Anda di halaman 1dari 14

ITS101

Supply Chain Management


Transkrip
Minggu 2: Supply Chain Strategy and Performance
Video 1: Pentingnya Strategi Supply Chain Management Part 1
Video 2: Pentingnya Strategi Supply Chain Management Part 2
Video 3: Produk Fungsional VS Inovatif
Video 4: Strategi Efisien VS Responsif - Part 1
Video 5: Strategi Efisien VS Responsif - Part 2
Video 6: Decoupling Point
Video 7: Postponement
Video 1: Pentingnya Strategi Supply Chain Management Part 1
Halo, IndonesiaX. Selamat berjumpa kembali. Apa kabar Anda hari ini? Semoga semuanya
dalam keadaan sehat wal afiat di mana pun Anda berada. Saya kira Anda sudah menikmati
sajian saya di minggu pertama. Kita akan melanjutkan ke minggu yang kedua sekarang ini.
Mungkin ini materi yang sudah Anda tunggu-tunggu juga. Kita akan bicara soal Supply Chain
Strategy. Ini sesuatu yang sangat penting dalam supply chain. Jika kita bicara persaingan di
dunia bisnis, maka Anda harus punya daya saing. Anda harus lebih baik daripada competitor
atau setidak-tidaknya sama sehingga Anda tetap unggul dalam persaingan.
Di minggu kedua ini, kita akan membahas beberapa aspek dari supply chain strategy. Yang
pertama, kita akan mendiskusikan kenapa supply chain strategy itu penting.
Jadi, pentingnya supply chain strategy bagi perusahaan yang mengirimkan produk ke
pelanggan. Yang kedua, kita akan membahas karakteristik dari produk. Karena jika kita bicara
soal supply chain strategy, maka hal yang sangat penting sebetulnya adalah bagaimana
menyesuaikan antara karakteristik produk dengan supply chain strategy. Itu yang kedua.
Yang ketiga, kita akan melihat dua strategi supply chain yang relatif berbeda yang
mencerminkan kondisi produk yang berbeda. Jadi, nanti kita sebut strategi ini sebagai
efficient strategy dan ada yang disebut sebagai responsive strategy. Jadi, dua hal itu akan kita
bicarakan juga.
Selanjutnya, kita juga akan mendiskusikan tentang sesuatu yang sedikit lebih teknis. Apa yang
kita sebut sebagai Decoupling Point, yaitu, intinya adalah sampai di mana kita akan
menggunakan persediaan barang atau inventory sebagai dasar untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan.
Ini juga bagian dari strategi. Dan, yang terakhir, kita akan bicara soal apa yang kita sebut
sebagai postponement. Postponement artinya menunda diferensiasi produk. Itu juga
merupakan salah satu strategi yang penting dalam supply chain.

Halaman 1 dari 14

ITS101
Pemirsa IndonesiaX, sebenarnya strategi itu akan menentukan apa kita akan unggul di pasar
atau kita akan kalah dalam bersaing. Ini penting sekali. Kenapa demikian? Karena kita
sekarang berada dalam persaingan yang semakin ketat. Semakin tinggi persaingan, berarti
semakin butuh strategi yang baik untuk membuat Anda tetap kompetitif di pasar.
Tekanan dari kompetitor baru yang bermunculan setiap saat membuat Anda perlu memiliki
diferensiasi, Anda perlu punya cara untuk tetap eksis di pasar. Di samping itu, masih banyak
sekali tantangan yang menyebabkan kenapa strategi dalam mengelola supply chain itu
penting. Saya kira dalam bahasan sebelumnya kita sudah mendiskusikan bahwa sekarang
kebanyakan perusahaan mengelola semakin banyak variasi produk.
Produk yang dulunya variasinya sedikit menjadi lebih banyak. Ini adalah tantangan tersendiri.
Ketika variasi produk itu banyak, itu akan menciptakan kesulitan di dalam kegiatan produksi,
menciptakan kesulitan di dalam kegiatan penyimpanan, juga di dalam kegiatan distribusi.
Apa artinya? Dibutuhkan cara yang berbeda ketika kita menghadapi variasi produk yang
semakin tinggi.
Variasi produk yang semakin banyak, juga kemudian life cycle dari produk semakin pendek.
Ada produk yang bertahan di pasar hanya tiga bulan. Ada produk yang bertahan di pasar
mungkin hanya enam bulan. Atau bahkan lebih pendek. Hanya dua bulan, misalnya.
Sehingga karena dihadapkan pada life cycle produk yang lebih pendek, Anda membutuhkan
strategi yang berbeda dibandingkan, misalnya, jika Anda mengelola produk dengan life cycle
yang panjang. Oleh karena itu, maka sangat penting bagi kita untuk memahami apa kaitan
antara life cycle dari produk dengan strategi yang tepat yang kita gunakan dalam supply
chain. Itu akan kita diskusikan nanti.

Banyak sekali tantangan-tantangan yang lain. Keinginan pelanggan yang semakin bervariasi,
pasokan material yang semakin sulit untuk diperoleh, harga yang mungkin naik turun yang
menyebabkan kita harus menentukan waktu yang tepat mengenai kapan kita harus membeli
material, serta yang juga tidak kalah pentingnya, adalah tantangan distorsi informasi yang
terjadi dalam supply chain.
Apa artinya? Sering kali jika misalnya kita bekerja di pabrik, kita tidak memahami betul
mengenai pola permintaan di end-customer karena di sepanjang supply chain terjadi distorsi
informasi. Yaitu, informasi tentang permintaan berubah di setiap stage di dalam supply chain.
Jadi, ketika dihadapkan pada berbagai tantangan itu, kita membutuhkan strategi yang tepat.
Jadi, bagaimana kita mengelola rantai supply ini dari hulu sampai ke hilir? Sehingga kita bisa,
seperti yang saya katakan tadi, tetap bisa kompetitif di pasar.
Video 2: Pentingnya Strategi Supply Chain Management Part 2
Pemirsa IndonesiaX, jika kita bicara mengenai strategi, sebenarnya strategi itu bisa berbedabeda. Strategi adalah pilihan. Strategi mencakup keputusan-keputusan untuk jangka
panjang. Keputusan yang melibatkan investasi yang besar yang dibuat sekarang, tapi
berimplikasi pada jangka panjang dari perusahaan, terhadap jangka panjang dari daya saing

