Anda di halaman 1dari 33

BAGIAN ILMU THT - KL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

REFERAT
APRIL 2015

TRAUMA LARING

OLEH :
SRI HARDIANTI, S.Ked
NIM : 10542 0151 09
ELIM JUSRI,S.Ked
NIM : 10542 0073 09

PEMBIMBING :
Dr. Farida M, Sp.THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2015

LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:


SRI HARDIANTI, S.Ked
NIM : 10542 0151 09
ELIM JUSRI,S.Ked
NIM : 10542 0073 09
Dengan Judul Referat : TRAUMA LARING
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian
Ilmu THT - KL Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, 21 April 2015


Pembimbing

(dr. FARIDAH M. Sp.THT-KL)

DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL.....................................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN....................................................................

ii

DAFTAR ISI...............................................................................................

iii

1. PENDAHULUAN...........................................................................
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI .....................................................
3. ETIOLOGI.....................................................................................
4. KLASIFIKASI TRAUMA LARING............................................
5. PATOFISIOLOGI .........................................................................
6. DIAGNOSIS ..................................................................................
7. GEJALA DAN TANDA TRAUMA LARING..............................
8. PEMERIKSAAN LARING...........................................................
9. PENATALAKSANAN ..................................................................
10. ALGORITMA PENATALAKSANAAN TRAUMA
LARING..........................................................................................
11. KOMPLIKASI ..............................................................................
12. PROGNOSIS .................................................................................

1
1
6
7
8
8
9
10
18

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................

26

24
25
25

TRAUMA LARING
1. PENDAHULUAN
Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat
luka sayat, luka tusuk dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah leher selain
dapat merusak struktur laring juga menyebabkan cedera pada jaringan lunak
seperti otot, saraf, pembulu darah dll. Hal ini sering terjadi dalam kehidupan
sehari-hari seperti leher terpukul oleh tangkai pompa air, leher membentur dash

board dalam kecelakaan mobil, tertendang atau terpukul waktu berolah raga bela
diri, berkelahi, dicekik atau usaha bunuh diri dengan menggantung diri
(strangulasi) atau seorang pengendara motor terjerat tali yang terentang di jalan
(clothesline injury).1,2,3
Trauma laring merupakan penyebab kematian kedua terbanyak pada
trauma kepala dan leher setelah trauma intrakranial. Tiga perempat dari total kasus
berupa trauma tumpul dan seperempat sisanya trauma tembus laring. 1,3 Trauma
tumpul laring memerlukan penanganan yang cepat dan tepat, yang bertujuan
untuk menyelamatkan jiwa, serta untuk mencegah timbulnya komplikasi pasca
trauma.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang (pemeriksaan radiologis). Pemeriksaan laringoskopi
dilakukan untuk menemukan adanya keadaan patologi di dalam lumen laring.

1, 2

Prinsip penatalaksanaan dari trauma tumpul laring adalah menjaga supaya jalan
nafas (airway) tetap lancar dan memperbaiki atau mengembalikan fungsi organ
laring itu sendiri. 1
Laring memiliki tiga fungsi penting yaitu perlindungan jalan nafas ,
regulasi respirasi, dan fonasi. Cedera pada laring akibat trauma bisa
membahayakan. Untungnya, trauma laring jarang ditemukan hanya sebagian
kecil. Protokol standar telah dikembangkan untuk membantu memandu evaluasi
yang akurat dan identifikasi cedera yang memerlukan intervensi operasi.
Diagnosis dan pengobatan dini sangat penting untuk mencegah
termasuk kematian.

komplikasi,

1,4,5

2. ANATOMI DAN FISIOLOGI

6,7,8,9

Kerangka laring terdiri dari kartilago-tiroid, kartilago krikoid, kartilago


aritenoid, dan kartilago epiglotik. Pita suara asli (plika vokalis) terdiri atas
membran di dua pertiga bagian depan dan tulang rawan di sepertiga bagian
belakang. Bagian membranosa pita suara di sisi medial terdiri dari ligamentum
vokale dan muskulus vokalis (mm. triroaritenoid) yang menegangkan pita suara.

Konus elastikus (sebuah membrane jaringan ikat submukosa) berasal dari


trakea dan berakhir di sisi bawah pita suara. Pita suara dilapisi oleh selaput lender
yang terdiri atas beberapa lapis sel skuamosa nonkeratin. Dibawahnya terdapat
lapisan jaringan ikat tipis dan lunak (dari Reinke). Mudahnya bergerak dan
kelenturan merupakan hal yang penting supaya getaran pita suara tidak terganggu.
Pita suara lentur karena pada lapisan ini tidak terdapat pembuluh darah besar. Hal
ini juga menerangkan mengapa pita suara berwarna putih. Pita suara palsu berada
disebelah cranial pita suara asli; keduanya terpisahkan oleh sinus morgagni.

Gambar 1 : Anatomy Of The Larynx


Otototot laring terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu otot-otot
ekstrinsik dan otot-otot intrinsik yang masing-masing mempunyai fungsi yang
berbeda.
2.1 Otot - Otot Ekstrinsik.
Otot-otot ini menghubungkan laring dengan struktur disekitarnya.
Kelompok otot ini menggerakkan laring secara keseluruhan.
Terbagi atas :
1. Otot-otot suprahioid / otot-otot elevator laring, yaitu :

M. Stilohioideus
M. Milohioideus
M. Geniohioideus

M. Digastrikus
M. Genioglosus
M. Hioglosus

2. Otot-otot infrahioid / otot-otot depresor laring, yaitu :


M. Omohioideus
M. Sternokleidomastoideus
M. Tirohioideus

Gambar 2 : Extrinsic Muscles of the Larynx

Kelompok otot-otot depresor dipersarafi oleh ansa hipoglossi C2

dan C3 dan penting untuk proses menelan (deglutisi) dan pembentukan suara
(fonasi). Muskulus konstriktor faringeus medius termasuk dalam kelompok ini
dan melekat pada linea oblikus kartilago tiroidea. Otot-otot ini penting pada
proses deglutisi.
2.2 Otot - Otot Intrinsik

Menghubungkan kartilago satu dengan yang lainnya. Berfungsi

menggerakkan struktur yang ada di dalam laring terutama untuk membentuk suara
dan

bernafas.

Otot-otot

pada

kelompok

ini

berpasangan

kecuali

m.

interaritenoideus yang serabutnya berjalan transversal dan oblik. Fungsi otot ini
dalam proses pembentukkan suara, proses menelan dan berbafas. Bila m.

interaritenoideus berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis tengah sehingga
menyebabkan adduksi pita suara.
Yang termasuk dalam kelompok otot intrinsik adalah :
1. Otot-otot adduktor :
Mm. Interaritenoideus transversal dan oblik
M. Krikotiroideus
M. Krikotiroideus lateral
Berfungsi untuk menutup pita suara.
2. Otot-otot abduktor :
M. Krikoaritenoideus posterior
Berfungsi untuk membuka pita suara.
3. Otot-otot tensor :
Tensor Internus : M. Tiroaritenoideus dan M. Vokalis
Tensor Eksternus : M. Krikotiroideus

Mempunyai fungsi untuk menegangkan pita suara. Pada orang tua,

m. tensor internus kehilangan sebagian tonusnya sehingga pita suara melengkung


ke lateral mengakibatkan suara menjadi lemah dan serak.

Gambar 3 : The Intrinsic Muscles


2.3 Persarafan
Laring dipersaraf oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan
Nn. Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.
1. Nn. Laringeus Superior
Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke
depan dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian
akan bercabang dua, yaitu :
Cabang Interna : bersifat sensoris, mempersarafi vallecula,
epiglotis, sinus pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas
pita suara sejati.
Cabang Eksterna : bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid
dan m. Konstriktor inferior.
2. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren)

Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring


tepat di belakang

artikulasio

krikotiroidea. N. laringeus yang kiri

mempunyai perjalanan yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga


mudah terganggu. Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian proksimal
A. subklavia dan berjalan membelok ke atas sepanjang lekukan antara
trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai laring tepat di belakang
artikulasio krikotiroidea dan memberikan persarafan :
Sensoris : mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas
trakea.
Motoris : mempersarafi semua otot laring kecuali M.
Krikotiroidea.

Gambar 4 : The Laryngeal Nerves


3. ETIOLOGI

Ballangar membagi penyebab trauma laring atas:

1. Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi


trakeostomi atau krikotirotomi) dan mekanik internal (akibat tindakan
endoskopi, intubasi endotrakea atau pemasangan pipa nasogaster).
2. Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan yang panas) dan
kimia (cairan alkohol, amoniak, natrium hipoklorid dan lisol) yang
terhirup.

3. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher.


4. Trauma otogen akibat pemakaian suara yang berlebihan (vocal abuse)
misalnya akibat berteriak, menjerit keras, atau bernyanyi dengan suara
keras.

4. KLASIFIKASI TRAUMA LARING

Menurut Schaefer, trauma laring dibagi menjadi 4 kelompok,

berdasarkan kerusakan yang terjadi, yaitu :


1. Laserasi ringan, hematom ringan dan tidak ada tanda fraktur.
2. Edema, hematom, kerusakan mukosa ringan tanpa disertai kartilago yang
terpapar dan fraktur tanpa adanya perubahan posisi.
3. Edema yang masif, robekan mukosa, kartilago terpapar, fraktur dengan
perubahan posisi dan immobilitas pita suara.
4. Seperti kelompok 3, dengan adanya fraktur lebih dari 2 atau trauma masif
pada mukosa laring.

Dikutip dari Harris, Ainsworth dan Le May, yang membagi

trauma akut laring dan trakea menurut lokasinya :


1. Supraglotik: kerusakan yang terjadi mengenai os hioid, membran
hioitiroidea dan bagian di atas pita suara.
2. Transglotik: mengenai kartilago tiroidea dan melalui atau meluas ke pita
suara.
3.

Subglotik: mengenai laring di bawah pita suara sampai cincin trakea


pertama.

4. Trakeal: mengenai cincin pertama terus ke bawah.

Berdasarkan beratnya kerusakan yang ada, Boyles membagi

trauma laring menjadi 3 golongan :


1. Trauma dengan kelainan mukosa saja, edema, hematoma, emfisema
subkutis, laserasi dan luka tusuk atau sayat tanpa adanya kelainan pd
tulang rawan.
2. Trauma dengan remuk atau hancurnya tulang rawan (crush injuries).
3. Trauma dengan hilangnya sebagian jaringan.

Menurut Cohn dan Larson, membagi trauma laring menurut cara kerja
trauma yaitu:
1. Trauma tumpul
2. Trauma tembus
5. PATOFISIOLOGI 1,4,5
Trauma laring dapat menyebabkan edema dan hematoma di plika

ariepiglotika dan plika ventrikularis, oleh karena jaringan submukosa di


daerah ini mudah membengkak. Selain itu mukosa faring dan laring
mudah robek, yang akan diikuti oleh terbentuknya emfisema subkutis di
daerah leher. Infeksi sekunder melalui robekan ini dapat menyebabkan
selulitis, abses atau fistel.

Tulang rawan laring dan persendiannya dapat mengalami fraktur

dan dislokasi. Kerusakan pada perikondrium dapat menyebabkan hematoma,


nekrosis tulang rawan dan perikondritis yang mengakibatkan penyempitan lumen
laring dan trakea. Robekan mukosa yang tidak dijahit dengan baik, yang diikuti
oleh infeksi sekunder, dapat menimbulkan terbentuknya jaringan granulasi,
fibrosis, dan akhirnya stenosis.
Boyes (1968) membagi trauma laring dan trakea berdasarkan

beratnya kerusakan yang timbul, dalam tiga golongan : a). trauma dengan
kelainan mukosa saja, berupa edema hematoma, emfisema submukosa,
luka tusuk atau luka sayat tanpa kerusakan tulang rawan, b).trauma yang
mengakibatkan tulang rawan hancur (crushing injuries), c). trauma yang
mengakibatkan sebagian jaringan hilang. Pembagian golongan trauma ini
erat hubungannya dengan prognosis fungsi primer laring dan trakea, yaitu
sebagai saluran napas yang adekuat. 1
6. DIAGNOSIS 1,4,6

Diagnosis trauma laring ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya

riwayat trauma pada laring. Banyak kasus trauma laring yang pada awalnya tidak

menimbulkan gejala. Hal ini menyebabkan adanya anggapan tidak terdapat


kerusakan pada struktur laring

Pada trauma tumpul laring, kerusakan internal laring dapat lebih

besar dari bagian eksternal. Kerusakan yang terjadi dapat berupa trauma jaringan
lunak, hematoma, dislokasi, fraktur, dan esophageal tear. Pada awal kasus, dapat
berupa asymptomatic case.

Gejala yang mungkin timbul adalah perubahan suara, seperti serak

dapat timbul tergantung dari tipe dan derajat kerusakan dari pita suara. Hematom
menyebabkan suara akan menjadi serak, sedangkan avulsi pita suara
menyebabkan suara menjadi lemah. 3 Nyeri terjadi terutama pada kerusakan yang
berat, terutama bila terjadi fraktur tulang hioid.

Sesak nafas, stridor tidak terdapat pada tahap dini. Edema,

hematom dan emfisema yang tidak terlalu berat tidak cukup untuk menyebabkan
obstruksi jalan nafas. Tidak jarang stridor timbul setelah beberapa jam. Oleh
sebab itu pasien trauma laring harus diobservasi di rumah sakit selama 24 jam,
walaupun ringan.

Batuk iritatif dapat merupakan gejala awal dari kelainan di bagian

dalam laring. Hemoptisis dan perdarahan dari saluran nafas bagian atas dapat
menyebabkan gangguan jalan nafas. Gejala-gejala tadi dapat disertai adanya
deformitas leher, baik perubahan bentuk atau pembengkakan, emfisema, nyeri
sentuh dan krepitasi tulang. Adanya fraktur dibuktikan dengan melakukan palpasi.

Gejala yang timbul dapat berupa disfonia, dispnoe, disfagia, batuk

atau aspirasi. Pada pemeriksaan leher ditemukan bengkak di leher, emfisema,


ekimosis dan nyeri. Edema daerah leher, merupakan tanda terjadinya perdarahan.
Hilangnya prominence dari laring, curigai telah terjadi fraktur. Salah satu prinsip
adalah jangan pernah mengangkat leher sampai kemungkinan fraktur daerah
cervikal telah tersingkirkan.

Fraktur kartilago tiroid yang menyertai trauma tumpul laring, bisa

dipalpasi untuk mengetahui posisi dan mobilitas fraktur tersebut. Pada


pemeriksaan laringoskopi indirek didapatkan gambaran adanya hemorrhage
(perdarahan), laserasi, dislokasi aritenoid dan immobilitas.

Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiologi, seperti

ronsen thoraks, pada CT scan dapat terlihat adanya fraktur daerah laring. Dapat
juga dilakukan.
7. Gejala dan tanda sumbatan laring akibat trauma laring ialah:
Suara serak (disfonia) sampai afoni
Sesak nafas (dispnea)
Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi
Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal,
epigastrium,supraklavikula dan interkostal.Cekungan ini terjadi
sebagai upaya dari otot-otot pernafasan untuk mendapatkan
oksigen yang adekuat.
Gelisah karena haus udara. (air hunger).
Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena
hipoksia.
Jackson membagi sumbatan laring yang progressif dalam 4 stadium
dengan tanda dan gejala :

Stadium 1 :
Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal.
Stridor pada waktu inspirasi.
Pasien masih tampak tenang.

Stadium 2
Cekungan pada waktu inspirasi didaerah suprasternal makin
dalam.
Cekungan di daerah epigastrium.
Stridor terdengar pada waktu inspirasi.
Pasien mulai tampak gelisah.

Stadium 3
Cekungan selain di suprasternal, epigastrium juga terdapat di
infraklvikula dan disela-sela iga.
Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi.
Pasien sangat gelisah dan dispnea.

Stadium 4

Cekungan cekungan diatas bertambah jelas, pasien sangat


gelisah, tampak sangat ketakutan dan sianosis.
Pasien dapat kehabisan tenaga,pusat perafasan paralitik karena
hiperkapnea.
Pasien lemah dan tertidur,akhirnya meninggal karena asfiksia.

8. Pemeriksaan Laring Terdiri Atas : 6,10,11

Pemeriksaan dari luar dengan inspeksi dan palpasi


Laringoskopia indirekta dengan cermin laring
Laringoskopia direkta dengan laringoskop kaku, laringoskop fiber optik
atau mikroskop
Pemeriksaan kelenjar leher.
Pemeriksaan X-foto rontgen.

8.1 Pemeriksaan Fisis Pada Trauma Laring:12

Gambar 5 : Trauma Laring


8.1.1 Pemeriksaan fisik trauma laring akibat trauma Inhalasi

Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan

cenderung mencederai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran
napas bawah. Daerah yang terkena akan menjadi nekrosis, membentuk jaringan
parut yang menyebabkan defek stenosis pada daerah yang terkena.
8.1.2 Pemeriksaan fisik trauma laring akibat trauma Intubasi

Trauma intubasi paling sering menyebabkan sikatrik kronik dengan

stenosis, juga dapat menimbulkan fistula trakeoesofageal, erosi trakea oleh pipa
trakeostomi, fistula trakea-arteri inominata, dan ruptur bronchial.

8.1.3 Pemeriksaan fisik trauma laring akibat trauma tumpul

Trauma langsung pada leher bagian depan dapat mengakibatkan

rusaknya cincin trakea maupun laring. Berkowitz melaporkan trauma tumpul


langsung pada daerah leher dapat menyebabkan ruptur trakea pars membranosa.
8.1.4 Pemeriksaan fisik trauma laring akibat trauma tajam

Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari

saluran nafas, trakea merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma
akibat luka tusukan. Laring yang mengalami trauma kira-kira pada sepertiga
saluran nafas bagian atas, dan sisa dua pertiga bagian lagi adalah trakea pars
servikalis.
8.2 Laringoskopia Indirekta

Gambar 6 : Laringoskopi Indirect

Maksudnya adalah melihat laring secara tidak langsung dengan

cara menempatkan cermin di dalam faring dan cermin tersebut disinari dengan
cahaya. Bayangan laring pada cermin terlihat dari sinar yang dipantulkan.

8.2.1 Perhatikan patologi laring :

Gambar 7 : Pemeriksaan Laringoskopi Indirect

Menilai apakah ada peradangan


Ulkus: pada komisura posterior, korda vokalis
Oedem: radang, alergi, tumor
cairan: hemoragis
Perhatikan pergerakan korda vokalis : normal : simetris, gerakan

abduksi dan adduksi


tidak bergerak : paresa unilateral/ bilateral
8.3 Laringoskopia Direkta

Gambar 8 : Laringoskopia Direkta

Melihat laring secara langsung tanpa cermin tetapi dengan

perantara alat yang disebut laringoskop.


Laringoskop yang digunakan dapat berupa :
a. Laringoskop kaku.
b. Laringoskop fiber.
c. Mikrolaringoskop dengan memakai mikroskop.

Gambar 9 : Pemeriksaan Laringoskopi

Gambar 10 :Hematoma + Edema

Gambar 11 : Faryngeal Tear

Gambar 12 : Hematoma

8.4 Pemeriksaan Radiologi 4,5,6

Indikasi untuk melakukan x-foto :


Fraktur laring
Karsinoma laring

Gambar 13 : Normal Ct Scan, Disphonia Moderat, Tidak Ada Fracture


Dan Tidak Ada Pembengkakan

Gambar 14 : Laryngel Trauma

Gambar 15 : Laryngeal Fractur

CT scan merupakan pemeriksaan radiologi pilihan utama untuk


memeriksa trauma laring.

Gambar 16 : Hyoid Bone Fracture

CT scan dapat membantu mendeteksi fraktur laring pada pasien

yang datang tanpa keluhan dan gejala klinis. Namun, pada pasien dengan cedera
ringan dan gejala yang minim (misalnya edema, ekimosis dan hematoma), CT
scan tidak membantu memberikan informasi tambahan yang dapat merubah
terapi. Sama halnya pada pasien yang datang dengan gangguan nafas dan secara
klinik membutuhkan pembedahan yang agresif, tidak memerlukan CT Scan untuk
menegakkan diagnosisnya.

Dengan penggunaan yang bijaksana, informasi yang diperoleh dari

CT Scan dapat menuntun kepada terapi yang tepat dan mencegah dari tindakan
eksplorasi bedah yang tidak perlu. CT Scan haruslah dimaksudkan untuk
menentukan jenis terapi yang tepat dan bukan untuk memastikan cedera yang
telah diperiksa sebelumnya.

Teknik pencitraan CT Scan yang terus berkembang hingga bisa

memproduksi gambar 3 dimensi akan sangat bermanfaat untuk menegakkan


diagnosis fraktur laring di saat modalitas lain seperti MRI, fibroskopi dan CT scan
konvensional tidak mampu mendeteksinya.

MRI jarang dipergunakan dalam mendeteksi trauma laring oleh

karena tidak praktis dan tidak dapat mengambarkan struktur skeletal dengan baik.
8.5 Prosedur diagnostik lainnya :

Prosedur di bawah ini digunakan untuk mengevaluasi pasien yang

dicurigai trauma laring.


Fiberoptik nasofaringoskopi.
Direct laringoskopi.
Bronkoskopi.
Esofagoskop
9. PENATALAKSANAAN 1

Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa

responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada


atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan
jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar
mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus
dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala,
leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi
lidah pada kondisi pasien tidak sadar.
Yang perlu diperhatikan dalam penilaian
Airway pada pasien antara lain :
Jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan
bebas?
Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
Adanya snoring atau gurgling
Stridor atau suara napas tidak normal
Agitasi (hipoksia)
Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
Sianosis
Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
Muntahan
Perdarahan
Gigi lepas atau hilang
Gigi palsu
Trauma wajah
Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
Chin lift, jaw thrust
Lakukan suction (jika tersedia)

Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal


Mask Airway
Lakukan intubasi

Breathing (Pernafasan)
Penilaian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan

nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien
tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah:
dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open
chest injury dan ventilasi buatan.

Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien


antara lain :
Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tandatanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest,
sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous

emphysema,

perkusi

berguna

untuk

diagnosis

haemothorax dan pneumotoraks.


Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
Penilaian kembali status mental pasien.
Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
oksigenasi:
Pemberian terapi oksigen
Bag-Valve Masker

Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan


yang benar), jika diindikasikan
Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
Nilai adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan
berikan terapi sesuai kebutuhan.
Circulation

Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan

oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada


trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia,
takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan
penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi
merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi
perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan
pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah:
tension

pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac,

spinal

shock

dan

anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui


paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik.

Langkah-langkah dalam penilaian terhadap status sirkulasi pasien,

antara lain :
Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
Palpasi nadi radial jika diperlukan:
Menentukan ada atau tidaknya
Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)

Regularity

Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia


(capillary refill).
Lakukan treatment terhadap hipoperfusi

Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi
perintah yang diberikan
V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak
bias dimengerti
P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk
merespon)
U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus
nyeri maupun stimulus verbal.

Expose, Examine dan Evaluate

Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien.

Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi inline penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan
pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan
pada pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal.
Setelah semua pemeriksaan

telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan

selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan
ulang (Thygerson, 2011).

Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang


mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa
pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang
berpotensi tidak stabil atau kritis. (Gilbert., DSouza., & Pletz, 2009)
Penatalaksanaan luka terbagi atas luka terbuka dan luka tertutup.

9.1 Luka Terbuka

Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada

perbaikan saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan segera
yang harus dilakukan adalah trakeotomi dengan menggunakan kanul trakea yang
memakai balon, sehingga tidak terjadi aspirasi darah. Setelah trakeostomi barulah
dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat pembuluh darah yang cedera
serta menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek. Untuk mencegah infeksi dan
tetanus dapat diberikan antibiotika dan serum anti-tetanus.
9.2 Luka Tertutup (Closed Injury)

Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas tanpa

memikirkan penatalaksanaan selanjutnya akan menimbulkan masalah di kemudian


hari, yaitu kesukaran dekanulasi. Olson berpendapat bahwa eksplorasi harus
dilakukan dalam waktu paling lama 1 minggu setelah trauma. Eksplorasi yang
dilakukan setelah lewat seminggu akan memberikan hasil yang kurang baik dan
menimbulkan komplikasi di kemudian hari.

Keputusan untuk menentukan sikap, apakah akan melakukan

eksplorasi atau konservatif, tergantung pada hasil pemeriksaan laringoskopi


langsung atau tidak langsung, foto jaringan lunak leher, foto toraks, dan CT scan.
Pada umumnya pengobatan konservatif dengan istirahat suara, humidifikasi dan
pemberian kortikosteroid diberikan pada keadaan mukosa laring yang edem,
hematoma, atau laserasi ringan, tanpa adanya gejala sumbatan laring.

Indikasi untuk melakukan eksplorasi adalah :

1.

Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.

2.

Emfisema subkutis yang progresif.

3.

Laserasi mukosa yang luas.

4.

Tulang rawan krikoid yang terbuka.

5.

Paralisis bilateral pita suara.

Riwayat trauma daerah leher, tanda-tanda klinis cedera laring.


Kecurigaan cedera laring

Ancaman sumbatan jalan nafas

Jalan nafas stabil


Laringoskopi serat optik

trakeostomi

Gambar 17 : Trakeostomi

Laringoskopi langsung dan esofagoskopi


Laringoskopi langsung dan Kelainan
esofagoskopi
ringan
Endolaring normal

Eksplorasi laring dapat dicapai dengan membuat insisi kulit

horizontal. Tujuannya ialah untuk melakukan reposisi pada tulang rawan atau
sendi yang mengalami fraktur atau dislokasi, menjahit mukosa yang robek dan
Hematoma,Fraktur
laserasi
terisolasi,
kecil, endolaring
subluksasi
Hilangnya
utuh
tiroid,
mukosa
endolaring
atau kartilago
utuh
laring

Tomografi
komputer
menutup tulang rawan yang terbuka dengan gelambir
(flap)
atau tandur alih

(graft) kulit. Untuk menyanggah lumen laring dapat digunakan stent atau mold
dari silastik, porteks atau silicon, yang dipertahankanabnormal
selama 4 ataunormal
6 minggu.
Eksplorasi
konservatif
terbuka dengan reduksi dan fiksasi interna

Trakeostomi atau intubasi

observasi

Laringoskopi langsung dan esofagoskopi

9.3 Algoritma Penatalaksanaan Trauma Laring.1


Tirotomi laring

Reduksi terbuka, fiksasi


Kartilago
interna,
perbaikan
tidak stabil,
laserasi
hilangnya
mukosa,sebagian
pemasangan
Kartilago
komisura
bidai
tidak
anterior,
stbail,
cedera
komisura
mukosa
anterior
beratutuh
laring

Reduksi terbuka, fiksasi interna, perbaikan laserasi mukosa

10.

KOMPLIKASI 1

Komplikasi trauma laring dapat terjadi apabila penatalaksanaannya


kurang tepat dan cepat. Komplikasi yang dapat timbul antara lain :

1. Terbentuknya jaringan parut dan terjadinya stenosis laring.

2. Paralisis nervus rekuren.


3. Infeksi luka dengan akibat terjadinya perikondritis, jaringan parut dan
stenosis laring dan trakea.

11. PROGNOSIS

Dengan tindakan tepat dan cepat prognosis baik. Jika tindakan

terlambat angka kematian tinggi.

Sebagian besar trauma laring dapat sembuh secara spontan dan

tidak memerlukan perhatian lebih lanjut. Oleh karena berbagai faktor yang dapat
memicu cedera ini telah dikurangi maka , derajat dan insidens komplikasinya
dapat pula diminimalisir.

Pasien dengan trauma laring yang disertai dislokasi kartilago

ataupun cedera saraf, memiliki prognosis yang buruk.

DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi E A, Iskandar H N, (edit). Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidungtenggorok kepala leher. Ed. 6 Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.p.208

2. Lucente FE, Har-El G. Ilmu THT Esensial of Otolaryngology. Ed. 5. Jakarta:


EGC; 2011. p.460
3. Sniezek JC, Thomas RW. Laryngeal Trauma. In; Resident Manual of Trauma
to the Face, Head, and Neck. 1st Edition. Alexandria: American Academy of
Otolaryngology; 2012. p. 177-179
4. Jordan JR, Stringer SP. Laryngeal Trauma. In : Bailey BJ, Johnson JT,
editors. Head & Neck Surgery - Otolaryngology, 4th Edition. Lippincott:
Williams & Wilkins; 2006. p.68
5. Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment Otorhinolaryngology Head
and Neck Surgery, 2nd Edition. New York: The McGraw-Hill Companies,
2007; p.
6. Boerk PVD, Feenstra L. Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga.
Ed. 12. Jakarta: EGC; 2010. p. 132-135.
7. Rosen CA, Simpson B. Anatomy and Physiology of the larynx. ISBN; 2008.
p. 312
8. Monnier P. Applied Surgical Anatomy of the Larynx and Trachea. Berlin.
Springer-Verlag Berlin Heidelberg 2011
9. Sasaki CT, Kim YH. Anatomy and Physiology of the Larynx. In: Snow JB,
Ballenger JJ, editors. Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery. 16th Edition. Ontario Hamilton: BC Decker INC. p.1090-1093
10. Rukmini S, Herawati S. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung dan Tenggorok.
Jakarta: EGC; 2012. p. 60-73.
11. Irwan AG, Sugianto. Atlas Berwarna Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung dan
Tenggorok. Jakarta: EGC; 2008. p. 40-45
12. Akhmadu, Wuryantoro. Trauma laringotrakea. 2007. Online [cited July 2009]

Anda mungkin juga menyukai