Anda di halaman 1dari 3

SASTRAWAN LAKI-LAKI LEBIH BANYAK DIBANDINGKAN

PEREMPUAN
Hendrawan
Email : hendrawanhr09@gmail.com
Dalam khazanah sastra Indonesia, perempuan masih dianggap menempati urutan
minoritas dibanding laki-laki. Tentu hal ini juga terjadi dalam berbagai bidang seperti politik,
ekonomi, budaya, sampai lapangan sosial. Dalam beberapa buku yang memuat nama-nama
pengarang di Indonesia, perempuan tetap masih menduduki peringkat kedua. Buku Leksikon
Kesusastraan Indonesia Modern Edisi Baru (Djambatan, 1981) yang disusun Pamusuk
Eneste, dan buku Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000) yang disusun Korrie
Layun Rampan yang selama ini jadi buku acuan untuk mengetahui profil para pengarang
Indonesia, ternyata lebih banyak memuat nama para lelaki, dibanding menyebut nama
perempuan. Buku Angkatan 2000 karya Sastra Indonesia karya Korrie layun Rampan
(Grasindo, 2000) yang menghimpun 78 nama pengarang, hanya mencantumkan 17 nama
perempuan, dan selebihnya sebanyak 61 orang adalah nama lelaki.
Hal ini tak hanya terjadi di Indonesia, mungkin juga di dunia. Namun sebenarnya
perempuan pengarang dan penulis telah hadir sejak dulu. Novel modern pertama di dunia
Genji Monogatari2), ditulis tahun 1001 M di Jepang karya seorang perempuan bernama
Murasaki Shikibu (975-1015). Karya sastra Bugis La Galigo3) yang berbentuk puisi
(terpanjang di dunia, tebalnya 700 halaman, lebih tebal daripada Iliad, Odysea, Mahabarata
dan Ramayana), ditulis pada abad XIX dan dihimpun kembali di bawah pengayom seni
seorang perempuan, Siti Aisyah We Tenriolle.

Pada tahun 2012 terbit buku Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia yang
disusun oleh Kurniawan Junaedhie, menghimpun sekitar 800-an nama penulis perempuan
Indonesia dari berbagai genre, mulai dari penulis puisi, cerpen, esai, novel, sampai penulis
kuliner dan kisah perjalanan; sejak zaman Saadah Alim, perempuan kelahiran 1897 sampai
Sri Izzati, kelahiran 1995. Di dalamnya termuat pula perempuan pengarang dan penulis dari
kalangan Lekra dan Tionghoa, dua golongan pengarang yang sebelumnya tidak pernah
tercatat dalam sejarah (sastra) Indonesia. Ke 800-an perempuan itu ditujukan untuk
memperoleh gambaran secara lebih utuh dan bulat tentang kiprah perempuan pengarang dan
penulis Indonesia dari zaman ke zaman. Buku tersebut mengajak untuk melihat perempuan
penulis dengan kacamata yang lebih baru terhadap kiprah mereka di luar laki-laki yang
selama ini menjadi golongan mayoritas.
Dalam sejarah sastra Indonesia, tidak banyak pengarang perempuan dan karya-karya
yang dihasilkan. Pada periode atau angkatan Balai Pustaka hanya ada Hamidah yang menulis
Kehilangan Mestika yang terbit pada 1935. Nama lain dari Fatimah Hasan Delais ini
dilahirkan pada 8 Juni 1914 di Bangka (Palembang?) dan meninggal pada 8 Mei 1953
(Eneste, 1990:69). Sementara pada periode atau angakatan Pujangga Baru ada pengarang
perempuan bernama Selasih, Saleguri atau Sariamin. Perempuan yang lahir di Talu (Sumatera
Barat), 31 Juli 1909 ini mengenyam pendidikan guru dan pernah menjadi guru di Bengkulu
dan Bukit Tinggi.
Namun, jika dilihat dalam setiap periode sastra, peran yang dimainkan para sastrawan
tersebut lebih banyak didominasi oleh laki-laki. Penulis mencatat hanya sedikit perempuan
sastrawan yang hadir di setiap periode sastra yang telah ditulis. Lantas, di mana dan
bagaimana peran perempuan sastrawan dalam peta perkembangan sastra Indonesia dari awal
lahirnya sastra Indonesia sampai saat ini? Tulisan ini akan mencoba memotret peran dan

posisi perempuan sastrawan dalam konstelasi sastra Indonesia. Hal ini berkaitan dengan
mulai dominannya peran perempuan sastrawan dewasa ini dalam mengusung perubahan yang
signifikan dalam peta kesusastraan Indonesia, terutama orientasi estetis yang dilakukan oleh
para perempuan pengarang dalam awal abad XXI ini.
Dalam dunia kesusastraan, laki-laki lebih banyak menghasilkan karya sastra
dibandingkan dengan perempuan, karena perempuan mempunyai kendala yaitu :
1. Kebanyakan perempuan cepat menikah, sehingga perempuan hanya sibuk mengurus
urusan rumah tangga saja.
2. Perempuan merasa tidak percaya diri dalam bersaing dengan laki-laki.
3. Perempuan tidak bebas dalam menciptakan karya, karena faktor lingkungan/msyarakat,
misalnya tema seks atau hubungan sejenis. Jika menulis tentang seks maka perempuan
dianggap tidak sopan.
4. Perempuan lebih fokus kepada faktor ekonomi untuk kebutuhannya dengan keluarganya.
5. Perempuan tidak bebas pergi untuk mencari pengalaman.
Namun semenjak adanya dunia internet, perempuan lebih mudah dalam menciptakan
suatu karya sastra. Perempuan yang tadinya hanya mengurus rumah tangga seperti memasak,
mencuci dan bersih-bersih, kini dapat menyuarakan aspirasinya lewat internet.

Anda mungkin juga menyukai