Anda di halaman 1dari 39

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia masih tergolong tinggi dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN, berdasarkan Human Development Report 2010, AKB di Indonesia mencapai 31 per 1.000 kelahiran. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin atau kernikterus. Selain memiliki angka mortalitas tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis, dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup. Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus.1 Ikterus yang ditemukan pada bayi baru lahir (neonatus) dapat merupakan suatu hal yang fisiologis (normal) dan hal ini terdapat pada sekitar 25-50% bayi yang lahir cukup bulan. Akan tetapi juga bisa merupakan hal yang patologis (tidak normal), misalnya akibat inkompatibilitas rhesus, ABO, sepsis (infeksi berat), penyumbatan saluran empedu dan lain-lain.2 Secara keseluruhan kejadian ikterus pada bayi baru lahir normal adalah lebih dari 50 % sedangkan pada bayi kurang bulan sebesar lebih dari 80 %.3 Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah, hal ini dapat berakibat perubahan warna pada sklera mata dan kulit bayi menjadi 1

kuning. Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Bilirubin ada 2 jenis yaitu bilirubin direk dan bilirubin indirek. Bilirubin indirek akan mengalami proses konjugasi di hepar menjadi bilirubin direk dan akhirnya diekskresi dari hepar ke empedu kemudian ke usus. Peningkatan bilirubin indirek terjadi akibat produksi bilirubin yang berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin oleh hati, atau kelainan konjugasi bilirubin. Istilah untuk menggambarkan tingginya kadar bilirubin dalam darah yang melebihi batas adalah hiperbilirubinemia. Setiap bayi dengan ikterus harus mendapatkan perhatian, terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin meningkat > 5 mg/dL (> 86mol/L) dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk >1 mg/dL juga merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologis. Dalam keadaan tersebut dimana kadar bilirubin yang relatif tinggi dapat menjadi toksik dan berbahaya terhadap sistem saraf pusat maka penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.3 Keadaan yang sangat berbahaya pada ikterus adalah kernikterus dimana terjadi kerusakan otak. Terdapat beberapa cara dalam penatalaksanaan

hiperbilirubinemia pada neonatus antara lain yaitu dengan fototerapi, pemberian obat seperti fenobarbital, pemberian substrat seperti albumin dan transfusi tukar. Melihat angka kejadian ikterus yang cukup tinggi pada neonatus dengan berbagai faktor risiko yang terlibat maka pemahaman mengenai

hiperbilirubinemia ini sangat diperlukan terutama dalam melakukan upaya pencegahan terhadap komplikasi serius yang mungkin terjadi dengan penatalaksanaan yang tepat. B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan umum Referat ini diajukan untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti Pendidikan Profesi Kedokteran di bagian Ilmu Kesehatan Anak. 2. Tujuan khusus Untuk mengetahui dan memahami lebih lanjut proses terjadinya hiperbilirubinemia pada neonatus, etiologi, langkah diagnosis,

penatalaksanaan, komplikasi dan pencegahan hiperbilirubinemia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Ikterus (jaundice) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah, sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak kekuningan.3,5,6,7 Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin > 2 mg/dL (> 17 mol/L), sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin > 5 mg/dL ( >86mol/L).

Gambar 1. Bayi dengan ikterik pada kulitnya Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang terjadi pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi kern ikterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologis adalah ikterus yang 4

mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai nilai yang disebut hiperbilirubinemia4. Pengamatan dan penelitian di RSCM Jakarta menunjukkan bahwa dianggap hiperbilirubinemia bila : 1. Ikterus terjadi pada 24 jam pertama
2. Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam

3. Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus kurang bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan 4. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi G6PD dan sepsis) 5. Ikterus yang disertai keadaan berikut :

Berat lahir kurang dari 2000 gram Masa gestasi kurang dari 36 minggu Asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan nafas Infeksi Trauma pada kepala Hipoglikemia, hiperkarbia

B. Etiologi Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi : 1. Produksi yang berlebihan 5

Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. 2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain ialah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar. 3. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. 4. Gangguan ekskresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain4.

