Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Reproduksi adalah kemampuan makhluk hidup untuk menghasilkan

keturunan yang baru. Tujuannya adalah untuk mempertahankan jenisnya dan


melestarikan jenis agar tidak punah. Pada manausia untuk mengahasilkan keturunan
yang baru diawali dengan peristiwa fertilisasi. Sehingga dengan demikian reproduksi
pada manusia dilakukan dengan cara generative atau sexual.
Untuk dapat mengetahui reproduksi pada manusia , maka harus mengetahui
terlebih dahulu organ-organ kelamin yang terlibat serta proses yang berlangsung di
dalamnya.
Sistem reproduksi pada manusia akan mulai berfungsi ketika seseorang
mencapai kedewasaan (pubertas) atau masa akil balik. Pada seorang pria testisnya
telah mampu menghasilkan sel kelamin jantan (sperma) dan hormon testosteron.
Hormon testosteron berfungsi mempengaruhi timbulnya tanda-tanda kelamin
sekunder pada pria, di antaranya suara berubah menjadi lebih besar, tumbuhnya
rambut di tempat tertentu misalnya jambang, kumis, jenggot, dan dada tumbuh
menjadi bidang, jakun membesar. Sedangkan seorang wanita
ovariumnya telah mampu menghasilkan sel telur (ovum) dan hormon wanita
yaitu estrogen. Hormon estrogen berfungsi mempengaruhi timbulnya tandatanda
kelamin sekunder pada wanita, yaitu kulit menjadi semakin halus, suara menjadi lebih
tinggi, tumbuhnya payudara dan pinggul membesar.
Sistem reproduksi adalah sistem yang berfungsi untuk berkembang biak.
Terdiri dari testis, ovarium dan bagian alat kelamin lainnya
Reproduksi

atau

perkembangbiakan

merupakan

bagian

dari

ilmu

faal(fisiologi). Reproduksi secara fisiologis tidak vital bagi kehidupan individual dan

meskipun siklus reproduksi suatu manusia berhenti, manusia tersebut masih dapat
bertahan hidup, sebagai contoh manusia yang dilakukan vasektomi pada organ
reproduksinya (testes atau ovarium) atau mencapai menopause dan andropouse tidak
akan mati. Pada umumnya reproduksi baru dapat berlangsung setelah manusia
tersebut mencapai masa pubertas atau dewasa kelamin, dan hal ini diatur oleh
kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon yang dihasilkan dalam tubuh manusia.
Reproduksi juga merupakan bagian dari proses tubuh yang bertanggung
jawab terhadap kelangsungan suatu generasi.
Untuk kehidupan makhluk hidup reproduksi tidak bersifat vital artinya tanpa
adanya proses reproduksi makhluk hidup tidak mati. Akan tetapi bila makhluk tidup
tidak dapat bereproduksi maka kelangsungan generasi makhluk hidup tersebut
terancam dan punah, karena tidak dapat dihasilkan keturunan (anak) yang merupakan
sarana untuk melanjutkan generasi.
Sexualitas adalah sesuatu kekuatan dan dorongan hidup ada diantara
manusia laki laki dan perempuan dimana kedua makhluk ini merupakan suatu
system yang memungkinkan terjadinya keturunan yang sambung menyambung
sehingga existensi manusia itu tidak punah. Banyak peristiwa bahagia dan hidup
gairah oleh adanya sex, tetapi tidak sedikit pula adanya peristiwa sedih, malapetaka
dan kehancuran disebabkan oleh sex pula.
Begitu pentingnya masalah sexualitas dalam kehidupan manusia sehingga
ada pendapat ahli yang extrim menyatakan bahwa semua tingkah laku manusia pada
hakekatnya dimotifasi dan didorong oleh sex. Maka tidaklah mengherankan bahwa
ada pendapat peneliti lain mengatakan bahwa kebanyakan gangguan kepribadian,
gangguan tingkah laku terjadi oleh adanya gangguan pola perkembangan kehidupan
Psikosexualnya.
Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi kita untuk mengetahui apa dan
bagaimana itu sex dalam system reproduksi kita.

BAB II
SISTEM REPRODUKSI PRIA DAN WANITA

2.1.

Organ Reproduksi
Organ reproduksi pria terdiri atas organ reproduksi dalam dan organ reproduksi

luar.
2.1.1. Organ Reproduksi Dalam
Organ reproduksi dalam pria terdiri atas testis, saluran pengeluaran dan
kelenjar asesoris.
1. Testis
Testis (gonad jantan) berbentuk oval dan terletak didalam kantung pelir
(skrotum). Testis berjumlah sepasang (testes = jamak). Testis terdapat di bagian
tubuh sebelah kiri dan kanan. Testis kiri dan kanan dibatasi oleh suatu sekat yang
terdiri dari serat jaringan ikat dan otot polos.
Fungsi testis secara umum merupakan alat untuk memproduksi sperma
dan hormon kelamin jantan yang disebut testoteron.
Testis sebenarnya adalah kelenjar kelamin, berjumlah sepasang dan akan
menghasilkan sel-sel sperma serta hormon testosteron. Skrotum dapat menjaga
suhu testis. Jika suhu terlalu panas , skrotum mengembang, jika suhu dingin
skrotum mengerut sehingga testis lebih hangat. Testis (gonad jantan) berbentuk
oval dan terletak didalam kantung pelir (skrotum). Testis berjumlah sepasang

(testes = jamak). Testis terdapat di bagian tubuh sebelah kiri dan kanan. Testis kiri
dan kanan dibatasi oleh suatu sekat yang terdiri dari serat jaringan ikat dan otot
polos. Fungsi testis secara umum merupakan alat untuk memproduksi sperma dan
hormon kelamin jantan yang disebut testoteron.

