PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Virus dengue terdistribusi di seluruh dunia di daerah tropis. Sebagian besar daerah
subtropis dan tropis di seluruh dunia yang terdapat vektor Aedes merupakan daerah endemik.
Selama 20 tahun terakhir, epidemi dengue telah menimbulkan masalah di Amerika1.
Diperkirakan sekitar 50 juta atau lebih kasus dengue setiap tahun di seluruh dunia,
dengan 400.000 kasus demam berdarah dengue. Kasus demam berdarah dengue merupakan
penyebab utama kematian pada anak di beberapa negara Asia1.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia yang jumlah penderitanya cenderung meningkat dan penyebarannya
semakin meluas. Penyakit DBD merupakan penyakit menular yang terutama menyerang
anak-anak2.
Di Indonesia penyakit DBD masih merupakan masalah kesehatan karena masih
banyak daerah yang endemik. Daerah endemik DBD pada umumnya merupakan sumber
penyebarannya penyakit ke wilayah lain. Setiap kejadian luar biasa (KLB) DBD umumnya
dimulai dengan peningkatan jumlah kasus di wilayah tersebut. Untuk membatasi penyebaran
penyakit DBD diperlukan gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang terus-menerus,
pengasapan (fogging), dan larvasidasi2.
Penyakit DBD mempunyai perjalanan yang sangat cepat dan sering menjadi fatal
karena banyak pasien yang meninggal akibat penanganannya yang terlambat. Demam
berdarah dengue (DBD) disebut juga dengue hemorrhagic fever (DHF), dengue fever (DF),
demam dengue (DD), dan dengue shock syndrome (DSS)2.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Dengue ialah suatu infeksi arbovirus (arthropod-borne virus) akut, ditularkan oleh
nyamuk spesies Aedes3.
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD dengue haemorragic
fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi
klinis demam, nyeri otot dan/ atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik4.
Demam dengue adalah sindrom jinak yang disebabkan oleh beberapa virus yang
dibawa arthropoda, ditandai dengan demam bifasik, mialgia atau artralgia, ruam, leukopenia,
dan limfadenopati5.
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit demam berat yang sering mematikan,
disebabkan oleh virus, ditandai oleh permeabilitas kapiler, kelainan hemostasis dan pada
kasus berat, sindrom syok kehilangan protein5.
B. Epidemiologi
Di banyak negara tropis, virus dengue sangat endemik. Di Asia, penyakit ini sering
menyerang di Cina Selatan, Pakistan, India, dan semua negara di Asia Tenggara. Sejak 1981,
virus ini ditemukan di Queensland, Australia. Di sepanjang pantai timur Afrika, DBD juga
ditemukan dalam berbagai serotipe. Penyakit ini sering menyebabkan KLB di Amerika
Selatan, Amerika Tengah, bahkan sampai Amerika Serikat sampai akhir tahun 1990-an.
Epidemi dengue di Asia pertama kali terjadi pada tahun 1779, di Eropa pada tahun 1784, di
Amerika Selatan pada tahun 1835-an, dan di Inggris pada tahun 19222.
2
A aegypti merupakan nyamuk vektor utama untuk dengue di belahan barat. Nyamuk
betina mendapatkan virus dengan mengisap darah manusia yang mengalami viremia. Setelah
8-14 hari, nyamuk menjadi infeksius dan hal ini berlangsung selama hidupnya (1-3 bulan). Di
daerah
tropis,
perkembangbiakan
nyamuk
berlangsung
sepanjang
tahun
untuk
mempertahankan penyakit1.
Di indonesia kasus DBD terjadi di Surabaya 1968. Penyakit DBD ditemukan di 200
kota di 27 propinsi dan telah terjadi KLB akibat DBD. Profil kesehatan provinsi Jawa
Tengah tahun 1999 melaporkan bahwa kelompok tertinggi adalah usia 5-14 tahun sebanyak
42% dan kelompok usia 15-44 tahun yang terserang 37%. Data tersebut di dapatkan dari
daftar rawat inap rumah sakit. Rata-rata insidensi penyakit DBD sebesar 6-27 per 100.000
penduduk2.
CFR penyakit DBD mengalami penurunan dari tahun ke tahun walaupun masih tetap
tinggi. CFR tahun 1968 sebesar 43%, tahun 1971 sebesar 14%, tahun 1980 sebesar 4,8%, dan
tahun 1999 masih di atas 2%2.
Data dari Departemen Kesehatan RI melaporkan bahwa pada tahun 2004 tercatat
17.707 orang terkena DBD di 25 provinsi dengan kematian 322 penderita selama bulan
Januari dan Februari. Daerah yang perlu diwaspadai adalah DKI Jakarta, Bali, dan NTB1.
Untuk pertama kalinya, pada bulan maret 2002, Michael Rossman dan Richard Kuhn
dari Purdue University, Amerika Serikat, melaporkan bahwa struktur virus dengue yang
berbeda dengan struktur virus lainnya telah ditemukan. Permukaan virus ini halus dan
selaputnyas ditsutupi oleh lapisan protein yang berwarna biru, hijau, dan kuning. Protein
amplop tersesbut dinamakan protein E yang berfungsi melindungi bahan genetik di
dalamnya2.
C. Etiologis
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalams genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diamaeter 30 nsm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 1064.
Virus dengue termasuk dalam kelompok arbovirus B. Dikenal 4 serotipe virus dengue
yang saling tidak mempunyai imunitas silang. Sabin adalah orang pertama yang berhasil
mengisolasi virus dengue, yaitu dari darah penderita sewaktu pagi terjadi epidemiologi
demam dsengue di Hawaii dengan diberi nama tipe 1, sedangkan jenis virus dari penderita
demam dengue yang berasal dari New Guinea diberi nama tipe 23.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype di
temukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang
antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese enchephphalitis
dan West Nile virus4.
Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegepty (di daerah perkotaan) dan
Aedes albopictus (di daerah pedesaan). Nyamuk yang menjadi vektor penyakit DBD adalah
nyamuk yang menjadi terinfeksi saat menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia
(terdapat virus dalam darahnya). Menurut laporan terakhir, virus dapat pula ditularkan secara
transovarial dari nyamuk ke telur-telurnya2.
Virus dengue ditularkan oleh nyamuk famili stegomyia. Aedes aegepti, nyamuk
penggigit siang hari, adalah vektor utama, dan semua empat tipe virus telah ditemukan
darinya. Pada kebanyakan daerah tropis Aeded aegypti adalah sangat urbanisasi, berkembang
biak pada penyimpanan air minum atau air mandi atau pada air hujan yang terkumpul pada
berbagai wadah. Virus dengue telah juga ditemukan dari Aedes albopictus, dan wabah di
daerah pasifik telah dianggap berasal dari beberapa spesies Aedes lain5.
4
D. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih di perdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme terjadinya demam
berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue4.
Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap infektif sepanjang
hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat menggigit dan
menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus dengue akan menuju organ
sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpaticus, sumsum tulang
serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai
peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel
dengan bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen struktur
virus. Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini
menimbulkan reaksi immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada
cross protective terhadap serotipe virus lainnya6.
Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi biologis yaitu
netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-mediated cytotoxity (ADCC)
dan ADE. Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi netralisasi atau neutralizing antibody
yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus, dan antibody non
netralising serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi
yang berperan dalam pathogenesis DBD dan DSS6.
Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang masih
kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan antibody
dependent enhancement (ADE). Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan, bila
seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi proses
kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama.
5
Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya,
maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk
pada infeksi primer, akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru
yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang
infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi
IL-1, IL-6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF);
akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue. TNF alpha akan
menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan
tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat
ini belum diketahui dengan jelas. Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk
akan merangsang komplemen yang farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif
dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan
perdarahan. Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan
terjadi infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies
akibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak
tersebut, maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofag mudah
terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF6.
Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus
tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi
sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan menimbulkan
penyakit yang berat. Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di dalam serum penderita
DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG36.
Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis DBD, di
antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotipe virus
dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada
6
kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Selanjutnya ada teori
antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau kejadian DBD terjadi penurunan
aktivitas sistem komplemen yang ditandai penurunan kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu,
pada 48- 72% penderita DBD, terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus dengue
yang dapat menempel pada trombosit, sel B dan sel organ tubuh lainnya dan akan
mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun yang lain. Selain itu ada teori moderator
yang menyatakan bahwa makrofag yang terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai
mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama endotoksin
bertanggungjawab pada terjadinya sok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler6.
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam beberapa hari
dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue destruction)
yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena infeksi virus; kematian
yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan metabolic6.
2.
3.
F. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa
demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue
SSD)4.
In fe k s i v iru s D e n g u e
A S im p to m a tik
D e m a m B e rd a ra h D e n g u e
D B D ta n p a s y o k
D B D d g n S yok
S im p to m a tik
D em am D engue
T a n p a p e rd a r a h a n
S in d ro m v iru s
D e n g a n P e rd a ra h a n
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai
resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat4.
1. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)
Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan
dengan penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular,
timbul saat demam reda. Gejala dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering
dijumpai8.
2. Demam dengue (DD)
Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot &
sendi/tulang, nyeri retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed,
lesu, tidak mau makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum8.
Pemeriksaan fisik:
Demam: 39-40C, sifat demam bisa bifasik, berakhir 5-7 hari
Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher, dan
dada.
Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform
Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal,
lengan atas, dan tangan
Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada kulit
yg normal, dapat disertai rasa gatal
Manifestasi perdarahan:
o Uji bendung positif dan/atau petekie
o
Manifestasi perdarahan
Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.
Hematuria (jarang)
Menorrhagia
Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan fungsi
hati (transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD7.
10
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal,
perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal),
hipovolemia, dan syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan
plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga
peritoneal terjadi selama 24-48 jam7.
b. Fase kritis:
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa
transisi dari saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence)
ditandai dengan7:
Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar
Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada
dinding kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus =
RLD) dan ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.
Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g%
yang merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma
Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis,
nafas cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi
20 mmHg, dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary
refill time memanjang (>3 detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat
badan/jam), sampai anuria.
Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan
elektrolit, kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak
dapat segera diatasi7.
11
12
I. Pemeriksaan penunjang
1. Rumplee Leed Test
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah pada penderita
DHF. Uji rumpel leed merupakan salah satu pemeriksaan penyaring untuk
mendeteksi kelainan sistem vaskuler dan trombosit. Dengan cara membuat
lingkaran pada volar lengan bawah diameter 2,5-2,8 cm kemudian menentukan
tekanan darah sistolik dan diastolik . Jumlahkan sistolik dan diastolik kemudian
hasil penjumlahan dibagi 2. Pertahankan tekanan pada hasil pembagian selama 510 menit. Hasil positif bila ditemukan petekie >104.
2. Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menepis pasien tersangka
demam dengue. Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain4:
Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi): bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah4.
13
infeksi
sekunder.
Apabila
rasio
IgM:IgG
>1,2
3. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada, dilakukan atas indikasi:
Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat
kelainan radiologis pada perembesan plasma telah mencapai 20%-40%
Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan.
Kelainan radiologi, dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah hilus kanan,
hemitoraks kanan lebih radio opak dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan
14
Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (20 mmHg),
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah8.
2. Kriteria laboratorium
Trombositopenia (100.000/mikroliter)
peningkatan hematokrit 20% cukup untuk menetapkan diagnosis klinis DBD. Dijumpai
hepatomegali di samping dua kriteria klinis pertama adalah sugestif DBD sebelum timbulnya
kebocoran plasma8.
Adanya efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi) adalah bukti paling obyektif pada
kebocoran plasma sementara hipoalbuminemia memberikan bukti yang mendukung. Pada
15
kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang mendukung diagnosis DSS.
Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok sepsis8.
Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui
klasifikaasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel berikut:
16
Derajat IV yang ditandai dengan syok berat (profound shock) yaitu nadi
tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur4.
J. Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.
Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa,
tetapi pada pasien DSS diperlukan perawatan intensif. Diagnosa dini terhadap tanda tanda
syok merupakan hal yang penting untuk mengurangi kematian9.
Tata laksana infeksi dengue berdasarkan fase perjalanan penyakit
Fase Demam
Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan / atau cairan oral
apabila anak masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam7.
Medikamentosa
o Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin.
o
Supportif
o
Fase Kritis
Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan rumatan +
deficit, disertai monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam7.
Fase Recovery
Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta monitor tiap
12-24 jam7.
Terapi infeksi virus dengue dibagi menjadi 4 bagian: (1) Tersangka DBD, (2) Demam
Dengue (DD), (3) DBD derajat I dan II, (4) DBD derajat II dan IV (DSS)10.
Tersangka DBD dan Demam Dengue
Medikamentosa
Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin.
Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misal: antasid)
Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat perdarahan
saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan.
Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati10.
Suportif
Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas
kapiler dan perdarahan.
Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mengatasi masa peralihan
dari fase demam ke fase syok disebut time of fever differvesence dengan baik.
Cairan intravena diperlukan, apabila: (1) anak terus menerus muntah, tidak mau
minum, demam tinggi, dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya syok, (2)
nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala10.
19
20
Tanda kegawatan
21
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit infeksi
dengue, seperti berikut.
Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa transisi ke
fase bebas demam / sejalan dengan proses penyakit
Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala lain
Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok, serta
mudah dan cepat utk dilakukan
Tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, diperiksa minimal setiap 2-4
jam pada pasien non syok & 1-2 jam pada pasien syok.
Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih sering
pada pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan.
Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien
dengan syok berkepanjangan / cairan yg berlebihan.
Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam ( berdasarkan berat badan ideal) 7.
22
Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan tidak ada
respon pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.
Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk menjaga volume dan
cairan intravaskular yang adekuat.
Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan untuk
menghitung volume cairan.
Tabel 3. Cairan yang dibutuhkan berdasarkan berat badan
Berat badan
ideal (kg)
Cairan
Cairan
rumatan
+ 5% defisit
(ml)
Berat badan
Cairan
Cairan rumatan
+ 5% defisit
(ml)
rumatan
ideal (kg)
rumatan
(ml)
(ml)
5
500
750
35
1800
10
1000
1500
40
1900
15
1250
2000
45
2000
20
1500
2500
50
2100
25
1600
2850
55
2200
30
1700
3200
60
2300
Sumber: Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral
Pediatrics 1957;19:823
3550
3900
4250
4600
4950
5300
fluid therapy.
Kecepatan cairan
(ml/kg/jam)
1.5
3
5
7
10
23
Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat tidak ada
perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup, maka perhatikan ABCS
yang terdiri dari, A Acidosis: gas darah, B Bleeding: hematokrit, C Calsium:
elektrolit, Ca++ dan S Sugar: gula darah (dekstrostik) 7.
Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah sudah didapat
cairan selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III
Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat diberikan
24
Monitor ketat (pemasangan katerisasi urin, katerisasi pembuluh darah vena pusat /
jalur arteri)
pasien sadar atau jalur intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam keadaan darurat atau
setelah dua kali kegagalan mendapatkan jalur vena perifer atau setelah gagal pemberian
cairan melalui oral. Cairan intraosesus harus dikerjakan secara cepat dalam 2-5 menit7.
Perdarahan hebat
Pada perdarahan saluran cerna, H2 antagonis dan penghambat pompa proton dapat
digunakan.
Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti suspense
trombosit, plasma darah segar/cryoprecipitate. Penggunaan larutan tersebut ini dapat
menyebabkan kelebihan cairan7.
DBD ensefalopati
25
Diuretik diberikan apabila ada indikasi tanda dan gejala kelebihan cairan
Menggunakan kelambu.
b.
c.
hiperglikemia,
hiponatremia,
hipokalsemia
akibat
syok
28
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Brooks, Geof. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg. Ed 23. Jakarta:
EGC. 2007
2. Widoyono. Penyakit tropis epidemiologi penularan, pencegahan & pemberantasan.
Edisi kedua. Semarang: Erlangga. 2011
3. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007
4. Suhendro dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Berdarah Dengue. Jilid III.
Edisi V. 2009
5. Richard, E, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 2 Edisi 15. Jakarta: EGC.
2000
6. Candra, Aryu. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor
Risiko Penularan. Aspirator Vol. 2 No.2 Tahun 2010. Diakses
dari:ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/aspirator/article/view/2951/0 [3 Juni
2015]
7. Karyati, M R. Diagnosa dan tatalaksana terkini dengue. Divisi Infeksi dan Pediatri
Tropik, Departemen Ilmu Kesehatan Anak. RSUPN Cipto Mangun Kusumo. FKUI
8. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever.
India: WHO. 2011
9. Yuswulandary, Vara. Karakteristik Penderita Demam Berdarah Dengue Di Wilayah
Kerja Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Dan Kegiatan Pemberantasannya Tahun
2003-2007. Diakses dari: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16366. [3 Juni
2015]
30
10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2009 diakses dari: http://idai.or.id/downloads/PPM/Buku-PPM.pdf [ 5 Juni
2015]
31