Penyebab yang sering: 1. Hiperbilirubinemia fisiologis 6

2. Inkompatibilitas golongan darah ABO 3. Breast Milk Jaundice 4. Inkompatibilitas golongan darah rhesus Penyakit ini sangat jarang terdapat di Indonesia. Penyakit ini terutama terdapat di negeri barat karena 15 %. Penduduknya mempunyai golongan darah Rhesus negatif. Di Indonesia, dimana penduduknya hampir 100% Rhesus positif, terutama terdapat dikota besar, tempat adanya pencampuran penduduk dengan orang barat. Walaupun demikian, kadang-kadang dilakukan tranfusi tukar darah pada bayi dengan ikterus karena antagonismus Rhesus, dimana tidak didapatkan campuran darah denagan orang asing pada susunan keluarga orang tuanya. Bayi Rhesus positif dari Rhesus negatif tidak selamanya menunjukkan gejala klinik pada waktu lahir, tetapi dapat terlihat ikterus pada hari pertama kemudian makin lama makin berat ikterusnya, disertai dengan anemia yang makin lama makin berat pula. Bila mana sebelum kelahiran terdapat hemolisis yang berat maka bayi dapat lahir dengan oedema umum disertai ikterus dan pembesaran hepar dan lien ( hydropsfoetalis ).

Gambar 2. Inkompatibilitas rhesus 5. Infeksi 6. Hematoma sefal, hematoma subdural, excessive bruising 7. IDM (Infant of Diabetic Mother) 8. Polisitemia / hiperviskositas 9. Prematuritas / BBLR 10. Asfiksia (hipoksia, anoksia), dehidrasi asidosis, hipoglikemia 11. Lain-lain

Penyebab yang jarang: 1. Defisiensi G6PD (Glucose 6 Phosphat Dehydrogenase) Penyakit ini mungkin banyak terdapat di Indonesia tetapi angka kejadiannya belum di ketahui dengan pasti defisiensi G-6-PD ini merupakan salah satu sebab utama icterus neonatorum yang memerlukan transfusi tukar darah. Icterus walaupun tidak terdapat faktor oksigen, misalnya obat-obat sebagai faktor pencetusnya walaupun hemolisis merupakan sebab icterus pada defesiensi G-6-PD, kemungkinan besar ada faktor lain yang ikut berperan, misalnya faktor kematangan hepar 2. Defisiensi piruvat kinase 3. Sferositosis kongenital 4. Lucey Driscoll syndrome (ikterus neonatorum familial) 5. Hipotiroidism 6. Hemoglobinopathy 5,6,7,9 C. Patofisiologi Metabolisme bilirubin Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu diketahui sedikit tentang metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus. Perbedaan utama metabolisme ini adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam bentuk bilirubin indirek. Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut : 1. Produksi 9

Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem retikuloendotelial system (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi daripada bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi Hymans van den Bergh), yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak. 2. Transportasi Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin. Sel parenkima hepar mempunyai cara yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui membrane sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Di dalam sel bilirubin akan terikat terutama pada ligandin (protein Y, glutation S-transferase B) dan sebagian kecil pada glutation Stransferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses 2 arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit dikonjugasi dan diekskresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar, ligandin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak. Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligandin dan memberi tempat pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin. 3. Konjugasi

10

Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronide walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Glukoronil transferase merubah bentuk monoglukoronide menjadi

diglukoronide. Ada 2 enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukoronide. Pertama-tama adalah uridin difosfat glukoronide transferase (UDPG:T) yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi diglukoronide terjadi di membrane kanalikulus. Isomer bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresi langsung ke dalam empedu tanpa konjugasi misalnya isomer yang terjadi sesudah terapi sinar (isomer foto). 4. Ekskresi Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan diekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin direk ini tidak diabsorpsi, sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis.4 Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus Pada likuor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh, kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis. Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana bilirubin sampai ke likuor 11

amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan besar melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas. Demikian kesanggupannya untuk

mengkonjugasi. Dengan demikian hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan fisiologis tanpa gejala pada semua neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan fetus dalam mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar bilirubin dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat dimengerti bila kadar bilirubin indirek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan kern ikterus dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh 12

neonatus

yang

mempunyai

kadar

albumin

normal

telah

tercapai.8

13

Gambar 3. Metabolisme Bilirubin pada Neonatus. (Dikutip dari Rennie J.M and Roberton NRC. Neonatal Jaundice In : A Manual of Neonatal Intensive Care 4th Ed, Arnold, 2002 : 414-432)

