Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG Sindroma nefrotik bukan merupakan suatu penyakit. Istilah sindrom nefrotik dipakai oleh Calvin dan Goldberg, pada suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria berat, hypoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan fungsi renal yang normal. Istilah sindrom nefrotik kemudian digunakan untuk menggantikan istilah terdahulu yang menunjukan keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukan suatu penyakit yang mendasarinya. Sampai pertengahan abad ke 20 morbiditas sindrom nefrotik pada anak masih tinggi yaitu melebihi 50%. Dengan ditemukannya obat-obat sulfonamid dan penicilin tahun 1940an, dan dipakainya obat adrenokortokotropik (ACTH) serta koertikosterid pada tahun 1950, mortalitas penyakit ini mencapai 67%. Dan kebanyakan mortalitas ini disebabkan oleh komplikasi peritonitis dan sepsis. Pada dekade berikutnya mortalitas turun sampai 40%, dan turun lagi menjadi 35%.2 Pemakaian ACTH atau kortison pada awal 1950 untuk mengatasi edema dan mengurangi kerentanan terhadap infeksi, angka kematian turun mencapai 20%. Pasien sindrom nefrotik yang selamat dari infeksi sebelum era sulfonamid umumnya kematian pada periode ini disebabkan oleh gagal ginjal kronik. Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder. Istilah sindrom nefrotik primer dapat disamakan dengan sindrom nefrotik idiopatik dikarenakan etiologi keduanya sama termasuk manisfestasi klinis serta histopatologinya2. Dalam refrat ini selanjutnya pembahasan mengenai maisfestasi klinik, diagnosis dan penatalaksanaan.

1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Apa definisi dan etiologi dari sindrom nefrotik ? 2. Bagaimana patofisiologi dari sindrom nefrotik ? 3. Apa saja manifestasi klinis yang timbul akibat dari sindrom nefrotik ? 4. Bagaimana diagnosis dari sindrom nefrotik pada anak ? 5. Bagaimana penatalaksanaan sindrom nefrotik pada anak?

1.3 TUJUAN 1. Mengetahui dan memahami definisi dan etiologi sindrom nefrotik. 2. Mengetahui dan memahami patofisiologi sindrom nefrotik. 3. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis serta diagnosis dari sindrom nefrotik pada anak. 4. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan sindrom nefrotik pada anak.

1.4 MANFAAT 1. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca khususnya kalangan medis tentang sindrom nefrotik. 2. Sebagai referensi bagi kalangan medis dalam melakukan praktiknya di lapangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI GINJAL Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan banyak fungsi untuk homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ ekskresi dan pengatur keseimbangan cairan dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang ginjal pada manusia, masing-masing di sisi kiri dan kanan (lateral) tulang vertebra dan terletak retroperitoneal (di belakang peritoneum). Selain itu sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga dengan sepasang ureter, sebuah vesika urinaria (bulibuli/kandung kemih) dan uretra yang membawa urine ke lingkungan luar tubuh.2 2.1.1 Ginjal Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri karena disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebraT12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.2 2.1.2 Topografi Ginjal Anterior

Ginjal kiri: Dinding dorsal gaster, Pankreas, Limpa, Vasa lienalis, Usus halus, Fleksura lienalis. Ginjal kanan: Lobus kanan hati, Duodenum pars descendens, Fleksura hepatica, Usus halus Posterior

Diafragma, m.psoas major, m.quadratus lumborum, m.transversus abdominis(aponeurosis), n.subcostalis,n.iliohypogastricus, a.subcostalis, aa.lumbales, iga 12(ginjal kanan) dan iga 11-12 (ginjal kiri).2

Gambar 2.1 Anatomi Ginjal Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian2: Korteks: bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis. Medula: terdiri dari 9-14 pyramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus, lengkung Henle dan tubulus pengumpul (ductus collectivus). Columna renalis: bagian korteks di antara pyramid ginjal Processus renalis: bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks Hilus renalis: suatu bagian di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal. Papilla renalis: bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix minor. Calix minor: percabangan dari calix major. Calix major: percabangan dari pelvis renalis. Pelvis renalis: disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara calyx major dan ureter. Ureter: saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.

