PENDAHULUAN
Angka dari insiden trauma paru semakin meningkat setelah kecelakaan lalu
lintas menempatkan dirinya sebagai penyebab kematian yang tertinggi. Akan tetapi
trauma toraks telah dikenal jauh sebelumnya, karena sasaran senjata dalam perang
banyak ditujukan pada rongga dada. Trauma toraks banyak dipelajari dalam situasi
perang, terutama pada perang dunia II atau perang Vietnam. Oleh karena
perkembangan peralatan yang mutakhir maka perang Vietnam banyak memberikan
pelajaran terutama apa yang disebut dengan Weng Lung Stndrome (sindroma
edema paru). Dalam mengevaluasi dan mengatasi suatu trauma toraks harus
dipertimbangkan 4 faktor, yakni :1
trauma toraks. Hal ini banyak dihubungkan dengan gangguan jalan napas, pernapasan
dan kardiovaskuler. Pada kecelakaan lalu lintas trauma toraks adalah keadaan yang
paling sering terjadi setelah trauma kapitis. Angka ini menajdi lebih tinggi oleh
karena meningkatnya kecelakaan lalu lintas di kota-kota besar. Akibat yang terjadi
pada suatu trauma toraks didasarkan atas factor-faktor sebagai berikut :1
Trauma tumpul
Trauma tajam
Jaringan yang terkena trauma, yakni :
Jaringan lunak, misalnya jantung, paru dan pembuluh darah besar
Jaringan tulang, misalnya iga, klavikula dan sternum
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
A. Insiden
Trauma toraks merupakan salah satu penyebab utama kematian. Banyak
penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit, dan banyak diantara kematian ini
sebenarnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostic dan terapi.
Kurang dari 10% dari cedera tumpul toraks dan hanya 15-30% dari cedera tembus
toraks
yang
membutuhkan
tindakan
torakotomi.
Trauma
toraks
mayor
dikelompokkan bersama dalam suatu grup yang bernama Fatal 14. Dimana
kemudian grup ini terbagi atas Lethal Six (Obstruksi saluran nafas, Tension
Pneumothorax, Open Pneumothorax, Flail Chest, Massive Hemothorax, dan Cardiac
Tamponade). Grup pertama tadi diidentifikasi dalam survei primer dimana 8 penyakit
sisanya dapat diidentifikasi dalam survei sekunder yang dapat disebut dengan
Hidden Eight (Simple Pneumothorax, Hemothorax, Pulmonary Contusion,
Tracheobronchiolar Tree Injury, Blunt Cardiac Injury, Traumatic Aortic Disruption,
Traumatic Diagphramatic Tear, Esophageal Rupture).1
Dalam data Indonesia sendiri, pada data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007
didapatkan cedera pada dada sebesar 3,2% dari total semua luka yang ada. Sementara
itu Kalimantan Barat mendapatkan bagian 2,1% dari seluruh Indonesia.1
B. Patofisiologi
Hipoksia, hiperkarbia dan asidosis sering disebabkan oleh trauma toraks.
Hipoksia jaringan dapat terjadi akibat tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke
jaringan karena hipovolemia (kehilangan darah), pulmonary ventilation/perfusion
mismatch (kontusio, hematoma, kolaps) dan perubahan tekanan intra toraks (tension
pneumothorax, pneumotoraks terbuka). Hiperkarbia dapat terjadi akibat tidak
adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intratoraks atau penurunan tingkat
kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi jaringan (syok).1,3
2.
Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada trauma toraks, intervensi
3.
4.
5.
dengan jarum.
Secondary survey membutuhkan riwayat cedera dan kewaspadaan yang bersifat
khusus.
Airway1,3
Cedera berat pada airway harus dikenali dan dikoreksi saat melakukan primary
survey. Patensi airway dan ventilasi harus dinilai dengan mendengarkan gerakan
udara pada hidung penderita, mulut dan dada serta dengan inspeksi pada daerah
orofaring untuk sumbatan airway oleh benda asing dan dengan mengobservasi
retraksi otot-otot intercostal dan supraclavicular.
