Anda di halaman 1dari 27

PERDARAHAN

PADA KEHAMILAN MUDA

Disusun oleh:
ATIKA CAESARINI
201310401011054

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSU HAJI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2014

LEMBAR PENGESAHAN
MAKALAH
PERDARAHAN
PADA KEHAMILAN MUDA

Makalah dengan judul Perdarahan Pada Kehamilan Muda telah diperiksa dan
disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan
Dokter Muda di bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi

Surabaya, Oktober 2014


Pembimbing

dr. Maroef., Sp.OG

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah SMF Ilmu Obstetri dan
Ginekologi dengan judul Perdarahan Pada Kehamilan Muda.
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak, rekan sejawat, dan terutama dr. Maroef, Sp.OG , yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing saya sehingga makalah ini dapat selesai dengan baik.
Saya menyadari makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik
dan saran saya harapkan demi memperbaiki kekurangan atau kekeliruan yang
mungkin ada. Semoga makalah ini bermanfaat bagi rekan dokter muda khususnya
dan masyarakat umum pada umumnya.
Akhir kata, penulis mengharapkan tugas ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.
Wassalamualaikum WR.WB.

Surabaya, Oktober 2014


Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu komplikasi terbanyak pada kehamilan ialah terjadinya perdarahan.
Perdarahan dapat terjadi pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan muda sering
dikaitkan dengan kejadian abortus, misscariage, early pregnancy loss. Perdarahan
yang terjadi pada usia kehamilan yang lebih tua terutama setelah melewati
trimester ketiga disebut perdarahan antepartum1.
Perdarahan pada kehamilan muda dikenal beberapa istilah sesuai dengan
pertimbangan masing-masing, tetapi setiap kali kita melihat terjadinya perdarahan
pada kehamilan kita harus berpikir tentang akibat dari perdarahan ini yang
menyebabkan kegagalan kelangsungan kehamilan itu sendiri. Dikenal beberapa
batasan tentang peristiwa yang ditandai dengan perdarahan pada kehamilan muda,
yakni abortus, kehamilan ektopik, dan mola hidatidosa1.
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan.Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau
berat janin kurang dari 500 gram1
Kejadian abortus meningkat pada wanita hamil yang berumur 30 tahun atau
35 tahun, hal ini disebabkan meningkatnya kelainan genetik seperti mutasi dan
kelainan maternal pada usia tersebut13. Menurut Llewellyn-Jones frekuensi
abortus meningkat bersamaan dengan meningkatnya angka graviditas. Apabila
terdapat riwayat abortus, maka kemungkinan terjadi abortus pada kehamilan yang
selanjutnya akan meningkat.
Kehamilan ektopik adalah suatu implantasi blastokista di tempat selain di
endometrium didalam rongga uterus. Kehamilan ektopik merupakan penyebab
kematian maternal tertinggi pada kehamilan trimester pertama2.
Penyebab kehamilan ektopik antara lain disebabkan oleh penyakit radang
panggul, alat kontrasepsi dalam rahim, sterilisasi, endometriosis dan obat induksi
ovulasi. Prosedur bedah yang melakukan manipulasi pada tuba juga dapat
meningkatkan risiko terjadinya kehamilan ektopik 2.
Lokasi kehamilan ektopik terbanyak yaitu pada tuba falopi. Sebanyak 78%
terjadi pada ampula, 12% terjadi di isthmus, 5% di fimbria, 2% di kornu dan
interstisial. Sisanya pada abdomen, serviks dan ovarium3.
Insidensi kehamilan ektopik meningkat dari 0,37% pada tahun 1948 menjadi
1,97% pada tahun 1992. Walaupun insidensinya meningkat tetapi kejadian kematian
karena kehamilan ektopik turun hampir 90% dari tahun 1979 sampai tahun 1992.
Penurunan ini karena diagnosis dapat ditegakkan lebih dini, sebelum terjadi ruptur
tuba5.
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal dengan ciri ciri stroma villus
corialis langka vaskularisasi dan edematus. Penyakit ini termasuk kelainan trofoblast
yang berasal dari kehamilan. Setelah ovum dibuahi, terjadi pembagian sel di daerah
tersebut. Tidak lama kemudian terbentuk blastokista yang mempunyai lumen dan
dinding luar. Dinding ini terdiri dari sel-sel ektoderm, yang kemudian menjadi

trofoblast. Trofoblast memegang peranan penting dalam proses implantasi blastokista


berhubung dengan kemampuannya menghancurkan jeringan endometrium. Setelah
zigote memasuki endometrium (yang kini berubah menjadi desidua), trofoblast dan
khususnya sitotrofoblast tumbuh terus. Sitotrofoblast yang bersifat invasif, dapat
membuka pembuluh darah, dan lewat jalan darah dapat dibawa ke paru-paru. Pada
kurang lebih 50% wanita yang melahirkan dapat ditemukan sel-sel trofoblast dalam
paru-paru, sel-sel tidak tumbuh terus tetapi mati, berhubung dengan kemampuan
imunologik wanita yang bersangkutan.
Mola hidatidosa tergolong penyakit trofoblast yang tidak ganas, tetapi
penyakit ini dapat menjadi ganas (mola destruens atau penyakit trofoblast ganas jenis
villosum) dan sangat ganas (koriokarsinoma atau penyakit trofoblast ganas jenis
villosum). Frekuensi mola umumnya pada wanita di Asia lebih tinggi (1 atas 120
kehamilan) daripada wanita di negara barat (1 atas 2000 kehamilan). Sedangkan
insiden di Amerika adalah 1 dari 1000 kehamilan. Insiden di Indonesia adalah 1 : 51
sampai 1 : 141 kehamilan berbeda-beda tiap daerah. Insiden lebih tinggi di negara
berkembang dibanding negara maju

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan fisiologi uterus
Uterus pada orang dewasa berbentuk seperti buah apokat atau buah peer yang
sedikit gepeng. Ukuran panjang uterus adalah 7-7,5 cm, lebar ditempat paling
lebar 5,25 cm dan tebal 2,5cm. Uterus terdiri dari corpus uteri (2/3 bagian atas)
dan serviks uteri (1/3 bagian bawah).

Gambar 2.1 Uterus

Bagian bawah serviks yang terletak di vagina dinamakan portio uteri (pars
vaginalis sevisis uteri), sedangkan yang berada diatas vagina disebut pars
supravaginalis servisis uteri. Antara korpus dan serviks masih ada bagian yang
disebut isthmus uteri. Bagian atas uterus disebut fundus uteri, disitu tuba fallopii
kanan dan kiri masuk ke uterus.
Didalam corpus uteri terdapat rongga (kavum uteri), yang membuka ke luar
melalui saluran (kanalis servikalis) yang terletak di serviks. Kavum uteri dilapisi oleh
selaput lendir yang kaya kelenjar, disebut endometrium. Endometrium terdiri dari
epithel kubik, kelenjar-kelenjar, dan stroma dengan banyak pembuluh darah yang
berlekuk-lekuk. Dinding uterus terdiri terutama atas miometrium, yang merupakan
otot polos berlapis tiga (sebelah luar longitudinal, sebelah dalam sirkuler, yang antara
kedua lapisan tersebut beranyaman). Diluar, uterus dilapisi oleh serosa (peritoneum
viscerale).

