Anda di halaman 1dari 3

Legenda Batu Menangis

Syahdan hiduplah seorang janda miskin pada masa lampau, Mak Dasah
namanya. Ia tinggal
di sebuah gubug reyot di pinggir hutan. Mata pencahariannya sehari-hari adalah
bekerja di ladang sempit peninggalan mendiang suaminya. Sepulang dari
berladang, Mak Dasah biasa mencari kayu bakar di hutan. Kayu-kayu bakar itu
lantas dijualnya di perkampungan penduduk yang jauh letaknya dari tempat
tinggalnya.
Mak Dasah mempunyai seorang anak gadis. Jelita namanya. Sesuai namanya,
wajah Jelita amatlah cantik. Sayang, Jelita sangat pemalas. Hari-harinya
dihabiskannya untuk berdandan dan bercermin. Ia sangat mengagumi
kecantikan dirinya. Meski berulangu kali Mak Dasah mengingatkan agar dia
merubah kelakuannya itu, namun Jelita
enggan menuruti nasihat ibunya. Ia tetap sangat malas, enggan membantu
kerepotan ibunya.
Selain pemalas, Jelita juga sangat manja. Apapun yang dikehendakinya harus
dituruti ibunya. Jika tidak dituruti, Jelita akan marahmarah. Meski begitu
buruk kelakuan anaknya, Mak Dasah tetap sayang dengan anak perempuannya
itu. Meski sangat kerepotan, namun Mak Dasah akan berusaha sekuat tenaga
untuk memenuhi setiap permintaan Jelita. Namun, Jelita senantiasa meminta
dan terus meminta, dia tidak peduli dengan keadaan ibunya.
Pada suatu hari Mak Dasah mengajak Jelita ke pasar. Jelita mau diajak ke pasar
dengan memberikan syarat, Aku tidak mau berjalan bersama dengan Ibu. Ibu
harus berjalan di belakangku. Mak Dasah terpaksa menuruti permintaan
anak gadisnya itu.

Jelita berangkat ke pasar dengan mengenakan pakaian terbaru sekaligus terbaik


yang dimilikinya. Ia juga berdandan secantik-cantiknya seperti jika ia hendak
menghadiri sebuah pesta. Ia lantas berjalan di depan ibunya yang mengenakan
pakaian lusuh. Ibu dan anak itu begitu jauh berbeda dalam penampilan hingga
orang yang tidak mengenal mereka tentu tidak akan menyangka jika mereka
sesungguhnya ibu dan anak.
Tersebutlah seorang pemuda yang bertanya pada Jelita, Wahai gadis cantik,
apakah wanita berbaju lusuh yang berjalan di belakangmu itu ibumu?
Jelita sejenak memandang pemuda yang bertanya padanya Tampan wajah
pemuda itu. Melihat ketampanan pemuda itu, Jelita tiba-tiba merasa sangat
malu mengakui Mak Dasah selaku ibu kandungnya. Bukan! katanya. Ia bukan
ibuku, melainkan pembantuku.
Betapa sedih dan sakit hati Mak Dasah ketika mendengar jawaban anak
perempuannya. Dinasihatinya agar Jelita tidak berani lagi berkata seperti itu.
Jelita, anakku. Aku ini ibumu, orang yang melahirkanmu. Sungguh, sangat
durhaka kelakuanmu jika engkau berani menganggapku sebagai pembantumu!
Sadarlah engkau, wahai anakku.
Namun, Jelita tak menganggap nasihat ibunya. Ia bahkan kian menjadi-jadi.
Kepada orang-orang yang bertanya padanya selama dalam perjalanan itu, Jelita
senantiasa tegas menjawab jika perempuan tua yang berjalan di belakangnya itu
adalah pembantunya.
Hati dan perasaan Mak Dasah sangat seperti teriris sembilu. Ketika ia tidak lagi
dapat menahan kesakitan hatinya, berdoalah Mak Dasah, kepada Tuhan, Ya
Tuhan, hamba tidak lagi menahan penghinaan anak harnba ini! benar telah
membatu hati anak hamba ini, karena itu, Ya Tuhan, hukumlah anak hamba
durhaka itu menjadi batu!
Doa Mak Dasah dikabulkan.

Tak berapa lama kemudian kedua kaki Jelita berubah menjadi batu. Jelita sangat
takut. Betapa mengerikannya perasaan yang dialaminya ketika mendapati kedua
kaki berubah menjadi batu. la kian ketakutan mendapati pinggangnya pun
berubah membatu. Sadarlah ia, semua itu terjadi karena kedurhakaan besarnya
kepada ibunya. Maka dia pun berteriak-teriak, Mak, ampuni aku! Ampuni aku!
Ampuni kedurhakaan anakmu ini, Mak
Namun, semuanya telah terlambat bagi Jelita. Mak Dasah hanya terdiam. Sama
sekali Mak Dasah tidak berusaha mengabulkan permohonan anaknya yang telah
berbuat durhaka terhadapnya. Ia merasa telah cukup mengalami penderitaan
yang diakibatkan anaknya itu. Hingga akhirnya seluruh tubuh Jelita berubah
menjadi batu.
Batu jelmaan Jelita itu terus meneteskan air seperti air mata penyesalan yang
menetes dari mata Jelita. Orang-orang yang mengetahtui adanya air yang terus
menetes dari batu itu kemudian menyebutnya Batu Menangis
Pesan Moral Dari Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Indonesia Batu Menangis
adalah Durhaka terhadap kedua orang tua akan berbuah kemurkaan Tuhan
kepada pelakunya. Kita hendaknya senantiasa menghormati orangtua dan patuh
terhadap nasihat mereka.

Anda mungkin juga menyukai