Anda di halaman 1dari 18

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari

sumsum tulang, ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi
adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi. Pada leukemia ada gangguan dalam
pengaturan sel leukosit. Leukosit dalam darah berproliferasi secara tidak teratur
dan tidak terkendali dan fungsinyapun menjadi ticlak normal. Oleh karena proses
tersebut fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu hingga
menimbulkan gejala leukemia yang dikenal dalam klinik. Leukemia akut dibagi
atas leukemia limfoblastik akut (LLA) dan leukemia mieloblastik akut (LMA)
Epidemiologi
Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari keganasan.
Insidens rata-rata 4 - 4,5 kasus/tahun/ 100.000 anak dibawh 15 tahun. Di negara
berkembang 83% ALL, 17% AML, lebih tinggi pada anak kulit putih
dibandingkan kulit hitam. Di Asia kejaclian leukemia pada anak lebih tinggi dari
pada anak kulit putih. Di jepang mencapai 4/lO0.000 anak, dan diperkirakan tiap
tahun terjadi 1000 kasus baru. Sedangkan di jakarta pada tahun 1994 insidennya
mencapai 2.76/l00.000 anak usia l-4 tabun. Pada tahun 1996 didapatkan 5~6
pasien leukemia baru setiap bulan cli RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, sementara itu
di RSU Dr. Soetomo sepanjang tahun 2002 clijumpai 70 kasus leukemia baru.
Leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukemia pada anak,
dan terdiri dari 2 tipe yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA) 82% dan leukemia
mieloblastik akut (LMA) l8%. Leukemia kronik mencapai 3 % dari seluruh
leukemia pada anak. Di RSU Dr. Sardjito LLA 79%, LMA 9% clan sisanya

leukemia kronik, sementara itu cli RSU Dr. Soetomo pada tahun 2002 LLA 88%,
LMA 8 % dan 4 % leukemia kronik
Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA dan mendekati 1
untuk LMA. Puncak kejadian pada umur 2-5 tahun, spesifik untuk anak kulit putih
dengan ALL, hal ini disebabkan banyaknya kasus pre B-LLA pada rentang usia
ini. Kejadian ini tidak tampak pacla kulit hitam. Kemungkinan puncak tersebut
merupakan pengaruh faktor-faktor lingkungan di negara industri yang belum
diketahui.
Etiologi
Penyebab leukemia masih belum diketahui, namun anak-anak dengan cacat
genetik (Trisomi 21, sindrom Blooms, anemia Fanconis dan ataksia
telangiektasia) mempunyai lebih tinggi untuk menderita leukemia dan kembar
monozigot.
Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan pasca natal.
Moskow melakukan studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan
paternal/maternal terhadap pestisida dan produk minyak bumi. Terdapat
peningkatan risiko leukemia pada keturunannya.
Penggunaan marijuana maternal juga menunjukkan hubungan yang
signifikan.
Radiasi dosis tinggi merupakan leukemogenik, seperti dilaporkan di
Hiroshima dan Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Meskipun demikian paparan
radiasi dosis tinggi in utero secara signikan tidak mengarah pada peningkatan

insidens leukemia, demikan juga halnya dengan radiasi dosis rendah. Namun hal
ini masih merupakan perdebatan. Pemeriksaan X-ray abdomen selama trimester I
kehamilan menunjukkan peningkatan kasus LLA sebanyak 5 kali. Selama 40
tahunan metode ini digunakan secara rutin, tetapi saat ini pemeriksaan tersebut
amat jarang dan hanya sedikit kasus yang bisa dijelaskan hubungannya dengan
faktor ini.
Kontroversi tentang paparan bidang elektromagnetik masih tetap ada.
Beberapa studi tidak menemukan peningkatan, tapi studi terbaru menunjukkan
peningkatan 2X diantara anak-anak yang tinggal di jalur listrik tegangan tinggi,
namun tidak signifikan karena jumlah anak yang terpapar sedikit.
Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak-anak
adalah peranan infeksi virus dan atau bakteri seperti disebutkan Greaves (Greaves,
Alexander 1993). Ia rnempercayai ada 2 langkah mutasi pada sistem imun.
Pertama selama kehamilan atau awal masa bayi clan kedua selama tahun pertama
keliidupan sebagai konsekuensi dari respons terhadap infeksi pada umumnya.
Tahun-tahun terakhir, perhatian khusus dilakukan terhadap LMA sekunder
setelah
kemoterapi yang agresif. Risiko LMA setelah penyakit Hodgkin disebabkan
oleh obat pengalkilasi. Kloning leukemia sering menunjukkan adanya kelainan
kromosom nomer 5 dan 7 dan memiliki FAB tipe M 1/M2. Terdapat pula
hubungan