Gambar 2.2 Komponen uterus

Uterus berada di rongga panggul dalam keadaan antefleksio sedemikian rupa


sehingga bagian depannya setinggi simphysis pubis, dan bagian belakang setinggi
artikulasio sakrokoksigea. Uterus berada diantara kandung kemih di anterior dan
rectum di posterior. Hampir sebagian besar posterior uterus ditutupi serosa, atau
peritoneum, yang bagian bawahnya membentuk batas anterior kavum rectouterina,
atau yang disebut juga recto-uterine cul-de-sac atau cavum dauglasi.

Gambar 2.3 Posisi uterus

2.2 Definisi abortus


Abortus adalah ancaman akan keluarnya hasil konsepsi sebelum janin mampu
hidup di luar kandungan, atau menurut kriteria WHO yang menyatakan berat janin
atau embrio itu paling tidak telah mencapai 500 gram atau kurang yang sesuai
dengan usia kehamilan 20 minggu1.

2.2.1 Etiologi dan faktor resiko


Penyebab abortus bervariasi dan sering diperdebatkan. Umumnya terdapat lebih
dari satu penyebab. Penyebab terbanyak diantaranya adalah seperti berikut :

Faktor genetik
Separuh dari abortus karena kelainan sitogenik pada trimester pertama berupa
trisomi autosom. Trisomi timbul akibat dari nondisjunction meiosis selama
gametogenesis pada pasien dengan kriotip normal. Untuk sebahagian besar
trisomi, gangguan miosis maternal bisa berimplikasi pada gametogenesis.
Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia. Trisomi 16, dengan
kejadian sekitar 30 persen dari seluruh trisomi, merupakan penyebab
terbanyak.Semua kromosom trisomi berakhir abortus kecuali pada trisomi
kromosom 1. Pengelolaan standar menyarankan untuk pemeriksaan genetik
amniosentesis pada semua ibu hamil dengan usia lanjut, yaitu di atas 35 tahun.
Risiko ibu terkena aneuploidi adalah 1:80, pada usia di atas 35 tahun karena
angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35
tahun1.
Kelainan kongenital uterus
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti
abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan
bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan.Pada perempuan dengan
riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27 persen pasien. Hasil studi
oleh Acien (1996) pada 170 pasien hamil dengan malformasi uterus,
mendapatkan hanya 18,8 persen yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup
bulan, sedangkan 36,5 persen mengalami persalinan abnormal (prematur,
sungsang).Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus adalah
septum uterus (40-80%), kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau
unikornis (10-30%).Mioma uteri bisa menyebabkan baik infertilitas maupun
abortus berulang. Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat
implantasi serta pasokan darah pada permukaan endometrium.Risiko abortus
antara 25-80%, bergantung pada berat ringannya gangguan1.
Inkompetensia servik
Inkompeten servik adalah ketidakmampuan servik untuk mempertahankan
kehamilan sampai dengan aterm. Insiden ini terjadi bervariasi pada semua wanita
hamil, berkisar 8% s/d 15 %. Insiden ini diperkuat dari riwayat sudah pernah
mengalami abortus sebelumnya.
Autoimun
Terdapat hubungan yang nyata antara abortus yang berulang dan penyakit
autoimun. Misalnya, pada Systematic Lupus Erythematosus ( SLE ) dan
antiphospholipid Antibodies ( aPA ). aPA merupakan antibody spesifik yang
didapati pada perempuan dengan SLE. Kejadian abortus spontan di antara
pasien SLE sekitar 10%, disbanding populasi umum. Bila digabung dengan
peluang terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, maka diperkirakan
75% pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan. Sebagian
besar kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. aPA merupakan
antibodi yang berikatan dengan sisi negative dari fosfolipid1.
Defek fase luteal

Sekresi progesteron menyebabkan perubahan endometrium yang penting untuk


implantasi dan melanjutkan kehamilan. Pada fase luteal siklus menstruasi,
progesteron dihasilkan dari korpus luteum. Jika terjadi kehamilan, korpus
luteum menghasilkan progesteron sehingga trofoblas bisa menghasilkan
progesteron sendiri (setelah 5 minggu kehamilan). Penyelidikan awal membuat
hipotesa bahwa defek fase luteal dapat menyebabkan isufisiensi sintesis
progesteron dan abortus berulang. Defek fase luteal terjadi karena kurangnya
perkembangan dari folikel dan sekresi estrogen abnormal, yang membuat
sekresi abnormal dari luteinizing hormone (LH) dan hiperandrogen.
Diagnosis defek fase luteal ditegakkan dengan penemuan dari biopsi
endometrium yang dilakukan setelah dihitung 2 hari dari tanggal ovulasi dari
siklus menstruasi. Kadar progesteron bisa digunakan sebagai kriteria diagnosis
untuk defek fase luteal. Walaupun bukti klinis yang mendukung defek fase
luteal sebagai kondisi patologis belum ditemukan, agen progestasional sering di
berikan kepada wanita dengan riwayat abortus untuk mengurangi keguguran
pada trimester pertama
Infeksi
Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak 1917,
ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus
berulang pada perempuan yang ternyata terpapar brucellosis. Berbagai teori
diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap risiko abortus,
diantaranya sebagai berikut :
Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang
berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta.
Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga
janin sulit bertahan hidup.
Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut
kematian janin.
Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitelia bawah
(misalnya Mikoplasma bominis, Klamidia) yang bisa mengganggu proses
implantasi.
Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh karena
virus selama kehamilan awal (misalnya Rubela, Parvovirus B19,
Sitomegalovirus, Koksakie virus B, Varisela-Zoster, HSV).
Hematologik
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan adanya
mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta.Berbagai komponen koagulasi dan
fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas,
dan plasentasi.Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi dikarenakan
peningkatan kadar faktor prokoagulan, penurunan faktor antikoagulan, dan
penurunan aktivitas fibrinolitik.Kadar faktor VII, VIII, X, dan fibrinogen
meningkat selama kehamilan normal, terutama pada kehamilan sebelum 12
minggu1.

Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapatkan


defek hemostatik.Penelitian Tulpalla dan kawan-kawan menunjukkan bahwa
perempuan dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat peningkatan
produksi tromboksan yang berlebihan pada usia kehamilan 4-6 minggu, dan
penurunan produksi prostasklin saat usia kehamilan 8-11 minggu.Perubahan
rasio tromboksan-prostasiklin memacu vasospasme serta agregrasi trombosit,
yang akan menyebabkan mikrotrombi serta nekrosis plasenta.Juga sering
disertai penurunan kadar protein C dan fibrinopeptida1.
Defisiensi faktor XII (Hageman) berhubungan trombosis sistemik ataupun
plasenter dan telah dilaporkan juga berhubungan dengan abortus berulang pada
lebih dari 22 persen kasus.Hiperhomosisteinemi berhubungan dengan trombosis
dan penyakit vaskular dini.Kondisi ini berhubungan dengan 21 persen abortus
berulang.Gen pembawa akan diturunkan secara autosom resesif.Bentuk
terbanyak yang didapat adalah defisiensi folat1.
Trauma
Trauma pada ibu hamil merupakan kondisi emergensi yang menjadi tantangan
bagi setiap dokter. Perubahan fisik selama kehamilan menjadi topeng terhadap
gejala dan menimbulkan misinterpretasi. Keterlambatan dalam mendiagnosa
dan menerapi menyebabkan komplikasi dan kematian bayi. Pada penelitian oleh
Lee C, tentang hubungan riwayat trauma terhadap kejadian abortus mengatakan
resiko trauma berkorelasi dengan abortus yaitu dijumpainya berkisar 49% lebih
sering terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor. Trauma maternal penyebab
non obstetrik utama yang meningkatkan proporsi kematian antara ibu dan janin.
Wanita hamil selamat dari abortus berkisar 10-20 %. Dari studi California 4,8
juta kehamilan hampir 1 dalam 350 wanita dirawat karena kecelakaan.
Endokrin
Disfungsi endokrin dalam beberapa jalur hormon terkait dengan abortus
berulang. Tidak ada peningkatan resiko abortus pada wanita dengan DM yang
terkontrol, tetapi nilai HbA1C terkait kepada kadar glikogen pada awal
kehamilan yang berhubungan dengan abortus spontan dan kematian janin dalam
kehamilan. Penyakit tiroid tidak terkontrol juga berhubungan dengan kegagalan
reproduksi, walaupun infertilitas merupakan masalah utama, beberapa
penyelidikan telah melaporkan hubungan antara antibodi tiroid dan abortus
berulang. Jika dilakukan pemeriksaan antibodi tiroid sebelum terjadinya abortus
ditemukan positif, namun jika sudah terjadi abortus, dan diperiksa antibodi
tiroid ditemukan hasil yang negatif.
Usia
Usia mempengaruhi angka kejadian abortus yaitu pada usia di bawah 20 tahun
dan diatas 35 tahun, kurun waktu reproduksi sehat adalah 20-30 tahun dan
abortus dapat terjadi pada usia muda, karena pada usia muda/ remaja, alat
reproduksi belum matang dan belum siap untuk hamil. Frekuensi abortus
bertambah dari 12 % pada wanita 20 tahun, menjadi 26 % pada wanita diatas
usia 40 tahun.

Paritas
Lebih dari 80% abortus terjadi pada 12 minggu usia kehamilan, dan
sekurangnya separuh disebabkan oleh kelainan kromosom. Resiko terjadinya
abortus spontan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah paritas, sama
atau seiring dengan usia maternal.
Lingkungan
Diperkirakan 1-10 persen malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan
kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus.Rokok diketahui
mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang telah diketahui
mempunyai
efek
vasoaktif
sehingga
menghambat
sirkulasi
uteroplasenta.Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan
janin serta memacu neurotoksin.Dengan terjadinya gangguan pada sistem
sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat
terjadinya abortus1
2.2.2 Patofisiologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam decidua basalis, diikuti oleh nekrosis
jaringan di sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas
sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing didalam uterus.
Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Pada
kehamilan kurang dari 8 minggu, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan
seluruhnya, karena vili koreales belum menembus desidua terlalu dalam,
sedangkan pada kehamilan 8 sampai 14 minggu, telah masuk agak tinggi, karena
plasenta tidak dikeluarkan secara utuh sehingga banyak terjadi perdarahan. Pada
kehamilan 14 minggu keatas, yang umumnya bila kantong ketuban pecah maka
disusul dengan pengeluaran janin dan plasenta yang telah lengkap terbentuk.
Perdarahan tidak banyak terjadi jika plasenta terlepas dengan lengkap. Hasil
konsepsi pada abortus dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada kalanya janin
tidak tampak didalam kantong ketuban yang disebut blighted ovum, mungkin
pula janin telah mati lama disebut missed abortion. Pada janin yang telah
meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses mumifikasi: janin
mengering dan menjadi agak gepeng atau fetus compressus karena cairan amnion
yang diserap. Dalam tingkat lebih lanjut janin menjadi tipis seperti kertas
perkamen atau fetus papiraseus. Kemungkinan lain yang terjadi apabila janin
yang meninggal tidak dikeluarkan dari uterus yaitu terjadinya maserasi, kulit
terkupas, tengkorak menjadi lembek, dan seluruh janin berwarna kemerahan1
2.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi abortus adalah:
1. Abortus spontan yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa
disengaja. Abortus ini dibagai atas 5 kategori yaitu :
a. Abortus imminens yaitu perdarahan yang terjadi pada paruh pertama
kehamilan yang bisa mengacam ibu untuk terjadinya keguguran

b. Abortus insipien yaitu abortus yang tidak dapat terhindarkan ditandai


dengan pecahnya ketuban yang nyata disertai pembukaan serviks
c. Abortus inkomplit yaitu abortus yang terjadi sebelum usia gestasi 20
minggu. Pada abortus ini kanalis servikalis membuka, jadi tidak
diperlukan untuk dilakukan dilatasi serviks.
d. Missed abortion yaitu retensi produk konsepsi sebelum usia kehamilan 20
minggu yang telah meninggal in utero selama 6 minggu. Pada kasus
yang tipikal, kehamilan berlangsung normal, dengan amenore, mual dan
muntah, perubahan payudara dan pertumbuhan uterus.
e. Abortus habitualis yaitu abortus spontan yang terjadi selama dua kali
berturut-turut.
2. Abortus provokatus yaitu abortus yang disengaja yang terbagi atas dua
kategori yaitu :
a. Abortus provokatus medisinalis yaitu abortus yang dilakukan atas
indikasi medis
b. Abortus provokatus kriminalis yaitu abortus yang dilakukan bukan atas
indikasi medis