Ikterus fisiologis vs ikterus patologis Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologis tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya 14

kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2 3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5 7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10 14. Kadar bilirubinpun biasanya tidak > 10 mg/dL (171 mol/L) pada bayi kurang bulan dan < 12 mg/dL (205 mol/L) pada bayi cukup bulan. 8,9,10 Masalah timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjungasi hepar menurun sehingga terjadi kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu, misalnya kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dikemudian hari, bahkan terjadinya kematian
8,9,10

. Oleh karena itu bayi ikterus

sebaiknya baru dianggap fisiologis apabila telah dibuktikan bukan suatu keadaan patologis. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada hiperbilirubinemia, pemeriksaan lengkap harus dilakukan untuk mengetahui penyebabnya, sehingga pengobatanpun dapat dilaksanakan dini. Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologis tersebut tidak selalu sama pada tiap bayi.

D. Diagnosis Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium terdapat beberapa faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat. 1. Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama (usia bayi < 24 jam) 2. Inkompatibilitas golongan darah (dengan Coombs test positip) 15

3. Usia kehamilan < 38 minggu 4. Penyakit-penyakit hemolitik (G6PD, end tidal CO ) 5. Ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya 6. Hematoma sefal, bruising 7. ASI eksklusif (bila berat badan turun > 12 % BB lahir) 8. Ras Asia Timur, jenis kelamin laki-laki, usia ibu < 25 tahun 9. Ikterus sebelum bayi dipulangkan 10. Infant Diabetic Mother, makrosomia 11. Polisitemia Anamnesis 1. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal) 2. Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi 3. Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya 4. Riwayat inkompatibilitas darah
5. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa. 7,8,10,11

Pemeriksaan Fisik Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan 16

terapi sinar. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan. Paling baik pengamatan dilakukan dengan cahaya matahari dan dengan menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi. Ikterus biasanya akan bermanifestasi pada kadar yang lebih rendah pada orang yang berkulit putih dan lebih tinggi pada orang yang berkulit berwarna.4 Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut. 8,11 Tabel 1. Perkiraan derajat ikterus dan klasifikasinya Perkiraan klinis derajat ikterus Usia Hari 1 Ikterus terlihat pada Klasifikasi

Setiap ikterus yang terlihat Ikterus berat Hari 2 Lengan dan tungkai Hari 3 dst. Tangan dan kaki (Dikutip dari Peter Cooper, A.Suryono, Indarso F, et al. Jaundice. In : Managing Newborn Problems : a guide for doctor, nurses and midwives, WHO, 2003 : F-77-F-89) Tabel 2. Tanda dan gejala ikterus dan klasifikasinya Klasifikasi Ikterus Tanda / Gejala Tanya dan Lihat Mulai kapan ikterus ? Ikterus segera setelah lahir Ikterus pada 2 hari pertama Ikterus pada usia > 14 hari Daerah mana yang Ikterus lutut/ siku/ lebih ikterus ? Bayinya kurang bulan ? Bayi kurang bulan Warna tinja ? Tinja pucat Klasifikasi

Ikterus patologis

17

Ikterus usia 3-13 hari Ikterus fisiologis Tanda patologis (-) (Dikutip dari Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam : Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI, 2001)

Gambar 4. Pembagian derajat ikterik menurut Kramer Menurut Kramer , ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Untuk penilaian ikterus, Kramer membagi tubuh bayi baru lahir dalam lima bagian yang dimulai dari kepala dan leher, dada sampai pusat, pusat bagian bawah sampai tumit, tumit pergelangan kaki dan bahu pergelangan tangan dan kaki serta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan. Cara pemeriksaannya adalah dengan menekan jari telunjuk di tempat yang tulangnya menonjolseperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain.12 Tabel 3. Derajat Ikterus pada Neonatus menurut Kramer Derajat Ikterus Daerah Ikterus Perkiraan Kadar Bilirubin Total 18

