berasal
dari
tulang
rusukmu
sendiri.
Secara panjang lebar Allah s.w.t. menjelaskan tentang halalnya
mengawini bekas isteri anak angkat, yaitu ketika Rasulullah s.a.w. ragu
dan takut bertemu dengan orang banyak ketika akan mengawini
Zainab binti Jahsy, karena Zainab adalah mantan isteri Zaid bin
Haritsah, atau dikenal dengan Zaid bin Muhammad. Hal ini
sebagaimana difirmakan-Nya dalam surat Al-Ahzab ayat 37 40.
Pendapat Yusuf Qardhawi tersebut, diamini oleh Ahmad AsySyarbashi, sebagaimana dinyatakan beliau dalam bukunya
Yasalunaka, maka haramnya mengangkat anak adalah, apabila
nasabnya dinisbatkan kepada diri orang tua yang mengangkatnya.
Sedangkan mengangkat anak, apalagi anak yatim, yang tujuannya
adalah untuk diasuh dan dididik tanpa menasabkan pada dirinya, maka
cara tersebut sangat dipuji oleh Allah s.w.t. Hal ini sebagaimana
dikatakan sendiri oleh Rasulullah s.a.w. dalam hadits riwayat Bukhari,
Abu Daud dan Turmudzi: Saya akan bersama orang yang
menanggung anak yatim, seperti ini, sambil beliau menunjuk jari
telunjuk dari jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya.
Laqith atau anak yang dipungut di jalanan, sama dengan anak yatim,
namun Yusuf Qardhawi menyatakan, bahwa anak seperti ini lebih patut
dinamakan Ibnu Sabil, yang dalam Islam dianjurkan untuk
memeliharanya. Asy-Syarbashi mengatakan bahwa para fuqaha
menetapkan, biaya hidup untuk anak pungut diambil dari baitul-mal
muslimin. Hal ini sebagaimana dikatakan Umar ibn Khattab r.a. ketika
ada seorang laki-laki yang memungut anak, pengurusannya berada di
tanganmu, sedangkan kewajiban menafkahinya ada pada kami.
Ummat Islam wajib mendirikan lembaga dan sarana yang menanggung
pendidikan dan pengurusan anak yatim. Dalam kitab Ahkam al-Awlad
fil Islam disebutkan bahwa Syariat Islam memuliakan anak pungut
dan menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara nonmuslim. Oleh karena itu, agar mereka sebagai generasi penerus Islam,
keberadaan institusi yang mengkhususkan diri mengasuh dan mendidik
anak pungut merupakan fardhu kifayah. Karena bila pengasuhan
mereka jatuh kepada non-muslim, maka jalan menuju murtadin lebih
besar dan ummat Islam yang tidak mempedulikan mereka, sudah pasti
akan dimintai pertanggungjawaban Allah s.w.t. Karena anak angkat
atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua
angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka
yang dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada
anak angkat adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia
masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka
sebelum yang bersangkutan meninggal dunia.
B. ANAK ZINA
Tidak dapat dipungkiri lagi musibah perzinaan sudah mulai
merebak di negara ini. Kata zina mulai disamarkan dengan istilah
yang samar dan agak menarik, WIL (Wanita Idaman Lain), PIL (Pria
Idaman Lain), PSK (Penjaja Seks Komersial), Gadis Pendamping dan
yang sejenisnya yang mengesankan permasalahan ini mulai dianggap
ringan oleh sebagian kaum muslimin di negeri ini.
Ditambah lagi dengan ditinggalkannya syariat islam secara umum dan
khususnya hukuman bagi para pezina. Sehingga hal-hal ini mendukung
tersebarnya penyakit ini dilingkungan kaum muslimin. Padahal
semaraknya perzinaan membuahkan banyak permasalahan. Tidak
hanya pada kedua pelakunya namun juga pada buah hasil perbuatan
tersebut. Gelaran anak zina sudah cukup membuat sedih anak tersebut,
apalagi kemudian muncul masalah lainnya, seperti nasab, warisan,
perwalian dan masalah-masalah sosial lainnya yang tidak mungkin
lepas darinya.
Realita seperti ini tentunya tidak lepas dari sorotan syariat
Islam yang sempurna dan cocok untuk semua zaman. Tinggal kita
melihat kembali bagaimana fikih Islam memandang status anak zina
dalam keluarganya. Hal ini menjadi lebih penting dan mendesak
dengan banyaknya realita status mereka yang masih banyak
dipertanyakan masyarakat. Tentunya ini semua membutuhkan
penjelasan fikih islam walaupun dalam bentuk yang ringkas, agar
Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [QS.
An-Nisaa` 4: 11]
Sebab anak tersebut dinasabkan kepada ibunya dan nasab adalah sebab
pewarisan. Demikian juga anak zina tersebut statusnya dalam hal ini
sama dengan anak mulaanah yang dijelaskan dalam hadits Sahl bin
Saad as-Saidi yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahualahi
Wasallam memutuskan perkara mulaanah, Sahl bin Saad
Radhiallahuanhu berkata:
Artinya: Maka menjadi sunnah memisahkan dua orang yang
melakukan mulaanah. Wanitanya tersebut dalam keadaan hamil, lalu
suaminya mengingkari kehamilannya dan anaknya dinasabkan kepada
wanita tersebut, kemudian berlakulah sunnah dalam warisan bahwa
anak tersebut mewarisi harta wanita tersebut dan wanita tersebut
mewaris harta anaknya tersebut sesuai dengan ketetapan Allah [HR
Al-Bukhari, Kitab At-Tafsir no. 4746 lihat Fathul Baari 8/448 dan
Muslim dalam kitab al-Lian, lihat Syarh An-Nawawi 10/123 ]
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: Seorang lelaki apabila
melakukan mulaanah terhadap istrinya dan menolak anaknya dan
hakim telah memisahkan antara keduanya, maka nak tersebut lepas
darinya dan terputuslah hak waris mewaris dari sisi lelaki yang
melakukan mulaanah tersebut, sehingga ia tidak mewarisinya dan
tidak juga seorangpun ahli waris (Ashobah)nya. Ibunya dan dzawu al-