Anda di halaman 1dari 13

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Bells palsy merupakan kelemahan pada oto wajah dengan tipe lower

motor neuron yang disebabkan oleh ganguan pada saraf fasialis yang bersifat
idiopatik, tidak ditemukan kelainan di luar sistem saraf pusat, dan tanpa adanya
penyakit neurologik lainnya.1
Insidens sindrom ini sekitar 23 kasus per 100 000 orang setiap tahun. Di
Indonesia angka kejadian Bells Palsy belum jelas dan belum ada penelitian
khusus.1 Pada penelitian lain dikatakan angka kejadian Bells Palsy tidak
bergantung jenis kelamin, baik perempuan dan laki-laki memiliki faktor resiko
yang sama untuk menderita kelainan ini. Meskipun beberapa penelitian
mengatakan ibu hamil memiliki resiko lebih besar untk menderita Bells Palsy.
Selain itu golongan umur juga dikatakan tidak memberi pengaruh besar sebagai
faktor resiko terjadinya Bells Palsy. Namun penelitian menunjukkan angka
kejadian Bells Palsy berada pada puncak umur 40 tahun dengan rentang umur
paling sering adaah 15-40 tahun.2,3 Selain faktor-faktor tersebut, penderita
Diabetes dikatakan memiliki resiko mendapatakan Bells Palsy dibandingkan
dengan orang normal. Bells Palsy memiliki 8% kecenderungan untuk rekurent
atau berulang kembali. 2
Penyebab dari penyakit ini masih belum bisa dijelaskan. Beberapa literatur
mengatakan bahwa Bells Palsy disebabkan oleh karena adanya infeksi dari virus
yang menyebabakan inflamsi dan iskemik pada nervus facialis. 4 Kelainan
neurologis ini sering dianngap gejala stroke dan sering menimbukan kekeliruan di
tengah-tengah masyarakat awam.
1.2.

Ruang Lingkup Pembahasan


Dalam makalah ini, saya akan mencoba untuk menguraikan tentang

definisi, anatomi, etiologi, gejala klinis, klasifikasi, diagnosis, penatalaksanaan,


dan prognosis tentang Bells Palsy.
1.3.
Tujuan Penulisan

Makalah ini disusun untuk menambah pengetahuan dan pemahaman saya


tentang Bells Palsy yaitu mencakup dari definisi hingga prognosis dari Bells
Palsy.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
Saraf wajah terdiri dari saraf wajah facialist dan intermedius nervus. Saraf
fasialis keluar dari otak di sudut serebello-pontin memasuki meatus akustikus
internus. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis memberikan cabang
untuk ganglion pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya ke muskulus stapedius
dan bergabung dengan korda timpani lalu keluar melalui foramen stylomastoideus
dan akan mempersarafi otot ekspresi wajah, otot platysma, dan satpedius yang
terletak pada telingga bagian dalam. Nervus intermedius memiliki peran
parasimpatis

yaitu

mempersarafi

lakrimal

yang

lewat

dari

gangglion

pterygopalntine selain itu nervus intermediud juga mempersarafi kelenjar ludah


yang lewat dari chorda tympani ke ganglia submaxillary dan sublingual. Visceral
afferen dari nervus intermedius yang berasal dari geniculate gangglion
mempersarafi dua per tiga depan lidah melalui chorda tympani ke inti solitary. 5
2.2. Definisi
Bells palsy didefinisikan sebagai Bells palsy merupakan kelemahan wajah
dengan tipe lower motor neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis
idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya.
Sindrom ini pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis
dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell.1
2.3. Epidemiologi
Bells palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering
ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi di
berbagai Negara di seluruh dunia bergantung pada faktor-faktor resiko yang ada.
Perbedaan insidensi ini tergantung pada kondisi geografis masing- masing negara.
Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi.
Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun). Tidak
dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden meningkat tiga kali
lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per 100.000). Sebanyak 5-10% kasus
Bells palsy adalah penderita diabetes mellitus. Bells palsy jarang ditemukan pada

anak- anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada sisi kanan dan kiri wajah.
Kadang- kadang paralisis saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan prevalensi
0,3- 2% . Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan
36% pada sisi yang sama dan 64% pada sisi yang berlawanan. Adanya riwayat
keluarga positif diperkirakan pada 4-14% kasus Bells palsy. 6
Di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells
palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21
30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan
insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita
didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan. 7
2.4. Etiologi dan Patogenesis
Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bells
palsy, yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus
lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini.

Peneliti mengidentifikasi

genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia
lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bells palsy.
Penelitian lain

menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk

mengamplifikasi sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam


cairan endoneural sekeliling saraf ketujuh pada

Bells palsy yang dilakukan

dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Selain itu peneliti juga
menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis
pada wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf
fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis
fasialis herpes simpleks atauherpetika dapat diadopsi sebagai penyebab Bells
Palsy. Gambaran patologi dan mikroskopis Bells Palsy juga menunjukkan proses
demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular saraf. 8

2.5. Gejala Klinis

Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bells palsy dapat berbeda. Bila
lesi di foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan
paralisis semua otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata
melakukan rotasi ke atas (Bells phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair
karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli
terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan yang
tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar
dari sudut mulut.
Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi
di bawah ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di
foramen stylomastoid ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior
lidah pada sisi yang sama. Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus
stapedius dapat terjadi hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain
itu, lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan
berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan. 1
2.6. Pemeriksaan Fisik
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang
lengkap untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan
kemungkinan penyebab lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah
pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan
kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta
menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas. Bila
terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara
akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis.
Tanda klinis yang membedakan Bells palsy dengan stroke atau kelainan yang
bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf
kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien
tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh. 9,10

2.7. Diagnosis Banding


Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi
sentral dan perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai
kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di
hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai
perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis
multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis
optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii,
atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media
supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan
foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila
ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna
dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicellazoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut;
kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan
gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor
serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII;
tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan
sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus,
uveitis, parotitis eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia. 1,11
2.8. Penatalaksanaan
Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa
identifikasi dini dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat
kelainan lain pada pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang
menjadi diagnosis banding Bells palsy. Jika tidak tersedia, dokter umum dapat
menentukan terapi selanjutnya setelah menyingkirkan diagnosis banding lain.
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam
patogenesis Bells palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan
paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit.

Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus
dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis pemberian prednison
(maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg
per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off.
Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid
jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes,
ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi),
dan Cushing syndrome. 1,12,13
Karena kemungkinan peran HSV-1 di etiologi Bell palsy, antivirus
acyclovir dan valacyclovir diyakini memiliki manfaat dalam pengobatan
meskipun hingga saat ini pengobatan dengan antiviral ini masih dalam penelitian
lanjut. Beberapa penelitian menyatakan acyclovir 400 mgdapat diberikan lima kali
per hari selama tujuh hari atau valacyclovir 1 g dapat diberikan tiga kali perhari
selama tujuh hari. 2,14,15
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing.
Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears),
pelumas (saat tidur),kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau
tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah). Masase
dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke
atas dan membuat mgerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas
dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang
dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.
Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan
setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis.
Rehabilitasi

fasial

meliputi

edukasi,

pelatihan

neuro-muskular, masase,

meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi


yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi,
fasilitasi, kontrol gerakan,dan relaksasi. Kategori inisiasi ditujukan pada pasien
dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai
gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase
superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang

dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih. Sementara
itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang
saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis.
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih
agresif dan reedukasi neuromuskular di depan kaca (feedback visual) dengan
melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk
membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal
20-40 kali dengan 2-4 set per hari. Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan
yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat,
masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang
digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif,
reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara
simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai
inisiasi strategi meditasi-relaksasi. Kategori terakhir adalah relaksasi yang
ditujukan pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah karena
sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan
lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca,
dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual
visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang
sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.
Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan,
pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani
kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial,
dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke
bagian kulit atau bedah plastik.Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidu ng
Tenggorok dan kardiologi perlu dipertimbangkan apabila terdapat kelainan
pemeriksaan aufoskop atau pembengkakan glandula parotis dan hipertensi secara
berurutan pada pasien. 1

2.9. Komplikasi dan Prognosis

5% pasien setelah menderita Bells palsy mengalami sekuele berat yang


tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bells palsy,
adalah :
1.

Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan

paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis


2. Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan
pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi
atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan (3) reinervasi yang
salah dari saraf fasialis.
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan
1. Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter,
contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi
2.

platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata


Crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat
regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar

3.

pada saat mengkonsumsi makanan,dan


Clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba
(shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada
stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi
bersamaan). 1
Perjalanan alamiah Bells palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini

sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien
dengan Bells palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus
membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis
persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko
sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular,
gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bells palsy, bukti
denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan
penyengatan kontras yang jelas. Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik
adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian

10

kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan atau perbaikan fungsi pengecapan


dalam minggu pertama. 1

BAB 3
PENUTUP

11

3.1. Kesimpulan
Bells Palsy merupakan sindrom klinis gangguan saraf fasialis yang
bersifat perifer. Keterlibatan virus Herpes Simplex tipe 1 banyak dilaporkan
sebagai penyebab kerusakan saraf tersebut, meski penggunaan preparat antivirus
masih menjadi perdebatan dalam tata laksana. Peranan dokter di pelayanan primer
yang diharapkan adalah dapat menegakkan diagnosis Bells palsy, menyingkirkan
diagnosis banding yang ada, serta mengobati dengan tepat. Mengingat bahwa
Bells Palsy adalah penyakit dengan kompetensi 4A.

DAFTAR PUSTAKA

12

1. Lowis, Handoko, Maulana N Gaharu. 2012. Bells Palsy, Diagnosis dan


Tata Laksana di Pelayanan Primer. J Indon Med Assoc, Volum: 62, No. 1 :
32-37.
2. Tiemstra, Jeffrey D,Nandini Khatkhate. 2007. Bells Palsy: Diagnosis and
Management. American Family Physician.
3. Baugh, Reginald. Et al. 2013. Clinical Practice Guideline Summary:Bells
Palsy. AAO-HNS Bulletin :35-42.
4. Mumenthaler, Mark. Heinrich Mattle. Fundamentals of Neurology. New
York : Thieme Stutgart.
5. Waxman,Stephen G. Clinical Neuroanatomy 26th Edition. 2010. New
York : MCGraw Hill.
6. Sjahrir, Hasan. 2008. Perbedaan efek Metil Prednisolon Tunggal dengan
Kombinasi Metil Prednisolone dan Rehabilitasi Kobar terhadap Perbaikan
Klinis Pasien Bells Palsy. Universitas Sumatera Utara.
7. Hadison et al. 1990. Ganguan Gerak. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.
8. Finsterer, Josef. 2008. Management of peripheral facial nerve palsy.
Springer : 743-752
9. Sidharta, Priguna. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. 2005.
Jakarta : Dian Rakyat.
10. Pham, Viet. 2012. Bells Palsy. Grand Rounds Presentation, Department
of Otolaryngology nThe University of Texas Medical Branch (UTMB
Health) : 1-12
11. Tsementzis, Sotirios A. Differential Diagnosis in Neurology and
Neurosurgery. 2010. New York : Thieme Stutgart.
12. Numthavaj, Pawin. Et al. 2011. Corticosteroid and antiviral therapy for
Bells palsy: A network meta-analysis. BioMedical Centre Neurology : 110.
13. Almeida, John R. De. Et al. 2014. Management of Bell palsy: clinical
practice guideline. Canadian Medical Association Journal : 1-6
14. Gilden, Donald H. 2004. Bells Palsy. The New England Journal Of
Medicine : 1323-1331
15. Gronseth, Gary S.Remia Paduga. 2012. Evidence-based guideline update:
Steroids and antivirals for Bell palsy. American Academy of Neurology
2012 :1-5.

13

Anda mungkin juga menyukai