Halaman 2 dari 14

ITS101
perusahaan kita. Di pasar, tentu saja, jika kita lihat, ada perusahaan yang produknya bersaing
atas dasar harga.
Artinya, mereka ingin membuat pelanggan membeli produknya karena produk Anda mungkin
lebih murah dibandingkan produk yang lain yang mungkin kualitasnya setara. Bisa juga Anda
memilih objective atau strategic objective yang lain. Jadi, kita tidak bicara pada pilihan harga,
tetapi kecepatan. Kita lebih cepat dibandingkan yang lain.
Pelanggan akan membeli produk karena produk kita lebih cepat dibandingkan yang lain,
tersedia di mana-mana secara tepat waktu. Kita lebih dulu meluncurkan produk itu
dibandingkan kompetitor, misalnya. Kompetitor sedang mendisain, kita sudah meluncurkan
produk itu.
Ini mungkin terutama untuk mereka yang bermain di industri yang kreatif, yang banyak
inovasinya, yang setiap saat kita bersaing dengan disain. Kecepatan menjadi sesuatu yang
sangat penting. Juga fleksibilitas. Itu juga menjadi daya saing juga, dimensi daya saing.
Jika kita lebih fleksibel dibandingkan kompetitor kita, kita akan menjadi pilihan yang mungkin
akan merupakan salah satu faktor yang membuat kita menjadi long term partner dari
costumer kita, misalnya. Hanya saja, masalahnya sekarang, kita tidak akan bisa unggul di
semua dimensi. Ini adalah pilihan.
Antara kecepatan dengan cost ada trade off. Apa artinya? Pada saat kita ingin menjual produk
yang kualitasnya lebih bagus, berarti pada akhirnya, harga jual kita akan lebih tinggi.
Sekarang pilihannya, mau masuk ke segmen yang mana? Mau masuk ke segmen yang
customernya memprioritaskan kualitas tapi mau membayar dengan harga yang sedikit lebih
tinggi atau sebaliknya? Karena ini adalah pilihan.
Ketika misalnya pilihan kita adalah kecepatan dan inovasi, maka strategi supply chain-nya
akan berbeda dibandingkan dengan jika pilihan Anda adalah menjual produk standard yang
di pasar Anda bersaing dengan dasar harga.
Jadi, itu adalah pilihan-pilihan yang sangat penting. Apakah pilihan Anda itu nanti akan
bersaing di pasar berdasarkan harga atau berdasarkan kecepatan atau berdasarkan dimensi
yang lain, ini membutuhkan kerja sama dari semua pihak yang ada dalam supply chain.
Harga yang murah tidak bisa diciptakan semata-mata oleh pabrik yang memproduksi barang,
misalnya. Harga yang murah juga diciptakan oleh pemain-pemain yang lain. Oleh mereka
yang mengangkut produk, oleh mereka yang menyimpan, termasuk mereka yang mendisain.
Jadi, semua pihak yang ada di dalam supply chain itu berkontribusi terhadap cost. Artinya,
begitu kita mengatakan bahwa daya saing kita adalah cost, maka semua jajaran dalam supply
chain harus mendukung daya saing atau keinginan untuk menciptakan produk yang harganya
murah di end-customer.
Saya sekarang ingin bertanya kepada siswa IndonesiaX. Saya punya dua produk. Produk yang
pertama adalah air mineral. Anda tahu di mana-mana Anda bisa membeli air mineral. Ada
banyak pilihannya.

Halaman 3 dari 14

ITS101
Yang kedua adalah produk HP atau telepon genggam. Anda juga semua memiliki HP dan
mungkin HP yang Anda punya berbeda dengan adik Anda, dengan saudara Anda, dengan
teman-teman Anda dan lain sebagainya.
Saya ingin Anda melihat tabel saya berikut ini sebagai bagian dari pekerjaan yang harus Anda
lakukan. Saya ingin Anda mencoba untuk mengisi table yang mencoba membedakan antara
apa yang berbeda jika kita bicara elemen-elemen strategis supply chain bagi mereka yang
mengelola supply chain air mineral dan bagi mereka yang mengelola supply chain dari HP.
Yang pertama, coba Anda lihat dari seberapa sering perusahaan ini memperkenalkan produk
baru ke pasar. Mana yang lebih sering? Apakah air mineral yang lebih sering meluncurkan
produk baru ke pasar atau HP? Anda bisa isi dengan sering, tidak sering, atau sangat
sering, misalnya.
Anda bisa isi dengan pilihan-pilihan kualitatif itu. Yang kedua saya ingin tanya, berapa banyak
yang dikeluarkan perusahaan untuk iklan? Apakah kalau misalnya Anda berada di industri air
mineral Anda akan mengeluarkan biaya yang besar untuk membayar iklan? Demikian juga jika
Anda bekerja di industri HP, misalnya.
Apakah Anda mengeluarkan biaya yang besar atau kecil untuk biaya iklan? Itu yang kedua.
Silakan isi dalam latihan Anda. Yang ketiga, apakah sering perusahaan ini mendiskon
produknya? Kalau misalnya Anda amati, perusahaan-perusahaan yang menjual air mineral,
apakah sering Anda lihat produk-produk seperti air mineral ini mendiskon harga barangnya?
Jika Anda lihat di supermarket, misalnya. Ada diskon sekian persen dan lain sebagainya atau
harganya turun dari waktu ke waktu. Kemudian, Anda lihat di HP. Anda bandingkan.
Mana yang lebih sering melakukan mark down price dari produknya. Jadi, menurunkan harga
produk, memberikan diskon dan lain sebagainya. Dan, yang terakhir, Anda coba bandingkan
berapa banyak Anda concern terhadap biaya transportasi. Mana yang lebih besar
perhatiannya pada biaya transportasi? Air mineral atau HP? Silakan. Jadi, di sesi ini silakan
Anda kerjakan. Kemudian nanti, jawaban-jawaban akan pertanyaan itu akan kita bahas pada
video-video berikutnya.
Video 3: Produk Fungsional VS Inovatif
Saudara Pemirsa IndonesiaX, bagaimana? Anda sudah selesai mengerjakan latihan yang saya
berikan pada video pertama? Saya harapkan semua sudah berhasil mengerjakannya dengan
baik. Tetapi mari kita ikuti penjelasan saya berikutnya yang mungkin akan terkait dengan apa
yang sudah Anda tuliskan tadi.
Baik, kita sekarang akan membahas karakteristik dari dua produk yang berbeda yang sering
kita jumpai di pasar. Kita sebut yang pertama adalah produk inovatif, yang kedua adalah
produk fungsional. Seperti namanya, jika kita bicara soal produk inovatif, artinya adalah
produk yang setiap saat berbasis inovasi. Artinya, akan banyak terjadi peluncuran produkproduk baru, banyak aktivitas disain untuk menambahkan fitur baru, kemudian di pasar
setiap saat akan kita saksikan terjadi perubahan.
Produk yang kita lihat tahun lalu tidak akan kita lihat lagi di tahun ini dan lain sebagainya. Itu
yang disebut sebagai produk inovatif. Orang membeli produk inovatif karena mungkin ada
Halaman 4 dari 14