I II III IV V

Kepala & leher Daerah dada (badan atas diatas umbilikus) Badan bawah (dibawah umbilikus) hingga tungkai atas (diatas lutut) Lengan s/d pergelangan tangan dan tungkai bawah s/d pergelangan kaki s/d telapak tangan dan telapak kaki

5-7 mg% 7-10 mg% 10-13 mg% 13-17 mg% >17 mg%

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin.7,8,11 Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara lain : Golongan darah dan Coombs test Darah lengkap dan hapusan darah Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc Bilirubin direk

19

Gambar 5. Uji coombs Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.7,8,11 E. PENATALAKSANAAN a. Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab i. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama Penyebab menurut besarnya kemungkinan adalah sbb : a) Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain

20

b)Infeksi intrauterine (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri) c) Kadang-kadang oleh karena defisiensi G6PD Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah : Kadar bilirubin serum berkala Darah tepi lengkap Golongan darah ibu dan bayi Uji Coombs Pemeriksaan penyaring defisiensi G6PD, kultur darah atau biopsy hepar bila perlu ii. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir a) Biasanya ikterus fisiologis b) Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam c) Defisiensi G6PD juga mungkin d) Polisitemia e) Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar subkapsuler dll) f) Hipoksia g) Sferositosis, eliptositosis dll h) Dehidrasi asidosis 21

i) Defisiensi enzim eritrosit lainnya. Pemeriksaan yang perlu dilakukan : Bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak cepat, dapat dilakukan pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala, pemeriksaan penyaring defisiensi G6PD dll. iii. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama a) Biasanya karena infeksi (sepsis)

b) Dehidrasi asidosis c) Defisiensi G6PD

d) Pengaruh obat e) f) Sindrom Cliggler-Najjar Sindrom Gilbert

iv. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya a) Biasanya karena obstruksi b) Hipotiroidisme c) Breast milk jaundice d) Infeksi e) Neonatal hepatitis f) Galaktosemia dll. Pemeriksaan yang perlu dilakukan : Pemeriksaan bilirubin (direk & indirek) berkala 22

Pemeriksaan darah tepi Pemeriksaan penyaring G6PD Biakan darah, biopsy hepar bila ada indikasi dll. Dapat diambil kesimpulan bahwa ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kernikterus. Ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologis adalah : Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada neonatus kurang bulan Ikterus dengan peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg%/hari Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau keadaan patologis lain yang telah diketahui Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg% b. Pencegahan 1) Pengawasan antenatal yang baik 2) Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dll 3) Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus 4) Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus 23

5) Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir


6) Pencegahan infeksi4

Sumber lain menyebutkan beberapa macam pemcegahan yaitu: Pencegahan primer : ASI sedini mungkin dan sering (8-12 kali/hari) selama hari-hari pertama. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Pemeberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.

Pencegahan sekunder : pemeriksaan sistematik pada neonatus yang

memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum seperti pemeriksaan golongan darah dan penilaian klinik.1 c. Mengatasi hiperbilirubinemia Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kern-ikterus atau ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung melalui :
1) Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital

(luminal). Obat ini bekerja sebagai enzyme inducer dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase sehingga konjugasi dapat dipercepat. 24

Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan.
2) Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi.

Contohnya dengan pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 ml/kg BB. Albumin biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi. Pemberian kolesteramin juga dapat mengurangi sirkulasi enterohepatik. Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra Venous Immuno Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin.
3) Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi

dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan transfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca transfusi tukar. Terapi Sinar Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958. Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar 25

tersebut. Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus. 11,13,14 Dengan adanya kenyataan bahwa terapi sinar mempunyai manfaat yang besar dalam pengobatan hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi dan mempunyai komplikasi yang relative sedikit, pengguanaanya telah dilakukan secara luas walaupun cara ini tidak dapat dipakai sebagai pengganti transfusi tukar. Terapi sinar mempunyai peran dalam mengurangi kemungkinan dilakukannya transfuse tukar serta dapat pula bermanfaat dalam membantu menurunkan kadar bilirubin setelah transfusi tukar dilakukan. Fototerapi dilakukan terhadap penderita : Setiap saat apabila bilirubin indirek >10mg% Pra transfuse tukar

26

Pasca transfuse tukar Terdapat ikterus pada hari pertama yang disertai dengan proses hemolisis. Tata cara penggunaan terapi sinar Letak yang pasti tempat tejadinya proses isomerisasi bilirubin sampai saat ini belum diketahui secara rinci. Namun diduga bahwa proses ini terbanyak terjadi di bagian perifer yaitu di kulit atau kapiler jaringan subkutan. Oleh karena itu penyinaran yang optimal di bagian kulit penderita ikterus merupakan salah satu syarat berhasil tidaknya terapi sinar pada penderita. Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari :
8-10 buah lampu neon @ 20 watt yang diletakkan secara pararel dan

dipasang dalam kotak yang berventilasi.


Agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm)

lampu diletakkan pada jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru 0,5 inci yang berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet dan menahan gelombang cahaya yang lebih rendah dari 390 nm yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Filter biru yang berfungsi memperbesar energi yang sampai pada bayi. Alat pengaman listrik. 27

Kaki tumpuan dan regulator untuk turun naiknya lampu.


Mengganti lampu setiap 500 jam untuk menghindari turunnya energy

yang dihasilkan oleh lampu yang digunakan. Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke arah bayi.1,11,13,14 Tata cara/perawatan bayi dengan fototerapi Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang

terpapar dapat seluas-luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi.

Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8 jam agar bagian

tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh.

Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang dapat

memantulkan cahaya.

Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini

dianggap jarak yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.

Suhu bayi diukur secara berkala 4-6 jam/kali. Kadar bilirubin dan bayi di pantau secara berkala dan terapi

dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171 mol/L). Kadar hemoglobin juga harus diperiksa secara berkala terutama pada penderita dengan hemolisis. Perhatikan hidrasi bayi, konsumsi cairan bayi dinaikkan 20%.

28

Lamanya penyinaran dicatat dan biasanya tidak melebihi 100

jam. 11,13,14 Bila dalam evaluasi bayi tidak terlihat banyak perubahan dalam konsentrasi bilirubin, perlu diperhatikan kemungkinan lampu yang tidak efektif atau adanya komplikasi pada bayi seperti dehidrasi, hipoksia, infeksi dan gangguan metabolism dll. Dalam hal ini komplikasi tersebut harus diperbaiki.

Gambar 6. Fototerapi Komplikasi terapi sinar Kelainan yang mungkin timbul pada terai sinar antara lain :

29

Peningkatan insensible water loss pada bayi. Terutama terlihat

pada bayi kurang bulan, kehilangan ini dapat meningkat 2-3 kali lipat lebih besar dari keadaan biasanya. Oleh karena itu pemberian cairan harus diperhatikan.

Frekuensi defekasi yang menigkat. Terjadi antara lain karena

peningkatan peristaltik usus, teori lain menyebutkan karena efek sekunder yang terjadi pada pembentukan enzim lactase karena peningkatan bilirubin indirek pada usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare.

Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut flea bite rash di

daerah muka, badan dan ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan. Pada beberapa bayi dilaporkan pula kemungkinan terjadinya bronze baby syndrome yang terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan kulit bersifat sementara ini tidak mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.

30

Gangguan retina, baru sebatas teori dan ditemukan hanya pada

hewan percobaan.

Gangguan

pertumbuhan,

baru

ditemukan

pada

hewan

percobaan.

Kenaikan suhu, terapi dapat diteruskan dengan mematikan

sebagian lampu yang digunakan. Beberapa kelainan seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas

hanya bersifat sementara dan akan menghilang dengan sendirinya.


4) Transfusi tukar dilakukan atas indikasi : Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek 20 mg% Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1 mg%/jam

Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat < 14 mg% dan uji Coombs direk positif. Sesudah transfusi tukar harus diberi fototerapi. Bila terdapat keadaaan seperti asfiksia perinatal, distress pernafasan, asidosis metabolik, hipotermia, kadar protein serum kurang atau sama dengan 5g%, BBL < 1500 gr dan tanda-tanda gangguan saraf pusat, penderita harus diobati seperti pada kadar bilirubin yang lebih tinggi berikutnya. 31

Tabel 4. Penanganan ikterus berdasarkan kadar serum bilirubin Terapi sinar Transfusi tukar Faktor Faktor Bayi sehat Bayi sehat Usia Risiko* Risiko* mg/ mo mg/d mol/ mg/d mol/ mg/d mol/ dL l/L L L L L L L Hari 1 Setiap ikterus yang terlihat 15 260 13 220 Hari 2 15 260 13 220 25 425 15 260 Hari 3 18 310 16 270 30 510 20 340 Hari 4 20 340 17 290 30 510 20 340 dst
(Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294)

Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang

dapat

menurunkan dengan cepat bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit yang telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis. Walaupun transfusi tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul perlu di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi (lihat tabel 3). Kriteria melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin (Tabel 4)
Tabel 5. Kriteria Transfusi Tukar Berdasarkan Berat Bayi dan Komplikasi
Tidak Rasio Ada Komplikasi Bili/Alb Komplikasi (mg/dL) (mg/dL) < 1250 13 5.2 10 1250 1499 15 6 13 1500 1999 17 6.8 15 2000 2499 18 7.2 17 2500 20 8 18 Konversi mg/dL menjadi mmol/L dengan mengalikan 17.1 Berat Bayi (gram) Rasio Bili/Alb 4 5.2 6 6.8 7.2

32

(Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294)

Yang dimaksud ada komplikasi apabila : 1. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5 2. PaO2 < 40 torr selama 1 jam 3. pH < 7,15 selama 1 jam 4. Suhu rektal 35 O C 5. Serum Albumin < 2,5 g/dL 6. Gejala neurologis yang memburuk terbukti 7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis 8. Anemia hemolitik 9. Berat bayi 1000 g 13,15 Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang akan diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positif. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB.13,14,16 Macam Transfusi Tukar:

33

1. Double Volume artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 % mengganti Hb bayi. 2. Iso Volume artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat mengganti 65 % Hb bayi. 3. Partial Exchange artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus polisitemia atau darah pada anemia. 17,15 Tabel 6. Volume Darah pada Transfusi Tukar Kebutuhan Rumus* Double Volume BB x volume darah x 2 Single Volume BB x volume darah Polisitemia BB x volume darah x (Hct sekarang Hct yang diinginkan) Hct sekarang Anemia BB x volume darah x (Hb yang diinginkan Hb sekarang) (Hb donor Hb sekarang) BB x volume darah x (PCV yang diinginkan PCV sekarang) (PCV donor)
* Volume darah bayi cukup bulan 85 cc / kg BB * Volume darah bayi kurang bulan 100 cc /kg BB (Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004; 114 : 294)

Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang diperlukan harus dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfusi dilakukan di ruangan yang aseptik yang dilengkapi peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi disertai dengan alat yang dapat mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan pula kemungkinan terjadinya 34

komplikasi transfusi tukar seperti asidosis, bradikardia, aritmia, ataupun henti jantung. 13,14,16 Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berat dimana fasilitas sarana dan tenaga tidak memungkinkan dilakukan terapi sinar atau transfusi tukar, penderita dapat dirujuk ke pusat rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil (transportable) dengan memperhatikan syarat-syarat rujukan bayi baru lahir risiko tinggi. 15 d. Pengobatan umum Bila mungkin pengobatan terhadap etiologi atau faktor penyebab dan perawatan yang baik. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah pemberian intake cairan dan kalori yang cukup. e. Tindak lanjut Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus. Oleh karena itu, terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sbb : Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan Penilaian berkala pendengaran Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa F. KOMPLIKASI Komplikasi yang paling berbahaya adalah kernikterus atau ensefalopati bilirubin dimana terjadi kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin akibat perlengketan bilirubin indirek di otak terutama pada korpus striatum, thalamus,

35

nucleus subtalamus hipokampus, nucleus merah, dan nucleus dasar di ventrikel IV.4 Gejala klinis pada permulaannya tidak jelas, pasien akan tampak matanya berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya epistotonus. Pada umur yang lebih lanjut bila bayi ini hidup dapat terjadi spasme otot, epistotonus, kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot. Ketulian pada nada tinggi, gangguan bicara dan retardasi mental.

Gambar 7. Kern ikterus

36

BAB III KESIMPULAN

Kejadian ikterus pada bayi baru lahir normal adalah

lebih dari 50 %

sedangkan pada bayi kurang bulan sebesar lebih dari 80 %. Istilah untuk menggambarkan tingginya kadar bilirubin dalam darah adalah hiperbilirubinemia. Disebut hiperbilirubinemia bila peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. Penyebab ikterus dapat berupa gangguan produksi , gangguan proses uptake dan konjugasi di hepar, gangguan transportasi dan gangguan ekskresi. Langkah diagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan hasil laboratorium.

Penatalaksanaan hiperbilirubinemia yang sering dilakukan adalah dengan fototerapi selain itu juga dapat dengan transfusi tukar bila kadar bilirubin > 20 mg%. Komplikasi yang paling dikhawatirkan adalah kejadian kern ikterus atau ensefalopati bilirubin.

37

DAFTAR PUSTAKA
1. Ifan. 2010. Kernikterus. Diambil dari

http://Ifan050285.wordpress.com/2010/02/12/kernikterus/ pada 19 Januari 2012 2. Bunda dan Ananda. 2010. Bayi Kuning. Diambil dari http://bundaananda.blogspot.com/2010/07/bayi-kuning.html. pada 18 Januari 2012 3. Jayashree Ramasethu (Division of Neonatology Georgetown University MC. Washington DC). Neonatal Hyperbilirubinemia. Dalam: Neonatal Intensive Care Workshop, RSAB Harapan Kita Jakarta, 2002. 4. Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Info Medika: Jakarta. 5. Camilia R.M, Cloherty J.P. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty J.P et al Manual of Neonatal Care 5th Ed., Lippincott Williams & Wilkins, 2004 : 185-221. 6. Gomella T.L. Hyperbilirubinemia Direct (Conjugated) & Indirect (Unconjugated). Dalam: Neonatology, Management, Procedures, On call Problems, Diseases & Drugs 4th Ed, A Lange clinical manual/Mc Graw-Hill, 1999 : 230-6. 7. Maisels MJ. Neonatal Hyperbilirubinemia. Dalam: Klaus MH and Fanaroff AA. Care of the High-Risk Neonate 5th Ed, WB Saunders Co. 2001 : 324-62. 8. Madam A., Wong R.J and Stevenson D.K. Clinical features and management of unconjugated hyperbilirubinemia in term and near term infants. https://store.utdol.com/app/index.asp.uptodate, Sept 7, 2004. 9. Rennie J.M, Roberton NRC. Neonatal Jaundice Dalam: A Manual of Neonatal Intensive Care 4th Ed, Arnold, 2002 : 414-32. 10. Nelson textbook of Pediatric. Hyperbilirubinemia Dalam: Nelson textbook of Pediatric , 17th Ed, Philadelphia WB Saunders, Co, 2004. 11. Peter Cooper, A.Suryono, Indarso F, et al. Jaundice. In : Managing Newborn Problems : a guide for doctor, nurses and midwives, WHO, 2003 : F-77-F-89. 12. Windiarti, A. 2009. Ikterus Neonatorum. Diambil dari http://hasfiraz.blogspot.com/2009/11/ikterus-neonatorum.html pada 18 Januari 2012 13. American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294. 14. `Ebbesen F, Agati G and Pratesi R. Phototherapy with turquoise vs blue light. Arch Dis Child Fetal-Neonatal 2003; 88 : 430-1. 15. Sylviati MD, Fatimah I, Agus H, Risa E. Manajemen Rujukan Bayi Baru Lahir Risiko Tinggi, Pertemuan Koordinasi RS dan Depkes Kab. Dalam 38

Rangka Pemantapan Sistem Rujukan Maternal dan Neonatal Tahun 2003, Surabaya, November 2003 : 1-6. 16. Jayashree Ramasethu. Exchange Transfusions. In : Mac Donald MG, et. al. Atlas of Procedures in Neonatology 3th Ed, Lippincott Williams & Wilkins, 2002 : 348-56.

39

Anda mungkin juga menyukai