FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
REFERAT
APRIL 2015
TRAUMA LARING
OLEH :
SRI HARDIANTI, S.Ked
NIM : 10542 0151 09
ELIM JUSRI,S.Ked
NIM : 10542 0073 09
PEMBIMBING :
Dr. Farida M, Sp.THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2015
LEMBAR PENGESAHAN
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL.....................................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................
ii
DAFTAR ISI...............................................................................................
iii
1. PENDAHULUAN...........................................................................
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI .....................................................
3. ETIOLOGI.....................................................................................
4. KLASIFIKASI TRAUMA LARING............................................
5. PATOFISIOLOGI .........................................................................
6. DIAGNOSIS ..................................................................................
7. GEJALA DAN TANDA TRAUMA LARING..............................
8. PEMERIKSAAN LARING...........................................................
9. PENATALAKSANAN ..................................................................
10. ALGORITMA PENATALAKSANAAN TRAUMA
LARING..........................................................................................
11. KOMPLIKASI ..............................................................................
12. PROGNOSIS .................................................................................
1
1
6
7
8
8
9
10
18
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
26
24
25
25
TRAUMA LARING
1. PENDAHULUAN
Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat
luka sayat, luka tusuk dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah leher selain
dapat merusak struktur laring juga menyebabkan cedera pada jaringan lunak
seperti otot, saraf, pembulu darah dll. Hal ini sering terjadi dalam kehidupan
sehari-hari seperti leher terpukul oleh tangkai pompa air, leher membentur dash
board dalam kecelakaan mobil, tertendang atau terpukul waktu berolah raga bela
diri, berkelahi, dicekik atau usaha bunuh diri dengan menggantung diri
(strangulasi) atau seorang pengendara motor terjerat tali yang terentang di jalan
(clothesline injury).1,2,3
Trauma laring merupakan penyebab kematian kedua terbanyak pada
trauma kepala dan leher setelah trauma intrakranial. Tiga perempat dari total kasus
berupa trauma tumpul dan seperempat sisanya trauma tembus laring. 1,3 Trauma
tumpul laring memerlukan penanganan yang cepat dan tepat, yang bertujuan
untuk menyelamatkan jiwa, serta untuk mencegah timbulnya komplikasi pasca
trauma.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang (pemeriksaan radiologis). Pemeriksaan laringoskopi
dilakukan untuk menemukan adanya keadaan patologi di dalam lumen laring.
1, 2
Prinsip penatalaksanaan dari trauma tumpul laring adalah menjaga supaya jalan
nafas (airway) tetap lancar dan memperbaiki atau mengembalikan fungsi organ
laring itu sendiri. 1
Laring memiliki tiga fungsi penting yaitu perlindungan jalan nafas ,
regulasi respirasi, dan fonasi. Cedera pada laring akibat trauma bisa
membahayakan. Untungnya, trauma laring jarang ditemukan hanya sebagian
kecil. Protokol standar telah dikembangkan untuk membantu memandu evaluasi
yang akurat dan identifikasi cedera yang memerlukan intervensi operasi.
Diagnosis dan pengobatan dini sangat penting untuk mencegah
termasuk kematian.
komplikasi,
1,4,5
6,7,8,9
M. Stilohioideus
M. Milohioideus
M. Geniohioideus
M. Digastrikus
M. Genioglosus
M. Hioglosus
dan C3 dan penting untuk proses menelan (deglutisi) dan pembentukan suara
(fonasi). Muskulus konstriktor faringeus medius termasuk dalam kelompok ini
dan melekat pada linea oblikus kartilago tiroidea. Otot-otot ini penting pada
proses deglutisi.
2.2 Otot - Otot Intrinsik
menggerakkan struktur yang ada di dalam laring terutama untuk membentuk suara
dan
bernafas.
Otot-otot
pada
kelompok
ini
berpasangan
kecuali
m.
interaritenoideus yang serabutnya berjalan transversal dan oblik. Fungsi otot ini
dalam proses pembentukkan suara, proses menelan dan berbafas. Bila m.
interaritenoideus berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis tengah sehingga
menyebabkan adduksi pita suara.
