Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang

Bagian sistem saraf yang mengatur fungsi viseral tubuh disebut sistem saraf otonom. Sistem ini membantu mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, berkeringat, suhu tubuh dan banyak aktivitas lainnya; ada beberapa yang hampir semua diatur oleh sistem saraf otonom, sedangkan yang lain sebagian saja. Sistem saraf otonom terutama diaktifkan oleh pusat-pusat yang terletak di medulla spinalis, batang otak dan hipotalamus. Juga, bagian korteks serebri, khususnya korteks limbik dapat menghantarkan impuls ke pusat-pusat yang lebih rendah sehingga dengan demikian mempengaruhi pengaturan otomik. Seringkali sistem saraf otonom juga bekerja sebagai refleks viseral. Jadi, sinyal-sinyal sensorik yang memasuki ganglia otomik, medula, batang otak atau hipotalamus dapat menimbulkan respon refleks yang sesuai untuk kembali langsung ke organ-organ viseral dan mengatur aktivitas organ-organ tersebut. Pada mata, ada dua fungsi mata yang diatur oleh sistem saraf otonom, yaitu dilatasi pupil dan dilatasi lensa. Sedangkan pada kelenjar keringat, bila saraf simpatis terangsang maka kelenjar keringat mensekresi banyak sekali keringat, tetapi pada perangsangan saraf parasimpatis tidak mengakibatkan pengaruh apapun.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi Sindroma Horner adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan oleh kerusakan pada sistem saraf simpatik. Sindrom Horner dikenal juga sebagai Bernard-Horner Syndrome atau Oculosympatetic palsy. Sindroma Horner terdiri atas enophtalmus unilateral ptosis, miosis dan antihidrosis hemifasialis yang kerapkali disebabkan oleh gangguan serabut simpatetik ipsilateral pada rangkaian simpatetik cervikal atau medulla spinalis thoracal atas. Hal ini juga disebabkan oleh lesi vaskular di batang otak, cedera dan tumor di daerah servikal medula spinalis, trauma yang mengenai serabut simpatis pada leher atau mungkin merupakan efek samping sementara dari angiografi serebral. Sindrom Horner ini pertama kali ditemukan oleh Johan Friedrich Horner, seorang oftalmologi berkebangsaan Swiss (1883-1886). Dia menemukan kelainan dari gejala klinis orang yang terinfeksi Lues (sifilis). 2.2 Etiologi Sindroma Horner dapat terjadi karena adanya lesi pada neuron pertama, kedua dan ketiga. Lesi neuron pertama (misalnya trauma leher), lesi neuron kedua (misalnya trauma pada pleksus brachialis saat kelahiran), dan lesi neuron ketiga (misalnya cedera pada arteri karotis). Sindroma Horner dapat terjadi juga akibat kerusakan saraf simpatis. Contohnya pada batang otak terdapat tumor dan lesi vaskular, pada korda cervikalis terdapat tumor intristik, pada akar anterior cervikaslis 8 dan thoracalis 1 terdapat tumor dan adanya kelumpuhan pada pleksus arteri brachialis. Selain itu, Sindroma Horner dapat terjadi pada orang yang terinfeksi lues. 2.3 Patofisiologi Secara anatomi jaras saraf simpatis terbagi 3 tingkatan.

Neuron 1 atau preganglioner. Neuron ini berasal dari posterior hipotalamus kemudian turun tanpa menyilang dan bersinaps secara multiple di otak tengah dan pons, dan berakhir di kolumna intermediolateral C8-T2 yang juga disebut ciliospinal centre of badge
2

Neuron kedua berupa serabut-serabut preganglioner yang keluar dari medula spinalis. Sebagian besar jaras pupilomotor mengikuti radiks ventral torakal 1, sedangkan serabut sudomotor wajah terutama mengikuti radiks ventra T2-4. Jaras tersebut memasuki rantai simpatetik servikal (ganglion stelata) untuk kemudian bersinaps di ganglion servikal superior yang terletak dekat dasar tengkorak

Neuron ketiga merupakan serabut post ganglioner yang berjalan ke atas bersama-sama Arteri karotis komunis memasuki rongga kranium. Serabut untuk vasomotor orbita, kelenjar likrimal, pupil dan otot Mulleri mengikuti Arteri karotis interna, sedangkan serabut sudomotor dan piloereksi wajah mengikuti Arteri.karotis eksterna dan cabangcabangnya. Pada sinus kavernosus jaras pupilomotor tersebut meninggalkan A.karotis interna dan bergabung dengan jaras ophthalmik N.trigeminal dan memasuki orbita melalui fissura orbitalis superior. Kadang-kadang berjalan bersama N.VI dahulu sebelum bergabung dengan N.Trigeminal dan kemudian mencapai badan siliaris yang mengakibatkan dilatasi iris melalui N.nasosiliaris dan N.siliaris longus. Sedangkan serabut vasomotor orbita, M.mulleri dan kelenjar lakrimalis mengikuti A.oftalmika. Morissa dan kawan-kawan (1984) mengemukakan bahwa keringat wajah sesisi tidak seluruhnya diurus oleh serabut yang mengikuti A.karotis eksterna tetapi sebagian wajah yaitu bagian medial dahi dan hidung diurus oleh serabut yang mengikuti A.karotis interna.
3