Cedera laring dapat bersamaan dengan trauma toraks. Walaupun gejala klinis
yang ada kadang tidak jelas, sumbatan airway karena cedera laring merupakan cedera
yang mengancam nyawa.
Beberapa kondisi yang jarang ditemukan mungkin timbul pada penderita
dengan cedera skeletal yang menyebabkan gangguan bermakna pada airway dan
pernapasan penderita. Sebagai contoh adalah cedera pada dada bagian atas daoat
menimbulkan dislokasi kearah posterior atau fraktur dislokasi dari sendi
sternoklavicular. Ini dapat menimbulkan sumbatan airway bagian atas, bila
displacement dari fragmen proksimal fraktur atau komponen sendi distal menekan
trakea. Hal ini juga dapat menyebabkan cedera pembuluh darah pada ekstremitas
yang homolateral akibat kompresi fragmen fraktur atau laserasi dari cabang utama
arkus aorta.
Cedera ini diketahui bila ada: sumbatan airway atas (stridor), adanya tanda
berupa perubahan dari kualitas suara (jika penderita masih dapat bicara), dan cedera
yang luas pada dasar leher dengan terabanya defek pada region sendi sternoclavicular.
5
Penanganan pada cedera ini adalah menstabilkan patensi dari airway, yang
terbaik dengan intubasi endotrakeal, walaupun hal ini kemungkinan sulit dilakukan
jika ada tekanan yang cukup besar pada trakea. Yang paling penting, reposisi tertutup
dari cedera yang terjadi dengan cara mengekstensikan bahu seperti towel clip dan
melakukan reposisi fraktur secara manual. Cedera seperti ini bila dilakukan tindakan
diatas biasanya akan tetap stabil walaupun penderita terbaring dalam posisi berbaring.
B. Breathing1,2,4
Dada dan leher penderita harus terbuka selama penilaian breathing dan venavena leher. Pergerakan pernafasan dan kualitas pernafasan dinilai dengan observasi,
palpasi dan didengarkan.
Gejala yang terpenting dari trauma toraks adalah hipoksia termasuk
peningkatan frekuensi dan perubahan pada pola pernafasan, terutama pernafasan yang
dengan lambat memburuk. Sianosis adalah gejala hipoksia yang lanjut pada penderita
trauma. Tetapi bila sianosis tidak ditemukan bukan merupakan indikasi bahwa
oksigen jaringan adekuat atau airway adekuat. Jenis trauma toraks yang penting dan
mempengaruhi breathing (yang harus dikenal dan diketahui selama primary survey)
adalah keadaan-keadaan dibawah ini:
1.
Tension pnemotoraks1,2,4,5
Tension pnemotoraks berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena
ventil), kebocoran dari luar melalui dinding dada, masuk ke dalam rongga pleura dan
tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga
pleura yang tidak dapat keluar lagi maka tekanan di intrapleural akan semakin
meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan
menghambat pengembalian darah ke jantung (venous return), serta akan menekan
paru kontralateral.
Gambar. Pneumotoraks
Penyebab tersering dari tension pnemotoraks adalah komplikasi penggunaan
ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita yang
ada kerusakan pada pleura visceral. Tension pnemotoraks juga dapat timbul sebagai
komplikasi dari pnemotoraks sederhana.akibat trauma toraks tembus atau tajam
dengan perlukaan parenkim paru yang tidak menutup atau setelah salah arah pada
pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau
perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabakan tension pnemotoraks, jika
salah satu menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut kedap udara (occlusive
dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme katup (flap valve). Tension
pnemotoraks juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami
pergeseran (displeased thoracis spine fracture).
midclavicula pada hemotoraks yang terkena. Tindakan ini akan mengubah tension
pnemoumotoraks menjadi pnemotoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi
pnemotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu
diperlukan. Tindakan definitive selalu dibutuhkan dengan pemasanan selang dada
(chest tube) pada sela iga 5 (setinggi puting susu di anterior) di garis anterior digaris
midaxilaris.
2.
