Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Kecelakaan Sepeda Motor

Wanita, 25 tahun, kurang lebih 4 jam sebelum masuk rumah sakit, saat o s mengendarai
sepeda motor, os bertabrakan dengan sepeda motor, lain dari arah berlawanan, os terjatuh
dengan dada terbentur stang sepeda motor. Tidak ada riwayat pingsan, muntah (-). Os
mengeluh sesak nafa ynag memberat disertai nyeri dada kanan & perut sebelah kanan. Os
dibawa ke Puskesmas kemudian dirujuk ke Rumah Sakit. Vital sign, RR: 44 x/ menit, nadi:
116 x/ menit, regular, lemah, akral dingin, TD 90/50 mmHg.
Dokter jaga yang bertugas di IGD, segera melakukan primary survey dan didapatkan:
Airway (A): bebas
Dokter memasang collar brace dan memberikan oksigen 10-12 liter/ menit dengan
masker (non rebreathing mask).
Breathing (B):
JVP: meningkat, trachea bergeser ke kiri, RR (Respiration Rate): 44 x/ menit, tampak
sianotik. Thorax, inspeksi: ada jejas di hemithorax kanan depan (dada). Pengembangan
dinding dada kanan tertinggal. Retraksi suprasternal. Palpasi: pengembangan dada kanan
tertinggal. Perkusi: hipersonor dada kanan. Auskultasi: suara dasar vesikuler dada kanan
hilang. Suara jantung: normal, letak bergeser semakin ke kiri.
Setelah itu dokter segera melakukan needle thoracocentesis, dilanjutkan pemasangan
chest tube/ water seal drainage (WSD).
Circulation (C):
Setelah tindakan di Breathing, dilakukan pengukuran VS ulang & didapatkan
tekanan darah 110/ 70 mmHg, nadi 90 x / menit, akral hangat. Dilakukan pemasangan infuse,
diberikan cairan Ringer Laktat dengan jumlah tetesan maintenance. Dilakukan pemasangan
kateter untuk monitoring, produksi urin initial 150cc kemerahan.
Disability (D):
GCS 15, pupil bulat, isokor, reflek cahaya +/+
Environment / Exposure (E):
Semua pakaian pasien dibuka untuk menilai apakah ada kelainan lain yang sifatnya
life threatening. Setelah itu pasien diselimuti untuk mencegah hipothermia.



Adjunct Primary Survay:
Dilakukan pemeriksaan foto rontgen Cervical lateral, Thoraks AP, dan Pelvis AP.
Pada foto rontgen thoraks AP, didapatkan hematothoraks kanan. Foto rontgen pelvis dan
cervical dalam batas normal.

Secondary Survey
Dilakukan head to toe examination. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan jejas di
abdomen kanan atas, disertai nyeri tekan tanpa tanda rangsang peritoneal (defans muskuler),
bising usus dalam batas normal. Pelvis tidak ada kelainan. Dilakukan log roll, tidak
didapatkan jejas di flank kanan maupun kiri. Ekstremitas dalam batas normal. Hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil: Hb 10,9; Trombosit 159.000; Urinalisis
didapatkan eritrosit dalam urin 30-40/ mm
3
.
Dokter merujuk pasien ke Rumah Sakit Rujukan Daerah (Bedah Thoraks, Bedah
Digestif, Bedah Urologi).






















BAB II
STUDI PUSTAKA DAN DISKUSI

Jump 1
Memahami skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario.
1. needle thoracocentesis : memasukkan jarum/ kateter ke dalam cavum pleura untuk
mengeluarkan udara.
2. akral : bagian ujung.
3. non-rebreathing mask : metode pemberian oksigen konsentrasi 99%, aliran 8-12 liter/
menit, di mana udara inspirasi tidak tercampur udara ekspirasi.
4. jejas : injuri, luka.
5. o s : orang sakit.
6. retraksi suprasternal: tarikan di atas sternum, indikasi kesulitan bernafas.
7. defans muskuler: inflamasi di peritoneum parietal (nyeri somatic), dirasakan saat
inspirasi dan ekspirasi berupa kontraksi otot terhadap rangsang tekan.
8. flank : bagian sisi samping tubuh di bawah costae terbawah sampai dengan di atas
panggul.
9. log roll: tindakan yang bertujuan untuk inline immobilization.
10. produksi urin initial: jumlah urin yang dikeluarkan dari kateter pertama kalinya.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana patofisiologi manifestasi klinis dari kelainan-kelainan dalam skenario?
2. Apa saja pemeriksaan lebih lanjut yang dibutuhkan untuk menunjang penegakkan
diagnosis?
3. Apa saja diagnosis banding untuk kasus tersebut?
4. Bagaimana penatalaksanaaan kasus tersebut?