Dari gambaran anatomi di atas kita memahami bagaimana gejala-gejala pada Sindrom Horner itu terjadi. Ptosis merupakan gejala yang paling gampang terlihat. Ptosis diartikan ketidakmampuan untuk mengangkat kelopak mata. Hal ini disebabkan oleh kelumpuhan M. Mulleri (Superior Tarsal Muscle) yang dipersarafi oleh saraf simpatis. Miosis adalah konstriksi pupil. Hal ini terjadi akibat gangguan pada sistem jaras simpatis mengakibatkan kelumpuhan M. Dillatator Pupillae sehingga ketidakmampuan pupil untuk berdilatasi. Enopthalmus keadaan ptosis yang membuat kelopak mata jatuh menyebabkan mata terkesan mata lebih masuk kedalam. Anhidrosis sebagaimana dijelaskan di atas bahwa neuron simpatis juga berfungsi dalam mempersarafi kelenjar keringat, sehingga gangguan saraf simpatis mengakibatkan tidak keluarnya keringat pada daerah wajah. Jika lesi berada di neuron preganglion maka anhidrosis akan terjadi pada tubuh ipsilateral, namun bila lesi pada neuron postganglion maka anhidrosis terbatas pada daerah dahi saja.

Seperti yang telah disebutkan diatas, Sindroma Horner dapat terjadi pada orang yang terinfeksi Lues (raja singa) atau dalam dunia kedokteran lebih dikenal dengan sifilis, merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum sangat kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten dan dapat ditularkan dari ibu ke janin. Trepanoma pallidum mencapai sistem kardiovaskuler dan sisitem saraf pada waktu dini, tetapi kerusakan secara perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis. 2.4 Gejala klinis Gejala pada Sindroma Horner ini adalah ptosis, enopthalmus, miosis, anhidrosis dan kadang-kadang terdapat warna kemerahan pada sisi wajah yang terkena akibatdari pelebaran pembuluh darah di bawah kulit. 2.5 Diagnosis Lesi disetiap neuron jaras simpatis mungkin secara klinis susah dibedakan karena akan menunjukkan gejala yang sama, namun dengan pemeriksaan yang lebih teliti dan pemeriksaan penunjang kita akan dapat membedakan pada tingkatan neuron mana yang terjadigangguan.

Untuk mendiagnosa dan membedakan letak lesi maka perlu dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang.

Dengan topikal cocaine 4-10%, pada mata normal terjadi dilatasi sedangkan pada Sindrom Horner dilatasi sangat berkurang. Cocaine memblokir reuptake

norepineparine yang dilepaskan oleh neuron simpatik ketiga. Lesi jaras simpatik menyebabkan berkurangnya epinephrine yang dilepaskan oleh neuron sehingga pupil sisi tersebut tidak akan berdilatasi

Paredrin 1% (Hidoksi amfetamin ) untuk menentukan lokasi lesi. Efek paredrine melepaskan nor-epinephrine dari terminal pre-sinaptik. Pada lesi post ganglioner, saraf terminal mengalami degenerasi sehingga terjadi gangguan dilatasi pupil pada pemberian paredrin, sedangkan pada lesi preganglion, jaras post ganglion masih baik sehingga paredrin mengakibatkan dilatasi pupil.

2.6 Penatalaksanaan Beberapa sumber menyebutkan bahwa Sindrom Horner tidak memerlukan penanganan atau pengobatan khusus. Sindrom horner dapat hilang dengan sendirinya jika kondisi medis yang menjadi penyebab ditangani dengan baik.

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Sindrom

Horner

dikenal

juga

sebagai

Bernard-Horner

Syndrome

atau

Oculosympatetic palsy. Sindroma Horner adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan oleh kerusakan pada sistem saraf simpatik. Sindroma Horner terdiri atas enophtalmus unilateral ptosis, miosis dan antihidrosis hemifasialis. Untuk mendiagnosa dan membedakan letak lesi maka perlu dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang, yaitu dengan memberikan cocaine 410% dan Paredrin 1% (Hidoksi amfetamin ). Beberapa sumber menyebutkan bahwa Sindrom Horner tidak memerlukan penanganan atau pengobatan khusus. Sindrom horner dapat hilang dengan sendirinya jika kondisi medis yang menjadi penyebab ditangani dengan baik

DAFTAR PUSTAKA

Chusid, J.G. Neuroanatomi korelatif dan Neurologi Fungsional. Bagian Satu. Jakarta: Universitas Gajah Mada. 1983 Guyton, Artur C. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC. 1997 Price, Sylvia A. Dkk. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta: EGC. 2012 Fatram, Muhamad. Sindrom Horner. 2009. [ acsessed from : http://dokmud.wordpress.com/2009/10/23/syndrome-horner%E2%80%99s/ ] Hasan, Haspita. Horners Syndrome. 2011. [ acsessed from : http://www.scribd.com/doc/45496358/Horner%E2%80%99s-Syndrome ] Sihombing, Davidtuan. Sindrom Horner. 2012. [ acsessed from : http://andarpunyacerita.blogspot.com/2012/09/sindrom-horner.html ]

Anda mungkin juga menyukai