Anda di halaman 1dari 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. GAGAL JANTUNG Gagal jantung adalah sindrom klinik kompleks yang ditandai dengan gangguan fungsi dan struktur ventrikel sehingga jantung tidak mampu lagi memompakan darah kejaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh serta adanya perubahan neurohormonal yang sering disertai dengan sesak nafas terutama saat beraktifitas sehingga menurunnya kemampuan beraktifitas, retensi cairan dan akhirnya menurunnya harapan hidup. Disfungsi sistolik adalah gangguan kontraksi otot ventrikel kiri yang diikuti dengan menurunnya kekuatan pompa jantung sedangkan disfugsi diastolik adalah menurunya daya relaksasi otot ventrikel kiri yang diikuti dengan menurunnya volume pengisian. Gagal jantung timbul apabila keadaan disfungsi ini telah menimbulkan gejala klinis, baik gagal jantung sistolik atau gagal jantung diastolik.1,2,11,25,26,27 Penyebab tersering terjadinya gagal jantung adalah gangguan / kerusakan fungsi miokard ventrikel kiri disamping adanya penyakit pada pericardium, miokardium, endokardium ataupun pembuluh darah besar. Penurunan fungsi ventrikel kiri mengakibatkan terjadinya penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan teraktivasinya mekanisme kompensasi neurohormonal yang bertujuan mengembalikan kinerja jantung dalam memenuhi kebutuhan jaringan. Aktivasi sistem simpatis menimbulkan peningkatan denyut jantung dan vasokontriksi perifer sehingga curah jantung dapat meningkat kembali. Aktivasi Renin-Angiotensin-Aldosterone System (RAAS) menyebabkan vasokontriksi (angiotensin) dan peningkatan volume darah melalui retensi air dan natrium (aldosteron). Mekanisme kompensasi yang terus berlangsung ini akan menyebabkan stress pada miokardium sehingga menyebabkan terjadinya remodeling yang progresif, dan pada akhirnya dengan mekanisme kompensasipun jantung tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan jaringan (dekompensasi).3,28. Sebagai kompensasi dari berkurangnya kekuatan pompa jantung, ventrikel akan membesar untuk meningkatkan regangan dan kontraksi sehingga dapat memompa darah lebih banyak. Akibatnya, otot jantung akan menebal untuk

Universitas Sumatera Utara

membantu meningkatkan kekuatan pompa. Hal tersebut membutuhkan semakin banyak suplai darah dan arteri koronaria yang menyebabkan jantung juga akan berdenyut lebih cepat untuk memompa lebih sering lagi. Pada keadaan ini, kadar hormon yang menstimulasi jantung akan meningkat. 1,2,26,28 Manifestasi klinis yang menunjukkan adanya tanda-tanda kegagalan jantung kongestif yaitu dispnu dan kelelahan yang dapat menghambat toleransi latihan dan retensi cairan yang dapat menimbulkan kongesti paru dan edema perifer. Kedua abnormalitas tersebut akan mengurangi kapasitas fungsional dan kualitas hidup.1,2,28 Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi, foto toraks, ekokardiografi-doppler, kateterisasi jantung dan uji latih.28 Gagal jantung dapat disertai spektrum abnormalitas fungsi ventrikel yang luas, mulai dari ukuran ventrikel kiri dan fraksi ejeksi yang normal sampai dengan dilatasi berat dan atau fraksi ejeksi yang sangat rendah.16

2.1.1. Klasifikasi Gagal Jantung New York Heart Association (NYHA) pertama kali membuat klasifikasi gagal jantung yang berdasarkan pada derajat keterbatasan fungsional. Pembagian fungsional NYHA sering digunakan untuk menentukan progresifitas gagal jantung. Sistem ini membagi pasien atas 4 kelas fungsional yang bergantung pada gejala yang muncul, yaitu asimptomatis (kelas I), gejala muncul pada aktifitas berat (kelas II), gejala muncul pada saat aktifitas ringan (kelas III) dan gejala muncul pada saat istirahat (kelas IV). Kelas fungsional pada penderita gagal jantung cenderung berubah-ubah. Bahkan perubahan ini dapat terjadi walaupun tanpa perubahan pengobatan dan tanpa perubahan pada fungsi ventrikel yang dapat diukur.1,28 ACC/AHA membagi klasifikasi untuk perkembangan dan progresifitas gagal jantung atas 4 stadium yaitu stadium A adalah beresiko tinggi untuk menjadi gagal jantung tanpa ditemukan adanya disfungsi jantung, stadium B adalah adanya disfungsi jantung tanpa gejala, stadium C adalah adanya disfungsi jantung dengan gejala, stadium D adalah adanya gejala yang berat dan refrakter terhadap terapi maksimal. Pembagian ini mengutamakan pada keberadaan faktor

Universitas Sumatera Utara

resiko dan abnormalitas struktural jantung, pengenalan progresifitasnya, dan strategi pengobatan pada upaya preventif. Penderita gagal jantung akan mengalami perjalanan penyakitnya dari stadium A ke D namun tidak dapat kembali lagi ke stadium A, tetapi dapat terjadi bila menggunakan klasifikasi menurut NYHA. ACC/AHA juga tidak pernah mengklasifikasikan tingkat keparahan gagal jantung berdasarkan fraksi ejeksi namun disebutkan tentang gagal jantung sistolik (FE <50%) dan gagal jantung diastolik (FE >50%), hanya studi-studi dengan sampel pasien gagal jantung yang mengelompokkannya berdasarkan fraksi ejeksi, misalnya studi SOLVD, PROMISE, GESICA yang memakai batasan fraksi ejeksi < 35% untuk gagal jantung yang berat (NYHA IIIIV), namun ada juga studi yang mamakai batasan fraksi ejeksi < 40% untuk yang berat.1,28,29

2.1.2. Disfungsi Ventrikel Kiri Keadaan ini merupakan bentuk dini dari gagal jantung menurut ACC/ AHA tanpa adanya gejala gagal jantung namun sudah terjadi abnormalitas struktur jantung. Apabila disertai dengan gejala gagal jantung maka keadaan ini disebut gagal jantung sistolik atau diastolik (masuk dalam stadium C gagal jantung) atau campuran keduanya walaupun gejala klinis keduanya sulit dibedakan. Namun pada dasarnya disfungsi ventrikel kiri ataupun yang sudah berlanjut menjadi gagal jantung telah menunjukkan perubahan struktur jantung yang sudah dapat ditemukan dengan pemeriksaan non invasif diantaranya dengan pemeriksaan ekokardiografi. Pemeriksaan ekokardiografi sudah dapat

membedakan disfungsi sistolik ataupun diastolik dengan melihat fraksi ejeksi dan mengukur volume serta waktu pengisian ventrikel.25,28 2.1.2.1. Disfungsi Sistolik31,35,41 Disfungsi ini merupakan bentuk dini dari gagal jantung dimana fungsi kontraksi atau pompa ventrikel kiri terganggu sehingga Cardiac Output menurun dan hal ini merupakan mekanisme utama yang berperan dalam menurunnya fraksi ejeksi. Sedangkan mekanisme lain yang menurunkan fraksi ejeksi adalah meningkatnya stres pada dinding ventrikel. Dinding ventrikel akan mengkerut

Universitas Sumatera Utara

selama fase sistolik

sebagai manifestasi memendeknya serabut otot jantung

akibat kontraksi. Kontraksi ventrikel diikuti oleh berkurangnya ukuran ruangan ventrikel yang dapat dinilai secara kualitatif sebagai normal, menurun atau hiperdinamik. Secara normal 60-70% volume akhir diastolik dikeluarkan saat fase sistolik pada tiap siklus sirkulasi jantung. Selain secara kualitatif disfungsi sistolik dapat dinilai juga secara kuantitatif dengan perumusan EF = EDV-ESV/ EDV x 100%. Estimasi volumetrik ventrikel kiri dengan ekokerdiografi 2D berdasarkan pada 3 metode geometrik yang mengkombinasikan pengukuran dimensi ventrikel kiri dan area yang diukur volumenya. Metode itu adalah prolate ellipsoid methode, hemiellipsoid methode dan biplane methode of discs (modified Simpson's rule) Penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri 5-10% sudah dapat ditemukan oleh observer yang berpengalaman. Fraksi ejeksi > 55% masih dipertimbangkan sebagai normal, 40-54% sebagai mildly reduced, 30-39% sebagai moderately reduced sedangkan < 30% sebagai severely reduced. Keadaan hiperdianamik terjadi apabila fraksi ejeksi melebihi 70% yang akan terlihat sebagai ruangan yang hampir tidak ada ketika dilihat dari posisi apikal atau parasternal dan dapat dijumpai pada keadaan hipovolemi atau pada kardiomiopati hipertrofi. Namun studi-studi yang menilai disfungsi sistolik umumnya menggunakan fraksi ejeksi < 50% sebagai batasannya Penyebab yang utama pada disfungsi ini adalah penyakit jantung iskemi. Pada gagal jantung dekompensata ditemukan 63% pasien dengan disfungsi sistolik yang memiliki penyakit jantung koroner sedangkan yang disfungsi diastolik hanya 54%.

2.1.2.1.1. Peranan Ekokardiografi dalam Menentukan Penyebab Disfungsi Sistolik Ekokardiografi dapat juga digunakan dalam menentukan etiologi disfungsi ini (Tabel 2.1). Pada penyakit jantung iskemi hampir selalu dijumpai adanya abnormalitas gerakan dinding regional terutama sekunder dari infark miokard sebelumnya. Sedangkan pada disfungsi sistolik yang global tanpa adanya variasi regional lebih mendukung terjadi oleh karena kardiomiopati bukan iskemi.31

Universitas Sumatera Utara

Penyakit katup jantung regurgitasi berat seperti regurgitasi mitral dan aorta dapat menyebabkan dilatasi ventrikel kiri dengan penurunan fungsi sistolik. Peningkatan tekanan berlebihan seperti stenosis aorta, hipertensi berat ataupun koarktasio selalu menimbulkan hipertrofi meskipun dilatasi ventrikel dan disfungsi dapat terjadi terlambat pada perjalan penyakit ini. Variasi dari penyakit jantung kongenital pun dapat menyebabkan disfungsi sistolik dan biasanya dapat dinilai dengan ekokardiografi termasuk juga penyakit jantung infiltratif seperti amiloidosis yang mempunyai gambaran patognomik. Gambaran yang umum dijumpai adalah hipertofi ventrikel kiri, miokardium tampak sebagai gambaran "berbintik-bintik", dilatasi atrium, penebalan katup nonspesifik dan effusi perikard.31,41 Tabel 2.1. Penyebab Umum Disfungsi Sistolik Ventrikel 31

Ischemic heart disease ( 75% pada negara-negara industri) Cardiomyopathies Pressure Overload states Hypertensive heart disease Valvular heart disease: aortic stenosis Volume overload disease Valvular heart disease: aortic incompetence, mitral regurgitation Ventricular septal defect Rapid ventricular rate states Sustained ventricular tachycardias (e.g.,atrial fibrillation with rapid ventricular response) Congenital heart diasease

2.1.2.2. Disfungsi Diastolik Disfungsi ini juga merupakan bentuk dini dari gagal jantung dimana kemampuan pengisian ventrikel kiri menurun sehingga dibutuhkan tekanan pengisian atrium yang lebih besar lagi. Kemampuan pengisiannya menurun oleh karena gangguan relaksasi ataupun compliance ventrikel dengan fraksi ejeksi yang masih normal namun cardiac output sudah mulai menurun (Tabel 2.2). Vasan dan Levy menetapkan Fraksi Ejeksi > 50% sebagai batasan untuk disfungsi diastolik.28,32,35,36

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2. Faktor yang Mempengaruhi Pengisian Ventrikel 32

Left ventricular compliance Intrinsic distensibility and elasticity LV cavity dimensions Rate of relaxation Left atrial compliance Left atrial pressure Valvular regurgitation: aortic and mitral Pericardial restraint

Fibrosis iskemik miokard (penyakit jantung koroner) dan hipertofi ventrikel oleh karena hipertensi ataupun kardiomiopati hipertrofik merupakan penyebab tersering (Tabel 2.3). Disfungsi diastolik sering timbul bersama dengan disfungsi sistolik namun dapat muncul tersendiri pada 20-40% pasien gagal jantung.35,41 Tabel 2.3. Keadaan yang Menyebabkan Disfungsi Diastolik32,35

Hypertension Ischemic heart disease Hypertrophic cardiomyopathy Restrictive cardiomyopathy Constrictive pericarditis and cardiac temponade Dilated cardiomyopathy Cardiac transplant rejection

Jika compliace ventrikel menurun maka akan terjadi peningkatan tekanannya dalam merespon penambahan volume. Atrium berperan sebagai reservoir, penghubung dan pompa selama siklus jantung, oleh karena itu proses yang mengganggu fungsi atrium normal juga berperan dalam terjadinya disfungsi diastolik. Pada usia muda yang sehat kontraksi atrium berperan sekitar 20% dari pengisian ventrikel. Proporsi ini akan meningkat sedikit sesuai pertambahan usia tetapi biasanya tidak melebihi 50% dari pengisian ventrikel.31,32

Universitas Sumatera Utara

2.1.2.2.1. Klasifikasi Disfungsi Diastolik28,32,35 Klasifikasi yang umum digunakan terutama berdasarkan pola aliran masuk katup mitral yang ditentukan dari puncak gelombang E (pengisian ventrikel awal yang cepat), gelombang A (pengisian ventrikel saat atrium berkontraksi), kecepatan puncak dan rata-rata waktu perlambatan dari gelombang E yang dapat ditentukan dengan pemeriksaan ekokardiografi doppler transmitral. Aliran transmitral yang normal ditandai oleh rasio E/A > 1 dengan waktu deselerasi gelombang E 150-220 ms ( waktu dari puncak gelombang E sampai akhir dari aliran mitral) dan kontribusi atrium pada pengisian ventrikel umumnya tidak lebih 20% .(Gambar 2.1)

Gambar 2.1. Pengukuran Disfungsi Diastolik dengan Doppler Transmitral 35

Penggunaan Doppler transmitral sudah sangat membantu untuk mengenal fungsi diastolik yang normal sampai adanya disfungsi diastolik. Disfungsi diastolik dapat dibagi atas 3 kelompok berdasarkan beratnya disfungsi (Tabel 2.4): 1. Gangguan Relaksasi (Mild Dysfunction) 2. Pseudo-normal (Moderate Dysfunction) 3. Restriktif (Severe Dysfunction)

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.4. Pola Ekokardiografi Doppler Sesuai Beratnya Disfungsi Diastolik

2.1.2.2.1.1. Gangguan Relaksasi Pola doppler pada gangguan ini ditandai dengan gelombang E dengan gelombang A yang terbalik (puncak gelombang E < puncak gelombang A) dan terdapat pemanjangan waktu deselerasi gelombang E lebih dari 220 ms. Keadaan ini mungkin sering dijumpai pada usia lanjut dan bisa tidak ditemukan keadaan yang patofisiologi, tetapi bila dijumpai pada usia <65 tahun dugaan adanya abnormalitas fungsi diastolik perlu dipertimbangkan. Pola ini terjadi oleh karena relaksasi ventrikel kiri terganggu atau menurunnya compliancenya sehingga tekanan atrium kiri meningkat abnormal yang bermanifestasi sebagai menurunnya puncak gelombang E dan melambatnya waktu deselerasi. Keadaan ini biasanya bertoleransi buruk terhadap takhikardia dan fibrilasi atrium.

2.1.2.2.1.2. Psedo-normal Jika tekanan pengisian intrakardiak meningkat bersamaan setelah terlebih dahulu terjadi gangguan relaksasi ventrikel kiri maka pola doppler aliran mitral kembali tampak seperti gambaran normal dengan rasio E/A > 1 namun terjadi penurunan waktu deselerasi gelombang E. Hal ini terjadi oleh karena peningkatan gradien yang lebih tinggi antara atrium kiri dan ventrikel kiri sehingga memberikan tekanan yang lebih besar kapada ventrikel kiri pada fase pengisian awal ventrikel. Keadaan ini membentuk pola doppler dengan puncak gelombang E

Universitas Sumatera Utara

yang lebih tinggi dan pengisian ventrikel yang lebih cepat ( penurunan waktu deselerasi gelombang E) sehingga akan tampak seolah-olah normal pada gangguan relaksasi ventrikel dan dijumpai tekanan pengisian pada sisi kiri.

2.1.2.2.1.3. Restriktif Pada disfungsi diastolik dan peningkatan tekanan pengisian ventrikel yang semakin progresif, dapat terjadi restriktif dengan peningkatan puncak gelombang E oleh karena gradien transmitral yang lebih tinggi dari meningkatnya tekanan atrium kiri. Selanjutnya diikuti dengan semakin memendeknya waktu deselerasi dan mengecilnya gelombang A (tingginya tekanan diastolik ventrikel kiri yang telah diikuti dengan disfungsi sistolik atrium). Maka pola dopplernya adalah gelombang E dengan puncak yang tinggi namun sempit dan gelombang A yang kecil dengan waktu pengisian ventrikel yang sangat pendek pada awal fase diastolik.

2.2. FILTRASI GLOMERULUS SEBAGAI SALAH SATU PROSES FUNGSI GINJAL 33,34,40 Glomerulus adalah suatu pleksus anastomosis kapiler yang dikelilingi oleh kapsula Bowman, suatu lekukan kapsula dari sel epitel tubular dimana urin difiltrasi. Glomerulus juga mengandung sel-sel mesangial sebagai penyangga kapiler dimana sel-sel tersebut bersifat kontraktil dan dapat melakukan fungsi fagosit. Darah masuk ke kapiler glomerulus melalui arteriol aferen dan keluar melalui arteriol eferen. Vasokonstriksi dari arteriol eferen akan menghasilkan tekanan hidrostatik yang tinggi dalam kapiler glomerulus sehingga menggerakkan air, ion-ion dan molekul-molekul kecil melewati perintang (filtration barrier) ke dalam kapsula Bowman. Bahan yang dapat difiltrasi ditentukan oleh ukuran molekul dan muatannya. Filtrasi glomerulus adalah proses pergerakan sekitar 20% plasma yang masuk ke kapiler glomerulus kemudian menembus kapiler untuk masuk ke ruang interstisium lalu menuju kapsula Bowman. Sebagian besar zat yang masuk ke tubulus di kapsula Bowman tidak menetap di tubulus. Zat-zat tersebut dialirkan kembali ke darah melewati kapiler peritubulus melalui proses reabsorbsi. Zat-zat

Universitas Sumatera Utara

lain yang ditambahkan ke filtrat urin juga melalui kapiler peritubulus melalui proses sekresi. Melalui proses reabsorbsi dan sekresi inilah nefron memanipulasi komposisi dan volume filtrat urin awal untuk menghasilkan urin akhir. 2.2.1. Laju Filtrasi Glomerulus 33,34,40 Laju filtrasi glomerulus (LFG) didefenisikan sebagai volume filtrat yang masuk ke dalam kapsula Bowman persatuan waktu. LFG relatif konstan dan memberi indikasi kuat mengenai kesehatan ginjal. LFG bergantung pada empat tekanan yang menentukan filtrasi dan reabsorbsi yaitu tekanan kapiler, tekanan cairan interstisium, tekanan osmotik koloid plasma dan tekanan osmotik koloid cairan interstisium sehingga setiap perubahan tekanan tersebut akan mengubah laju filtrasi glomerulus. Selain itu LFG juga dipengaruhi oleh ketersediaan luas permukaan glomerulus untuk filtrasi sehingga penurunan luas permukaan glomerulus akan menurunkan LFG. Laju filtrasi glomerulus merupakan uji fungsi ginjal yang paling banyak dilakukan terutama untuk studi-studi penelitian. Akurasi setiap uji LFG tergantung dari substansi atau zat yang dipakai sebagai media kontras. Kriteria substansi /zat yang memenuhi syarat untuk uji LFG yaitu: 1. Eliminasi dari tubuh hanya oleh ginjal 2. Filtrasi bebas 3. Tidak mengalami sekresi ataupun reabsorbsi oleh tubulus 4. Pengukuran cukup akurat dan mudah Inulin merupakan satu-satunya zat yang memenuhi kriteria sehingga uji klirens inulin merupakan standard baku namun tidak rutin dilakukan kepada setiap pasien karena masalah tekhnik dan biaya. Selama uji pasien mendapat infus inulin selarna 3 jam dan mempertahankan pemasukan cairan. Nilai rata-rata LFG pada orang dewasa adalah 180 liter perhari (125 ml permenit). Volume plasma normal adalah sekitar 3 liter (dari volume darah total sekitar 5 liter) berarti plasma difiltrasi oleh ginjal sekitar 60 kali sehari, selain itu kenyataan yang luar biasa adalah dari 180 liter cairan yang difiltrasi ke dalam kapsula Bowman perhari hanya 1,5 liter perhari yang diekskresikan dari tubuh

Universitas Sumatera Utara

sebagai urin. Sisanya diserap kembali ke dalam darah di sepanjang kapiler peritubulus.

2.2.2. Gangguan Fungsi Ginjal Gangguan ini terjadi karena adanya penurunan laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate = GFR) yang dapat terjadi dalam derajat ringan, sedang ataupun berat. Proses penurunan fungsi ginjal ini dapat berlangsung secara sementara (akut) ataupun berlangsung secara kronis dan progresif sehingga pada akhirnya akan terjadi gagal ginjal terminal. Pada tahun 2002, The National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative (K/ DOQI) menyusun panduan mengenai penyakit ginjal kronik. Menurut panduan ini gangguan fungsi ginjal yang dini sudah termasuk dalam stadium penyakit ginjal kronik bila berlangsung menetap atau persisten. GFR < 60 ml/menit/ 1,73 m2 > 3 bulan diklasifikasikan sebagai penyakit ginjal kronik tanpa memperhatikan ada atau tidaknya kerusakan ginjal oleh karena pada tingkat GFR tersebut atau lebih rendah, ginjal telah kehilangan fungsinya lebih > 50% dan terdapat komplikasi. Sedangkan pada sisi lain adanya kerusakan ginjal tanpa memperhatikan tingkat GFR juga diklasifikasikan sebagai penyakit ginjal kronik (PGK). Ada kemungkinan GFR tetap normal atau meningkat, tetapi sudah terdapat kerusakan ginjal sehingga mempunyai resiko untuk mengalami dua keadaan utama akibat PGK yaitu hilangnya fungsi ginjal dan terjadinya penyakit kardiovaskular. Definisi PGK tidak memperhatikan penyebab yang mendasari terjadinya kelainan ginjal namun harus tetap diupayakan untuk menegakkan diagnosis penyebabnya, derajat kerusakan ginjal, derajat penurunan fungsi ginjal maupun resiko hilangnya fungsi ginjal lebih lanjut serta resiko timbulnya penyakit kardiovaskular.

2.2.3. Peranan Cystatin C dalam Deteksi Dini Gangguan Fungsi Ginjal Penelitian-penelitian meta-analisis menunjukkan bahwa cystatin C merupakan zat endogen sebagai penilai lain fungsi ginjal yang lebih sensitif untuk

Universitas Sumatera Utara

menilai penurunan laju filtrasi glomerulus yang ringan sampai sedang dibandingkan dengan kreatinin. Cystatin C termasuk asam amino 122, protein 13 250-Da yang berperan sebagai inhibitor proteinase cystein (seperti cathepsin B,S dan K) yang diproduksi secara konstan oleh semua sel berinti melalui ekspresi gen. Oleh karena ukurannya kecil cystatin C difiltrasi secara bebas oleh glomerulus namun tidak disekresikan tetapi direabsorbsi oleh sel epitel tubulus dan selanjutnya dimetabolisme seluruhnya sehingga tidak ada yang kembali ke aliran darah. Oleh karena tidak kembali ke aliran darah dan tidak disekresikan ke tubulus maka estimasi laju filtrasi glomerulus akan lebih merefleksikan fungsi filtrasi ginjal yang sebenarnya. 13,15,21 Produksi cystatin C tidak dipengaruhi oleh kondisi inflamasi dan tidak memiliki ritme sikardian, selain itu konsentrasi di plasma lebih stabil dibanding inhibitor proteinase yang lain. Fungsi cystatin C antara lain melindungi jaringan penghubung oleh enzim intrasellular dan mungkin juga sebagai anti virus dan anti bakteri.3,13 Selain itu kadar cystatin C tidak dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, diet, etnis, aktifitas dan massa otot, namun bebrapa penelitian menunjukkan bahwa keadaan hipertiroid, dan penggunaan kortikosteroid setelah transplantasi serta kemoterapi pada keganasan dapat meningkatkan kadar cystatin C namun berhubungan secara independen dengan inflamasi. Sedangkan kadar kreatinin dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu usia, jenis kelamin, diet, etnis dan massa otot dan banyak keadaan lain yang mempengaruhi peningkatan dan penurunan kadarnya (Tabel 2.5). Kreatinin juga memiliki beberapa keterbatasan lain yaitu adanya hubungan nonlinear antara kreatinin dan laju filtrasi glomerulus dan ketidakmampuan mendeteksi perubahan kecil laju filtrasi yang menurut beberapa peneliti fungsi ginjal telah menurun > 50% sebelum kadar kreatitnin serum melebihi batas normal.8,15,16,30 Tes baku emas untuk menentukan laju filtrasi golerulus adalah dengan mengukur bersihan zat-zat eksogen seperti inulin,51Cr-EDTA, DTPA,
125 99m

Tc-labelled

labelled iothalamate atau iohexol namun mahal, membutuhkan waktu

lebih dan pengawasan laboratorium yang lebih ketat sehingga diperlukan tes

Universitas Sumatera Utara

bersihan ginjal dengan mengukur zat endogen di darah yang lebih praktis diantaranya dengan mengukur kadar cystatin C dan kreatinin.12,13,14 Pengukuran laju filtrasi glomerulus dengan cara tidak langsung (mengukur zat endogen) berhubungan terbalik dengan rata-rata bersihan ginjal sehingga kadar cystatin C juga berbanding terbalik bila dihubungkan dengan laju filtrasi iohexol sebagai baku emas dengan rumus: GFRIO = (87,17/ plasma cystatin C) - 6,87.13 Tabel 2.5. Perbandingan Cystatin C dengan Creatinin Serum 3

2.3. Pengaruh Disfungsi Ventrikel terhadap Fungsi Ginjal. Pendapat umum menyatakan bahwa perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung oleh karena penurunan volume intravaskular dan atau penurunan cardiac output. Penurunan fraksi ejeksi ataupun hipertropi ventrikel kiri saja sebelum munculnya gejala klinis disfungsi ventrikel (gagal jantung) sudah menyebabkan terganggunya aliran darah ginjal dan aktifasi RAAS yang dapat meningkatkan kadar Cystatin C sebagai petanda dini gangguan fungsi ginjal.5,20,24

Universitas Sumatera Utara

Ternyata tidak sesederhana itu, menurut Weiner dkk (2008) salah satu interaksi yang penting juga antara jantung dan ginjal pada keadaan ini adalah melalui proses inflamasi yang melibatkan sistem proinflamatori seperti IL-1, IL-6 dan TNF-a. Proses ini terjadi pada kedua organ sejak dini sehingga sulit diketahui organ mana yang terlebih dahulu menyebabkan gejala klinis.29,30 Kimmenade dkk. telah menyatakan keadaan ini sebagai "cardio-renal syndrome ". Terminologi ini lazim digunakan dalam dekade terakhir namun belum ada definisi yang dapat diterima secara umum terutama bagi kalangan ahli jantung dan ahli ginjal sehingga Scrier (2007) membedakan istilah antara "cardiorenal syndrome" yaitu penurunan fungsi ginjal yang terjadi pada gagal jantung sedangkan penurunan fungsi jantung akibat gagal ginjal disebut sebagai "renocardiac syndrome".5,20 Sebelumnya pada tahun 2004, National Heart Lung and Blood Institute(NHLBI) di Amerika telah membentuk grup kerja Cardio-Renal Connections" yang mengajukan definisi sederhana tentang sindroma kardiorenal (SKR) yaitu adanya penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh penurunan fungsi jantung.24 Pada gagal jantung yang memberat, terjadi pelepasan neurohormon vasokontriktor dan penyebab retensi sodium dan air seperti angiotensin II, norepineprin, endothelin, adenosin dan arginin vasopressin. Namun terjadi juga pelepasan hormon vasodilator dan natriuresis seperti natriuretic peptide, prostaglandin, bradikinin, dan nitrik oksida sebagai efek penyeimbang. Ketidakseimbangan kedua kedua kelompok hormon inilah yang memiliki peranan penting untuk terjadinya perburukan fungsi ginjal dan retensi sodium pada gagal jantung.1,4,28

2.3.1 Sindrom Kardio-Renal Secara umum Sindrom Kardio-Renal oleh Ronco dkk.(2008) didefinisikan sebagai suatu kondisi baik akut ataupun kronik dimana jantung ataupun ginjal gagal mengkompensasi gangguan fungsinya dan berdampak pada gangguan fungsi organ lainnya ataupun akibat sekunder dari penyakit sistemik yang

Universitas Sumatera Utara

mengganggu keduanya sehingga terjadi siklus lingkaran berbahaya yang menyebabkan kegagalan sistem sirkulasi.5,24 Peningkatan beban pengisian jantung berhubungan dengan meningkatnya tekanan vena ginjal. Tekanan perfusi ginjal sebanding dengan tekanan arteri ratarata dikurangi tekanan atrium kiri sebagai indeks tekanan vena ginjal. Peningkatan tekanan vena sentral menunjukkan terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus yang selanjutnya menyebabkan retensi air dan sodium dan terjadi juga stimulasi terhadap renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS). Oleh karena itu

peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan kanan tidak hanya mengganggu cardiac output namun juga menyebabkan disfungsi ginjal dengan meningkatnya tekanan vena ginjal (Gambar 2.2). Selain itu peningktan adenosin juga dapat menyebabkan penurunan GFR dengan cara vasodilatasi arteriol efferen glomerulus dan vasokontriksi arteriol afferen gromerulus.12,4,5,28

Gambar 2.2. Gangguan Fungsi Ginjal pada Gagal Jantung 5

Gottlieb dkk. menyatakan bahwa keadaan akut dari gagal jantung kongestif mengalami perburukan fungsi ginjal dalam tiga hari pertama perawatan ketika pasien masih dalam keadaan hipervolemia. Diuresis yang berlebihan dan

Universitas Sumatera Utara

rendahnya tekanan pengisian berpotensi untuk semakin memperburuk fungsi ginjal namun hal itu jarang terjadi.4,5,28 Selain proses kompensasi terhadap gagal jantung, ada juga hal lain yang dapat menyebabkan disfungsi ginjal pada gagal jantung diantaranya penggunaan zat kontras, NSAID dan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik 4,5 Etiologi SKR bervariasi, namun dapat dikelompokkan atas dua golongan yaitu penurunan perfusi ginjal dan penyakit ginjal intrinsik yang beberapa diantaranya saling terkait menyebabkan SKR. Penyebab utama penurunan perfusi ginjal adalah hipovolemia, vasokontriksi diperantarai neurohormonal, hipotensi dengan curah jantung rendah atau normal dan obat-obatan yang bersifat toksik. Sedangkan penyakit ginjal intrinsik disebabkan oleh resistensi diuretik selain oleh hipertensi dan diabetes yang lama.5,28,42 Faktor resiko SKR menurut American Heart Association dibagi atas dua kelompok, tradisional dan nontradisional. Kedua faktor ini merupakan faktor resiko pada penyakit kardiovaskular (PKV) dan penyakit ginjal kronik (PGK) sehingga interaksi antara keduanya sangat erat. Yang termasuk faktor resiko tradisional adalah usia lanjut, pria, hipertensi, diabetes melitus, kadar LDL yang tinggi, kadar HDL yang rendah, kebiasaan merokok, menopause, LVH dan riwayat keluarga menderita PKV. Sedangkan yang termasuk faktor resiko nontradisional adalah mikroalbuminuria, kadar homosistein yang tinggi, anemia, gangguan metabolisme kalsium dan fosfor, perubahan kadar hormon paratiroid dan inflamasi.5,28,42

2.3.2. Cystatin C pada Disfungsi Ventrikel Kiri Pada disfungsi ventrikel kiri sudah mulai terjadi penurunan fungsi ginjal sehingga kadar Cystatin C sebagai petanda dini gangguan fungsi ginjal juga meningkat. Namun cystatin C pun merupakan prediktor potensial terhadap perubahan struktur jantung yang tidak normal, faktor resiko pada kejadian gagal jantung dengan hubungan yang linier sekaligus sebagai prediktor resiko mortalitas. Beberapa penyakit ginjal juga berhubungan dengan terjadinya disfungsi diastolik dan perubahan geometri ventrikel kiri. 5,7,8,20,24,38

Universitas Sumatera Utara

Lasus

dkk.(2007)

menunjukkan

bahwa

peningkatan

cystatin

berhubungan dengan kematian yang lebih tinggi dalam 12 bulan pada pasienpasien dengan gagal jantung akut dimana kadar cystatin C diatas 1,3 mg/L berhubungan dengan hazard ratio 3,2 yang tertinggi dalam studi ini dengan p < 0,0001. Moran dkk.(2008) menunjukkan bahwa Cystatin C secara linier berhubungan dengan gagal jantung sistolik dan hanya kadar Cystatin C yang paling tinggi ( > 1,2 mg/L) yang dapat memprediksi gagal jantung diastolik sehingga mereka menyimpulkan bahwa disfungsi ginjal dini dapat memprediksi gagal jantung diastolik lebih baik daripada memprediksi gagal jantung sistolik. Namun pada studi MESA oleh Moran dkk. juga didapatkan bahwa penurunan fungsi ginjal ringan (estimasi GFR cystatin c > 60 dan < 90 ml/menit/ 1,73 m2 ) sudah berhubungan dengan odds ratio hipertropi ventrikel kiri yang lebih tinggi. Joachim dkk.(2006) menujukkan bahwa kadar Cystatin C yang lebih tinggi (>1.28 mg/L) berhubungan kuat dengan hipertropi ventrikel kiri dan disfungsi diastolik pada pasien rawat jalan dengan penyakit arteri korener tanpa gagal jantung sedangkan dengan disfungsi sistolik tidak menunjukkan adanya hubungan dengan kadar Cystatin C yang lebih tinggi, tetapi berhubungan linier. Studi mereka menemukan bahwa pada sebagian besar kasus, keberadaan hipertropi ventrikel kiri (LVH) merupakan kejadian utama menuju berkembangnya gagal jantung diastolik melalui kekakuan dinding ventrikel kiri. Kekakuan inilah yang mengawali terjadinya disfungsi diastolik untuk selanjutnya menjadi gagal jantung diastolik. Watanabe dkk.(2003) menunjukkan bahwa kadar cystatin C berhubungan dengan kerusakan end-organ terhadap jantung, ginjal dan pembuluh darah pada penderita hipertensi esensial dengan korelasi terhadap left ventricular mass index (r=0,528), terhadap kliren kreatinin (r = 0,617) dan terhadap intima nedia thickness (r-0,539) dengan kemaknaan masing-masing 0,0001. Hal ini menunjukkan bahwa disamping sebagai parameter fungsi ginjal cystatin C juga merupakan petanda dini beratnya kerusakan end-organ pada hipertensi esensial. Patel dkk.(2009) menunjukkan bahwa peningkatan kadar Cystatin C berhubungan dengan peningkatan massa ventrikel kiri, hipertropi ventrikel kiri

Universitas Sumatera Utara

namun tidak berhubungan dengan left end diastolic volume, left end sistolic volume atau dengan fraksi ejeksi. Namun pada penelitian ini, quartil kadar cystatin C tertingginya hanya sampai > 0,93 mg/L. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa Cystatin C berhubungan dengan abnormalitas struktur jantung preklinik sehingga abnormalitas struktur jantung yang dini sudah menunjukkan adanya disfungsi ginjal yang dini pula. Proses penghambatan terhadap protease cystein oleh inhibitornya seperti Cystatin C akan menghambat degradasi protein matriks ekstrasellular yang terjadi pada proses remodeling ventrikel kiri sehingga proses remodeling menjadi berbanding lurus dengan peningkatan cystatin C.3,13

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai

  • MR 10062015
    MR 10062015
    Dokumen13 halaman
    MR 10062015
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Metastasis o Tak
    Metastasis o Tak
    Dokumen25 halaman
    Metastasis o Tak
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Metastasis o Tak
    Metastasis o Tak
    Dokumen25 halaman
    Metastasis o Tak
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Daftar Tabel
    Daftar Tabel
    Dokumen1 halaman
    Daftar Tabel
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • BAB I Keratitis
    BAB I Keratitis
    Dokumen2 halaman
    BAB I Keratitis
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • BAB III Keratitis
    BAB III Keratitis
    Dokumen1 halaman
    BAB III Keratitis
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Imunisasi
    Imunisasi
    Dokumen2 halaman
    Imunisasi
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Pemicu 4
    Pemicu 4
    Dokumen1 halaman
    Pemicu 4
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Referat Lengkap
    Referat Lengkap
    Dokumen1 halaman
    Referat Lengkap
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Daftar Gambar
    Daftar Gambar
    Dokumen1 halaman
    Daftar Gambar
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Li DK P2
    Li DK P2
    Dokumen1 halaman
    Li DK P2
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Visum Hidup
    Visum Hidup
    Dokumen1 halaman
    Visum Hidup
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Apendiks
    Apendiks
    Dokumen3 halaman
    Apendiks
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Jadwal Jaga
    Jadwal Jaga
    Dokumen1 halaman
    Jadwal Jaga
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Skizofrenia
    Skizofrenia
    Dokumen35 halaman
    Skizofrenia
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Imunisasi
    Imunisasi
    Dokumen2 halaman
    Imunisasi
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Dapus Pembahasan
    Dapus Pembahasan
    Dokumen2 halaman
    Dapus Pembahasan
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Bahan DK p5
    Bahan DK p5
    Dokumen3 halaman
    Bahan DK p5
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Morning Report
    Morning Report
    Dokumen16 halaman
    Morning Report
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Kebanyakan Penelitian Sebelumnya Pada Diagnostik Non
    Kebanyakan Penelitian Sebelumnya Pada Diagnostik Non
    Dokumen1 halaman
    Kebanyakan Penelitian Sebelumnya Pada Diagnostik Non
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Embriologi Payudara
    Embriologi Payudara
    Dokumen4 halaman
    Embriologi Payudara
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Pertanyaan Diskusi
    Pertanyaan Diskusi
    Dokumen1 halaman
    Pertanyaan Diskusi
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Tugas Komunikasi Efektif DK 3
    Tugas Komunikasi Efektif DK 3
    Dokumen15 halaman
    Tugas Komunikasi Efektif DK 3
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Cerita
    Cerita
    Dokumen4 halaman
    Cerita
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Malaria
    Malaria
    Dokumen1 halaman
    Malaria
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Bahan Dkp3 Hemato
    Bahan Dkp3 Hemato
    Dokumen7 halaman
    Bahan Dkp3 Hemato
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat
  • Bahan Dkp3 Hemato
    Bahan Dkp3 Hemato
    Dokumen7 halaman
    Bahan Dkp3 Hemato
    Lida Cii Reyhan
    Belum ada peringkat