten, mandiri, dan berkepribadian

Islami. c. Melaksankan pendidikan dan pelatihan dengan mengacu pada standar kompetensi nasional dan kurikulum berbasis kompetensi. d. Meningkatkan kerjasama dengan dunia usaha dan dunia industri untuk menjamin adanya link and match dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan. e. Meningkatkan daya serap lulusan di dunia usaha dan dunia industri, khusunya telekomunikasi. 3. Metodologi Pendidikan Islam Metodologi pendidikan diartikan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan yang mengarahkan perkembangnya seseorang, kususnya pada proses belajar mengajar atas dasar tersebut, metodologi pendidikan harus didasarkan dan disesuaikan dengan (a) pandangan bahwa manusia dilahirkan dengan potensi pembawaan tertentu dengan secara aktif di lingkungan. Hal ini mempunyai implikasi bahwa proses belajar mengajar harus didasarkan pada prinsip siswa aktif (student active learning) atau mengembangkan kemampuan belajar (learning ability) atau dengan kata lain, mengembangkan proses belajar (learning) bukan pada proses mengajar (teaching). (b) Metodologi pembelajaran, didasarkan pada karakteristik masyarkat madani (masyarakat yang bebas dari ketakutan bebas berekspresi dan bebas untuk menentukan arah kehidupannya). (c) Metodologi pembelajaran didasarkan pada kompetensi (learning competency). Pembelajaran Kompetensi adalah peserta didik akan memiliki seperangkat pengetahuan, keterampilan, keahlian berkaya, sikap dan perilaku berkarya, dan cara-cara berkehidupan di masyarakat sesuai dengan profesinya. Metodologi ini meliputi (a) learning skill yakni keterampilan mengembangkan dan mengelola pengetahuan dan pengalaman belajar sepanjang hayat; (b). Thinking Skill yakni keterampilan berpikir kritis, kreatif, inovatif untuk menghasilkan keputusan dan pemecahan masalah, serta (c) Living Skill yakni keterampilan hidup yang mencakup kemampuan emosi dan sosial yang bermuara pada daya juang, tanggung jawab, dan kepekaan sosial yang tinggi. Mastuhu, mengusulkan konsep pemikiran metodologi pendidikan Islam yang sifatnya lebih teknis sebagai berikut: a. Bagi studi pendidikan tidak ada pemisahan istilah pendidikan pengajaran; b. Menggunakan paradigma holistic (memandang kehidupan sebagai suatu kesatuan, sesuatu yang kongkrit dan dekat dengan kepentingan hidup sehari-hari sampai pada hal-hal yang abstrak); c. Perlu dipergunakan model penjelasan yang rasional, di samping pelatihan dan keharusan melaksanakan ketentuan-letentuan doktrin spiritual dan norma peribadatan; d. Menggunakan teknik pembelajaran partisipatori (peserta didik aktif melakukan eksplorasi, menemukan masalah, dan bertanggung jawab atas pemecahan masalah dengan ikut serta merasakan dan mengamalkan); e. Perlu pendekatan empirik untuk melengkapi model deduktif; f. Perlu adanya interaksi aktif dan partisipasi antar siswa dengan materi atau dengan situasi akademik tertentu. Sedangkan menurut Mulkhan menawarkan metode pembelajaran dapat dilakukan di lapangan dalam suatu bentuk garden learning, juga mengembangkan pembelajaran di dalam sebuah ruangan yang lebih luas disebut dengan learning society. Mengembangkan metode pendidikan dengan pendekatan belajar Natural learning. Maksudnya peserta didik diajak belajar secara tematik, berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat lingkungan peserta didik, missal tentang keberhasilan peserta didik.