ITS101
tambahan-tambahan fitur yang ditawarkan di situ. Sebaliknya, jika kita bicara soal produk
fungsional, adalah produk yang dibeli orang karena basic function-nya. Karena fungsi
dasarnya. Sebagai contoh, misalnya.
Jika Anda sedang haus, ingin membeli air mineral, misalnya. Maka, sebetulnya, yang utama
yang Anda beli adalah airnya sendiri. Kemasannya tidak terlalu menjadi masalah. Kalau pun
misalnya produk ini diganti-ganti kemasannya menjadi berwarna merah, berwarna kuning,
berwarna ungu, tidak akan menarik bagi kita. Tidak akan memberikan nilai tambah.
Tapi produk-produk seperti yang saya pegang ini, misalnya. Seperti clicker untuk slide ini,
setiap saat saya bisa melihat bentuk yang berbeda. Tahun lalu saya punya yang berbeda,
sekarang kita punya yang berbeda, mungkin tahun depan ada inovasi yang berbeda lagi.
Begitu banyak inovasi yang terjadi karena produk-produk ini berbasis teknologi dan
menawarkan kemudahan bagi pelanggan untuk menggunakannnya.
Baik. Dalam kaitannya dengan strategi supply chain, kita akan mencoba untuk membahas dua
produk ini dari beberapa aspek. Yang pertama, siklus hidup. Di video pertama saya sudah
singgung sedikit. Adanya perbedaan life cycle atau siklus hidup produk antara produk yang
mungkin sejak dulu sampai sekarang tidak berubah disainnya, di market tetap eksis dan juga
di sisi yang lain ada produk yang baru diluncurkan enam bulan yang lalu tapi sekarang di pasar
sudah tidak ada. Jadi, life cycle-nya pendek.
Produk fungsional, pada umumnya, life cycle-nya panjang, bisa sangat panjang. Saya ingat,
misalnya, waktu kecil dulu, lampu neon yang ada di ruangan sekarang ini sama dengan lampu
neon yang saya jumpai waktu saya kecil dulu, jadi, life cycle-nya sangat panjang.
Air mineral yang Anda beli di supermarket, misalnya, yang Anda jumpai sekarang, sudah ada
di pasar bertahun-tahun yang lalu. Life cycle-nya panjang. Tetapi coba Anda lihat baju,
misalnya. Jika Anda pergi ke toko-toko baju, mungkin apa yang Anda lihat tahun ini atau bulan
ini, tidak sama dengan yang Anda lihat enam bulan yang lalu.
Ada perubahan style, ada perubahan warna, ada berbagai macam perubahan yang lain yang
diperkenalkan oleh perusahaan-perusahaan yang memproduksi baju ini. Itu yang pertama.
Jadi, siklus hidup dua produk ini berbeda. Yang kedua, variasi yang ada itu juga berbeda.
Produk fungsional tidak bermain dengan variasi yang terlalu banyak. Sedangkan produk
inovatif, tentu saja, karena konsekuensi dari inovasi yang berkelanjutan, maka variasi di pasar
akan menjadi banyak. Itu yang kedua. Jadi, variasinya banyak untuk produk yang inovatif, tapi
sedikit untuk produk fungsional. Contoh lagi, misalnya, jika kita bicara soal semen.
Semen adalah salah satu produk fungsional. Apakah Anda menjumpai begitu banyak variasi
produk semen di pasar? Tentu saja tidak. Namun tidak demikian jika kita bicara soal HP.
Begitu banyak pilihan yang ada. Dari brand yang sama pun pilihannya begitu banyak. Jadi,
variasinya banyak. Itu yang kedua. Yang ketiga, juga berbeda dari volume produksi untuk
setiap jenisnya. Sebagai konsekuensi dari kita memiliki sedikit jenis, maka volume yang kita
produksi besar untuk setiap kategorinya. Kita lihat, misalnya, di industri semen.
Produk yang sama akan doproduksi dalam volume yang sangat besar dalam jumlah yang
sangat besar. Tetapi jika kita bicara baju, misalnya, satu ukuran, satu warna, satu jenis