Pneumotoraks terbuka1,4-6
Defek atau luka yang besar pada dinding dada akan menyebabkan
pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rogga pleura akan segera menjadi sama
dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada lebih besar dari 2/3 diameter
trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai
tahanan yang kurang atau kecil dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi
terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.
Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa oklusif steril yang diplester
hanya pada kasa oklusif steril yang diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan
penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek katub (flutter tipe valve) dimana
saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari
dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar.
Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus berjauhan dari
luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara
didalam rongga pleura yang akan menyebabkan tension pneumotoraks kecuali
penutup sementara yang dapat digunakan adalah plastic wrap atau petrolatum gauze,
9
sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan
penjahitan luka. Penjahitan luka primer sekaligus diperlukan.
Flail chest1,7,8
Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas
dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga
multiple pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adaya
segmen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan
dinding dada. Bila terjadi kerusakan parenkim paru dibawa kerusakan dinding dada
maka akan menyebabakan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan flail
chest yaitu cedera pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru).
Walaupun ketidakstabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dinding
dada pada inspirasi ekspirasi, defek ini sendiri saja menyebabkan hipoksia. Yang
10
terutama disebabkan nyeri yang menyebabkan gerakan dinding dada menjadi tertahan
dan cedera jaringan parunya.
11
C.
1.
Circulation
Hemotoraks Masif 1,5,8
12
tube pertama. Pasien dibawa ke ruang operasi dan dilakukan torakotomi apabila
pengeluaran darah pada initial tube lebih dari 1500 cc atau terjadi pengeluaran darah
dalam tube secara kontinyu sebanyak 200 cc per jam berlangsung selama dua hingga
empat jam. Dalam ruang operasi sering terjadi syok hemorhagik dan biasa dilakukan
resusitasi berupa autotransfusi.
2.
14
jauh (muffled heart sound), distensi vena jugularis, dan yang terakhir adalah tekanan
arteri yang lemah. Diagnosis secara klinis dapat dibuat bila Becks Triad disertai
dengan pulsus paradoksus. Diagnosis pasti dari tamponade jantung adalah dengan
terlihatnya efusi pada perikardium dimana hal ini dapat dicapai dengan pemeriksaan
ultrasonografi atau echocardiography. Secara radiologis foto rontgen kadang dapat
terlihat adanya jantung yang melebar.
Gambar 5. Cardiomegali
Pada fase 1 dan 2, tatalaksana awal dapat diberikan berupa patensi jalan nafas,
resusitasi, dan dilakukan pericardiocentesis untuk sementara. Dimana untuk
tatalaksana definitif dapat dilakukan pericardial window atau median sternotomy.
Pada fase ketiga dimana sudah terjadi henti jantung, tindakan torakotomi emergensi
dapat dilakukan.
TORAKOTOMI RESUSITASI
15
Pijatan jantung tertutup untuk henti jantung atau PEA kurang efektif pada
keadaan penderita yang hipovolemia. Penderita dengan luka tembus toraks yang
sampai di rumah sakit tidak teraba denyut nadi tapi masih ada aktvitas eletrik dari
miocard merupakan calon untuk torakotomi resusitasi secepatnya. Seorang ahli bedah
berpengalaman harus ada ketika penderita sampai diruang gawat darurat untu
menetapkan indikasi dan melakukan operasi, yang mungkin akan berhasil.
Torakotomi anterolateral kiri dilakukan untuk mendapatkan akses langsung ke
jantung, sambil meneruskan resusitasi cairan. Intubasi endotrakeal dan ventilasi
mutlak harus dikerjakan. Penderita dengan cedera tumpul yang sampai di rumah sakit
dan tidak teraba nadi akan tetapu masu ada aktivitas miocard tidak ada indikasi
torakotomi resusitasi.
Tindakan terapi efektif yang dapat dikerjakan selama torakotomi adalah :
1.
2.
3.
4.
16
17
Tidak seperti kondisi yang langsung mengancam nyawa yang harus dikenal
selama primary survey, cedera di atas biasanya pada pemeriksaan fisik tidak jelas.
Pengenalan membutuhkan indeks kecurigaan yang tinggi. Cedera- cedera ini sering
kali tidak terdiagnosis saat awal setelah cedera namun dapat berakibat fatal.1,2,5,9
A.
Pneumotoraks sederhana
Pneumotoraks disebabkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura
visceral dan parietal. Dislokasi-fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama
dengan
pneumotoraks.
Laserasi
paru
merupakan
penyebab
tersering
dari
Hemotoraks
Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari
pembuluh darah intercostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh cedera
tajam atau cedera tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat
menyebabkan terjadi hemotoraks. Biasanya pendarahan berhenti spontan dan tidak
memerlukan intervensi operasi.
Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks,
sebaiknya diterapi dengan selang dada caliber besar. Selang dada tersebut akan
mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurang resiko terbentuknya bekuan
darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah
selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian
terhadap kemungkinan terjadinya tuptur diagfragma traumatic.
Walaupun banyak factor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi
operasi pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang keluar dari
19
selang dada merupakan factor utama. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan
secara cepat dari selang dada sebanyak 1500 ml, atau bila darah yang keluar lebih
dari 200 ml tiap jam untuk 2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan ransfusi darah
terus menerus, eksplorasi bedah harus dipertimbangkan.1,4,7,8
C.
Kontusio Paru
Kontusio paru adalah kelainan paru yang paling sering ditemukan pada
golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan
dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga
rencana penanganan definitive dapat berubah berdasarkan perubahan klinis.
Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita berulangulang.
Penderita dengan hipoksia yang bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa
dalam udara ruangan, SaO2 <90%) harus dilakukan intubasi dan dilakukan bantuan
ventilasi pada jam jam pertama setelah trauma. Kondisi medik yang berhubungan
dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan gagal ginjal menambah
indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik. Beberapa
penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa intubasi
endotrakeal atau ventilasi mekanik.
Monitoring dengan pulse oximeter , pemeriksaan analisi gas darah, monitoring
KEG dan perlengakapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang
optimal. Jika kondisi penderita memburukdan perlu ditransfer maka harus dilakukan
intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.1,7,9
20
D.
Cedera Trakeobronkial
Cedera terhadap trakea dan bronkus utama merupakan perlukaan yang luar
biasa dan mempunyai potensial fatal yang seringkali sudah terlihat pada saat
penilaian awal.
Perlukaan ini sering disebabkan oleh cedera tumpul dan terjadi pada 1 inchi dari
karina. Kebanyakan penderita meninggal di tempat kejadian. Bila penderita sampai di
rumah sakit, resiko kematian meningkat disebabkan karena cedera lain yang
menyertai.
Jika dicurigai adanya perlukaan trakeobronkial, harus melakukan konsultasi
segera. Pada penderita dengan perlukaan grakeobronkial sering ditemukan
hemoptysis, emfisema subtukan dan tension pneumothorax
dengan pergeseran
E.
disritmia akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah interval tersebut
resiko disritmia akan menurun secara bermakna.1,7,10
F.
pada posisi berbaring, hasilnya tidak dapat dipercaya. Apabila ditemukan pelebaran
mediastinum pada foto toraks dan lakukan pemeriksaan angografi makahasil positif
untuk rupture aorta adalah sekitar 3%.
Pelebaran mediastinum
Obliterasi lengkung aorta
Deviasi trakea ke arah kanan
Hilangnya ruang antara arteri pulmonal dan aorta (jendela aorta-pulmonal tidak jelas)
Bronkus utama kiri tertakan ke bawah
Deviasi dari esophagus ke arah kanan
Pelebaran paratrakeal tidak merata
Pelebaran paraspinal
Ditemukan adanya pleural atau apical cap
Hemotoraks kiri
Fraktur iga 1 atau ke 2 atau scapula
24
Positif palsu atau negative palsu terdapat pada tiap-tiap tanda foto ronsen di atas
tetapi hanya jarang (hanya 1%-2%) tidak akan ditemukan tanda apapunpada penderita
dengan cedera pembuluh darah besar. Kecurigaan sedikit saja akan adanya cedera
aorta sudah merupakan alasan untuk mengirim penderita ke fasilitas yang mampu
untuk mempertajam diagnosis. Angiografi merupakan pemeriksaan gold standar,
tetapi transesofageal echokardiografi (TEE) merupakan suatu pemerikasaan yang
minima invasive yang dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan CT-scap akan banyak memakan waktu sehingga tidak dianjurkan untuk
menegakan diagnosis definitive.
CT helikal dengan kontras saat ini merupakan cara terbaik untuk skrining
cedera aorta. Akurasi dengan CT helikal mencapai 100%, namun sangat tergantung
alat dan ahli. Bila CT helikal tidak menunjukan adanya hematoma mediastinum
maupun cedera aorta, maka pemeriksaan selanjutnya tidak diperlukan. Bila CT
helikal positif harus diakukan autographi. Ahli bedah cedera kemudian yang
menentukan pemeriksaan selanjutnya.
Di rumah sakit tanpa kemampuan operasi jantung, keputusan untuk mengirim
penderita yang curiga cedera aorta mungkin sulit. Pemakaian CT helikal dan ahlinya
akan dapat menentukan bahwa penderita tidak perlu dikirim karena sudah dikenali
tidak ada cedera aorta. Ahli bedah yang berpengalaman harus membantu menegakan
diagnosis. Terapi yang dilakukan dapat berupa penjahitan primer aorta atau reseksi
dan dipasang graft.1,5
G.
Cedera Diafragma
25
Rupture diafragma traumatic lebih sering terdiagnosis pada sisi kiri, karena
obliterasi hepar pada sisi kanan atau adanya hepar pada sisi kanan sehingga
mengurangi kemungkinanan terdiagnosis ataupun terjadi nya rupture diafrgma kanan.
Sementara itu adanya usus, atau selang diagnosis mempermudah mendeteksi pada
hemotoraks kiri.
darah. Penderita dengan curiga tamponade jantung dilakukan terapi seperti penjelasan
sebelumnya. Jangan lupa memeriksa fugsi neurologi jika peluru melewati medulla
spinalis.1,9,10
Emfisema Subkutis
Emfisema subkutis dapat disebabkan oleh cedera airway, parenkim paru, atau
yang jarang yaitu cedera ledakan. Walaupun tidak memerlukan terapi, penyebab
timbulnya kelainan ini harus dicari. Jika penderita menggunakan ventilasi dengan
tekanan positif pemasangan selang dada harus dipertimbangkan untuk dipasang pada
sisi yang terdapat emfisema subkutis sebagai antisipasi terhadap berkembannya
tension pneumotoraks.1
B.
C.
27
Iga adalah komponen dinding toraks yang paling sering terjadi trauma.
Perlukaan yang terjadi pada iga sering bermakna. Terfiksirnya iga yang patah akibat
nyeri dapat menyebabkan gangguan ventilasi, oksigenasi dan reflex batuk. Batuk
yang tidak efektif untuk mengeluarkan secret dapat mengakibatkan insiden
atelectasis, dan pneumonia meningkat secara bermakna bila sudah ada penyakit paruparu sebelumnya.
Iga bagian atas dilindungi oleh struktur tulang dari bahu. Tulang scapula,
humerus dan klavikula dengan seluruh otot-otot akan melindungi terhadap cedera iga
tersebut. bila ditemukan fraktur tulang scapula, iga pertama dan kedua atau sternum
harus curiga akan adanya cedera yang berat, sehingga harus dipertimbangkan adanya
cedera kepala, leher, medulla spinalis, paru-paru dan pembuluh darah besar. Karena
adanya cedera penyerta tersebut, mortalitas akan meningkat menjadi 30 %.
Fraktur sternum dan scapula secara umum disebabkan oleh benturan ;angsung.
Kontusio paru dapat menyertai fraktur sternum. Cedera tumpul jantung harus
dipertimbangkan bila da fraktur sternum. Terapi operasi kadang diindikasikan untuk
fraktur sternum dan scapula. Dislokasi sternoklavicula jrang menyebabkan
bergesernya kaput klavicula kearah mediastinum dengan mengakibatkan obstruksi
dari vena cava superior. Bila terjadi reduksi segera dibutuhkan. Yang paling sering
terjadi cedre adalah iga tengah . kompresi anteroposterior dari rongga toraks akan
menyebabkan lengkung iga akan lebih melengkung lagi kearah lateral iga akan lebih
melengkung lagi kearah lateral dengan akibat timbulnya fraktur pada titik tengah.
Cedera langsung pada iga akan cenderung menyebabkan fraktur dengan pendorongan
28
ujung-ujung frakur masuk kedalam rongga pleura dan potensial menyebabkan cedera
intratorakal seperti pneumotoraks. Seperti kita pada penderita denga usia muda
dinding dada lebih fleksibel sehingga jarang terjadi fraktur iga, oleh karena itu adanya
fraktur iga multiple pada penderita usia muda memberikan informasi pada kita bahwa
cedera yang terjadi sangat besar dibandingkan bila terjadi cedera yang sama terjadi
pada orang tua. Patah tulang iga bawah harus curiga cedera hepar dan lien.1,6,8,10
D.
29
PERMASALAHAN1
A.
Penumotoraks sederhana pada penderita cedera tidak boleh dianggap remeh karena
B.
C.
menjadi empyema.
Cedera diafragma sering terlewatkan pada evaluasi awal. Cedera diafragma yang
tidak
D.
terdiagnosis
akan
dapat
menyebabkan
gangguan
ventilasi
ataupun
30
E.
Meremehkan akibat patofisiologis yang berat dari fraktur iga adalah permasalahan
lain yang sering terjadi terutama pada penderita tua. Kunci utama penanganan adalah
F.
31
BAB III
PENUTUP
Trauma toraks sering ditemukan pada penderita cedera multiple dan dapat
merupakan masalah yang mengancam nyawa. Penderita dengan trauma toraks
tersebut biasanya dapat diterapi atau kondisi diperbaiki sementara dengan tindakan
yang relative sederhana seperti intubasi, ventilasi, selang dada atau perikardiosintesis
dengan jarum. Kemampuan untuk mengenal cedera ini dan kemampuan melakukan
tindakan dapat menyelamatkan nyawa.1
32
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
pneumotoraks. [Online]. 2012 [cited 2014 Des 31]; [18 screens]. Available from:
URL: http://www.jmedicalcasereports.com/content/pdf/1752-1947-7-278.pdf
Burch JM. Trauma. In: Brunicardy FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter
JG, et al, editors: Schwartzs principles of surgery. 8 th ed. USA: The McGraw-Hill
4.
companies; 2007.
Koesbijanto H, Lukitto P, Rachmad KB, Manuaba TW. Dinding toraks da pleura. In:
Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R, editors: Buku ajar
ilmu bedah sjamsuhidajat-de jong. 3th ed. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC;
5.
2010. p. 498-512.
Martin SR, Meredith JW. Management of acute trauma. In: Townsend CM,
Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL, editors: Sabiston text book of surgery. 19 th
6.
7.
8.
9.
10.
and practice. 4th ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 408-18.
Hemmila MR. Management of the injuried patient: Current surgical diagnosis &
11.
33
sjamsuhidajat-de jong. 3th ed. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2010. p. 51412.
28.
Brunicardi FC. Schwartzs principles of surgery. 8 th ed. 2007. New york: McGraw
13.
hill companies.
Hackam DG, Kopp A, Redelmeier DA. Prognostic implications of warfarin cessation
after major trauma: a population-based cohort analysis. Circulation. 2005;111:2250-
14.
2256.
Ferrera PC, Bartfield JM, DAndrea CC. Outcomes of admitted geriatric trauma
15.
16.
17.
18.
19.
2005;59:375-382.
Williams TM, Sadjadi J, Harken AH, et al. The necessity to assess anticoagulation
20.
34