Jump 2
A. Trauma Thoraks
1. Definisi
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional
(Dorland, 2002)
a. Klasifikasi Trauma
Trauma Tumpul
Trauma tumpul lebih umum terjadi daripada cedera tembus pada
dada, persentasinya lebih dari 90% pada cedera toraks. Sebuah pukulan
langsung ke dinding dada dapat menghancurkan, menyebabkan patah tulang
dan dislokasi pada tulang seperti tulang rusuk. Cedera pada dada dapat
meningkatkan tekanan intrathorakal sehingga menyebabkan pecahnya
organ dan terisi oleh gas / cairan. (Khan, 2008)
Cedera terjadi ketika gerakan ke depan dari dada tiba-tiba berhenti
sedangkan visera intrathorakal terus bergerak maju, seperti pada cedera
kemudi mobil. Struktur visceral tidak terikat pada dinding dada, sehingga
terus bergerak maju sampai mereka dihentikan oleh permukaan dalam dari
dinding thoraks pada suatu tabrakan, tekanan yang diciptakan oleh gerakan
melebihi toleransi jaringan, menyebabkan cedera. (Khan, 2008)
Rusuk dapat patah pada tempat tubrukan dan melukai paru
dibawahnya yang menyebabkan memar atau tertusuk. Rusuk biasanya
menjadi cukup stabil dalam waktu 10 hari sampai 2 minggu. Usaha
penyembuhan dengan pembentukan kalus terlihat setelah sekitar 6 minggu.
(Khan, 2008)
Trauma Tusuk
Trauma tusuk biasanya hasil dari aplikasi suatu kekuatan mekanik
yang tiba-tiba pada suatu area fokus. Sebuah pisau atau proyektil, misalnya,
menghasilkan kerusakan jaringan oleh karena peregangan dan
penghancuran; cedera biasanya terbatas pada jaringan disekitar tusukan.
Tingkat keparahan dari cedera internal tergantung pada organ yang tertusuk
dan bagaimana pentingnya organ itu. (Khan, 2008).





2. Fraktur
Patah Tulang Iga
Patah tulang iga dapat tunggal atau multiple. Jika multiple, bentuk dan
gerak thoraks masih bisa memadai ,bisa juga tidak. Diagnosis patah tulang iga
multiple, ditentukan berdasar gejala dan tanda nyeri lokal. Nyerinya berupa nyeri
lokal dan nyeri kompresi kiri kanan atau muka-belakang dan nyeri pada gerak
napas. Jika terjadi patah tulang iga multipel biasanya dinding thoraks tetap stabil.
Akan tetapi, jika beberapa iga mengalami patah tulang pada dua tempat , suatu
segmen dinding dada terlepas dari kesatuannya. Fraktur iga tunggal atau multipel
dengan gerak dada yang masih memadai dan teratur ditangani dengan pemberian
analgetik atau anastetik. Nyeri harus dihilangkan untuk menjamin pernapasan
yang baik atau mencegah pneumonia akibat gerak napas tidak memadai dan
terganggunya batuk karena nyeri. Jika pemberian analgesik tidak menghilangkan
nyeri, harus dilakukan anastesia blok intercostal yang meliputi segmen dikaudal
dan kranial iga yang patah. (Sjamsuhidajat,2004).
B. Syok.
Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi darah
ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel. Kematian karena
syok terjadi bila keadaan ini menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolism sel. Terapi
syok bertujuan memperbaiki gangguan fisiologik dan menghilangkan faktor penyebab.
Syok sirkulasi dianggap sebagai rangsang paling hebat dari hipofisis adrenalin sehingga
menimbulkan akibat fisiologi dan metabolisme yang besar. Syok didefinisikan juga
sebagai volume darah sirkulasi tidak adekuat yang mengurangi perfusi, pertama pada
jaringan nonvital (kulit, jaringan ikat, tulang, otot) dan kemudian ke organ vital (otak,
jantung, paru- paru, dan ginjal). Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan
patofisiologis dinamik yang mengakibatkan hipoksia jaringan dan sel (Anderson dan
Wilson, 2000).









1. Etiologi dan klasifikasi
Syok secara umum dapat diklasifikasikan menjadi :

a. Syok hipovolemik, syok yang disebabkan karena tubuh :
Kehilangan darah/syok hemoragik
Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal
Hemoragik internal : hematoma, hematotoraks
Kehilangan plasma : luka bakar
Kehilangan cairan dan elektrolit
Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebih
Internal : asites, obstruksi usus
b. Syok kardiogenik, kegagalan kerja jantung. Gangguan perfusi jaringan yang
disebabkan karena disfungsi jantung misalnya : aritmia, AMI (Infark
Miokard Akut).
c. Syok septik, terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan toksinnya
didalam tubuh yang berakibat vasodilatasi.
d. Syok anafilaktif, gangguan perfusi jaringan akibat adanya reaksi antigen
antibodi yang mengeluarkan histamine dengan akibat peningkatan
permeabilitas membran kapiler dan terjadi dilates arteriola sehingga venous
return menurun. Misalnya: reaksi tranfusi, sengatan serangga, gigitan ular
berbisa.
e. Syok neurogenik, terjadi gangguan perfusi jaringan yang disebabkn karena
disfungsi sistem saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi. Misalnya :
trauma pada tulang belakang, spinal syok.
(Anderson dan Wilson, 2000).
2. Patogenesis dan Patofisiologi Syok Hipovolemik
Penyebab syok hipovolemik yang paling umum adalah perdarahan mukosa
saluran cerna dan trauma berat. Penyebab perdarahan terselubung adalah antara
lain trauma abdomen dengan ruptur aneurisma aorta, ruptur limpa atau ileus
obstruksi, dan peritonitis. Secara klinis syok hipovolemik ditandai oleh volume
cairan intravaskuler yang berkurang bersama-sama penurunan tekanan vena
sentral, hipotensi arterial, dan peningkatan tahanan vaskular sistemik. Respon
jantung yang umum adalah berupa takikardia, Respon ini dapat minimal pada
orang tua atau karena pengaruh obat-obatan. Gejala yang ditimbulkan bergantung
pada tingkat kegawatan syok.


Prinsip pengelolaan dasar adalah menghentikan perdarahan dan mengganti
kehilangan volume.

Larutan elektrolit isotonik digunakan sebagai terapi cairan
awal. Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama sedangkan NaCl
fisologis adalah pilihan kedua. Jumlah cairan yang diberikan adalah berdasarkan
hukum 3 untuk 1, yaitu memerlukan sebanyak 300 ml larutan elektrolit untuk 100
ml darah yang hilang. Sebagai contoh, pasien dewasa dengan berat badan 70 kg
dengan derajat perdarahan III membutuhkan jumlah cairan sebanyak 4.410 cairan
kristaloid (Rifki, 2001).
3. Patogenesis dan Patofisiologi Syok Kardiogenik
Patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi kontraktilitas
miokard yang mengakibatkan lingkaran setan penurunan curah jantung, tekanan
darah rendah,insufisiensi koroner, dan selanjutnya terjadi penurunan
kontraktilitas dan curah jantung. Syok kardiogenik ditandai dengan gangguan
fungsi ventrikel kiri, yang mengakibatkan gangguan berat pada pefusi jaringan
dan penghantaran oksigen ke jaringan. Yang khas pada syok kardiogenik oleh
infark miokardium akut adalah hilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada
ventrikel kiri. Selain dari kehilangan masif jaringan otot ventrikel kiri juga
ditemukan daerah-daerah nekrosis fokal diseluruh ventrikel. Nekrosis fokal
diduga merupakan kibat dari ketidak seimbangan yang terus-menerus antara
kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Pembuluh koroner yang terserang
juga tidak mampu meningkatkan alira darah secara memadai sebagai respon
terhadap peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen jantung oleh aktivitas
respon kompensatorik seperti perangsangan simpatik. Sebagai akibat dari proses
infark, kontraktilitas ventrikel kiri dan kinerjanya menjadi sangat terganggu
(Brandler, 2010)
Tatalaksana dimulai dengan manajemen ABC. Pada pasien yang sangat
sesak dapat dipertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik. Pemberian
vasopresor intravena baik untuk meningkatkan inortropik dan memaksimalkan
perfusi ke miokardium yang iskemik. Yang perlu diperhatikan, pemberian
vasopresor itu sendiri dapat berakibat peningkatan denyut jantung yang pada
akhirnya akan memperluas infark yang telah terjadi (Brandler, 2010)
4. Patogenesis Syok Septik
Pada umumnya penyebab syok septik adalah infeksi kuman gram negatif
yang berada dalam darah/endotoksin. Jamur dan jenis bakteri juga dapat menjadi


penyebab septicemia. Syok septik sering diikuti dengan hipovolemia dan
hipotensi. Hal ini dapat disebabkan karena penimbunan cairan disirkulasi mikro,
pembentukan pintasan arteriovenus dan penurunan tahanan vaskuler sistemik,
kebocoran kapiler menyeluruh, depresi fungsi miokardium. Beberapa faktor
predisposisi syok septic adalah trauma, diabetes, leukemia, granulositopenia
berat, penyakit saluran kemih, terapi kortikosteroid jangka panjang,
imunosupresan atau radiasi. Syok septik sering terjadi pada bayi baru lahir, usia
di atas 50 tahun, dan penderita gangguan sistem kekebalan. Pemilihan antibiotik
untuk sepsis biasanya secara empiris dapat digunakan: vankomisin, ceftazidim,
cefepime, ticarcilin, pipercilin, imipenem, meropenem, cefotaxim, klindamisin,
metronidazol (Anderson dan Wilson, 2000).

5. Patogenesis Syok Neurogenik
Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang
mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di daerah splangnikus
sehingga aliran darah ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan
oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri hebat. Pasien merasa
pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah pasien dibaringkan, umumnya
keadaan berubah menjadi baik kembali secara spontan. Trauma kepaa yang
terisolasi tidak akan menyebabkan syok. Adanya syok pada trauma kepala harus
dicari penyebab yang lain. Trauma pada medulla spinalis akan menyebabkan
hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis. Gambaran klasik dari syok neurogenik
adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi perifer (Bartholomeusz,
2003; Japardi, 2002).
6. Patogenesis Syok Anafilaksis
Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe 1 atau Immediate type
reaction. Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :
a. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
b. Fase Aktivasi, yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen
yang sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang.
c. Fase Efektor, yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas
farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek


bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.
Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi
cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya
diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang
cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk
menilai respon terhadap terapi. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak
segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi
kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) (Krausz, 2006).
C. Needle Thoracosentesis
Needle thoracocentesis atau needle decompression adalah jarum atau kateter
yang dimasukkan ke dalam rongga pleura untuk mengeluarkan udara yang
terperangkap dalam rongga pleura, needle thoracocentesis dapat mengubah tension
pneumothorax menjadi pneumothoraks simpel. Dekompresi dilakukan dengan kateter
vena besar (nomer 14) disela iga ke-2 pada garis mid-clavicula, menyusuri tepi atas iga
ke-3. Setelah tekanan rongga pleura kurang lebih sama dengan udara luar
(Pusponegoro, 2007). Indikasi penggunaan Needle Thoracosintesis adalah tension
pneumothorak dan tension hemopnuemothrax ( Carpenito, 2007).

















D. WSD (Water Sealed Drainage)
WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara,
cairan (darah,pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan mediastinum dengan
menggunakan pipa penghubung (Pusponegoro, 2007).
1. Indikasi
a. Pneumothoraks.
b. Hemathoraks.
c. Thorakotomy
d. Emfisema
e. Efusi Pleura
2. Tujuan
a. Mengeluarkan cairan atau darah, udara dari rongga pleura dan rongga
thorak
b. Mengembalikan tekanan negatif pada rongga pleura
c. Mengembangkan kembali paru yang kolaps
d. Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada.
e.
3. Tempat Pemasangan WSD
a. Bagian apeks
1) Anterolateral interkosta
2) Fungsi : untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura.
b. Bagian basal
1) Posterolateral interkosta 8 9
2) Fungsi : untuk mengeluarkan cairan (darah, pus) dari rongga
pleura
4. Komplikasi Pemasangan WSD
a. Komplikasi primer : perdarahan, edema paru, tension pneumothoraks,
atrial aritmia
b. Komplikasi sekunder : infeksi, emfiema
(Pusponegoro, 2007).






E. Hemothoraks
Hemothorax adalah kumpulan darah di dalam ruang antara dinding dada dan paru-
paru (rongga pleura). Penyebab paling umum dari hemothorax adalah trauma dada.

Trauma misalnya:
a. Luka tembus paru-paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada
b. Trauma tumpul dada kadang-kadang dapat mengakibatkan lecet
hemothorax oleh pembuluh internal.
Diathesis perdarahan seperti penyakit hemoragik bayi baru lahir atau purpura
Henoch-Schnlein dapat menyebabkan spontan hemotoraks. Adenomatoid
malformasi kongenital kistik: malformasi ini kadang-kadang mengalami komplikasi,
seperti hemothorax (Pusponegoro , 2007).
a. Patofisiologi
Perdarahan ke dalam rongga pleura dapat terjadi, hampir semua gangguan
dari jaringan dinding dada dan pleura atau struktur intratoracic yang fisiologis
terhadap pengembangan hematothorax diwujudkan dalam 2 bidang utama
hemodinamik dan pernapasan . Tingkat respons hemodinamik ditentukan oleh jumlah
dan kecepatan kehilangan darah .Gerakan pernapasan normal mungkin terhambat oleh
ruang efek menduduki akumulasi besar darah dalam rongga pleura . Dalam kasus
trauma , kelainan ventilasi dan oksigen dapat mengakibatkan , terutama jika dikaitkan
dengan cedera pada dinding dada . Dalam beberapa kasus nontraumatic asal usul ,
terutama yang berkaitan dengan pneumotorax dan jumlah terbatas perdarahan , gejala
pernapasan dapat mendominasi (Pusponegoro, 2007).









b. Etiologi
1. Traumatis
1) Trauma tumpul.
2) Penetrasi Trauma.
2. Non traumatik atau spontan
1) Neoplasia
2) Diskrasia darah, termasuk komplikasi antikoagulasi.
3) Emboli paru dengan infark.
4) Emfisema.
5) Tuberkulosis
6) Paru arteriovenosa fistul
(Hudak, 2009)
F. Hipotermia
Hipotermia adalah suatu kondisi di mana inti suhu turun di bawah yang
diperlukan untuk metabolisme dan fungsi tubuh. Suhu tubuh biasanya dikelola secara
konstan melalui homeostasis biologis atau thermoregulasi.
Tubuh menggigil keras. Koordinasi otot berkurang. Gerakan lambat disertai
dengan pucat dan agak kebingungan, walaupun korban mungkin tampak waspada.
Pembuluh darah superficial vasokonstriksi ,sedang pembulluh darah dalam tubuh
berusaha menjaga agar organ vital tetap hangat. Korban menjadi pucat. Bibir, telinga,
jari tangan dan kaki dapat menjadi biru.
Apabila sudah parah gejala menggigil berhenti. Kesulitan untuk berbicara,
berpikir lamban dan amnesia mulai muncul; ketidakmampuan untuk menggunakan
tangan ini juga biasanya terjadi. Proses metabolisme selular berhenti. Kulit menjadi
biru dan bengkak, koordinasi otot menjadi sangat lemah, berjalan menjadi hampir
mustahil, dan kesadaran korban menurun. Denyut nadi menurun dan respirasi rate
menurun secara signifikan. Organ utama gagal. Klinis kematian terjadi . karena terjadi
penurunan metabolisme selular dalam tahap lanjut hipotermia, tubuh akan
memerlukan waktu yang cukup lama sampai terjadi kematian otak.
Apabila pasien trauma mengalami hipotermia dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Hemostasis sukar berlangsung baik pada suhu dibawah 35 C.
Hipotermia pada pasien trauma sering terjadi jika evakuasi pra rumah sakit
berlangsung terlalu lama (bahkan juga di cuaca tropis). Pasien mudah menjadi dingin


tetapi sukar untuk dihangatkan kembali, karena itu pencegahan hipotermia sangat
penting.
G. Pneumothoraks
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara bebas di dalam ruang
pleura. Menurut etiologinya pneumotoraks dapat terjadi spontan, karena trauma, dan
akibat tindakan medis (Bradley, 1997; Jain et al., 2008 ; Pappachan, 2009).
Pneumotoraks berdasar penyebabnya dibagi menjadi :
1. Pneumotoraks spontan: setiap pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa
adanya suatu penyebab (trauma ataupun iatrogenic), dibagi lagi menjadi 2:
a. Pneumotoraks spontan primer : terjadi tanpa ada riwayat penyakit
paru yang mendasarinya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder : terjadi karena penyakit paru yang
mendasarinya.
2. Pneumotoraks traumatic : pneumotoraks yang terjadi akibat suatu trauma,
baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura,
dinding dada, maupun paru. Pneumotoraks traumatic tidak harus disertai
dengan fraktur iga maupun luka penetrasi. Trauma tumpul atau kontusio
pada dinding dada dapat menimbulkan pneumotoraks. Berdasar
kejadiannya pneumotoraks traumatic dibagi menjadi 2 :
a. Penumotoraks traumatic bukan iatrogenic : terjadi karena jejas
kecelakaan, baik terbuka maupun tertutup.
b. Pneumotoraks traumatic iatrogenic : pneumotroraks terjadi karena
komplikasi tindakan medis.













Berdasarkan jenis fistulanya, dibagi menjadi 3 :
1. Penumotoraks tertutup : pneumotoraks dengan tekanan udara di rongga
pleura yang sedikit lebih tinggi disbanding tekanan pleura pada sisi
hemitoraks kontralateral, tetapi lebih rendah dari tekanan atmosfer.
2. Pneumotoraks terbuka : terjadi karena luka terbuka pada dinding dada
sehingga saat inspirasi udara dapat keluar masuk lewat luka tersebut.
3. Tension pneumotoraks : terjadi karena mekanisme check valve yaitu pada
saat inspirasi udara masuk rongga pleura, tetapi saat ekspirasi udara dalam
rongga pleura tidak bias keluar, sehingga semakin lama tekanan dalam
rongga pleura meiningkat mendesak paru dan dapat menyebabkan gagal
napas (Barnawi dan Eko, 2006)
Pneumotoraks mengurangi kapasitas vital paru dan juga menurunkan tekanan
oksigen, yang terjadi karena kebocoran antara alveolus dan rongga pleura sehingga
udara akan berpindah dari alveolus ke rongga pleura hingga tekanan di kedua sisi
sama. Akibatnya, volume paru bekurang dan volume rongga toraks bertambah
(Pappachan, 2009). Pneumotoraks lebih sering terjadi pada anak karena letak pleura
terhadap trakea lebih tinggi sehingga mudah mengalami trauma. Hal ini dapat
mengakibatkan gangguan sirkulasi darah, atau udara masuk ke rongga pleura
(Lindman dan Morgan, 2010). Gejala pneumotoraks tergantung pada jenis dan
luasnya. Pasien biasanya merasa nyeri yang hebat, sesak napas, batuk-batuk.
Pneumotoraks yang kecil dapat tanpa gejala, tetapi ketika tedapat sesak serta nyeri
dan dada yang terkena terasa sempit, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya
pneumotoraks desakan (tension pneumothorax) yang berbahaya, karena terjadi
pendorongan vena kava sehingga akan mengakibatkan berkurangnya curah jantung,
diikuti gejala hipoksia dan asidosis metabolic (Jain et al., 2008).
Penatalaksanaannya tergantung pada berapa luas pneumotoraks yang terjadi.
Jika sedikit, cukup diobservasi namun jika luas perlu dilakukan drainase tertutup
dengan pemasangan pipa salir.








Prinsip penatalaksanaan pneumotoraks yaitu
1. Pemberian oksigen
2. Mengatasi penyebabnya dengan mengeluarkan udara yang
terperangkap.
3. Menjaga jalan nafas tetap aman.
4. Memberi ventilasi yang adekuat.

(Jain et al., 2009).
H. Hematuria
Hematuria adalah suatu terminology medik yang menjelaskan adanya darah dalam
saluran kemih, pada umumnya dikategorikan baik gross maupun mikroskopik. Untuk
mikroskopik hematuria dikatakan apabila didapatkan lebih dari 3 sampai 5 sel darah
merah/lapang pandang. Gross hematuria bisa disertai dengan clot/bekuan darah dimana
dapat berasal dari perdarahan di ureter/ginjal, buli-buli dan prostat. Diagnose pada saat
awal adalah dengan memastikan adanya sel darah merah pada urine. Hal ini penting oleh
karena karena merah pada urine bisa disebabkan oleh :
a. Erythrocyturia
b. Hemoglobinuria
c. Myoglobinuria
d. Pigmen makanan
e. Zat pewarna makanan
f. Obat obatan (Phenothiazine, Phenazopyridin, Porphyrin,
Phenolphtalein)
g. Obat-obatan : Phenothiazine, Phenazopyridin, Porphyrin,
Phenolphtalein
Sedangkan beberapa penyebab hematuria adalah :
a. Glomerular Glomerulonephritis akut
b. Renal
c. Penyakit polikistik ginjal Nekrosis papillar Inflamasi dan infeksi
Malformasi vaskular
d. Urologik
e. Neoplasma Batu
f. BPH


g. Striktur uretra Endometriosis Divertikulitis, apendisitis Aneurisma
aorta abdominalis Benda asing
h. Hematologik- Koagulopati kongenital dan didapat Antikoagulasi
teraputik Penyakit Sickle cell
i. Factitious
j. Perdarahan vaginal
k. Pseudo hematuria Pigmen makanan Metabolit obat
Hematuria yang tidak diketahui penyebabnya. 20% dari penderita tidak
diketahui penyebabnya meskipun telah dilakukan pemeriksaan urologi lebih lanjut.
Beberapa cara follow-up penderita harus diberitahu perlu follow-up lebih lanjut
cytoscopy, bila kemudian timbul gross hematuria anamnesa riwayat penggunaan obat
sebelumnya (Aspirin & NSAID dapat menyebabkan koagulopati) pada hematuria
mikroskopik yang persisten harus dievaluasi dengan urinalysis dan tes sitologi urine tiap
6 bulan. Tiap 1 tahun diperiksa tekanan darah dan fungsi ginjal.Diagnosis hematuria
mikroskopik bermakna ditegakkan apabila paling sedikit dalam 3 kali pemeriksaan
urinalisis dalam kurun waktu 2-3 minggu menunjukkan adanya 5 atau lebih sel darah
merah per lapang pandang besar (Noer, 2005).



















