Disusun oleh:
ATIKA CAESARINI
201310401011054
LEMBAR PENGESAHAN
MAKALAH
PERDARAHAN
PADA KEHAMILAN MUDA
Makalah dengan judul Perdarahan Pada Kehamilan Muda telah diperiksa dan
disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan
Dokter Muda di bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah SMF Ilmu Obstetri dan
Ginekologi dengan judul Perdarahan Pada Kehamilan Muda.
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak, rekan sejawat, dan terutama dr. Maroef, Sp.OG , yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing saya sehingga makalah ini dapat selesai dengan baik.
Saya menyadari makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik
dan saran saya harapkan demi memperbaiki kekurangan atau kekeliruan yang
mungkin ada. Semoga makalah ini bermanfaat bagi rekan dokter muda khususnya
dan masyarakat umum pada umumnya.
Akhir kata, penulis mengharapkan tugas ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.
Wassalamualaikum WR.WB.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu komplikasi terbanyak pada kehamilan ialah terjadinya perdarahan.
Perdarahan dapat terjadi pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan muda sering
dikaitkan dengan kejadian abortus, misscariage, early pregnancy loss. Perdarahan
yang terjadi pada usia kehamilan yang lebih tua terutama setelah melewati
trimester ketiga disebut perdarahan antepartum1.
Perdarahan pada kehamilan muda dikenal beberapa istilah sesuai dengan
pertimbangan masing-masing, tetapi setiap kali kita melihat terjadinya perdarahan
pada kehamilan kita harus berpikir tentang akibat dari perdarahan ini yang
menyebabkan kegagalan kelangsungan kehamilan itu sendiri. Dikenal beberapa
batasan tentang peristiwa yang ditandai dengan perdarahan pada kehamilan muda,
yakni abortus, kehamilan ektopik, dan mola hidatidosa1.
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan.Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau
berat janin kurang dari 500 gram1
Kejadian abortus meningkat pada wanita hamil yang berumur 30 tahun atau
35 tahun, hal ini disebabkan meningkatnya kelainan genetik seperti mutasi dan
kelainan maternal pada usia tersebut13. Menurut Llewellyn-Jones frekuensi
abortus meningkat bersamaan dengan meningkatnya angka graviditas. Apabila
terdapat riwayat abortus, maka kemungkinan terjadi abortus pada kehamilan yang
selanjutnya akan meningkat.
Kehamilan ektopik adalah suatu implantasi blastokista di tempat selain di
endometrium didalam rongga uterus. Kehamilan ektopik merupakan penyebab
kematian maternal tertinggi pada kehamilan trimester pertama2.
Penyebab kehamilan ektopik antara lain disebabkan oleh penyakit radang
panggul, alat kontrasepsi dalam rahim, sterilisasi, endometriosis dan obat induksi
ovulasi. Prosedur bedah yang melakukan manipulasi pada tuba juga dapat
meningkatkan risiko terjadinya kehamilan ektopik 2.
Lokasi kehamilan ektopik terbanyak yaitu pada tuba falopi. Sebanyak 78%
terjadi pada ampula, 12% terjadi di isthmus, 5% di fimbria, 2% di kornu dan
interstisial. Sisanya pada abdomen, serviks dan ovarium3.
Insidensi kehamilan ektopik meningkat dari 0,37% pada tahun 1948 menjadi
1,97% pada tahun 1992. Walaupun insidensinya meningkat tetapi kejadian kematian
karena kehamilan ektopik turun hampir 90% dari tahun 1979 sampai tahun 1992.
Penurunan ini karena diagnosis dapat ditegakkan lebih dini, sebelum terjadi ruptur
tuba5.
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal dengan ciri ciri stroma villus
corialis langka vaskularisasi dan edematus. Penyakit ini termasuk kelainan trofoblast
yang berasal dari kehamilan. Setelah ovum dibuahi, terjadi pembagian sel di daerah
tersebut. Tidak lama kemudian terbentuk blastokista yang mempunyai lumen dan
dinding luar. Dinding ini terdiri dari sel-sel ektoderm, yang kemudian menjadi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan fisiologi uterus
Uterus pada orang dewasa berbentuk seperti buah apokat atau buah peer yang
sedikit gepeng. Ukuran panjang uterus adalah 7-7,5 cm, lebar ditempat paling
lebar 5,25 cm dan tebal 2,5cm. Uterus terdiri dari corpus uteri (2/3 bagian atas)
dan serviks uteri (1/3 bagian bawah).