Yang termasuk dalam kelompok otot intrinsik adalah :
1. Otot-otot adduktor :
Mm. Interaritenoideus transversal dan oblik
M. Krikotiroideus
M. Krikotiroideus lateral
Berfungsi untuk menutup pita suara.
2. Otot-otot abduktor :
M. Krikoaritenoideus posterior
Berfungsi untuk membuka pita suara.
3. Otot-otot tensor :
Tensor Internus : M. Tiroaritenoideus dan M. Vokalis
Tensor Eksternus : M. Krikotiroideus
artikulasio
Menurut Cohn dan Larson, membagi trauma laring menurut cara kerja
trauma yaitu:
1. Trauma tumpul
2. Trauma tembus
5. PATOFISIOLOGI 1,4,5
Trauma laring dapat menyebabkan edema dan hematoma di plika
beratnya kerusakan yang timbul, dalam tiga golongan : a). trauma dengan
kelainan mukosa saja, berupa edema hematoma, emfisema submukosa,
luka tusuk atau luka sayat tanpa kerusakan tulang rawan, b).trauma yang
mengakibatkan tulang rawan hancur (crushing injuries), c). trauma yang
mengakibatkan sebagian jaringan hilang. Pembagian golongan trauma ini
erat hubungannya dengan prognosis fungsi primer laring dan trakea, yaitu
sebagai saluran napas yang adekuat. 1
6. DIAGNOSIS 1,4,6
riwayat trauma pada laring. Banyak kasus trauma laring yang pada awalnya tidak
besar dari bagian eksternal. Kerusakan yang terjadi dapat berupa trauma jaringan
lunak, hematoma, dislokasi, fraktur, dan esophageal tear. Pada awal kasus, dapat
berupa asymptomatic case.
dapat timbul tergantung dari tipe dan derajat kerusakan dari pita suara. Hematom
menyebabkan suara akan menjadi serak, sedangkan avulsi pita suara
menyebabkan suara menjadi lemah. 3 Nyeri terjadi terutama pada kerusakan yang
berat, terutama bila terjadi fraktur tulang hioid.
hematom dan emfisema yang tidak terlalu berat tidak cukup untuk menyebabkan
obstruksi jalan nafas. Tidak jarang stridor timbul setelah beberapa jam. Oleh
sebab itu pasien trauma laring harus diobservasi di rumah sakit selama 24 jam,
walaupun ringan.
dalam laring. Hemoptisis dan perdarahan dari saluran nafas bagian atas dapat
menyebabkan gangguan jalan nafas. Gejala-gejala tadi dapat disertai adanya
deformitas leher, baik perubahan bentuk atau pembengkakan, emfisema, nyeri
sentuh dan krepitasi tulang. Adanya fraktur dibuktikan dengan melakukan palpasi.
ronsen thoraks, pada CT scan dapat terlihat adanya fraktur daerah laring. Dapat
juga dilakukan.
7. Gejala dan tanda sumbatan laring akibat trauma laring ialah:
Suara serak (disfonia) sampai afoni
Sesak nafas (dispnea)
Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi
Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal,
epigastrium,supraklavikula dan interkostal.Cekungan ini terjadi
sebagai upaya dari otot-otot pernafasan untuk mendapatkan
oksigen yang adekuat.
Gelisah karena haus udara. (air hunger).
Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena
hipoksia.
Jackson membagi sumbatan laring yang progressif dalam 4 stadium
dengan tanda dan gejala :
Stadium 1 :
Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal.
Stridor pada waktu inspirasi.
Pasien masih tampak tenang.
Stadium 2
Cekungan pada waktu inspirasi didaerah suprasternal makin
dalam.
Cekungan di daerah epigastrium.
Stridor terdengar pada waktu inspirasi.
Pasien mulai tampak gelisah.
Stadium 3
Cekungan selain di suprasternal, epigastrium juga terdapat di
infraklvikula dan disela-sela iga.
Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi.
Pasien sangat gelisah dan dispnea.
Stadium 4
Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan
cenderung mencederai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran
napas bawah. Daerah yang terkena akan menjadi nekrosis, membentuk jaringan
parut yang menyebabkan defek stenosis pada daerah yang terkena.
8.1.2 Pemeriksaan fisik trauma laring akibat trauma Intubasi
stenosis, juga dapat menimbulkan fistula trakeoesofageal, erosi trakea oleh pipa
trakeostomi, fistula trakea-arteri inominata, dan ruptur bronchial.
saluran nafas, trakea merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma
akibat luka tusukan. Laring yang mengalami trauma kira-kira pada sepertiga
saluran nafas bagian atas, dan sisa dua pertiga bagian lagi adalah trakea pars
servikalis.
8.2 Laringoskopia Indirekta
cara menempatkan cermin di dalam faring dan cermin tersebut disinari dengan
cahaya. Bayangan laring pada cermin terlihat dari sinar yang dipantulkan.
Gambar 12 : Hematoma
yang datang tanpa keluhan dan gejala klinis. Namun, pada pasien dengan cedera
ringan dan gejala yang minim (misalnya edema, ekimosis dan hematoma), CT
scan tidak membantu memberikan informasi tambahan yang dapat merubah
terapi. Sama halnya pada pasien yang datang dengan gangguan nafas dan secara
klinik membutuhkan pembedahan yang agresif, tidak memerlukan CT Scan untuk
menegakkan diagnosisnya.
CT Scan dapat menuntun kepada terapi yang tepat dan mencegah dari tindakan
eksplorasi bedah yang tidak perlu. CT Scan haruslah dimaksudkan untuk
menentukan jenis terapi yang tepat dan bukan untuk memastikan cedera yang
telah diperiksa sebelumnya.
karena tidak praktis dan tidak dapat mengambarkan struktur skeletal dengan baik.
8.5 Prosedur diagnostik lainnya :
Breathing (Pernafasan)
Penilaian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan
nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien
tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah:
dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open
chest injury dan ventilasi buatan.
emphysema,
perkusi
berguna
untuk
diagnosis
spinal
shock
dan
antara lain :
Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
Palpasi nadi radial jika diperlukan:
Menentukan ada atau tidaknya
Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
Regularity
Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi
perintah yang diberikan
V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak
bias dimengerti
P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk
merespon)
U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus
nyeri maupun stimulus verbal.
Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi inline penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan
pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan
pada pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal.
Setelah semua pemeriksaan
selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan
ulang (Thygerson, 2011).
perbaikan saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan segera
yang harus dilakukan adalah trakeotomi dengan menggunakan kanul trakea yang
memakai balon, sehingga tidak terjadi aspirasi darah. Setelah trakeostomi barulah
dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat pembuluh darah yang cedera
serta menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek. Untuk mencegah infeksi dan
tetanus dapat diberikan antibiotika dan serum anti-tetanus.
9.2 Luka Tertutup (Closed Injury)
1.
2.
3.
4.
5.
trakeostomi
Gambar 17 : Trakeostomi
horizontal. Tujuannya ialah untuk melakukan reposisi pada tulang rawan atau
sendi yang mengalami fraktur atau dislokasi, menjahit mukosa yang robek dan
Hematoma,Fraktur
laserasi
terisolasi,
kecil, endolaring
subluksasi
Hilangnya
utuh
tiroid,
mukosa
endolaring
atau kartilago
utuh
laring
Tomografi
komputer
menutup tulang rawan yang terbuka dengan gelambir
(flap)
atau tandur alih
(graft) kulit. Untuk menyanggah lumen laring dapat digunakan stent atau mold
dari silastik, porteks atau silicon, yang dipertahankanabnormal
selama 4 ataunormal
6 minggu.
Eksplorasi
konservatif
terbuka dengan reduksi dan fiksasi interna
observasi
10.
KOMPLIKASI 1
11. PROGNOSIS
tidak memerlukan perhatian lebih lanjut. Oleh karena berbagai faktor yang dapat
memicu cedera ini telah dikurangi maka , derajat dan insidens komplikasinya
dapat pula diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi E A, Iskandar H N, (edit). Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidungtenggorok kepala leher. Ed. 6 Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.p.208