I. Peta Konsep
































Wanita, 25 tahun
Trauma, bertabrakan dengan sepeda
motor jatuh, dada terbentur stang
Pingsan (-), sesak napas, nyeri
dada dan perut sebelah kanan
4 jam di Puskesmas
Rujuk ke puskesmas
RR : 44 x/menit, nadi : 116 x/menit,
regular, lemah, akral dingin, TD ; 90/50
mmHg
Primary Survey
Adjunct Primary
Survey
Secondary
Survey
Rujuk ke Bedah
Thorax, Bedah
Digestif, Bedah
Urologi)


PEMBAHASAN
Seorang wanita 25 tahun, kurang lebih 4 jam sebelum masuk rumah sakit ,os
mengendarai sepada motor dan bertabrakan dengan sepeda motor lain dari arah berlawanan,
os terjatuh dengan dada terbentur stang. Tidak ada riwayat pingsan, muntah (-). Os mengeluh
sesak nafas yang memberat disertai nyeri dada kanan dan perut sebelah kanan. Os dibawa ke
puskesmas kemudian dirujuk ke rumah sakit. Vital sign, RR: 44x/mnt, nadi: 116x/mnt,
regular, lemah. Akral dingin. TD 90/50 mmHg.
Waktu kurang lebih 4 jam disini menunjukkan distribusi kematian trimodal
penanganan pada pasien trauma yaitu pada puncak periode kedua yang harus segera
memerlukan penilaian dan tindakan resusitasi yang cepat harus dilakukan pada jam-jam
pertama penanggulangan yang merupakan prinsip penanggulangan pada kasus trauma. Tidak
adanya riwayat pingsan dan muntah berarti pasien tidak mengalami trauma pada kepala yang
menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial ataupun trauma pada abdomen yang
mengenai gaster pasien sehingga bisa menyebabkan muntah. Pemeriksaan vital sign pada
pasien menunjukkan bahwa pasien mengalami syok setelah kecelakaan.
Pada primary survey, jalan napas bebas sehingga pasien bisa bernapas bebas, namun
dokter perlu memberikan oksigen 10-12 lt/menit dengan masker. Hal ini bertujuan agar
pasien mendapat bantuan perfusi sehubungan dengan syok yang dialaminya. Pemasangan
collar brace disini dilakukan dengan tujuan melakukan imobilisasi pada leher pasien sebagai
tindakan preventif agar tidak terjadi fraktur cervical yang parah.
Pada pemeriksaan breathing, terdapat peningkatan JVP (jugular venius pressure),
trachea bergeser ke kanan, RRnya 44x/mnt serta tampak sianotik. Jika airway tidak ada
masalah maka masalah breathing ini dipastikan karena ada gangguan dari paru ataupun organ
dalam.
Pada pemeriksaan paru didapatkan jejas di hemithorak dextra depan, akibat trauma,
maka jejas ini nantinya akan mengganggu pernapasan pasien. Terbukti dengan
pengembangan dada yang tertinggal, retraksi suprasternal. Kemudian berdasarkan perkusi
yang hipersonor menunjukkan bahwa paru terisi dengan udara yang banyak karena normal
perkusi paru adalah sonor. Pada auskultasi suara dasar vesikel dextra menghilang. Pada
pasien ini, hipotesa adalah tension peumothoraks akibat adanya jejas dada kanan depan akibat
tebentur stang sepeda motor.