Jadi metodologi pendidikan yang dipergunakan dalam proses pendidikan Islam adalah pembelajaran (Student learning) dengan menggunakan paradigma holistic, rasional, partisipatori, pendekatan empirik deduktif, sehingga menghasilkan peserta didik yang berkualitas, kreatif, inovatif yang mampu menerjemahkan dan menghadirkan agama dalam perilaku sosial dan individu di tengah-tengah masyrakat yang modern. Ads LinkBerkaitan dengan perubahan sosial, Zaltman dan Duncan (1973: 7) berpendapat bahwa semua inovasi adalah termasuk perubahan sosial, tetapi perubahan sosial belum tentu inovasi. Inovasi merupakan perubahan sosial yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dan diamati sebagai sesuatu yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat). Dengan demikian, inovasi adalah bagian dari perubahan sosial. Beragam definisi inovasi dikemukakan oleh beberapa ahli dengan susunan kalimat dan penekanan maksud yang berbeda namun pada dasarnya mengandung pengertian yang sama. Di antaranya dikemukakan oleh Ibrahim (1988: 40) mendefinisikan inovasi sebagai: Suatu ide, barang, kejadian, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat), baik berupa hasil invensi maupun diskoveri. Inovasi diadakan untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi tersebut menyatakan bahwa inovasi adalah suatu ide, hal-hal yang praktis, metode, cara, barang buatan manusia, yang diamati atau dirasakan sebagai sesuatu yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat). Hal yang baru tersebut dapat berupa hasil invensi maupun diskoveri yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu atau memecahkan masalah. Invensi (Invention) adalah suatu penemuan sesuatu yang benar-benar baru. Dalam arti, hasil kreasi manusia, benda atau hal lain yang ditemukan tersebut benar-benar belum ada sebelumnya, kemudian diadakan kreasi baru. Misalnya penemuan teori belajar, teknik pembuatan barang dari plastik, dll. Sedangkan diskoveri (discovery) adalah suatu penemuan sesuatu yang sebenarnya benda atau hal yang ditemukan itu sudah ada, tetapi belum diketahui orang. Misalnya penemuan hukum gravitasi oleh Newton, dll. (Ibrahim, 1988: 40). Adapun inovasi pendidikan adalah inovasi dalam bidang pendidikan atau inovasi untuk memecahkan masalah pendidikan. Dengan kata lain, inovasi pendidikan adalah suatu ide, barang, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat), baik berupa hasil invensi maupun diskoveri untuk mencapai tujuan pendidikan atau memecahkan masalah pendidikan (Ibrahim, 1988: 51). Inovasi pendidikan mencakup hal-hal yang berhubungan dengan komponen sistem pendidikan dalam arti sempit (suatu lembaga pendidikan) maupun dalam arti luas (sistem pendidikan). Miles (1964: 15) mengemukakan komponen pendidikan atau komponen sistem sosial yang memungkinkan untuk dilakukan suatu inovasi, yaitu: 1. Pembinaan personalia; 2. Banyaknya personalia dan wilayah kerja;

3. Fasilitas fisik; 4. Penggunaan waktu; 5. Perumusan tujuan; 6. Peran yang diperlukan; 7. Wawasan dan perasaan; 8. Bentuk hubungan antar bagian; 9. Hubungan dengan sistem yang lain; 10. Strategi. Cepat lambatnya penerimaan inovasi, termasuk inovasi pendidikan oleh masyarakat luas dipengaruhi oleh karakteristik inovasi sendiri. Menurut Rogers (1983: 14-15), karakteristik inovasi tersebut adalah: 1. Keunggulan relatif, yaitu sejauh mana inovasi dianggap menguntungkan bagi penerimanya. Tingkat keuntungan atau kemanfaatan suatu inovasi dapat diukur berdasarkan nilai ekonominya, atau mungkin dari faktor status sosial (gengsi), kesenangan, kepuasan, atau karena mempunyai komponen yang sangat penting; 2. Kompatibel (compatibility), yaitu tingkat kesesuaian dengan nilai (values), pengalaman lalu, dan kebutuhan dari penerima; 3. Kompleksitas (complexity), yaitu tingkat kesukaran untuk memahami dan manggunakan inovasi bagi penerima; 4. Trialabilitas (trialability), yaitu dapat dicoba atau tidaknya suatu inovasi oleh penerima; 5. Dapat diamati (obsevability), yaitu mudah diamati atau tidaknya suatu hasil inovasi oleh penerima. Sedangkan Zaltman, Duncan, dan Holbek (1973: 32-50) berpendapat bahwa cepat lambatnya penerimaan inovasi dipengaruhi oleh atribut inovasi itu sendiri yang meliputi: pembiayaan, balik modal, efisiensi, resiko dan ketidakpastian, mudah dikomunikasikan, kompabilitas, kompleksitas, status ilmiah, kadar keaslian, dapat dilihat kemanfaatannya, dapat dilihat batas sebelumnya, keterlibatan, hubungan interpersonal, kepentingan umum dan penyuluh inovasi. Dalam hal ini, penulis mengutip definisi inovasi yang dikatakan oleh White (1987: 211) yang berbunyi: "Inovation ......more than change, although all innovations involve change." (inovasi itu ... lebih dari sekedar perubahan, walaupun semua inovasi melibatkan perubahan). Untuk mengetahui dengan jelas perbedaan antara inovasi dengan perubahan, kita lihat definisi yang diungkapkan oleh Nichols (1983: 4). "Change refers to" continuous reapraisal and improvement of existing practice which can be regarded as part of the normal activity ..... while innovation refers to .... Idea, subject or practice as new by an individual or individuals, which is intended to bring about improvement in relation to desired objectives, which is fundamental in nature and which is planned and deliberate." Nichols menekankan perbedaan antara perubahan (change) dan inovasi (innovation) sebagaimana dikatakannya di atas, bahwa perubahan mengacu kepada kelangsungan penilaian, penafsiran dan pengharapan kembali dalam perbaikan pelaksanaan pendidikan yang ada yang diangap sebagai bagian aktivitas yang biasa. Sedangkan inovasi menurutnya adalah mengacu kepada ide, obyek atau praktek sesuatu yang baru oleh seseorang atau sekelompok orang yang bermaksud untuk memperbaiki tujuan yang diharapkan.