Gambar 2.4 Macam-macam abortus

2.2.4

Manifestasi klinis

Aspek klinis abortus spontan dibagi menjadi abortus iminens (threatened


abortion),
abortus
insipiens
(inevitable
abortion),
abortus
inkompletus(incomplete abortion) atau abortus kompletus (complete abortion),
abortus tertunda (missed abortion), abortus habitualis (recurrent abortion), dan
abortus septik (septic abortion).
Abortus iminens (threatened abortion)
a. Anamnesis perdarahan sedikit dari jalan lahir dan nyeri
perut tidak ada atau ringan.
b. Pemeriksaan dalam fluksus ada (sedikit), ostium uteri
tertutup, dan besar uterus sesuai dengan umur kehamilan.
c. Pemeriksaan penunjang hasil USG.
Abortus insipien (inevitable abortion)

a. Anamnesis perdarahan dari jalan lahir disertai nyeri /


kontraksi rahim.
b. Pemeriksaan dalam ostium terbuka, buah kehamilan masih
dalam rahim, dan ketuban utuh (mungkin menonjol).
Abortus inkomplit (incomplete abortion)
a. Anamnesis perdarahan dari jalan lahir (biasanya banyak),
nyeri / kontraksi rahim ada, dan bila perdarahan banyak dapat
terjadi syok.
b. Pemeriksaan dalam ostium uteri terbuka, teraba sisa
jaringan buah kehamilan.
Abortus kompletus (complete abortion)
Jika hasil konsepsi lahir dengan lengkap, maka disebut abortus komplet. Pada
keadaan ini kuretase tidak perlu dilakukan. Pada abortus kompletus,
perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan selambatlambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama sekali karena dalam masa
ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah selesai. Serviks juga dengan
segera menutup kembali. Kalau 10 hari setelah abortus masih ada perdarahan
juga, abortus inkompletus atau endometritis pasca abortus harus dipikirkan
Abortus tertunda (missed abortion)
Abortus tertunda adalah keadaan dimana janin sudah mati, tetapi tetap berada
dalam rahim dan tidak dikeluarkan selama 2 bulan atau lebih. Pada abortus
tertunda akan dijimpai amenorea, yaitu perdarahan sedikit-sedikit yang
berulang pada permulaannya, serta selama observasi fundus tidak bertambah
tinggi, malahan tambah rendah. Pada pemeriksaan dalam, serviks tertutup dan
ada darah sedikit
Abortus habitualis (recurrent abortion)
Anomali kromosom parental, gangguan trombofilik pada ibu hamil, dan
kelainan struktural uterus merupakan penyebab langsung pada abortus
habitualis. Menurut Mochtar, abortus habitualis merupakan abortus yang
terjadi tiga kali berturut-turut atau lebih. Etiologi abortus ini adalah kelainan
dari ovum atau spermatozoa, dimana sekiranya terjadi pembuahan, hasilnya
adalah patologis. Selain itu, disfungsi tiroid, kesalahan korpus luteum dan
kesalahan plasenta yaitu tidak sanggupnya plasenta menghasilkan
progesterone sesudah korpus luteum atrofis juga merupakan etiologi dari
abortus habitualis.
Abortus septik (septic abortion)
a. Adanya abortus : amenore, perdarahan, keluar jaringan yang
telah ditolong di luar rumah sakit.
b. Pemeriksaan : kanalis servikalis terbuka, teraba jaringan,
perdarahan dan sebagainya.
c. Tanda-tanda infeksi alat genital : demam, nadi cepat,
perdarahan, nyeri tekan dan leukositosis.

d. Pada abortus septik : kelihatan sakit berat, panas tinggi,


menggigil, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun sampai
syok.
e. Antara bakteri yang dapat menyebabkan abortus septik adalah seperti
Escherichia coli, Enterobacter aerogenes, Proteus vulgaris, Hemolytic
streptococci dan Staphylococci.

Gambar 2.5 Abortus

2.2.5 Penatalaksanaan abortus


a. Abortus iminens
Penderita diminta melakukan tirah baring sampai perdarahan berhenti.
Bisa diberi spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi
tambahan hormon progesteron atau derivatnya untuk mencegah terjadinya
abortus. Penderita boleh dipulangkan setelah tidak terjadi perdarahan
dengan pesan khusus tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih
kurang 2 minggu.
b. Abortus insipien
Pengelolaan harus memperhatikan keadaan umum dan perubahan keadaan
hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan tindakan evakuasi atau
pengeluaran hasil konsepsi disusul dengan kuretase bila perdarahan
banyak. Pada umur kehamilan diatas 12 minggu, tindakan evakuasi dan
kuretase harus hati-hati kalau perlu dilakukan evakuasi dengan cara
digital yang kemudian disusul dengan tindakan kuretase sambil diberikan
uterotonika. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya perforasi pada
dinding uterus. Pasca tindakan perlu perbaikan keadaan umum,
pemberian uterotonika, dan antibiotika profilaksis.
c. Abortus inkompletus
Bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan
pengeluaran sisa hasil konsepsi secara manual agar jaringan yang
mengganjal terjadinya kontraksi uterus segera dikeluarkan, kontraksi
uterus dapat berlangsung baik dan perdarahan bisa berhenti. Selanjutnya
dilakukan tindakan kuretase. Tindakan yang dianjurkan ialah dengan

karet vakum menggunakan kanula dari plastik. Pasca tindakan perlu


diberikan uterotonika parenteral ataupun peroral dan antibiotika.
d. Abortus kompletus
Pengelolaan penderita tidak memerlukan tindakan khusus ataupun
pengobatan. Biasanya hanya diberi roborantia atau hematenik bila
keadaan pasien memerlukan. Uterotonika tidak perlu diberikan.
e. Missed abortion
Pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan evakuasi dapat
dilakukan secara langsung dengan melakukan dilatasi dan kuretase bila
serviks uterus memungkinkan. Bila umur kehamilan diatas 12 minggu
atau kurang dari 20 minggu dengan keadaan serviks uterus yang masih
kaku dianjurkan untuk melakukan induksi terlebih dahulu untuk
mengeluarkan janin atau mematangkan kanalis servikalis. Beberapa cara
dapat dilakukan antara lain dengan pemberian infus intravena cairan
oksitosin dimulai dari dosis 10 unit dalam 500cc RD5% tetesan 20 tpm
dan dapat diulangi sampai total oksitosin 50 unit dengan tetesan
dipertahankan untuk mencegah terjadinya retensi cairan tubuh. Jika tidak
berhasil, penderita diistirahatkan satu hari dan kemudian induksi diulang
biasanya maksimal 3x. Setelah janin atau jaringan konsepsi berhasil
keluar dengan induksi ini dilanjutkan dengan tindakan kuretase sebersih
mungkin.
f. Abortus infeksiosus/septik
Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan keseimbangan cairan
tubuh dan perlunya pemberian antibiotika yang adekuat sesuai dengan
hasil kultur dan sensitivitas kuman yang diambil dari darah dan cairan
fluksus/fluor yang keluar pervaginam. Untuk tahap pertama diberikan
Penisilin 4x1,2juta unit atau Ampisilin 4x1 gram ditambah Gentamisin
2x80 mg dan Metronidazol 2x1 gram. Selanjutnya antibiotik disesuaikan
dengan hasil kultur.
Tindakan kuretase dilakukan bila keadaan tubuh sudah membaik minimal
6 jam setelah antibiotika adekuat diberikan. Jangan lupa pada saat
tindakan uterus dilindungi dengan uterotonika. Antibiotik dilannjutkan
sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu 2 hari pemberian tidak
memberikan respon, harus diganti dengan antibiotik yang lebihsesuai.
Apabila takut terjadi tetanus, perlu ditambah dengan injeksi ATS dan
irigasi kanalis vaginalis/uterus dengan larutan peroksida kalau perlu
histerektomi total secepatnya.
2.3 Kehamilan ektopik
2.3.1 Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi di luar rongga rahim
(kavum uteri). Istilah ektopik berasal dari bahasa Inggris, ectopic, dengan akar
kata dari bahasa Yunani, topos yang berarti tempat. Jadi, istilah ektopik dapat

diartikan sebagai "berada di luar tempat yang semestinya". Walaupun diartikan


sebagai kehamilan di luar rongga rahim, kehamilan di dalam rahim yang bukan
pada tempat seharusnya, juga dimasukkan dalam kriteria kehamilan ektopik,
misalnya kehamilan yang terjadi pada kornu uteri. Hal ini yang
membedakannya dengan istilah kehamilan ekstrauterina4
2.3.2 Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, tetapi sebagian besar
penyebabnya tidak diketahui. Tiap kehamilan dimulai dengan pembuahan telur
di bagian ampulla tuba dan dalam perjalanannya ke uterus telur mengalami
hambatan sehingga pada saat nidasi masih berada di tuba, atau nidasinya dituba
dipermudah
Faktor-faktor yang memegang peranan dalam hal ini adalah sebagai berikut:
Faktor Dalam Lumen Tuba
Endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping, sehingga
lumen tuba menyempit atau terbentuk kantong buntu. Pada hipoplasia uteri
lumen tuba sempit dan berkelok-kelok dan hal ini sering disertai gangguan
fungsi silia endosalping. Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tidak
sempurna dapat menjadi sebab lumen tuba menyempit
Faktor Pada Dinding Tuba
Endometriosis tuba dapat mempermudah implantasi telur yang dibuahi
dalam tuba. Divertikel tuba kongenital dapat menahan telur yang dibuahi di
tempat itu.
Faktor Diluar Dinding Tuba
Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba dapat menghambat
perjalanan telur. Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan
lumen tuba
Faktor Lain
Migrasi luar telur, yaitu perjalanan dari ovarium kanan ke tuba kiri atau
sebaliknya, dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus,
pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi
prematur fertilisasi in vitro
2.3.3 Patofisiologi
Dalam keadaan normal, setiap wanita (setelah menstruasinya yang pertama)
mempunyai siklus bulanan yang teratur, sampai ia mengalami menopause.
Dalam siklus bulanan ini, akan dilepas sel telur dari ovarium, yang siap untuk
dibuahi. Sel telur akan berjalan di sepanjang saluran telur (tuba falopii), menuju
ke dalam rahim4
Bila pada sekitar masa-masa itu terjadi hubungan badan, jutaan sperma yang
dikeluarkan oleh pasangannya akan 'berenang' masuk ke dalam rahim untuk
mencari sang telur. Umumnya, pembuahan akan terjadi di daerah saluran telur

yang disebut ampula. Hasil perpaduan sperma dan sel telur itu kita kenal
dengan istilah zigot4
Bila tidak ada aral melintang, zigot akan terus melaju untuk mencapai
rongga rahim. Sambil melaju, terjadi pula proses pembelahan sel menjadi dua,
empat, delapan, enambelas dan seterusnya. Sesampainya di dalam rongga
rahim, sel-sel ini akan menanamkan dirinya pada dinding rahim untuk tumbuh
berkembang lebih lanjut4
Sayangnya, harapan tidak selalu sama dengan kenyataan. Dalam perjalanan
tersebut, bisa saja mereka mengalami hambatan. Hambatan tentu akan
memperlambat jalannya sel telur ke dalam rahim. Akibatnya, proses pembuahan
bisa terjadi bukan pada tempat seharusnya, dan atau tempat embrio tumbuh
bukan di dalam dinding rahim. Hambatan bisa disebabkan oleh berbagai hal dan
bisa terjadi dimana-mana. Hambatan itu misalnya akibat:
a.
Terjadinya gangguan pada jumbai saluran telur (fimbriae), sehingga
tidak mampu mengambil telur masuk ke dalam saluran telur
b.
Terjadinya gangguan pada kemampuan peristaltik saluran telur,
sehingga zigot tidak dapat bergerak secara baik menuju rongga rahim
Dengan terjadinya hambatan ini, maka hasil pembuahan (zigot) akan tumbuh
berkembang di luar tempat yang seharusnya. Ia dapat tumbuh misalnya pada:
a.
b.
c.
d.
e.

Saluran telur (tuba falopii)


Rongga perut (abdomen)
Indung telur (ovarium)
Kornu uteri
Leher rahim (serviks uteri)

Lokasi tersering dari kehamilan ektopik terjadi pada daerah saluran telur,
dengan frekuensi tertinggi pada daerah ampula. Daerah ampula adalah suatu
daerah yang melebar pada saluran telur4
2.3.4 Manifestasi klinis
a. Kehamilan ektopik yang belum terganggu sulit diketahui, karena biasanya
penderita tidak menyampaikan keluhan yang khas.
b. Amenore atau ada riwayat terlambat haid dilaporkan oleh 75-95% penderita.
c. Gejala kehamilan muda seperti nausea hanya dilaporkan oleh 10-25%
penderita.
d. Disamping gangguan haid, keluhan yang paling sering disampaikan ialah
nyeri di perut bawah yang tidak khas, walaupun kehamilan ektopik belum
mengalami ruptur. Kadang-kadang teraba tumor di sampingg uterus dengan
batas yang sukar ditentukan. Keadaan ini pun masih harus dipastikan dengan
alat bantu diagnostik yang lain, seperti USG dan laparoskopi
e. Mengingat bahwa setiap kehamilan ektopik akan berakhir dengan abortus atau
ruptur yang disertai perdarahan dalam rongga perut yang apabila terlambat

diatasi akan membahayakan jiwa penderita, maka pada setipa wanita dengan
gangguan haid dan lebih-lebih setelah diperiksa dicurigai akan adanya
kehamilan ektopik, harus ditangani
dengan sungguh-sungguh dengan
menggunakan alat bantu diagnostik yang ada, sampai diperoleh kepastian
diagnostik kehamilan ektopik.

2.3.5 Kehamilan ektopik terganggu


a. Diagnostik kehamilan ektopik terganggu pada jenis mendadak (akut) biasanya
tidak sulit. Keluhan yang sering disampaikan ialah haid yang terlambat untuk
beberapa waktu atau terjadi gangguan siklus haid disertai nyeri perut bagian
bawah dan tenesmus. Dapat terjadi perdarahan pervaginam.
b. Yang menonjol ialah penerita tampak kesakitan, pucat, dan pada pemeriksaan
ditemukan tanda-tanda syok serta perdarahan dalam rongga perut. Pada
pemeriksaan ginekologi ditemukan serviks yang nyeri bila digerakkan dan kavum
Douglasi yang menonjol dan nyeri raba6
c. Kesulitan diagnosis biasanya terjadi pada kehamilan ektopik terganggu jenis
atipik atau menahun. Kelambatan haid tidak jelas, tanda dan gejala kehamilan
muda tidak jelas, demikian pula nyeri perut tidak nyata dan sering penderita
tampak pucat. Hal ini dapat terjadi apabila perdarahan pada kehamilan ektopik
yang terganggu berlangsung lambat. Dalam keadaan demikian, alat bantu
diagnostik amat diperlukan untuk memastikan diagnostik.
2.3.6 Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan darah lengkap
b. Pemeriksaan kadar HCG serum
c. Kuldosentesis (pengambilan cairan peritoneal dari ekskavasio rektouterina
[ruang Douglas], melalui tindakan pungsi melalui dinding vagina)
d. Ultrasonografi (USG)
e. Laparoskopi
2.3.7 Diagnosis
Penegakkan diagnosis pada kehamilan ektopik belum terganggu sulit sehingga
memerlukan pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosisnya. Penegakkan
diagnosis pada kehamilan ektopik terganggu dapat didapat dari:
a. Anamnesa: amenore dan kadang-kadang terdapat tanda hamil muda, nyeri perut
bagian bawah, nyeri bahu, tenesmus dan perdarahan pervaginam setelah nyeri
perut bagian bawah.
b. Pemeriksaan umum: penderita tampak kesakitan dan pucat, pada perdarahan
dalam rongga perut dapat ditemukan tanda-tanda syok.
c. Pemeriksaan Ginekologi: ditemukan tanda-tanda kehamilan muda, rasa nyeri
pada pergerakkan serviks, uterus dengan batas yang sukar ditentukan, cavum
douglasi menonjol berisi darah dan nyeri bila diraba.
d. Pemeriksaan laboratorium: hemoglobin menurun setelah 24 jam dan jumlah sel
darah merah dapat meningkat6
2.3.8 Diagnosis banding
a. Infeksi pelvik
b. Abortus iminens atau insipiens
c. Kista ovarium
d. Ruptur korpus luteum
e. Kista folikel
f. Appendisitis5
19

2.3.9 Penatalaksanaan
Pasien dirujuk ke Rumah Sakit dan disana dilakukan:
a. Laparotomi
b. Salpingektomi/salpingostomi/reanostomosis tuba
c. Kemoterapi dengan metotreksat 1 mg/kg intravena dan faktor sitrovorum 0,1
mg/kg intramuskuler berselang-seling selama 8 hari bila kehamilan di pars
ampularis tuba belum pecah. Diameter kantong gestasi kurang atau sama dengan
4 cm. Perdarahan dalam rongga perut kurang dari 100 ml dan tanda vital masih
baik6
2.3.10 Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik cenderung turun dengan diagnosis dini dan
persediaan darah yang cukup. Sebagian wanita menjadi steril setelah mengalami
kehamilan ektopik atau mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba sisi lain.
Angka kehamilan ektopik berulang dilaporkan 0-14,6%6
2.4 Mola hidatidosa
2.4.1 Definisi
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana hampir seluruh villi
korialis mengalami degenerasi hidrofik, dengan ciri-ciri stroma villus korialis
langka vaskularisasi, dan edematus. Janin biasanya meninggal, akan tetapi villusvillus akan membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus memberikan
gambaran sebagai segugus buah anggur, sehingga sering disebut sebagai hamil
anggur. Jaringan trofoblast pada villus kadang-kadang berproliferasi ringan.
Kadang-kadang keras dan mengeluarkan hormon, yakni Human Chorionic
Gonadotrophin (HCG) dalam jumlah yang lebih besar daripada kehamilan biasa7.
2.4.2 Etiologi
Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Berbagai teori
telah dianjurkan, misalnya : teori infeksi, defisiensi makanan terutama protein
tinggi. Ada pula teori consanguinity. Teori yang paling cocok dengan keadaan
adalah teori Acosta Sison yaitu defisiensi protein karena kenyataan membuktikan
bahwa penyakit ini lebih banyak ditemukan pada wanita dari golongan sosio
ekonomi rendah.
Akhir akhir ini dianggap bahwa kelainan tersebut terjadi karena pembuahan
sel telur dimana intinya telah hilang atau tidak aktif lagi oleh sperma yang
mengandung kromosom haploid, kemudian membelah menjadi 46 xx, sehingga
mola hidatidosa bersifat homozigot, wanita dan androgenesis7.
2.4.3 Faktor resiko
Faktor resiko terjadinya mola hidatidosa adalah
Golongan sosio ekonomi rendah
Usia di bawah 20 tahun
Paritas tinggi
Riwayat kehamilan mola sebelumnya
20

Diet rendah protein, asam folat, dan karotin


2.4.4 Patofisiologi
Teori terjadinya penyakit trofoblas ada 2, yaitu teori missed abortion dan teori
neoplasma dari Park. Teori missed abortion menyatakan bahwa mudigah mati pada
kehamilan 3-5 minggu (missed abortion) karena itu terjadi gangguan peredarah
darah sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari villi dan
akhirnya terbentuklah gelembung-gelembung. Teori neoplasma dari Park
menyatakan bahwa yang abnormal adalah sel-sel trofoblas dan juga fungsinya
dimana terjadi resorbsi cairan yang berlebihan ke dalam villi sehingga timbul
gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian
mudigah. Uterus membesar lebih cepat dari biasanya, penderita mengeluh tentang
mual dan muntah, tidak jarang terjadi perdarahan pervaginam. Kadang-kadang
pengeluaran darah disertai dengan pengeluaran beberapa gelembung villus, yang
memastikan diagnosis mola hidatidosa8.
Untuk klasifikasi mola terbagi menjadi berdasarkan perkembangan dari
trofoblast extra embrionik :
1. Mola Hidatidosa klasik/komplet :
Yang dimaksud dengan mola hidatidosa komplit adalah suatu kehamilan yang
berkembang tidak wajar dimana tidak ditemukan janin dan hamper seluruh villi
corialis mengalami perubahan hidrofik.
Secara makroskopis mola hidatidosa komplit dikenal yaitu berupa gelembung
gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih dengan ukuran bervariasi
dari millimeter sampai 1 2 cm.
Gambaran histopatologis yang khas adalah edema stroma villi, tidak ada
pembuluh darah pada villi dan proliferasi sel sel trofoblas.