Tension pneumothoraks menyebabkan cavum pleura terisi udara, akibatnya adalah
jejas tadi mengenai pleura sehingga ada jalan udara masuk ke dalam cavum pleura,
menyebabkan parunya kolaps dan mengecil. Masuknya udara yang cukup banyak ini akan
menggeser letak jantung dan trachea ke sisi yang kontralateral. Pada pemeriksaan jantung,
suara jantung normal sedangkan letaknya bergeser ka kanan. Hal inilah yang menyebabkan
keterlambatan pengembalian darah ke jantung sehingga menyebabkan distensi pada vena
jugularis dan pasien kekurangan suplai darah bersih di jaringan yang ditunjukkan dengan
sianotik. Kemudian dokter melakukan needle thoracocentesis untuk mengeluarkan akumulasi
udara dari cavum pleura dan setelah itu dilanjutkan pemasangan water sealed drainage untuk
mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura pasien.
Setelah dilakukan breathing dilakukan pengukuran vital sign ulang dan didapatkan tekanan
darah 110/70 mmHg, nadi 90 kali/menit, dan akral hangat. Pada pemeriksaan sebelumnya,
didapatkan tekanan darah 90/50 mmHg, nadi 116 kali/menit, dan akral dingin. Dari hasil
tersebut, dapat dilihat adanya perbaikan kondisi vital sign pasien, pasien yang awalnya syok
menjadi lebih stabil. Kondisi pasien membaik setelah dilakukan tindakan needle
thoracoscentesis yang dilanjutkan dengan pemasangan chest tube/water sailed drainage
(WSD). Tindakan tersebut dilakukan atas indikasi tension pneumothorax yang menyebabkan
kolapsnya paru-paru dan tertekannya jatung yang menyebabkan sirkulasi terganggu.
Pemasangan infus diberikan cairan Ringer Laktat dengan jumlah tetesan maintenance 20-
30mEq/kgBB, untuk menjaga homeostasis pasien sebagai pengganti cairan yang hilang
melalui pernafasan, kulit, urin dan tinja ( Normal Water Losses = NWL). Dilakukan
pemasangan kateter untuk monitoring produksi urin initial pada pasien. Urin initial berwarna
kemerahan yang mengindikasikan adanya makrohematuria pada pasien sehingga perlu
dibuktikan dengan urinalisis untuk mengetahui jumlah eritrosit / mm
3
dalam urin. Adanya
darah dalam urin menunjukkan terjadinya keadaan patologis akibat trauma pada organ
urogenital pasien. Pada pemeriksaan disability, didapatkan pupil bulat, isokor, refleks cahaya
+/+ , GCS 15 yang menunjukkan kondisi kesadaran pasien tidak terganggu dan
menyingkirkan kecurigaan adanya trauma pada kepala. Pada pemeriksaan
environment/exposure semua pakaian pasien dibuka agar dapat dinilai kelainan yang
mungkin terlewat pada saat inspeksi keadaan umum pasien pertama kali. Dinilai adanya
kelainan yang sifatnya life threatening. Setelah itu, pasien diselimuti untuk mencegah
hipotermia. Hipotermia terjadi jika tubuh tidak dapat mempertahankan keadaan homeostasis
suhu, yaitu kurang dari 36

C , dan hipotermia berat yaitu kurang dari 32

C.


Pada Adjunct Primary Survay dilakukan pemeriksaan foto rontgen Cervikal lateral
untuk menyingkirkan kecurigaan cidera cervical, Thorax AP untuk mengetahui ada atau tidak
trauma tulang belakang, dan keadaan cavum thorax, dan Pelvis AP. Foto Pelvis dan cervical
dalam batas normal, namun didapatkan hemothorax dextra pada foto rontgen thorax AP.
Hemothorax dapat disebabkan karena trauma pada saat kecelakaan atau trauma pada saat
tindakan needle thoracocentesis dan pemasangan chest tube.
Pada adjunct primary survay dilakukan pemeriksaan foto rontgen cervical lateral,torax
anteroposterior dan pelvis anteroposterior. Pemeriksaan foto rongen tesebut merupakan
pemeriksaan yang harus dilakukan pada pasien emergensi trauma. Pada foto rontgen thoraks
anteroposterior didapatkan hematothoraks kanan. Hematothoraks adalah pengumpulan darah
dalam ruang potensial antara pleura viseral dan parietal. Hemetothoraks pada sekenario ini
ditandai dengan adanya sesak nafas, pengembangan dinding dada kanan yang tertinggal dan
suara dasar vesikuler dada kanan hilang. Sementara itu pada foto rontgen hematothoraks
ditunjukkan dengan adanya bayangan difus radio- opak pada lapangan paru. Foto rontgen
pelvis dan cervial dalam batas normal menunjukkan tidak ada kelainan pada rongga pelvis
dan bagian leher.
Pada secondary survey dilakukan head to toe examination yaitu pemeriksaan yang
dilakukan dari kepala sampai kaki untuk melihat adanya kelainan. Pada pemeriksaan
abdomen didapatkan jejas di abdomen kanan atas disertai nyeri tekan tanpa rangsang
peritoneal (bising usus dalam batas normal). Jejas pada abdomen kakan atas dapat
menunjukkan adanya kelainan pada organ yang terdapat pada regio di kanan atas abdomen
yaitu sebagian liver, kandung empedu, caput pankreas, hepatik flexure colon dan sebagian
duodenum. Jejas pada daerah tersebut dapat menunjukkan atau mengakibatkan kelainan pada
organ organ tersebut. Tidak terdapat defens muskuler menujukkan tidak ada rangasangan
peritoneum parietal seperti infeksi dan inflamasi. Bising usus yang normal menunjukkan
tidak terdapat kelainan pada saluran pencernaan bagian bawah. Pelvis tidak ada kelainan
menujukkan tidak ada kelainan pada regio pelvis. Dilakukan log roll, tidak didapatkan jejas
di flank kanan maupun kiri. Log roll adalah tehnik yang digunakan untuk memiringkan
pasien untuk melihat bagian belakang dan samping tubuh pasien dengan menjaga kesegarisan
tulang belakang yang biasanya dilakukan bersama- sama oleh beberapa orang. Kemudian
didapatkan flank dalam batas normal yang menunjukkan tidak ada kelainan pada ginjal
pasien. Flang adalah daerah yang terletak diantara tulang rusuk dan pinggul bagian belakang
dimana pada daerah itu dapat terlihat adanya kelainan seperti pembesaran pada ginjal.


Ekstremitas dalam batas mormal menunjukkan tidak ada kelainan pada bagian alat
gerak tanggan dan kaki. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil Hb 10,9 g/dl. Hb
10,9 g/dl menunjukkan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah yang normalnya
12- 16 g/dl yang dapat disebabkan karena perdarahan, kurang gizi, gangguan sumsum tulang,
pengobatan kemoterapi dan abnormalitas hemoglobin bawaan. Pada kasus ini etiologi yang
paling mungkin adalah perdarahan yang terjadi akibat trauma. Trombosit 159.000
menunjukkan kadar yang normal yaitu berkisar antara 150.000 450.000. Urinalisis
menunjukkan adanya eritrosit dalam urin 30- 40/mm
3
. Urinalisis adalah tes yang dilakukan
pada sampel urin pasien untuk tujuan diagnosis infeksi saluran kemih, batu ginjal, skrining
dan evaluasi berbagai jenis penyakit ginjal, memantau perkembangan penyakit seperti
diabetes melitus dan tekanan darah tinggi (hipertensi), dan skrining terhadap status kesehatan
umum. Eritrosit dalam urin dikatakan normal bila berjumlah 0- 1 per lapang pandang besar.
Pasien ini dapat dikategorikan sebagai pasien hematuria. Hematuria dapat disebabkan karena
kanker, trauma, batu, infeksi, dan obstruksi. Kemungkinan pada kasus ini pasien mengalami
trauma sehingga menyebabkan kelainan pada ureter karena ginjal dan organ bagian pelvis
dalam batas normal. Untuk mengetahui lebih lanjut penyebab hematuri ini perlu pemeriksaan
lebih lanjut yaitu berupa computed tomography (CT) scan dari perut dan pelvis, cystoscopy,
dan urine cytology.
CT scan adalah evaluasi pencitraan dari sistim urinary. Sebelum prosedur, pasien
meminum agen kontras oral atau disuntikan secara intravena. Tes lain yang dapat dilakukan
intravenous pyelogram (IVP). CT scan lebih umum dilakukan daripada IVP untuk
mengevaluasi sistim urinari dan harus dipertimbangkan sebagai tes pilihan. Kedua
pemeriksaan ini bermanfaat untuk mengevaluasi ginjal-ginjal dan ureter namun tidak untuk
kantong kemih, prostat, atau uretra. Oleh karenanya, pemeriksaan kedua yang disebut
cystoscopy perlu dilakukan. Tes terakhir adalah sitologi urin. Seluruh pemeriksaan tersebut
dapat dilakukan serta di analisis oleh dokter spesialis dibidangnya oleh karena itu pasien
dirujuk ke rumah sakit rujukan daerah yang dapat memuat bedah thoraks, bedah digestif dan
bedah urologi. Pasien dirujuk karena mungkin fasilitas yang kurang memadai di rumah sakit
tersebut sehingga perlu rumah sakit yang lebih lengkap baik tenaga medis maupun sarananya.







BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
1. Belum dapat diketahui penyebab pasien hematouria
2. Perlunya observasi lebih lanjut untuk menentukan keadaan pasien secara pasti.
3. Pasien mengalami tension pneumothorax
4. Tindakan dokter umum dalam skenario sudah tepat dalam mengatasi pasien trauma
B. SARAN
Selama diskusi tutorial mahasiswa aktif dalam membahas keseluruhan materi namun
ada beberapa yang belum dikupas tuntas untuk skenario ini hal tersebut bukanlah kendala
yang cukup berarti, hanya memerlukan sumber sumber yang lebih terbaru dan
mempersiapkan materi secara matang.





















DAFTAR PUSTAKA

Anderson SP, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit jilid 1, edisi 4.
2000. Jakarta: EGC.

Barnawi H dan Eko B (2006). Pneumotoraks spontan. Dalam Sudoyo AW, editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.

Bartholomeusz L(2003). Safe Anaesthesia. Hal 408-413

Bradley PJ (1997).Management of the obstructed airway and tracheostomy. In: Kerr AG,
editor. Scott-Browns Otolaryngology,6
th
ed. London: Butterworth; p.5/7/7-14

Brandler ES (2010). Cardiogenic shock in emergency medicine
http://emedicine.medscape.com/article/759992-treatment. Diakses Mei 2012

Carpenito LJ (2007). Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.

Doegoes LM (2009). Perencanaan Keperawatan dan Dokumentasian Keperawatan.
Jakarta : EGC.

Dorland, WAN. (2002) . Kamus Kedokteran, EGC, Jakarta.

Hudak CM (2009). Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.
Japardi I (2002). Manifestasi Neurologik Shock Sepsis.
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi20.pdf Diakses Mei
2012.

Jain DG, Gosavi SN, Jain DD (2008). Understanding and Managing Tension Pneumothorax.
JIACM ;9(1): 42-50

Khan AN .(2008). Thorax and Trauma http://emedicine.medscape.com/article/357007-
overview. Dikutip tanggal 16 Juli 2011.
Krausz (2006). Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of Emergency
Surgery. Hal: 1-14

Lindman JP, Morgan CE (2010). Tracheostomy. Cited Jun 7 2010. Available
from:http://emedicine.medscape.com/article/865068-overview. Diakses Mei 2012.

Noer MS (2005). Hematuria. Divisi Nefrologi Bagan Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSU
Dr. Soetomo Surabaya.


Pappachan B. (2009).Acute airway distress secondary to iatrogenic injury during
Tracheostomy. J Maxillofac Oral Surg,; 8(1):9193


Pusponegoro AD (2007) . Ilmu Bedah. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Rifki. Syok dan penanggulangannya. FKUA. Padang.2001. Hal 21-31

Sjamsuhidajat R, Jong WD (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2. EGC Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai