Anda di halaman 1dari 31

PENDAHULUAN

Trauma tembus leher merupakan keadaan gawat darurat yang bersifat mengancam
nyawa. Dikatakan trauma tembus leher apabila trauma menembus otot platisma. Trauma ini
memerlukan penanganan yang segera. Di leher terdapat struktur-struktur vital yang
memungkinkan mengalami cedera pada trauma tembus leher karena organ-organ ini tidak
dilindungi oleh tulang. Kasus trauma tembus leher terjadi antara 5% - 10% dari seluruh
trauma. Diberbagai kepustakaan dilaporkan luka tembak merupakan penyebab terbanyak
diikuti luka tusuk/ luka sayat. Hal ini menyebabkan pembicaraan luka tembus leher sering
dikaitkan dengan balistik. Namun pada makalah ini dibatasi trauma temnus akibat luka tusuk.
Struktur vital di leher dapat dibedakan secara umum menjadi empat kelompok yaitu
saluran nafas (trakea, laring dan faring), pembuluh darah (arteri karotis, vena jugularis, arteri
subclavia, arteri innominata, arkus aorta), traktus digestif (faring dan esofagus) dan organ
neurologis (medula spinalis, pleksus brakialis, saraf perifer dan saraf kranial). Dalam
penatalaksanaan trauma di leher harus memperhatikan keterlibatan struktur-struktur ini.
Untuk memprediksi jenis cedera dan rencana penatalaksanaan, daerah leher dibagi
secara horizontal menjadi tiga zona. Zona I (dasar leher), Zona II (leher bagian tengah) dan
Zona III (leher atas).
Penatalaksanaan trauma tembus leher mengalami perubahan dari waktu ke waktu, hal
ini disebabkan kemajuan teknologi dan hasil evaluasi perbandingan dari berbagai protokol
penatalaksanaan yang pernah ada serta perubahan penyebab ke arah trauma bukan akibat
perang (trauma non militer).
Keberhasilan penatalaksanaan trauma tembus leher tergantung pada waktu mulai
mendapat pertolongan, ketepatan diagnosis dan ketepatan penanganan.

KEKERAPAN DAN ETIOLOGI


Trauma tembus leher terjadi 5 10% dari semua trauma dengan angka kematian 3
6%. Namun angka kematian ini meningkat apabila trauma terjadi pada zona I (12%), karena
eksplorasi cedera vaskuler pada zona ini akan dipersulit posisinya yang terlindungi oleh
sternum dan klavikula. Di sisi lain keadaan ini memperkecil kejadian trauma tembus pada
zona ini. Sebagian besar (81%) luka tembus leher terjadi pada zona II, dan sisanya pada zona
I (15%) dan zona III (4%), frekuensi yang tidak jauh berbeda juga dilaporkan beberapa
penelitian.
Angka kematian akibat trauma tembus leher telah mengalami penurunan dari 11%
pada perang dunia I, 7% pada perang dunia II menjadi 3 6% pada masyarakat sipil saat ini.
Penyebab utama kematian pasien trauma tembus leher adalah perdarahan masif akibat cedera
pembuluh darah, disamping lain yaitu cedera medula spinalis, iskemia serebri, sumbatan jalan
nafas, emboli udara dan emboli paru serta sepsis pada kasus cedera esofagus yang tidak
terdeteksi.
Penyebab terbanyak luka tembus leher yang datang ke berbagai unit gawat darurat
adalah luka tembak dan luka sayat, namun dapat juga disebabkan oleh sebab lain seperti
kecelakaan saat berburu. Sedangkan trauma leher akibat kecelakaan lalu lintas biasanya
berupa trauma tumpul. Penyebab ini juga dipengaruhi demografi. Satu penelitian di Kanada
melaporkan penyebab utama akibat luka tusuk atau luka sayat (95% dari 130 kasus).
Berdasarkan obyek penyebab, etiologi trauma jtembus leher dibedakan atas alat
penusuk/ pembacok (stabbing instrument) dan alat penembak (shooting instruments). Luka
yang ditimbulkan dari masing-masing penyebab mempunyai karakteristik yang berbeda yang
menpengaruhi tindakan.

Trauma tembus akibat tembakan lebih sering menyebabkan cedera struktural vital
leher daripada trauma akibat luka tusuk atau sayat.
ANATOMI
Pemahaman yang lengkap tentang anatomi leher sangatlah penting untuk melakukan
penatalaksanaan yang optimal. Lener merupakan suatu daerah yang komplek, yang
mengandung struktur-struktur vital dan disekat-sekat oleh fasia menjadi beberapa bagian. Hal
ini membuat cedera terhadap pembuluh darah leher dan jaringan-jaringan sekitarnya
cenderung lebih sulit dievaluasi.
Terdapat dua metode pembagian daerah leher dari luar yaitu segitiga dan zona. Secara
anatomi leher dibagi menjadi dua segitiga, anterior dan posterior. Segitiga anterior berisi
struktur utama leher seperti laring,, trakea, faring, esofagus dan struktur-struktur vital lain,
segitiga ini dibatasi di bagian anterior oleh garis tengah leher, di posterior oleh otot
sternokleidomastoideus dan superior oleh pinggir bawah mandibula. Segitiga anterior
selanjutnya dibagi menjadi segitiga karotis, segitiga digastrik, segitiga submental dan segitiga
muskular.

Segitiga leher posterior merupakan daerah yang dibatasi oleh otot


sternokleidomastoideus di anterior, klvikula di bagian inferior serta pinggir depan otot
trapezius di bagian posterior, selanjutnya dibagi oleh otot omohioid venter inferior menjadi
segitiga occipital di bagian atas dan segitiga supraklavikula di bawah. Prognosis trauma
segitiga posterior relatif lebih baik kecuali jika mengenai medula spinalis, karena lebih
sedikit mengandung struktur vital.
Berbagai kepustakaan mengenai trauma saat ini lebih sering membagi leher menjadi
tiga zona yaitu zona I, II dan III. Pembagian ini tidak hanya untuk kepetingan anatomi saja
tapi juga berimplikasi terhadap penatalaksanaan taruma tembus leher. Zona I disebut juga
dasar leher (base of neck) atau leher bagian bawah merupakan zona horizontal yang berada
superior dari fossa suprasternal dan klavikula sampai bagian bawah kartilago krikoid, pada
zona ini terdapat aspeks paru, trakea, esofagus, a. karotis komunis, v. jugularis interna, a.
subklavia, a. innominata, a. vertebralis, fleksus brakialis, tiroid dan medula spinalis. Zona ini
terlindungi oleh sternum dan klavikula yang menghalangi saat eksplorasi.

Zona II (midneck/leher bagian tengah) yaitu daerah antara bagian bawah kartilago
krikoid sampai angulus mandibula. Merupakan bagian leher yang paling terpapar, sehingga
merupakan zona yang paling sering mengalami trauma tembus (60-70%). Pada zona ini
terdapat laring, trakea, esofagus, a. karotis, v. jugularis interna , a. vertebralis, medula
spinalis, n. laringeus rekuren dan saraf kranial.
Zona III (leher atas) terletak antara angulus mandibula sampai dasar tengkorak.
Struktur penting yang terdapat pada zona ini adalah a. karotis interna bagian distal, v.
jugularis interna, a. vertebralis, cabang-cabang a. karotis interna, faring, kelenjar parotis,
medula spinalis dan saraf kranial IX-XII.
Struktur-struktur ini dibungkus oleh dua lapis fasia, fasia superfisialis dan fasia
servikal profunda (dalam). Fasia superfisialis menutupi otot platisma yang berada langsung di
bawah kulit. Fasia servikal dalam dibagi menjadi tiga bagian; lapisan investing, lapisan
pretrakea dan lapisan prevertebra. Lapisan pretrakea mempunyai makna klinis yang penting,
karena lapisan ini berhubungan dari leher sampai ke bagian anterior mediastinum. Lapisan ini
melekat erat dengan kartilago krikoid dan tiroid dan berjalan ke kaudal di belakang sternum
dan memasuki perikardium anterior, sehingga cedera autodigestif yang tidak terdeteksi dapat
menimbulkan mediastinitis. Selubung karotis (carotid sheath) dibentuk dari ketiga lapisan
fasia servikal dalam. Otot platisma menutupi anterolateral leher. Hal ini mempunyai makna
klinis yang penting karena lokasinya yang superfisial dan berhubungan erat dengan strukturstruktur penting di leher, sehingga penilaian trauma di leher harus memperhatikan adanya
kerusakan pada otot ini.
KLASIFIKASI
Trauma leher dapat berupa trauma tumpul dan trauma tembus (tajam). Trauma tembus
leher dapat diklasifikasikan berdasakan lokasi anatomi yang mengalami cedera dan stabilitas

pasien. Berdasarkan anatomi, truma tembus leher dibagi menjadi tiga zona yaitu zona I, II
dan III, seperti telah diuraikan pada pembahasan mengenai anatomi.
Sedangkan berdasarkan stabilitas pasien, trauma tembus leher dibagi menjadi stabil
(tidak mengancam nyawa) dan tidak stabil (mengancam nyawa). Pasien yang tidak stabil
ditandai dengan perdarahan masif, hematom yang luas, hemodinamik yang tidak stabil,
hemomediastinum, hemotorak, syok hipovolemik, defisit neurulogi, gangguan respirasi dan
jalan nafas serta memerlukan operasi eksplorasi segera.
Trauma tembus leher yang stabil datang dengan gejala yang lebih bervariasi dan
biasanya masih cukup waktu untuk mendapatkan riwayat dan pemeriksaan yang lengkap
serta tidak memerlukan operasi eksplorasi segera.
GAMBARAN KLINIS
Trauma tembus leher dapat berdiri sendiri tapi jarang bersamaan dengan trauma pada
bagian tubuh lain, dilaporkan terdapat sekitar 30% kasus trauma tembus leher bersamaan
dengan cedera di luar daerah leher, sehingga pemeriksaan organ di luar leher juga harus
dilakukan.
Gambaran klinis trauma tembus leher sangat bervariasi, tergantung pada mekanisme trauma,
berat ringannya trauma dan lokasi/zona serta struktur yang terlibat.
Dari review berbagai laporan, pada trauma tembus leher, insiden cedera terhadap
pembuluh darah mencapai lebih dari 20% kasus, 9% mengenai vena jugularis interna, 9%
mengenai arteri karotis, 2% pembuluh darah subklavia dan hanya 1% yang mencederai arteri
vertebralis. Cedera terhadap laringotrakeal 10,1%, faringoesofagus 9,6%, cedera terhadap
medula spinalis 3%, struktur saraf lainnya mencapai 3,4% dan dari 1275 pasien yang diamati
tidak ditemukan cedera terhadap duktus torasikus.

Berdasarkan struktur yang terlibat, gejala dan tanda yang dapat muncul seperti pada
tabel 1.
Pada trauma zona I, cedera terhadap pembuluh darah merupakan keadaan yang paling
sering terjadi, lebih kurang 30% pasien yang tanpa gejala sebenarnya mengalami cedera
pembuluh darah pada zona I.
Trauma zona I juga berisiko terjadinya cedera pada trakea dan esofagus. Berbeda
dengan trauma esofagus pada zona II, yang akan menimbulkan gejala beberapa jam setelah
kejadian, cedera esofagus pada zona I tidak menimbulkan gejala sampai terjadi komplikasi
yang serius berupa mediastinitis atau sepsis.

Disamping berdasarkan struktur yang terlibat, manifestasi klinis yang muncul juga
dipengaruhi beratnya trauma. Pasien trauma yang tidak stabil datang dengan keadaan yang
dramatis seperti defisit neurologi (penurunan kesadaran, paralisa), gangguan respirasi yang
berat akibat hemotoraks atau pneumotoraks, syok, perdarahan masif dan hematom yang luas.

Trauma tembus leher yang stabil datang dengan gejala yang lebih bervariasi dan
biasanya masih cukup waktu untuk mendapatkan riwayat dan pemeriksaan yang lengkap.
Gejala dapat berupa nyeri, disartria, suara serak, disfagia, odinofagia, hemoptisis, drooling
dan panas dingin. Kadang-kadang pasien juga mengeluhkan hilangnya sensoris daerah wajah,

Pemeriksaan fisik yang teliti biasanya dapat memprediksi luasnya trauma. Seperti
bervariasinya gejala, tanda klinis yang mungkin timbul juga bervariasi, tergantung struktur
yang terlibat. Cedera pembuluh darah akan menimbulkan hematom leher atau orofaring, nadi
halus, takikardia, hipotensi, carotid bruit atau thrill. Trauma jalan nafas atas akan
menimbulkan stridor, emfisema subkutis dan adanya gelembung udara dari tempat luka
terbuka. Adanya kelumpuhan saraf kranial, sindroma Horner, hemiplegi dan kuadriplegi
berhubungan dengan cedera terhadap jaringan saraf, yaitu saraf kranial, pleksus brakialis, sraf
simpatis dan medula spinalis.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal pasien trauma tembus leher sesuai dengan prinsip Advanced
Trauma Life Support (ATLS), yaitu evaluasi terhadap jalan nafas, pernafasan, sirkulasi dan
status neurologis.
Penanganan jalan nafas harus merupakan prioritas utama pada pasien trauma tembus
leher. Kegawatan jalan nafas terjadi pada 10% kasus, dan membutuhkan intubasi atau
trakeostomi. Keadaan ini biasanya terjadi akibat trauma terhadap jalan nafas itu sendiri,
perdarahan masif yang masuk jalan nafas, penekanan akibat hematom di leher atau emfisema
masif di sekitar leher. Bantuan ventilasi dengan menggunakan bag-valve-mask harus sangat
hati-hati, karena udara dapat terdorong ke jaringan yang cedera yang dapat menimbulkan
emfisema subkutis yang masif atau emboli udara.
Bila jalan nafas sudah stabil, evaluasi terhadap pernafasan harus dilakukan untuk
menentukan ada tidaknya hemotoraks atau pneumotoraks.
Menstabilkan status kardiovaskuler dengan melakukan pemeriksaan hemodinamik,
pemeriksaan nadi, tekanan darah, pemasangan jalur intravena dan penekanan langsung pada
sumber perdarahan. Resusitasi cairan dan transfusi darah kadang-kadang diperlukan.
Hipotensi yang tidak disertai takikardi merupakan tanda kecurigaan adanya cedera medula
spinalis.
Servikal harus diproteksi sampai dapat dipastikan tidak terdapat trauma pada servikal
secara klinis dan radiologis tulang servikal, meskipun keadaan ini jarang terjadi. Pemeriksaan
status neurologis (tingkat kesadaran) juga diperlukan.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kepala dan leher, terutama terhadap tanda-tanda
trauma. Inspeksi terhadap luka dilakukan tanpa menelusuri luka, karena akan menyebabkan

lepasnya bekuan darah yang dapat menimbulkan perdarahan yang hebat dan emboli udara.
Inspeksi luka dilakukan untuk menentukan kedalaman luka dan hubungannya dengan otot
platisma. Mengingat lapisan fasia servikal profunda yang melindungi struktur-struktur vital
yang berada di bawah platisma, sehingga cedera terhadap platisma harus dicurigai adanya
cedera terhadap struktur vital, dan membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Pemeriksaan pada bagian tubuh di luar kepala dan leher juga harus dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya trauma multipel.
Pemeriksaan laboratorium darah rutin dilakukan termasuk hemoglobin dan hematokrit
untuk menentukan perlunya transfusi segera dan sebagai data awal untuk perbandingan
dengan keadaan pasien selanjutnya.
Pasien memerlukan pemeriksaan radiologis berupa foto polos torak dan servikal untuk
menilai adanya cedera tulang servikal dan adanya sisa benda asing.
Khusus pada zona I, kerusakan yang sering terjadi adalah cedera pembuluh darah.
Sekitar 30% pasien trauma tembus leher yang tanpa gejala perdarahan, sebenarnya terdapat
cedera pembuluh darah pada zona I. Angiografi merupakan pemeriksaan yang sensitif dan
spesifik untuk menilai adanya cedera pembuluh darah. Pemeriksaan ini dapat menilai luas
trauma vaskuler dan membantu perencanaan pendekatan operasi yang akan dilakukan.
Bila pada pasien yang asimptomatik terdeteksi adanya cedera pembuluh darah dari
pemeriksaan angiografi, maka diperlukan tindakan eksplorasi. Pasien asimptomatik yang
pada angiografi tidak ditemukan kelainan, berbagai penelitian melaporkan cukup aman
dengan hanya melalukan observasi dengan hasil yang baik.
Beberapa ahli tidak merekomendasikan pemeriksaan ini karena alasan biaya dan
tindakan yang invasif. Akhir-akhir ini pengguinaan colour Doppler Sonography digunakan

sebagai pemeriksaan yang aman dan lebih murah untuk menggantikan angiografi dengan
sensitivitas dan spesifitas lebih dari 90%, namun alat ini belum selalu tersedia di pusat
pelayanan kesehatan.
Pada cedera laringotrakeal sering disertai cedera pada esofagus. Cedera esofagus pada
zona I biasanya baru akan menimbulkan gejala setelah terjadi komplikasi. Hal ini
menyebabkan pemeriksaan terhadap traktus aerodigestif harus dilakukan pada trauma zona I,
emfisema dan mendeteksi pneumotorak, hematotorak atau pneumomediastinum.
Untuk penatalaksanaan selanjutnya, pada kasus yang tidak stabil/mengancam nyawa,
para ahli sepakat untuk melakukan operasi eksplorasi segera. Sedangkan pada kasus yang
stabil, terdapat perbedaan pendapat mengenai kapan suatu trauma harus dilakukan eksplorasi.
Secara umum para ahli sepakat pada prinsip selektif untuk melakukan terapi konservatif.
Beberapa kepustakaan mengusulkan algoritma/alur penatalaksanaan trauma tembus leher
seperti pada gambar 5. Namun pemeriksaan yang dilakukan untuk evaluasi keadaan esofagus
masih perdebatan. Baik pemeriksaan esofagografi maupun esofagoskopi memperlihatkan
sensitivitas antara 80 sampai 90% untuk mendeteksi cedera esofagus. Kombinasi kedua
pemeriksaan ini meningkatkan sensitivitasnya mendekati 100%. Sebagian pusat layanan
kesehatan menggabungkan kedua modalitas ini, sementara pusat yang lain menggabungkan
satu pemeriksaan dengan pemeriksaan klinis yang teliti.
Pemeriksaan laringoskopi fleksibel di ruang emergensi perlu dilakukan pada trauma
tembus leher zona I. Pemeriksaan ini untuk menilai adanya paralisis pita suara serta adanya
darah atau edema pada jalan nafas atas. Sedangkan pemeriksaan laringoskopi intra-operatif
dan trakeoskopi serta bronkoskopi dilakukan jika ditemukan kelainan pada pemeriksaan
laringoskopi fleksibel.

Sebagian penulis lebih merekomendasikan eksplorasi eksplorasi pada kasus stabil


yang secara klinis terdapat kecurigaan cedera struktur vital sekalipun pada pemeriksaan
penunjang negatif. Risiko akibat tindakan eksplorasi lebih rendah daripada risiko komplikasi
yang timbul bila terdapat cedera struktur vital yang tidak terdeteksi. Beberapa laporan lain,
seperti dikutip Gale mengusulkan untuk melakukan pemeriksaan angiografi, bronkoskopi
serta esofagoskopi dan/atau esofagografi pada semua pasien trauma tembus leher yang tidak
membutuhkan operasi eksplorasi segera. Hal ini tentu akan menghabiskan biaya yang banyak
disamping bersifat invasif dengan risiko komplikasi.
Penggunaan CT Scan Helical/Multidetector dengan kontras dilaporkan cukup efektif
dan aman untuk mendeteksi cedera struktur vital pada trauma tembus leher, namun tidak
untuk cedera esofagus yang kecil akibat luka tusuk.
KOMPLIKASI
Komplikasi trauma tembus leher yang terjadi dapat akibat langsung dari trauma dan
dapat juga sebagai akibat keterlambatan penatalaksanaan atau tidak terdeteksi saat
pemeriksaan.
Komplikasi yang mungkin timbul dapat berupa perdarahan yang persisten,
pseudoaneurisma, fistel esofagokutan, fistel esofagotrakeal, fistel trakeokutan, fistel
venoarterial, infeksi yang dapat menyebabkan pembentukan abses di leher, sepsis,
mediastinitis, stenosis dari struktur berlumen seperti trakea dan esofagus serta defisit
neurologis.

Cara terbaik untuk mencegah terjadinya komplikasi adalah melakukan evaluasi yang
lengkap dan teliti serta follow up ketat pasca tindakan serta pemberian antibiotika.

Penulisan laporan kasus ini bertujuan menampilkan kasus luka tusuk pada leher zona
1 yang termasuk kasus trauma yang sering terjadi pada kasus penetrating neck injury.
Kasus
Laki-laki usia 34 tahun datang ke IRD RSUD dr. Soetomo pada tanggal 04 Desember
2013 dengan keluhan tertusuk tusukan sate pada leher sebelah kanan bawah akibat
kecelakaan lalu lintas pengendara sepeda motor yang berjualan pentol menabrak sepeda
motor dari arah berlawanan. Saat kejadian sempat tidak sadar, tidak ada muntah dan kejang.
Penderita rujukan dari RSUD Bangkalan. Riwayat DM dan hipertensi disangkal.
Pada Pemeriksaan fisik dengan keadaan umum baik, GCS 456, Vital sign T 120/70
N: 98 x/menit RR 18 x/menit temperature 36,20C. Kepala leher tidak ditemukan anemia,
ikterus, sianosis dan dispnea. Tidak didapatkan peningkatan tekanan vena jugularis dan
pembesaran kelenjar getah bening, corpus alienum tusukan sate pada leher kanan bergerak
sesuai denyut nadi.
Pada pemeriksaan jantung, iktus kordis tidak teraba, suara jantung ( S1 dan S2 )
dalam batas normal dan tidak didapatkan suara jantung tambahan ( murmur, ekstra sistol,
gallop). Pada pemeriksaan paru : inspeksi/ palpasi simetris, perkusi sonor pada lapangan paru
kanan atas dan paru kanan bawah serta sonor pada lapangan paru kiri atas dan paru kiri
bawah. Auskultasi suara napas vesikuler pada paru kanan atas dan paru kanan bawah serta
vesikuler pada paru kiri atas dan paru kiri bawah. Tidak ada suara tambahan pada kedua sisi
paru. Pada pemeriksaan abdomen : hepar dan lien tidak teraba , tidak didapatkan massa intra
abdomen dan suara bising usus dalam batas normal. Pada pemeriksaan ekstremitas teraba
hangat, kering, merah dan tidak didapatkan edema.
Status lokalis regio colli dextra didapatkan corpus alienum tusukan sate, bergerak
sesuai denyut nadi, daerah sekitar tusukan tidak terdapat hematom maupun pembengkakkan,
nyeri tekan tidak ada, bruit tidak ada.
Dari hasil pemeriksaan radiologis torak tidak didapatkan tanda-tanda
hematopneumotorak, tidak ada fraktur tulang iga, tanda-tanda infeksi kronis tidak ditemukan.
(gambar 1).

Gambar 1. Foto Torak


Hasil pemeriksaaan darah tanggal 04 Desember 2013 :
Hb

: 16.3 mg/dl

Glukosa

: 109 mg/dL

Lekosit

: 21.200 /uL

GOT /GPT

: 73/71 U/L

Trombosit

: 197.000 /uL

BUN/SK

: 9.9/0.78 mg/dL

Na/K/Cl

: 143.5/3.58/109.6

Faal hemostasis :

PPT

: 11.7 detik

Kontrol : 11.7 detik

APTT

: 24.1 detik

Kontrol : 25.5 detik

Pasien menjalani operasi cito eksplorasi pada tanggal 04 Desember 2013 di OK IRD
RS dr. Soetomo, Dengan general anestesi dilakukan insisi collar dextra dengan membuka
platysma dan di dapatkan tusuk sate menembus vena jugularis 3 cm dari percabangan
through and through dengan perdarahan aktif oleh karena robekan pada dinding venajugularis
interna dengan diameter 1,5 cm di bagian anterior dan diameter 1,5 cm dibagian posterior.
Dilakukan vein patch dengan menggunakan graft dari SVG sinistra menggunakan jahitan 6.0.
(gambar 4)

Gambar 4. Gambaran insisi weber-fergusson, defek post maxillectomy, massa tumor,


dan pemasangan plate and screw
Satu bulan post operasi pasien kontrol. Keluhan kesulitan saat makan karena gigi
bagian kiri di eksisi saat operasi. Di konsulkan ke Bagian Gigi untuk direncanakan
pemasangan obturator. Setelah pemasangan, pasien minta dilepas karena tidak nyaman.
Enam bulan post operasi pasien kontrol. Tidak ada keluhan nyeri mengenai
penglihatan. Tidak ada pandangan ganda, gerak bola mata bebas ke segala arah. Tidak
mengeluh pandangan kabur. Saat makan menggunakan gigi terutama sebelah kanan karena
tidak terpasang obturator pada gigi sebelah kiri (gambar 5).

Gambar 5. 6 bulan post operasi


Status ophtalmologi tanggal 21/01/2013 : visus okuli kanan 5/20, okuli sinistra 5/20,
segment anterior dextra normal, sinitra dalam batas normal dengan tensi okuli dextra 12,2
mmHg sinistra 12,2. Fundus okuli : fundus reflek +/+, papil NII batas tegas +/+, warna N/N,
makula reflex +/+, retina : perdarahan -/-, eksudat -/-. Ocular motility baik segala arah +/+.
Foto Waters

Gambar 6. Foto waters 6 bulan post operasi


Internal fiksasi di dinding inferior orbita kiri, tak tampak jelas callus formation.
Penebalan mukosa cavum nasi kanan. Tak tampak tanda-tanda osteomyelitis (gambar 6).

CT Scan kepala
Massa residif di regio maxillaris kiri (surgical bed yang mendestruksi dan meluas ke
dinding lateral cavum nasi kiri. Defek os maxilla kiri (post operasi) dengan terpasang internal
fiksasi. (gambar 7)

Gambar 7. CT Scan kepala 6 bulan post operasi

DISKUSI
Maxilla termasuk tulang maxillofasial yang terdiri dari bagian corpus, processus
frontalis, processus zygomaticus, processus palatinus dan processus alveolaris. Corpus
maxilla berbentuk kubus. Didalamnya terdapat sinus maxillaris. Bagian lateral corpus
maxilla menjadi processus zygomaticus. Bersama-sama dengan os zygomaticum membentuk
sutura zygomaticomaxillaris. Processus frontalis maxilla dibagian cranial berbatasan dengan
pars nasalis os frontalis. Pada sisi dorsal terletak sulcus lacrimalis. Bagian inferior, processus
palatinus maxilla membentuk palatum durum. Pada bagian ventral bertemu di garis tengah
pada sutura palatina mediana, kearah cranial membentuk crista nasalis, tempat melekatnya
vomer. Anterolateral membentuk permukaan wajah maxilla. Bagian medial membentuk
dinding lateral rongga hidung. Processus alveolaris maxilla merupakan bagian yang
ditempati dentis dan dibagian ventral menyatu menjadi sutura intermaxillaris, lanjutan dari
sutura palatina.(1,4)

Vaskularisasi maxilla berasal arteri maxillaris externa yang merupakan cabang dari
arteri karotis externa dan arteri maxillaris interna yang merupakan cabang dari arteri carotis
externa masuk melewati fossa pterygopalatina.(3,4)
Cabang dari arteri maxillaris interna yang perlu diperhatikan saat maxillectomy antara
lain:
a. Arteri palatina mayor, melewati inferior dari fossa pterygopalatina ke kanal
pterygopalatina dan muncul dari foramen palatina mayor di palatum durum berjalan
anterior medial ke alveolus superior dan masuk ke foramen incisivum
b. Arteri infraorbita, bersama dengan nervus infraorbita di dasar orbita dan keluar ke
anterior melewati foramen infraorbita.
c. Arteri sphenopalatina, masuk ke rongga hidung melalui foramen sphenopalatina di
belakang meatus superior
d. Arteri nasal posterior lateral, cabang dari arteri sphenopalatina
e. Arteri septal posterior, cabang dari arteri sphenopalatina dan menyilang rongga nasal
posterior ke atas choana posterior dan berakhir di nasal septum. Satu cabang arteri
turun masuk ke kanal incisivum dan beranastomosis dengan arteri palatina mayor.(3,4)
Vena yang penting selama maksilektomi adalah vena angularis di canthus medialis.
Sedangkan Persyarafan yang penting adalah nervus maxillaris cabang dari nervus V
(trigeminus) masuk ke fossa pterygopalatina melalui foramen rotundum. Nervus ini
membentuk cabang nervus infraorbita yang berjalan di dasar orbita dan keluar dari foramen
infraorbita. nervus opticus juga dievaluasi terutama saat maxillectomy dengan exenterasi
orbita.(3)
Adenoma pleomorfik adalah massa berbentuk polypoid dan tumbuh secara exofitik,
ditutupi oleh mukosa yang intak dan ukuran bervariasi dari 1-7cm. Berkebalikan dengan
tumor saluran kelenjar minor yang ganas dimana tumor relatif dibatasi tanpa pertumbuhan
yang invasif. Secara histologi bentuk tumor identik dengan kelenjar saliva mayor termasuk
struktur duktus atau tubuler, sel myoepitel bentuk spindel, dan stroma myxochondroid.(1)

Adenoma pleomorfik tersering muncul di kelenjar saliva dan jarang di saluran nafas
khususnya sinus paranasal dengan urutan terbanyak ditemukan disaluran nafas atas, diikuti
sinus maxillaris dan nasofaring. Usia ditemukan tumor ini antara dekade ketiga sampai ke

enam. Secara histologi menunjukkan jaringan epitelial dengan campuran struktur mukoid,
myxoid atau chondroid.(5)
Beberapa teori etiologi tumor adenoma pleomorfik di maxilla:
a. Tumor berasal dari sisa organ vomero nasal, teori ini terbantahkan karena mixed
tumor bisa muncul di dinding lateral.
b. Asal tumor dari sel epitel ektodermal embrionik yang terpisah dari lubang hidung
septum nasal
c. Tumor berasal dari perkembangan jaringan kelenjar saliva.(5)
Keluhan yang muncul pada tumor maxilla barvariasi. Pendesakan ke rongga nasal
dengan keluhan obstruksi nasal dan atau epistaksis. Pendesakan tumor ke superior
mempengaruhi bola mata, seperti nyeri pada mata, unilateral ephiphora, keterbatasan gerak
otot extraokuler/diplopia, atau proptosis. Pendesakan ke kaudal akan muncul keluhan gigi
yang terlepas, palatum terasa penuh, nyeri dan ulserasi. Bila ke anterior dinding sinus
maxillaris akan tampak menonjol diatas kulit. Dengan bentukan lesi pada kulit, lymphedema,
atau kulit yang terfiksasi di atas maxilla. Ke posterior mendesak pterygopalatina dan fossa
infratemporal mengganggu otot-otot menelan, gangguan saraf sensorik maupun motorik dan
menghambat aliran darah rongga nasal, oral, gigi atas dan faring.(6) Pada pasien ini gejala
yang muncul adanya massa di regio maxilla sinistra. Pendesakan ke anterior dan
superiordimana dinding sinus tampak menonjol dan mata proptosis. Tidak di dapatkan
epistaksis, obstruksi nasal, diplopia maupun nyeri.
Macam-macam Klasifikasi defek maxilla
1. Klasifikasi dari Ohngren (1933)
Merupakan klasifikasi sederhana dan pertama kali. Ohngren mendeskripsikan garis
imaginer dari angulus mandibula ke canthus medial pada mata yang ipsilateral. Tumor di
anteroinferior lebih mengarah ke jinak sedangkan di postero-superior dari garis ini
mempunyai prognosis yang jelek.(6,7) Pada pasien ini massa tumor melewati garis
ohngren.
2. Klasifikasi dari Aramany (1978)
Aramany mengklasifikasi defek maxilla menjadi 6 bagian (gambar 8)
1. kelas 1, defek tidak melewati garis tengah dan preservasi gigi di sisi kontralateral.

2. Kelas 2, defek lebih sedikit, preservasi gigi bagian maxilla kontralateral, insicivus
sentral, dan jika memungkinkan caninus dan premolar.
3. Kelas 3, defek hanya pada bagian sentral palatum durum tanpa ada reseksi gigi bagian
maxilla.
4. Kelas 4. Defek melewati garis tengah, preservasi hanya pada gigi posterior sisi
kontralateral
5. Kelas 5, defek dengan reseksi bagian posterior dengan preservasi bagian anterior gigi.
6. Kelas 6. Defek dengan reseksi di anterior, preservasi bagian posterior.(7)

Gambar 8. klasifikasi aramany. Kelas 1: reseksi midline, kelas 2: reseksi unilateral, kelas
3: reseksi sentral, kelas 4: reseksi anteroposterior bilateral, kelas 5: reseksi posterior,
kelas 6: reseksi anterior (7)
Defek pasien ini berdasarkan klasifikasi aramany masuk kelas 2. Caninus
masuk dalam reseksi.
3. Klasifikasi dari Spiro
Klasifikasi ini membagi berdasarkan prosedur, bukan defek jaringan
a. Limited Maxillectomy, terbagi menjadi subbagian tipe anterior, inferior, medial dan
lateral.
b. Subtotal maxillectomy
c. Total maxillectomy (dengan atau tanpa eksenterasi orbita).(7)
Tindakan total maxillectomy dengan preservasi dasar orbita merupakan pilihan untuk
kasus ini.
4. Klasifikasi dari Codeiro dan Santa maria (1997)

Tipe I: maxillectomy terbatas atau parsial, reseksi satu atau dua dinding maxilla, tidak
termasuk palatum durum
Tipe II: maxillectomy subtotal, reseksi 5 dari 6 dinding maxilla (palatum durum,
anterior, posterior, lateral dan medial), dengan preservasi dasar orbita
Tipe IIIa: maxillectomy total dengan preservasi orbita
Tipe IIIb: maxillectomy total dengan eksenterasi orbita
Tipe IV: orbitomaxillectomy, maxillectomy dengan reseksi 5 dinding maxilla dan
eksenterasi orbita dengan preservasi palatum durum.(7)
Berdasarkan klasifikasi dari Codeiro dan Santa maria, pasien ini masuk klasifikasi
tipe IIIa, maxillectomy total dengan preservasi orbita.
5.

Klasifikasi dari Brown (2000)


Klasifikasi berdasarkan defek maxilla secara vertikal (komponen bedah) dan horisontal
(komponen gigi). (gambar 9)
Komponen bedah terdiri dari 4 kelas
Kelas 1. Tulang alveolar reseksi minimal tanpa fistel oro-antral. Hanya reseksi palatum
durum. Partial maxillectomy tanpa sampai kavitas oral atau hilangnya alveolus.
Kelas 2. Reseksi termasuk alveolus dan dinding antral, tetapi tidak menyebar sampai
dasar orbita atau adnexa
Kelas 3. Sama dengan kelas 2 di tambah sampai dasar orbita atau dinding medial
Kelas 4. Maxillectomy dengan eksenterasi orbita
Komponen gigi (Horizontal)
a) Kurang dari atau sampai dengan setengah dari dental alveolus
b) Lebih dari setengah dental alveolus atau melewati midline
c) Seluruh alveolus maxilla. (7,8)

Gambar 9. Klasifikasi defek maxillectomy berdasarkan Brown (8)


Pada kasus pasien ini di lakukan reseksi setengah dental alveolus dan dinding
antral, sampai dasar orbita sinistra. Massa tumor di maxillaris kiri yang mendestruksi
maxillaris medial, dan inferior prosesus alveolaris maxilla kiri (kelas 3a).

6. Klasifikasi dari Okay. (7,9)


Kelas 1a: defek sebagian kecil palatum durum tanpa alveolar,
Kelas 1b: defek termasuk bagian maxilla dengan preservasi kedua gigi caninus
Kelas II: defek melibatkan hanya satu caninus(kecuali pada kasus transverse anterior
palatectomy yang mereseksi kurang dari 50% palatum durum).
Kelas III: defek termasuk reseksi kedua caninus atau lebih dari 50% palatum durum .
Subkelas f (dasar orbital ) dan Z (arcus zigomatic) ikut direseksi. (gambar 10)

Gambar 10. Klasifikasi okay(7)


Klasifikasi ini menempatkan defek maxilla kelas 1b, dengan subkelas f.
Insisi kulit saat maxillectomy bisa dilakukan dengan lateral rhinotomy, midfacial
degloving atau weber fergusson.(3) Pada operasi ini dilakukan insisi weber fergusson untuk
memudahkan ekspose tumor yang muncul di seluruh bagian maxilla termasuk dasar orbita.
Defek dasar orbita yang kecil tidak diperlukan rekonstruksi. Bila defek besar
(>75%area) dan multisegmental diperlukan rekonstruksi yang rigid dan Penutupan defek
dilakukan secara primer karena tindakan penutupan sekunder akan lebih sulit.(10) Penutupan
defek maxillectomy di bagi menjadi 3 cara, antara lain:
a. Flap
Ada 3 macam flap yang sering digunakan untuk menutup defek maxillectomy.(7)
1. Palatal island flap
Flap ini digunakan untuk rekonstruksi defek palatum yang kecil. Vaskularisasi flap
ini dari arteri palatina mayor dan bisa menutup defek sampai 15 cm 2. Reepitelisasi
dibutuhkan sampai 3 bulan

2. Buccal fat pad

Di ambil dari daerah buccal antara otot masseter dan buccinator. Vaskularisasi lemak
ini sangat banyak, reepitelisasi cepat dan ada kemungkinan menutupi graft tulang
non-vaskularisasi meskipun ada keterbatasan defek tidak lebih dari 12cm2.
3. Temporalis muscle flap
Bisa di gunakan untuk defek yang luas terutama dasar orbita karena lekukan tulang
calvaria menyerupai bentuk dasar orbita. Vaskularisasi flap berasal dari arteri
temporalis profunda
b. Free flap
Penggunaan free flap tergantung defek maxilla, seperti fasciocutaneus, osteocutaneus,
myocutaneus, myogenous, dan myo-osseus.(7) Rekonstruksi defek maxilla lebih mudah
sebelum pra rekonstruksi dilakukan teknik CAD/CAM (computer aided design/ computer
aided manufacturing) untuk menghasilkan rekonstruksi yang presisi.(11) Tetapi aplikasi ini
belum ada di indonesia. Macam free flap antara lain :
1. Radial forearm system
Dipilih karena anatomi relatif konstan, pedikel vaskuler panjang dan diameter besar
serta pengambilan donor yang mudah. Digunakan untuk defek fasciocutaneus atau
osseofasciocutaneus
2. Rectus abdominis
Otot dengan vaskularisasi arteri epigastric inferior, keuntungannya donor mudah
dalam pengambilan, anatomi konstan, dan pedikel vaskuler yang baik
3. Fibula
Keuntungan fibula sebagai donor karena termasuk tulang panjang, vaskularisasi dari
arteri nutritia, dapat dilakukan multiple osteotomy dan sebagai tempat implan gigi.
4. Krista iliaca
Digunakan untuk menutup defek minimal, sedang atau luas. Defek minimal, krista
iliaka diorientasikan secara horisontal untuk rekonstruksi palatum dan laveolus
maxilla. Defek sedang untuk struktur maxilla, berorientasi vertikal. Otot obliqus
internus di internal rotasi untuk menutup defek palatum.dan defek luas, otot di pakai
untuk menutup defek orbita.
5. Scapula
dua bagian tulang dapat di jadikan donor. Batas lateral tulang, kulit dan otot bisa
diambil dan pedikel pendek dengan bentuk rectangular. Bagian kedua diambil
dibagian ujung scapula menggunakan otot teres mayor dan arteri thoracodorsalis.
Pedikel panjang (10-12cm) dan dapat digunakan menutup defek secara horisontal
maupun vertikal.(3,7)
c. Titanium atau mesh sintetik (polyethylene atau polypropylene mesh.(10)

Rekonstruksi primer pada defek post total maxillectomy dengan preservasi orbita
menjadi masalah yang kompleks. Beberapa teknik untuk support dasar orbita baik graft
maupun flap sering muncul komplikasi seperti enophtalmus, diplopia, dan deformitas wajah.
Titanium atau sintetik (polyethylene or polypropylene) mesh untuk menghubungkan antar
jaringan. Material ini mempunyai keunggulan tersedia hampir disemua rumah sakit untuk
operasi hernia, mudah di potong sesuai dengan bentuk yang diinginkan, fleksibel, dan sedikit
reaksi jaringan.(12)
Keberhasilan rekonstruksi dasar orbita dengan mesh dan plate diketahui dengan tidak
di dapatkan komplikasi post operasi seperti malposisi bola mata, diplopia, dan gangguan
fungsi otot extraokuler seperti malposisi kelopak mata dan ektropion.(10) Pada pasien ini tidak
didapatkan komplikasi malposisi bola mata, diplopia, dan gangguan fungsi otot extraokuler.
Hasil CT Scan yang residif menunjukkan masih terdapat sisa tumor yang belum
tereksisi saat total maxillectomy. Tidak tampak gejala yang muncul karena massa residif
berada didefek maxilla. Sehingga massa tidak tampak dan masih belum ada tanda-tanda
obstruksi saluran nasal.

REFERENSI

1. Wenig BM.Atlas of head and neck pathology: Benign Neoplasma of Minor Salivary
Gland.Elsevier Health Sciences. 2008 (ebook)
2. Jonathan B. McHugh JB, Visscher DW, Barnes EL. Selected Salivary Gland Neoplasms:
Update on Selected Salivary Gland Neoplasms. Arch Pathol Lab MedVol 133,
November 2009. P 1763-1774
3. Fagan J. Tanpa tahun (online). Total Maxillectomy, Orbital Exenteration. Open acces
atlas of Otolaryngology, Head & Neck operatif Surgery. www.entdev.uct.ac.za
4. Sudibjo, subagjo, Wirono dan Alimsardjono H. Anatomi 3.edisi 6: Cranium dan Regio
Facei. Departemen Anatomi dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga:
Surabaya. 2009.p13-23
5. Lo SH, Huang SH, Chang YL. Pleomorphic Adenoma of the Nasal Septum A Case
Report. Department of Otolaryngology, Pathology1, Cathay General Hospital, Taipei,
Taiwan. Tzu Chi Med J 2005.. 17 DNo. 1 47
6. Prosser JD. Maxillectomy . Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery,
University of Cincinnati, Ohio. 2013. http://emedicine.medscape.com/ article/1890955overview#showall
7. Shrime MG, Gilbert RW. Reconstruction of the midface and maxilla. Wharton Head and
Neck Centre, princess margaret Hospital, Toronto, Canada. Facial plast surg Clin N am.
2009. P 211-223.
8. Brown.JS. Maxillary reconstruction. Indian J Plastic surgery.2007. Vol 40
9. Boyes JG, Howes DG, Davidge KD et al. A protocol for maxillary reconstruction
following Oncology resection using Zygomatic Implants.The international journal of
Prosthodontics. 2007. Volume 20, number5. P 521-31.
10. Eisele.DW. Management of the Orbit in Malignant Sinonasal Tumors. Head and NeckDOI. 2008.10.1002/hed February
11. Lethaus B, Kessler P, Boeckman R. Reconstruction of a maxillary defect with a fibula
graft and titanium mesh using CAD/CAM technique. Head and Face Medicine 2010,
6:16. Biomed central. http://www.head-face-med.com/content/6/1/16

Gohel J, patel U.prolene hernia system in the tension-free repair of primary inguinal hernias.
National Journal of Medical Research.2012.Volume2. Juli-Se

Anda mungkin juga menyukai