Daftar Rujukan Untuk Semua Bab:


1. Ahmad Tafsir. 2001. Ilmu Pendidikan dan Prespektif Islam. Remaja Rosadakarya. Bandung. 2. Azra, Azyumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta : Kompas 3. Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Wilayah Jawa Timur. 1998. Pelatihan Metode Kualitatif. Kumpulan Materi 4. Budi Wiyono, Bambang. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Malang : Universitas Negeri Malang 5. Bungin, Burhan (Ed). 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif : Aktualisasi Metodologis ke arah Ragam Varia Kontemporer. Jakarta : Raja Gravindo Persada. 6. Choirullah, M. Noor. 1999. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi Kerja Karyawan pada Unit Usaha Pondok Pesantren (Studi Kasus Pondok Pesantren Hidayatullah Surabaya). Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang. 7. Dawam Raharjo. 1983. Dinamika Pesantren dalam Peta Pembaharuan. LP3ES : Jakarta. 8. Departemen Pendidikan Nasional RI. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta. 9. Djalil, Abdul. 1999. Kepemimpinan dan Inovasi Pendidikan Islam: Studi kasus pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri Malang I. Tesis Konsentrasi Magister Agama. Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang. 10. Faisol, Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatip. Dasar-dasar dan aplikasi. Malang : Yayasan Asih Asah Asuh 11. -------, 2001. Format-format penelitian social. Jakarta : RajaGrafindo Persada. 12. Furchan, Arief. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. 13. Ibrahim. 1988. Inovasi Pendidikan. Jakarta : Depdikbud 14. Jalaluddin, Dr. 2001. Dasar-dasar pemikiran Islam. Gaya Media Pratama : Jakarta 15. Hasan Langgulung. 1980. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Al Maarif: Bandung. 16. M. Habib Chirzin. 1988. Pesantren dan Pembaharuan. LP3ES : Jakarta. 17. Manfred. 2001. Historitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah. Tiara Wacana : Yogyakarta. 18. Miles, Matthew B dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Edisi Indonesia. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. 19. Moloeng. Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. 20. Muhaimin. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Remaja Rosdakarya : Bandung 21. Munir Mulhan Abdul. 2002. Dilema Madrasah diantara Dua Dunia. : Jurnal Pendidikan. 22. Naquib, An. 1994. Konsep Pendidikan dalam Islam. Mizan : Bandung. 23. Nasution. 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung. Tasrito 24. Rogers, Everett M. 1983. Diffusion of Innovation. New York : The Free Press A Divission of Macmillan Publishing Co, Inc. 25. Rose, Colin. 1999. Accelereted learning. Mizan : Bandung. 26. Sanaky. 2003. Paradigma Pendidikan Islam. Safiria Press : Yogyakarta. 27. Shorde A William, Dan Voich, Organisation of Management : Baisc Sistem Concepts. Remaja Rosdakarya : Bandung. 28. Siagian, Sondang P. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi Aksara.

29. Subandijah. 1993. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 30. Syaibany, Al. 2001. Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Gaya Media Pratama : Jakarta. 31. Tilaar.1999. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Remaja Rosdakarya : Bandung. 32. Zaltman, Gerald, dan Robert Duncan. 1977. Strategy of Planned Change. New York : A. WilleyInterscience Publication John Wiley & Sons. 33. Cece Wijaya, Djaja Jajuri, A. Tabrani Rusyam. 1997. Upaya pembaharuan dalam Bidang Pendidikan dan Pengajaran. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung 34. Day, C.P. Whitaker, and D. Whren. 1987. Appraisal and Professional Development in the Primary Schools, Philadelphia. Open University Press 35. Kennedy, C. 1987. Innovation for Change. Teacher development and innovation. ELT Journal 41/3. 36. Kouraogo, P. 1987. Curriculum Renewal and inset in difficult circumstance. ELT Journal 41/3 37. Munro, R.G. 1977. Innovation Succes or Failure?. Bristol : J.W. arrows Smith Cambride English Dictionary