2.6 Mola hidatidosa

2. Mola hidatidosa parsial/inkomplet :


Yang dimaksud mola hidatidosa parsial adalah kehamilan yang berkembang
tidak wajar dimana sebagian villi korialis mengalami perubahan hidrofik
sehingga masih disertai janin atau bagian lain dari janin.
Secara makroskopis ditemukan gelembung mola yang disertai dengan janin atau
bagian dari janin. Umumnya janin mati pada bulan pertama tetapi ada juga yang
hidup sampai cukup besar atau aterm.
Pada pemeriksaan histopatologis tampak di beberapa tempat villi yang edema
dengan sel trofoblas yang tidak begitu berproliferasi, sedangkan di tempat lain
masih tampak villi yang normal. Umumnya mola parsialis mempunyai kariotip
21

triploid. Pada perkembangannya jenis mola ini jarang menjadi ganas. Bila ada
mola disertai janin biasanya ada 2 kemingkinan, pertama kehamilan kembar
dimana 1 janin tumbuh normal dan hasil konsepsi lainnya menjadi mola
hidatidosa, kedua hamil tunggal yang berupa mola parsialis8.
2.4.5 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis mola hidatidosa adalah
Amenore
Adanya tanda-tanda kehamilan (mual, muntah, pusing)
Perdarahan pervaginam berulang, darah terutama berwarna coklat. Perdarahan
merupakan gejala utama mola karena hal inilah yang menyebabkan mereka
datang ke rumah sakit. Perdarahan ini bisa intermitten, sedikit-sedikit atau
sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau kematian. Karena
perdarahan ini maka umumnya penderita mola hidatidosa masuk rumah sakit
dalam keadaan anemia.Pada keadaan lanjut kadang keluar gelembung mola yang
bisa dijadikan diagnosa pasti mola.
Pembesaran uterus lebih besar daripada kehamilan biasanya. Ini adalah kelainan
yang sering dijumpai.
Hiperemesis gravidarum.
Tanda-tanda pre-eklampsia pada trimester I.
Tanda-tanda tirotoksikosis. Ternyata insidennya sekitar 1% - 7,6%. Peningkatan
kadar tiroksin plasma mungkin terutama disebabkan oleh peningkatan estrogen.
Kista lutein unilateral / bilateral.
Pada banyak kasus mola hidatidosa, ovarium mengandung kista teka lutein.
Kista ini ukurannya bervariasi. Permukaan kista halus, sering kekuningan dan
dilapisi sel sel lutein. Kista kista ini diduga terbentuk akibat perangsangan
unsur unsur lutein yang berlebihan oleh gonadotropin korionik dalam jumlah
besar yang dikeluarkan oleh trofoblas.
Tidak dirasakan adanya tanda-tanda gerakan janin, balotement negatif kecuali
pada mola parsial9.
2.4.6 Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosa mola, sebagai dokter harus cermat dan teliti.
1. Anamnesa : pasien biasanya mengeluh tidak haid, mual, muntah, perdarahan
pervaginam.
2. Pemeriksaan fisik : edema ekstremitas akibat pre eklampsi, nampak pucat,
keluarnya jaringan mola (Dx pasti mola), pada mola klasik : uterus > besar dari
usia kehamilan, pada mola parsial : uterus > kecil dari usia kehamilan, tidak
teraba janin, konjungtiva anemis, tidak adanya Denyut Jantung Janin.

22

2.7 Gambaran makroskopis mola

3. Pada pemeriksaan dalam : uji sonde (Acosta Sison/Hanifa) tidak ada tahanan
massa konsepsi dan sonde bisa diputar 360 derajat dengan deviasi sonde 10
derajat.
Pemeriksaan penunjang mola hidatidosa :

Foto toraks untuk melihat kemungkinan metastase


koriokarsinoma, gambaran emboli udara.

HCG urin atau serum : meningkat lebih tinggi dari kehamilan


biasanya.

T3 & T4 bila ada gejala tirotoksikosis.

USG : gambaran khas mola yaitu badai salju (snow flake pattern)

2.8 Snow storm appearance

Uji sonde menurut Hanifa. Tandanya yaitu sonde yang dimasukkan tanpa
tahanan dan dapat diputar 360 derajat dengan deviasi sonde kurang dari 10 derajat9.
2.4.7 Diagnosis banding
1. Kehamilan dengan Mioma
2. Abortus
3. Hidramnion
4. Gemelli
5. KET10
2.4.8 Komplikasi
Perdarahan hebat
23

Anemis
Syok
Infeksi
Perforasi uterus
Keganasan
Eklamsia
Tirotoksikosis10

2.4.9 Penatalaksanaan
Terapi mola hidatidosa ada 3 tahapan yaitu :
1. Perbaikan keadaan umum
Koreksi hidrasi
- Tranfusi bila Hb < 8 gr %
- Hiperemesis dan pre eklampsi diobati sesuai prosedur.
- Tirotoksikosis : PTU 3 x 100 mg dan propanolol 40-80 mg.
2. Pengeluaran jaringan mola dengan cara kuretase dan histerektomi
Kuretase :
1. Dilakukan setelah pemeriksaan persiapan selesai (pemeriksaan darah rutin,
kadar beta HCG dan foto toraks) kecuali bila jaringan mola sudah keluar
spontan.
2. Bila canalis servicis belum terbuka maka dilakukan pemasangan laminaria
dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian.
3. Pada wanita yang masih menginginkan anak, maka setelah diagnosa pasti
mola, dilakukan pengeluaran mola dengan kerokan isapan (suction
curretage). Sesudah itu, dilakukan kerokan dengan kuret tumpul untuk
mengeluarkan sisa-sisa konseptus, kerokan perlu dilakukan secara hatihati berhubung dengan bahaya perforasi.
4. Sebelum melakukan kuretase, sediakan darah 500 cc dan pasang infus
dengan tetesan oksitosin 10 IU dalam 500 cc dektrose 5% atau RL dengan
kecepatan 40 60 tetes/menit (sebagai tindakan preventif terhadap
perdarahan hebat dan efektifitas kontraksi terhadap pengosongan uterus
secara cepat).
5. Kuretase dilakukan 2 kali dengan interval minimal 1 minggu, untuk
memastikan bahwa uterus benar-benar sudah kosong dan untuk memeriksa
tingkat proliferasi sisa-sisa trofoblast yang dapat ditemukan. Makin tinggi
tingkat itu makin perlu waspada terhadap kemungkinan keganasan.
6. Setelah jaringan mola dikeluarkan, dapat ditemukan bahwa kedua ovarium
membesar menjadi kista teka-lutein. Kista-kista tersebut tumbuh akibat
pengaruh hormonal, dan kemudia akan mengecil sendiri.
7. Seluruh jaringan hasil kerokan dikirim ke laboratorium PA.
Histerektomi :
Syarat melakukan histerektomi adalah :
- umur ibu 35 tahun atau lebih.
- Sudah memiliki anak hidup 3 orang atau lebih atau ibu sudah tidak ingin
hamil lagi.
24