Bagian bawah serviks yang terletak di vagina dinamakan portio uteri (pars
vaginalis sevisis uteri), sedangkan yang berada diatas vagina disebut pars
supravaginalis servisis uteri. Antara korpus dan serviks masih ada bagian yang
disebut isthmus uteri. Bagian atas uterus disebut fundus uteri, disitu tuba fallopii
kanan dan kiri masuk ke uterus.
Didalam corpus uteri terdapat rongga (kavum uteri), yang membuka ke luar
melalui saluran (kanalis servikalis) yang terletak di serviks. Kavum uteri dilapisi oleh
selaput lendir yang kaya kelenjar, disebut endometrium. Endometrium terdiri dari
epithel kubik, kelenjar-kelenjar, dan stroma dengan banyak pembuluh darah yang
berlekuk-lekuk. Dinding uterus terdiri terutama atas miometrium, yang merupakan
otot polos berlapis tiga (sebelah luar longitudinal, sebelah dalam sirkuler, yang antara
kedua lapisan tersebut beranyaman). Diluar, uterus dilapisi oleh serosa (peritoneum
viscerale).
Faktor genetik
Separuh dari abortus karena kelainan sitogenik pada trimester pertama berupa
trisomi autosom. Trisomi timbul akibat dari nondisjunction meiosis selama
gametogenesis pada pasien dengan kriotip normal. Untuk sebahagian besar
trisomi, gangguan miosis maternal bisa berimplikasi pada gametogenesis.
Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia. Trisomi 16, dengan
kejadian sekitar 30 persen dari seluruh trisomi, merupakan penyebab
terbanyak.Semua kromosom trisomi berakhir abortus kecuali pada trisomi
kromosom 1. Pengelolaan standar menyarankan untuk pemeriksaan genetik
amniosentesis pada semua ibu hamil dengan usia lanjut, yaitu di atas 35 tahun.
Risiko ibu terkena aneuploidi adalah 1:80, pada usia di atas 35 tahun karena
angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35
tahun1.
Kelainan kongenital uterus
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti
abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan
bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan.Pada perempuan dengan
riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27 persen pasien. Hasil studi
oleh Acien (1996) pada 170 pasien hamil dengan malformasi uterus,
mendapatkan hanya 18,8 persen yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup
bulan, sedangkan 36,5 persen mengalami persalinan abnormal (prematur,
sungsang).Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus adalah
septum uterus (40-80%), kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau
unikornis (10-30%).Mioma uteri bisa menyebabkan baik infertilitas maupun
abortus berulang. Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat
implantasi serta pasokan darah pada permukaan endometrium.Risiko abortus
antara 25-80%, bergantung pada berat ringannya gangguan1.
Inkompetensia servik
Inkompeten servik adalah ketidakmampuan servik untuk mempertahankan
kehamilan sampai dengan aterm. Insiden ini terjadi bervariasi pada semua wanita
hamil, berkisar 8% s/d 15 %. Insiden ini diperkuat dari riwayat sudah pernah
mengalami abortus sebelumnya.
Autoimun
Terdapat hubungan yang nyata antara abortus yang berulang dan penyakit
autoimun. Misalnya, pada Systematic Lupus Erythematosus ( SLE ) dan
antiphospholipid Antibodies ( aPA ). aPA merupakan antibody spesifik yang
didapati pada perempuan dengan SLE. Kejadian abortus spontan di antara
pasien SLE sekitar 10%, disbanding populasi umum. Bila digabung dengan
peluang terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, maka diperkirakan
75% pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan. Sebagian
besar kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. aPA merupakan
antibodi yang berikatan dengan sisi negative dari fosfolipid1.
Defek fase luteal
Paritas
Lebih dari 80% abortus terjadi pada 12 minggu usia kehamilan, dan
sekurangnya separuh disebabkan oleh kelainan kromosom. Resiko terjadinya
abortus spontan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah paritas, sama
atau seiring dengan usia maternal.
Lingkungan
Diperkirakan 1-10 persen malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan
kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus.Rokok diketahui
mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang telah diketahui
mempunyai
efek
vasoaktif
sehingga
menghambat
sirkulasi
uteroplasenta.Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan
janin serta memacu neurotoksin.Dengan terjadinya gangguan pada sistem
sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat
terjadinya abortus1
2.2.2 Patofisiologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam decidua basalis, diikuti oleh nekrosis
jaringan di sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas
sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing didalam uterus.
Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Pada
kehamilan kurang dari 8 minggu, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan
seluruhnya, karena vili koreales belum menembus desidua terlalu dalam,
sedangkan pada kehamilan 8 sampai 14 minggu, telah masuk agak tinggi, karena
plasenta tidak dikeluarkan secara utuh sehingga banyak terjadi perdarahan. Pada
kehamilan 14 minggu keatas, yang umumnya bila kantong ketuban pecah maka
disusul dengan pengeluaran janin dan plasenta yang telah lengkap terbentuk.
Perdarahan tidak banyak terjadi jika plasenta terlepas dengan lengkap. Hasil
konsepsi pada abortus dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada kalanya janin
tidak tampak didalam kantong ketuban yang disebut blighted ovum, mungkin
pula janin telah mati lama disebut missed abortion. Pada janin yang telah
meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses mumifikasi: janin
mengering dan menjadi agak gepeng atau fetus compressus karena cairan amnion
yang diserap. Dalam tingkat lebih lanjut janin menjadi tipis seperti kertas
perkamen atau fetus papiraseus. Kemungkinan lain yang terjadi apabila janin
yang meninggal tidak dikeluarkan dari uterus yaitu terjadinya maserasi, kulit
terkupas, tengkorak menjadi lembek, dan seluruh janin berwarna kemerahan1
2.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi abortus adalah:
1. Abortus spontan yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa
disengaja. Abortus ini dibagai atas 5 kategori yaitu :
a. Abortus imminens yaitu perdarahan yang terjadi pada paruh pertama
kehamilan yang bisa mengacam ibu untuk terjadinya keguguran
2.2.4
Manifestasi klinis
yang disebut ampula. Hasil perpaduan sperma dan sel telur itu kita kenal
dengan istilah zigot4
Bila tidak ada aral melintang, zigot akan terus melaju untuk mencapai
rongga rahim. Sambil melaju, terjadi pula proses pembelahan sel menjadi dua,
empat, delapan, enambelas dan seterusnya. Sesampainya di dalam rongga
rahim, sel-sel ini akan menanamkan dirinya pada dinding rahim untuk tumbuh
berkembang lebih lanjut4
Sayangnya, harapan tidak selalu sama dengan kenyataan. Dalam perjalanan
tersebut, bisa saja mereka mengalami hambatan. Hambatan tentu akan
memperlambat jalannya sel telur ke dalam rahim. Akibatnya, proses pembuahan
bisa terjadi bukan pada tempat seharusnya, dan atau tempat embrio tumbuh
bukan di dalam dinding rahim. Hambatan bisa disebabkan oleh berbagai hal dan
bisa terjadi dimana-mana. Hambatan itu misalnya akibat:
a.
Terjadinya gangguan pada jumbai saluran telur (fimbriae), sehingga
tidak mampu mengambil telur masuk ke dalam saluran telur
b.
Terjadinya gangguan pada kemampuan peristaltik saluran telur,
sehingga zigot tidak dapat bergerak secara baik menuju rongga rahim
Dengan terjadinya hambatan ini, maka hasil pembuahan (zigot) akan tumbuh
berkembang di luar tempat yang seharusnya. Ia dapat tumbuh misalnya pada:
a.
b.
c.
d.
e.
Lokasi tersering dari kehamilan ektopik terjadi pada daerah saluran telur,
dengan frekuensi tertinggi pada daerah ampula. Daerah ampula adalah suatu
daerah yang melebar pada saluran telur4
2.3.4 Manifestasi klinis
a. Kehamilan ektopik yang belum terganggu sulit diketahui, karena biasanya
penderita tidak menyampaikan keluhan yang khas.
b. Amenore atau ada riwayat terlambat haid dilaporkan oleh 75-95% penderita.
c. Gejala kehamilan muda seperti nausea hanya dilaporkan oleh 10-25%
penderita.
d. Disamping gangguan haid, keluhan yang paling sering disampaikan ialah
nyeri di perut bawah yang tidak khas, walaupun kehamilan ektopik belum
mengalami ruptur. Kadang-kadang teraba tumor di sampingg uterus dengan
batas yang sukar ditentukan. Keadaan ini pun masih harus dipastikan dengan
alat bantu diagnostik yang lain, seperti USG dan laparoskopi
e. Mengingat bahwa setiap kehamilan ektopik akan berakhir dengan abortus atau
ruptur yang disertai perdarahan dalam rongga perut yang apabila terlambat
diatasi akan membahayakan jiwa penderita, maka pada setipa wanita dengan
gangguan haid dan lebih-lebih setelah diperiksa dicurigai akan adanya
kehamilan ektopik, harus ditangani
dengan sungguh-sungguh dengan
menggunakan alat bantu diagnostik yang ada, sampai diperoleh kepastian
diagnostik kehamilan ektopik.
2.3.9 Penatalaksanaan
Pasien dirujuk ke Rumah Sakit dan disana dilakukan:
a. Laparotomi
b. Salpingektomi/salpingostomi/reanostomosis tuba
c. Kemoterapi dengan metotreksat 1 mg/kg intravena dan faktor sitrovorum 0,1
mg/kg intramuskuler berselang-seling selama 8 hari bila kehamilan di pars
ampularis tuba belum pecah. Diameter kantong gestasi kurang atau sama dengan
4 cm. Perdarahan dalam rongga perut kurang dari 100 ml dan tanda vital masih
baik6
2.3.10 Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik cenderung turun dengan diagnosis dini dan
persediaan darah yang cukup. Sebagian wanita menjadi steril setelah mengalami
kehamilan ektopik atau mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba sisi lain.
Angka kehamilan ektopik berulang dilaporkan 0-14,6%6
2.4 Mola hidatidosa
2.4.1 Definisi
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana hampir seluruh villi
korialis mengalami degenerasi hidrofik, dengan ciri-ciri stroma villus korialis
langka vaskularisasi, dan edematus. Janin biasanya meninggal, akan tetapi villusvillus akan membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus memberikan
gambaran sebagai segugus buah anggur, sehingga sering disebut sebagai hamil
anggur. Jaringan trofoblast pada villus kadang-kadang berproliferasi ringan.
Kadang-kadang keras dan mengeluarkan hormon, yakni Human Chorionic
Gonadotrophin (HCG) dalam jumlah yang lebih besar daripada kehamilan biasa7.
2.4.2 Etiologi
Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Berbagai teori
telah dianjurkan, misalnya : teori infeksi, defisiensi makanan terutama protein
tinggi. Ada pula teori consanguinity. Teori yang paling cocok dengan keadaan
adalah teori Acosta Sison yaitu defisiensi protein karena kenyataan membuktikan
bahwa penyakit ini lebih banyak ditemukan pada wanita dari golongan sosio
ekonomi rendah.
Akhir akhir ini dianggap bahwa kelainan tersebut terjadi karena pembuahan
sel telur dimana intinya telah hilang atau tidak aktif lagi oleh sperma yang
mengandung kromosom haploid, kemudian membelah menjadi 46 xx, sehingga
mola hidatidosa bersifat homozigot, wanita dan androgenesis7.
2.4.3 Faktor resiko
Faktor resiko terjadinya mola hidatidosa adalah
Golongan sosio ekonomi rendah
Usia di bawah 20 tahun
Paritas tinggi
Riwayat kehamilan mola sebelumnya
20
triploid. Pada perkembangannya jenis mola ini jarang menjadi ganas. Bila ada
mola disertai janin biasanya ada 2 kemingkinan, pertama kehamilan kembar
dimana 1 janin tumbuh normal dan hasil konsepsi lainnya menjadi mola
hidatidosa, kedua hamil tunggal yang berupa mola parsialis8.
2.4.5 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis mola hidatidosa adalah
Amenore
Adanya tanda-tanda kehamilan (mual, muntah, pusing)
Perdarahan pervaginam berulang, darah terutama berwarna coklat. Perdarahan
merupakan gejala utama mola karena hal inilah yang menyebabkan mereka
datang ke rumah sakit. Perdarahan ini bisa intermitten, sedikit-sedikit atau
sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau kematian. Karena
perdarahan ini maka umumnya penderita mola hidatidosa masuk rumah sakit
dalam keadaan anemia.Pada keadaan lanjut kadang keluar gelembung mola yang
bisa dijadikan diagnosa pasti mola.
Pembesaran uterus lebih besar daripada kehamilan biasanya. Ini adalah kelainan
yang sering dijumpai.
Hiperemesis gravidarum.
Tanda-tanda pre-eklampsia pada trimester I.
Tanda-tanda tirotoksikosis. Ternyata insidennya sekitar 1% - 7,6%. Peningkatan
kadar tiroksin plasma mungkin terutama disebabkan oleh peningkatan estrogen.
Kista lutein unilateral / bilateral.
Pada banyak kasus mola hidatidosa, ovarium mengandung kista teka lutein.
Kista ini ukurannya bervariasi. Permukaan kista halus, sering kekuningan dan
dilapisi sel sel lutein. Kista kista ini diduga terbentuk akibat perangsangan
unsur unsur lutein yang berlebihan oleh gonadotropin korionik dalam jumlah
besar yang dikeluarkan oleh trofoblas.
Tidak dirasakan adanya tanda-tanda gerakan janin, balotement negatif kecuali
pada mola parsial9.
2.4.6 Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosa mola, sebagai dokter harus cermat dan teliti.
1. Anamnesa : pasien biasanya mengeluh tidak haid, mual, muntah, perdarahan
pervaginam.
2. Pemeriksaan fisik : edema ekstremitas akibat pre eklampsi, nampak pucat,
keluarnya jaringan mola (Dx pasti mola), pada mola klasik : uterus > besar dari
usia kehamilan, pada mola parsial : uterus > kecil dari usia kehamilan, tidak
teraba janin, konjungtiva anemis, tidak adanya Denyut Jantung Janin.
22
3. Pada pemeriksaan dalam : uji sonde (Acosta Sison/Hanifa) tidak ada tahanan
massa konsepsi dan sonde bisa diputar 360 derajat dengan deviasi sonde 10
derajat.
Pemeriksaan penunjang mola hidatidosa :
USG : gambaran khas mola yaitu badai salju (snow flake pattern)
Uji sonde menurut Hanifa. Tandanya yaitu sonde yang dimasukkan tanpa
tahanan dan dapat diputar 360 derajat dengan deviasi sonde kurang dari 10 derajat9.
2.4.7 Diagnosis banding
1. Kehamilan dengan Mioma
2. Abortus
3. Hidramnion
4. Gemelli
5. KET10
2.4.8 Komplikasi
Perdarahan hebat
23
Anemis
Syok
Infeksi
Perforasi uterus
Keganasan
Eklamsia
Tirotoksikosis10
2.4.9 Penatalaksanaan
Terapi mola hidatidosa ada 3 tahapan yaitu :
1. Perbaikan keadaan umum
Koreksi hidrasi
- Tranfusi bila Hb < 8 gr %
- Hiperemesis dan pre eklampsi diobati sesuai prosedur.
- Tirotoksikosis : PTU 3 x 100 mg dan propanolol 40-80 mg.
2. Pengeluaran jaringan mola dengan cara kuretase dan histerektomi
Kuretase :
1. Dilakukan setelah pemeriksaan persiapan selesai (pemeriksaan darah rutin,
kadar beta HCG dan foto toraks) kecuali bila jaringan mola sudah keluar
spontan.
2. Bila canalis servicis belum terbuka maka dilakukan pemasangan laminaria
dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian.
3. Pada wanita yang masih menginginkan anak, maka setelah diagnosa pasti
mola, dilakukan pengeluaran mola dengan kerokan isapan (suction
curretage). Sesudah itu, dilakukan kerokan dengan kuret tumpul untuk
mengeluarkan sisa-sisa konseptus, kerokan perlu dilakukan secara hatihati berhubung dengan bahaya perforasi.
4. Sebelum melakukan kuretase, sediakan darah 500 cc dan pasang infus
dengan tetesan oksitosin 10 IU dalam 500 cc dektrose 5% atau RL dengan
kecepatan 40 60 tetes/menit (sebagai tindakan preventif terhadap
perdarahan hebat dan efektifitas kontraksi terhadap pengosongan uterus
secara cepat).
5. Kuretase dilakukan 2 kali dengan interval minimal 1 minggu, untuk
memastikan bahwa uterus benar-benar sudah kosong dan untuk memeriksa
tingkat proliferasi sisa-sisa trofoblast yang dapat ditemukan. Makin tinggi
tingkat itu makin perlu waspada terhadap kemungkinan keganasan.
6. Setelah jaringan mola dikeluarkan, dapat ditemukan bahwa kedua ovarium
membesar menjadi kista teka-lutein. Kista-kista tersebut tumbuh akibat
pengaruh hormonal, dan kemudia akan mengecil sendiri.
7. Seluruh jaringan hasil kerokan dikirim ke laboratorium PA.
Histerektomi :
Syarat melakukan histerektomi adalah :
- umur ibu 35 tahun atau lebih.
- Sudah memiliki anak hidup 3 orang atau lebih atau ibu sudah tidak ingin
hamil lagi.
24
25
BAB III
KESIMPULAN
Abortus adalah ancaman akan keluarnya hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup di
luar kandungan, atau menurut kriteria WHO yang menyatakan berat janin atau embrio itu
paling tidak telah mencapai 500 gram atau kurang yang sesuai dengan usia kehamilan 20
minggu.
Kehamilan ektopik merupakan penyebab kematian maternal tertinggi pada
kehamilan trimester pertama. Penyebab kehamilan ektopik antara lain oleh penyakit
radang panggul, alat kontrasepsi dalam rahim, sterilisasi, endometriosis, obat induksi
ovulasi dan prosedur bedah yang melakukan manipulasi pada tuba. Manifestasi klinik
pada kehamilan ektopik antara lain amenore atau ada riwayat terlambat haid, gejala
kehamilan muda, nyeri perut bagian bawah, perdarahan pervaginan berwarna coklat tua,
pada pemeriksaan vagina terdapat nyeri goyang bila servix digerakkan.
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana hampir seluruh villi korialis
mengalami degenerasi hidrofik, dengan ciri-ciri stroma villus korialis langka
vaskularisasi, dan edematus. Janin biasanya meninggal, akan tetapi villus-villus akan
membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus memberikan gambaran sebagai
segugus buah anggur, sehingga sering disebut sebagai hamil anggur. Jaringan trofoblast
pada villus kadang-kadang berproliferasi ringan. Kadang-kadang keras dan mengeluarkan
hormon, yakni Human Chorionic Gonadotrophin (HCG) dalam jumlah yang lebih besar
daripada kehamilan biasa. Gejala mola hidatidosa adalah amenore, adanya tanda-tanda
kehamilan (mual, muntah, pusing), perdarahan pervaginam berulang, darah terutama
berwarna coklat, pembesaran uterus lebih besar daripada kehamilan biasanya. Ini adalah
kelainan yang sering dijumpai, hiperemesis gravidarum, tanda-tanda pre-eklampsia pada
trimester I, tanda-tanda tirotoksikosis, kista lutein unilateral / bilateral, tidak dirasakan
adanya tanda-tanda gerakan janin, balotement negatif kecuali pada mola parsial.
26
DAFTAR PUSTAKA
1.Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Perdarahan pada kehamilan muda. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014
2. Bankowski BJ, Hearne AE, Lambrou NC. The Johns Hopkins Manual of Gynecology
and Obstetrics. Department of Gynecology and Obstetrics Johns Hopkins
University School of Medicine Baltimore, Maryland. 2nd ed.: 305-13. 2012
3. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ. Williams Obstetrics. 21st ed.: 884-905. 2011
4. Handoko, Iwan. Kehamilan Ektopik. On-Line: Http://www.klinikku.com. 2013
5. Lipscomb GH, Stovall TG, Ling FW. Nonsurgical Treatment of Ectopic Prenancy.
NEJM; 343(18)1325-9. 2012
6. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran; KET. Edisi ketiga. Jilid Pertama. Jakarta:
Penerbit Media Aesculapius Fakultas Universitas Indonesia. 2012
7. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD.
Gestational trophoblastic diseases. Williams Obstetrics. 21st ed. New York:
McGraw-Hills, 2011
8. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Mola Hidatidosa. Ilmu
Kandungan. Jakarta, Yayasan Bina Pustaka. 2014
9. Mansjoer A,dkk. Mola Hidatidosa. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius. 2012
10. http://www.pogisurabaya.org. Mola Hidatidosa, diakses tanggal 8 Oktober 2014
27