Ads LinkInovasi pendidikan menjadi topik yang selalu hangat dibicarakan dari masa ke masa. Isu ini selalu juga muncul tatkala orang membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam inovasi pendidikan, secara umum dapat diberikan dua buah model inovasi yang baru yaitu: Pertama "top-down model" yaitu inovasi pendidikan yang diciptakan oleh pihak tertentu sebagai pimpinan/atasan yang diterapkan kepada bawahan; seperti halnya inovasi pendidikan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasinal selama ini. Kedua "bottom-up model" yaitu model inovasi yang bersumber dan hasil ciptaan dari bawah dan dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan penyelenggaraan dan mutu pendidikan. Disamping kedua model yang umum tersebut di atas, ada hal lain yang muncul tatkala membicarakan inovasi pendidikan yaitu: 1). kendala-kendala, termasuk resistensi dari pihak pelaksana inovasi seperti guru, siswa, masyarakat dan sebagainya, 2). faktor-faktor seperti guru, siswa, kurikulum, fasilitas dan dana 3). lingkup sosial masyarakat. Berbicara mengenai inovasi (pembaharuan) mengingatkan kita pada istilah invention dan discovery. Invention adalah penemuan sesuatu ang benar-benar baru artinya hasil karya manuasia. Discovery adalah penemuan sesuatu (benda yang sebenarnya telah ada sebelumnya. Dengan demikian, inovasi dapat diartikan usaha menemukan benda yang baru dengan jalan melakukan kegiatan (usaha) invention dan discovery. Dalam kaitan ini Ibrahim (1989) mengatakan bahwa inovasi adalah penemuan yang dapat berupa sesuatu ide, barang, kejadian, metode yang diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat). Inovasi dapat berupa hasil dari invention atau discovery. Inovasi dilakukan dengan tujuan tertentu atau untuk memecahkan masalah (Subandiyah 1992: 80) Proses dan tahapan perubahan itu ada kaitannya dengan masalah pengembangan (development), penyebaran (diffusion), diseminasi (dissemination), perencanaan (planning), adopsi (adoption),

penerapan (implementation) dan evaluasi (evaluation) (Subandiyah 1992: 77). Pelaksanaaan inovasi pendidikan seperti inovasi kurikulum tidak dapat dipisahkan dari inovator dan pelaksana inovasi itu sendiri. Inovasi pendidikan seperti yang dilakukan di Depdiknas yang disponsori oleh lembaga-lembaga asing cenderung merupakan "Top-Down Inovation". Inovasi ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan atau pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, ataupun sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi dan sebagainya. Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan kepada bawahan dengan cara mengajak, menganjurkan dan bahkan memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik untuk kepentingan bawahannya. Dan bawahan tidak punya otoritas untuk menolak pelaksanaannya. Banyak contoh inovasi yang dilakukan oleh Depdiknas selama beberapa dekade terakhir ini, seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Guru Pamong, Sekolah Persiapan Pembangunan, Guru Pamong, Sekolah kecil, Sistem Pengajaran Modul, Sistem Belajar Jarak Jauh dan lain-lain. Namun inovasi yang diciptakan oleh Depdiknas bekerjasama dengan lembaga-lembaga asing seperti British Council, USAID dan lain-lain banyak yang tidak bertahan lama dan hilang, tenggelam begitu saja. Model inovasi yang demikian hanya berjalan dengan baik pada waktu berstatus sebagai proyek. Tidak sedikit model inovasi seperti itu, pada saat diperkenalkan atau bahkan selama pelaksanaannya banyak mendapat penolakan (resistance) bukan hanya dari pelaksana inovasi itu sendiri (di sekolah), tapi juga para pemerhati dan administrator di Kanwil dan Kandep. Sedangkan model 'Top-Down Innovation", model itu kebalikan dari model inovasi yang diciptakan berdasarkan ide, pikiran, kreasi, dan inisiatif dari sekolah, guru atau masyarakat yang umumnya disebut model "Bottom-Up Innovation" Ada inovasi yang juga dilakukan oleh guru-guru, yang disebut dengan "Bottom-Up Innovation". Model yang kedua ini jarang dilakukan di Indonesia selama ini karena sitem pendidikan yang sentralistis. Pembahasan tentang model inovasi seperti model "Top-Down" dan "Bottom-Up" telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan para ahli pendidikan. Sudah banyak pembahasan tentang inovasi pendidikan yang dilakukan misalnya perubahan kurikulum dan proses belajar mengajar. White (1988: 136-156) misalnya menguraikan beberapa aspek yang bekaitan dengan inovasi seperti tahapan-tahapan dalam inovasi, karakteristik inovasi, manajemen inovasi dan sistem pendekatannya. Selain itu, Kennedy (1987: 163) juga membicarakan tentang strategi inovasi yang dikutip dari Chin dan Benne (1970) menyarankan tiga jenis strategi inovasi, yaitu: Power Coercive (strategi pemaksaan), Rational Empirical (empirik rasional), dan Normative-Re-Educative (Pendidikan yang berulang secara normatif). Strategi inovasi yang pertama adalah strategi pemaksaaan berdasarkan kekuasaan merupakan suatu pola inovasi yang sangat bertentangan dengan kaidah-kaidah inovasi itu sendiri. Strategi ini cenderung memaksakan kehendak, ide dan pikiran sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan keadaan serta situasi yang sebenarnya dimana inovasi itu akan dilaksanakan. Kekuasaan memegang peranan yang sangat kuat pengaruhnya dalam menerapkan ide-ide baru dan perubahan sesuai dengan kehendak dan pikiran-pikiran dari pencipta inovasinya. Pihak pelaksana yang sebenarnya merupakan obyek utama dari inovasi itu sendiri sama sekali tidak dilibatkan baik dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Para inovator hanya

menganggap pelaksana sebagai obyek semata dan bukan sebagai subyek yang juga harus diperhatikan dan dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan dan pengimplementasiannya. Strategi inovasi yang kedua adalah empirik Rasional. Asumsi dasar dalam strategi ini adalah bahwa manusia mampu menggunakan pikiran logisnya atau akalnya sehingga mereka akan bertindak secara rasional. Dalam kaitan dengan ini inovator bertugas mendemonstrasikan inovasinya dengan menggunakan metode yang terbaik valid untuk memberikan manfaat bagi penggunanya. Di samping itu, strategi ini didasarkan atas pandangan yang optimistik seperti apa yang dikatakan oleh Bennis, Benne, dan Chin yang dikutip dari Cece Wijaya dkk (1991), di sekolah, para guru menciptakan strategi atau metode mengajar yang menurutnya sesuai dengan akal yang sehat, berkaitan dengan situasi dan kondisi bukan berdasarkan pengalaman guru tersebut. Di berbagai bidang, para pencipta inovasi melakukan perubahan dan inovasi untuk bidang yang ditekuninya berdasarkan pemikiran, ide, dan pengalaman dalam bidangnya itu, yang telah digeluti berbulanbulan bahkan bertahun-tahun. Inovasi yang demikian memberi dampak yang lebih baik dari pada model inovasi yang pertama. Hal ini disebabkan oleh kesesuaian dengan kondisi nyata di tempat pelaksanaan inovasi tersebut. Jenis strategi inovasi yang ketiga adalah normatif re-edukatif (pendidikan yang berulang) adalah suatu strategi inovasi yang didasarkan pada pemikiran para ahli pendidikan seperti Sigmund Freud, John Dewey, Kurt Lewis dan beberapa pakar lainnya (Cece Wijaya (1991), yang menekankan bagaimana klien memahami permasalahan pembaharuan seperti perubahan sikap, skill, dan nilainilai yang berhubungan dengan manusia. Dalam pendidikan, sebuah strategi bila menekankan pada pemahaman pelaksana dan penerima inovasi, maka pelaksanaan inovasi dapat dilakukan berulang kali. Misalnya dalam pelaksanaan perbaikan sistem belajar mengajar di sekolah, para guru sebagai pelaksana inovasi berulang kali melaksanakan perubahan-perubahan itu sesuai dengan kaidah-kaidah pendidikan. Kecenderungan pelaksanaan model yang demikian agaknya lebih menekankan pada proses mendidik dibandingkan dengan hasil dari perubahan itu sendiri. Pendidikan yang dilaksanakan lebih mendapat porsi yang dominan sesuai dengan tujuan menurut pikiran dan rasionalitas yang dilakukan berkali-kali agar semua tujuan yang sesuai dengan pikiran dan kehendak pencipta dan pelaksananya dapat tercapai. Inovasi pendidikan sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus melibatkan semua unsur yang terkait di dalamnya, seperti inovator, penyelenggara inovasi seperti guru dan siswa. Disamping itu, keberhasilan inovasi pendidikan tidak saja ditentukan oleh satu atau dua faktor saja, tapi juga oleh masyarakat serta kelengkapan fasilitas. Inovasi pendidikan yang berupa top-down model tidak selamanya bisa berhasil dengan baik. Hal ini disebabkan oleh banyak hal antara lain adalah penolakan para pelaksana seperti guru yang tidak dilibatkan secara penuh baik dalam perencananaan maupun pelaksanaannya. Sementara itu inovasi yang lebih berupa bottom-up model dianggap sebagai suatu inovasi yang langgeng dan tidak mudah berhenti karena para pelaksana dan pencipta sama-sama terlibat mulai dari perencanaan sampai pada pelaksanaan. Oleh karena itu mereka masing-masing bertanggung jawab terhadap keberhasilan suatu inovasi yang mereka ciptakan.

Ads LinkKendala-kendala yang mempengaruhi keberhasilan usaha inovasi pendidikan seperti inovasi kurikulum, antara lain adalah (1) perkiraan yang tidak tepat terhadap inovasi (2). konflik dan motivasi yang kurang sehat (3). lemahnya berbagai faktor penunjang sehingga mengakibatkan tidak berkembangnya inovasi yang dihasilkan (4). keuangan (financial) yang tidak terpenuhi (5). penolakan dari sekelompok tertentu atas hasil inovasi (6) kurang adanya hubungan sosial dan publikasi (Subandiyah 1992: 81). Untuk menghindari masalah-masalah tersebut di atas, dan agar mau berubah terutama sikap dan perilaku terhadap perubahan pendidikan yang sedang dan akan dikembangkan, sehingga perubahan dan pembaharuan itu diharapkan dapat berhasil dengan baik, maka guru, administrator, orang tua siswa, dan masyarakat umumnya harus dilibatkan. Setelah memperhatikan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan suatu inovasi pendidikan, misalnya penolakan para guru tentang adanya perubahan kurikulum dan metode belajar-mengajar, maka perlu kiranya masalah tersebut dibahas. Namun sebelumnya, pengertian tentang resisten itu perlu dijelaskan lebih dahulu. Menurut definisi dalam "Cambridge International English Dictionary of English" bahwa Resistance is to fight against (something or someone) to not be changed by or refuse to accept (something). Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penolakan (resistance) itu adalah melawan sesuatu atau seseorang untuk tidak berubah atau diubah atau tidak mau menerima hal tersebut. Ada beberapa hal mengapa inovasi sering ditolak atau tidak dapat diterima oleh para pelaksana inovasi di lapangan atau di sekolah sebagai berikut: 1. Sekolah atau guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, penciptaan dan bahkan pelaksanaan inovasi tersebut, sehingga ide baru atau inovasi tersebut dianggap oleh guru atau sekolah bukan miliknya, dan merupakan kepunyaan orang lain yang tidak perlu dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan keinginan atau kondisi sekolah mereka. 2. Guru ingin mempertahankan sistem atau metode yang mereka lakukan saat sekarang, karena sistem atau metode tersebut sudah mereka laksanakan bertahun-tahun dan tidak ingin diubah. Disamping itu sistem yang mereka miliki dianggap oleh mereka memberikan rasa aman atau kepuasan serta sudah baik sesuai dengan pikiran mereka. Hal senada diungkapkan pula Day dkk (1987) dimana guru tetap mempertahankan sistem yang ada. 3. Inovasi yang baru yang dibuat oleh orang lain terutama dari pusat (khususnya Depdiknas) belum sepenuhnya melihat kebutuhan dan kondisi yang dialami oleh guru dan siswa. Hal ini juga diungkapkan oleh Munro (1987: 36) yang mengatakan bahwa "mismatch between teacher's intention and practice is important barrier to the success of the innovatory program". 4. Inovasi yang diperkenalkan dan dilaksanakan yang berasal dari pusat merupakan kecenderungan sebuah proyek dimana segala sesuatunya ditentukan oleh pencipta inovasi dari pusat. Inovasi ini bisa terhenti kalau proyek itu selesai atau kalau finasial dan keuangannya sudah tidak ada lagi. Dengan demikian pihak sekolah atau guru hanya terpaksa melakukan perubahan sesuai dengan kehendak para inovator di pusat dan tidak punya wewenang untuk merubahnya. 5. Kekuatan dan kekuasaan pusat yang sangat besar sehingga dapat menekan sekolah atau guru melaksanakan keinginan pusat, yang belum tentu sesuai dengan kemauan mereka dan situasi sekolah mereka.

Untuk mengatasi masalah dan kendala seperti diuraikan di atas, maka berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan inovasi baru. Ads LinkSetelah membahas definisi inovasi dan perbedaan antara inovasi dan perubahan, maka berikut ini akan diuraikan tentang sasaran inovasi pendidikan. Faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan dalam inovasi pendidikan adalah guru, siswa, kurikulum dan fasilitas, dan program/tujuan. 1. Guru Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai. Ada beberapa hal yang dapat membentuk kewibawaan guru antara lain adalah penguasaan materi yang diajarkan, metode mengajar yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, hubungan antar individu, baik dengan siswa maupun antar sesama guru dan unsur lain yang terlibat dalam proses pendidikan seperti adminstrator, misalnya kepala sekolah dan tata usaha serta masyarakat sekitarnya, pengalaman dan keterampilan guru itu sendiri. Dengan demikian, maka dalam pembaharuan pendidikan, keterlibatan guru mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin mereka akan menolak inovasi yang diperkenalkan kepada mereka. Hal ini seperti diuraikan sebelumnya, karena mereka menganggap inovasi yang tidak melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan, tetapi sebaliknya mereka menganggap akan mengganggu ketenangan dan kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru mempunyai peran yang luas sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai teman, sebagai dokter, sebagi motivator dan lain sebagainya. (Wright, 1987) 2. Siswa Sebagai obyek utama dalam pendidikan terutama dalam proses belajar mengajar, siswa memegang peran yang sangat dominan. Dalam proses belajar mengajar, siswa dapat menentukan keberhasilan belajar melalui penggunaan intelegensia, daya motorik, pengalaman, kemauan dan komitmen yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini bisa terjadi apabila siswa juga dilibatkan dalam proses inovasi pendidikan, walaupun hanya dengan mengenalkan kepada mereka tujuan dari pada perubahan itu mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan, sehingga apa yang mereka lakukan merupakan tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan dengan konsekuen. Peran siswa dalam inovasi pendidikan tidak kalah pentingnya dengan peran unsur-unsur lainnya, karena siswa bisa sebagai penerima pelajaran, pemberi materi pelajaran pada sesama temannya, petunjuk, dan bahkan sebagai guru. Oleh karena itu, dalam memperkenalkan inovasi pendidikan sampai dengan penerapannya, siswa perlu diajak atau dilibatkan sehingga mereka tidak saja menerima dan melaksanakan inovasi tersebut, tetapi juga mengurangi resistensi seperti yang diuraikan sebelumnya. 3. Kurikulum Kurikulum pendidikan, lebih sempit lagi kurikulum sekolah meliputi program pengajaran dan perangkatnya merupakan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Oleh karena itu kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar di sekolah, sehingga dalam pelaksanaan inovasi pendidikan, kurikulum memegang peranan yang sama dengan unsur-unsur lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum dan tanpa mengikuti program-program yang ada di dalamya, maka inovasi pendidikan

tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan inovasi itu sendiri. Oleh karena itu, dalam pembaharuan pendidikan, perubahan itu hendaknya sesuai dengan perubahan kurikulum atau perubahan kurikulum diikuti dengan pembaharuan pendidikan dan tidak mustahil perubahan dari keduaduanya akan berjalan searah. 4. Fasilitas Fasilitas, termasuk sarana dan prasarana pendidikan, tidak bisa diabaikan dalam proses pendidikan khususnya dalam proses belajar mengajar. Dalam pembahruan pendidikan, tentu saja fasilitas merupakan hal yang ikut mempengaruhi kelangsungan inovasi yang akan diterapkan. Tanpa adanya fasilitas, maka pelaksanaan inovasi pendidikan akan bisa dipastikan tidak akan berjalan dengan baik. Fasilitas, terutama fasilitas belajar mengajar merupakan hal yang esensial dalam mengadakan perubahan dan pembahruan pendidikan. Oleh karena itu, jika dalam menerapkan suatu inovasi pendidikan, fasilitas perlu diperhatikan. Misalnya ketersediaan gedung sekolah, bangku, meja dan sebagainya. 5. Lingkup Sosial Masyarakat Dalam menerapakan inovasi pendidikan, ada hal yang tidak secara langsung terlibat dalam perubahan tersebut tapi bisa membawa dampak, baik positif maupun negatif, dalam pelaksanaan pembaharuan pendidikan. Masyarakat secara langsung atau tidak langsung, sengaja maupun tidak, terlibat dalam pendidikan. Sebab, apa yang ingin dilakukan dalam pendidikan sebenarnya mengubah masyarakat menjadi lebih baik terutama masyarakat di mana peserta didik itu berasal. Tanpa melibatkan masyarakat sekitarnya, inovasi pendidikan tentu akan terganggu, bahkan bisa merusak apabila mereka tidak diberitahu atau dilibatkan. Keterlibatan masyarakat dalam inovasi pendidikan sebaliknya akan membantu inovator dan pelaksana inovasi dalam melaksanakan inovasi pendidikan. Ads LinkTujuan utama dari inovasi adalah berusaha meningkatkan kemampuan, yakni kemampuan dari sumber-sumber tenaga, uang, sarana dan prasarana, termasuk struktur dan prosedur organisasi. Jadi keseluruhan sistem perlu ditingkatkan agar semua tujuan yang telah direncanakan dapat dicapai dengan sebaik-baiknya (Hasbullah, 2001 : 189). Tujuan yang direncanakan mengharuskan adanya perincian yang jelas tentang sasaran dan hasilhasil yang ingin dicapai, yang sedapat mungkin dapat diukur untuk mengetahui perbedaan antara keadaan sesudah dan sebelum inovasi dilancarkan. Dan tujuan inovasi ialah efisiensi, relevansi dan efektivitas mengenai sasaran jumlah anak didik Sebanyak-banyaknya, dengan hasil pendidikan yang sebesar-besarnya (menurut kriteria kebutuhan anak didik, masyarakat dan pembangunan) dengan menggunakan sumber tenaga, uang, alat dan waktu dalam jumlah sekecil-kecilnya (Suryosobroto, 1990 : 129) Kalau dikaji, arah tujuan inovasi pendidikan Indonesia tahap demi tahap, yaitu : 1. Mengejar ketinggalan-ketinggalan yang dihasilkan oleh kemajuan-kemajuan ilmu dan teknologi sehingga makin lama pendidikan di Indonesia makin berjalan sejajar dengan kemajuan-kemajuan tersebut. 2. Mengusahakan terselenggaranya pendidikan sekolah maupun luas sekolah bagi setiap warga negara. Misalnya meningkatkan daya tampung usia sekolah SD, SLTP, dan Perguruan Tinggi. Disamping itu akan diusahakan peningkatan mutu yang dirasakan makin menurun dewasa ini. Dengan sistem penyampaian yang baru diharapkan peserta didik menjadi manusia yang aktif, kreatif, dan terampil mmecahkan masalah sendiri (Idris, Jamal, 992 : 71). Tujuan jangka panjang yang hendak dicapai ialah terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya. Tujuan lain dilakukannya inovasi pendidikan adalah untuk memecahkan masalah pendidikan dan

menyongsong arah perkembangan dunia kependidikan yang lebih memberikan harapan kemajuan lebih pesat. Secara lebih rinci tentang maksud-maksud diadakannya inovasi pendidikan ini, ialah sebagai berikut : (Hasbullah, 2001 : 199, 200, 201) 1. Pembaharuan pendidikan sebagai tanggapan baru terhadap masalah-masalah pendidikan. Dengan majunya bidang teknologi dan komunikasi sekarang ini, dapat memberikan pengaruh positif terhadap kemajuan di bidang lain, termasuk dalam dunia pendidikan. Tugas pembaharuan pendidikan yang terutama adalah memecahkan masalah-masalah yang dijumpai dalam dunia pendidikan baik dengan cara inovatif. Inovasi atau pembaharuan pendidikan juga merupakan suatu tanggapan baru terhadap masalah kependidikan yang nyata-nyata dihadapi. Titik pangkal pembaharuan pendidikan adalah masalah pendidikan yang aktual, yang secara sistematis akan dipecahkan dengan cara inovatif. Akhir-akhir ini, semua usaha pembaharuan pendidikan ditujukan untuk kepentingan siswa atau subyek belajar demi perkembangannya, yang sering disebut student centered approach. Pembaharuan pendidikan yang memusatkan pada masalah pendidikan umumnya dan perkembangan subyek pendidikan khususnya mengutamakan segi efektifitas dan segi ekonomis dalam proses belajar. 2. Sebagai upaya untuk memperkembangkan pendekatan yang lebih efektif dan ekonomis. Dalam sejarahnya, kehidupan manusia dapat dibedakan menjadi tiga tahapan, yaitu : a. Periode manusia-manusia masih menggantungkan diri kepada alam sekitarnya dengan usaha penyesuaian secara mencoba-coba. b. Periode manusia telah mampu menemukan alat dan teknik baru yang menyebabkan keterikatan manusia terhadap alam berkurang, namun timbul ketergantungan baru terhadap birokrasi dan spesialisasi. c. Periode manusia telah mampu mencapai kerjasama berdasar perencanaan menuju perubahan sosial yang didambakan. Kemampuan manusia tidak saja untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya dengan mengubah dirinya (autoplastic), namun juga mampu mengubah lingkungannya demi kepentingan dirinya (alloplastic). Manusia mampu menciptakan sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak dikenal, manusia juga selalu berusaha dan mampu melakukan sesuatu dengan cara yang baru, yang sebelumnya tidak dikenal dan bahkan lebih sempurna. Dengan kreativitas dan usaha yang tak henti-hentinya, manusia menemukan sesuatu dengan cara baru yang mengantarkan kepada kehidupan yang lebih baik seperti sekarang ini. Pembaharuan pendidikan dilakukan adalah dalam upaya problem solving yang dihadapi dunia, pendidikan yang selalu dinamis dan berkembang. Adapun sifat pendekatan yang dilakukan untuk pemecahan masalah pendidikan yang kompleks dan berkembang itu harus berorientasi kepada hal-hal yang efektif dan murah, serta peka terhadap timbulnya masalah-masalah yang baru di dalam pendidikan.

Dipublikasikan Oleh: M. Asrori Ardiansyah, M.Pd Pendidik di Malang

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmpmalang.comwww.arminaperdana.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai