TINJAUAN PUSTAKA
Struktur penyangga
Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang dan beberapa kartilago yang
berpasangan ataupun tidak. Disebelah superior terdapat os hioideum, struktur yang berbentuk
huruf U dan dapat dipalpasi dari leher depan dan lewat mulut pada dinding faring lateral.3
Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglottis, kartilago tiroid,
kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis dan
katilago tritisea. Kartilago krikoid dihubungkan dengan kartilago tiroid oleh ligamentum
krikotiroid. Bentuk kartilago krikoid berupa lingkaran. Terdapat 2 pasang kartilago aritenoid
yang terletak dekat permukaan belakang laring, dan membentuk sendi dengan kartilago
krikoid, disebut artikulasio krikoariteniod. 4
3
Otot-otot laring
Gerakan laring dilakukan oleh sekelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik.
Otot-otot ektrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan otot-otot
intrinsik menyebabkan gerakan bagian-bagian laring tertentu yang berhubungan dengan
gerakan pita suara. 4
Persarafan laring
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus yaitu n. Laringis superior dan n.
Laringis inferior. Kedua saraf ini
merupakan campuran saraf
motorik dan sensorik. 4
4
Gambar 3. Persyarafan laring
Perdarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang, yaitu : a. Laringis superior dan a.
Laringis inferior yang berasal dari a. Tiroid . Pembuluh limfe untuk laring banyak kecuali di
daerah lipatan vokal. Di daerah lipatan vokal, pembuluh limfe terdiri dari golongan superior
dan inferior. 4
Laring yang biasanya dianggap sebagai organ penghasil suara, namun ternyata
mempunyai tiga fungsi utama yaitu proteksi jalan nafas, respirasi, dan fonasi. 3
Fungsi laring sebagai proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda asing masuk
kedalam trakea, dengan jalan menutup auditus laring dan rima glotis secara bersamaan.
Terjadinya penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi
otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago aritenoid bergerak kedepan akibat
kontraksi m. tiroaritenoid dan m. aritenoid. Selanjutnya m. ariepigloitika berfungsi sebagai
sfingter. Penutupan rima glottis karena adduksi plika vokalis. Kartilago ariteniod kiri dan
kanan mendekat karena adduksi otot-otot intrinsik. 4
Selain itu dengan reflex batuk, benda asing yang telah masuk ke trakea dapat
dibatukkan keluar. Dengan batuk juga dapat mengeluarkan sekret dari paru. 4
Fungsi respirasi dengan mengatur besar kecilnya rima glotis. Bila m. krikoaritenoid
posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago aritenoid akan bergerak
ke lateral, sehingga rima glotis terbuka (abduksi). 4
Fungsi laring sebagai fonasi dengan mengatur tinggi rendahnya nada yaitu diatur oleh
4
ketegangan plika vokalis.
Obstruksi laring adalah keadaan tersumbatnya laring yang dapat disebakan oleh
radang akut dan radang kronis, benda asing, trauma, iatrogenik, tumor laring, dan
kelumpuhan nervus rekuren bilateral. 2
5
2.4 ETIOLOGI
1. Kelainan congenital
Laringomalasia
Tidak ditemukan gangguan patologi dasar ataupun gangguan yang bersifat
progresif pada laringomalasia. Kondisi ini lebih merupakan keadaan laring
neonatus yang terlalu lunak dan kendur jika dibandingakan normalnya. Saat bayi
menarik nafas, laring yang lunak akan saling menempel, mempersempit aditus dan
timbul stridor. Proses menelan tidak terganggu. Proses menangis mestinya normal.
Pertambahan berat dan perkembangan bayi biasanya normal. Stridor merupakan
gejala utama dan dapat berlangsung konstan atau hanya saat bayi tereksitasi.
Bersama stridor dapat timbul retraksi sternum dan dada. Biasanya bayi berusia
beberapa minggu saat mulainya laringomalasia. Prognosisnya cukup baik karena
kartilago akan menjadi kaku. 5,9
Gambar 4. Laringomalasia
Bila sumbatan laring makin hebat sebaiknya dilakukan intubasi trakea dan
jangan dilakukan trakeastomi karena biasanya juga diikuti trakeomalsia. Orang
tua pasien dinasehatkan supaya lekas datang ke dokter jika ada peradangan
saluran nafas atas misalnya pilek.6,9
6
Gambar 5. Radiogram pada trakeomalacia
Stenosis subglotik
Pada daerah subglotik 2-3 cm dari pita suara, sering terdapat penyempitan
(stenosis). Kelainan yang dapat menyebabkan stenosis subglotis ialah : 6
1. Penebalan jaringan submukosa dengan hiperplasia kelenjar mukus dan fibrosis
2. Kelainan bentuk tulang rawan krikoid dengan lumen yang lebih kecil
3. Bentuk tulang rawan krikoid normal dengan ukuran lebih kecil
4. Pergeseran cincin trakea pertama kearah atas belakang ke dalam lumen
krikoid.
2. Trauma laring
Kontusio laring
Bermanifestasi sebagai hematoma internal dan terkadang sebagai dislokasi
kartilago aritenoidea. Trauma biasanya disebabkan benda tumpul. Kunci pada
terapi adalah dengan diagnosis segera. Kontusio dapat diobservasi sementara
7
persiapan trakeotomi tetap dilakukan. Biasanya pasien dengan kontusio cukup
kooperatif untuk dilakukan visualisasi laring. Hematoma biasanya terlihat.5
Stenosis laring dan subglotis
Jaringan parut yang mempersempit jalan nafas merupakan sekuele dari suatu
penyakit atau cedera, dan penatalaksanaannya sering kali sangat sulit. Trauma
tumpul atau tembus, trakeotomi tinggi, penelanan zat kaustik, luka tembak, iritasi
balon tuba endotrakea merupakan penyebab stenosis laring yang paling sering
dijumpai. Biasanya pasien memerlukan intubasi trakea jangka panjang bagi mereka
yang sangat sakit walaupun ini juga dapat mneyebabkan stenosis laring lagi.5
Trauma Intubasi
Trauma akibat intubasi bisa disebabkan karena trauma langsung saat
pemasangan atau pun karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga
menjadi nekrosis. Trauma sekunder akibat intubasi umumnya karena inflasi balon
yang berlebihan walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah.
Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien
yang mengalami trauma saat trakeostomi. Trauma intubasi paling sering
menyebabkan sikatrik kronik dengan stenosis, juga dapat menimbulkan fistula
trakeoesofageal, erosi trakea oleh pipa trakeostomi, fistula trakea-arteri inominata,
dan ruptur bronkial. 7
Penggunaan pipa endotrakea dengan cuff yang bertekanan tinggi merupakan
etiologi yang paling sering terjadi pada intubasi endotrakea. Penggunaan cuff
dengan volume tinggi tekanan rendah telah menurunkan insiden stenosis trakea
pada tipe trauma ini, namun trauma intubasi ini masih tetap terjadi dan menjadi
indikasi untuk reseksi trakea dan rekonstruksi. Selain faktor diatas ada beberapa
faktor resiko yang mempermudah terjadinya laserasi atau trauma intubasi. 7
Saat ini tersedia cuff plastic bertekanan rendah untuk tuba trakeostomi. Cuff
ini dirancang untuk memelihara tekanan pada trakea agar tetap di bawah 25 cmH 2O
sehingga mengurangi insiden stenosis akibat cuff trakea. Tekanan cuff harus
dipantau sedikitnya 8 jam dengan menempelkan diameter tekanan genggam pada
pilot balon sedang atau melakukan teknik penggunaan volume kebocoran minimal
atau volume oklusi minimal. Secara umum dapat dikatakan bahwa intubasi
endotrakea jangan melebihi 6 hari dan untuk selanjutnya sebaiknya dilakukan
trakeostomi. 8
3. Penyakit infeksi pada laring
Laryngitis akut
8
Radang akut laring pada umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis
(common cold). Pada anak dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas dan pada
orang dewasa tidak secepat pada anak. Penyebabnya adalah bakteri yang
menyebabkan radang lokal dan virus yang menyebabkan radang sistemik. Gejala
dan tanda-tandanya berupa demam, malaise, suara parau sampai afoni, nyeri
menelan atau berbicara, batuk kering yang lama kelamaan disertai dahak kental
dan gejala sumbatan laring. 6
Laringitis kronik
Dapat disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip
hidung atau bronkitis kronis, dan penyalahgunaan suara (vocal abuse), sinusitis,
reflux, dan polusi lingkungan. Gejalanya adalah suara parau yang menetap, rasa
tersangkut di tenggorok sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan
sekret karena mukosa yang menebal. 6
Croup
Infeksi menular melalui inhalasi, masuk melalui hidung dan nasofaring.
Infeksi menyebar dan akhirnya melibatkan laring dan trakea. Meskipun saluran
pernafasan lebih rendah, mungkin akan terpengaruh. Peradangan dan edema pada
laring dan trakea subglotik, khususnya yang dekat dengan tulang rawan krikoid,
yang paling klinis signifikan. Virus Parainfluenzae mengaktifkan sekresi klorida
dan menghambat penyerapan natrium melintasi epitel trakea, berkontribusi
terhadap edema jalan napas. Ini adalah bagian paling sempit dari saluran napas
anak. Dengan demikian, pembengkakan dapat secara signifikan mengurangi
diameter, membatasi aliran udara. Ini menyebabkan aliran udara turbulen dan
stridor, retraksi dada, dan batuk. kerusakan endotel dan hilangnya fungsi silia
terjadi. 5
Eksudat fibrin memenuhi sebagian lumen trakea. Selain itu terdapat
penurunan mobilitas dari pita suara karena edema. Pada penyakit yang berat,
eksudat fibrinous dan pseudomembran dapat menyebabkan obstruksi jalan napas
yang lebih besar. Hipoksemia dapat terjadi karena penyempitan lumen yang
progresif, ventilasi alveolar yang terganggu dan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi.5
Gejalanya yaitu stridor inspirasi atau bifase, demam subfebril, batuk (terutama
pada malam hari), suara serak. 5
4. Tumor laring
Tumor jinak laring dapat berupa papiloma laring, adenoma, kondroma,
mioblastoma sel granuler, hemangioma, lipoma, dan neurofibroma. 9
9
.
10
Gambar 8. Benda asing pada laring
6. Paralisis laring
Tiap lesi sepanjang perjalanan nervus rekuren laryngeal dapat menimbulkan
paralisis laring. Pada paralisis korda vokalis bilateral, suara tidak terlalu terpengaruh.
Akan tetapi rima glotis tidak cukup lebar untuk kegiatan yang mengerahkan tenaga.
Pasien bahkan mengalami sesak nafas saat istirahat. Sehingga pasien memerlukan
trakeostomi guna mengurangi obstruksi jalan nafas. Paralisis korda vokalis unilateral
pada anak memiliki cirri tambahan. Karena ukuran glotis yang kecil, maka paralisis
unilateral pada anak dapat membahayakan jalan nafas, sehingga secara klinis
mengakibatkan stridor. Sementara itu pada paralisis lengkap, lesi saraf vagus di atas saraf
laringeus superior bilateral, dimana efek lesi serupa dengan paralisis saraf rekurens,
namun lebih cendrung untuk mengalami aspirasi. 5
11
4. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,
supraklavikula dan interkostal.
5. Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)
6. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia
Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium dengan tanda
dan gejala: 2
2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis pasien dengan sumbatan jalan nafas memerlukan integrasi anamnesis dan
pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi lokasi dan besarnya obstruksi.12
12
Gambar 10. Skema penilaian obstruksi saluran nafas atas
Pasien dengan kesulitan bernafas akan menghindari berbicara dan mencari posisi yang
dapat membantu memperbesar jalan nafas. Waktu munculnya stridor penting untuk diketahui.
Gejala saluran nafas mula-mula muncul pada saat relaksasi neuromuskular, yaitu pada saat
tidur. Riwayat infeksi, trauma leher dan kepala, masuknya benda asing harus ditanyakan.
Seluruh pasien, harus ditanyakan seluruh gejala kelainan kepala dan leher, seperti turunnya
berat badan, batuk, hemoptisis, disphagia, odinophagia, perubahan suara, otalgia, nyeri
tenggorok, emesis dan hematemesis. 12
13
yang melewati daerah yang stenosis. Stridor dapat digunakan untuk mengidentifikasi lokasi
dan berat obstruksi saluran nafas. Stridor inspirasi terjadi pada obstruksi di supraglotis dan
glottis. Stridor ekspirasi terjadi pada obstruksi glottis, subglottis, dan tracheal. Snoring,
getaran palatal pada orofaring yang menyempit sering ditemukan pada pasien dengan
penyempitan diameter orofaring, pasien obese atau obstruksi nasal. 12
BAB III
Intubasi endotrakea atau resusitasi dapat dilakukan pada pasien dengan sumbatan
laring stadium II dan III, sedangkan krikotirotomi dilakukan pada sumbatan laring stadium
14
IV. Tindakan operatif atau resusitasi dapat dilakukan berdasar analisis gas darah (pemeriksaan
Astrup). 2
Bila fasilitas tersedia maka intubasi endotrakea merupakan pilihan pertama sedangkan
jika ruangan perawatan intensif tidak tersedia sebaiknya dilakukan trakeostomi. 2
Pada sumbatan total laring akibat benda asing, dapat dilakukan perasat dari Heimlich
(Heimlich manuever) pada anak dan dewasa, atau dengan memegang anak pada posisi
terbalik, kepala di bawah, kemudian daerah punggung/ tengkuk dipukul, sehingga diharapkan
benda asing dapat dibatukkan keluar. 1
1. INTUBASI ENDOTRAKEA
Pipa endotrakea harus dengan ukuran yang sesuai dengan ukuran trakea pasien
dan umumnya untuk orang dewasa dipakai yang diameter dalamnya 7-8,5 mm. Pipa
endotrakea yang dimasukkan lewat hidung dapat dipertahankan untuk beberapa hari,
15
dan jangan melebihi 6 hari dan untuk selanjutnya sebaiknya dilakukan trakeostomi.
Komplikasi yang dapat timbul adalah stenosis laring atau trakea. 2
16
Gambar 13. Teknik intubasi trakea
Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan baik.
Apabila menggunakan spatel laringoskop yang lurus maka pasien yang tidur telentang
itu pundaknya harus diganjal dengan bantal pasir, sehingga kepala mudah
diekstensikan maksimal. 2
Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri dan
dimasukkan mengikuti dinding faring posterior dan epiglotis diangkat horizontal ke
atas bersama-sama sehingga laring jelas terlihat. Pipa endotrakea dipegang dengan
tangan kanan dan dimasukkan melalui celah pita suara sampai di trakea. Kemudian
balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan plester. Memasukkan pipa
17
endotrakea ini harus hati-hati karena dapat menyebabkan trauma pita suara, laserasi
pita suara timbul granuloma dan stenosis laring atau trakea.
2. TRAKEOSTOMI
18
Gambar 14. Alat-alat trakeostomi
Teknik Trakeostomi
Pasien tidur telentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil sehingga
memudahkan kepala untuk diekstensikan pada persendian atlanto oksipital. Dengan
posisi seperti ini leher akan lurus dan trakea akan terletak di garis median dekat
permukaan leher. Kulit daerah leher dibersihkan secar a dan antisepsis dan ditutup
dengan kain steril.2
Obat anastetikum disuntikkan di tengah krikoid dengan fosa suprasternal
secara infiltrasi. Sayatan kulit dapat vertikal di garis tengah leher mulai di bawh
krikoid sampai fosa suprasternal atau jika membuat sayatan horizontal dilakukan pada
pertengahan jarak antara kartilago krikoid dengan fosa suprasternal atau kira-kira 2
jari di bawah krikoid orang dewasa. Sayatan jangan terlalu sempit, dibuat kira-kira 5
cm.2
Dengan gunting panjang yang tumpul kulit serta jaringan di bawahnya
dipisahkan lapis demi lapis dan ditarik ke lateral dengan pengait tumpul, sampai
tampak trakea yang berupa pipa dengan susunan cincin- cincin tulang rawan yang
berwarna putih. Bila lapisan kulit dan jaringan di bawahnya dibuka tepat di tengah
maka trakea ini mudah ditemukan. Pembuluh darah vena jugularis anterior yang
tampak ditarik ke lateral. Ismus tiroid yangditemukan ditarik ke atas supaya cincin
trakea jelas terlihat. Jika tidak mungkin, ismus tiroid diklem pada dua tempat dan
19
dipotong di tengahnya. Sebelum klem ini dilepaskan ismus tiroid diikat kedua tepinya
dan disisihkan ke lateral. Perdarahan dihentikan dan jika perlu diikat. Lakukan
aspirasi dengan cara menusukkan jarum pada membran antara cincin trakea dan akan
terasa ringan waktu ditarik. Buat stoma dengan memotong cincin trakea ke-3 dengan
gunting yang tajam. Kemudian dipasang kanul trakea dengan ukuran yang sesuai.
Kanul difiksasi dengan tali pada leher pasien dan luka operasi ditutup dengan kasa.2
20
Perawatan Pasca Trakeostomi
Pada perawatan awal dari stoma perlu dilakukan auskultasi dada dan pada
anak memerlukan radiogram dada segera untuk mencek posisi tuba agar tidak
melampaui karina sehingga masuk ke bronkus kanan dan menyumbat bronkus kiri,
serta untuk memastikan tidak terjadi pneumothoraks.8
Komplikasi
Komplikasi bedah
Komplikasi lanjut 8
Perdarahan lanjut adalah akibat erosi trakea pada pembuluh utama, biasanya
arteri inominata.
Infeksi
Fistula trakeoesofagus
Stenosis trakea
3. KRIKOTIROTOMI
21
Gambar 16 . Daerah insisi Krikotirotomi
Teknik krikotirotomi
4. HEIMLICH MANUVER
Cara lain untuk mengeluarkan benda asing yang menyumbat laring secara total
ialah dengan cara perasat dari Heimlich (Heimlich maneuver), dapat dilakukan pada
anak maupun dewasa. Menurut teori Heimlich, benda asing yang masuk ke dalam
laring ialah pada saat inspirasi. Dengan demikian paru penuh dengan udara,
22
diibaratkan sebagai botol plastik yang tertutup, dengan menekan botol itu, maka
sumbatnya akan terlempar keluar.1
Pada maneuver Heimlich, dilakukan penekanan pada paru. Caranya ialah bila
pasien masih dapat berdiri maka penolong berdiri de belakang pasien, kepalan tangan
kanan penolong diletakkan diatas prosessus xifoid sedangkan tangan kirinya
diletakkan diatas tangan kirinya. Kemudian dilakukan penekanan ke belakang dan ke
atas ke arah paru beberapa kali, sehingga diharapkan benda asing terlempar keluar
dari mulut pasien.1
Bila pasien sudah terbaring karena pingsan maka penolong bersetumpu pada
lututnya dikedua sisi pasien, kepalan tangan diletakkan dibawah prosessus xifoid,
kemudian dilakukan penekanan ke bawah, dan ke arah paru pasien beberapa kali,
sehingga benda asing terlempar keluar mulut. Posisi muka pasien harus lurus, leher
jangan ditekuk kesamping, supaya jalan nafas merupakan garis lurus.1
23
Komplikasi perasat Heimlich ialah kemungkinan terjadi rupture lambung atau
hati dan fraktur iga. Oleh karena itu, pada anak sebaiknya cara menolongnya tidak
dengan menggunakan kepalan tangan, tetapi cukup dengan dua buah jari kiri dan
kanan.1
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Obstruksi laring adalah keadaan tersumbatnya laring oleh bermacam sebab seperti:
peradangan pada laring, tumor laring, kelainan kongenital laring, paresis nervus rekuren
laring bilateral, trauma, dan benda asing yang menyumbat laring.
Obstruksi laring dapat bersifat total ataupun parsial. Obstruksi total di laring akan
menimbulkan keadaan gawat, dan apabila tidak ditatalaksana dalam 4 menit akan
menyebabkan kematian akibat asfiksia. Obstruksi parsial di laring dapat menyebabkan gejala
suara parau, disfonia sampai afonia, batuk yang disertai sesak, odinofagia, mengi, sianosis,
hemoptisis dan rasa subjektif benda asing
Tindakan pada pasien dengan obstruksi laring dilakukan sesuai dengan derajat
obstruksi.Penatalaksanaan dapat bersifat konservatif dengan pemberian obat-obatan, dapat
pula dengan tindakan bedah. Tindakan operatif atau resusitasi untuk membebaskan saluran
napas ini dapat dengan cara memasukkan pipa endotrakea melalui mulut (intubasi
endotrakea) atau melalui hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostoma atau melakukan
krikotirotomi.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Mariana H Junizaf. 2008. Benda Asing di Saluran Nafas. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, hal 259-265.
2. Hadiwikarta A, Rusmarjono, Soepardi E. 2008. Penanggulangan Sumbatan Laring.
Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-
6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal 243-253.
3. James I Cohen MD PhD .1997. Anatomi dan Fisiologi Laring. Dalam BOIES Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : EGC, hal 369 377.
4. Bambang Hermani, Syahrial M Hutauruk. 2008. Disfonia. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, hal 231-234.
5. John D Banovetz MD .1997. Gangguan Laring Jinak. Dalam BOIES Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : EGC, hal 378-396.
6. Bambang Hermani, Hartono Abdurrachman, Arie Cahyono. 2008. Kelainan Laring.
Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-
6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal 237-242.
7. Akhmadu, Wuryantoro. Trauma laringotrakea. Diunduh dari
http://www.bedahtkv.com/index.php?/Paper/Referat-dan-Tinjauan-Pustaka/Trauma-
Laringotrakea.html. Diakses ada tanggal 23 November 2010.
8. Robert H. Maisel, M.D. 1997. Trakeostomi. Dalam BOIES Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi ke-6. Jakarta : EGC, hal 473-485.
9. Bye MR. 2006. Laringomalacia. diunduh dari http://www.emedicine.com /
ped/topic1280.htm. Diunduh tanggal 23 november 2010
25
10. Hermani B & Abdurrachman Hd. 2008. Tumor Laring. Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-6. Jakarta : FKUI, hal :
194-197
11. John D Banovetz MD .1997. Gangguan Laring Jinak. Dalam BOIES Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : EGC, hal 395-396.
12. Gregory W Randolph.Airway Evaluation. Dalam The Clinical Handbook of Ear, Nose
and Throat Disorders. Washington DC: CRC Press Company, hal: 355-375.
26