3. Pemeriksaan tindak lanjut


Pemeriksaan tindak lanjut pada pasien mola hidatidosa meliputi :
Lama pengawasan 1-2 tahun.
Selama pengawasan, pasien dianjurkan unntuk memakai kontrasepsi
kondom, pil kombinasi atau diafragma. tujuan penggunaan pil kontrasepsi
berguna dalam 2 hal : 1) mencegah kehamilan. 2) menekan pembentukan
LH oleh hipofisis yang dapat mempengaruhi pemeriksaan kadar hCG.
Pemeriksaan fisik dilakukan setiap kali pasien datang untuk kontrol.
Pemeriksaan kadar beta HCG dilakukan setiap minggu sampai ditemukan
kadarnya yang normal 3 kali berturut-turut. Setelah itu pemeriksaan
dilanjutkan setiap bulan sampai ditemukan kadarnya yang normal 6 kali
berturut-turut. Pemeriksaan dilakukan setiap bulan selama 6 bulan, lalu
setiap 2 bulan untuk total 1 tahun.
Foto thorax dilakukan setiap bulan.
Bila selama masa observasi, kadar beta HCG tetap atau meningkat dan
pada pemeriksaan foto toraks ditemukan adanya tanda-tanda metastasis
maka pasien harus dievaluasi dan dimulai pemberian kemoterapi.
Kemoterapi dapat dilakukan dengan pemberian Methotrexate dosis : 0,4
mg/kgBB (maks 25 mg) tiap 2 minggu selama 5 hari berturut-turut atau
actinomycin Dosis : 9-13 g/kgBB IV (maks 500 g/hari) 5 hari berturutturut setiap 2 minggu atau kadang-kadang dengan kombinasi 2 obat
tersebut.
Bila telah terjadi remisi spontan (kadar beta HCG, pemeriksaan fisik, dan foto
toraks semuanya normal) setelah 1 tahun maka pasien tersebut dapat berhenti
menggunakan kontrasepsi dan dapat hamil kembali. Kontrasepsi yang digunakan
adalah kontrasepsi hormonal (apabila masih ingin anak) atau tubektomi apabila
ingin menghentikan fertilitas10
2.4.10 Prognosis
Kematian pada mola hidatidosa disebabkan karena perdarahan, infeksi,
eklamsia, payah jantung, tirotoksikosis. Di negara maju, kematian karena mola
hampir tidak ada lagi tetapi di negara berkembang masih cukup tinggi yaitu sekitar
2,2% - 5,7%. Sekitar 80 % mola jinak dengan prognosa baik, 20 % nya berubah
menjadi ganas (choriocarcinoma) 10

25

BAB III
KESIMPULAN
Abortus adalah ancaman akan keluarnya hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup di
luar kandungan, atau menurut kriteria WHO yang menyatakan berat janin atau embrio itu
paling tidak telah mencapai 500 gram atau kurang yang sesuai dengan usia kehamilan 20
minggu.
Kehamilan ektopik merupakan penyebab kematian maternal tertinggi pada
kehamilan trimester pertama. Penyebab kehamilan ektopik antara lain oleh penyakit
radang panggul, alat kontrasepsi dalam rahim, sterilisasi, endometriosis, obat induksi
ovulasi dan prosedur bedah yang melakukan manipulasi pada tuba. Manifestasi klinik
pada kehamilan ektopik antara lain amenore atau ada riwayat terlambat haid, gejala
kehamilan muda, nyeri perut bagian bawah, perdarahan pervaginan berwarna coklat tua,
pada pemeriksaan vagina terdapat nyeri goyang bila servix digerakkan.
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana hampir seluruh villi korialis
mengalami degenerasi hidrofik, dengan ciri-ciri stroma villus korialis langka
vaskularisasi, dan edematus. Janin biasanya meninggal, akan tetapi villus-villus akan
membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus memberikan gambaran sebagai
segugus buah anggur, sehingga sering disebut sebagai hamil anggur. Jaringan trofoblast
pada villus kadang-kadang berproliferasi ringan. Kadang-kadang keras dan mengeluarkan
hormon, yakni Human Chorionic Gonadotrophin (HCG) dalam jumlah yang lebih besar
daripada kehamilan biasa. Gejala mola hidatidosa adalah amenore, adanya tanda-tanda
kehamilan (mual, muntah, pusing), perdarahan pervaginam berulang, darah terutama
berwarna coklat, pembesaran uterus lebih besar daripada kehamilan biasanya. Ini adalah
kelainan yang sering dijumpai, hiperemesis gravidarum, tanda-tanda pre-eklampsia pada
trimester I, tanda-tanda tirotoksikosis, kista lutein unilateral / bilateral, tidak dirasakan
adanya tanda-tanda gerakan janin, balotement negatif kecuali pada mola parsial.

26

DAFTAR PUSTAKA
1.Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Perdarahan pada kehamilan muda. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014
2. Bankowski BJ, Hearne AE, Lambrou NC. The Johns Hopkins Manual of Gynecology
and Obstetrics. Department of Gynecology and Obstetrics Johns Hopkins
University School of Medicine Baltimore, Maryland. 2nd ed.: 305-13. 2012
3. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ. Williams Obstetrics. 21st ed.: 884-905. 2011
4. Handoko, Iwan. Kehamilan Ektopik. On-Line: Http://www.klinikku.com. 2013
5. Lipscomb GH, Stovall TG, Ling FW. Nonsurgical Treatment of Ectopic Prenancy.
NEJM; 343(18)1325-9. 2012
6. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran; KET. Edisi ketiga. Jilid Pertama. Jakarta:
Penerbit Media Aesculapius Fakultas Universitas Indonesia. 2012
7. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD.
Gestational trophoblastic diseases. Williams Obstetrics. 21st ed. New York:
McGraw-Hills, 2011
8. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Mola Hidatidosa. Ilmu
Kandungan. Jakarta, Yayasan Bina Pustaka. 2014
9. Mansjoer A,dkk. Mola Hidatidosa. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius. 2012
10. http://www.pogisurabaya.org. Mola Hidatidosa, diakses tanggal 8 Oktober 2014

27

Anda mungkin juga menyukai