Gambar 2.2 Fisiologi Ginjal Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle dan tubulus kontortus distal yang bermuara pada tubulus kolektivus. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh darah kapiler, yaitu arteriol yang membawa darah dari dan menuju glomerulus serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal). Berdasarkan letakya nefron dapat dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluh- pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta.2 Ginjal diperdarahi oleh arteri dan vena renalis. A. renalis merupakan percabangan dari aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis akan

bercabang menjadi arteri sublobaris a. Arcuata a.interlobaris yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior. Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis ginjal melalui

segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus dann.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.2

2.2 FISIOLOGI GINJAL Ginjal ikut mengatur keseimbangan biokimia tubuh manusia dengan cara mengatur keseimbangan air, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur asam basa darah, pengaturan ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam dan memproduksi hormon yaitu2 : a.Prostaglandin: yang berfungsi untuk pengaturan garam dan air serta mempengaruhi tekananvaskuler. b. Eritropoietin: yang berfungsi untuk merangsang produksi sel darah merah. c.1,25 dihidroksikolekalsiferol: yang berfungsi memperkuat absorpsi kalsium dari usus dan reabsorbsi fosfat oleh tubulus renalis. d. Renin: yang berfungsi bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan tekanan vaskuler dan produksi aldosteron. Tiga tahap pembentukan urine2: 1). Filtrasi glomerular Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glomerulus secara relatif bersifat impermeabel terhadap protein plasma yang besar dan cukup permeabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asamamino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsul Bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowman disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula bowman, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus

mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowman serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus

tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler. 2). Reabsorpsi Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi. 3). Sekresi Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen. Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular perjalanannya akan kembali jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.

2.3 DEFINISI Sindrom nefrotik adalah suatu penyakit atau sindrom yang mengenai glumerulus yang ditandai dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia.1

2.4 EPIDEMIOLOGI Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak dari pada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun.10

2.5 ETIOLOGI Pada etiologi sindrom nefrotik hampir 75-80% belum diketahui atau idiopatik, yang akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Penyebab sindrom nefrotik pada anakanak adalah1 : A. Glomerulonefritis (GN) primer : - GN lesi minimal (GNLM) - Glomerulosklerosis fokal (GSF) - GN membranosa (GNMN) - GN membranoproliferatif (GNMP) B. Glomerulonefritis (GN) sekunder : 1. Infeksi: - HIV, hepatitis virus B dan C - sifilis, malaria, skistosoma - tbc, lepra 2. Keganasan: - adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgki, mielomamultiple, dan karsinoma ginjal. 3. Penyakit jaringan penghubung: - SLE, artritis rheumatoid. 4. Efek obat dan toksin: obat NSAID, preparat emas, penisilinamin, probenesid, captopril. 5. Lain-lain: diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsi, sengatan lebah.

GN primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM), Glomerulosklerosis fokal (GSF), GN membranosa (GNMN), GN membranoproliperatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan. Penyebab sekunder akibat infeksi yang paling sering ditemukan misalnya pada GN pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat mislnya obat NSAID atau preperatemas, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada SLE dan diabetes melitus.3

2.6 KLASIFIKASI Berdasarkan etiologinya dibagi menjadi1 : I.Sindroma nefrotik bawaan Diturunkan sebagai resesif autosomal Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya. II.Sindroma nefrotik sekunder Disebabkan oleh : 1. Malaria kuartana atau parasit lain. 2. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid. 3. Glumerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosis vena renalis. 4. Toksin spesifik, logam berat: emas, bismuth, merkuri, obat-obatan dan bahan kimia: seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun otak, air raksa. 5. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranaproliferatif hipokomplementemik. III.Sindroma nefrotik idiopatik (tidak diketahui sebabnya) Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk, membagi dalam 4 golongan yaitu :

Kelainan minimal Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan dengan mikroskop elektron tampak foot processus sel epitel berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG atau imunoglobulin beta-1C pada dinding kapiler glomerulus. Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang dewasa. Prognosis lebih baik dibandingkan dengan golongan lain. Nefropati membranosa Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak. Prognosis kurang baik. Glomerulonefritis proliferative a. Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus. Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat. Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan streptococcus yang berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik. Prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan setelah pengobatan yang lama. b. Dengan penebalan batang lobular (lobular stalk thickening). Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobuler. c. Dengan bulan sabit (Crescent). Didapatkan proleferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai (kapsular) dan viseral. Prognosis buruk. d. Glomerulonefritis membranoproliferatif. Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta-1A rendah. Prognosis tidak baik. e. Lain-lain. Misalnya perubahan proliferasi yang tidak khas.

10

IV.Glomerulosklerosis fokal segmental Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Sering disertai dengan atrofi tubulus. Prognosis buruk.

2.7 PATOLOGI ANATOMI Dapat dibagi dalam beberapa bagian yakni6: a) Kelainan minimal Merupakan bentuk utama dari glomerulonefritis dimana mekanisme patogenetik imun tampak tidak ikut berperan (tidak ada bukti patogenesis kompleks imun atau anti-MBG). Glomerolus tampak foot processus sel terpadu, maka disebut juga nefrosis lipid atau penyakit podosit. Kelainan yang relatif jinak adalah penyebab sindrom nefrotik yang paling sering pada anak-anak usia 1-5 tahun. Glomeruli tampak normal atau hampir normal pada mikroskop cahaya, sedangkan dengan mikroskop elektron terlihat adanya penyatuan podosit; hanya bentuk glomerolunefritis mayor yang tidak

memperlihatkan imunopatologi. b). Nefropati membranosa (glomerulonefritis membranosa) Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan secara morfologi khas oleh kelainan berbatas jelas pada MBG. jarang ditemukan pada anak-anak. Mengenai beberapa lobus glomerolus, sedangkan yang lain masih normal. Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrana basalis yang dapat terlihat baik dengan mikroskop cahaya maupun elektron. c). Glomerulosklerosis fokal segmental Lesi ini punya insidens hematuria yang lebih tinggi dan hipertensi, proteinuria nonselektif dan responnya terhadap kortikosteroid buruk. Penyakit ini mula-mula hanya mengenai beberapa glomeruli (istilah fokal) dan pada permulaan hanya glomeroli jukstameduler. Jika penyakit ini berlanjut maka semua bagian terkena.

11

Secara histologik ditandai sklerosis dan hialinisasi beberapa anyaman didalam satuglomerolus, menyisihkan bagian-bagian lain. Jadi keterlibatannya baik fokal dan segmental.

Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik

d). Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN) Ditandai dengan penebalan membran basalis dan proliferasi seluler (hiperselularitas), sertainfiltrasi sel PMN. Dengan mikroskop cahaya, MBG menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel mesangial dansuatu penambahan matriks mesangial. Perluasan mesangium berlanjut ke dalam kumparan kapiler perifer, menyebabkan kontur lengkap) Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi reduplikasimembrana basalis (jejak-trem atau

streptococcus yang progresif dan pada sindrom nefrotik. Ada MPGN tipe I dan tipe II.

e). Glomerulonefritis proliferatif fokal Proliferatif glomeruler dan atau kerusakan yang terbatas pada segmen glomerulus individual (segmental) dan mengenai hanya beberapa glomerulus (fokal). Lebih sering ada dengan sindrom nefrotik

12

2.8 PATOFISIOLOGI

Gambar 2.3 Patofisiologi Sindrom Nefrotik Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipo albuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.7 Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan

13

intravaskuler

tetap

normal.

Retensi

cairan

selanjutnya

mengakibatkan

pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.7 Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas sistemrenin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon

katekolamin serta ADH (anti diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik

menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanismen intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia. Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.9 Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein

14

utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL ( verylow density lipoprotein).7 Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL ( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol acyltransferase ) yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yangterjadi pada SN.9

2.9 GEJALA KLINIS Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, kadang-kadang mencapai 40% daripada berat badan dan didapatkan anasarka. Selama beberapa minggu mungkin terdapat hematuria, azotemia dan hipertensi ringan. Terdapat proteinuria terutama albumin (85 95%) sebanyak 10 15 gr/hari. Selama edema masih banyak, biasanya produksi urin berkurang, berat jenis urin meninggi. Pasien juga mengeluh sesak nafas (hidrotoraks, asites) dan dapat disertai keluhan diare, nyeri perut, anoreksia. Kimia darah menunjukkan hipoalbuminemia, hipoproteinemia, hiperlipidemia, hiperkolesteronemia. Anak dapat pula menderita anemia defisiensi besi karena transferin banyak keluar dengan urin.1

2.10 DIAGNOSA Diagnosis ditegakan bedasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik yang didapat, pemeriksan laboratorium dan dikonfirmasi dengan renal biopsi untuk pemeriksaan histopatologis. Anak dengan awitan sindrom nefrotik antara usia 1-8 tahun agaknya menderita penyakit lesi minimal yang responsif terhadapt

15

kortikosteroid. Penyalit lesi minimal tetap lazim pada anak usia diatas 8 tahun, tetapi glomerulonefritis membranosa dan membranoploriferatif frekuensinya menjadi semakin sering. Pada kelompok ini biopsi ginjal dianjurkan biopsi ginjal untuk menegakan diagnostik sebelum pertimbangan terapi.4 Pada analisa urin didapatkan proteinuria +3 atau +4; mungkin ada hemeturia mikroskopis, tapi jarang ada hematuria makroskopis. Fungsi ginjal mungkin normal atau menurun. Klirens protein melebihi 2 gr/24 jam. Kadar kolesterol dan trigliserid serum naik, kadar albumin serum biasanya kurang dari 2 g/dl (20g/L). Dan kadar kalsium serum total menurun, karena penurunan fraksi terikat albumin. Kadar C3 biasanya normal.4

2.11 PENATALAKSANAAN Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk mengurangi atau menghilangkan proteinuria dan memperbaiki keadaan hipoalbuminemia, mencegah dan mengatasi komplikasinya, yaitu1 : Pemberian albumin Diuretikum Kortikosteroid Atibiotik bila ada infeksi Terapi dietetik1,2 Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas) Restriksi protein dengan diet protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 g/kgBBideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam. diet tinggi kalori, protein dibatasi 2 gram/kgBB/hari. Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 2 gram/hari. Diet rendah kolestrol < 600 mg/hari Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap 900 sampai 1200 ml/ hari Diet vegetarian yang mengandung kedelai lebih efektif menurunkan hiperlipidemia

16

PROTOKOL PENGOBATAN International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.8 A. Sindrom nefrotik serangan pertama 1. Perbaiki keadaan umum penderita : a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal. b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin konsentrat. c. Berantas infeksi. d. Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi. e. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau

mengganggu aktivitas. Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi. 2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari. B. Sindrom nefrotik kambuh (relapse) 1. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse ditegakkan. 2. Perbaiki keadaan umum penderita. a. Sindrom nefrotik kambuh tidak sering Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali dalam masa 12 bulan.

17

1. Induksi Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu. 2. Rumatan Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison dihentikan. b. Sindrom nefrotik kambuh sering adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa 12 bulan. 1. Induksi Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu. 2. Rumatan Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan. Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid, atau untuk biopsi ginjal.

18

2.12 KOMPLIKASI Komplikasi dapat berupa antara lain2: 1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan hemostasis padasindrom nefrotik : Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:

a). Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin seperti AT III, protein S bebas, plasminogen dan antiplasmin. b). Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2, meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena hiporikia dan tertekannya fibrinolisis. Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit danoleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerolus yang selanjutnyamengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit. 2. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus, staphylococcus, bronkopneumonia,TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulitini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan. 3. Gangguan tubulus renalis Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansahenle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam. 4. Gagal ginjal akut. Terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi berkurang, tapi karena edemainterstisial dengan akibatnya meningkatnya tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan penurunan LFG.

19

5. Anemia Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten terhadap pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum yangmenurun akibat proteinuria. 6. Peritonitis Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi streptokokus pneumonia, E.coli. 7. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG)dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya

proteinuria.

2.14 PROGNOSIS Terapi anti bakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjalPenyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahuntahun dengan kortikosteroid.1 Prognosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan histopatologi. Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk, pada banyak kasus dalam 2-18 bulan akan terjadi kematian karena gagal ginjal. Sedangkan prognosis untuk anak dengan kelainan minimal glomerulus sangat baik. Karena pada kebanyakan anak respon tehadap terapi steroid; sekitar 50% mengalami 1-2 kali relaps dalam 5 tahun dan 20% dapat relaps dalam kurun waktu 10 tahun setelah didiagnosis. Hanya 30 % anak yang tidak pernah relaps setelah inisial episode. Setidaknya sekitar 3% anak yang respon terhadap steroid menjadi steroid resisten. Progresif renal insufisiensi terjadi pada kurang dari 1% pasien, dan kematian pada pasien kelainan minimal biasanya disebabkan oleh infeksi dan komplikasi ekstra renal. Prognosis umumnya pada pasien dengan dan

membranoproliferatif

glomerulonephropaty

kurang

baik,

keuntungan terapi steroid tidak begitu jelas.5

20

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuri masif, hipoalbuminemi, edema, hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas yang disebabkan oleh kelainan primer glomerulus dengan etiologi yang tidak diketahui atau berbagai penyakit tertentu. Pemahaman patogenesis dan patofisiologi merupakan pedoman pengobatan rasional sebagian besar pasien SN. Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab, menghilangkan atau mengurangi proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi penyulit.

3.2 SARAN Seluruh pasien setelah mengalami sindrom nefrotik harus diberikan

edukasi dan rencana tindakan selanjutnya.

21

DAFTAR PUSTAKA 1. Alatas H, Rusepno Hasan, Latief A, dkk.,. Sindrom Nefrotik, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 1985. 2. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO : Sindrom Nefrotik, Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2004. 3. A Report of the International Study of Kidney Disease in Children, 1981. The primary nephrotic syndrome in children : Identification of patients with minimal change nephrotic syndrome from initial response to prednison. J Pediatr 98 : 561. 4. Behram, Kleigman, Arvin. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak. Ed 15. EGC Jakarta 2000. 5. Chesney RW, 1999. The idiopathic nephrotic syndrome. Curr Opin Pediatri 11 : 158-61. 6. International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic syndrome in children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory chracteristics at time of diagnosis. Kidney Int 13 : 159. 7. Kaysen GA, 1992. Proteinuria and the nephrotic syndrome. In : Schrier RW, editor. Renal and electrolyte disorders. 4th edition. Boston : Little, Brown and Company pp. 681-726. 8. Niaudet P, 2000. Treatment of idiopathic nephrotic syndrome in children. Up To Date 2000; 8. 9. Noer MS, 1997. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E, editors. Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas Airlanggap. 137-46. 10. Wila Wirya IGN, 1992. Penelitian beberapa aspek klinis dan patologi anatomis sindrom nefrotik primer pada anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta : Universitas Indonesia.

22

Anda mungkin juga menyukai