Halaman 5 dari 14

ITS101
mungkin hanya diproduksi 100 atau mungkin kurang dari 100. Jadi, volumenya sedikit,
quantity-nya sedikit. Itu yang ketiga.
Ciri-ciri yang tadi itu akan membawa konsekuensi terhadap pengelolaan supply chain.
Ambillah contoh, misalnya, jika kita bicara soal ramalan permintaan. Ramalan permintaan
tentu akan sulit jika variasinya banyak dan produk life cycle-nya pendek karena kita mungkin
tidak punya history produk itu dibeli berapa, dibeli oleh siapa dan lain sebagainya karena
produknya baru dan juga karena life cycle-nya pendek, maka kita tidak bisa menggunakan life
cycle dari produk yang lama untuk memprediksi permintaan untuk produk yang baru karena
mungkin juga beda style dan produknya.
Namun sebaliknya, jika kita bicara produk fungsional, keakuratan ramalan biasanya cukup
tinggi karena volume permintaan dari waktu ke waktu mungkin tidak banyak berubah, relatif
lebih sedikit berubahnya jika kita bandingkan dengan produk inovatif sehingga relatif lebih
mudah untuk memprediksi permintaan ke depan.
Konsekuensi berikutnya, jika kita mudah meramalkan permintaan, maka berarti kita bisa
mendekatkan antara apa yang kita produksi dan kita kirim dengan permintaan pasar sehingga
tidak terlalu banyak produk berlebih atau tidak banyak produk yang kekurangan
dibandingkan apa yang diminta oleh pasar. Tetapi jika kita lihat di produk inovatif, ini adalah
hal yang sangat lumrah. Kadang-kadang kita memproduksi 1000, tapi permintaannya 500.
Atau kita punya 1000, barangnya 2000.
Sehingga bisa kelebihan atau kekurangan. Jika kita bicara kelebihan pada produk inovatif,
konsekuensinya besar. Karena jika life cycle-nya hanya tiga bulan, di akhir bulan produk kita
masih tersisa banyak, maka artinya, terpaksa kita menjual produk itu dengan harga diskon.
Itu satu-satunya, barangkali, cara yang umum dilakukan ketika di akhir masa jual inventory
kita masih banyak, maka kita melakukan markdown atau mendiskon harganya.
Maka, kita lihat, jika misalnya Anda pergi ke department store untuk beli baju, misalnya, ada
begitu banyak diskon yang ditawarkan. Jika kita bicara, misalnya, HP. Maka, dari waktu ke
waktu, harganya turun. Karena ada produk-produk baru yang lebih bagus, yang harganya
mungkin akan sangat bersaing atau akan lebih menarik jika dibuat harganya sama dengan
produk yang lama.
Oleh karena itu, maka salah satu konsekuensi lainnya, jika itu produk inovatif, maka Anda
harus menargetkan margin yang lebih tinggi dibandingkan jika Anda mengelola produk
fungsional. Di produk fungsional, Anda mungkin cukup mengambil margin 10%, 15% atau
maksimal 20%. Tapi jika Anda mengelola produk inovatif, margin itu tidak cukup karena Anda
berada pada risiko yang besar. Itulah, saudara pemirsa IndonesiaX. Jadi, kita sudah
membicarakan dua karakteristik produk yang selanjutnya nanti akan kita jadikan untuk
membahas dua strategi dalam supply chain.
Video 4: Strategi Efisien VS Responsif - Part 1
Pemirsa IndonesiaX, tadi kita sudah membahas dua karakteristik produk yaitu produk inovatif
dan produk fungsional. Apa yang kita bahas tadi ada kaitannya dengan strategi supply chain
yang akan kita bahas sekarang. Yaitu strategi yang disebut strategi efisien dan strategi
responsif.
Halaman 6 dari 14

ITS101
Namun sebelum itu, saya akan mengkaitkan apa yang akan kita diskusikan ini dengan dua
aktivitas utama dalam supply chain yang kita sudah bahas di minggu pertama, yaitu physical
process, yang pertama, yang kedua adalah mediasi pasar atau market mediation.
Jadi, saya ingin ulang lagi bahwa pada minggu pertama, kita mengkategorikan ada dua
kegiatan yang dilakukan oleh supply chain, yaitu kegiatan physical process. Yaitu mengelola
kegiatan secara fisik mulai produksi barang, penyimpanan, pengiriman, apa saja yang bisa
kita lihat secara fisik di situ, ada nilai tambah, ada perubahan lokasi dan lain sebagainya dari
produk yang kita produksi.
Itu yang pertama. Yang kedua, yang kita sebut sebagai market mediation atau mediasi pasar
adalah aktivitas seperti promosi, memperkenalkan produk kita ke pasar, mendisain produk
supaya disain yang kita buat mencerminkan apa yang dibutuhkan oleh pelanggan, melakukan
markdown, menentukan harga jual, kapan barang itu didiskon dan lain sebagainya. Itu juga
bagian dari market mediation activity. Sekarang, coba kita lihat.
Ada perusahaan yang sangat fokus pada aktivitas fisik, sangat sedikit melakukan aktivitas
market mediation. Tetapi ada juga perusahaan yang seimbang kedua-duanya. Melakukan
aktivitas fisik, iya, melakukan aktivitas mediasi pasar juga cukup intens. Saya ingin mengajak
Anda untuk mereka-reka biaya yang kira-kira keluar untuk masing-masing aktivitas ini untuk
produk yang berbeda. Ambillah contoh, misalnya jika kita kembali pada contoh kita
sebelumnya, yaitu air mineral atau semen, misalnya. Coba kita breakdown cost yang kita
bayar.
Sebagai pelanggan, misalnya, kita bayar, katakanlah, ada semen 40 kilogram satu sak kita beli
di pasar, katakanlah, harganya Rp. 50.000. Coba kita breakdown. Dari Rp. 50.000 yang kita
bayar itu, berapa persen kira-kira biaya materialnya, berapa persen biaya produksinya,
berapa persen biaya transportasinya, berapa persen untuk biaya penyimpanan di gudang,
berapa persen untuk biaya-biaya marketing, biaya karena kita mendiskon harga dan kira-kira
berapa persen marginnya? Di slide saya, Anda bisa lihat.
Di situ ada bagian atas dan bagian bawah. Yang atas menunjukkan biaya-biaya material,
produksi dan transportasi itu tinggi, tetapi relatif kecil mengeluarkan biaya-biaya untuk
marketing, markdown dan lain sebagainya.
Di bagian bawah, berbeda profil cost-nya. Biaya-biaya untuk aktivitas fisik seperti produksi,
biaya material, biaya kirim, biaya simpan itu relatif berimbang karena ternyata mengeluarkan
biaya yang cukup besar juga untuk kegiatan marketing, juga untuk menanggung biaya karena
kita mendiskon produknya yang cukup besar juga sampai 70% - 80%, oleh karena itu juga, kita
harus mengambil margin yang juga lebih tinggi.
Anda bisa bandingkan, di antara dua grafik itu, nanti Anda akan mana yang kira-kira
mencerminkan semen, mana yang kira-kira mencerminkan produk-produk yang sebaliknya
seperti HP, misalnya. Itu adalah ilustrasi yang penting.
Pada saat kita bicara soal strategi tentang supply chain, maka sangat penting bagi kita untuk
memahami sebetulnya apa kita perlu melakukan aktivitas mediasi yang banyak atau kita
cukup fokus pada aktivitas fisik? Tentu ada alasannya. Kenapa kita fokus hanya pada aktivitas

Halaman 7 dari 14

ITS101
fisik? Karena memang seperti yang sudah kita bicarakan tadi, produk kita mungkin adalah
produk fungsional yang sudah cukup dikenal di pasar.
Tidak perlu kita melakukan perkenalan berkali-kali karena produk itu sudah diketahui oleh
masyarakat. Karena apa? Karena life cycle-nya panjang. Artinya, yang seperti ini cocok untuk
produk yang sifatnya fungsional. Seperti semen, air mineral atau mungkin gula pasir atau
mungkin garam yang kita beli.
Semua produk ini, walaupun mereka beriklan, jumlah iklannya tidak banyak, tapi porsi yang
mereka keluarkan untuk aktivitas mediasi pasar, cost yang mereka keluarkan tidak besar.
Namun sebaliknya, jika kita bicara soal HP, kita bicara kamera digital, kita bicara produkproduk inovatif lainnya, seringkali di surat kabar kita jumpai iklannya, di televisi dan lain
sebagainya. Jadi, pengeluaran mereka untuk aktivitas mediasi pasar cukup besar.
Jadi, kalau kita mencoba mengklasifikasikan dua kategori produk ini, maka yang satu
sebetulnya fokus pada aktivitas fisik, dan aktivitas fisik ini diupayakan sedapat mungkin
supaya cost-nya murah, yang mana jika kita bicara cost aktivitas fisik itu tidak jauh dari biaya
produksi, biaya pembelian material, biaya penyimpanan dan biaya transportasi. Produk yang
fungsional, kebanyakan di pasar, bersaing atas dasar harga.
Harga yang kita set di pasar tidak boleh seenaknya. Margin tidak boleh seenaknya mengambil
200% atau 100%. Tidak ada yang akan beli produk kita. Karena masyarakat tahu kira-kira pada
level berapa harga jual di pasar yang layak. Jika kita bicara semen, air mineral dan lain
sebagainya, masyarakat sudah tahu kira-kira harganya berapa.
Tapi jika ada HP baru yang bagus, perusahaan bisa mengeset dengan margin yang besar,
dengan harga yang tinggi, dan tetap ada yang membelinya.
Oleh karena itu, maka strategi supply chain yang kita miliki di sini kira-kira bisa kita
kategorikan menjadi dua. Yang satu adalah strategi yang menekankan pada efisiensi. Karena
kita ingin supaya efisiensi fisik dari proses-proses supply chain ini berjalan efisien sehingga
cost pada produk kita akan relatif rendah.
Tetapi di sisi yang lain, jika kita terlalu fokus pada cost, mungkin akan membatasi kecepatan.
Jika kecepatan dibatasi, sementara selling period kita pendek, maka kita akan punya sedikit
kesempatan untuk menjual. Jadi, kita kedahuluan oleh competitor, kita terlambat sebulan
meluncurkan produk baru, sementara selling season kita hanya dua bulan. Maka kita hanya
punya selling period normal satu bulan.
Setelah itu, barang harus didiskon harganya, misalnya. Maka untuk kategori yang kedua, Anda
harus punya kecepatan. Speed menjadi kunci. Sehingga strateginya adalah responsive
strategy. Begitu Anda menentukan apakah pilihan itu mau ke arah responsive strategy atau
ke arah efficient strategy, maka the whole supply chain ritmenya harus sama. Harus ada
keserasian antara strategi yang Anda tentukan dengan bagaimana kebijakan-kebijakan yang
diambil pada level yang lebih bawah sampai pada level operasional.
Jika kita bicara supply chain strategy, maka pada akhirnya, kita harus sesuaikan strategi itu,
misalnya, dengan bagaimana kita merancang network dari supply chain kita. Yang kedua,
bagaimana kita memilih tipe sistem produksi. Mau yang fleksibel atau yang tidak fleksibel, tapi

Halaman 8 dari 14

ITS101
efisien? Begitu juga, strategi inventory-nya akan berbeda, strategi transportasinya akan
berbeda, cara memilih supplier-nya berbeda.
Saya ambil contoh, misalnya, jika kita merancang network supply chain itu untuk tujuan
supaya responsiveness kita bagus, pada akhirnya mungkin kita butuh gudang yang lebih
banyak di berbagai area pasar. Karena apa? Karena kita ingin supaya pelanggan ketika order
barang, dia bisa mendapatkan barangnya sehingga stok harus tersedia di titik-titik yang lebih
banyak sehingga pelanggan akan lebih dekat ke posisi inventory.
Maka, mungkin untuk seluruh Indonesia Anda akan membutuhkan satu distribution center di
setiap propinsi, misalnya. Tetapi jika misalnya Anda punya sampai 30 distribution center atau
lebih di seluruh Indonesia, cost akan tinggi. Tentu, jika fokus Anda adalah cost, barangkali itu
bukan strategi yang tepat. Artinya, cara Anda mengkonfigurasi supply chain, berapa gudang
yang harus tersedia, di mana pabrik akan berlokasi, itu akan menentukan cost dan kecepatan
Anda merespon kepada pelanggan.
Ini jelas akan kembali pada pilihan-pilihan tadi. Anda mau cepat, tetapi cost sedikit lebih
tinggi? Atau Anda mau efisien dari sisi cost, tetapi barangkali sedikit lebih lambat dalam
merespon pelanggan? Itu adalah pilihan.
Video 5: Strategi Efisien VS Responsif - Part 2
Saudara pemirsa IndonesiaX, terakhir, saya akan menyampaikan satu framework yang
disebut sebagai strategic fit dalam kaitannya dengan supply chain strategy ini.
Jadi, Anda bisa lihat di slide yang Anda lihat sekarang. Di situ ada framework yang biasanya
bisa kita gunakan untuk mengevaluasi strategi dari suatu produk atau strategi supply chain
dari sebuah perusahaan. Di sisi horizontal, Anda akan melihat kategorisasi dari produk.
Coba, misalnya, Anda pilih sebuah produk. Produk apa saja yang Anda pikirkan? Apakah itu
mobil, misalnya? Atau misalnya baju. Atau misalnya kamera. Anda pikirkan. Kira-kira produk
yang Anda pikirkan itu masuk ke sisi fungsional atau masuk ke sisi inovatif dari ciri-ciri yang
sudah saya sampaikan tadi. Jika dia cenderung fungsional, berarti daerahnya agak ke kiri di
sisi horizontal, tetapi jika inovatif, berarti daerahnya agak ke kanan.
Buat satu titik pilihan Anda. Kira-kira di titik mana di garis horizontal antara fungsional dan
inovatif tadi. Itu langkah yang pertama. Yang kedua, Anda lihat sisi vertikal. Sisi vertikal itu
menunjukkan strategi yang Anda jalankan selama ini, bukan strategi yang seharusnya, tetapi
strategi yang Anda jalankan atau yang perusahaan jalankan selama ini. Semakin ke bawah
menunjukkan itu strategi efisien, semakin ke atas menunjukkan itu strategi responsif. Contoh,
jika Anda mengirim barang selalu minta truk penuh, tidak mementingkan kecepatan, tapi
mementingkan kapasitas yang harus terpakai, berarti Anda berada di bawah.
Kalau berada di atas, Anda akan berlaku sebaliknya. Ada pesanan lima boks, jika itu urgent,
Anda akan kirim walaupun tidak memenuhi satu kendaraan. Itu salah satu contoh. Kemudian,
Anda amati perusahaan yang Anda pikirkan produknya tadi. Kira-kira strateginya agak di
bawah, mengarah ke efisien atau di atas, mengarah ke responsif. Pilih satu titik. Sama dengan
yang horizontal tadi, Anda pilih satu titik, kemudian yang vertikal, Anda juga pilih satu titik.

Halaman 9 dari 14

ITS101
Coba buat garis horizontal dan vertical yang menghubungkan dua titik tadi, tapi garisnya
lurus.
Jadi, dari bawah naik, dari samping kiri ke kanan, akan ada satu titik pertemuan di antara dua
garis tadi. Jika titik pertemuan tadi ada di dekat diagonal, berarti strateginya fit, strateginya
bagus.
Tapi jika titik pertemuan terlalu di bawah atau terlalu di atas, maka strateginya tidak cocok.
Jika titik pertemuan ada di bawah, artinya itu produk inovatif, tapi Anda mengelolanya
dengan strategi efisien.
Berarti di pasar Anda terlalu lama, terlalu lambat. Jadi, responnya kurang cepat. Tapi jika titik
pertemuan ada di atas, mungkin sebaliknya. Anda punya produk fungsional, tapi Anda kelola
dengan pendekatan-pendekatan responsf sehingga mungkin cost akan tinggi di pasar. Itu bisa
Anda gunakan nanti untuk mengevaluasi strategi supply chain dari perusahaan. Selamat
mencoba menggunakan strategic fit framework tersebut.
Video 6: Decoupling Point
Saudara pemirsa IndonesiaX, kita melanjutkan diskusi kita tentang supply chain strategy.
Sekarang kita akan membahas satu konsep yang kita sebut sebagai decoupling point. Anda
pernah mendengar istilah ini? Baik, jika misalnya belum pernah dengar, kita akan
mendiskusikannya.
Coba saya mulai dengan satu pertanyaan. Apa perbedaan antara orang mau membeli pasta
gigi dengan mau membeli mobil? Cara membedakannya bagaimana? Ini akan mengantarkan
kita pada konsep yang disebut sebagai decoupling point. Jika Anda mau beli pasta gigi, Anda
akan pergi ke supermarket atau ke toko. Kemudian datang ke sana, lihat barangnya, yang
bagus dan sesuai pilihan Anda, ambil dan bayar. Anda akan langsung dapat produk itu pada
saat itu. Tapi jika mau membeli mobil baru, kita tidak bisa melakukannya seperti itu.
Kita tidak bisa pergi ke dealer dan pilih satu dan bawa pulang. Tidak bisa begitu. Anda harus
pesan dulu, barangkali yang Anda lihat di sana adalah contohnya atau katalognya. Mungkin
juga gambarnya. Kita akan bertemu dengan orang sales dan dia akan menjelaskan.
Kemudian, kita akan pesan dan kemungkinan barang akan datang satu bulan lagi. Ini
menunjukkan bahwa jika kita bicara soal dua produk tadi, dua produk tadi memiliki
decoupling point yang berbeda. Yang pertama, jika kita bicara soal pasta gigi, itu adalah
barang yang diproduksi sebelum ada pelanggan datang untuk membeli. Bahkan bukan hanya
memproduksi saja.
Memproduksi, menyimpan, mengirim, bahkan membuat display di toko itu dilakukan sebagai
antisipasi terhadap pelanggan yang akan datang. Jadi, produk ada dulu, pelanggan datang.
Tapi jika untuk mobil, tidak demikian. Produknya belum ada, pelanggan datang lebih dulu,
baru produk akan dibuat. Jadi, dalam supply chain kita mengenal ada beberapa jenis
decoupling point. Inti decoupling point sebenarnya adalah apakah kita akan menempatkan
inventory atau persediaan barang sebagai dasar untuk memenuhi kebutuhan pelanggan atau
sebaliknya. Di mana posisi inventory itu? Apa di hulu atau di hilir? Begitulah kira-kira.

Halaman 10 dari 14

ITS101
Ada empat tipe decoupling point yang akan kita bahas sekarang ini. Yang pertama adalah apa
yang disebut sebagai make to stok (MTS). Apa artinya? Produk itu diproduksi sebagai
antisipasi terhadap kebutuhan pelanggan. Produk diproduksi lebih dulu, dikirim, disimpan,
kemudian display dilakukan di toko.
Produk yang ada di toko akan menunggu pelanggan untuk datang. Jadi, produk ada lebih
dulu. Atas dasar apa produk ini diproduksi? Atas dasar ramalan perkiraan permintaan karena
kita memiliki kemampuan untuk memperkirakan produk itu dengan mungkin cukup baik,
kira-kira demand akan ada berapa.
Jadi, kita berani berspekulasi untuk memproduksi lebih awal. Pelanggan juga tidak akan
memiliki toleransi waktu tunggu terhadap produk-produk yang seperti ini. Jika misalnya kita
mau membeli pasta gigi, apa kita mau menunggu sehari sampai dua hari? Tentu saja tidak.
Kita menginginkan produk itu tersedia pada saat kita menginginkan. Oleh karena itu, jika kita
berada dalam supply chain ini juga harus tahu bahwa produk itu harus tersedia di toko,
sehingga menggunakan prinsip yang disebut sebagai make to stock.
Yang kedua adalah apa yang disebut sebagai assembly to order (ATO). Assembly to order
artinya perakitan produk akan dilakukan setelah kita menerima pesanan dari pelanggan.
Artinya, finished product atau produk akhir belum ada ketika pelanggan itu membutuhkan.
Pelanggan akan datang untuk memesan barang, lalu setelah pesanan datang, perusahaan
akan mulai merakit. Namun, mungkin perusahaan sudah menyimpan komponen atau part
yang akan dirakit. Jadi, inventory yang disimpan adalah inventory barang-barang setengah
jadi.
Seperti komponen atau sub-assembly atau sistem, kemudian begitu kita menerima pesanan,
maka komponen-komponen atau barang setengah jadi itu akan dirakit menjadi finished
product. Jika kita lihat, mobil masuk dalam kategori ini. Jadi, jika Anda memesan mobil, mobil
itu akan dirakit ketika pelanggan sudah menempatkan order, sudah memesan produk itu atau
mobil itu, lalu kita akan menunggu beberapa waktu sampai pesanan itu selesai diproduksi
atau dirakit. Itu disebut sebagai assembly to order.
Yang berikutnya, ada yang disebut make to order (MTO). Tipe ini juga menunggu pelanggan
memesan lebih dulu, tapi bedanya dengan assembly to order adalah jika di assembly to order,
komponen-komponen yang akan dirakit itu sudah siap, jadi, begitu perusahaan menerima
customer order, maka hanya proses perakitan yang akan dilakukan. Tapi jika kita bicara make
to order, komponen-komponen yang akan dirakit itu belum ada. Sehingga begitu ada pesanan
dari pelanggan, maka pekerjaan yang masih harus dilakukan adalah melakukan fabrikasi
komponen, kemudian baru merakitnya. Artinya, waktu tunggu pelanggan akan lebih lama.
Kenapa tidak melakukan assembly to order? Kenapa harus memakai make to order? Itu yang
tadi saya katakan. Mungkin terlalu spekulatif jika kita melakukan assembly to order untuk
barang-barang tertentu. Jika mobil, mungkin tak masalah. Karena antara mobil yang satu
dengan mobil yang lain yang diproduksi oleh perusahaan yang sama atau dengan brand yang
sama akan banyak sekali kesamaan komponennya.
Jadi, walaupun kita akan membedakan warnanya, kita akan menambahkan aksesoris, kita
akan membedakan beberapa bagian dari mobil itu, tetapi mungkin 70% sampai 80% dari
komponen yang akan digunakan sama. Itu jika bicara soal mobil. Sehingga aman untuk
membuat stok komponen atau sub-assembly dari produk-produk seperti mobil ini. Tapi,
Halaman 11 dari 14

ITS101
misalnya, kita memproduksi mesin tools, alat-alat mesin yang dimensinya sangat bervariasi,
spesifikasinya juga berbeda-beda, mungkin kebutuhan komponen-komponennya akan
sepenuhnya berbeda antara satu produk dengan produk yang lain. Jadi, tidak sama dengan
mobil yang kesamaan komponennya antar mobil itu tinggi.
Namun jika dalam produk-produk yang seperti ini, kesamaan komponen antar produknya
rendah. Sehingga menyimpan komponen pun akan menjadi riskan. Oleh karena itu, usaha itu
tidak cocok menggunakan assembly to order. Untuk jenis usaha seperti ini, kita
membutuhkan model yang disebut sebagai make to order. Yang terakhir, apa yang disebut
sebagai ETO (Engineering to Order).
Model ini berbeda lagi. Model ini sedikit lebih mundur dibandingkan model make to order.
Karena apa? Karena mungkin setiap pelanggan akan meminta disain yang berbeda,
spesifikasi yang berbeda. Untuk model make to order, walaupun pilihan produknya banyak,
tapi kita bisa memilih dari perpustakaan disain yang sudah ada. Jadi, disain-disainnya sudah
ada dan kita pilih dari disain-disain tersebut.
Tapi di ETO (Engineering to Order), disainnya berbeda. Ketika ada pelanggan baru, mereka
mungkin tidak akan mau menerima disain yang sudah ada. Mereka akan minta disain yang
baru. Di kebanyakan proyek seperti konstruksi atau di produk-produk besar seperti kapal atau
pesawat, kebanyakan akan menggunakan model decoupling point yang disebut sebagai ETO
ini.
Tentu saja jika kita bandingkan keempat model decoupling point tadi, tentu saja berbedabeda. Ada yang fleksibilitasnya tinggi, ada yang fleksibilitasnya rendah, ada yang waktu
tunggunya panjang, ada yang waktu tunggunya pendek jika bicara soal pelanggan.
Ada yang implikasi terhadap inventory-nya tinggi, artinya dia harus menyimpan persediaan
yang banyak, ada yang sedikit. Jadi, jika kita lihat, dia punya implikasi terhadap waktu tunggu
dari pelanggan, inventory level dan fleksibilitas sistem. Itulah kira-kira pembahasan mengenai
decoupling point. Saya kira itulah pembahasannya, pemirsa IndonesiaX. Nanti kita akan
lanjutkan dengan konsep yang kita sebut sebagai postponement yang masih sangat terkait
dengan konsep decoupling point ini.
Video 7: Postponement
Pemirsa IndonesiaX, bagaimana? Anda masih setia mengikuti kursus materi-materi saya ini?
Mudah-mudahan Anda semua menikmati. Baiklah. Kita akan masuk ke bagian terakhir dari
minggu kedua ini. Kita akan mendiskusikan apa yang kita sebut sebagai postponement. Tadi
kita sudah bicara tentang decoupling point.
Hal ini erat kaitannya dengan decoupling point. Saya akan memberi ilustrasi. Jika kita bicara
soal mobil, jika kita bicara soal zaman dulu, ada mobil yang tipenya sama, jadi, tidak banyak
perubahan dari sisi disain dan warna, diproduksi bertahun-tahun dengan style yang sama.
Jadi, jika kita lihat definisi awal dari mass production yang dikembangkan oleh Ford. Ford
menyatakan bahwa sangat penting bagi industri untuk memiliki produktivitas yang tinggi dan
produktivitas yang tinggi ini dicapai jika kita memproduksi produk yang sama selama jangka
waktu yang panjang.

Halaman 12 dari 14

ITS101
Sehingga pada saat itu, Ford memproduksi hampir semua mobil berwarna hitam dan
bentuknya kira-kira sama. Oleh karena itu, Ford bisa menggunakan konsep yang disebut
sebagai Make to Stock atau Mass Production. Jadi, produknya sama dan diproduksi bertahuntahun. Hal seperti itu tidak kita saksikan sekarang. Benar, kan? Jadi, jika Anda berdiri di jalan
selama 10 menit, di jalanan yang ramai, Anda bisa lihat mobil dengan berbagai macam
bentuk. Warna mobilnya berbeda-beda. Style mobil berbeda-beda. Variasi meningkat.
Ketika variasi meningkat seperti ini, tidak memungkinkan lagi untuk menggunakan konsepkonsep seperti mass production atau menggunakan konsep make to stock sebagai salah satu
decoupling point yang sudah kita bicarakan tadi. Oleh karena itu, industri seperti mobil ini
yang tadinya pernah menggunakan prinsip make to stock berubah menjadi assembly to order.
Apa artinya? Terjadi penundaan diferensiasi produk. Ditunda sampai ada pesanan dari
pelanggan supaya tahu pelanggan pesan yang warnanya apa, yang bentuknya seperti apa.
Penundaan ini yang kita sebut sebagai postponement. Jadi, ditunda diferensiasi produknya
sampai ada kebutuhan yang sudah definitive atau order yang sudah jelas dari pelanggan.
Industri seperti industri otomotif ini melakukan postponement. Jadi, salah satu alasan kenapa
perusahaan melakukan postponement adalah karena mereka ingin menawarkan variasi
produk yang lebih banyak.
Sehingga ketika variasi produknya banyak dan kita tidak tahu yang jenis ini butuh berapa dan
yang jenis lain butuhnya berapa, maka kita menghadapi ketidakpastian pasar yang lebih
tinggi. Ketika kita menghadapi ketidakpastian pasar yang lebih tinggi seperti ini, maka strategi
postponement atau menunda diferensiasi produk adalah salah satu strategi yang tepat.
Namun jangan lupa, jika kita hanya menunda proses perakitannya saja, hanya assembly
processnya yang kita rakit, maka, kita membutuhkan satu syarat lagi. Yaitu, artinya
komponen-komponen yang kita gunakan harus banyak yang sama sehingga kita bisa aman
menyimpan komponen, tapi kemudian kita rakit produknya sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh pelanggan. Satu lagi, postponement ini juga harus memenuhi masa tunggu
yang ditoleransi oleh pelanggan.
Jika misalnya, pada awalnya kita memakai konsep make to stock, kemudian berubah menjadi
assembly to order lalu kita katakan kepada pelanggan, Baiklah. Anda tunggu enam bulan
produknya baru datang. Tentu saja pelanggan tidak akan menerima kondisi yang seperti ini.
Oleh karena itu, pada saat kita melakukan postponement, menunda sebagian dari proses
konfigurasi finished product ini, maka waktu harus relatif lebih pendek dibandingkan dengan
toleransi waktu tunggu dari pelanggan. Sebenarnya bukan hanya di industri otomotif, di
banyak industri, konsep postponement ini juga digunakan. Misalnya, di industri garment,
banyak perusahaan yang menggunakan konsep postponement.
Yaitu, menunda pewarnaan dari produk. Karena, sekarang, seperti yang sudah kita
diskusikan, keinginan pelanggan berubah-ubah. Warna yang dikehendaki juga berubah-ubah
sehingga kita harus bersiap dengan warna yang lebih banyak. Ada perusahaan garment yang
awalnya melakukan pencelupan warna relatif di awal proses. Kemudian, mereka medisain
ulang proses produksinya supaya pencelupan warna ini bisa dibawa ke bagian akhir dari
proses.

Halaman 13 dari 14

ITS101
Ini juga salah satu contoh postponement. Jadi, jangan diwarnai di awal, warnai di akhir karena
jika kita melakukan pewarnaan di akhir, artinya waktunya akan lebih pendek antara kita
melakukan pewarnaan dengan waktu kita memasarkan produk itu atau menjual produk itu.
Sehingga kita bisa lebih responsive terhadap aspirasi warna atau keinginan warna dari
pelanggan. Itulah, saudara pemirsa IndonesiaX, yang kita bicarakan pada minggu kedua ini.
Kita sudah membicarakan supply chain strategy yang saya kira akan sangat penting bagi Anda
yang mengelola supply chain untuk menentukan pilihan-pilihan strategi yang membuat Anda
tetap kompetitif di pasar. Sampai jumpa di minggu ketiga.

Halaman 14 dari 14

Anda mungkin juga menyukai