antara

Diperkirakan

penggunaan epipodolotoksin

bahwa

anak-anak

clengan

LLA

dengan
yang

LMA sekunder.
menclapat

terapi

epipodolotoksin closisi tinggi (VP-16 dan, atau VM 26) memiliki risiko


kumulatif 5- 1 2% menjadi LMA sekunder. LMA-nya berbeda dengan yang
mendapat terapi obat pengalkilasi, yaitu terdapat periode laten yang lebih pendek
dan mayoritas melibatkan perubahan kromosom 1lq23 dan sebagian FAB tipe
M4/M5. Mieloclisplasia dan LMA sekuncler juga meningkat pada pasien yang
mendapat terapi mieloblatif pada transplantasi sel stem autologus.
Beberapa kondisi perinatal merupakan faktor risiko terjadinya leukemia
pada anak, seperti yang dilaporkan oleh Cnattingius dkk (1995). Faktor-faktor
tersebut adalah penyakit ginjal pada ibu,penggunaan suplemen oksigen, asfiksia,
berat badan laliir > 4500 gram, dan hipertensi saat hamil. Sedangkan Shu dkk
(1996) melaporkan bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol meningkatkan
risiko terjadinya leukemia pada bayi, terutama LMA.
Patofisiologi dan klasifikasi morfologik
Leukemia sebenarnya merupakan suatu istilah untuk beberapa jenis
penyakit yang berbeda dengan manifestasi patofisiologis yang berbeda pula.
Mulai dari yang berat dengan penekanan sumsum tulang yang berat pula seperti
pada leukemia akut sampai kepada penvakit dengan perjalanan yang lambat dan
gejala ringan (indolent) seperti pada leukemia kronik. Pada dasarnya efek
patofisiologi berbagai macam leukemia akut mempunyai kemiripan tetapi sangat
berbeda dengan leukemia kronik.
Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya termasuk asal
mula gugus sel (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik dan

morfologi, kegagalan diferensiasi, petanda sel dan perbedaan biokimiawi terhadap


sel normal.
Terdapat bukti kuat bahwa leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang
berproliferasi secara klonal sampai mencapai sejumlah populasi sel yang dapat
terdeteksi. Walau etiologi leukemia pada manusia belum cliketahui benar, tetapi
pada penelitian mengenai proses leukemogenesis pada binatang percobaan
ditemukan bahwa penyebab (agent) nya mempunyai kemampuan melakukan
modikasi nukleus DNA, dan kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu
kondisi (mungkin suatu kelainan) genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi
dan mutasi onkogen seluler. Pengamatan ini menguatkan anggapan bahwa
leukemia climulai clari suatu mutasi somatik yang mengakibatkan terbentuknya
gugus (clone) abnormal.
Dari analisis mengenai sitogenetik, isoensim clan fenotip sel,dapat ditarik
kesimpulan bahwa transformasi sel pada LMA clapat terjadi di berbagai tempat
pada jalur perkembangan sel induk. Dengan demikian ekspresinya berupa
perkembangan gugus sel tertentu (clone) dengan akibat dapat terjadi berbagai
jenis sel leukemia. Misalnya transformasi leukemia terjadi pada sel induk
pluripoten, yang akan mengenai eritrosit dan trombosit, atau terjacli pada gugus
sel induk yang telah dijuruskan untuk granulositopoisis atau monositopoisis.
Telah pula dapat dibedakan masing-masing sel leukemia yang termasuk
golongan LMA yang berasal dari sel induk granulosit-monosit yang relatif
tua(mature) dari sel induk yang lebih muda fenotipnya. Perbedaaninimudah
clikenal oleh para ahli dan berdasarkan hal ini dibuatlah klasifikasi jenis leukemia

yang termasuk golongan LMA dan yang sekarang dianut, adalah klasifikasi
morfologik menurut FAB(Perancis, Amerika, British) seperti berikut :
M~O leukemia mielositik akut dengan cliferensiasi minimal
M-1 leukemia mielositik akut tanpa maturasi
M-2 leukemia mielositik akut dengan maturasi
M-3 leukemia promielositik hipergranuler
M-4 leukemia mielomonositik akut
M-5 leukemia monositik akut
M-6 leukemia eritroblastik (eritroleukemia)
M-7 leukemia megakariositik akut
Penelitian yang dilakukan pada leukemia limfoblastik akut menunjukkan
bahwa sebagian besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel
blas dari setiap pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa populasi sel leukemia itu
berasal clari sel tunggal. Oleh karena homogenitas itu maka dibuat klasikasi
LLA secara morfologik untuk lebih memudahkan pemakaiannya dalam klinik,
sebagai berikut:
L-l terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogemanak inti
umumnya tidak tampak clan sitoplasma sempit.
L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi,kromatin
lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.

L-3 terdiri clari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak,banyak
clitemukan anak inti serta sitoplasma yang basolik clan bervakuolisasi.
Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang makin lama rnakin banyak
akan menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal, dan bagi faal
tubuh maupun dampak karena infiltrasi sel leukemia ke dalam organ tubuh.
Kegagalan hernatopoisis normal rnerupakan akibat yang besar pada
patofisiologi leukemia akut, walaupun demikian patogenesisnya masih sangat
sedikit diketahui. Bahwa tidak selamanya pansitopenia yang terjadi disebabkan
desakan populasi sel leukemia,terlihat pada keadaan yang sama (pansitopenia)
tetapi clengan gambaran sumsum tulang yang justru hiposeluler.
Kematian pada pasien leukemia akut pada umumnya diakibatkan penekanan
sumsum tulang yang cepat clan hebat, akan tetapi dapat pula disebabkan oleh
infiltrasi sel leukemia tersebut ke organ tubuh pasien.
lmunofenotip
Seperti disebutkan diatas sel-sel leukemia adalah hasil dari mutasi pada
tahap perkembangan awal hemopoitik. Klasifikasi imunofenotip sangat berguna
dalam mengklasikasikan leukemia sesuai tahap-tahap maturasi normal yang
dikenal. Kebanyakan kelompok saat ini mengklasifikasikan LLA dalam prekursor
sel-B atau leukemia sel-T Prekusor sel-B termasuk CD 19, CD 20, CD 22 clan CD
79.
Karekteristik sel-B matur adalah imunoglobin pada permukaan, sementara
selT membawa imunofenotip CD 3, CD7, CD 5 atau CD 2. Petanda mieloid

spesifik termasuk CD l3, CD 14 clan CD 33. Petanda sel-B clan atau petanda sel T
kadang~kadang dapat dideteksi pada konsentrasi rendah. Sel leukemia clapat
menunjukkan antigen mieloid dan limfoid pada saat yang bersamaan, leukemia
tersebut dianggap bifenotip.
Gambaran genetik
Ketidak normalan klon kromosom sekarang dapat diidentifikasikan pada
sebagian besar kasus leukemia anak. jumlah kromosom (DNA content) per sel
leukemia dikenali sebagai parameter prognostik yang penting. Pada penyakit
leukemia dengan hiperdiploid (>50 kromosom/sel) prognosisnya sangat baik,
sebaliknya prognosis buruk pada hipodiploid (<45 kromosom/ sel).
Translokasi t(9;22) dikenal sebagai suatu petancla prognosis yang amat
buruk, dan ditemukan pacla 5% kasus LLA anak dan 25% kasus dewasa.
Translokasi lain yang penting pada LLA yaitu [ t(8;21)} hampir secara ekslusif
ditemukan pada M1 dan M2. Semua kasus M3 membawa translokasi t(15;l7) dan
M5 berhubungan dengan t(9;ll). Kromosom I6 abnormal terlihat dominan pada
M4 clan sebagai berhubungan dengan peningkaran eosinofil di sumsum tulang.
Pada bayi, umumnya perubahan kromosom melibatkan l1q23. Banyak kromosom
berperan dalam translokasi yang melibatkan lokus ini . Gen pada kromosom ll
(MLL, HRX atau ALL-1) berhubungan dengan sebuah gen homebox pada
Drosophila yang bila bermutasi meningkatkan malformasi morfologi pada dada
clan perut pasien. Translokasi yang terlihat pada leukemia promielositik (FAB
M3) [t(15;17)], break point pada kromosom 17 aclalah gen encoding dari retinoic
acid nuclear receptor alpha (RAR-a) dan kromosom 15 pada gen yang awalnya

disebut mye kemudian dinamakan PML (Warrell, dkk 1993). Leukemia bereaksi
pada semua trans retinoic acid.
Produk gen dari translokassi t(8;21) (q22;q22) suclah terdeteksi. Break
point pada kromosom 21 melibatkan gen LMA1 dan kemungkinan merupakan
kandidat kromosom 8 yang disebut EOT. Translokasi ini hasil produksi gen
chimerik dan sebuah pesan yang kadang-kadang mengarah pada keganasan. Gen
supresor tumor WTI yang cliimplikasikan pada tumor Wilm's dapat dicleteksi
pada 45 pasien LMA yang diperiksa (Inoue, dkk 1994) dan terlihat bahwa
ekspresi tinggi berhubungan clengan prognosis yang buruk.
Faktor prognostik
Berdasarkan faktor prognostik maka pasien dapat digolongkan kedalam
kelompok risiko biasa dan risiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan
membuktikan faktor prognostik itu acla hubungannya dengan in vitro drug
resistance
Faktor prognostik LLA, sbb :
1. ]umlah leukosit awal, yaitu pada saat diagnosis ditegakkan, mungkin
merupakan faktor prognosis yang bermakna tinggi. Ditemukan adanya
hubungan linier antara jumlah leukosit awal clan perjalanan pasien LLA pada
anak, yaitu bahwa pasien dengan jumlah leukosit > 50.000 ul mempunyai
prognosis yang buruk.
2. Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien saat diagnosis dan hasil
pengobatan. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun

mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien berumur


diantara itu. Khusus pasien dibawah umur l tahun atau bayi terutama dibawah 6
bulan mempunyai prognosis paling buruk. Hal ini dikatakan karena mereka
mempunyai kelainan biomolekuler tertentu. Leukemia bayi berhubungan
dengan gene re-arrangement pada kromosom11q23 seperti t (4;l1) atau t (11;l9)
clan jumlah leukosit yang tinggi.
3. Fenotip imunologis (immunopherlotype) dari limfloblas saat diagnosis juga
mempunyai nilai prognostik. Leukemia sel-B (L3 pada klasikasi FAB) dengan
antibodi kappa dan lambda pada permukaan blas diketahui mempunyai
prognosis yang buruk. Dengan adanya protokol spesik untuk selB,
prognosisnya semakin membaik. Sel-T leukemia juga mempunyai prognosis
yang jelek, clan diperlakukan sebagi risiko tinggi. Dengan terapi intensif, sel-T
leukemia murni tanpa faktor prognostik buruk yang lain, mempunyai prognosis
yang sama dengan leukemia sel pre-B. LLA sel-T diatasi dengan protokol
risiko tinggi.
4. Nilai prognostik jenis kelamin telah banyak dibahas. Dari berbagai penelitian,
sebagian besar menyimpulkan bahwa anak perempuan mempunyai prognosis
yang lebih baik dari anak laki. Hal ini dikatakan karena timbulnya relaps testis
dan kejadian leukemia sel-T yang tinggi , hiperleukositosis dan organomegali
serta massa mediatinum pacla anak laki-laki. Penyebab pastinya belum
diketahui, tetapi cliketahui pula ada perbedaan merabolisme rnerkaptopurin
dan metotreksat.

5. Respons terhadap terapi clapat diukur clari jumlah sel blas di darah tepi
sesuclah 1 minggu terapi prednisone dimulai. Aclanya sisa sel blas pacla
sumsum tulang pada induksi hari ke 7 atau 14 menunjukkan prognosis buruk.
6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA hiperploid (>
50 kromosom) yang biasa ditemukan pacla 25% kasus mempunyai prognosis
yang baik. LLA hipodiploid (3-5%) memiliki prognosis intermediate seperti r
(1;19). Translokasi t(9;22) pada 5% anak atau t (4;11) pada bayi berhubungan
clengan prognosis buruk.
Faktor risiko LMA lebih sulit untuk cliidentifikasi. Faktor-faktor tersebut antara
lain:
1. Umur saat diagnosis tidak terlalu penting seperti pada ALL. Pengalaman
beberapa peneliti menunjukkan bahwa bayi mempunyai prognosis lebih baik.
2. Leukostr tinggi. tetapi tidak pada semua studi.
3. FAB M3 (promielositik leukemia) bereaksi pada asam retinoik, sebaiknya
diterapi dengan kombinasi vitamin dan kemoterapi.
4. Anak-anak clengan sindrom Down terdapat pada 10% kasus. Sebagian besar
merupakan FAB M7 clan mempunyai respons baik dengan kemoterapi.
Translokasi kromosom aclalah faktor penting. Prognosis baik berhubungan
dengan t(8;21), t(15;l7) dan inversi 16. Ploidi juga mempengaruhi prognosis.
5. Respons awal terhadap terapi.

Diagnosis
Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk
menegakkan diagnosis leukemia. Namun untuk memasrikannya harus dilakukan
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, dan dilengkapi dengan pemeriksaan
radiografi dacla,cairan serebrospinal,dan beberapa pemeriksaan penunjang yang
lain. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya
mernerlukan pemeriksaan lebih lanjur, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika,
dan biologi rnolekuler.
Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anernia, kelainan jumlah hitung
jenis leukosit dan trombositopenia. Bisa terdapat eosinolia reaktif. Pada
pemeriksaan preparat apus darah tepi didapatkan sel-sel blas. Berclasarkan
protokol WK-ALL dan protokol Nasional (protokol jakarta) pasien LLA
climasukkan dalam kategori risiko tinggi bila jumlah leukosit >50.000 il, ada
massa mediastinum,ditemukan leukemia susunan saraf pusat(SSP) serta jumlah
sel blas total setelah 1 minggu diterapi dengan deksamerason lebih dari
1000/mm3. Massa mediastinum tampak pada radiogra dada. Untuk menentukan
adanya leukemia SSP harus dilakukan aspirasi cairan serebrospinal (pungsi
lumbal) dan dilakukan pemeriksaan sirologi.
Di negara berkembang , diagnosis harus dipastikan dengan aspirasi sumsum
tulang (BMA) secara morfologis, immunofenotip dan karakter genetik. Leukemia
dapat menjadi kasus gawat darurat clengan komplikasi infeksi, perdarahan atau
disfungssi organ yang terjadi secara sebagai akibat leukostasis.

Kadang-kadang diagnosis LMA cliawali dengan prolonged preleukemia,


biasanya ditunjukkan adanya kekurangan procluksi sel darah yang normal
sehingga terjadi anemia refrakter, neutropenia atau trombositopeni. Pemeriksaan
sumsum tulang tidak menunjukkan leukemia, tetapi acla perubahan morfologi
yang jelas. Kondisi ini sering mengarah pada sindrom mielodiplastik (MDS) clan
mempunyai klasifikasi FAB sendiri (Hasle 1994). Biasanya sumsum tulang
menunjukkan

hiperseluler,

kaclang-kadang

hipoplastik

yang

kemudian

berkembang menjadi leukemia akut


Diagnosis, evaluasi, dan terapi anak yang menderita LMA belum
memuaskan bila dibandingkan dengan LLA. Pacla LMA, hasil pemeriksaan clarah
menunjukkan

adanya

anemia,trombositopenia

,dan

leukositosis.

Kaclar

hemoglobin sekitat 7.0 sampai 8.5 gf cll,jumlah trombosit umumnya <50.000/ul


dan jumlah leukositnya sekitar 24.000/ul. Sekitar 20% pasien jumlah leukositnya
> 100.000/ul.
Pada saat diagnosis leukemia ditegakkan akan menimbulkan beberapa
permasalahan, baik karena tindakan yang invasifmaupun kondisi psikologis orang
tua atau keluarga. Aspirasi sumsum tulang dan pungsi lumbal dapat dapat
menimbulkan nyeri clan ketakutan pacla anak dan kekhawatiran pada orang tua,
sehingga perlu penjelasan dan edukasi, pemberian obat penenang dan pendekatan
psikologi. Tindakan tersebut juga perlu dilakukan pada saat mengevaluasi
perkembangan

penyakit/kemajuan

pengobatan,sesuai

jadual

yang

sudah

ditentukan. Edukasi dan pendampingan orang tua pada saat dilakukan tindakan

aspirasi sumsum tulang clan pungsi lumbal adalah langkah yang bertujuan untuk
mengurangi rasa sakit clan meningkatkan rasa percaya diri pasien.
Diagnosis banding
Diagnosis banding leukemia pada anak yang perlu dipikirkan antara lain
anemia aplastik, gangguan mieloproliferatif, PTI, keganasan lain, penyakit
reumatologi atau penyakit kolagen vaskulansinclrom hemofagosit familial atau
induksi virus,infeksi virus Ebstein-Barr, infeksi mononukleosis,reaksi leukemoicl,
dan sepsis.
Pengobatan
Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif
rneliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan
komplikasi antara lain berupa pemberian transfusi darali/trombosit, pemberian
antibiotik

,pemberian

obat

untuk

meningkatkan

granulosinobat

anti

jamunpembeiian nutrisi yang baik, clan pendekatan aspek psikososial.


Terapi kuratif/spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemianya berupa
kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi, profilaksis susunan saraf
pusat clan rumatan.
Klasikasi risiko normal atau risiko tinggi, menentukan protokolkemoterapi.
Saat ini di Indonesia sudah ada 2 protokol pengobatan yang lazim digunakan
untuk pasien LLA yaitu protokol Nasional (Iakarta) dan protokol WK-ALL 2000
Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda
(deksametason, vinkristin, L-asparaginase dan atau antrasiklin). Kemungkinan

hasil yang dapat dicapai remisi komplit,remisi parsial, atau gagal. lntensifikasi
merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah remisi komplit dan untuk
profilaksi leukemia pacla susunan saraf pusat. Hasil yang diharapkan adalah
tercapainya perpanjangan remisi dan meningkatkan kesembuhan. Pada pasien
risiko sedang dan tinggi, induksi diintensifkan guna memperbaiki kualitas remisi.
Lebih dari 95% pasien akan mendaparkan remisi pada fase ini. Terapi SSP yaitu
setara langsung diberikan melalui injeksi intratekal dengan obat metotreksat,
sering dikombinasi dengan infus berulang metotreksat dosis sedang (500 mg/m2)
atau dosis tinggi pusat pengobatan (3-5 gr/m2). Di beberapa pasien n'siko tinggi
dengan umur > 5 tahun mungkin lebih efektif dengan memberikan radiasi cranial
(18-24 Gy) disamping pemakaian kemoterapi sistemik dosis tinggi.
Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat merkaptopurin tiap hari
dan metotreksat sekali seminggu, secara oral dengan sitostatika lain selama
perawatan tahun pertama. Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi
adalah 2-21/2 tahun dan tidak ada keuntungan jika perawatan sampai dengan 3
tahun. Dosis sitostatika secara individual dipantau dengan rnelihat leukosit dan
atau monitor konsentrasi obat selama terapi rumatan.
Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada kelulian clan bebas
gejala klinis leukemia, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel blas <
5% dari sel berinti, hemoglobin >12g/dl tanpa transfusi, jumlah leukosit > 3000/ul
dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit > 2000/ul, jumlah
trombosit > 100.000/ul, dan pemeriksaan cairan serebrospinal normal.

Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada 98% pasien. 2-3%
dari pasien anak akan meninggal dalam CCR (Continuous Complete Remission)
dan 25-30% akan kambuh. Sebab utama kegagalan terapi adalah kambuhnya
penyakit. Relaps sumsum tulang yang terjacli (dalam 18 bulan sesudah diagnosis)
memperburuk prognosis ( 10-20% long-term survival) sementara relap yang
terjadi kemudian setelah penghentian terapi mempunyai prognosis lebih baik,
khususnya relap testis dimana long-term survival 50-60% . Terapi relaps harus
lebih agresif untuk mengatasi resistensi obat.
Transplantasi sumsum tulang mungkin memberikan kesempatan untuk
sembuh, khususnya bagi anak-anak dengan leukemia sel-T yang setelah relaps
mempunyai prognosis yang buruk dengan terapi sitostatika konvensional.
Secara keseluruhan survival setelah relaps adalah 20-40% pacla seri yang
berbeda. Survival meningkat dari 53% (1981-1985), sampai 68% (1986-1991)
sampai dengan saat ini 551% (1992-1995). Alasan utama dibalik perbaikan ini
adalah lebih intensifnya terapi untuk semua kelompok risiko.
Salah satu protokol pengobatan LLA:

Terapi LMA

Tiga puluh tahun yang lalu, hampir setiap anak dengan AML, meninggal
clan tidak ada kelompok yang teridentifikasi. Saar ini gambaran survival hidup
lebih dari 40% dilaporkan pada banyak studi. Perubahan terjadi pada tahun 70-an
dengan dikenalnya sitarabin (AraC) dan antrasiklin. Dengan kombinasi obat yang
berbeda, remisi bisa berpengaruh pada 75-85% anak, namun tanpa terapi lebih
lanjut kebanyakan anak-anak relaps dalam 1 tahun.
Perhatian psikologis clan kebutuhan untuk menangani pasien dan seluruh
keluarga pada suatu lingkungan adalah suatu keharusan.
Kualitas remisi harus diperbaiki dengan terapi konsolidasi intensif, namun
intensitas remisi juga bisa mempengaruhi basil yang ticlak berharga clari tipe
terapi konsolidasi yang digunakan.
Tiga metode terapi konsolidasi adalah kemoterapi sendiri, transplantasi
sumsum tulang autologus, atau transplantasi alogenik dari donor dengan HLA
yang identik. Saat ini nampaknya transplantasi sumsum tulang autologus
menunjukkan hasil baik , namun transplantasi alogenik dari donor clengan HLA
yang identik masih merupakan yang terbaik untuk kesembuhan.

Leukemia Promielositik Akut (M3)


M3 berjumlah sekitar IO-15% . Penyakit ini dikarakteristikan dengan
t(15;17) dimana breakpoint pada gen untuk reseptor inti asam retinoik pada
kromosom 17 clan PML (promyelocytic leukemia) berada pada kromosom 15.
Tahun 1998 ilmuwan Cina melaporkan bahwa induksi remisi lengkap bisa terjadi
pacla M3 dengan menggunakan asam retinoik (ATRA) sebagai agen tunggal.
Tentu saja keterlibatan reseptor inti untuk asam retinoik mempengaruhi
sensitivitas leukemia terhadap vitamin ini, meskipun detail molekuler masih
belum diketahui. Kerugian terbesar dari terapi retinoik ATRA adalah komplikasi
perdarahan yang tidak bisa dihindari.

Anda mungkin juga menyukai