2. Saluran Pengeluaran
Saluran pengeluaran pada organ reproduksi dalam pria terdiri dari
epididimis, vas deferens, saluran ejakulasi dan uretra.
a. Epididimis
Epididimis merupakan saluran berkelok-kelok di dalam skrotum
yang keluar dari testis. Epididimis berjumlah sepasang di sebelah kanan
dan kiri. Epididimis berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara
sperma sampai sperma menjadi matang dan bergerak menuju vas deferens.
b. Vas deferens

Vas deferens atau saluran sperma (duktus deferens) merupakan


saluran lurus yang mengarah ke atas dan merupakan lanjutan dari
epididimis. Vas deferens tidak menempel pada testis dan ujung salurannya
terdapat di dalam kelenjar prostat. Vas deferens berfungsi sebagai saluran
tempat jalannya sperma dari epididimis menuju kantung semen atau
kantung mani (vesikula seminalis).

c. Saluran ejakulasi
Saluran

ejakulasi

merupakan

saluran

pendek

yang

menghubungkan kantung semen dengan uretra. Saluran ini berfungsi


untuk mengeluarkan sperma agar masuk ke dalam uretra.
d. Uretra
Uretra merupakan saluran akhir reproduksi yang terdapat di
dalam penis. Uretra berfungsi sebagai saluran kelamin yang berasal dari
kantung semen dan saluran untuk membuang urin dari kantung kemih.
3. Kelenjar Asesoris
Selama sperma melalui saluran pengeluaran, terjadi penambahan berbagai
getah kelamin yang dihasilkan oleh kelenjar asesoris. Getah-getah ini berfungsi
untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pergerakakan sperma. Kelenjar
asesoris merupakan kelenjar kelamin yang terdiri dari vesikula seminalis, kelenjar
prostat dan kelenjar Cowper .

a. Vesikula seminalis
Vesikula seminalis atau kantung semen (kantung mani) merupakan
kelenjar berlekuk-lekuk yang terletak di belakang kantung kemih. Dinding
vesikula seminalis menghasilkan zat makanan yang merupakan sumber
makanan bagi sperma.
b. Kelenjar prostate
Kelenjar prostat melingkari bagian atas uretra dan terletak di bagian
bawah kantung kemih. Kelenjar prostat menghasilkan getah yang
mengandung kolesterol, garam dan fosfolipid yang berperan untuk
kelangsungan hidup sperma.
c. Kelenjar Cowper
Kelenjar Cowper (kelenjar bulbouretra) merupakan kelenjar yang
salurannya langsung menuju uretra. Kelenjar Cowper menghasilkan getah
yang bersifat alkali (basa).

2.1.2. Organ Reproduksi Luar


Organ reproduksi luar pria terdiri dari penis dan skrotum.
1. Penis.
Penis terdiri dari tiga rongga yang berisi jaringan spons. Dua rongga
yang terletak di bagian atas berupa jaringan spons korpus kavernosa. Satu rongga
lagi berada di bagian bawah yang berupa jaringan spons korpus spongiosum yang
membungkus uretra. Uretra pada penis dikelilingi oleh jaringan erektil yang

rongga-rongganya banyak mengandung pembuluh darah dan ujung-ujung saraf


perasa. Bila ada suatu rangsangan, rongga tersebut akan terisi penuh oleh darah
sehingga penis menjadi tegang dan mengembang (ereksi).
2. Skrotum
Skrotum (kantung pelir) merupakan kantung yang di dalamnya berisi
testis. Skrotum berjumlah sepasang, yaitu skrotum kanan dan skrotum kiri. Di
antara skrotum kanan dan skrotum kiri dibatasi oleh sekat yang berupa jaringan
ikat dan otot polos (otot dartos). Otot dartos berfungsi untuk menggerakan
skrotum sehingga dapat mengerut dan mengendur. Di dalam skrotum juga tedapat
serat-serat otot yang berasal dari penerusan otot lurik dinding perut yang disebut
otot kremaster. Otot ini bertindak sebagai pengatur suhu lingkungan testis agar
kondisinya stabil. Proses pembentukan sperma (spermatogenesis) membutuhkan
suhu yang stabil, yaitu beberapa derajat lebih rendah daripada suhu tubuh.
2.1.3. Spermatogenesis
Spermatogenesis terjadi di dalam di dalam testis, tepatnya pada tubulus
seminiferus. Spermatogenesis mencakup pematangan sel epitel germinal dengan
melalui proses pembelahan dan diferensiasi sel, yang mana bertujuan untuk
membentu sperma fungsional. Pematangan sel terjadi di tubulus seminiferus yang
kemudian disimpan di epididimis. Dinding tubulus seminiferus tersusun dari
jaringan ikat dan jaringan epitelium germinal (jaringan epitelium benih) yang
berfungsi pada saat spermatogenesis. Pintalan-pintalan tubulus seminiferus
terdapat di dalam ruang-ruang testis (lobulus testis). Satu testis umumnya
mengandung sekitar 250 lobulus testis. Tubulus seminiferus terdiri dari sejumlah
besar sel epitel germinal (sel epitel benih) yang disebut spermatogonia
(spermatogonium = tunggal). Spermatogonia terletak di dua sampai tiga lapisan
luar sel-sel epitel tubulus seminiferus.

Spermatogonia terus-menerus membelah untuk memperbanyak diri,


sebagian dari spermatogonia berdiferensiasi melalui tahap-tahap perkembangan
tertentu untuk membentuk sperma.Pada tahap pertama spermatogenesis,
spermatogonia yang bersifat diploid (2n atau mengandung 23 kromosom
berpasangan), berkumpul di tepi membran epitel germinal yang disebut
spermatogonia tipe A. Spermatogenia tipe A membelah secara mitosis menjadi
spermatogonia tipe B. Kemudian, setelah beberapa kali membelah, sel-sel ini
akhirnya menjadi spermatosit primer yang masih bersifat diploid. Setelah
melewati beberapa minggu, setiap spermatosit primer membelah secara meiosis
membentuk dua buah spermatosit sekunder yang bersifat haploid. Spermatosit
sekunder kemudian membelah lagi secara meiosis membentuk empat buah
spermatid. Spermatid merupakan calon sperma yang belum memiliki ekor dan
bersifat haploid (n atau mengandung 23 kromosom yang tidak berpasangan).
Setiap spermatid akan berdiferensiasi menjadi spermatozoa (sperma).
Proses perubahan spermatid menjadi sperma disebut spermiasi. Ketika
spermatid dibentuk pertama kali, spermatid memiliki bentuk seperti sel-sel epitel.

Namun, setelah spermatid mulai memanjang menjadi sperma, akan terlihat bentuk
yang terdiri dari kepala dan ekor.

Kepala sperma terdiri dari sel berinti tebal dengan hanya sedikit
sitoplasma. Pada bagian membran permukaan di ujung kepala sperma terdapat
selubung tebal yang disebut akrosom. Akrosom mengandung enzim hialuronidase
dan proteinase yang berfungsi untuk menembus lapisan pelindung ovum.
Pada ekor sperma terdapat badan sperma yang terletak di bagian tengah sperma.
Badan sperma banyak mengandung mitokondria yang berfungsi sebagai penghasil
energi untuk pergerakan sperma.

Semua tahap spermatogenesis terjadi karena adanya pengaruh sel-sel


sertoli yang memiliki fungsi khusus untuk menyediakan makanan dan mengatur
proses spermatogenesis.
1.

Hormon pada Pria


Proses spermatogenesis distimulasi oleh sejumlah hormon, yaitu

estoteron, LH (Luteinizing Hormone), FSH (Follicle Stimulating Hormone),


estrogen dan hormon pertumbuhan.
a. Estoteron
Testoteron disekresi oleh sel-sel Leydig yang terdapat di antara tubulus
seminiferus. Hormon ini penting bagi tahap pembelahan sel-sel germinal untuk
membentuk sperma, terutama pembelahan meiosis untuk membentuk spermatosit
sekunder.
b. LH (Luteinizing Hormone)

LH disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. LH berfungsi menstimulasi


sel-sel Leydig untuk mensekresi testoteron.

c. FSH (Follicle Stimulating Hormone)


FSH juga disekresi oleh sel-sel kelenjar hipofisis anterior dan berfungsi
menstimulasi sel-sel sertoli. Tanpa stimulasi ini, pengubahan spermatid menjadi
sperma (spermiasi) tidak akan terjadi.
d. Estrogen
Estrogen dibentuk oleh sel-sel sertoli ketika distimulasi oleh FSH.
Sel-sel sertoli juga mensekresi suatu protein pengikat androgen yang mengikat
testoteron dan estrogen serta membawa keduanya ke dalam cairan pada
tubulus seminiferus. Kedua hormon ini tersedia untuk pematangan sperma.
e. Hormon Pertumbuhan
Hormon

pertumbuhan

diperlukan

untuk

mengatur

fungsi

metabolisme testis. Hormon pertumbuhan secara khusus meningkatkan


pembelahan awal pada spermatogenesis.
2.2.

Gangguan pada Sistem Reproduksi Pria


1. Hipogonadisme
Hipogonadisme adalah penurunan fungsi testis yang disebabkan oleh
gangguan interaksi hormon, seperti hormon androgen dan testoteron.

Gangguan ini menyebabkan infertilitas, impotensi dan tidak adanya tandatanda kepriaan. Penanganan dapat dilakukan dengan terapi hormon.
2. Kriptorkidisme
Kriptorkidisme adalah kegagalan dari satu atau kedua testis untuk
turun dari rongga abdomen ke dalam skrotum pada waktu bayi. Hal tersebut
dapat ditangani dengan pemberian hormon human chorionic gonadotropin
untuk merangsang terstoteron. Jika belum turun juga, dilakukan pembedahan.

Uretritis
Uretritis adalah peradangan uretra dengan gejala rasa gatal pada
penis dan sering buang air kecil. Organisme yang paling sering
menyebabkan

uretritis

adalah

Chlamydia

trachomatis,

Ureplasma

urealyticum atau virus herpes.

Prostatitis
Prostatitis adalah peradangan prostat. Penyebabnya dapat berupa
bakteri, seperti Escherichia coli maupun bukan bakteri.

Epididimitis
Epididimitis adalah infeksi yang sering terjadi pada saluran
reproduksi pria. Organisme penyebab epididimitis adalah E. coli dan
Chlamydia.

3. Orkitis

Orkitis adalah peradangan pada testis yang disebabkan oleh virus


parotitis. Jika terjadi pada pria dewasa dapat menyebabkan infertilitas

2.3. SISTEM REPRODUKSI HEWAN JANTAN


Sistem reproduksi hewan jantan terdiri atas testis, epididimis, duktus deferens,
kelenjar aksesori (kelenjar vesikulosa, prostat dan bulbouretralis), uretra dan penis.
Pada hewan yang melakukan fertilisasi secara interna organ reproduksinya dilengkapi
dengan adanya organ kopulatori, yaitu suatu organ yang berfungsi menyalurkan
spermatozoa dari organisme jantan ke betina. Peranan hewan jantan dalam hal
reproduksi terutama adalah memproduksi spermatozoa dan sejumlah kecil cairan
untuk memungkinkan sel spermatozoa masuk menuju rahim. (William, 2005).

2.3.1. Testis
1. Anatomi Testis
Testis merupakan sepasang struktur berbentuk oval dan sedikit gepeng.
Testis terletak dalam skrotum dan dikelilingi oleh simpai tebal jaringan ikat

kolagen, yaitu tunika albuginea. Tunika albuginea menebal pada permukaan


posterior testis dan membentuk mediastinum testis, yaitu tempat penjuluran
yang membagi kelenjar menjadi sekitar 250 kompartemen piramid yang
disebut lobulus testis. Setiap lobulus dihuni oleh 1-4 tubulus seminiferus.
Dinding pada rongga yang memisahkan testis dengan epididimis disebut tunika
vaginalis. Tunika vaginalis dibentuk dari peritoneum saat testis masih berada
dalam rongga abdomen. Sedangkan permukaan posterior menjadi tempat
masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Skrotum memiliki
peran penting dalam memelihara testis pada suhu di bawah suhu intra
abdomen, yaitu sekitar 4C-7C (Manika, 1991).
2. Fisiologi Testis
Testis merupakan organ yang berfungsi untuk menghasilkan
spermatozoa dan menghasilkan hormon (testosteron). Sekitar 80%, testis
terdiri dari tubulus seminiferus yang berkelak-kelok, yang di dalamnya
berlangsung spermatogenesis. Tubulus yang berkelak-kelok dalam lobulus
semua duktusnya kemudian meninggalkan testis dan masuk ke dalam
epididimis (Heffner, 2008). Tubulus seminiferus merupakan tempat terjadinya
spermatogenesis. Tubulus seminiferus di kelilingi oleh membran basal. Di
dekat membran basal ini terdapat sel progenitor untuk produksi spermatozoa.
Epitel yang mengandung spermatozoa yang sedang berkembang disepanjang
tubulus disebut epitel seminiferus atau epitel germinal. Pada potongan
melintang testis, spermatosit dalam tubulus berada dalam berbagai tahap
pematangan. Di antara spermatosit terdapat sel Sertoli. Sel ini berperan secara
metabolik dan struktural untuk menjaga spermatozoa yang sedang
berkembang. Sel Sertoli memfagosit sitoplasma spermatid yang telah
dikeluarkan. Sel ini juga berfungsi pada proses aromatisasi prekursor
androgen menjadi estrogen, suatu produk yang menghasilkan pengaturan
umpan balik lokal pada sel Leydig yang memproduksi androgen. Selain itu sel
Sertoli juga menghasilkan protein pengikat androgen. Produksi androgen

sendiri terjadi di dalam kantong dari sel khusus (sel Leydig) yang terdapat di
daerah interstitial antara tubulus-tubulus seminiferus (Heffner, 2008).

2.3.2. Epididimis dan Duktus (Vas) Deferens


1. Anatomi Epididimis dan Duktus (Vas) Deferens
Epididimis merupakan suatu struktur berbentuk koma yang menahan
batas posterolateral testis. Epididimis dibentuk oleh saluran berkelok-kelok
secara tidak teratur yang disebut duktus epididimis. Duktus epididimis

diperkirakan mempunyai tiga regio : kaput (kepala), korpus (badan), dan kauda
(ekor). Permukaan sel epitel duktus ini ditutupi oleh mikrovili panjang yang
bercabang dan tidak teratur yang biasa disebut stereosilia. Epitel duktus
epididimis turut serta dalam pengambilan dan pencernaan badan-badan residu
yang dikeluarkan selama proses spermatogenesis berlangsung. Duktus-duktus
epididimis dari setiap testis menyatu untuk membentuk sebuah saluran
berdinding tebal dan berotot yang disebut duktus (vas) deferens. Dari setiap
testis duktus deferens berjalan keluar dari kantong skrotum dan kembali ke
dalam rongga abdomen dan berakhir di ureter di bagian leher kandung kemih.
Dinding duktus deferens tebal dan berotot dengan lubang kecil sehingga terasa
padat dan dapat diraba (lewat kulit) di bagian leher skrotum dan dapat diikat
atau dipotong pada saat vasektomi (Fawcett, 2002).
3. Fisiologi Epididimis dan Duktus (Vas) Deferens
Epididimis

merupakan daerah penumpukan dan penyimpanan

spermatozoa setelah meninggalkan testis. Secara umum epididimis memiliki


fungsi utama, yaitu transportasi, pemekatan (konsentrasi), pematangan dan
penyimpanan spermatozoa. Duktus-duktus epididimis melaksanakan beberapa
fungsi penting tersebut. Sewaktu meninggalkan testis, spermatozoa belum
mampu bergerak atau membuahi (belum matang secara fisiologis).
Spermatozoa memperoleh kedua kemampuan tersebut selama perjalanannya
melintasi epididimis. Proses pematangan ini dirangsang oleh testosteron yang
tertahan di dalam cairan tubulus oleh protein pengikat androgen. Kapasitas
spermatozoa untuk membuahi semakin ditingkatkan ketika disekresikan ke
dalam saluran reproduksi wanita, yang disebut kapasitasi (Sherwood, 2001).
Epididimis juga memekatkan spermatozoa beberapa ratus kali lipat dengan
menyerap sebagian besar cairan yang masuk dari tubulus seminiferus.
Spermatozoa yang telah matang secara perlahan bergerak melintasi epididimis
ke dalam duktus deferens akibat kontraksi ritmik otot polos di dinding
saluran-saluran tersebut. Duktus (vas) deferens berfungsi sebagai tempat

penyimpanan spermatozoa yang penting. Hal ini disebabkan karena


spermatozoa yang terkemas rapat relatif inaktif dan kebutuhan metabolit
mereka juga rendah. Spermatozoa dapat disimpan dalam duktus deferens
selama beberapa hari walaupun tidak mendapat pasokan nutrisi dari darah dan
hanya mendapat makanan dari gula-gula sederhana yang terdapat disekresi
tubulus (Sherwood, 2001).

2.3.3. Spermatogenesis
1. Tahap-Tahap Spermatogenesis
Spermatogenesis merupakan proses pembentukan spermatozoa. Proses
ini dimulai dengan sel benih primitif, yaitu spermatogonium. Pada saat
terjadinya perkembangan sel kelamin, sel ini mulai mengalami mitosis, dan
menghasilkan generasi sel-sel yang baru. Sel-sel yang baru dibentuk dapat
mengikuti satu dari dua jalur. Sel-sel ini dapat terus membelah sebagai sel
induk, yang disebut spermatogonium tipe A, atau dapat berdeferensiasi selama
siklus mitosis yang progresif menjadi spermatogonium B. Spermatogonium B
merupakan sel progenitor yang akan berdeferensiasi menjadi spermatosit
primer. Segera setelah terbentuk, sel-sel ini memasuki tahap profase dari
pembelahan meiosis pertama. Spermatosit primer merupakan sel terbesar
dalam garis keturunan spermatogenik ini dan ditandai dengan adanya
kromosom dalam berbagai tahap proses penggelungan di dalam intinya
(Fawcett, 2002).
Dari pembelahan meiosis pertama ini timbul sel berukuran lebih kecil
yang disebut spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder sulit diamati dalam
sediaan testis karena merupakan sel berumur pendek dan berada dalam tahap
interfase yang sangat singkat dan dengan cepat memasuki pembelahan meiosis
kedua. Pembelahan spermatosit sekunder menghasilkan spermatid. Karena

tidak ada fase-S (sintesis DNA) yang terjadi antara pembelahan meiosis
pertama dan kedua pada spermatosit, jumlah DNA per sel berkurang setengah
selama pembelahan kedua ini, yang menghasilkan sel haploid (n). Oleh karena
itu,

proses

meiosis

menghasilkan

sel

dengan

jumlah

kromosom

haploid.Dengan adanya pembuahan, sel memperoleh kembali jumlah diploid


yang normal (Junqueira, 2007).

2. Sel Spermatogenik
sel spermatogenik merupakan suatu kejadian yang sangat kompleks dari
berbagai tipe sel spermatogenik yang disebut spermatogenesis. Sebagian besar
sel-sel yang menyusun epitel seminiferus adalah sel spermatogenik dengan
berbagai tahap perkembangan tertentu (Naz, 2006). Telah dijelaskan pada tahaptahap perkembangan spermatogenenesis, bahwa perkembangan spermatogonium
menjadi spermatozoa memerlukan beberapa perkembangan tertentu. Proses
perkembangan tersebut dibagi menjadi tiga tahap:

a) Spermatositogenesis: Diferensiasi spermatogonia menjadi spermatosit primer.


b) Meiosis: perkembangan sel, dimana spermatosit primer memiliki kromosom
diploid membentuk spermatid haploid.
c) Spermiogenesis: Transformasi spermatid menjadi spermatozoa (sperma).
Diferensiasi Spermatogonia

Spermatogonia yang terletak di lapisan paling

luar tubulus secara terus menerus membelah dengan cara mitosis dimana sel baru
yang terbentuk identik dengan sel induk. Peristiwa ini disebut proliferasi mitotik.
Proliferasi ini menghasilkan pasokan kontinyu sel-sel germinativum baru.
Menurut gambaran inti selnya, pada manusia dikenal tiga jenis spermatogonia :
a. Spermatogonia gelap tipe A, dengan inti sel lonjong berwarna gelap. Sel-sel
tersebut membelah diri secara berkala untuk mempertahankan jumlah
spermatogonia dan juga untuk membentuk spermatogonia pucat tipe A yang
memiliki inti lonjong pucat.
b. Spermatogonia pucat tipe A, membelah diri secara mitosis untuk menjadi
spermatogia B (menjadi spermatogonia pucat tipe A yang lain).
c. Spermatogonia tipe B mempunyai inti bulat yang mengandung kromatin padat
dengan membran inti. Bila spermatogonia tipe B membelah diri dengan cara
mitosis,sel-sel

tersebut

menghasilkan

sel-sel

anak

yang

seluruhnya

berdiferensiasi menjadi spermatosit primer (Leeson, 1996).


Faktor Risiko Yang Memengaruhi Keterlambatan Konsepsi
(Infertlitas)Pasangan Suami Istri Pada Laki-Laki Di Kecamatan Palu Utara
Kota Palu
Berkembang biak adalah salah satu fungsi luhur dari makhluk hidup, termasuk

2.3.

manusia. Seluruh makhluk hidup, termasuk manusia berkeinginan untuk menjaga


kelangsungan garis keturunannya dengan cara berkembang biak. Di negara
berkembang, termasuk Indonesia, memiliki anak secara tidak tertulis merupakan
keinginan yang dianggap sebagai kewajiban bagi semua orang. Tetapi bila kewajiban
tersebut tidak terpenuhi, itu akan menyebabkan suatu masalah yang cukup
mengkhawatirkan bagi setiap manusia. Ketidaksuburan atau sering juga kita dengar
dengan infertil ( delayed conception) bukanlah hal yang tabu untuk kita bicarakan.

Diperkirakan sekitar 20% penduduk Indonesia mengalami gangguan infertilitas. Hal


ini menunjukan angka infertilitas di Indonesia yang cukup tinggi.
Sekitar 85% pada pasangan suami istri terjadi kehamilan pada usia 6 sampai
12 bulan pernikahan, dan 15% dari pasangan suami istri gagal hamil pada 12 bulan
setelah pernikahan, infertilitas yang terjadi diakibatkan dari faktor laki-laki sekitar
30% dan gangguan dari perempuan 30% gangguan dari keduanya 30% dan yang
tidak di ketahui sekitar 10% (Baker, 2008). Menurut WHO diantara pasangan subur
di Nigeria terdapat 85,7% yang mengalami infertilitas sekunder, di Amerika Latin
mencapai 40% infertilitas sekunder, di Asia terdapat 23% pasangan subur mengalami
infertilitas sekunder kecuali Mongolia 43% mengalami infertilitas sekunder, dan di
Afrika Utara hanya 16% yang mengalami infertilitas sekunder.
Di Iran pasangan subur terdapat 5,52% telah infertilitas, diantaranya,
infertilitas primer sebesar 3,48% dan infertilitas sekunder 2,04% (Aflatoonian, 2009).
Secara umum, di dunia diperkirakan 1 dari 7 pasangan bermasalah dalam hal
kehamilan. Di Indonesia, angka kejadian perempuan infertil 15% pada usia 30-34
tahun, meningkat 30 % pada usia 35-39 tahun dan 64 % pada usia 40- 44 tahun. Dari
data Biro Pusat Statistik (BPS) di Indonesia, diperkirakan terdapat 12% pasutri yang
tidak mampu membuahkan keturunan (Ambara, 2005).
Berdasar survei kesehatan rumah tangga tahun 1996, diperkirakan ada 3,5 juta
pasangan (7 juta orang) yang infertil. Mereka disebut infertil karena belum hamil
setelah setahun menikah. Kini, para ahli memastikan angka infertilitas telah
meningkat mencapai 15-20 persen dari sekitar 50 juta pasangan di Indonesia.
Penyebab infertilitas sebanyak 40% berasal dari laki-laki, 40% dari wanita, 10% dari
laki-laki dan wanita, dan 10% tidak diketahui (Kurniawan, 2009). Beberapa orang
laki-laki ternyatakan steril selama masa perkawinan. Pada laki-laki dengan infertil
sering ditemukan kualitas sperma yang buruk. Kadang-kadang produksi spermarozoa
dalam testis terlalu sedikit dan testis sendiri terlalu kecil, sebab-sebab lain yang
menyebabkan mutu sperma berkurang ialah epididimitis, prostatitis, varikokel, atau
kelainan endokrin (Scholtmeijer,1996)

Pemeriksaan analisa sperma pada semen laki-laki merupakan suatu analisa


lengkap yang penting untuk pasangan yang berkonsultasi masalah infertilitas.
Infertilitas yang diperkirakan 10% hingga 15% dari seluruh jumlah pasangan yang
ada, bila ditelusuri setengah dari kasus-kasusnya, penyebabnya dari pihak laki-laki
(Widodo, 2009). Adanya semen memungkinkan pemeriksaan langsung dari sel benih
laki-laki, memberikan informasi berharga yang tidak dapat diperoleh pada wanita.
Tujuan penelitian ini adalah a)Untuk mengetahui besar risiko Kelainan Alat
Reproduksi terhadap keterlambatan konsepsi pasangan suami istri pada laki-laki.
b)Untuk mengetahui besar risiko Riwayat Penyakit Menular Seksual terhadap
keterlambatan konsepsi pasangan suami istri pada laki-laki. c) Untuk mengetahui
besar risiko Riwayat Konsumsi Alkohol terhadap keterlambatan konsepsi pasangan
suami istri pada laki-laki. d) Untuk mengetahui besar risiko langsung Obesitas
terhadap keterlambatan konsepsi pasangan suami istri pada laki-laki. e) Untuk
mengetahui besar risiko kualitas sperma terhadap keterlambatan konsepsi pasangan
suami istri pada laki-laki.
Berdasarkan hasil penelitian Penyebab spesifik kejadian keterlambatan
konsepsi (Infertilitas) pasangan suami istri pada laki-laki masih belum diketahui,
tetapi terdapat banyak faktor yang diperkirakan mempunyai pengaruh terhadap
terjadinya keterlambatan konsepsi (Infertilitas) pasangan suami istri pada laki-laki.
Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besar risiko dari
beberapa faktor yang diduga erat kaitannya dengan peningkatan keterlambatan
konsepsi (Infertilitas) pasangan suami istri pada lakilaki. Beberapa faktor risiko yang
dimaksud yaitu kelainan alat reproduksi pria (undecensus testis), riwayat penyakit
menular seksual (PMS), riwayat konsumsi alkohol dan obesitas . Untuk tujuan
tersebut maka pada analisis data digunakan nilai OR (Odds Ratio) yang sejalan
dengan jenis rancangan penelitian yang digunakan yaitu case control (Retrospektif).
Adapun pembahasan untuk masing-masing variabel independen berdasarkan hasil
analisis data yang telah dilakukan selengkapnya sebagai berikut: Pada variabel alat
reproduksi (undecensus testis) dapat merupakan salah satu penyebab terjadinya

keterlambatan konsepsi dimana pada penelitian ditemukan kemaknaan antara


undecensus testis terhadap keterlambatan konsepsi pada pasangan suami istri pada
laki-laki. Hasil analisis bivariat dengan Odds Ratio (OR) terhadap undecensus testis
didapatkan OR sebesar 2.094. Dengan demikian responden yang memiliki kelainan
undecensus testis tidak memiliki risiko untuk mengalami keterlambatan konsepsi
(Infertilitas) pasangan suami istri pada laki-laki. Testis yang tidak turun didefinisikan
sebagai kegagalan testis untuk turun menjadi non-alokasi dalam skrotum. Undecensus
testis adalah umum ditemukan pada bayi, yang sinonim dengan Chryptorchidism. Hal
ini ditemukan 3-5% di antara anak laki-laki istilah penuh dan anak laki-laki praremaja
30% (Effendi, 2008). Undecensus testis tidak memiliki risiko terhadap keterlambatan
konsepsi di karenakan jumlah penderita undecensus testis (1 testis) hanya berjumlah 9
responden dari 140 responden, sehingga tidak ditemukan risiko terhadap
keterlambatan konsepsi. Perlu di lakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
risiko undecensus testis terhadap keterlambatan konsepsi dengan jumlah responden
yang memiliki kelainan undecensus testis yang lebih banyak.
Pada variabel riwayat penyakit menular seksual menunjukkan bahwa Infeksi
pada testis dan prostat dapat mengakibatkan kerusakan sperma. Infeksi Chlamydia
juga dapat mempengaruhi kesuburan laki-laki dengan secara langsung merusak
sperma, proporsi fragmentasi DNA, dan reaksi akrosom kapasitas yang terganggu
dengan infeksi klamidia (Cunningham and Beagley, 2008).
Hasil analisis bivariat dengan Odds Ratio (OR) terhadap riwayat penyaki
menular seksual didapatkan OR sebesar 6.526 dengan demikian, responden yang
memiliki riwayat PMS memiliki risiko 6,526 kali terhadap kejadian keterlambatan
konsepsi (Infertilitas) pasangan suami istri pada lakilaki. Berdasarkan hasil uji
analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel riwayat PMS merupakan faktor
yang berpengaruh terhadap kejadian keterlambatan konsepsi (infertilitas) pasutri pada
laki-laki dengan nilai Wald sebesar 11,876 dan signifikansi sebesar 0,001. Perlu
diketahui bahwa sampai 25 % pria yang menderita gonore, diserta infeksi chlamydia.
Bila uretritis karena Chlamydia tidak diobati sempurna, infeksi dapat menjalar ke

uretra posterio dan menyebabkan epididimitis dan mungkin prostatitis. Dari hasil
penelitian terakhir mengatakan bahwa C. trachomatis merupakan penyebab utama
epididimitis pada pria kurang dari 35 tahun (sekitar 70 - 90 %). Secara klinis,
chlamydial epididimitis dijumpai berupa nyeri dan pembengkakan scrotum yang
unilateral dan biasanya berhubungan dengan chlamydial uretritis , walaupun
uretritisnya asimptomatik (Karmila,2001).
Alkohol adalah zat yang paling sering disalahgunakan manusia, alkohol
diperoleh atas peragian/fermentasi madu, gula, sari buah atau umbi-umbian. Dari
peragian tersebut dapat diperoleh alkohol sampai 15 % tetapi dengan proses
penyulingan (destilasi) dapat dihasilkan kadar alkohol yang lebih tinggi. Hasil
analisis bivariat dengan Odds Ratio (OR) terhadap riwayat konsumsi alkohol
didapatkan OR sebesar 13.409, sehingga kebiasaan konsumsi alkohol merupakan
faktor risiko terhadap kejadian keterlambatan konsepsi (Infertilitas) pasangan suami
istri pada laki-laki. Dimana responden yang memiliki riwayat konsumsi alkohol
memiliki risiko 13,409 kali lebih besar untuk mengalami keterlambatan konsepsi bila
dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat konsumsi alkohol.
Dari hasil penelitian Jarkko (2006), Di antara laki-laki dengan asupan seharihari antara 80 dan 160 g, hanya 13 dari 35 laki-laki menunjukkan spermatogenesis
normal (37%), 19 (54%) memiliki SA parsial atau lengkap. Frekuensi gangguan
spermatogenik adalah serupa pada laki-laki minum lebih dari 160 g. Konsumsi
alkohol dalam jumlah moderat dapat mempengaruhi kualitas air mani lebih sering
dari pada yang diperkirakan sebelumnya, sedangkan konsumsi alkohol yang tinggi
akan mempengaruhi secara serius terhadap proses spermatogenesis.
Alkoholisme telah lama dikaitkan dengan gangguan kesehatan reproduksi
seperti impotensi dan atropi testis, spermatogenesis tampak semakin memburuk
dengan meningkatnya asupan alkohol, konsumsi alkohol kronik memiliki efek
merugikan pada reproduksi laki-laki, hormon dan kualitas sperma (Mendiola, 2008) .
Konsumsi alkohol kronis memiliki efek merugikan pada reproduksi laki-laki
hormon dan pada kualitas air mani . Sebuah kasus-kontrol studi yang dilakukan di

Jepang menunjukkan bahwa alkohol asupan secara signifikan lebih umum pada
infertile pria dibandingkan pada kontrol. Alkohol paparan in vitro menginduksi
penurunan motilitas sperma dan morfologi, dan respon berhubungan dengan dosis.
Selain itu, risiko aneuploidi sperma XY adalah lebih besar pada peminum alkohol
dibandingkan dengan bukan peminum (RR = 1,38, CI 95%: 1,2-1,6) (Mendiola,
2008).
Berdasarkan hasil uji analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel
riwayat minum alkohol merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian
keterlambatan konsepsi (infertilitas) pasutri pada laki-laki dengan nilai OR sebesar
11.705 dan signifikansi sebesar 0,000. Alkohol dalam jumlah banyak dihubungkan
dengan rendahnya kadar hormon testosteron yang tentu akan mengganggu
pertumbuhan sperma. Mariyuana juga dikenal sebagai salah satu penyebab gangguan
pertumbuhan sperma, sehingga penghentian penggunaan mariyuana dan alkohol
merupakan usaha preventif untuk infertilitas.(Taher, 2008).
Berat badan dan perubahan pada berat badan yang melebihi berat badan
normal (terlalu gemuk) akan mempengaruhi kejadian keterlambatan konsepsi
(infertilitas). Untuk menentukan obesitas diukur dengan Indeks Massa Tubuh (IMT)
dimana berat badan

dikatakan obesitas bila perhitungan IMT >= 25 kg/m dan

normal bila perhitungan IMT < 25 kg/m. Hasil analisis bivariat dengan Odds Ratio
(OR) terhadap obesitas didapatkan OR sebesar 2.695 sehingga obesitas merupakan
faktor risiko terhadap kejadian keterlambatan konsepsi (Infertilitas) pasangan suami
istri pada lakilaki.
Studi dari Ruby dkk (2007) menambahkan dukungan lebih lanjut bahwa pria
dengan kelebihan berat badan akan meningkatkan risiko infertilitas. Nilai dapat
dianggap remeh karena kasus yang paling parah, pasangan yang tidak hamil, tidak
termasuk dalam kelompok kelahiran. Penelitian diperlukan untuk melihat
apakahpenurunan berat badan meningkatkan kesuburan bagi laki-laki.
Kasus-kasus infertilitas yang disebabkan obesitas tidak saja memberikan
dampak buruk bagi wanita. Pada pria terdapat hubungan kuat antara berat badan

meningkat dengan rendahnya produksi sperma serta disfungsi ereksi. Obesitas sangat
terkait dengan kemandulan pada pria. Sel-sel lemak memroduksi estrogen. Dan lakilaki dengan sel lemak berlebih, lebih banyak menghasilkan estrogen dibandingkan
pria dengan berat badan normal. Jadi salah satu penyebab paling umum kemandulan
pria adalah produksi sperma yang abnormal (Sallmen M, dkk, 2006).
Kualitas pergerakan spermatozoa disebut baik bila 50% atau lebih
spermatozoa menunjukkan pergerakan yang sebagian besar adalah gerak yang cukup
baik atau sangat baik (grade II/III). ). Gradasi menurut W.H.O. untuk pergerakan
spermatozoa adalah sebagai berikut : 0 = spermatozoa tidak menunjukkan
pergerakan, 1 = spermatozoa bergerak ke depan dengan lambat, 2 = spermatozoa
bergerak ke depan dengan cepat, 3 = spermatozoa bergerak ke depan sangat cepat.
Hasil analisis bivariat dengan Odds Ratio (OR) terhadap obesitas didapatkan
OR sebesar 0.407 pada tingkat kepercayaan (CI)=95% dengan nilai batas bawah =
0.180 dan nilai batas atas = 0.922. Oleh karena nilai batas bawah dan batas atas tidak
mencakup nilai satu, maka nilai 0.407 dianggap bermakna secara statistik sehingga
kualitas sperma merupakan faktor risiko terhadap kejadian keterlambatan konsepsi
(Infertilitas) pasangan suami istri pada laki-laki.
Eksposur kerja dan lingkungan dapat mempengaruhi reproduksi. Paparan
panas dari mandi sauna sering, mengemudi kendaraan, tungku, dan mungkin bekerja
di luar rumah di musim panas dapat menyebabkan penurunan spermatogenesis.
Gangguan pertukaran panas testis dari obesitas dan varicoceles dapat menonjolkan
efek. Paparan bahan kimia di tempat kerja atau di tempat lain, terutama nematosida,
organofosfat, estrogen, benzena, dan pengelasan, seng, timah, kadmium, dan asap
merkuri, mungkin memiliki efek antispermatogenic. Berbagai obat sosial, termasuk
tembakau, alkohol, ganja, dan narkotika, berpotensi antispermatogenic. Beberapa
pecandu mengalami kerusakan organ lain, seperti sirosis, yang selanjutnya dapat
mengganggu fungsi testis dalam melakukan proses spermatodenesis.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kseimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ditemukan adanya risiko
kejadian keterlambatan konsepsi (infertilitas) pasangan suami istri pada laki-laki yang
memiliki kelainan alat reproduksi (Undecensus testis). Variabel riwayat PMS, riwayat
konsumsi alkoholl dan obesitas bermakna terhadap kejadian keterlambatan konseps
(infertiltas) pasangan suami istri pada laki-laki. Perlunya peningkatan pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi bagi Pasutri terhadap besar risiko konsumsi alkohol
yang berdampak terhadap terjadinya keterlambatan konsepsi. Bagi pasutri yang
memiliki ketergantungan alkohol

sebaiknya melakukan pemeriksaan kesehatan

secara periodik agar dapat berhenti total dari ketergantungan alkoholl. Mengingat
obesitas merupakan faktor risiko keterlambatan konsepsi, maka sebaiknya pasangan
suami istri menerapkan pola diet yang sehat dengan menjaga berat badan yang ideal.

DAFTAR PUSTAKA
Kerr J. B. 1992. Spontaneous degeneration of germ cells in normal rat testis :
assessment of cell typesand frequency during the spermatogenic cycle. J.
Reprod. Fert No.95 825-830
Ilyas, S. 2008. Efektivitas Kontrasepsi Hormonal Pria Yang Menggunakan
Kombinasi Testosteron Undekanoat dan Noretisteron Enantat. Dalam Jurnal
Biologi Sumatera. Vol. 3. No. 1. 23-28
D.K. Sari, Sunarti dan K. Eriani, 2008, Pengaruh Asap Rokok Terhadap Fetus Mencit
(Mus musculus) DYJ Prenatal. Jurnal Natural, 8 (1), 10-13.
A. Agarwal, R. A. Saleh and M. A. Bedaiwy, 2003, Role of reactive oxygen species in
the pathophysiology of human reproduction, Human Reproduction Infertility
and Sexual Funtion, 7, 829-843.
J. Christyaningsih, 2003, Pengaruh Suplementasi Vitamin E dan C Terhadap Aktivitas
Enzim Superoxide Dismutase (SOD) Dalam Eritrosit Tikus Yang Terpapar
Asap
Rokok
Kretek,
http://UnairThesis.Jiptunair-gdl-2003Christiyaningsih.2c-667-rokok. Diakses tanggal 11 september 2014.
Aflatoonia, A. (2009). The epidemiological and etiological aspects of infertility in
Yazd province of Iran. Iranian Journal of Reproductive Medicine 23 (7): 12-2
Ambara, P. (2005). Pengertian infertilitas. (online) diunduh 11 sseptember
2014.
Available
from
URL
HYPERLINK
http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2005/9/18/kel4.html
Baker, (2008). Clinical Management of Male Infertility, (online) diunduh 11
september
2014.
Available
from
URL
HYPERLINK
http://www.endotext.org/male/male7/maleframe7.htm
Cunningham, and Beagley, (2010). Male Genital Tract Chlamydial Infection:
Implications for Pathology and Infertility. Journal Biology of Reproduction
79(8) 180189.
Effendi, A. (2008). Undescanded Testis Pada Bayi Baru Lahir Insidens Dan
Perkembangannya, (online) diunduh 26 Januari 2012. Available from URL:
HYPERLINK http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6185

Jarkko,

(2006). Moderate Alkoholl Consumption and Disorders of Human


Spermatogenesis. (online) diunduh 11 september 2014. Available from URL
HYPERLINKhttp://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.15300277.1996.tb0
1648.x/abstract
Kurniawan, (2009). Infertilitas Pasutri. Artikel muslimah, (online) diunduh 3
Februari
2012.
Available
from
URL
HYPERLINK
http://muslimah.or.id/kesehatan-muslimah/infertilitas-pasutri-1.html
Mendiola, dkk, 2008. Lifestyle factors and male infertility: an evidence-based review,
(online) diunduh 11 september 2014. Available from URL HYPERLINK
www.clevelandclinic.org/.../agradoc313.pdf.
Ruby. (2007). Mens body mass index and infertility. Journal of Human
Reproduction, 22(9): 36-45
Scholtmeijer R.J & F.H. Schroder. (1996). Urologi untuk praktek umum, Jakarta:
EGC. Taher, A. 2008. Infertilitas Pada Pria; artikel, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, (online) diunduh 16 Februari 2012. Available from
URL: HYPERLINK http://www.asrihospital.com/
Widodo, (2009). Hubungan Antara Jumlah Leukosit dengan Motalitas Sperma Pada
Hasil Analisa Sperma Pasien Infertilitas di RSUP Dr Kariadi Semarang.
Skripsi tidak diterbitkan, Semarang: Fakultas Kedokteran Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai