Anda di halaman 1dari 11

Trauma Laringotrakeal

I.

Anatomi Laring Kasus trauma leher merupakan kasus gawat darurat yang bersifat mengancam nyawa

karena dapat menyebabkan cedera terhadap struktur-struktur vital di leher seperti jalan nafas, pembuluh darah besar, oesofagus, dan saraf.1 Leher dapat dibagi menjadi 2 buah segitiga menjadi bagian anterior dan posterior yang dibatasi oleh M. sternocleidomastoid. Pada bagian anterior terdapat stuktur-stuktur anatomis yang penting seperti laring, trakea, faring, oesofagus, dan pembuluh darah besar. Sedangkan pada bagian posterior diisi oleh otot-otot, saraf spinalis, dan medulla spinalis. Pada bagian anterior juga dilapisi oleh M. platysma yang langsung berada dibawah lapisan kulit.2 Laring merupakan bagian dari saluran pernafasan dan organ yang menghasilkan suara.3 Laring berbentuk seperti limas terpancung dengan bagian atasnya lebih lebar dibandingkan dengan bagian dasarnya. Panjang dari laring adalah 5 cm (2 in) dimulai dari vertebra cervical III sampai dengan cervical VI. Pada bagian superior melekat pada Os hyoid dan berbatasan dengan laringofaring, sedangkan bagian inferior dibatasi oleh bagian kaudal dari trakhea.4,5 Struktur kerangka dari laring terdiri dari 1 tulang dan 9 kartilago yang dihubungkan oleh membrane dan ligamen. Pada bagian superior terdapat Os hioideum, struktur yang berbentuk huruf U dan dapat dipalpasi di leher depan dan lewat mulut pada dinding faring lateral. Kartilago yang terbesar adalah kartilago tiroid yang berbentuk perisai karena merupakan gabungan dari 2 buah kartilago. Dibawah kartilago tiroid terdapat kartilago krokoid yang berbentuk seperti cincin yang melekat di atas dari trakea. Terdapat tiga pasang tulang-tilang rawan kecil pada lateral dan posterior dari dinding laring, yaitu kartilago aritenoid, kartilago kuneiform, dan kartilago kornikulata. Kartilago yang terakhir adalah kartilago epiglotis, yang tersusun dari kartilago yang elastic dan hampir keseluruhannya dilapisi oleh mukosa yang terdapat taste-bud.4,5

Gambar 1. Gambar laring potongan anterior dan posterior6

Otot-otot laring dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu otot ekstrinsik dan otot intrinsik. Otot ekstrinsik yang terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sementara otot intrinsik menyebabkan gerakan antara berbagai struktur-struktur laring sendiri. Otot ekstrinsik dapat digolongkan menurut fungsinya yaitu depresor (otot leher) yang berasal dari bagian inferior, elevator yang meluas dari os hioideum ke mandibula, lidah, dan prosesus stiloideus pada cranium.5 Sedangkan otot-otot instrinsik dari laring dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu abductor, adductor, dan tensor. Otot-otot ini berpasangan kecuali M. interaritenoid. Fungsinya adalah mempertahankan jalan nafas, mengontrol tahanan terhadap udara ekspirasi selama fonasi, dan membantu fungsi sfingter dalam mencegah aspirasi benda asing selama proses menelan.7 Laring diatas plika vokalis mendapat suplai darah dari arteri dan vena laringeal superior yang masuk melalui membrane tiroid, sedangkan yang berada dibawah plika vokaslis di perdarahi oleh arteri dan vena laringeal inferior, cabang dari arteri tiroid inferior. Persarafan nya beraasal dari N. laryngeal recurrent kecuali untuk krikotiroid. Untuk krikotiroid dipersarafi oleh N. laryngeal superior cabang dari N. X.3

Otot- Otot Depresor M. omohioideus M. sternotiroideus M. sternohioideus M. tirohioideus

Otot-otot Elevator M. milohioideus M. geniohioideus M. genioglosus M. hioglosus M. digastrikus M. stilohioideus

Tabel 1. Pengelompokan otot-otot ekstrinsik laring 4,7

Otot Abduktor

Otot Adduktor

Otot Tensor M. tyroarytenoid interna (M. vocalis) M. cricotyroid

M. cricoarytenoid posterior M. cricoarytenoid lateral M. interarytenoid M. tyroarytenoid ekterna

Tabel 2. Pengelompokan otot-otot intrinsic laring 4,7

II. Etiologi Trauma laring dapat disebabkan oleh beberapa keadaan. Menurut Ballanger, trauma laring dapat disebabkan oleh 4 kelompok penyebab, yaitu : 7,8 1. Trauma Mekanik Eksterna a. Trauma tumpul b.Trauma tajam c. Komplikasi trakeostomi atau krikotirotomi Interna a. Tindakan endoskopi b.Intubasi trakea pemasangan NGT

2. Trauma akibat luka bakar a. Termal a. Tertelan makanan atau minuman panas

b.Terhirup udara atau gas panas b. Kimia


i. ii. iii. iv.

Basa kuat (NaOH, KOH) Amonia Natrium hipoklorit Orthophenylphenol

3. Trauma akibat radiasi 4. Trauma autogen akibat pemakaian suara yang berlebihan, seperti berteriak, menjerit keras, atau nyanyi dengan suara yang keras.

III. Patofisiologi Boyes (1968) membagi trauma laring dan trakea berdasarkan beratnya kerusakan yang timbul. Pembagian golongan trauma ini erat hubungannya dengan prognosis fungsi primer laring dan trakea, yaitu sebagai saluran nafas yang adekuat. Pembagiannya dalam 3 golongan yaitu :8 a. Trauma dengan kelainan hanya pada mukosa, berupa edema, hematoma, emfisema submukosa, luka tusuk, atau luka sayat tenpa kerusakan tulang rawan.. b. Trauma yang mengakibatkan tulang rawan hancur (crashed injuries),

c. Trauma yang mengakibatkan sebagian jaringan hilang. Leher dapat terjadi hiperekstensi pada saat trauma, yang mana kerangka laring akan terhimpit antara objek dan tulang vertebra. Akibat dari momentum dari pita suara yang menimbulkan efek shearing pada M. vocalis dan perikondrium dalam. Hal tersebut akan menghasilkan robekan mukosa, edema, atau hematoma. Trauma yang lebih berat lagi akan menyebabkan terjadinya fraktur pada kartilago-kartilago di laring dan gangguan pada ligamentligamen laring.2 Subluksasi atau dislokasi dari kartilago aritenoid dapat menyebabkan pita suara menjadi kaku. Trauma unilateral dari N. laryngeal recurrent sering berkaitan dengan trauma sendi krikoaritenoid karena letak dari nervus ini dengan kartilago krikoid. Fraktur dari kartilago krikoid terjadi sendirian atau bersama-sama dengan trauma lainnya, terutama setelah trauma cervical. Oleh karena karilago krikoid merupakan satu-satunya yang berbentuk cincin yang sempurna dari jalan pernafasan, maka struktur ini sangat penting dalam menjaga jalan nafas.2

Trauma tumpul pada cervical sering diikuti dengan trauma lainnya fraktur Os hyoid yang diikuti dengan trauma pada epiglottis dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. Hipotesis yang ada menyatakan perbedaan tipe cedera yang timbul setelah cedera tumpul dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin dan usia. Wanita lebih cenderung mengalami cedera pada supraglotisnya karena wanita memiliki leher yang lebih panjang dan kecil. Pada pasien yang lebih tua akan lebih sering mengalami fraktur dibandingkan dengan yang lebih muda karena laring pada orang yang lebih tua telah mengalami kalsifiaksi yang lebih banyak. Akan tetapi tidak dari hipotesis-hipotesis ini yang telah dibuktikan secara klinis.2 Trauma laring jarang terjadi pada anak-anak karena memiliki leher yang lebih panjang dan terlindungi oleh mandibula bila dibandingkan dengan dewasa. Walaupun terjadi fraktur laring, maka frakturnya akan lebih ringan karena elatisitas dari kartilago-katilago laring pada anak-anak lebih tinggi. Akan tetapi, kurangnya jaringan fibrosa dan membrane mukosa yang relatif terikat longgar menyebabkan anak-anak mengalami trauma jaringan lunak lebih sering dan lebih berat dibandingkan dewasa.2 Pada trauma laring akibat trauma termal, patologi yang terjadi sama dengan luka bakar yang terjadi di kulit. Yang biasanya terjadi adalah luka bakar derajat I dan II, jarang terjadi luka bakar derajat III karena masa kontaknya dengan mukosa laring biasnya singkat sehingga menyebabkan edema supraglotik dengan obstruksi jalan nafas.7 Cara terjadinya trauma pada trauma laring akibat radiasi adalah epitel yang bersilia terhenti fungsi dan epitel kelenjar akan menghilang. Akibatnya terjadi mukositis, dengan mukosa kering, granuler, ada daerah-daerah yang kehilangan epitel serta bercak-bercak eksudat (laryngitis sika). Edema jaringan subepitel timbul akibat obstruksi vena dan aliran limfe. Jika trauma yang diberikan pada jaringan lebih dari 1000-1400 rad maka akan terjadi trauma vascular yang irreversibel akibat proliferasi epitel dan fibrosis sub intima sehingga terjadi obstruksi arteriol, vena kecil dan saluran limfe. Sedangkan efek trauma pada tulang rawan biasanya terjadi kerusakan pada kondrosit dan progresivitasnya lambat.7 Trauma autogen terjadi akibat ujung prosesus vokalis mendapat trauma karena saling bersentuhan pada saat berbicara keras, dengan akibat mukosa tipis yang menutupinya rusak dan

daerah tulang rawan terbuka. Jika trauma terus berlanjut, proses inflamasi akan terjadi, ditandai dengan hiperemi dan jaringan granulasi.7

IV. Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis terjadinya trauma laring dari trauma leher anterior adalah berdasarkan adanya manifestasi klinik dan pemeriksaan penunjang. Adanya riwayat trauma leher anterior disertai dengan salah satu manifestasi klinik lain merupakan dasar untuk melakukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosisnya.7 1. Manifestasi klinik2,3,7,8 Pasien dengan adanya riwayat trauma leher anterior dicurigai memiliki cedera pada saluran nafas bagian atas. Gejala klasik dari trauma laringotrakeal adalah adanya dispneu dan nafas berbunyi stridor, disfonia atau afonia, batuk, hemoptisis dan hematemesis, nyeri pada leher, dan disfagia dan odinofagia. Setelah terjadinya trauma, pemeriksaan fisik leher penting untuk mengetahui apakah ada keterlibatan cedera neurovaskuler. Diagnosis cedera tulang belakang harus disingkirkan. Beberapa tanda klinis yang dapat timbul adalah adanya deformitas leher, emfisema subkutis, nyeri tekan laring, krepitasi tulang, prominens kartilago tiroid menghilang, hematom, edem, dan laserasi pada laring, serta immobilitas dari pita suara. 2. Pemeriksaan penunjang2,3,7 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien yang dicurigai dengan trauma laringotrakeal adalah pemeriksaan laringoskopi langsung, laringoskopi tidak langsung, bronkoskopi, dan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan laringoskopi langsung, laringoskopi tidak langsung, dan bronkoskopi bertujuan untuk melihat adanya edema, hematoma, mukosa dan tulang rawan yang bergeser dan paralisis pita suara. Sedangkan untuk mendeteksi adanya fraktur laringotrakeal atau pneumothoraks dapat dilakukan pemeriksaan radiologi. CT (Computed Tomography) merupakan pemeriksaan radiologis yang paling berguna untuk mengevaluasi trauma laring dan trakea ini. CT Scan tidak akan memberikan keuntungan pada 2 kelompok pasien, yaitu :

a. Pasien dengan fraktur yang jelas, laserasi endolaringeal yang lebar, atau luka terbuka yang sangat berat. Hal-hal tersebut lebih membutuhkan trakeostomi, laringoskopi langsung, dan open exploration. Akan tetapi ada beberapa ahli berpendapat bahwa CT scan tetap diperlukan walaupun dalam kondisi pasien tersebut dengan pertimbangan untuk merencanakan perbaikan strukturnya pada saat operasi. b. Pasien dengan trauma leher anterior yang minimal dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda trauma laring. Selain CT scan juga dilakukan pemeriksaan penunjang radiologi lainnya seperti MRI (Magnetic Resonance Imaging) angiography dan USG Doppler untuk mengidentifikasi terlibatnya cedera pada vaskular.

V. Penatalaksanaan Tujuan utama dari penatalaksanaan trauma latingotrakeal akut secara umum adalah mempertahankan saluran pernafasan dan mengembalikan fungsinya. Penatalaksanaan trauma ini tergantung dari jenis luka yang terjadi.8 Luka Terbuka Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke arah paru. Pada permulaan penatalaksanaan awal dilakukan penatalaksanaan pasien trauma pada umumnya yatiu mempertahankan jalan nafas, pernafasannya dan resusitasi jantung dengan kontrol hemoragik, serta stabilisasi neural yang kemudian diikuti dengan investigasi sistem organ lainnya.1-3,7-10 Tindakan yang segera harus dilakukan adalah trakeostomi dengan menggunakan kanul trakea yang memakai balon, sehingga tidak terjadi aspirasi darah. Tindakan intubasi endotrakeal tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan kerusakan struktur laring yang lebih parah. Setelah dilakukan trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat pembuluh darah yang cederaserta memperbaiki struktur laring dengan menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek. Untuk mencegah infeksi dan tetanus dapat diberikan antibiotik dan serum anti tetanus. 8

Luka Tertutup

Penegakkan diagnosis dari trauma laring tertutup lebih sulit dibandingkan pada jenis tertutup. Penegakkan diagnosis sangat penting dilakukan untuk mengetahui apakah segera dilakukan eksplorasi atau hanya pengobatan konservatif atau observasi saja.7-10 Kebanyakan pasien trauma laring juga mengalami trauma pada kepala dan dada, sehingga pasien biasanya dirawat di ruang perawatan intensif dalam keadaan tidak sadar dan sesak nafas. Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas tanpa memikirkan penatalaksaan selanjutnya akan menimbulkan masalah untuk melakukan dekanulasi pada nantinya.8 Menurut Olson, eksplorasi harus dilakukan dalam rentang waktu 1 minggu setelah terjadinya trauma. Hal ini disebabkan karena eksplorasi yang dilakukan lebih dari 1 minggu akan memberikan hasil yang kurang baik dan menimbulkan komplikasi. Keputusan melakukan eksplorasi juga harus berdasarkan pemeriksaan penunjang.8 Pada umumnya pengobatan konservatif dilakukan dengan istirahat suara, humidifikasi, dan pemberian kortikosteroid yang diberikan pada mukosa laring yang edema, hematoma atau laserasi ringan, tanpa adanya gejala sumbatan laring. 8 Untuk menyangga lumen laring dapang digunakan bidai (stent) atau mold dari silastik, proteks atau silicon, yang dipertahankan selama 4 hingga 6 minggu. Penyangga tersebut biasanya berbentuk seperti huruf T hingga disebut dengan T tube.8 Indikasi untuk melakukan eksplorasi adalah :8 a. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi, b. emfisema subkutis yang progresif, c. laserasi mukosa yang luas, d. tulang krikoid yang terbuka, e. paralisis bilateral pita suara. Pada luka bakar yang terjadi akibat terhirup udara panas atau makanan panas pada laring dilakukan penatalaksaan yang sama dengan trauma mekanik laring yaitu dengan melakukan trakeostomi segera. Edema yang timbul biasanya segera menghilang. Untuk perawatannya diperlukan humidifikasi yagn adekuat dan istirahat suara total. Sedangkan luka bakar pada laring

yagn timbul akibat bahan kimia ditanggulangi bersama dengan luka bakar di hipofaring dan esophagus. Muntah tidak boleh diinduksi karena akan menyebabkan esophagus mterkena zat korosif untuk kedua kalinya. Selain itu penatalaksanaannya sama dengan penanganan trauma laringotrakea lainnya.3 Trauma laringotrakea yang disebabkan radiasi tidak memerlukan terapi spesisfik, terapi empiris seperti obat kumur, humidifikasi, analgetik, dan penekan batuk. Tindakan bedah tidak boleh dilakukan sampai infeksi dapat dikontrol dengan terapi antibiotik. Trakeostomi berguna untuk menghilangkan obstruksi. Jika edem obstruksi tidak mengalami infeksi dapat diberikan terapi steroid. Jika infeksi akut telah terkontrol, maka harus dilakukan pembersihan secara pembedahan.3 Sedangkan trauma yang disebabkan karena autogen diatasi dengan istirahat suara total selama beberapa minggu. Masa istirahat suara singkat harus diikuti dengan latihan suara kembali secara bertahap.3

VI. Komplikasi Akibat dari terapi yang tidak adekuat atau terlambat, trauma laring akan menyebabkan beberapa komplikasi yaitu berupa jaringan yang bergranulasi, stenosis laring, paralisis pita suara. Beberapa cara mengatasi dari komplikasi ini adalah pembedahan seperti eksisi, laringotracheolplasty, reseksi, injeksi pita suara, dan lain-lain.2

10
Riwayat Trauma Leher dan manifestasi klinik

Kecurigaan cedera laring Ancaman sumbatan jalan nafas Trakeostomi Laringoskop langsung dan esofagokopi
Penurunan Jalan Nafas

Jalan nafas stabil Laringoskopi serat optik Abnormalitas ringan sampai sedang Endolaring normal

Edema mukosa yang signifikan, hematom dsb, fraktur displasia Hilangnya mukosa dan kartilago

Hematoma, laserasi kecil, endolaring intak

Fraktur terisolasi, kartilago tiroid terangulasi, endolaring intak

Jalan Nafas Stabil

CT Scan

Observasi

Ekplorasi terbuka dengan ORIF tanpa tirotomi

Tirotomi laring

Fraktur tiroid atau krikoid diplasia

Fraktur tiroid nondisplasia dengan jalan nafas stabil

Normal

Observasi

Kartilago laring tidak stabil, gangguan komisura anterior, cedera mukosa berat

Kartilago laring dan komisura anterior dapat diperbaiki

Laringoskopi langsung dan esofagoskopi

Observasi lebih lanjut

Terdapat kerusakan kartilago endo laringeal

Tidak terdapat gangguan karlitago dan laserasi minimal

ORIF: perbaikan laserasi, Stent endolaringeal

ORIF: perbaikan laserasi, Stent endolaringeal

Ekplorasi terbuka dengan ORIF tanpa tirotomi

Algoritma Penatalaksanaan Trauma Laring2

11

Daftar Pustaka 1. Novialdi, Rahman S. Penatalaksanaan Trauma Tembus Leher Akibat Luka Sayat. Padang: Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2009 Jordan JR, Stringer SP. Laringeal Trauma. In : Head & Neck SurgeryOTOLARINGOLOGY fourth edition volume one editor: Byron J. Philadelphia: Lippincolt Williams & Wilkins A Wolters Kluwer Business. 2006; 949-59 Maran AGD. Laryngotracheal Trauma. In : Disease of the Nose, Throat and Ear Tenth Edition Editor: A.G.D Maran. Edinburgh: Jaypee Brothers. 2007; 185-90 Cohen JI. Anatomi dan Fisiologi. Dalam: BOIES: Buku Ajar Penyakit THT edisi 6 Editor: Harjanto Effendi. Jakarta: EGC.1994; 369-77 Marieb EN, Hehn K. Anatomy & physiology Fourth Edition. San Fransisco: Pearson Benjamin Cummings. 2011; 705-9 URL http://iupucbio2.iupui.edu/anatomy/Outlines/Martini%204th%20Chapt%2024.htm (diunduh 20 Januari 2012) Ballenger JJ. Trauma Laring. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher edisi 13 jilid 1 editor: Nurbaiti I, Endang M, Averdi R. Jakarta: Binarupa Aksara. 1994; 486-510 Munir M, Hadiwikarta A, Hutauruk SM. Trauma Laring. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher edisi keenam editor Efiaty S, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DS. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2009; 208-11 Lore JM. Laryngeal Trauma. In: An Atlas of Head & Neck Surgery Fourth Edition Volume 2. Philadelphia: Elseviers Health Sciences. 2005; 1154-9 Anonim. Respiratory System. Available from

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10. Pasha R, Doerr TD, Mathog RH. Laryngeal Trauma. In: Otolaryngology Head & Neck Surgery: Clinical Reference Guide. San Diego: Singular/Thomson Learning. 2001; 472-4

Anda mungkin juga menyukai