Anda di halaman 1dari 21

Memperkuat Kembali Sistem Pangan Lokal oleh: Witoro

http://www.elsppat.or.id/artikel02.php?aid=82
Pada tahun 2002, sebanyak 815 juta manusia di negara berkembang masih menghadapi
kelaparan, 300 juta di antaranya adalah anak-anak. Mereka bergulat melawan rasa lapar
dan menghadapi serangan berbagai penyakit akibat kurang gizi bahkan ancaman
kematian. Satu dari tiap lima penduduk dunia menderita kekurangan gizi. Sekitar 777 juta
orang mengalami kelangkaan pangan, yang tinggal selangkah lagi masuk kategori
menderita kelaparan.
( World Food Summit: ''Five Years Later'', Menghapus Kemiskinan adalah Melawan
Ketidakadilan, Kompas, 17 /6/02)
Problema Pangan dan Pertanian
Penyebab besarnya jumlah orang lapar di dunia dan juga penduduk miskin dikarenakan
pasar global untuk komoditas pertanian masih saja belum adil. Dari tahun 1999 sampai
2000, bantuan berkonsesi dari negara maju dan pinjaman dari lembaga keuangan
internasional turun 50 persen yang pertanian yang merupakan gantungan hidup 70 persen
masyarakat miskin dunia.
Oleh karena kurangnya komitmen tersebut, jumlah orang yang kekurangan makan hanya
berkurang enam juta orang per tahun dari target 22 juta orang seperti yang dideklarasikan
tahun 1996. Dengan kecepatan pengurangan yang berjalan lambat itu, maka target 400
juta orang miskin dan lapar bisa diperbaiki kesejahteraannya, baru akan tercapai 45 tahun
lagi (Kompas, Senin, 17 Juni 2002, World Food Summit dan Ketahanan Pangan)
Carut marut problema pangan dan pertanian di atas disebabkan oleh berbagai aspek yang
saling terkait dan mempengaruhi. Penyebab kurang pangan disebabkan antara lain karena
ketiadaan akses terhadap sumber-sumber produksi pangan seperti tanah, air, input
pertanian, modal, dan teknologi. Di negara-negara sedang berkembang, penyebab utama
rawan pangan adalah lemahnya akses terhadap tanah untuk memproduksi pangan ( Seeds
of Hope: Feeding the World Through Community-Based Food Systems, Salzburg
Seminar 398, 2002, W.K. KELLOGG FOUNDATION)
Cara Pandang Keberlanjutan
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memahami masalah pangan dan kemiskinan
secara menyeluruh adalah dengan menggunakan kerangka kerja sustainable livelihood
yang dikembangkan oleh DfID (1999) dan konsep entitlement yang diperkenalkan
Amartya Sen (1981). Seperti semua kerangka kerja lainnya, bentuk ini merupakan
penyederhanaan atas keragaman dan kekayaan mengenai penghidupan.
Dalam bentuk paling sederhana, kerangka kerja ini menggambarkan manusia (individu
maupun kelompok) merupakan penggerak berbagai aset dan kebijakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai masalah dan ancaman. Manusia dalam hal ini

memiliki akses terhadap berbagai aset produktif yang dapat dikelola untuk memenuhi
kebutuhan pangan dan kebutuhan hidup lainnya.
Chambers dan Conway (1992) mendefinisikan penghidupan berkelanjutan sebagai:
suatu penghidupan yang meliputi kemampuan atau kecakapan, aset-aset (simpanan,
sumberdaya, claims dan akses) dan kegiatan yang dibutuhkan untuk sarana untuk hidup:
suatu penghidupan dikatakan berkelanjutan jika dapat mengatasi dan memperbaiki diri
dari tekanan dan bencana, menjaga atau meningkatkan kecakapan dan aset-aset, dan
menyediakan penghidupan berkelanjutan untuk generasi berikutnya; dan yang memberi
sumbangan terhadap penghidupan-penghidupan lain pada tingkat lokal dan global
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Ada lima sumber kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial yang lebih
tinggi di dalam upayanya mengembangkan kehidupannya yaitu : humane capital, social
capital, natural capital, physical capital dan financial capital.
Hubungan individu atau unit sosial yang lebih tinggi terhadap pangan didasarkan pada
konsep entitlement atau hak terhadap pangan. Dalam konsep ini, memproduksi dan
mendapatkan pangan bagi manusia adalah hak asasi yang tampak dalam beberapa cara
manusia dalam mengakses pangan yaitu: direct entitlement, exchange entitlement, trade
entitlement, dan social entitlement.
Sistem pangan individu, keluarga atau masyarakat yang lebih luas bukanlah sesuatu yang
statis tetapi dinamis. Dinamika ini antara lain dipengaruhi oleh tingkat kerentanan
(vulnerability) dan kemampuan individu atau unit sosial yang lebih besar dalam
menghadapi perubahan. Perubahan itu antara lain shock perubahan mendadak dan tidak
terduga, Trend perubahan yang masih dapat diamati dan Seasonality atau musiman yang
dapat diperkirakan dengan hampir pasti.
Setiap individu dan unit sosial yang lebih besar mengembangkan sistem penyesuaian diri
dalam merespon perubahan tersebut. Renspon itu bersifat jangka pendek yang disebut
coping mechanism atau yang lebih jangka panjang yang disebut adaptive mechanism.
Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk
mengakses pangan (entitlement), sedangkan jangka panjang bertujuan untuk memperkuat
sumber-sumber kehidupannya (livelihood assets). Ketidakmampuan menyesuaikan diri
dalam jangka pendek akan membawa ke kondisi rawan pangan. Penyesuaian rawan
pangan yang tidak memperhitungkan aspek penguatan sumber-sumber kehidupan dalam
jangka panjang justru tidak akan menjamin keberlanjutan ketahanan pangan individu
maupun unit sosial yang lebih tinggi.
Peminggiran Sistem Pangan Lokal
Situasi dan kondisi individu, keluarga, masyarakat maupun unit sosial yang lebih tinggi
terkait dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dari luar. Sistem pangan sangat dipengaruhi
oleh struktur (institusi dan tingkatannya) dan proses (kebijakan) di dalam sistem tersebut.

Pendekatan Sustainable Livelihood menekankan pemahaman akan keterkaitan antara


persoalan mikro dan makro.
Secara mikro sebenarnya sistem pertanian ladang dan sawah menjadi andalan rakyat
untuk memenuhi kebutuhan pangan ini. Sebagaimana tampak dalam sejarah pertanian
Indonesia. Meskipun tidak pernah mendapat perhatian semua penguasa di Indonesia
namun demikian masih terus bertahan sebagai upaya untuk mempertahankan hidup.
Sejarah pertanian Indonesia sudah dimulai jauh sebelum penjajah datang. Ladang sebagai
bentuk miniatur hutan tropis telah lama dikembangkan. Begitu juga dengan model sawah,
yang tampak dari pusat2 pengembangan kerajaan. Kehadiran Belanda ke Indonesia,
khususnya Jawa, adalah untuk memperoleh produk pertanian yang dapat dijual di pasaran
Dunia. Terjadilah proses kemerosotan usaha tani subsiten pada periode tanam paksa
hingga Indonesia merdeka. Upaya radikal mengubah keadaan ini lewat UUPA tahun 60
kandas bersama dengan tumbangnya orde lama. Kolonialisme itu kembali lagi dalam
wajah barunya dengan semakin memerosotkan akses rakyat terhadap sumber-sumber
agraria yang menjadi alat produksi paling penting bagi usaha tani tanaman pangan rakyat.
Contoh paling kuat adalah, Revolusi Hijau yang tidak ditujukan untuk memperkuat
sistem pangan lokal yang telah berkembang sebelumnya. Bersamaan dengan itu
pemerintah Orde Baru juga mengembangkan kebijakan sentralisasi pengelolaan desa
yang dilakukan dengan melakukan pengaturan-pengaturan berkaitan dengan kedudukan
desa yang berarti merampas otonomi desa.
Gejala yang Mendunia
Dalam tataran makro persoalan pangan dan pertanian yang dihadapi Indonesia saat ini
juga tidak dapat dilepaskan dari proses liberalisasi perdagangan dunia. Liberalisasi
perdagangan mengubah fungsi pangan yang multi dimensi menjadi sekadar komoditas
perdagangan.
Bahkan WTO Badan Perdagangan Dunia - mengartikan ketahanan pangan sebagai
ketersediaan pangan di pasar. Konsep ini dalam praktiknya memaksa rakyat di
negara-negara sedang berkembang untuk memenuhi pangan yang akan dipenuhi oleh
negara-negara maju melalui mekanisme pasar bebas. Fakta tersebut menunjukkan bahwa
pangan telah menjadi bagian dari skema besar liberalisasi perdagangan.
Kuatnya tekanan dari luar dan lemahnya posisi tawar Indonesia menyebabkan Indonesia
menerapkan kebijakan liberalisasi perdagangan pangan. Liberalisasi ini diwujudkan
antara lain dalam pencabutan subsidi untuk petani, privatisasi badan usaha logistik dan
penurunan tarif impor produk pangan. Kebijakan pangan nasional dengan demikian
mengabaikan potensi dan kemampuan rakyat dalam mengelola sistem pangan mereka
secara mandiri.
Upaya internasional untuk mengatasi persoalan pangan sebenarnya sudah tercermin sejak
World Food Sumit tahun 1974 dan 1996. Bahkan para pemimpin dunia yang hadir dalam
WFS tahun 1996 (kembali) mendeklarasikan bersama untuk mencapai ketahanan

pangan bagi setiap orang dan melanjutkan upaya untuk menghilangkan kelaparan di
seluruh negara.
Ketahanan pangan dalam hal ini diartikan sebagai kondisi tersedianya pangan yang
memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif.
Namun nyatanya situasi pangan dunia lima tahun setelah Konferensi Pangan Dunia tahun
1996 terlihat tidak menunjukkan perkembangan sesuai yang diharapkan
Kedaulatan Pangan
Sistem pangan nasional (swasembada pangan nasional) dan sistem pangan global
(liberarlisasi perdagangan dunia) tidak dapat menjamin terpenuhinya hak rakyat atas
pangan secara berkelanjutan. Kesadaran ini kemudian mendorong beberapa kalangan
untuk menengok kembali system pangan lokal yang telah berkembang jauh sebelumnya
dan menjadi fondasi sistem pangan rakyat.
Meskipun ditelantarkan oleh hampir semua penguasa di Indonesia namun ratusan ribu
komunitas yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara memiliki sistem pangannya
masing-masing yang khas serta jenis tanaman pangan yang beragam yang dibudidayakan
di ladang maupun di sawah. Setiap komunitas yang telah bertani menetap,
mengembangkan sendiri sistem pengelolaan sumber-sumber agraria, inovasi dalam
pembenihan dan teknik bercocok tanam, pengembangan infrastruktur, penyimpanan,
distribusi atau perdagangan, maupun dalam mengolah pangannya.
Kenyataan di atas menunjukkan perlunya perubahan secara mendasar dan menyeluruh
yang tercermin dalam konsep Kedaulatan Pangan (Konsep ini digagas di Indoensia
secara khusus oleh Koalisi rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) selengkapnya
hubungan penulis di nastari-bogor@indo.net.id. Konsep ini memungkinkan petani
perempuan dan laki-laki berperan aktif dan produktif dalam menciptakan sistem
pertanian berkelanjutan berdasarkan pada sumberdaya dan kearifan lokal tanpa
diskriminasi, di atas kepentingan perdagangan.
Jelas bahwa konsep ini berbeda dengan konsep ketahanan pangan yang tidak
mempedulikan dari mana pangan diproduksi dan hak rakyat atas sumberdaya produktif.
Dalam konsep kedaulatan pangan, hak rakyat tidak terbatas pada akses untuk
memperoleh pangan tetapi juga hak untuk memproduksi dan mendistribusikan pangan.
Mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, maka untuk untuk
mewujudkannya diperlukan keterlibatan rakyat dalam penentuan kebijakan terkait dengan
proses produksi, distribusi dan konsumsi pangan. Dalam kerangka itu pula maka saat ini
sebenarnya peluang untuk pengembangan sistem pangan lokal mendapatkan momen yang
tepat seiring dengan kebijakan otonomi daerah yang bergulir sejak tahun 1999. Kebijakan
ini memberi harapan terhadap perubahan paradigma pembangunan yang sentralistis
menjadi desentralistis dan demokratis. Wacana ini juga mencakup Otonomi Desa Murni,
di mana pemerintahan desa akan memainkan peran utama dalam proses pembangunan.

Hal penting yang terkandung dalam otonomi desa adalah kewenangan dalam mengelola
berbagai sumberdaya desa agar dapat memenuhi kebutuhan, memperoleh pendapatan dan
memenuhi kebutuhan lainnya.. Di antara berbagai aset desa, aset sosial merupakan aset
paling penting bagi berkembangnya otonomi desa.
Pengalaman The International Center for Tropical Agriculture (CIAT) di Kolumbia,
Amerika selatan dalam mendampingi komunitas dan membantu petani lokal
meningkatkan produksi pangan dengan memberdayakan mereka melalui riset dan
menentukan sendiri teknologi dan praktek pertanian baru.
Konsep yang digunakan CIAL berkembang cepat di America Latin sejak dimulai tahun
1990 dengan lima CIAL. Tahun 2001, telah berkembang lebih dari 250 CIAL di in
delapan negara Amerika Latin.
Berbagai potensi yang terkandung dalam sistem pangan lokal inilah yang sangat mungkin
dapat mengatasi persoalan pangan pada tingkat komunitas. Community-based food
system menawarkan kepada rakyat suatu peluang di mana mereka dapat meningkatkan
pendapatan, penghidupan mereka, dan dan kapasitas untuk memproduksi, dan secara
mendasar suatu jalan lapang di mana mereka dapat menjamin ketahanan pangan mereka
pada masa mendatang.
referensi
Sen, Amartya, 1981, Poverty and Famines, An Essay on Entitlement and Deprivation.
Chambers, R. and G. Conway (1992) Sustainable rural livelihoods: Practical concepts for
the 21 st century.IDS Discussion Paper 296. Brighton: IDS. (pp.7-8)

http://www.jatam.org/index.php?option=com_content&task=view&id=177&Itemid=78
Prolog

Percy Miller, petani gurem di Karibia, jatuh miskin. Lahan sepetak, aset berharga
satu-satunya, terpaksa dilego untuk menambal kebutuhan hidup. Ratusan ribu petani
pisang kolega Percy bernasib sama. Mereka terimbas keputusan panel WTO pada 1997.
Ironisnya, bukan saja tidak pernah berperkara, mereka juga tidak tahu apa itu WTO.
Keputusan WTO itu bermula dari pertarungan dua raksasa dunia, Amerika Serikat
(AS) versus Uni Eropa (UE). Selama ini, UE mengandalkan pasokan pisang dari para
petani kecil di negara-negara miskin bekas jajahan UE di Karibia. AS menggugat UE ke
WTO. UE dinilai bertindak diskriminatif terhadap pisang produksi perusahaanperusahaan AS di Amerika Tengah dan Selatan yang biaya produksinya lebih rendah.
UE divonis melanggar ketentuan WTO. AS dipersilahkan mengajukan sanksi US$
200 juta apabila UE tetap emoh pisang Amerika Tengah dan Selatan. Timbul pertanyaan,
mengapa AS menggugat perdagangan pisang? Bukankah AS tidak memproduksi pisang?
Tidak salah. Tapi perusahaan-perusahaan transnasional (TNC) raksasa di AS, seperti
Chiquita dan Dole-Food, memiliki kebun pisang di Amerika Tengah dan Selatan.
Seratus tahun lalu, sebelum GATT (General Agreement on Tariffs and Trade)
--cikal-bakal WTOlahir (1944), kisah nyata ini mustahil terjadi. Namun sejak WTO
ada (1995), peluang TNC menggunakan kekuatan negara adidaya dan WTO untuk
menggilas yang gurem dan lemah, terbuka lebar. Lewat aturan-aturan WTO yang

mempromosikan pasar bebas dan isinya miring pada kepentingan negara kaya, segalanya
seolah-olah sah.
Di WTO, yang berunding pemerintah, tapi yang dirundingkan hak para TNC guna
meraih akses pasar, kemudahan syarat dagang dan fasilitas lain. Maka terjadilah ironi itu:
negara harus menjalankan kewajiban di bawah WTO, tapi para TNC-lah yang menikmati
keuntungan. Demi kepentingan TNC, para pemerintah dipaksa merundingkan peraturan
global, kadang dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Bersama IMF dan Bank
Dunia, WTO telah jadi tunggangan negara-negara kaya dan dikontrol bak perusahaan.
Dunia memang mengalami restrukturisasi ekonomi global yang mengakibatkan
hukum bangsa-bangsa di dunia mengalami internasionalisasi, meminjam De Sousa
Santos: from legal diasporas to legal ecumenism. Ini berdampak luar biasa bagi tatanan
hukum bangsa-bangsa. Contoh, UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria
(UUPA). Ketika UUPA lahir di Indonesia, suasana saat itu antimodal asing. Kini,
kehadiran modal asing jadi kebutuhan negara. Secara ideologis, tanah untuk petani,
amanat UUPA, tidak lagi jadi kenyataan, tetapi sudah jadi objek spekulan dan komoditas.
Bahkan, pada fase kapitalisme global, tanah tidak lagi jadi nilai guna tetapi telah berubah
jadi nilai tukar dalam bentuk saham yang setiap saat dapat diperjualbelikan lewat bursa.
Pada fase neoliberal saat ini, kondisi basis materialnya pun berbeda. Para petani tak
lagi berhadapan dengan tuan tanah, tetapi langsung bersua pemodal besar yang tidak lagi
diikat batas-batas konvensional suatu negara. Atas nama persaingan global, nanas petani
Subang harus berkompetisi langsung dengan nanas produksi Del Monte. Pak Udin, petani
gurem asal Karawang, harus berhadapan dengan Cargill yang menguasai 80% distribusi
padi dan gandum dunia serta menikmati subsidi luar biasa dari pemerintah.
Mau tidak mau, suka atau tidak, kini setiap titik di dunia telah terintegrasi ke dalam
pasar global. Seluruh dunia adalah lahan usaha mereka. Siapa yang mengganggu, tak
terkecuali si lemah seperti petani pisang Karibia, harus dilibas. Akibatnya, tekanan drastis
terhadap konjungtur ekonomi kapitalis dunia di Wall Street dan London dampaknya akan
segera terasa hingga pelosok desa-desa di negara-negara Dunia Ketiga.
Apa yang terjadi di New York Stock Exchange saat ini, akan langsung terasa
akibatnya di segenap pelosok penjuru dunia, yang terpencil sekalipun. Apa arti semua
ini? Warga dusun --yang sama sekali tidak tahu duduk perkara-- terkena getah
kapitalisme karena harus "berurusan" dengan para investor, pialang saham, industrialis,
bankir, trader hingga berhadapan dengan aparat keamanan yang setia jadi penjaga
modal.
Pada titik ini, siapa yang belum percaya bahwa hari ini, dan untuk seterusnya,
perusahaan raksasa agrobisnis seperti Mosanto dan Syntega cs yang menguasai 2/3 pasar
global pestisida, 1/4 bibit global termasuk patennya, tidak berhubungan dengan dusundusun? Siapa yang hari ini masih percaya bahwa New York dan London tidak
berhubungan dengan Karawang? Kapitalisme dengan mantelnya yang paling radikal,
neoliberalisme, berhasil "menyatukan" Rockefeller dan Bejo, serta Cargill dan petani
Karawang. Indonesia sendiri sudah merasakan getah kapas bolgard Monsanto.
Korporatisasi Pangan Dunia

Prolog di atas amat penting untuk dipahami sebelum menginjak lebih jauh tentang
pembahasan kemampuan dan kapasitas produksi pangan domestik. Sumber persoalannya
adalah, saat ini mata rantai perdagangan pangan, baik di negara maju maupun di negara
berkembang, sudah tidak lagi dibawah kontrol negara, tetapi oleh corporate yang
operasinya jauh nun di belahan dunia utara. Kini, operasi TNC telah mengarah kepada
sebuah bentuk baru saling hubungan antar perusahaan dalam sistem pertanian dan pangan
antarnegara sebuah perkembangan yang belum banyak disadari. Intinya, perkembangan
itu mengarah pada tumbuhnya sistem produksi yang terintegrasi secara vertikal.
Sistem ini menghubungkan mata rantai dari sejak gen sampai ke rak-rak di super
market tanpa ada titik-titik (outlet) penjualan. Makanya, tidak pernah ada price discovery
(penentuan harga). Contohnya ayam, mulai dari pembiakan hingga ke pemrosesan, sama
sekali tidak melibatkan penjualan. Ayam ini hanya ditukar dengan uang ketika sudah
muncul di super market. Artinya, sektor semacam ini sudah terkonsentrasi pada satu
tangan korporasi dan sulit untuk menentukan harga dalam setiap tahap produksi.
Rezim perdagangan global telah memberi jalan yang lempang bagi TNC-TNC3
agrobisnis raksasa dunia untuk mendobrak, bahkan menghancurkan pasar yang sudah
ada, sembari membentuk pasar-pasar baru di negara-negara dunia ketiga. Struktur pasar
makin terkonsentrasi dan makin mendekati pasar struktur monopoli. Menurut konvensi,
struktur pasar dinamakan pasar yang kompetitif apabila dominasi dari empat perusahaan
terbesar tidak lebih dari 40 %. Tingkat konsentrasi pasar dunia sejumlah komoditas sudah
melampaui batasan itu: 81% untuk daging (beef), 59% untuk daging babi (pork), 50%
untuk broiler, 61% untuk gandum (wheat), dan 80% untuk kedelai (soybean)4, yang jauh
lebih tinggi dari kondisi pada masa lalu. Pada tingkat lokal konsentrasi perusahaan bisa
lebih besar, terutama bagi perusahaan yang terintegrasi secara vertikal atau horizontal.
Perdagangan pisang dunia misalnya, hanya dikuasai dua TNC besar: Chiquita dan
Dole-Food. Keduanya memproduksi dan mengontrol 50% perdagangan pisang dunia. Di
luar itu, Cargill dan Archer Daniels Midland menguasai 80% distribusi gandum dunia; 3
TNC menguasai 83% perdagangan kakao; 3 TNC menguasai 85% perdagangan the; 5
TNC (Philips Morris, BAT, RJR Nabisco, Rothmans dan Jaoang Tobacco) menguasai
70% produksi tembakau; 7 TNC menguasai 83% produksi dan perdagangan gula;
Monsanto, Syentega, AstraZeneca dan Novartis menguasai hampir 2/3 pasar global
pestisida, penjualan global bibit (termasuk patennya) dan menguasai 100% pasar
global bibit transgenik. TNC-TNC ini menguasai 70% perdagangan pertanian dunia5.
Daftar ini bisa disusun demikian panjang. Namun, satu hal yang pasti, dari
berbagai studi cukup untuk menunjukkan bahwa faktanya lebih mudah bagi corporate
untuk mengkonsolidasikan kepentingannya ketimbang konsumen. Studi CAFOD6 di
tahun 1998 (Catholic Agency for Overseas Development) di Burkino Paso menyimpulkan
bahwa kontrol jaringan pasar yang sangat kuat dari para perusahaan multinasional
mengakibatkan tidak jelasnya hubungan antara harga global dan harga konsumen.
Para TNC, sesuai kemampuannya yang besar dan cakupannya yang melampaui
batas-batas negara, secara rasional ia akan mencari bahan baku yang paling murah dan
menjual hasil olahannya di pasar yang memberikan keuntungan yang paling banyak.
Karena pada dasarnya tujuan setiap institusi perusahaan adalah mencari keuntungan. Dari
bisnis pangan dari hulu ke hilir ini TNC menangguk keuntungan luar biasa besar. Data
menunjukkan bahwa kekuatan perusahaan multinasional ini bisa melebihi kekuatan
ekonomi suatu negara. Tony Clarke, seorang akademisi dan aktivis di Kanada, dalam

buku kumpulan tulisannya The Case Against the Global Economy (2001) menyebutkan
dari 100 institusi dunia yang paling kaya, termasuk negara, 52 institusi terkaya itu adalah
TNC, dan sekitar 70% dari perdagangan global dikontrol oleh hanya 500 perusahaan.
Sebagai ilustrasi, total penerimaan Mitsubishi ternyata jauh lebih besar dari GDP
(Gross Domestic Product) Indonesia; pendapatan Ford melebihi GDP Afrika Selatan; dan
pendapatan Dutch Shell melebihi GDP Norwegia7. Pendapatan perusahaan-perusahaan
multinasional yang bergerak di bidang makanan dan minuman sangatlah besar, misalnya:
Philip Morris US$ 53.2 milyar, Cargill US$ 50 milyar; Nestle US$ 40.2 milyar;
Pepsicola US$ 28.4 milyar; Unilever US$ 26.1 milyar; Coca Cola US$ 23.8 milyar;
Conagra US$ 23.5 milyar; RJB Nabisco US$ 15.3 milyar; dan Danone (BSN) US$ 12.8
milyar.
Dengan kekuatannya itu, TNC bisa mendikte kebijakan negara di mana ia tinggal,
lewat lobi partai dan penguasa. Chiquita, pada 1997 nyogok lebih US$ 0,5 juta untuk
kampanye Partai Republik maupun Partai Demokrat di AS. Karena kuatnya lobi, koalisi
TNC bisa menaikkan sumbangan politisnya ke Partai Republik yang berkuasa, dari US$
37 juta (1992) jadi US$ 53 juta (2002). Kini 72% pundi partai itu dipasok TNC
agrobisnis8. Sebagai imbalannya, Presiden AS, George W Bush, pada 2002 antara lain-meneken Farm Bill senilai US$ 180 milyar untuk 10 tahun ke depan. Perkembangan
benih transgenik di AS oleh dua TNC raksasa, Du Pont dan Monsanto, juga tak lepas dari
peran Departemen Pertanian AS (USDA). Bahkan, dalam forum-forum perundingan
penting, Cargill dan Monsanto punya pengaruh besar. Seorang eksekutif Cargill telah
memimpin Tim Negosiasi Hayati (biosafety protocol) di Cartagena, sementara Mickey
Cantor, bekas ketua USTR (kantor perdagangan AS), duduk dalam board Monsanto9.
Dengan posisi strategis seperti itu, para TNC agrobisnis akan mudah memasukkan
kepentingannya lewat pemerintah AS, pemegang saham terbesar (18%) di IMF.
Kalau negara-negara kaya dan TNC memetik keuntungan besar dari ekonomi dunia
yang dijalankan di atas roda neoliberalisme, sebaliknya negara-negara berkembang dan
petani miskin jadi korban. Salah satu indikator apakah negara-negara berkembang
beruntung dari globalisasi dapat dilihat dari perkembangan harga-harga komoditas
pertanian primer di pasar dunia. Data menunjukkan bahwa harga gula pada tahun 1960
adalah US $ 0.33/kg, pada tahun 2000 menjadi US$ 0.18/kg; harga minyak sawit pada
tahun 1960 US$ 1102/ton, pada tahun 2000 menjadi US$ 307/ton; harga kopi robusta
pada tahun 1960 US$ 2.70/kg, pada tahun 2000 menjadi US$ 0.90/kg. Hampir semua
komoditas pertanian harganya menurun sehingga kita mendapatkan indeks pertanian pada
tahun 1960 sebesar 208 dan turun menjadi 87 pada tahun 200010. Artinya, pendapatan
petani menurun, sehingga tingkat hidupnya semakin susah. Di sisi lain, harga-harga yang
dibayar oleh konsumen untuk produk hasil olahan, harga-harga dari komoditas tersebut
pada umumnya terus meningkat, atau paling tidak, berada dalam trend harga riil yang
stabil. Jadi, neoliberalisme tidak hanya merugikan petani, tetapi juga konsumen.
Adalah benar perkembangan mutakhir itu diikuti oleh melimpahnya ketersediaan
pangan dunia. Secara teoritis, produksi pangan mampu memberikan makan pada 12
milyar manusia, dua kali dari penduduk dunia saat ini. Namun, karena pangan sebagian
besar dikuasai negara-negara kaya, meskipun pangan melimpah, kelaparan masih jadi
musuh dunia. Ikhtiar dunia untuk mengatasi kelaparan global tidak mengalami kemajuan

berarti. Pada 2002, sebanyak 815 juta manusia di negara berkembang masih menghadapi
kelaparan, 300 juta di antaranya adalah anak-anak. Dalam konferensi menjelang Sidang
Majelis Umum ke-60 PBB di New York, 21 September 2004, terungkap jumlah mereka
yang kelaparan meningkat jadi satu miliar manusia11. Data-data FAO kian memiriskan: 1
dari 5 penduduk dunia kekurangan gizi. Sekitar 777 juta orang mengalami kelangkaan
pangan, yang tinggal selangkah lagi masuk kategori menderita kelaparan12. Penyebab
besarnya jumlah orang lapar dan penduduk miskin di dunia, seperti disebut Direktur
Jenderal FAO, Diouf, karena ketidakadilan pasar global komoditas pertanian.
Studi Oxfam13 menyebutkan subsidilah merupakan faktor pendorong peningkatan
produksi terpenting di negara maju. Petani Amerika dan Uni Eropa (UE) menerima
subsidi rata-rata sebesar US$21,000 dan US$16,000 per tahun. Petani apel Amerika
menerima US$100 juta per tahun sebagai kompensasi atas kehilangan yang mereka
rasakan di dalam proses pemasaran. Harga jual produk kemudian tidak lagi mengacu
kepada biaya produksi14. Harga eksport gandum mereka masing-masing hanya 46% dan
34% di bawah biaya produksi, dan mereka menguasai separuh dari eksport gandum
dunia. Amerika menguasai sekitar separuh dari ekspor jagung yang dijual dengan harga
seperlima di bawah harga produksi. UE merupakan eksporter terbesar skimmed-milk
powder dan white sugar yang dieksport pada harga separuh dan seperempat dari harga
produksi. Jadi, harga di pasar dunia bukanlah harga sebenarnya yang jika dibuang ke
pasar akan menjatuhkan harga yang dampak lanjutannya adalah mematikan petani negara
berkembang yang tidak mendapat subsidi (langsung maupun tidak langsung). Menurut
studi Oxfam, regio Amerika Latin merupakan yang paling mendapat dampak terburuk.
Hanya karena kebijakan pertanian UE regio ini kehilangan US$ 4 milyar per tahun.
Dampak paling dramatis, baik dalam skala penciptaan kedalaman kemiskinan
maupun dalam penghancuran lingkungan hidup, karena sektor pertanian lokal dipaksa
merubah model pertanian yang terdiversifikasi dalam skala kecil menuju model ekspor
industrial. Semula, petani menanam bahan makanan pokok dari benih varietas lokal
untuk keperluan pangan keluarga dan komunitasnya. Mereka mengembangkan berbagai
praktik membuat pupuk buatan, penangkaran bibit, sistem tanam bergilir dan pengelolaan
hama dan penyakit secara alami. Dengan praktik tradisional itu, sejarah membuktikan
mereka mampu membangun sistem pangan yang handal tanpa kekurangan selama
beratus-ratus tahun, sampai Bank Dunia, IMF dan WTO menginvasi hidup mereka.
Kini, sistem pertanian mereka berganti pertanian industrial berskala besar dengan
orientasi ekspor. Masuknya kepentingan ekonomi dalam ekosistem pertanian, membuat
relasi intim petani dengan alam sekitarnya terusik. Kegiatan pertanian pada akhirnya
bergeser jadi salah satu dari banyak mata rantai ekonomi. Akhirnya, kepentingan dunia
usaha, perorangan dan korporasi (TNC), secara intensif menginvasi ekosistem pertanian.
Invasi kepentingan ekonomi global secara signifikan telah mengganggu hubungan antara
petani dan keragaman hayati, bahkan mereduksi keragaman hayati. Di bawah pendiktean
TNC, saat ini budidaya pertanian global hanya menumpukan harapan pangan pada
beberapa jenis biji-bijian saja, terutama gandum, beras dan jagung15. Lebih menyedihkan
lagi, reduksi keragaman hayati biasanya serta-merta diikuti punahnya pengetahuan lokal.
Akibatnya, petani semakin tergantung pada paket teknologi (benih, pupuk, pestisida
dan paten) yang disediakan secara monopolis oleh segelintir pemain agroindustri TNC.
Ini akan membuat ketahanan pangan rumah tangga, komunitas, masyarakat dan bahkan
suatu negara, menjadi sangat rentan dan rapuh, tidak terkecuali bagi Indonesia.

Kehancuran Pertanian (Pangan) Indonesia


Cukup-tidaknya dan kurang-lebihnya ketersediaan pangan di suatu negara sangat
ditentukan oleh kebijakan yang dianutnya. Wujud kebijakan itu juga akan mencerminkan
sejauh mana sebuah negara menempatkan sumberdaya domestik (lahan, pengetahuan, dll)
yang dimilikinya. Ketika sebuah kebijakan dirakit dengan mengabaikan, apalagi sengaja
menyingkirkan, sumberdaya domestik yang dipunyai, dipastikan sumberdaya domestik
tersebut akan terabaikan. Dan bukan mustahil, pelan-pelan akan menuju pada sebuah
kepunahan. Sebaliknya, apabila kebijakan sebuah negara dirakit dengan menempatkan
sumberdaya domestik pada prioritas pertama dan utama, bisa dipastikan sumberdaya
domestik yang unik tersebut akan terus berkembang, bahkan akan tetap lestari.
Setelah hampir tiga dasawarsa berbagai pangan utama (beras, jagung, kedele,
gandum, gula dan minyak goreng) berada di bawah penguasaan Bulog, atas desakkan
Dana Moneter Internasional (IMF), tiba-tiba semua pangan itu harus dilepas ke pasar
terhitung September 1998. Komitmen dengan WTO untuk meliberalisasi pasar secara
bertahap mengalami percepatan luar biasa17. Apa yang terjadi kemudian? Karena nyaris
tidak persiapan dan tidak ada hambatan, pasar domestik kebanjiran pangan impor. Saat
itu (1998), pasar Indonesia diserbu beras impor sampai 7,1 juta ton --impor terbesar
sepanjang sejarah swasembada beras tahun 1984. Pasar domestik juga dibanjiri gula dan
buah-buahan Thailand, paha ayam dan kedele transgenik Amerika, daging sapi Australia,
dan masih banyak lagi. Sejak kran impor dibuka lebar itu, berbagai produk makanan
dengan mudah masuk secara ilegal dengan beragam modus. Akibat derasnya gempuran
pangan impor itu, harga pangan domestik yang dihasilkan petani jadi tertekan.
Sejauh ini, Indonesia tergolong rajin meratifikasi aturan-aturan WTO. Sebagai
negara merdeka, atas inisiatif sendiri, Indonesia meratifikasi WTO melalui UU Nomor
7/1994. Seperti negara berkembang lainnya, Indonesia berharap bahwa liberalisasi
perdagangan dalam WTO dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga bisa
membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Sayangnya, ratifikasi dilakukan tanpa kajian
mendasar akan manfaat berikut risikonya, tentang hak dan kewajibannya, serta tanpa
mempersiapkan sumber daya manusianya18. Akibatnya, tidak saja koordinasi kebijakan
nasional tak utuh, ketika berunding di putaran-putaran perundingan WTO posisi delegasi
Indonesia jadi tidak jelas. Salah satu wujudnya terlihat pada perang antara Menteri
Pertanian vs Menteri Perindustrian dan Perdagangan menyikapi kasus paha ayam import
asal AS pada 2002. Padahal, sejak tahun 2000 impor ayam tidak utuh sudah dilarang.
Sejak Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) WTO diberlakukan
Januari 1995, Indonesia punya waktu sampai tahun 2004 untuk mengkaji dampak AoA
pada sektor pertanian. Tapi studi dampak implementasi AoA itu belum pernah dilakukan.
Padahal survei FAO atas implementasi AoA periode 1995-1998 di 14 negara berkembang
menunjukkan: terjadi percepatan kenaikan import pangan, terutama produk ternak dan
daging; sebaliknya tidak terjadi kenaikan eksport pertanian secara menyeluruh19. Di
dalam negeri, studi semacam ini pernah dilakukan oleh PAN-Indonesia bekerja sama
APRN dan INFID20. Seperti survei FAO, studi ini mengungkap hasil, antara lain, terjadi
perluasan pasar pangan (ditandai perubahan status Indonesia jadi importir beras);
pencabutan subsidi (input-input pertanian, seperti pupuk, benih maupun pestisida);

menghapus berbagai privillege pada pada badan penyangga, pengadaan dan stabilisator
pangan pokok (seperti Bulog), dan penggerusan kekayaan hayati. Sampai sekarang tidak
jelas apakah proyeksi studi ini benar, dan jika benar, bagaimana cara mengatasinya?
Nilai Import dan Eksport Beberapa Komoditas Pangan Indonesia

Sebelum (1984-1994) dan Setelah (1995-2000) Rejim AoA (dalam US$)


No Komoditas
Tahun
Nilai Import
Nilai Eksport
1. Beras
1984648.018.000
1994
216.010.000
19954.268.200.000
2000
3.264.000
2. Gula
1984646.063.000
1994
613.000
19952.311.474.000
2000
10.169.000
3. Kedele
19841.579.672.000
1994
2.201.000
19951.314.782.000
2000
281.000
4. Bawang
198413.989.000
Merah
1994
57.000
199521.786.000
2000
64.000
5. Daging
19846.887.000
Ayam
1994
6.955.000
199517.900.000
2000
12.002.000
6. Telur Ayam
19841.719.000
1994
2.062.000
199521.672.000
2000
1.264.000
7. Pisang
198441.000
1994
10.038.000
1995528.000
2000
66.737.000
8. Mangga
198435.000
1994
4.845.000
1995397.000
2000
2.847.000
9. Produk
198418.557.124.000
Pertanian
1994
34.309.262.000
Pangan
199527.420.381.000
Umum
2000
32.624.696.000
Sumber: Bonnie Setiawan, 2003.
Berdasarkan data import dan eksport pertanian, terlihat bahwa setelah rejim
AoA berlaku, terjadi pergeseran basis produksi pangan21: dari dalam negeri kini
bertumpu pada import22 (lihat tabel). Pertanian sebagai basis sumber penghidupan
jutaan petani pun terancam. Ini terlihat pada besarnya nilai impor komoditas pangan
pokok seperti beras, gula dan telur ayam. Satu dekade sebelum berlaku AoA, import
beras dan gula masing-masing hanya US$ 648 juta dan US$ 646 juta, tapi 6 tahun
setelahnya (2000) melonjak menjadi US$ 4,3 miliar (naik 664%) dan US$ 2,3 miliar

(356%). Hal yang sama terjadi pada bawang merah (naik 150%), daging dan telur
ayam, dan buah-buahan. Yang menyedihkan, eksport tidak meningkat, bahkan
secara agregat cenderung merosot drastis. Sebaliknya, import justru naik23. Jika
trend ini terus berlanjut, tidak saja mengancam pendapatan petani, tapi juga
menghancurkan basis produksi pangan domestik. Pada gilirannya, ini akan
menciptakan ketergantungan secara struktural pada pangan import.
Bukti-bukti empiris setelah penerapan AoA WTO plus structural adjustment IMF
di Indonesia menunjukkan hampir semua eksport komoditas pertanian merosot24.
Nilai ekspor karet turun 16% per tahun (periode 1998-2000 dibandingkan periode
1994-1996). Teh, kopi dan hasil tanaman untuk bumbu turun 5% per tahun, minyak
nabati/hewani merosot 8% per tahun. Seluruh nilai ekspor komoditas pertanian
merosot hampir 2% per tahun. Dalam periode yang sama, pertumbuhan sektor
pertanian menurun sebesar 2,3% per tahun, sementara sub-sektor pangan merosot
0,5% per tahun. Akibatnya, sejak tahun 1994 Indonesia telah beralih dari net food
exporter country menjadi net food importer country. Untuk negara berkembang
dengan jumlah penduduk yang besar, nasib semacam ini hanya dialami Indonesia,
sementara di India dan Cina justru tidak terjadi.
Hampir semua produktivitas komoditas pangan menurun atau stagnan. Tingkat
Ketergantungan Impor (TKI) meledak hampir dua kali setelah tahun 1998. Angka
rata-rata TKI per tahun periode 1998-2002 untuk beras, jagung, gula, dan kedelai
masing-masing 10%, 20%, 50%, dan 55%. Tahun 2002, impor gandum di urutan 6
terbesar dari 10 komoditas impor Indonesia, lainnya berupa barang modal, bahan
baku kimia dan sebagainya. Ini terjadi karena Indonesia membuka pasar pangan
domestik secara radikal. Demikian juga bantuan/subsidi kepada petani dipangkas
habis. Padahal, negara-negara maju seperti UE, AS, Kanada, Swiss, Norwegia dan
yang lain, melakukan sebaliknya. Pada tahun 2003, sekitar 83% jenis produk yang
masuk ke Indonesia dikenakan applied tariff 0-10%; 15% produk jatuh pada tingkat
applied tariff antara 15-20%, dan hanya 1% produk menerapkan applied tariff di
atas 30%. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara berkembang yang paling
liberal di dunia. Dibandingkan Cina dan India, Indonesia memang tergolong paling
rajin dan paling mudah membuka pasar domestiknya.
Mempertanyakan Kedaulatan
Pertanyaannya, apakah Indonesia berdaulat dalam bidang pangan? Kedaulatan
pangan (food sovereignty) didefinisikan sebagai hak setiap orang, masyarakat dan
negara untuk mengakses dan mengontrol berbagai sumberdaya produktif serta
menentukan dan mengendalikan sistem (produksi, distribusi dan konsumsi) pangan
mereka sendiri sesuai kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya khas masingmasing25. Merujuk definisi itu, sebetulnya sudah lama kita tidak berdaulat di bidang
pangan. Melalui Revolusi Hijau --yang dipromosikan kaum kapitalis dan Yayasan
Rockefeller lewat Consultative Group on International Agricultural Research
(CGIAR)26Indonesia bisa meraih swasembada beras pada 1984. Tapi prestasi itu
harus dibayar mahal: tergusurnya aneka sistem pangan lokal berikut derivatderivatnya. Lebih dari tiga dasawarsa, tradisi pertanian kita cuma satu warna. Tradisi
pertanian dan makan yang warna-warni, yang handal dan berbasis lokal, telah
digiring ke satu pikiran: monokultur. Ke-bhinneka-an pangan yang beratus-ratus
tahun terbukti mampu memberi kehidupan tinggal cerita. Riset tahun 1990 masih
menemukan pola pangan minoritas, beras-ubi-sagu-jagung, tapi semuanya
berpeluang menyusut27. Kini, 95% dari 217 juta mulut warga Indonesia bergantung
pada beras.

Pada 2035 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan sebanyak 400 juta. Pada
saat itu, kebutuhan berbagai jenis pangan setiap tahunnya diperkirakan sebagai
berikut:
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kebutuhan Berbagai Jenis Pangan Indonesia Tahun 2035


Konsumsi/Kapita/Tahun Kebutuhan
Produksi Kenaikan
Thn 2035
Thn 2001
Beras 90 kg (turun dr 135 kg) 36 juta ton 29 juta ton
25%
Daging
15 kg (naik 2 x)
6 juta ton 2,2 juta ton
3 kali
Telur
90 butir (naik 3 x)
36 milyar
12,6 milyar 3 kali
butir
butir
Susu
12 liter
4,8 milyar
1,2 milyar
4 kali
liter
butir
Gula
25 kg
10 juta ton 1,9 juta ton
5 kali
Ayam
8 kg
3,2 juta ton 750 ribu ton 4 kali
Jenis

Sumber: Siswono Yudho Husodo, Membangun Kemandirian di Bidang Pangan: Suatu


Kebutuhan Bagi Indonesia, Artikel Tahun II No. 6, September 2003,
www.ekonomirakyat.com
Untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan di atas, jelas bukan perkara mudah.
Kita bisa belajar dari negara-negara maju. Meskipun jumlah petani kecil, dan
kontribusi pertanian terhadap PDB makin menurun, perhatian negara-negara ke
sektor pertanian tidak surut. Berbagai upaya dilakukan, termasuk mempertahankan
subsidi. Bagi negara-negara ini, subsidi sesungguhnya bukan semata-mata untuk
meringankan beban hidup rakyat atau petani, tapi lebih substansial dari itu,
terutama untuk melindungi kedaulatan negara dari ketergantungan yang berlebihan
terhadap negara lain. Bagi negara-negara ini, pangan tidak dipandang sebagai
barang privat, tetapi sebagai komoditas politik dan strategis. Karena posisinya yang
demikian strategis, bagi stabilitas sebuah negara, pangan amat menentukan hidupmatinya bangsa. Karena pangan, dengan fungsi-fungsi yang melekat padanya, bisa
berubah menjadi senjata mematikan, tidak kalah dengan peluru.
Contohnya, berulangkali pemerintah AS memakai pangan sebagai senjata
ampuh untuk menekan negara-negara yang tidak sejalan dengan garis politiknya.
Jepang telah merasakan embargo kedele pada tahun 1974. Negara besar Rusia bisa
tercerai berai manakala eksport gandum dihentikan. Padahal, Rusia unggul di bidang
senjata, militer, dan politik. Tetapi Rusia amat lemah di bidang pangan, karena
sebagian besar keperluan gandum diimport terutama dari AS. Sejumlah negara
seperti Libya, Iran dan Irak sudah merasakan bagaimana mereka dibuat tidak
berdaya oleh berbagai embargo AS, termasuk embargo pangan. Mereka lumpuh
walau kaya minyak. Dilaporkan bahwa rakyat ketiga negara tersebut telah menderita
kekurangan gizi terutama anak-anak balita dan ibu hamil. Indonesia bisa saja
mengalami nasib seperti yang Libya, Iran, Irak, Jepang atau Rusia, karena secara riil
posisi kita saat ini sudah berada dalam terjebak pangan (food trap).
Tantangan untuk bisa memenuhi kebutuhan berbagai jenis pangan pada 2035
amat berat.
Pertama, kebijakan pemerintah cenderung suka memanen pangan di pasar
dari pada memanen pangan di lahan sendiri. Kebijakan ketahanan pangan
domestik lebih ditumpukan pada pasar, bukan lahan. Kondisi demikian
mengakibatkan semakin tidak efisiennya sistem produksi pangan dalam negeri, yang
pada gilirannya nanti akan menyebabkan tidak terpakainya sarana dan prasarana
produksi selama beberapa masa siklus produksi. Ini akan membuat kemandekan

produksi dalam negeri. Dalam jangka panjang, hal ini akan menyebabkan
tersingkirnya produk pangan dan budaya pangan asli (indigenous) Indonesia yang
sudah teruji. Potensi produksi pangan asli menjadi tidak atau kurang terurus,
keragaman sumberdaya bahan, kelembagaan dan budaya pangan lokal menjadi
terabaikan, dan tragisnya beberapa di antaranya bahkan terkuras keluar.
Kedua, basis produksi pangan kita mengalami deteriorasi dan ancaman serius.
Produksi beras, jagung, gula dan kedele selama ini ditumpukan pada lahan sawah,
baik yang beririgasi, tadah hujan maupun tegalan. Dalam hal beras, kita patut
berbangga, karena semua teknologi yang ada di dunia hampir semua sudah
diterapkan dan diadopsi oleh petani kita. Itulah yang membuat usahatani padi petani
Indonesia menjadi terefisien di Asia Tenggara dan paling produktif se-Asia. Setelah
sekian lama tak mampu memenuhi kebutuhan domestik, tahun 2004 kita kembali
berswasembada beras. Menurut data BPS, produksi padi nasional mencapai 54,34
juta ton gabah kering giling (GKG) ekuivalen dengan 34 juta ton beras (naik 4,23%
ketimbang tahun 2003). Artinya, kita surplus 2 juta ton beras. Kenaikan produksi kali
ini dikarenakan oleh kenaikan luas panen di Jawa dan di luar Jawa (lahan rawa lebak,
hutan kemasyarakatan, dll), dari 11,49 juta hektar pada 2003 jadi 11,97 juta hektar
pada 2004. Kontribusi peningkatan produktivitas (45,5 kwintal GKG/hektar) terhadap
produksi nasional tidak begitu signifikan, hanya naik 0,04% ketimbang tahun 2003.
Peningkatan produktivitas terjadi di luar pulau Jawa, sementara di Jawa justru
menurun (-0,88%). Kenyataan ini perlu diwaspadai oleh para pemangku kebijakan.
Informasi penurunan produktivitas di Jawa semakin meneguhkan kenyataan bahwa
peluang menggenjot produksi sawah di Jawa semakin sempit. Dari sisi usahatani,
efisiensi lahan sawah utama Indonesia, terutama di Jawa, sudah mendekati jenuh
dan keletihan (soil fatique). Padahal, 60% produksi padi bertumpu pada sawah di
Jawa yang setiap saat tergerogoti oleh kepentingan industri, perumahan, dan kantor.
Sekitar 80% produksi pangan, terutama padi, berasal dari sawah beririgasi.
Kontinuitas produksi pangan mudah sekali terguncang, setidaknya, oleh tiga hal28.
Pertama, luas areal pertanian (jaringan irigasi) yang rusak karena banjir atau
bencana alam lainnya rata-rata mencapai 100.000 ha/tahun dan tahun 2002
mencapai 172.000 ha. Kedua, terjadinya konversi lahan irigasi menjadi peruntukkan
lain dengan laju rata-rata seluas 15.000-20.000 ha/tahun. Ketiga, daerah irigasi
yang penyediaan airnya lebih dapat dijamin keandalannya melalui waduk hanya
seluas 719.000 ha (8% dari jaringan irigasi yang ada). Sedangkan sebagian besar
lainnya berasal dari run-off river flow, yang sangat rentan keberlanjutannya karena
tergantung kepada besar-kecilnya aliran air di sungai.
Ketiga, mustahil menumpukan produksi pangan pada petani yang gurem dan miskin.
Kemiskinan petani tercipta karena petani dan pertanian di Indonesia dipaksa
memikul beban industrialisasi. Lewat politik pangan murah untuk menjaga stabilitas
upah buruh, surplus pertanian mengalir ke sektor industri. Makanya, prestasi
swasembada beras misalnya, tidak linear dengan kesejahteraan petani. Riset Survei
Agro Ekonomi menemukan, justru di saat produksi mencapai titik puncak, jumlah
petani gurem kian meningkat, dari 50,99% (1983) jadi 51,63% (1993), dan
berdasarkan sensus tahun 2003 terjadi peningkatan 2,6% per tahun. Prestasi
swasembada tahun 2004 dan rendahnya inflasi rentang 2003-2004 juga diiringi
menurunnya nilai tukar pertani (NTP), dari 105,75 pada Juli menjadi 103,99 pada
Agustus 200429. Petani telah jadi tumbal perekonomian.
Perkembangan Rumah Tangga Petani dari Dua Sensus Pertanian
Uraian
Sensus
Sensus
Kenaikan
1993 (juta) 2003 (juta)

Jumlah
Rumah
Tangga Petani
Jumlah
Petani
Gurem
Porsi
Petani
Gurem
Porsi
Petani
Gurem di Jawa

20,8

25,4

2,2%/tahun

10,8

13,7

2,6%/tahun

52,7%

56,5%

69,8%

74,9%

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2004.


Tahun 2002, dari 38,4 juta orang miskin di Indonesia, 65,4% di antaranya
berada di pedesaan dan 53,9% adalah petani. Pada 2003, dari 24,3 juta rumah
tangga petani berbasis lahan (land base farmers), 20,1 juta (82,7%) di antaranya
dapat dikatagorikan miskin. Data-data itu menggambarkan dua hal: sebagian besar
petani adalah miskin, dan sebagian besar orang miskin adalah petani. Jumlah rumah
tangga miskin yang demikian besar ini tidak bisa dipandang sebagai sebuah insiden.
Jumlah yang melebihi seluruh penduduk Malaysia plus Singapura dan Brunei
Darussalam itu harus dipandang sebagai sesuatu yang bersifat struktural dan perlu
langkah-langkah radikal guna mengatasinya.
Epilog
Tahun 2005 ini kemerdekaan telah berusia 60 tahun. Dengan asumsi ekonomi
tumbuh 5% per tahun, untuk mencapai taraf hidup seperti Malaysia, Thailand, Korea
Selatan, dan Jepang pada tahun 2002, kita memerlukan waktu 24, 15, 39, dan 57
tahun30. Gambaran ini menunjukkan betapa tertinggalnya kita. Padahal, pada 1957
dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Korea Selatan, bahkan dengan Jepang
sekalipun, kondisi kita tak jauh beda. Ketimpangan pendapatan antarnegara belum
separah sekarang. Saat itu, pendapatan per kapita Jepang hanya 2,3 kali Indonesia.
Tapi pada 2002, rasionya jadi 47,2 kali. Jika kita menengok Malaysia dan Thailand,
ekonominya masih bergantung pada pertanian. Bagi Indonesia, posisi dan fungsi
pertanian tetap strategis. Artinya, tidak banyak pilihan untuk membangun
perekonomian Indonesia, kecuali melalui pertanian.
Malaysia, Thailand, Korea Selatan dan Jepang, bahkan AS dan negara-negara Uni
Eropa bisa mencapai taraf ekonomi seperti sekarang bermula dari keseriusan mereka
membangun pertanian. Mereka konsisten membangun sektor pertanian untuk
dijadikan dasar melompat jadi negara industri. Mengapa pertanian sebuah negara
tertinggal, meski diakui keberadaannya cukup penting? Jawabannya sederhana:
karena negara selain lalai akan pentingnya pertanian, juga sering salah urus, bahkan
menghisap dan mempersulit pertanian. Ibarat tubuh, pertanian adalah jantung,
organ penting manusia. Kemiskinan petani, meruyaknya busung lapar dan kurang
gizi, rapuhnya ketahanan pangan, dan terpinggirnya sektor pertanian yang
berlangsung di negara kita karena jantung-nya negara itu tidak dijaga dan tidak
dipelihara, tetapi sebaliknya, justru dibuat merana31.
Di desa-desa, masih bisa kita saksikan sekelompok ayam kampung: induk
dan anak-anaknya. Dengan cakar dan patuk sebagai teknologi adaptif, sang induk
mengais tanah atau seresah daun untuk menemukan makanan. Begitu ketemu
cacing atau makanan sisa, dengan riang anak ayam berlarian menuju suara induk
yang memanggilnya. Mereka memang bukan sekadar sekelompok ayam. Mereka
adalah contoh kongkret sebuah institusi kehidupan. Mereka bisa mandiri, beranak-

pinak, dan (tentu saja) sejahtera --jika tidak diusik oleh manusia. Kalau sekarang
bangsa ini tidak bisa memberi makanan yang cukup, aman, dan sehat kepada anakanaknya, sehingga muncul busung lapar di mana-mana, bukankah kita kalah dari
bangsa ayam kampung? Kalau kita menggantungkan diri pada pihak lain, bukankah
kita sama dengan karakter ayam broiler? Dicukupi segala kebutuhan hidup untuk
satu tujuan: disembelih, untuk dimakan atau ditukar dengan uang.
Bagi Indonesia, dengan segenap potensi yang ada (lahan, kekayaan hayati,
local knowledge, dan yang lain), tidak ada alasan untuk tidak berdaulat dalam
pangan. Kopi, teh, lada, tebu, kelapa sawit, kecipir, sagu, dan seterusnya, sebagai
tanaman tropis tidak mungkin dikembangkan di daerah temperate kecuali dengan
biaya yang tinggi. Tinggal bagaimana kita bisa memanfaatkan segenap keunggulan
daya saing, bukan hanya alasan comparative advantage ala Michael E. Porter tapi
karena berbagai keunikan yang tidak ditemukan di belahan negara lain, itu untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pada titik inilah, prioritas pembangunan dan
kemana rajutan kebijakan berpihak, jadi krusial.
Pertama, dalam konteks lingkungan alam, petani memerlukan perlindungan atas
berbagai kemungkinan kerugian apabila terjadi bencana alam seperti kekeringan,
banjir, hama penyakit, dan bencana alam lainnya. Negara perlu memberi jaminan
hukum bahwa apabila itu terjadi petani tidak terlalu menderita. Salah satu caranya,
perlu UU yang mewajibkan pemerintah mengembangkan asuransi kerugian atu
kompensasi kerugian bagi petani atas dampak bencana alam atau hal yang sejenis.
Kedua, dalam lingkup lingkungan sosial-ekonomi, negara perlu menjamin bahwa
struktur pasar yang menjadi fondasi pertanian merupakan struktur pasar yang adil.
Ini harus dikembangkan tidak hanya untuk mengatasi masalah struktur pasar yang
tidak adil di dalam negeri, tapi juga penanganan struktur pasar internasional yang
tidak adil bagi negara-negara berkembang.
Ketiga, kebijakan pemerintah merupakan faktor penting di balik perilaku pasar
tersebut. Kebijakan itu dapat mempengaruhi permintaan dan penawaran suatu
produk pertanian. Misalnya, kebijakan pangan murah tanpa kompensasi buat petani,
tak hanya merugikan derajat kehidupan petani tapi juga menguras aset mereka,
sehingga terjadilah konversi lahan. Kebijakan infrastruktur yang bias perkotaan, juga
akan menyengsarakan petani dan pertanian. Beban pajak yang tinggi pada produk
pertanian plus nilai riil produk primer yang makin rendah, pasti akan membuat
petani menderita. Pada intinya, semua hal yang menambah biaya ekternal bagi
petani, menurunkan harga riil produk pertanian, dan struktur yang menghambat
kemajuan pertanian, perlu adanya landasan hukum yang kuat agar perlindungan
petani dapat dilaksanakan sebagai kewajiban dari negara.
Keempat, adanya tindakkan politik nyata untuk menjamin kepastian hukum atas
kepemilikan semua aset dan prasarana utama sistem produksi pangan lokal tetap
berada di tangan masyarakat lokal. Yang paling utama adalah lahan-lahan petanian,
sumber-sumber air, kawasan-kawasan hutan primer dan penyanggah, serta benihbenih pangan lokal. Dalam konteks ini, termasuk akses pada aset (baca: tanah) bagi
petani tunakisma. Kelima, adanya kemauan dan tindakkan politik nyata untuk
mengembalikan kendali utama sistem pangan ke tingkat lokal atau ke tingkat
terbawah yang paling mungkin. Ini untuk menjamin masyarakat lokal terutama
produsen pangan-- benar-benar berdaulat menentukan sistem (produksi, distribusi
dan konsumsi) pangan mereka sendiri.
Keenam, menjamin petani memperoleh akses yang adil dalam pendanaan dari bank.
Menjadi tugas negara untuk menciptakan akses permodalan/pembiayaan yang adil

kepada petani yang nyata-nyata terbukti jadi the real investors selama ini. Terakhir,
ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian yang amat penting untuk
mengatasi risiko ketidakpastian. Akses petani terhadap kedua hal itu juga kurang
mendapatkan perhatian. Berapa budget untuk riset dan pengembangan di bidang
pertanian? Total APBN bidang pertanian tahun 2004 hanyalah Rp 3,12 trilyun. Poinpoin di atas adalah hal-hal pokok yang perlu mendapatkan prioritas utama. Itu jika
kita tak ingin jadi bangsa ayam broiler.

http://jakarta.indymedia.org/newswire.php?story_id=143&print_page=true

Sudah Cukup WTO selama 10 tahun!


Dikirim oleh : Via Campesina
Pada tanggal : 16-04-2005, 01:18
internasional / globalisasi / press release

Press release 14 April 2005


Pada tanggal 17 April, Hari Perjuangan Petani Internasional, organisasi petani
anggota Via Campesina akan mengorganisir aksi-aksi melawan neoliberalisme di
seluruh dunia. Petani, buruh tani, perempuan pedesaan, komunitas-komunitas
local, dan rakyat-rakyat tanpa tanah akan bekerja bersama-sama dengan aliansi
kami dari lingkungan, kesehatan, solidaritas dan organisasi-organisasi akar
rumput lainnya untuk memberitahukan kepada public tentang konsekuensi
drastic/luar bias dari neoliberalisme.
Hasil-hasil yang membawa malapetaka selama 10 tahun dari kebijakan pertanian
dan perdagangan WTO yang didasarkan pada pertanian berorientasi ekspor
secara jelas telah menunjukkan bahwa hal tersebut menunjukkan suatu bukti
kegagalan. Kebijakan neoliberal ini telah membuat rakyat lebih tergantung
terhadap produk-produk impor dan telah memberikan keuntungan kepada
industri-industri pertanian (agro-industri). Begitu banyak contohh-contoh dari
berbagai Negara mendukung pernyataan ini. Tingkat pertumbuhan ekonomi
sebesar 5,5% di Amerika Latin tidaklah mendorong pengurangan kemiskinan di
kawasan tersebut. Sebagai contoh, Brasil semakin jatuh miskin sebagai akibat
peningkatan ekspor yang ditujukan untuk membayar hutang-hutang luar
negerinya. Kekuasaan dan uang semakin terkonsentrasi pada segelintir tangantangan tertentu. Perusahaan-perusahaan multi-nasional kelihatannya lebih
penting bagi WTO dibandingkan dengan seluruh rakyat dunia.
Selama beberapa bulan kedepan perjuangan melawan WTO dan perjanjianperjanjian perdagangan liberal akan menjadi perhatian utama. Via Campesina
menganggap perjanjian-perjanian menikuti resep yang sama dan
menggambarkan masalah yang sama : perdagangan bebas dan
neoliberalisme. Kami menginginkan suatu kebijakan mengatasi kelaparan yang
mendorong keberlanjutan produksi pangan berbasiskan petani.
Ada dua kecendrungan di dunia dan dua jalan yang dapat kita pilih : pada satu

sisi kita memiliki peperangan militer dan ekonomi, dan pada sisi lainnya adalah
solidaritas global. Via Campesina memilih solidaritas!. Kedaulatan Pangan
adalah suatu jalan alternative untuk menjamin keberlanjutan masa depan bagi
penduduk dunia. Setiap Negara, tidak ada masalah dengan konsisi cuaca atau
infrastruktur, harus memiliki kesempatan untuk menentukan kebijakan pertanian
nasionalnya sendiri guna pengaturan yang lebih baik dan memperkuat produksi
pangannya sendiri.. Bagi petani akses atas pasar-pasar internal atau local
adalah juah lebih penting dan kami menginginkan mengembangkan peluangpeluang bagi seluruh Negara untuk menyediakan makanan bagi rakyatnya
sendiri. Baik kebijakan nasional dan intertnasional harus didasarkan pada
kedaulatan pangan. Kampanye Kedaulatan Pangan Via Campesina akan terusmenerus menekankan pada masalah-masalah penting seperti pembaruan
agraria dan suatu pertanian yang bebas dari makhluk hidup hasi rekayasa
genetika (Genetically Modified Organisms GMOs)
Kita harus kembali menentukan pertanian dan akses atas pangan sebagai suatu
benda public dan berjuang untuk mempertinggi kemampuan kita untuk
memproduksi pangan dalam bentuk keberlanjutan pertanian berdasarkan petani
pada petani kecil. Kedaulatan Pangan merupakan kepentingan utama dari
seluruh rakyat : Kedaulatan Pangan adalah sebuah hak utama, seperti air,
pendidikan, dan kesehatan. Laporan PBB terbaru tentang Keadaan Lingkungan
Negara-negara di dunia* mendukung analisis Via Campesina, jika kita tidak
merubah arah sesegera mungkin, lingkungan kita, air dan sistem pangan akan
dihancurkan.
WTO keluar dari Pertanian merupakan suatu tuntutan bagi jutaan anggota Via
Campesina. Kami mengakui bahwa perjuangan tidak akan berakhir dalam
pertemuan-pertemuan non-demokratis di Geneva atau Hong Kong, namun
perjuangan tersebut akan menjadi salah satu medan pertempuran yang penting
bagi nilai-nilai suatu solidaritas, keadilan, demokrasi dan bagi lingkungan pada
masa yang akan datang.

http://www.fspi.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=38

Saatnya Menerapkan Kebijakan Kedaulatan Pangan (Memperingati


EPDF | Print |
Hari Pangan Dunia 16 Oktober)
mail

Thursday, 20 October 2005


Oleh: Tejo Pramono
Posta diterapkannya kenaikan harga BBM hingga 126% secara praktis kehidupan petani
memasuki kesulitan baru. Kesulitan yang paling dirasakan tentunya adalah dampak
kenaikan harga sarana produksi pertanian seperti pupuk, obat-obatan pertanian dan benih.
Tidak dapat disangkal akibat dari keberhasilan kebijakan revolusi hijau, petani telah lama
tergantung dari input produksi yang tidak mereka produksi sendiri. Dengan kenaikan
harga BBM, tentu saja harga sarana produksi tersebut akan naik, baik karena kenaikan
ditingkat industrinya ataupun distribusinya.
Selain kenaikan harga sarana produksi pertanian faktor lainnya yang bakal menguras uang
rumah tangga kaum tani adalah kenaikan harga secara umum dari barang kebutuhan mulai
dari pangan, transportasi, biaya sekolah anak-anak dan kesehatan. Keluarga buruh tani dan
petani gurem lah akhirnya yang paling menderita karena mereka adalah net consumer
pangan, karena mereka meskipun yang bekerja memproduksi pangan tetapi sebagai buruh
tidak memiliki hak atas hasil panennya. Oleh karena itu ancaman kelaparan bukan saja
mungkin terjadi, tetapi telah terjadi seperti pada musim busung lapar beberapa bulan
silam, dan sangat mungkin bakal terulang. Ditambah dengan kenaikan biaya sekolah dan
biaya berobat tentu saja jumlah penduduk miskin di pedesaan akan melonjak drastis.
Berkaitan dengan peringatan hari pangan sedunia yang jatuh pada tanggal 16 Oktober,
patut kiranya bagi kita untuk merefleksi situasi yang makin memburuk ini dengan
bijaksana. Dalam kaitan dengan hal tersebut penulis mengusulkan kepada pemerintah
untuk segera menerapkan kebijakan kedaulatan pangan (food sovereignty) sebagai
alternatif ketidakberhasilan sektor pangan selama ini dan menjawab meningkatnya beban
ekonomi para petani pada waktu mendatang.
Sebagai negeri agraris, karena memiliki lahan pertanian yang subur lengkap dengan
keanekaragamanhayatinya dan sebagian besar penduduknya adalah petani, pangan masih
memiliki peran ekonomi dan sosial yang sangat penting dan strategis. Tetapi peran
penting dan strategis tersebut selama ini selalu digerogoti (dieliminasi), bahkan setelah
krisis ekonomi 1997 hingga saat ini makin kuat eliminasinya. Pengeliminasian arti
penting pangan dan kaum tani tersebut terjadi, karena pemerintah lebih mendorong
perusahaan besar nasional ataupun asing melalui mekanisme pasar bebas untuk
memproduksi dan menjalankan ekonomi pangan.
Eliminasi pangan yang paling lama terjadi adalah ketika pemerintah melaksanakan
revolusi hijau di masa Orde Baru. Pada masa tersebut tersebut dengan dalih modernisasi
telah dikecilkan kesempatan bagi petani dalam menentukan jenis tanaman, menentukan
teknologi pertanian, hingga pelestarian benih. Atas nama peningkatan produksi beras
menjadi pilihan seragam untuk beraneka jenis tanah dan sifat agroklimat kepulauan
Indonesia. Teknologi pertanian pun dipaksakan untuk menggunakan jenis teknologi asing
yang mahal harganya, seperti pemakaian pupuk petrokimia, dan pemakaian pestisida
kimia. Sementara benih-benih yang bisa ditanam dirubah dari yang lokal dan diproduksi
petani sendiri menjadi yang diproduksi oleh perusahaan besar dan asing.

Penggerogotan makna penting dan strategis pangan dan petani posta krisis ekonomi makin
meningkat dengan semakin banyaknya perusahaan yang berinvestasi ke sektor pertanian
dan pangan. Perkembangan yang demikian ini mengakibatkan makin banyak lahan-lahan
usaha pertanian rakyat yang digantikan oleh perusahaan agribisnis besar. Sementara untuk
pangan, kegiatan industri kecil pangan di pedesaan mati dan digantikan oleh kehadiran
perusahaan agribisnis pangan yang besar dengan basis di perkotaan. Sementara atas
nasehat lembaga keuangan internasional pasar pangan dibuka lebar sehingga impor
pangan membanjir dan produk petani menjadi tidak bisa bersaing alias merugi.
Kondisi yang demikian ini bisa terjadi karena kebijakan pangan yang diatur dalam UU
Pangan No. 7 tahun 1996 dan rejim pangan pemerintah selama ini yaitu Ketahanan
Pangan memang memungkinkan hal tersebut terjadi. Baik UU Pangan dan Rejim
Ketahanan Pangan tidak mengatur mengenai bagaimana pangan harus diproduksi dan dari
mana pangan berasal.
Bila pemerintah masih berpikir dan bersikap business as usual dalam masalah pangan
setelah kenaikan harga BBM saat ini, atau bahkan meneruskan rencana Perum Bulog
untuk mengimpor beras ketika produksi nasional masih mencukupi. Maka, malapetaka
pangan yang mengerikan akan terjadi di Indonesia, yaitu meningkatnya jumlah orang
miskin dan penderita busung lapar, laju penjualan tanah makin marak sehingga
mendorong lahirnya buruh tani atau landless people, dan Indonesia menjadi importir
pangan terbesar di dunia.
Kedaulatan Pangan
Pada tahun 1996 ketika FAO mengadakan World Food Summit dan mengeluarkan
Deklarasi Roma mengenai Ketahanan Pangan (food security), organisasi dunia buruh tani
dan petani dunia La Via Campesina mengeluarkan konsep alternatif yang disebut
kedaulatan pangan (food sovereignty). Kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak
sebuah negara dan petani untuk menentukan kebijakan pangannya dengan
memprioritaskan produksi pangan lokal untuk kebutuhan sendiri, menjamin ketersediaan
tanah subur, air, benih, termasuk pembiayaan untuk para buruh tani dan petani kecil serta
melarang adanya praktek perdagangan pangan dengan cara dumping.
Hak menentukan kebijakan pangan sendiri yang dimaksud oleh kedaulatan pangan adalah
bahwasanya para buruh tani dan petani itu sendiri yang menentukan pemilihan cara
produksi, jenis teknologi, hubungan produksi, distribusi hingga menyangkut masalah
keamanan pangan. Karena itu melalui kedaulatan pangan semua jenis aktivitas produksi
pangan harus dikerjakan oleh para petani itu sendiri, sehingga yang dinamakan kedaulatan
pangan tersebut dimiliki oleh petani bukan oleh pengusaha.
Kenyataan yang dihadapi oleh pemerintah dengan meningkatnya harga BBM ini
sebenarnya pernah juga dialami oleh negara lain, bahkan dengan tingkat kesulitan yang
lebih besar. Tetapi dengan menerapkan kebijakan kedaulatan pangan, maka justru
kemajuan yang kemudian diperoleh oleh petani. Kuba adalah salah satu negara yang kerap
menjadi contoh bagaimana negara harus menghadapi embargo perdagangan dan kesulitan
BBM. Kuba bukan hanya mengalami kenaikan harga BBM, bahkan BBM tidak ada

karena pemasok utamanya Uni Soviet karena sedang jatuh setelah perang dingin.
Dalam situasi yang sulit demikian pemerintahan Fidel Castro, memutar haluan kebijakan
ekonomi dari orientasi ekspor menjadi pemenuhan kebutuhan sendiri, utamanya pangan.
Sistem ekonomi yang sangat tergantung pasar internasional sesungguhnya yang memuat
banyak negara berkembang mengalami banyak krisis ekonomi. Dan pembangunan pangan
pun dilakukan dengan menerapkan sistem pangan yang berdaulat seperti produksi pupuk
dilakukan sendiri oleh petani bukan oleh industri petrokimia, akibatnya semakin banyak
lapangan kerja tercipta di pedesaan untuk memproduksi sarana produksi pertanian.
Penggunaan hewan untuk mengolah lahan pun dilakukan sehingga kegiatan pertanian
tidak perlu mengkonsumsi BBM dengan menggunakan traktor. Adapun buah dari
penerapan pertanian organik, petani tidak perlu tergantung dengan pestisida, sementara
tingkat kesehatan rakyat meningkat dengan pesat karena pangan yang dikonsumsi dijamin
keamananya, tidak mengandung bahan kimia berbahaya, toksin, dan bahan karsinogenik.
Atas usaha yang demikian ini akhirnya Kuba merupakan salah satu negara di dunia
dengan umur harapan hidup tertinggi di dunia.
Bahkan Kuba yang sebelumnya menjadi salah satu eksportir besar gula di dunia, kini
tidak lagi menjadikan gula sebagai andalan perekonomian. Bahkan tanah-tanah
perkebunan tersebut dibagikan kepada para buruh tani melalui land reform, sehingga tiaptiap keluarga dapat bekerja dan kecukupan pangan. Kecukupan pangan tiap keluarga lebih
penting daripada ekspor pertanian dengan devisa yang besar, tetapi rakyat dan petani
kelaparan.
Rejim ketahanan pangan (food security) yang dijalankan di Indonesia selama ini sudah
terbukti tidak meningkatkan kesejahteraan petani, bahkan memunculkan kelaparan dan
kemiskinan. Karenanya menjalankan kedaulatan pangan (food sovereignty) seharusnya
menjadi pilihan bila pemerintah memang berkesungguhan untuk meningkatkan
kesejahteraan petani dan meletakan landasan ekonomi yang tepat untuk keluar krisis
ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai