Anda di halaman 1dari 37

1

BAB I
LAPORAN KASUS


A. IDENTIFIKASI
Nama : Ny. KS
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 42 tahun
Alamat : Jl. Ancol Selatan rt 010/006, Sunter Agung,
Tanjung Priuk
Agama : Katolik
Bangsa : Indonesia
Masuk Rumah Sakit : 15 Juni 2014
No. RM : 435649


B. ANAMNESIS
Autoanamnesis terhadap pasien dan alloanamnesis pada suami pasien

Keluhan Utama
Benjolan di leher sebelah kanan.

Riwayat Perjalanan Penyakit
1 tahun sebelum masuk rumah sakit (SMRS) penderita mengeluh
timbulnya benjolan di leher sebelah kanan sebesar kelereng. Tidak ada
perubahan suara menjadi serak, nyeri, susah menelan, sesak nafas, demam,
benjolan di tempat lain, jantung berdebar-debar, tangan gemetar, tangan
berkeringat, dan rasa penuh di ulu hati.
6 bulan SMRS pasien merasa benjolan makin lama makin membesar
seperti telur burung puyuh. Ketika pasien merasa benjolan makin membesar
pasien pergi ke salah satu klinik non medis untuk melakukan pengobatan.
Setelah pasien mendapatkan pengobatan di klinik tersebut, pasien merasa
2

tidak mengalami perubahan. Tidak ada perubahan suara menjadi serak, nyeri,
susah menelan, sesak nafas, demam, benjolan di tempat lain, jantung
berdebar-debar, tangan gemetar, tangan berkeringat, dan rasa penuh di ulu
hati.
2 bulan yang lalu sebelum ke bagian bedah, pasien sempat ke bagian
penyakit dalam di RSPAD dan mendapatkan terapi euthyrax, namun pasien
merasakan benjolan bertambah besar sebesar telur ayam kampung. Pada awal
Juni pasien memutuskan sendiri untuk ke bagian bedah untuk dilakukan
pengangkatan benjolan.
Riwayat Penyakit Terdahulu/Lainnya
Tidak ada riwayat radiasi pada bagian kepala dan leher.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Riwayat penyakit yang sama ada pada ibu pasien.

Riwayat Pengobatan
Euthyrax

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Gizi : Cukup
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Pernafasan : 20x/menit
Nadi : 76x/menit
Suhu : 36,6 C
Pupil : Isokor, Refleks cahaya langsung dan tidak
langsung (+/+)
Mata : Exophtalmus (-)
Kepala : Konjungtiva (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : lihat status lokalis
3

Thorax : Jantung: denyut jantung 76x/menit, murmur (-),
gallop (-),
Paru: vesikuler (+) / Normal, ronki (-), wheezing (-
)
Abdomen : Datar, Bising Usus (+) / Normal
Genitalia Eksterna : tidak ada kelainan
Ekstremitas Atas : tidak ada kelainan

Status Lokalis
Regio colli anterior dextra
I : Tampak benjolan sebesar telur ayam kampung, warna kulit sama
dengan sekitar.
P : Teraba sebuah massa soliter, ukuran 8cm x 6cm x 4cm. Konsistensi
keras, permukaan rata, batas tidak tegas, nyeri tekan (-), mobile, massa
ikut bergerak saat menelan (+), pembesaran KGB di servikal, jugular,
submandibular atau klavikular (-).



Gambar tampak depan
4


Gambar tampak samping

D. RESUME
Pasien perempuan usia 42 tahun datang dengan keluhan benjolan sebesar telor
ayam kampung. 1 tahun SMRS penderita mengeluh timbulnya benjolan di leher
sebelah kanan sebesar kelereng. Ketika itu tidak ada keluhan perubahan suara
menjadi serak, nyeri, susah menelan, sesak nafas, demam, benjolan di tempat lain,
jantung berdebar-debar, tangan gemetar, tangan berkeringat, dan rasa penuh di ulu
hati.
6 bulan SMRS pasien merasa benjolan makin lama makin membesar seperti
telur burung puyuh. Ketika pasien merasa benjolan makin membesar pasien pergi
ke salah satu klinik non medis untuk melakukan pengobatan. Setelah pasien
mendapatkan pengobatan di klinik tersebut, pasien merasa tidak mengalami
perubahan.
2 bulan yang lalu sebelum ke bagian bedah, pasien sempat ke bagian
penyakit dalam di RSPAD dan mendapatkan terapi euthyrax, namun pasien
merasakan benjolan bertambah besar sebesar telur ayam kampung. Pada awal Juni
pasien memutuskan sendiri untuk ke bagian bedah untuk dilakukan pengangkatan
benjolan.
Pemeriksaan fisik untuk bagian tubuh yang lain tidak ditemukan kelainan
kecuali pada regio colli anterior dextra. Kelainan pada region colli dextra adalah
tampak benjolan sebesar telur ayam kampung dengan warna kulit sama dengan
sekitar dan teraba massa soliter ukuran 8cm x 6cm x 4cm, konsistensi keras,
permukaan rata, batas tidak tegas, mobile, massa ikut bergerak saat menelan.

5

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

P
eme
riks
aan
Sidi
k
Tiro
id
Has
il
pme
riks
aan
T
S.
Yth


:
pem
erik
saan
tiroid telah dilaksanakan dengan menggunakan radiofarmaka Tc-99m
pertechnetate untuk angka penangkapan tiroid (uptake) dan sidik tiroid,
serta pemeriksaan invitro menggunakan I-125 untuk T3, T4 dan TSH
(RIA).
UPTAKE : Tc-99m uptake 20 menit :0,29 % (N: 1,6-7,6 %)
INVITRO : fT4 RIA : 0,73 ug/dl (N: 0,8-1,7)
TSH : 0,84 ulU/ml (N: 0,27-3,75)
SINTIGRAM : Dari pencitraan, samar-samar tampak kedua lobus
JENIS PEMERIKSAAN HASIL RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hb 11,9 12-16 g/dL
Ht 35 37-47%
Eritrosit 4,2 4,3-6,0 juta/uL
Leukosit 9620 4800-10800/uL
Trombosit 403000 150000-400000/uL
MCV 84 80-96 fL
MCH 29 27-32 pg
MCHC 34 32-36 g/dL
FAAL HEMOSTASIS
KOAGULASI
Waktu Perdarahan 100 1-3 menit
Waktu Pembekuan 400 1-6 menit
KIMIA KLINIK
SGOT (AST) 22 0-32 mU/dl
SGPT (ALT) 14 0-33 mU/dl
Ureum 18 20-50 mg/dL
Kreatinin 0,6 0,5-1,5 mg/dL
Glukosa Darah (Puasa) 89 70-100 mg/dL
Glukosa Darah (2 jam PP) 130 < 140 mg/dL
6

tiroid membesar dengan penangkapan
radioaktivitas tidak rata.
Nodul yang hamper meliputi lobus kanan
menangkap radioaktivitas kurang.
KESAN : Struma nodosa (nodul dingin)
Uptake tiroid rendah.

Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan Rontgen Thorax AP
- Jantung tidak membesar, CTR< 50%
- Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
- Trachea di tengah, kedua hillus tidak menebal.
- Corakan brochovasculer kedua paru baik
- Tidak tampak infiltrate ataupun nodul di kedua lapang paru.
- Kedua sinus costofrenikus dan diafragma baik.
- Tulang-tulang dan jaringan lunak baik.
KESAN : Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru.
7


F. DIAGNOSIS BANDING
Struma Nodosa Non Toksik
Struma Nodosa Toksik
Karsinoma Tiroid

G. DIAGNOSIS KERJA
Tumor Tiroid suspec Struma Nodosa Non Toksik suspec Maligna

H. PENATALAKSANAAN
Rencana isthmolobektomi
Pasca operasi pasien dirawat dan diberikan :
Antibiotik
8

Analgetik
Proton Pump Inhibitor (PPI)

I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam: dubia ad bonam
Quo ad sanationam: dubia ad bonam

























9




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Struma nodosa atau struma adenomatosa terutama di temukan di daerah
pegunungan karena defisiensi iodium. Struma endemik ini dapat dicegah
dengan substitusi iodium. Di luar daerah endemik, struma nodosa ditemukan
secara insidental atau pada keluarga tertentu. Etiologinya umumnya
multifaktorial. Biasanya tiroid sudah membesar sejak usia muda dan
berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Struma multinodosa biasanya ditemukan pada wanita berusia lanjut, dan
perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia sampai bentuk
involusi. Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh tiroksin.
Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal, tetapi
kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi.
Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena
pertumbuhannya yang sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar
tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian penderita dengan struma
nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa gangguan.1

A. DEFINISI
Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasanya terjadi
karena folikel-folikel terisi koloid secara berlebihan. Setelah bertahun-tahun
sebagian folikel tumbuh semakin besar dengan membentuk kista dan kelenjar
tersebut menjadi noduler. Struma nodosa non toksik adalah pembesaran
kelenjar tiroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai
tanda-tanda hipertiroidisme.


10



B. EMBRIOLOGI
Glandula thyroidea mula-mula berkembang dari penonjolan endodermal
pada garis tengah dasar pharynx, diantara tuberculum impar dan copula.
Nantinya penebalan ini berubah menjadi divertikulum yang disebut ductus
thyroglossalis. Dengan berlanjutnya perkembangan, duktus ini memanjang
dan ujung distalnya menjadi berlobus dua. Duktus ini merubah menjadi tali
padat dan bermigrasi menuruni leher, berjalan di sebelah anterior, atau
posterior terhadap os hyoideum yang sedang berkembang. Pada minggu ke
tujuh, tiba pada posisi akhirnya di dekat larynx dan trachea. Sementara itu tali
padat yang menghubungkan glandula thyroidea dengan lidah, terputus dan
lenyap. Tempat asal ductus tyroglossalis pada lidah menetap sebagai suatu
sumur yang disebut foramen caecum linquae. Kemudian, dua lobus pada
ujung terminal ductus thyroglossalis akan membesar sebagai akibat proliferasi
epitel dan membentuk glandula thyroidea.

C. ANATOMI
Glandula thyroidea terdiri atas lobus kiri dan kanan yang dihubungkan
oleh isthmus yang sempit. Setiap lobus berbentuk buah alpukat, dengan
puncaknya ke atas sampai linea oblique cartilaginis thyroidea dan basisnya
terdapat dibawah, setinggi cincin trachea ke-4 atau ke-5. Glandula thyroidea
merupakan organ yang sangat vascular, dibungkus oleh selubung yang berasal
dari lamina pretrachealis. Selubung ini melekatkan kelenjar ini ke larynx dan
trachea.
Juga sering didapatkan lobus piramidalis, yang menjalar ke atas dari
isthmus, biasanya ke kiri garis tengah. Lobus ini merupakan sisa jaringan
embryonic thyroid yang ketinggalan pada waktu migrasi jaringan ini ke bagian
anterior di hipofaring. Bagian atas dari lobus ini dikenal sebagai pole atas dari
kelenjar tiroid, dan bagian bawah disebut sebagai pole bawah. Suatu pita
fibrosa atau muscular sering menghubungkan lobus piramidalis dengan os
hyoideum; jika ia muscular disebut sebagai m. levator glandulae thyroidea.
11

Berat tiroid pada orang dewasa normal adalah 10-30 gram tergantung
kepada ukuran tubuh dan suplai Iodium. Lebar dan panjang dari isthmus
sekitar 20 mm, dan ketebalannya 2-6 mm. Ukuran lobus lateral dari pole
superior ke inferior sekitar 4 cm. Lebarnya 15-20 mm, dan ketebalan 20-39
mm.
Kelenjar tiroid terletak antara fascia colli media dan fascia prevertebralis.
Di dalam ruangan yang sama terdapat trakea, esophagus, pembuluh darah
besar, dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan fascia pretrachealis
dan melingkari duapertiga bahkan sampai tigaperempat lingkaran. A. carotis
communis, v. jugularis interna, dan n. vagus terletak bersama di dalam suatu
ruang tertutup di laterodorsal tiroid. N. recurrens terletak di dorsal sebelum
masuk ke laring. N. phrenicus dan truncus symphaticus tidak masuk ke dalam
ruang antara fascia media dan prevertebralis.
Limfe dari kelenjar tiroid terutama dicurahkan ke lateral, ke dalam nl.
cervicales profundi. Beberapa pembuluh limfe berjalan turun ke nl.
paratracheales.
Seluruh cincin tiroid dibungkus oleh suatu lapisan jaringan yang
dinamakan true capsule. Sedangkan extension dari lapisan tengah fascia
servicalis profundus yang mengelilingi tiroid dinamakan false capsule atau
surgical capsule. Seluruh arteri dan vena, plexus limphaticus dan kelenjar
paratiroid terletak antara kedua kapsul tersebut. Ligamentum Berry menjadi
penghubung di bagian posterior antara kedua kapsul tersebut. Ligamentum
Berry menjadi penghubung di bagian posterior antara kedua lobus tiroid.
Aa. carotis superior dextra et sinistra, dan kedua aa. thyroidea inferior
dextra et sinistra memberikan vaskularisasi untuk tiroid. Kadang kala
dijumpai a. ima, cabang truncus brachiocephalica. Sistem vena berjalan
bersama arterinya, persarafan diatur oleh n. recurrens dan cabang dari n.
laryngeus superior, sedangkan sistem limfatik yang penting menerima aliran
limfe tiroid terdiri dari pembuluh limfe superior yang menerima cairan limfe
dari pinggir atas isthmus, sebagian besar permukaan medial lobus lateral, dan
permukaan ventral dan dorsal bagian atas lobus lateral dan pembuluh limfe
12

inferior yang menerima cairan limfe dari sebagian besar isthmus dan bagian
bawah lobus lateral.
Pada pembedahan tiroid penting memperhatikan jalan arteri pada pool atas
kanan dan kiri, karena ligasi tinggi pada arteri tersebut dapat mencederai n.
laryngeus superior, kerusakan nervus ini dapat mengakibatkan perubahan
suara menjadi parau yang bersifat sementara namun dapat pula permanen.













D. FISIOLOGI
13


1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi dengan bantuan
H2O2 dan enzim TPO(tiroperoksidase). Kelenjar tiroid merupakan satu-
satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai status
valensi yang lebih tinggi..
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan
residu tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula
melibatkan enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase) menghasilkan
MIT dan DIT,proses ini disebut coupling.Perangkaian iodotironil, yaitu
perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin) menjadi T4 (tiroksin,
tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT (monoiodotirosin) dan DIT
menjadi T3 (triiodotirosin). Reaksi ini diperkirakan juga dipengaruhi oleh
enzim tiroperoksidase.
4. Sesudah pembentukan hormon selesai,hormon dan yodium serta Tg
disimpan ekstrasel (di lumen koloid) yang akan dikeluarkan apabila
dibutuhkan ,tahap ini disebut storage.
5. Pengeluaran hormon dimulai dengan terbentuknya vesikel endositotik di
ujung vili atas pengaruh TSH,resorpsi
6. Terjadi proses digesti oleh enzim lisosom dan endosom sehingga
memisahkan produk yang beryodium dari Tg yang menghasilkan
T3,T4,DIT dan MIT bebas,proses ini disebut proteolisis.
7. T3 & T4 berdifusi dan dilepaskan ke sirkulasi, sekresi
8. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami
deiodinasi, dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim yodotirosin
deiodinase sangat berperan dalam proses ini.
9. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan
kompleks golgi.
Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik secara
cepat berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan kurang
dari 0,1% T4 tetap berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini
14

memang luar biasa mengingat bahwa hanya hormon bebas dari keseluruhan
hormon tiroid memiliki akses ke sel sasaran dan mampu menimbulkan suatu efek.
Terdapat 3 protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:
1. TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat 55% T4
dan 65% T3 yang ada di dalam darah.
2. Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik,
termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3.
3. TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35% T4.
Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun T3
memiliki aktivitas biologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4. Namun,
sebagian besar T4 yang disekresikan kemudian dirubah menjadi T3 oleh enzim
deiodinase( DI,DII dan DIII) atau diaktifkan,organ yang mempunyai kapasitas
untuk konversi ialah hati,ginjal,jantung dan hipofisis melalui proses pengeluaran
satu yodium di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari sekresi
T4 yang mengalami proses pengeluaran yodium di jaringan perifer. Dengan
demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid yang secara biologis aktif di tingkat
sel.


Hormon tiroid unik karena mengandung 59-65% unsur iodin.
15

Tironin yang diiodinisasi diturunkan dari iodinisasi cincin fenolik dari
residu tirosin dalam tiroglobulin membentuk mono- dan diiodotirosin,
yang digabungkan membentuk T3 atau T4



FISIOLOGI
Pengaturan Sekresi Hormon Tiroid
Mula-mula, hipotalamus sebagai pengatur mensekresikan TRH (Thyrotropin-
Releasing Hormone), yang disekresikan oleh ujung-ujung saraf di dalam
eminansia mediana hipotalamus. Dari mediana tersebut, TRH kemudian diangkut
ke hipofisis anterior lewat darah porta hipotalamus-hipofisis. TRH langsung
mempengaruhi hifofisis anterior untuk meningkatkan pengeluaran TSH.TSH
merupakan salah satu kelenjar hipofisis anterior yang mempunyai efek spesifik
terhadap kelenjar tiroid:
16

1. Meningkatkan proteolisis tiroglobulin yang disimpan dalam folikel,
dengan hasil akhirnya adalah terlepasnya hormon-hormon tiroid ke dalam
sirkulasi darah dan berkurangnya subtansi folikel tersebut.
2. Meningkatkan aktifitas pompa yodium, yang meningkatkan kecepatan
proses iodide trapping di dalam sel-sel kelenjar, kadangakala
meningkatkan rasio konsentrasi iodida intrasel terhadap konsentrasi iodida
ekstrasel sebanyak delapan kali normal.
3. Meningkatkan iodinasi tirosin untuk membentuk hormon tiroid.
4. Meningkatkan ukuran dan aktifitas sensorik sel-sel tiroid.
5. Meningkatkan jumlah sel-sel tiroid, disertai dengan dengan perubahan sel
kuboid menjadi sel kolumner dan menimbulkan banyak lipatan epitel
tiroid ke dalam folikel.


Efek Umpan Balik Hormon Tiroid dalam Menurunkan Sekresi TSH oleh
Hipofisis Anterior
Meningkatnya hormon tiroid di dalam cairan tubuh akan menurunkan sekresi TSH
oleh hipofisis anterior. Hal ini terutama dikarenakan efek langsung hormon tiroid
terhadap hipofisis anterior


Faktor-faktor yang Mengatur Sekresi Hormon Tiroid
1. HIPOTALAMUS : Sintesis dan pelepasan TRH
Perangsangan :
o Penurunan Ta dan T3 serum, dan T3 intraneuronal
o Neurogenik : sekresi bergelombang dan irama sirkadian
o Paparan terhadap dingin (hewan dan bayi baru lahir)
o Katekolamin adrenergik-alfa
o Vasopresin arginin
Penghambatan :
o Peningkatan Ta dan T3 serum, dan T3 intraneuronal
17

o Penghambat adrenergik alfa
o Tumor hipotalamus
2. HIPOFISIS ANTERIOR: Sintesis dan pelepasan TSH
Perangsangan :
o TRH
o Penurunan T4 dan T3 serum, dan T3 intratirotrop
o Penurunan aktivitas deiodinasi-5' tipe 2
o Estrogen : meningkatkan tempat pengikatan TRH
Penghambatan:
o Peningkatan T4 dan T3 serum, dan T3 intratirotrop
o Peningkatan aktivitas deiodinase-5' Tipe 2
o Somatostatin
o Dopamin, agonis dopamin : bromokriptin
o Glukokortikoid
o Penyakit-penyakit kronis
o Tumor hipofisis
3. TIROID : Sintesis dan pelepasan hormon tiroid
Perangsangan :
o TSH
o Antibodi perangsangan TSH-R
Penghambatan :
o Antibodi penghambat TSH-R
o Kelebihan iodida
o Terapi litium

Efek Fisiologik Hormon Tiroid
Efek transkripsional dari T3 secara karakteristik memperlihatkan suatu lag
time berjam-jam atau berhari-hari untuk mencapai efek yang penuh. Aksi genomik
ini menimbulkan sejumlah efek, termasuk efek pada pertumbuhan jaringan,
pematangan otak, dan peningkatan produksi panas dan konsumsi oksigen yang
sebagian disebabkan oleh peningkatan aktivitas dari Na+-K+ ATPase, produksi
dari reseptor beta-adrenergik yang meningkat. Sejumlah aksi dari T3 tidak
genomik, seperti penurunan dari deiodinase-5' tipe 2 hipofisis dan peningkatan
dari transpor glukosa dan asam amino. Sejumlah efek spesifik dari hormon tiroid
diringkaskan berikut ini.

1. Efek pada Perkembangan Janin
Sistem TSH tiroid dan hipofisis anterior mulai berfungsi pada janin
manusia sekitar 11 minggu. Sebelum saat ini, tiroid janin tidak
mengkonsentrasikan 12 I. Karena kandungan plasenta yang tinggi dari deiodinase-
5 tipe 3, sebagian besar T3 dan T4 maternal diinaktivasi dalam plasenta, dan
sangat sedikit sekali hormon bebas mencapai sirkulasi janin. Dengan demikian,
janin sebagian besar tergantung pada sekresi tiroidnya sendiri. Walaupun
sejumlah pertumbuhan janin terjadi tanpa adanya sekresi hormon tiroid janin,
perkembangan otak dan pematangan skeletal jelas terganggu, menimbulkan
kretinisme (retardasi mental dan dwarfisme/cebol).

18

2. Efek pada Konsumsi Oksigen, Produksi panas, dan Pembentukan
Radikal Bebas
T3 meningkatkan konsumsi O2 dan produksi panas sebagian melalui
stimulasi Na+-K+ ATPase dalam semua jaringan kecuali otak, lien, dan testis. Hal
ini berperan pada peningkatan kecepatan metabolisme basal (keseluruhan
konsumsi O2 hewan saat istirahat) dan peningkatan kepekaan terhadap panas pada
hipertiroidisme. Hormon tiroid juga menurunkan kadar dismutase superoksida,
menimbulkan peningkatan pembentukan radikal bebas anion superoksida. Hal ini
dapat berperan pada timbulnya efek mengganggu dari
hipertiroidisme kronik.

3. Efek Kardiovaskular
T3 merangsang transkripsi dari rantai berat miosin dan menghambat
rantai berat miosin, memperbaiki kontraktilitas otot jantung. T3 juga
meningkatkan transkripsi dari Ca2+ ATPase dalam retikulum sarkoplasmik,
meningkatkan kontraksi diastolik jantung; mengubah isoform dari gen Na+ -K+
ATPase gen; dan meningkatkan reseptor adrenergik-beta dan konsentrasi protein
G. Dengan demikian, hormon tiroid mempunyai efek inotropik dan kronotropik
yang nyata terhadap jantung. Hal ini merupakan penyebab dari keluaran jantung
dan peningkatan nadi yang nyata pada hipertiroidisme dan kebalikannya pada
hipotiroidisme.

4. Efek Simpatik (simpatomimetik)
Seperti dicatat di atas, hormon tiroid meningkatkan jumlah reseptor
adrenergik-beta dalam otot jantung, otot skeletal, jaringan adiposa, dan limfosit.
Mereka juga menurunkan reseptor adrenergik-alfa miokardial. Di samping itu;
mereka juga dapat memperbesar aksi katekolamin pada tempat pascareseptor.
Dengan demikian, kepekaan terhadap katekolamin meningkat dengan nyata pada
hipertiroidisme, dan terapi dengan obat-obatan penyekat adrenergik-beta dapat
sangat membantu dalam mengendalikan takikardia dan aritmia.

5. Efek Pulmonar
Hormon tiroid mempertahankan dorongan hipoksia dan hiperkapne normal
pada pusat pernapasan. Pada hipotiroidisme berat, terjadi hipoventilasi,
kadangkadang
memerlukan ventilasi bantuan.

6. Efek Hematopoetik
Peningkatan kebutuhan selular akan O2 pada hipertiroidisme
menyebabkan peningkatan produksi eritropoietin dan peningkatan eritropoiesis.
Namun, volume darah biasanya tidak meningkat karena hemodilusi dan
peningkatan penggantian eritrosit. Hormon tiroid meningkatkan kandungan 2,3-
difosfogliserat eritrosit, memungkinkan peningkatan disosiasi O2 hemoglobin dan
meningkatkan penyediaan O2 kepada jaringan. Keadaan yang sebaliknya terjadi
pada hipotiroidisme.

7. Efek Gastrointestinal
19

Hormon tiroid merangsang motilitas usus, yang dapat menimbuklan peningkatan
motilitas dan diare pada hipertiroidisme dan memperlambat transit usus serta
konstipasi pada hipotiroidisme. Hal ini juga menyumbang pada timbulnya
penurunan berat badan yang sedang pada hipotiroidisme dan pertambahan berat
pada hipotiroidisme.

8. Efek Skeletal
Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang, meningkatkan
resorpsi tulang, dan hingga tingkat yang lebih kecil, pembentukan tulang. Dengan
demikian, hipertiroidisme dapat menimbulkan osteopenia yang bermakna, dan
pada kasus berat, hiperkalsemia sedang, hiperkalsiuria, dan peningkatan ekskresi
hidroksiprolin urin dan hubungan-silang pyridinium.

9. Efek Neuromuskular
Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari banyak
protein struktural, pada hipertiroidisme terdapat peningkatan penggantian protein
dan kehilangan jaringan otot atau miopati. Hal ini dapat berkaitan dengan
kreatinuria sontan. Terdapat juga suatu peningkatan kecepatan kontraksi dan
relaksasi otot, secara klinik diamati adanya hiperefleksia atau hipertiroidisme-atau
sebaliknya pada hipotiroidisme. Hormon tiroid penting untuk perkembangan dan
fungsi normal dari susunan saraf pusat, dan hiperaktivitas pada hipertiroidisme
serta kelambanan pada hipotiroidisme dapat mencolok.

10. Efek pada Lipid dan Metabolisme Karbohidrat
Hipertiroidisme meningkatkan glukoneogenesis dan glikogenolisis hati
demikian pula absorpsi glukosa usus. Dengan demikian, hipertiroidisme akan
mengeksaserbasi diabetes melitus primer. Sintesis dan degradasi kolesterol
keduanya meningkat oleh hormon tiroid. Efek yang terakhir ini sebagian besar
disebabkan oleh suatu peningkatan dari reseptor low-density lipoprotein (LDL)
hati, sehingga kadar kolesterol menurun dengan aktivitas tiroid yang berlebihan.
Lipolisis juga meningkat, melepaskan asam lemak dan gliserol. Sebaliknya, kadar
kolesterol meningkat pada hipotiroidisme.

11. Efek Endokrin
Hormon tiroid meningkatkan pergantian metabolik dari banyak hormon
dan obat-obatan farmakologik. Contohnya, waktu-paruh dari kortisol adalah
sekitar 100 menit pada orang normal, sekitar 50 menit pada pasien hipertiroid,
sekitar 150 menit pada pasien hipotiroid. Kecepatan produksi kortisol akan
meningkat pada pasien hipertiroid; dengan fungsi adrenal normal sehingga
mempertahankan suatu kadar hormon sirkulasi yang normal. Namun, pada
seorang pasien dengan insufisiensi adrenal, timbulnya hipertiroidisme atau terapi
hormon tiroid dari hipotiroidisme dapat mengungkapkan adanya penyakit adrenal.
Ovulasi dapat
E. terganggu pada hipertiroidisme maupun hipotiroidisme, menimbulkan
infertilitas, yang dapat dikoreksi dengan pemulihan keadaan eutiroid. Kadar
prolaktin serum meningkat sekitar 40% pada pasien dengan hipotiroidisme,
20

kemungkinan suatu manifestasi dari peningkatan pelepasan TRH; hal ini akan
kembali normal dengan terapi T4
F. .HISTOLOGI
Kelenjar tiroid terdiri dari nodula-nodula yang tersusun dari folikel-folikel
kecil yang dipisahkan satu dengan yang lainnya dengan jaringan ikat. Folikel-
folikel tiroid dibatasi oleh epitel kubus dan lumennya terisi oleh koloid.
Kelenjar tiroid mengandung 2 tipe sel utama yaitu thyroid follicular cells
dan C cells (parafollicular cells). Sel folikular menggunakan iodine dari darah
untuk membuat hormone, yang membantu meregulasi metabolisme tubuh. Sel
parafolikular membuat calcitonin, suatu hormone yang membantu
meregulasikan bagaimana tubuh menggunakan kalsium

G. ETIOLOGI
Penyebab pasti pembesaran kelenjar tiroid pada struma nodosa tidak
diketahui, namun sebagian besar penderita menunjukkan gejala-gejala
tiroiditis ringan; oleh karena itu, diduga tiroiditis ini menyebabkan
hipotiroidisme ringan, yang selanjutnya menyebabkan peningkatan sekresi
TSH (thyroid stimulating hormone) dan pertumbuhan yang progresif dari
bagian kelenjar yang tidak meradang. Keadaan inilah yang dapat menjelaskan
mengapa kelenjar ini biasanya nodular, dengan beberapa bagian kelenjar
tumbuh namun bagian yang lain rusak akibat tiroiditis.
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tiroid
merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tiroid antara lain :
1. Defisiensi iodium
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di
daerah yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium,
misalnya daerah pegunungan.
2. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tiroid.
a. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam
kol, lobak, kacang kedelai).
b. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya :
thiocarbamide, sulfonylurea dan litium).
21

c. Hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid.
Pada umumnya ditemui pada masa pertumbuhan, puberitas,
menstruasi, kehamilan, laktasi, menopause, infeksi dan stress lainnya.
Dimana menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan
arseitektur yang dapat bekelanjutan dengan berkurangnya aliran darah
didaerah tersebut.
Akhirnya, ada beberapa makanan yang mengandung substansi goitrogenik
yakni makanan yang mengandung sejenis propiltiourasil yang mempunyai
aktifitas antitiroid sehingga juga menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid
akibat rangsangan TSH. Beberapa bahan goitrogenik ditemukan pada
beberapa varietas lobak dan kubis.

H. KLASIFIKASI
Pada struma gondok endemik, Perez membagi klasifikasi menjadi:
1. Derajat 0: tidak teraba pada pemeriksaan
2. Derajat I: teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala ditegakkan
3. Derajat II: mudah terlihat pada posisi kepala normal
4. Derajat III: terlihat pada jarak jauh.
Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi:
a. Derajat 0a: tidak terlihat atau teraba tidak besar dari ukuran normal.
b. Derajat 0b: jelas teraba lebih besar dari normal, tetapi tidak terlihat bila
kepala ditegakkan.

Burrow menggolongkan struma nontoksik sebagai berikut:
1. Nontoxic diffuse goiter
2. Endemic
3. Iodine deficiency
4. Iodine excess
5. Dietary goitrogenic
6. Sporadic
7. Conngenital defect in thyroid hormone biosynthesis
8. Chemichal agents, e.g lithium, thiocyanate, p-aminosalicylic acid
22

9. Iodine deficiency
10. Compensatory following thyroidectomy
11. Nontoxic nodular goiter due to causes listed above
12. Uninodular or multinodular
13. Functional, nonfunctional, or both.

Dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi hormon
tiroksin, maka bisa dibagi menjadi:
1. Hipertiroidi; sering juga disebut toksik (walaupun pada kenyataannya pada
penderita ini tidak dijumpai adanya toksin), bila produksi hormon tiroksin
berlebihan.
2. Eutiroid; bila produksi hormon tiroksin normal.
3. Hipotiroidi; bila produksi hormon tiroksin kurang.
4. Struma nodosa non toksik; bila tanpa tanda-tanda hipertiroidi

Struma nodosa dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa hal, yaitu:
1 Berdasarkan jumlah nodul;
a. bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter
(uninodosa)
b. bila lebih dari satu disebut struma multinodosa.
5. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radioaktif dikenal 3 bentuk
nodul tiroid yaitu :
a. nodul dingin
b. nodul hangat
c. nodul panas.
6. Berdasarkan konsistensinya
a. nodul lunak
b. nodul kistik
c. nodul keras
d. nodul sangat keras.

I. PATOFISIOLOGI
23

Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan hormon tiroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus,
masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar
tiroid..
Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang
distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi
molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk
dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul
yoditironin (T3).
Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi
Tiroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis,
sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif.
Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan
metabolisme tiroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui
rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar
hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid.

J. GAMBARAN KLINIS
Pada penyakit struma nodosa non toksik tiroid membesar dengan lambat.
Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma
cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan
pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan.
Klien tidak mempunyai keluhan karena tidak ada hipo atau hipertirodisme.
Benjolan di leher. Peningkatan metabolism karena klien hiperaktif dengan
meningkatnya denyut nadi. Peningkatan simpatis seperti ; jantung menjadi
berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, diare, gemetar,
dan kelelahan.
Pada pemeriksaan status lokalis struma nodosa, dibedakan dalam hal :
1. Jumlah nodul; satu (soliter) atau lebih dari satu (multipel).
2. Konsistensi; lunak, kistik, keras atau sangat keras
3. Nyeri pada penekanan; ada atau tidak ada
4. Perlekatan dengan sekitarnya; ada atau tidak ada.
24

5. Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau tidak ada.


K. DIAGNOSIS
Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan pemeriksaan penunjang.
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipo- atau hipertiroidisme. Biasanya tiroid mulai membesar pada
usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena
pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala
kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa
dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena
menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila
pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan
pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian
mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang
berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea
dengan stridor inspirator.
Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik
untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi
pada trakea.
Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari belakang kepala
penderita sedikit fleksi sehingga muskulus sternokleidomastoidea relaksasi,
dengan demikan tiroid lebih mudah dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua
tangan bersamaan dengan ibu jari posisi di tengkuk penderita sedang keempat
jari yang lain dari arah lateral mengeveluasi tiroid serta mencari pole bawah
kelenjar tiroid sewaktu penderita disuruh menelan.
Pada struma yang besar dan masuk retrosternal tidak dapat di raba trakea
dan pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai bentukan
yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan. Biasanya struma masih
bisa digerakkan ke arah lateral dan susah digerakkan ke arah vertikal. Struma
25

menjadi terfiksir apabila sangat besar, keganasan yang sudah menembus
kapsul, tiroiditis dan sudah ada jaringan fibrosis setelah operasi.
Untuk memeriksa struma yang berasal dari satu lobus (misalnya lobus kiri
penderita), maka dilakukan dengan jari tangan kiri diletakkan di mediall di
bawah kartilago tiroid, lalu dorong benjolan tersebut ke kanan. Kemudian ibu
jari tangan kanan diletakkan di permukaan anterior benjolan. Keempat jari
lainnya diletakkan pada tepi belakang muskulus sternokleidomastoideus untuk
meraba tepi lateral kelenjar tiroid tersebut.
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan:
1. lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus
2. ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
3. jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
4. konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
5. nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
6. mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoidea
7. pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak.

Inspeksi : leher dibatasi di cranial oleh tepi rahang bawah, di kaudal oleh
kedua tulang selangka dan tepi cranial sternum, di lateral oleh
pinggir depan m. trapezius kiri dan kanan. Kedua m.
sternocleidomastoideus selalu jelas terlihat, dan pada garis tengah
dari cranial ke kaudal terdapat tulang hyoid serta kartilago tiroid,
krikoid, dan trakea.
Palpasi : palpasi dapat dilakukan pada pasien dalam sikap duduk atau
berbaring, dengan kepala dalam sikap fleksi ringan supaya regangan
otot pita leher tidak mengganggu palpasi. Pada sikap duduk
dilakukan pemeriksaan dari belakang penderita maupun dari depan.
Sedangkan pada sikap berbaring digunakan bantal tipis di bawah
kepala. Tulang hyoid, kartilago tiroid dan krikoid sampai cincin
kedua trakaea biasanya mudah diraba di garis tengah. Cincin trakea
yang lebih kaudal makin sukar diraba karena trakea mengarah ke
26

dorsal. Pada gerakan menelan, seluruh trakea bergerak naik turun.
Satu-satunya struktur lain yang turut dengan gerakan ini adalah
kelenjar tiroid atau sesuatu yang berasal dari kelenjar tiroid.

Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan
nodul tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik:
1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan
sukar digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik
dan kemudian menjadi lunak.
2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun
nodul yang mengalami kalsifikasi dapat dtemukan pada hiperplasia
adenomatosa yang sudah berlangsung lama.
3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupakan tanda keganasan,
walaupun nodul ganas tidak selalu mengadakan infiltrasi. Jika ditemukan
ptosis, miosis dan enoftalmus (Horner syndrome) merupakan tanda
infiltrasi atau metastase ke jaringan sekitar.
4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang
ganas, tetapi nodul multipel dapat ditemukan 40% pada keganasan tiroid
5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurgai ganas
terutama yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba
membesar progresif.
6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah
bening regional atau perubahan suara menjadi serak.
7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus sternokleido
mastoidea karena desakan pembesaran nodul (Berrys sign)

Kecurigaan suatu keganasan pada nodul tiroid bisa dirangkum:
1. Sangat mencurigakan
a. riwayat keluarga karsinoma tiroid medulare
b. cepat membesar terutama dengan terapi dengan levotirosin
c. nodul padat atau keras
d. sukar digerakkan atau melekat pada jaringan sekitar
27

e. paralisis pita suara
f. metastasis jauh
2. Kecurigaan sedang
a. umur di bawah 20 tahun atau di atas 70 tahun
b. pria
c. riwayat iradiasi pada leher dan kepala
d. nodul >4cm atau sebagian kistik
e. keluhan penekana termasuk disfagia,disfonia, serak, dispnu dan batuk.
3. Nodul jinak
a. riwayat keluarga: nodul jinak
b. struma difusa atau multinodosa
c. besarnya tetap
d. FNAB: jinak
e. kista simpleks
f. nodul hangat atau panas
g. mengecil dengan terapi supresi levotiroksin.
Index Wayne digunakan untuk menentukan apakah pasien mengalami
eutiroid, hipotiroid atau hipertiroid
Gejala subjektif Angka Gejala objektif Ada Tidak
Dispneu d effort +1 Tiroid teraba +3 -3
Palpitasi +2 Bruit diatas
systole
+2 -2
Capai/lelah +2 Eksoftalmus +2 -
Suka panas -5 Lid retraksi +2 -
Suka dingin +5 Lid lag +1 -
Keringat banyak +3 Hiperkinesis +4 -2
Nervous +2 Tangan panas +2 -2
Tangan basah +1 Nadi
Tangan panas -1 <80x/m - -3
Nafsu makan +3 80-90x/m -
Nafsu makan -3 >90x/m +3
BB -3 < 11 eutiroid
28

BB +3 11-18 normal
> 19 hipertiroid Fibrilasi atrium +3
Jumlah

Pemerikasaan laboratorium yang digunakan dalam diagnosa
penyakit tiroid terbagi atas:
1. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid
Pemerikasaan hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan
radioimmuno-assay (RIA) dan cara enzyme-linked immuno-assay
(ELISA) dalam serum atau plasma darah. Pemeriksaan T4 total
dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid, kadar normal pada
orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat membantu
untuk hipertiroidisme, kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-2,6
nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui
hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-
kadang meningkat sampai 3 kali normal.
2. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid.
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum
penderita dengan penyakit tiroid autoimun.
a. antibodi tiroglobulin
b. antibodi mikrosomal
c. antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
d. antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
e. thyroid stimulating hormone antibody (TSA)

Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas
adanya deviasi trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada
umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga, foto rontgen leher [posisi
AP dan Lateral diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas sehubungan
dengan intubasi anastesinya, bahkan tidak jarang intuk konfirmasi
diagnostik tersebut sampai memelukan CT-scan leher.
USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
29

1. Dapat menentukan jumlah nodul
2. Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
3. Dapat mengukur volume dari nodul tiroid
4. Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak
menangkap iodium, yang tidak terlihat dengan sidik tiroid.
5. Pada kehamilan di mana pemeriksaan sidik tiroid tidak dapat
dilakukan, pemeriksaan USG sangat membantu mengetahui adanya
pembesaran tiroid.
6. Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah
7. Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.

Pemeriksaan tiroid dengan menggunakan radio-isotop dengan
memanfaatkan metabolisme iodium yang erat hubungannya dengan kinerja
tiroid bisa menggambarkan aktifitas kelenjar tiroid maupun bentuk
lesinya. Penilaian fungsi kelenjar tiroid dapat juga dilakukan karena
adanya sistem transport pada membran sel tiroid yang menangkap iodida
dan anion lain. Iodida selain mengalami proses trapping juga ikut dalam
proses organifikasi, sedangkan ion pertechnetate hanya ikut dalam proses
trapping. Uji tangkap tiroid ini berguna untuk menentukan fungsi dan
sekaligus membedakan berbagaii penyebab hipertiroidisme dan juga
menentukan dosis iodium radioaktif untuk pengobatan hipertiroidisme.
Uji tangkap tiroid tidak selalu sejalan dengan keadaan klinik dan
kadar hormon tiroid. Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji
angkap tiroid, yaitu dengan prinsip daerah dengan fungsi yang lebih aktif
akan menangkap radioaktivitas yang lebih tinggi.
Pemerikasaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle
aspiration biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar
jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB
saja.
Berikut ini penilaian FNAB untuk nodul tiroid.
1. Jinak (negatif)
30

Tiroid normal
Nodul koloid
Kista
Tiroiditis subakut
Tiroiditis Hashimoto
2. Curiga (indeterminate)
Neoplasma sel folikuler
Neoplasma Hurthle
Temuan kecurigaan keganasan tai tidak pasti
3. Ganas (positif)
Karsinoma tiroid papiler
Karsinoma tiroid meduler
Karsinoma tiroid anaplastik.5
Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi
tiroidektomi diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi
tersebut suatu keganasan atau bukan. Lesi tiroid atau sisa tiroid yang
dilakukan VC dilakukan pemeriksaan patologi anatomis untuk memastika
n proses ganas atau jinak serta mengetahui jenis kelainan histopatologis
dari nodul tiroid dengan parafin block.

L. PENATALAKSANAAN
Pilihan terapi nodul tiroid:
1. Terapi supresi dengan hormon levotirosin
2. Pembedahan
3. Iodium radioaktif
4. Suntikan etanol
5. US Guided Laser Therapy
6. Observasi, bila yakin nodul tidak ganas.

Indikasi operasi pada struma adalah:
a. struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
31

b. struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
c. struma dengan gangguan tekanan
d. kosmetik.

Kontraindikassi operasi pada struma:
a. struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
b. struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain
yang belum terkontrol
c. struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit
digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang
demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya.
Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukan
reseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan
lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
d. struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya
karena metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah
dilakukan sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas
yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal.

Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah
nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna.

Bila nodul tersebut suspek maligna dibedakan atas apakah kasus
tersebut operabel atau inoperabel. Bila kasus yang dihadapi
inoperabel maka dilakukan tindakan biopsi insisi dengan pemeriksaan
histopatologi secara blok parafin. Dilanjutkan dengan tindakan
debulking dan radiasi eksterna atau khemoradioterapi.

Bila nodul tiroid suspek maligna tersebut operabel dilakukan tindakan
isthmolobektomi dan pemeriksaan potong beku (VC ).

Ada 5 kemungkinan hasil yang didapat :
32

1. Lesi jinak.
Maka tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan observasi
2. Karsinoma papilare.
Dibedakan atas risiko tinggi dan risiko rendah berdasarkan klasifikasi
AMES.
a. Bila risiko rendah tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan
observasi.
b. Bila risiko tinggi dilakukan tindakan tiroidektomi total.
3. Karsinoma folikulare.
Dilakukan tindakan tiroidektomi total
4. Karsinoma medulare.
Dilakukan tindakan tiroidektomi total
5. Karsinoma anaplastik.
a. Bila memungkinkan dilakukan tindakan tiroidektomi total.
b. Bila tidak memungkinkan, cukup dilakukan tindakan debulking
dilanjutkan dengan radiasi eksterna atau khemoradioterapi.

Bila nodul tiroid secara klinis suspek benigna dilakukan tindakan
FNAB ( Biopsi Jarum Halus ). Ada 2 kelompok hasil yang mungkin
didapat yaitu :
1. Hasil FNAB suspek maligna, foliculare Pattern dan Hurthle
Cell. Dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan
potong beku seperti diatas.
2. Hasil FNAB benigna.
Dilakukan terapi supresi TSH dengan tablet Thyrax selama 6
bulan kemudian dievaluasi, bila nodul tersebut mengecil diikuti
dengan tindakan observasi dan apabila nodul tersebut tidak ada
perubahan atau bertambah besar sebaiknya dilakukan tindakan
isthmolobektomi dengan pemeriksaan potong beku seperti diatas.



33


Bagan Penatalaksanaan Nodul Tiroid
Bagan I

Nodul Tiroid


Klinis


Suspek Maligna Suspek Benigna


Inoperabel Operabel
FNAB

Biopsi Insisi Isthmolobektomi


Lesi jinak VC Suspek maligna Benigna
Folikulare pattern
Hurthle cell




Papilare Folikulare Medulare Anaplastik
Supresi TSH
6 bulan

Risiko Risiko
Rendah Tinggi Membesar Mengecil
Tidak ada
Perubahan



Debulking

Observasi Tiroidektomi total Radiasi eksterna/
Khemotherapi






34


M. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi adalah perubahan kearah keganasan
( Ca tiroid )




























35

BAB III
ANALISIS KASUS

Pada anamnesis didapatkan data bahwa penderita ini berusia 42 tahun.
Perjalanan penyakit yang relatif pendek dan cepat (1 tahun), pertumbuhan nodul
dari mulai sebesar kelereng lalu menjadi sebesar telur ayam, tidak disertai nyeri,
tidak disertai demam atau riwayat trauma dapat menyingkirkan kemungkinan
penyebab penyakit adalah infeksi atau trauma. Adanya riwayat keluarga.
Kemungkinan bahwa kasus ini adalah hipertiroidisme juga dapat disingkirkan
karena tidak ditemukannya gejala tremor, tangan berkeringat atau jantung
berdebar-debar. Pada anamnesis lebih lanjut diketahui bahwa 1 tahun SMRS
penderita tidak mengalami sesak nafas, tidak disertai gangguan bicara (suara
menjadi serak) dan sulit menelan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan sebuah nodul soliter, berukuran sebesar
telur ayam, dengan konsistensi kenyal, permukaan rata, terfiksir, ikut dalam
gerakan menelan, tanpa disertai nyeri. Disimpulkan bahwa penyakit yang diderita
pasien ini adalah suatu pembesaran kelenjar.
Tidak didapatkannya nodul lain baik di servikal, jugular, submandibular,
ataupun klavikulair, juga pada tulang tengkorak atau ekstremitas menuntun
diagnosis bahwa neoplasma tersebut mungkin bersifat jinak atau dapat juga ganas
namun belum terdapat metastasis jauh.
Kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan radiologis berupa foto rontgen thoraks AP,
pemeriksaan sidik tiroid. Dari pemeriksaan laboratorium hasil yang didapat
menunjukkan angka yang normal kecuali pada eritrosit dan trombosit.. Dari
pemeriksaan radiologis, foto thoraks tidak menunjukkan adanya struma
intrathorakal, tidak ada metastase tumor ke rongga thorax, dan didapatkan
gambaran jantung, paru dan tulang yang normal, rontgen leher tampak tumor
regio colli, tidak tampak massa yang berkalsifikasi, dan trakea terdorong ke kiri.
Pemeriksaan sidik tiroid ditemukan bahwa adanya pencitraan, samar-samar
tampak kedua lobus tiroid membesar dengan penangkapan radioaktivitas tidak
36

rata. Nodul yang hampir meliputi lobus kanan menangkap radioaktivitas kurang,
dengan kesan struma nodosa tipe cold nodul dengan uptake rendah.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan disimpulkan diagnosis kerja bahwa pasien ini menderita
struma nodosa non toksik ( SNNT ). Penatalaksanaan yang tepat untuk pasien ini
adalah isthmolobektomi oleh karena pasien sudah mendapat terapi thyrax namun
tidak ada perubahan menjadi kecil melainkan menjadi besar itu. Prognosis quo ad
vitam penderita ini adalah dubia ad bonam sementara quo ad functionam
penderita ini adalah dubia ad bonam dan quo ad sanationam adalah dubia ad
bonam.






















37


DAFTAR PUSTAKA

Feld S, Garcia M: AACE Clinical Practice Guidelines for the Diagnosis and
Management of Thyroid Nodules. 1996.

Ganong W.F. 2008. Buku Ajar FIsiologi Kedokteran. Jakarta: Kedokteran EGC

Gunawan ,SG.(2011).Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. Jakarta : Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI

Guyton, Hall. 2006. Text Book of Medical Physiology 11
th
edition. Philadelphia:
Elsevier Soundres

Harrisons : Principles of Internal medicine, 18th

Mayo clinic. Diseases and Conditions Thyroid Nodules. diakses pada tanggal 22
juni 2014 : http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/thyroid-
nodules/basics/definition/con-20021546

Dankle S.K, Gambert SR, Talavera F, Schalch DS, Cooper M, Griffing GT.
Thyroid Nodule. diakses pada tanggal 22 juni 2014 :
http://emedicine.medscape.com/article/127491-overview#showall

Junquiera L.C, Carneiro J, Kelley R.O. Basic Histology. 10
th
edition, Washington,
Lange, 2003: 316-23

Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2005

Lukitto P, Manoppo A, Azamris, et al. 2003. Protokol Penatalaksanaan Tumor/
Kanker Tiroid. Jakarta : Perhimpunan ahli bedah onkologi Indonesi

Murray,RK et al (2003). Biokimia Harper edisi 25.Jakarta.EGC

Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 1995. Patofisiologi : konsep klinis proses-
proses penyakit. Ed. 4. Jakarta : EGC.

Sherwood Lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sel. Edisi 2. Jakarta: EGC, 2001

Snell,RS.(2006).Anatomi Klinik untuk Mahasiswa kedokteran edisi 6.
Jakarta.EGC

Anda mungkin juga menyukai