Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN

TERATOMA SAKROKOKSIGEUS Teratoma berasal dari bahasa Yunani teratos yang artinya monster dan onkoma yang artinya tumor. Teratoma merupakan jenis tumor sel germinal yang berasal dari sel pluripoten dan tersusun oleh unsur berbagai jenis jaringan yang berbeda dari satu atau lebih ketiga lapisan sel germinal; paling sering ditemukan dalam ovarium atau testis orang dewasa dan pada daerah sacrococcygeus anak-anak. Teratoma berkisar dari jinak (matur, dermoid, dan kistik) sampai ganas (imatur dan padat). Willis mendefinisikan teratoma sebagai tumor atau neoplasma yang tersusun oleh jaringan multipel yang bersifat asing bagi tempat dimana tumor itu tumbuh. Tumor ini dapat mengandung elemen kulit, jaringan neural, gigi, kartilago, kalsifikasi, lemak dan mukosa usus. Tumor ini tersusun dari ketiga lapis embrionik. Biasanya jinak, tetapi dapat mengandung elemen ganas. Tempat bervariasi, paling sering pada area sakrokoksigeus (40%). Tempat lainnya termasuk mediastinum anterior, ovarium, retroperitoneum, testis dan leher. Empat puluh tujuh persen dari teratoma ditemukan di daerah sacrokoksigeal dan sacrokoksigeal ini adalah tumor yang sering terjadi pada bayi baru lahir, dengan insiden dari 1 : 40.000 kelahiran. Dan rasio pria : wanita adalah 1 : 4. Teratoma sakrokoksigeus merupakan varian yang tersering (45-65% kasus), selain gonad (10-35%), mediastinal (10-12%), retroperitoneal (3-5%), cervical (3-6%), presakral (3-5%) dan susunan saraf pusat (2-4%). Sekitar 20% dari teratoma sakrokoksigeus merupakan tumor ganas. Teratoma lebih banyak terjadi pada perempuan, tetapi keganasan teratoma lebih banyak terjadi pada laki-laki. Seluruh spesimen harus dieksisi oleh ahli patologi untuk mencari elemen keganasan. Terapi radiasi dan kemoterapi khususnya

penggunaan

Cytoxian, vincristine

dan

actinomycin

seharusnya menjadi

pertimbangan terapi pada pasien ketika elemen keganasan ditemukan. Sayangnya, hampir tidak ada bayi baru lahir yang selamat ketika mereka teratoma yang diderita merupakan tipe keganasan. Jumlah kematian pada anak-anak dengan teratoma sakrokoksigeum benigna harus diminimalkan. Dalam survei rantai luas oleh American Academy of Pediatric tahun 1973, 2 persen dari pasien yang dioperasi untuk penyakit benigna meninggal post operasi, setengahnya disebabkan oleh perdarahan sedangkan

setengah lainnya disebabkan oleh meningitis. Ada beberapa kematian yang terjadi pada kelompok benigna, tetapi semua itu berhubungan dengan anomali yang terkait.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. ANATOMI Os sacrum orang dewasa yang besar dan berbentuk baji, terbentuk dari lima vertebra sacralis yang bersatu. Os sacrum memberi kekuatan dan kemantapan pada pelvis dan meneruskan berat tubuh kepada cingulum membri inferioris melalui articulation sacro-iliaca. Basis ossis sacri dibentuk oleh permukaan cranial vertebra sacralis I. Processus articularis vertebrae sacralis I bersendi dengan

processus articularis inferior vertebrae lumbalis V. Tepi ventral corpus vertebrae sacralis I yang menganjur kearah ventral adalah promontorium (os sacrum). Pada facies pelvica dan facies dorsalis terdapat empat pasang foramen sacralis guna jalan keluar cabang-cabang keempat nervus sacralis paling cranial dan pembuluh pengiringnya. Facies pelvica ossis crani adalah licin dan cekung. Keempat garis transversal member petunjuk mengenai tempat terjadinya persatuan vertebrae sacrales. Facies dorsalis ossis crani adalah kasar dan cembung. Persatuan processus spinosus membentuk crista sacralis mediana. Hiatus sacralis yang berbentuk seperti U terbalik, terjadi karena tidak adanya lamina arcus vertebrae dan processus spinosus pada vertebra sacralis IV dan vertebra sacralis V. Hiatus sacralis mengantar ke canalis sacralis, yakni ujung

kaudal canalis vertebralis. Cornu sacrale yang mewakili processus articularis inferior vertebrae sacralis V, menonjol ke kaudal dari masing-masing sisi hiatus sacralis dan membantu untuk menentukan tempat letak hiatus sacralis. Pars lateralis ossis sacri mempunyai facies articularis yang berbentuk seperti telinga dan merupakan bagian articulation sacro-iliaca. Vertebrae coccygea yang meruncing adalah sisa-sisa kerangka ekor embriologis. Vertebrae coccygea ini telah menjadi kecil dan tidak memiliki pediculus arcus vertebrae, lamina arcus vertebrae, atau processus spinosus. Ketiga vertebra kaudal bersatu pada usia setengah baya untuk membentuk os coccygis yang menyerupai paruh dan bersendi dengan os sacrum.

B. ETIOPATOLOGI Teratoma tersusun atas berbagai jenis sel parenkimal yang berasal lebih dari satu lapisan germinal dan sering berasal dari ketiga lapisan. Tumor ini berasal dari sel-sel totipoten, umumnya pada garis tengah atau paraxial. Lokasi yang paling sering adalah sakrokoksigeal. Karena berasal dari sel totipoten, sehingga sering ditemukan di kelenjar gonad (29%). Sejauh ini, lokasi gonad yang paling sering terjadi adalah pada ovarium, disusul pada testis. Kista teratoma kadang muncul pada sequestered midline embryonic cell rests dan bias pada mediastinum, retroperitoneal, servikal, dan intracranial. Selsel berdiferensiasi sesuai lapisan germinal, yang terdiri dari berbagai jaringan pada tubuh, seperti rambut, gigi, lemak, kulit, otot dan jaringan endokrin. Teratoma terbentuk dan berkembang selama kehidupan intrautrin, dapat menjadi sangat besar pada teratoma sakrokoksigeus seiring dengan perkembangan fetus. Teratoma sakrokoksigeus muncul dari primitif knot atau hensens node. Hensens node adalah suatu agregasi dari sel totipotensial yang merupakan pengatur utama pada perkembangan embrionik. Semula terletak di bagian posterior embrio yang bermigrasi secara caudal pada minggu pertama kehidupan didalam ekor embrio, akhirnya berhenti di anterior tulang ekor (coccyx). Alur migrasi dari sel germinal menunjukan lokasi dan patologi yang paling sering terdapat teratoma (sakrokoksigeus dan gonad). Sel-sel ini dapat meluas ke

postero-inferior masuk daerah glutea dan /atau postero-superior masuk ke rongga abdominopelvik. Pemisahan sel totipotensial dari hansens node mungkin menyebabkan munculnya teratoma sakrokoksigeus. Sel pleuripotensial ini melarikan diri dari kontrol pengatur embrionik dan berdiferensiasi masuk dalam jaringan yang tidak biasa ditemukan pada daerah sakrokoksigeus. Tumor terjadi dekat dengan tulang ekor, dimana konsentrasi terbesar primitif sel berada untuk waktu yang lama selama masa perkembangan.

C. GAMBARAN KLINIK Secara klinis, Tumor paling sering muncul sebagai massa yang menonjol antara coccyx dan anus yang biasa ditutupi dengan kulit normal yang intak. Beberapa pasien, seluruh atau sebagian benjolan terletak pada permukaan retrorektal atau retroperitoneum. Pada bayi dan anak-anak, Tumor muncul sebagai massa pada daerah sakropelvis yang menekan kandung kemih dan rectum.

Seringnya gejala obstruksi pada traktus urinarius yang disebabkan oleh kompresi ureter dan urethra terhadap pubis atau kompresi ureter terhadap pinggiran pelvis dan terjadi kesulitan defekasi sebagai tanda obstruksi yang mungkin tidak cukup dikenali. Sebagian kecil pasien dapat mengalami paralysis, nyeri, atau kelemahan pada kaki, terutama pada stadium lambat dari invasi maligna dari tumor. Pada teratoma sakrokoksigeus pada fetus, jika tumornya besar, dapat menyebabkan distosia, kesulitan melahirkan dan perdarahan atau laserasi tumor.

D. DIAGNOSIS BANDING Prinsip pertimbangan diagnosis banding pada bayi dengan masa posterior ke koksigeus adalah meningokel, kordoma, duplikasi rectum, tumor neurogenik, lipoma dan hemangioma. Untungnya, teratoma memilliki penampilan

karakteristik yang membuat diagnosis pada bayi relatif mudah.

E. DIAGNOSIS 1. Prenatal USG prenatal dapat mendeteksi tumor ini mulai pada usia kehamilan 13 minggu. USG menunjukkan peningkatan ukuran uterus, placentomegaly, polihidramnion, hidrops fetalis, massa inhomogen pada sakrum dengan gambaran kalsifikasi. Ibu pasien bergejala polihidramnion, meningkat kadar alfa fetoprotein darah sebelum partus dan partus prematur. Bila gejala ini timbul sebelum usia 30 minggu kehamilan maka prognosis anak adalah buruk. Persalinan akan beresiko pada ibu sehingga untuk menghindari distosia atau ruptur tumor dianjurkan untuk dilakukan sectio cesarea bila ukuran tumor lebih dari 5 cm atau tumor lebih besar dari diameter fetus.

2. Postnatal Teratoma benign hanya sedikit bergejala atau bahkan tidak bergejala sama sekali. Massa pada pelvis yang besar dapat menyebabkan dekompresi traktus urinarius maupun rektum. Defisit neurologis jarang terjadi, bila terjadi mengindikasikan malignansi. Tanda metastasis perlu dicari pada anak lebih tua. Diagnosis teratoma sakrokoksigeus biasanya ditegakkan melalui

pemeriksaan fisik. Tumor ini biasanya didiagnosa ketika ditemukan benjolan sacrum yang besar setelah kelahiran yang sulit atau obstruksi pada kelahiran. Anamnesis didapatkan adanya nyeri rectum, konstipasi, dan adanya sebuah benjolan. Teratoma sakrokoksigeus juga sering didiagnosa sebelum bayi lahir dengan pemeriksaan ultrasonografi fetal. Laporan bertahap diagnosis antenatal pada teratoma sakrokoksigeus menunjukkan bahwa sebagian besar fetus yang didiagnosa teratoma sakrokoksigeus kemungkinan meninggal sebelum kelahiran. Diagnosis prenatal penting karena tumor ini mungkin cukup besar untuk menyebabkan distosia dan ruptur dari tumor dengan perdarahan masif dapat terjadi selama kehamilan. Pada sebagian besar kasus, teratoma sakrokoksigeus sangat khas sehingga diagnosisnya sangat jelas. Kadang-kadang, bagaimanapun diagnosis tidak begitu jelas dan adanya lesi lain seperti kondroma, fibroma,

duplikasi rektal, terutama mielomeningocele dan tumor neurogenic presakral, harus dikeluarkan. Apabila sulit membedakan teratoma sacrococygeal dengan lesi lain, studi diagnostic seperti Foto polos, Ultrasonografi, computer tomografi (CT) atau MRI. Foto thoraks membantu menyingkirkan penyakit metastase. Foto polos pada sacral dapat menunjukkan adanya kalsifikasi dalam tumor. Ultrasonografi berguna untuk menentukan sifat lesi (padat atau kistik, adanya komponen intraabdominal dan keterlibatan hati). Baik CT Scan lateral dan magnetic resonance imaging (MRI) akan menunjukkan perluasan intrapelvis dan

intraspinal dari lesi sacral dengan rincian yang jelas. Beberapa teratoma mengandung elemen yolk salk, dimana mengeluarkan alfafetoprotein. Deteksi AFP dapat membantu memperjelas diagnosis dan sering digunakan sebagai marker untuk rekurensi atau efektifitas pengobatan, tapi metode yang jarang pada diagnosis awal. Pada satu tahap, AFP meningkat pada 31 dari 32 teratoma maligna. AFP juga ditemukan meningkat pada cairan amnion jika infan menderita teratoma.

F. STADIUM Klasifikasi Altman membagi tumor berdasarkan fungsi bentang

anatominya ke dalam 4 kelompok : 1. Altman I : eksternal tumor yang mendominasi, dengan perluasan minimal 2. Altman II : eksternal tumor dengan perluasan signifikan intrapelvis. 3. Altman III : tumor eksternal dengan perluasan intra-abdominal 4. Altman IV : hanya tumor intrapelvis, tidak dapat dilihat dari luar.

G. PENATALAKSANAAN Teratoma sakrokoksigeus harus dieksisi lengkap. Lesi Tipe I dan II dapat dimulai pada daerah posterior melalui chevron insisi dan sagital. Lesi tipe III dan IV harus insisi tambahan transversal pada perut bagian bawah. Bagian penting pada prosedur termasuk pengangkatan lengkap pada tumor intak, ligasi arteri sakral tengah, dan eksisi tulang ekor ( coccyx ) bersama tumor. Jika tumor secara histologi benigna ( hanya jaringan matur) atau mengandung jaringan embrionik tanpa maligna seutuhnya, eksisi lengkap adekuat. Jika lesi benigna (97 %), tidak diindikasikan terapi lanjutan. Untuk Tumor yang agresif dan terdapat jaringan

malignan seutuhnya, pembedahan eksisi sendiri tidak adekuat dan pasien harus mendapatkan kemoterapi dan atau radioterapi. Pasien dengan rekurensi

kanker dan tidak dapat dieksisi diberikan terapi VAC (vinkristin, dactinomycin, cyclophosphamide) ditambah radiasi lokal. Pasien ini harus dievaluasi setiap 3 bulan selama 2 tahun pertama dengan pemeriksaan rectal dan jumlah AFP. Pasien yang diperkirakan rekurensi harus dievalusi dengan pemeriksan radiologi yang sesuai, Ultrasonografi dan/ atau CT. Lesi ini paling baik direseksi dalam 24 jam pertama, sejak usus tidak dikoloni pada 24 jam pertama setelah kelahiran., mengurangi resiko infeksi pada daerah yang terkontaminasi feses selama reseksi. Perioperatif antibiotic diberikan segera sebelum pembedahan dan dilanjutkan 2448 jam setelah operasi.

H. KOMPLIKASI Infeksi luka umumnya tidak terjadi, tetapi sama seperti pada seluruh pembedahan bayi baru lahir lainnya, antibiotik spektrum luas diberikan 5 hingga 7 hari. Luka infeksi yang terjadi ditangani dengan tidak ada perbedaan dengan luka infeksi lainnya di bagian tubuh mana saja, dan seharusnya tidak menjadi suatu masalah serius. Kontinesia urin dan feses tergantung dari derajat kerusakan nervus yang terlibat dan kerusakan ketika waktu pembedahan dan distorsi sejumlah otot levator. Perlu untuk memperbaiki otot levator sesudah eksisi tumor akan memberikan hasil inkontinensia feses seminimal mungkin.

I. PROGNOSIS Mortalitas berada dalam batas 15 hingga 20 persen untuk operasi yang dilaksanakan segera setelah kelahiran, dan hampir tiga kali jumlahnya jika dilaksanakan 1 bulan atau lebih setelah kelahiran (Ravitvh 1951). Peningkatan mortalitas berhubungan dengan adanya eksisi yang tertunda oleh karena adanya ruptur dan perdarahan dan adanya perluasan maligna. Gambaran ini menegaskan bahwa perlunya intervensi pembedahan pada periode kelahiran baru yang lebih cepat.

Secara keseluruhan, dengan tingkat kesuksesan hidup lebih dari 95%, prognosis dari bayi baru lahir dan anak-anak penderita sacro-coccygeal teratoma baik. Pasien dengan maligna sacro-coccygeal teratoma akan menghadapi

prognosis yang kurang menyenangkan dibandingan pasien dengan gambaran histologi benigna, tetapi perbaikan substansial telah dicatat sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. Angka pasien yang hidup 80%-90% bisa dicapai di sub kelompok tumor maligna.

ATRESIA ILEUM

PENDAHULUAN Atresia berarti obstruksi kongenital yang disebabkan oklusi total dari lumen usus dan mencakup 95% dari seluruh kasus obstruksi neonatus yang terjadi. Dalam dua dekade terakhir, pemahaman yang lebih baik pada faktorfaktor etiologi, kemajuan di bidang anestesi pediatrik, dan perawatan praoperasi dan pascaoperasi yang lebih baik menyebabkan peningkatan tingkat survival dari penderita kelainan ini. Atresia ileum bersama atresia jejenum adalah penyebab utama dari

obstruksi intestinal pada neonatus, kedua terbanyak setelah malformasi anorektal.Insidens terjadinya atresia jejunoileal dilaporkan 1 dalam 330 kelahiran di Amerika Serikat, sedangkan di Denmark adalah 1 dalam 400 sampai 1 dalam 1500 kelahiran hidup. Penyebab terjadinya atresia ileum pada awalnya diperkirakan berkaitan dengan tidak sempurnanya proses revakuolisasi pada tahap pembentukan usus. Terdapat banyak teori mengenai penyebab terjadinya atresia ileum. Akan tetapi, teori yang banyak digunakan adalah terjadinya kondisi iskemik sampai dengan nekrosis pada pembuluh darah usus yang berakibat terjadinya proses reasorbsi dari bagian usus yang mengalami kondisi nekrosis tersebut. Pendapat lain mengatakan bahwa atresia ileum terjadi karena

ketidaksempurnaan pembentukan pembuluh darah mesenterika selama intrauterin. Ketidaksempurnaan ini dapat diakibatkan karena terjadinya volvulus, intususepsi,

hernia interna, dan konstriksi dari arteri mesenterika pada gastroschisis dan omphalokel. Pada sebuah penelitian dari 250 neonatus dengan atresia ileum, 110 diantaranya terbukti terdapat gangguan vaskuler intrauterin pada ususnya, seperti terjadi malrotasi atau volvulus pada 84 kasus, eksompalokel pada 5 kasus, gastroschisis pada 3 kasus, ileus mekoneum pada 5 kasus, peritonitis mekoneum pada 7 kasus, Hirschsprung pada 5 kasus, dan hernia internal pada 1 kasus. Kelainan ini biasanya tidak berkaitan dengan faktor genetik, meskipun pada satu laporan kasus terjadi pada kembar monozygot memiliki atresia multipel yang sama. Pada suatu penelitian dilaporkan terjadinya atresia ileum karena intususepsi intra uterin. Tidak terdapat kaitan antara kejadian atresia ileum dan usia orang tua saat mengandung atau pun usia ibu saat melahirkan. Pada sebuah penelitian pada hewan, dimana janin anjing yang mengalami gangguan suplai pembuluh darah usus akan mengalami berbagai gangguan obstruksi intralumen usus pada saat lahir, seperti terjadinya stenosis sampai atresia usus. Kelainan bawaan lain yang terjadi bersama dengan atresia ileum dilaporkan lebih jarang bila dibandingkan pada atresia jejenum. dimana pada kedua kembar

DIAGNOSIS Gejala klinis dari atresia ileum adalah polihidramnion pada kehamilan (15%), muntah hijau (81%), distensi abdomen (98%), kuning (20%), dan tidak keluarnya mekoneum dalam 24 jam pertama setelah lahir (71%). USG pada ibu hamil dengan polihidramnion dapat menentukan adanya sumbatan pada usus halus, baik berupa atresia, volvulus, dan peritonitis mekoneum. Untuk mendiagnosisnya dengan cara melihat adanya gambaran aktif. Diagnosis dari

pembesaran multipel dari usus dengan peristaltik yang atresia ileum biasanya dipastikan dengan

pemeriksaan radiologis. Adanya

gambaran pembesaran usus halus, dan adanya gambaran air-fluid level menunjukkan telah terjadi obstruksi usus pada bayi. Semakin distal atresia yang

terjadi semakin tampak pula distensinya. Gambaran dari atresia ileum pada colon adalah gambaran microcolon atau unused colon. Terjadinya kondisi iskemik tidak hanya menyebabkan abnormalitas dari morfologi, tetapi juga mempengaruhi struktur dan fungsi dari usus bagian proksimal dan distal yang tersisa. Bagian proksimal dari atresia mengalami dilatasi dan hipertrofi dengan gambaran histologi villi yang normal, tetapi tanpa adanya peristaltik. Pada kondisi ini juga terdapat defisiensi dari enzim enzim mukosa usus dan ATP pada lapisan muskularis. Terdapat 4 tipe dari atresia ileum, yaitu : a. Atresia ileum tipe I Pada atresia ileum tipe I ditandai dengan terdapatnya membran atau

jaringan yang dibentuk dari lapisan mukosa dan submukosa. Bagian proksimal dari usus mengalami dilatasi dan bagian distalnya kolaps. Kondisi usus tersambung utuh tanpa defek dari bagian mesenterium.

b. Atresia ileum tipe II Pada atresia ileum tipe II bagian proksimal dari usus berakhir pada bagian yang buntu, dan berhubungan dengan bagian distalnya dengan jaringan ikat pendek di atas dari mesenterium yang utuh. Bagian proksimal dari usus akan dilatasi dan mengalami hipertrofi sepanjang beberapa centimeter dan dapat

menjadi sianosis diakibatkan proses iskemia akibat peningkatan tekanan intraluminal.

c. Atresia ileum tipe IIIa Pada atresia ileum tipe IIIa bagian akhir dari ileum yang mengalami atresia memiliki gambaran seperti pada tipe II baik pada bagian proksimal dan distalnya, akan tetapi tidak terdapat jaringan ikat pendek dan terdapat defek dari mesenterium yang berbentuk huruf V. Bagian yang dilatasi yaitu proksimal sering kali tidak memiliki peristaltik dan sering terjadi torsi atau distensi dengan

nekrosis dan perforasi sebagai kejadian sekunder. Panjang keseluruhan dari usus biasanya kurang sedikit dari normal.

d. Atresia ileum tipe IV Pada atresia ileum tipe IV terdapat atresia yang multipel, dengan kombinasi dari tipe I sampai dengan tipe III, memiliki gambaran seperti sosis. Terdapat hubungan dengan faktor genetik, dan tingkat mortalitas yang lebih tinggi. Multipel atresia dapat terjadi karena iskemia dan infark yang terjadi pada banyak tempat, proses inflamasi intrauterin, dan malformasi dari saluran cerna yang terjadi pada tahap awal proses embriogenesis.

PENANGANAN Diagnosis yang terlambat akan berakibat bertambah jeleknya prognosis dari pasien, terjadi nekrosis sampai perforasi dari sistema usus, abnormalitas cairan dan elektrolit, serta peningkatan kejadian sepsis. Pemberian elektrolit dan resusitasi cairan harus segera dilakukan. Pipa nasogastrik atau orogastrik dapat

memperbaiki fungsi diafragma dan mencegah mutah serta terjadinya aspirasi. Tindakan operatif bergantung dari penemuan patologi. Reseksi dari bagian proksimal yang dilatasi dan berlanjut anastomose langsung dengan ujung distalnya sering dilakukan. Akan tetapi apabila tidak dimungkinkan dilakukan reseksi anastomose akan dilakukan ileostomi. Ileostomi yang dilakukan dapat berupa Santulli, Mikulicz, dan Bishoop Koop. Pada prosedur Santulli, ileum proksimal dikeluarkan dan yang distalnya dianastomose ke ileum proksimal di bagian samping dari ileum proksimal. Penderita atresia ileum dirawat di ruangan dengan kelembaban yang cukup dan hangat, untuk mencegah hipotermia, kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium darah. Bila kondisi sudah

memungkinkan untuk dilakukan operasi, operasi segera dilakukan. Pada perawatan pascaoperasi pada pasien dengan atresia ileum harus segera diberikan nutrisi parenteral secepat mungkin. Nutrisi parenteral diberikan segera bila kondisi pascaoperasi telah stabil. Sebagaimana diketahui bahwa semakin proksimal atresianya, semakin lama juga terjadi disfungsi dari sistem ususnya. Secara umum pemberian nutrisi secara oral dimulai setelah bayi sadar penuh, menelan dengan baik, residu gaster kurang dari 5 cc/jam, perabaan soepel pada abdomen, atau telah flatus dan buang air besar. Nutrisi oral yang cukup harus diberikan pada bayi pascaoperasi dengan komposisi karbohidrat 62%, lemak 18%, dan protein 12%.2 Lemak intraluminal merupakan rangsangan utama terhadap pertumbuhan mukosa usus, sedikitnya 20% total kebutuhan kalori harian diperlukan sebagai pembentukan trigilserida rantai panjang untuk

mempertahankan struktur dan fungsi dari usus halus. Disfungsi sementara dari sistema usus halus terutama pada pasien atresia ileum pascaoperasi seringkali terjadi karena banyak sebab, diantaranya adalah intolerans terhadap laktosa, malabsorbsi terutama karena pertumbuhan bakteri yang banyak, dan diare. Hal ini terjadi terutama karena berhubungan dengan short bowel syndrome. Keadaan ini membutuhkan perubahan bertahap dari pola total parenteral nutrisi ke nutrisi oral.

DAFTAR PUSTAKA
Hartanto Huriawati, Koesoemawati Herni, Salim Ivo. Kamus Kedokteran Dorlan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2002. Ilmu Bedah. Teratoma Sacrococcygeus. 2012. Available on :

http://ilmubedah.info/teratoma-sacrococcygeus-20120713.html. Seymour Schwartz, Shires Tom, Spencer Frank. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Ed 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2000. Burge David, Griffiths Mervyn, Steinbrecher Henrik. Paediatric Surgery. Ed 2. Hodder Arnold, 2005. Moore Keith, Agur Anne. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates, 2002. Medscape Reference. Cystic Teratoma. 2012. Available on :

http://emedicine.medscape.com/article/281850-overview#a0104 Oldham Keinth, Colombani Paul, Foglia Robert. Principles and Practice of Pediatric Surgery. Vol 1. Lippincott Williams & Wilkins, 2005. Tanda-tanda Vital dan Pemeriksaan Fisik pada Bayi. 2011. Available on : http://freyadefunk.wordpress.com/2011/11/16/tanda-tanda-vital-danpemeriksaan-fisik-pada-bayi/ Four Season News. Penjelasan Tentang Teratoma Sakrokoksigeus. Available on : http://fourseasonnews.blogspot.com/2012/01/penjelasan-tentangteratoma.html

Anda mungkin juga menyukai