CEDERA KEPALA
Disusun Oleh :
Eka Nurindah
H1AP11039
Pembimbing :
AKBP Dr. dr. Julian Famil, Sp.B, FICS, FINACS
CEDERA KEPALA
1. Anatomi Kepala
2. CEDERA KEPALA
2.1 DEFINISI
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan
fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.2
2.2 ETIOLOGI
2.4 PATOFISIOLOGI
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak langsung
(primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan kerusakan dari
jaringan otak (sekunder) disebabkan oleh berbagai faktor seperti: kerusakan sawar darah
otak, gangguan aliran darah otak, gangguan metabolisme otak, gangguan hormonal,
pengeluaran bahan-bahan neurotransmitter, eritrosit, opioid endogen, reaksi inflamasi
dan radikal bebas.6
Kulit kepala dan tengkorak merupakan unsur pelindung bagi jaringan otak
terhadap benturan pada kepala. Bila terjadi benturan, sebagian tenaga benturan akan
diserap atau dikurangi oleh unsur pelindung tersebut. Sebagian tenaga benturan
dihantarkan ke tengkorak yang relatif memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu
sedikit melekuk ke arah dalam. Tekanan maksimal terjadi pada saat benturan dan
beberapa milidetik kemudian diikuti dengan getaran-getaran yang berangsur mengecil
hingga reda. Pukulan yang lebih kuat akan menyebabkan terjadinya deformitas
tengkorak dengan lekukan yang sesuai dengan arah datangnya benturan dimana
besarnya lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan. Bila lekukan melebihi
batas toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur. Fraktur
tengkorak dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi / depresi, diastase sutura atau
fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak.6
Mekanisme kerusakan otak pada cedera otak dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kerusakan jaringan otak langsung oleh impresi atau depresi tulang tengkorak
sehingga timbul lesi coup (cedera di tempat benturan).3,6
b. Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan perbedaan
percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Kekuatan gerak ini dapat
menimbulkan cedera otak berupa kompresi, peregangan dan pemotongan. Benturan
dari arah samping akan mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan antara massa
jaringan otak dengan bagian tulang kepala yang menonjol atau bagian-bagian yang
keras seperti falk dengan tentoriumnya maupun dasar tengkorak dan dapat timbul lesi
baik coup maupun contra coup. Lesi coup berupa kerusakan berseberangan atau jauh
dari tempat benturan misalnya di dasar tengkoran. Benturan pada bagian depan
(frontal), otak akan bergerak dari arah antero-posterior, sebaliknya pada pukulan dari
belakang (occipital), otak bergerak dari arah postero-anterior sedangkan pukulan di
daerah puncak kepala (vertex), otak bergerak secara vertikal. Gerakan-gerakan
tersebut menyebabkan terjadinya coup dan contra coup.3,6
c. Bila terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang akan
diteruskan melalui massa jaringan otak dan tulang. Gelombang tersebut
menimbulkan tekanan pada jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan
menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak melalui proses pemotongan dan
robekan. Kerusakan yang ditimbulkan dapat berupa : Intermediate coup, contra
coup, cedera akson yang difus disertai perdarahan intraserebral.3,6
d. Perbedaan percepatan akan menimbulkan tekanan positif di tempat benturan dan
tekanan negatif di tempat yang berlawanan pada saat terjadi benturan. Kemudian
disusul dengan proses kebalikannya, yakni terjadi tekanan negatif di tempat benturan
dan tekanan positif di tempat yang berlawanan dengan akibat timbulnya gelembung
(kavitasi) yang menimbulkan kerusakan pada jaringan otak (lesi coup dan contra
coup).6
2.5 KLASIFIKASI
2.5.1 Berdasarkan Saat Terjadinya
Lesi (kerusakan) yang dapat timbul pada cedera kepala terdiri atas 2 jenis yaitu
lesi primer dan lesi sekunder.
Lesi Primer
Lesi primer timbul langsung pada saat terjadinya trauma, bisa bersifat lokal
maupun difus.
-
Lesi lokal berupa robekan pada kulit kepala, otot-otot dan tendo pada kepala
mengalami kontusio, dapat terjadi perdarahan sub galeal maupun fraktur
tulang tengkorak. Demikian juga dapat terjadi kontusio jaringan otak.
Lesi Sekunder
Lesi sekunder timbul beberapa waktu setelah terjadi trauma, menyusul kerusakan
primer. Umumnya disebabkan oleh keadaan iskemi-hipoksia, edema serebri,
vasodilatasi, perdarahan subdural, perdarahan epidural, perdarahan subaraknoidal,
perdarahan intraserebral, dan infeksi.1,3
Lesi diffus
Lesi fokal
o Kontusio dan laserasi serebri
o Hematoma intrakranial
Hematoma ekstradural
Hematoma subdural
Hematoma intraparenkim
Hematoma subarakhnoid
Hematoma intraserebral
Hematoma intraserebellar.2
Lesi difusa
Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara makroskopis
tidak ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan fungsi neurologik,
meskipun pada kenyataannya pasien mengalami amnesia atau penurunan kesadaran
bahkan sampai koma.1
Penurunan kesadaran dan/atau kelainan neurologik tersebut diatas bukan
disebabkan oleh karena penekanan ataupun distorsi batang otak oleh massa yang
mendesak, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kerusakan langsung pada batang otak
atau jaringan serebrum. Pemeriksaan patologis telah membuktikan adanya kerusakan
pada sejumlah besar akson mulai dari derajat yang ringan berupa regangan sampai
derajat yang lebih berat berupa disrupsi/putusnya akson. Manifestasi klinisnya pada
umumnya tergantung pada banyak sedikitnya akson yang mengalami kerusakan.3
Pada keadaan yang berat proses akselerasi dan deselerasi juga menyebabkan
kerusakan jaringan pembuluh darah, sehingga pada CT-scan sering tampak gambaran
bercak-bercak perdarahan di substansia alba mulai dari subkorteks, korpus kalosum
sampai ke batang otak serta edema di daerah yang mengalami kerusakan. Jadi pada CTscan hanya terlihat kerusakan yang seringkali menyertai kerusakan difus pada akson
yang berupa bercak-bercak perdarahan yang lebih dikenal dengan istilah tissue tear
hemorrages. 3
Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi klinisnya
dapat berupa:
1. Cedera Akson Difus (Diffuse Axonal Injury = DAI)
Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari 6 jam.
Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal baik berupa massa maupun
daerah yang iskemik. Gambaran klinis DAI ditandai dengan koma sejak kejadian, suatu
keadaan dimana penderita secara total tidak sadar terhadap dirinya dan sekelilingnya
dan tidak mampu memberi reaksi yang berarti terhadap rangsangan dari luar. Koma
disini disebabkan oleh karena kerusakan langsung dari akson sehingga dipakai istilah
cedera akson difus.3
Untuk keperluan klinis dan penentuan prognosis, DAI dibagi menjadi :
a. DAI ringan. Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa disertai defisit
neurologik dan kognitif yang berlangsung cukup lama sampai permanen. Jenis
ini relatif jarang ditemukan.
b. DAI sedang. Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa disertai gangguan
fungsi batang otak. Jenis inilah yang paling banyak ditemui, terdapat pada 45 %
dari semua kasus DAI. Dengan terapi agresif angka kematiannya adalah 20 %.
c. DAI berat. Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai disfungsi batang
otak tanpa adanya proses desak ruang yang berarti. Angka kematiannya
mencapai 57 % dan menyebabkan cacat neurologis yang berat.6
2. Cedera Vaskular Difus (Diffuse Vaskular Injury = DVI)
Hematoma subdural
Terjadi ketika vena di antara duramater dan arachnoid (bridging vein) robek.
Lesi ini lebih sering ditemukan daripada EDH. Pasien dapat kehilangan kesadaran saat
terjadi cedera.1,3,10
Hematoma subarakhnoid
Paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain.
Perdarahan terletak di antara arachnoid dan piamater, mengisi ruang subarachnoid.1,3,10
Hematoma intraserebral
Atau lebih dikenal dengan intraserebral hematoma (ICH), diartikan sebagai
hematoma yang terbentuk pada jaringan otak (parenkim) sebagai akibat dari adanya
robekan pembuluh darah. Terutama melibatkan lobus frontal dan temporal (80-90
persen), tetapi dapat juga melibatkan korpus kallosum, batang otak, dan ganglia
basalis.1,2,3
Hematoma intraserebellar
Merupakan perdarahan yang terjadi pada serebelum. Lesi ini jarang terjadi pada
trauma, umumnya merupakan perdarahan spontan. Prinsipnya hampir sama dengan
10
ICH, tetapi secara anatomis harus diingat bahwa kompartemen infratentorial lebih
sempit dan ada struktur penting di depannya, yaitu batang otak.2,3
3. Berdasarkan derajat kesadaran berdasarkan GCS2
Kategori
Minimal
Ringan
Sedang
Berat
Catatan:
GCS
15
13-15
9-12
Gambaran Klinik
CT Scan Otak
Pingsan (-), defisit neurologik (-)
Normal
Pingsan <10 menit, defisit neurologik (-)
Normal
Pingsan >10 menit s/d 6 jam, defisit Abnormal
3-8
neurologik (+)
Pingsan > 6 jam, defisit neurologik (+)
Abnormal
HEMATOMA EPIDURAL
Tanda diagnostik klinik:
1. Lucid interval (+)
2. Kesadaran makin menurun
3. Late hemiparese kontralateral lesi
4. Pupil anisokor
5. Babinsky (+) kontralateral lesi
6. Fraktur di daerah temporal.2,3,5,10
Hematoma Epidural di Fossa Posterior
Gejala dan tanda klinis:
1. Lucid interval tidak jelas
2. Fraktur kranii oksipital
3. Kehilangan kesadaran cepat
4. Gangguan cerebellum, batang otak dan pernafasan
5. Pupil isokor 2,3,5,10
Penunjang diagnostik:
-
12
HEMATOMA SUBDURAL
Perdarahan yang terjadi di antara duramater-arakhnoid, akibat robeknya bridging vein
(vena jembatan). Jenis:
a. Akut : interval lucid 0-5 hari
b. Subakut : interval ucid 5 hari - beberapa minggu
c. Kronik : interval lucid >3 bulan2
Hematoma Subdural Akut
Gejala dan tanda klinis:
Sakit kepala
Kesadaran menurun2
Penunjang diagnostik:
13
HEMATOMA INTRASEREBRAL
Adalah perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri intraserebral
mono- atau multiple.3,6
anosmia2,3
14
2. Media
Gejala dan tanda klinis
-
3. Posterior
Gejala dan tanda klinis :
-
Penunjang diagnostik:
-
Scaning otak resolusi tinggi dan irisan 3mm (50% +)(high resolution and thin section)2
PERDARAHAN SUBARAKNOID TRAUMATIKA
Gejala dan tanda klinis:
Kaku kuduk
15
Nyeri kepala
Penunjang diagnostik:
CT scan otak: perdarahan (hiperdens) diruang subarakhnoid2,6,8
16
GCS < 9 yang menetap dalam 48 jam sesudah trauma, pingsan > 24 jam, APT >
7 hari.1,2
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Ureum kreatinin
Pemeriksaan Radiologi
Foto kepala AP/Lateral, dan foto leher (bila didapatkan fraktur servikal, kerah
leher/ collar neck yang telah terpasang tidak dilepas)
Scanning otak untuk menentukan luas dan letak lesi intrakranial (edema,
kontusio, hematoma)7,9,10
Neurobehaviour
Pemeriksaan neuropsikologi dan neuropsikiatri7
2.8 PENATALAKSANAAN
Terapi Kasus ringan
1. Pemeriksaan status umum dan neurologi
2. Perawatan pada luka
3. Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48 jam
Bila selama dirumah terdapat hal-hal sebagai berikut :
-
Muntah proyektil
17
CT Scan kepala saat masuk dan diulang bila ada hematoma intrakranial dengan
gejala riwayat lucide interval, sakit kepala progresif, muntah proyektil,
kesadaran menurun, dan gejala lateralisasi2,3,7
18
Tirah baring dengan kepala ditinggalkan 20- 30, dimana posisi kepala dan
dada pada satu bidang, lamanya disesuaikan dengan keluhan (sakit kepala,
muntah, vertigo). Mobilisasi bertahap harus dilakukan secepatnya
Simtomatis:
Analgetik (parasetamol, asam mefenamat), anti vertigo (beta histin mesilat),
antiemetik
Perawatan luka
Muntah (+), berikan IVFD NaCl 0,9% atau Ringer Laktat 1 kolf/12 jam, untuk
mencegah dehidrasi1,7
B:
19
C: Jika terjadi hipotensi (sistolik < 90 mmHg), cari penyebabnya, oleh faktor
ekstrakranial berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma
dada disertai tamponade jantung atau pneumotorak dan shock septik.
Tindakan tata laksana:
-
Restorasi volume darah dengan cairan isotonik, yaitu NaCl 0,9% atau ringer
laktat per infus
Mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah1,7
Kesadaran
Pupil
Setiap hari dievaluasi, setiap perburukan dari salah satu komponen di atas bisa diartikan
timbulnya kerusakan sekunder
Pemeriksaan Penunjang CKS/CKB
Lihat pemeriksaan radiologi dan laboratorium1,7
Tekanan Intra Kranial meninggi
Bila ada fasilitas, untuk mengukur naik-turunnya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK.
TIK normal adalah 0-15 mmHg. Di atas 20 mmHg, sudah harus diturunkan dengan
cara:
-
Hiperventilasi:
Lakukan hiperventilasi dengan ventilasi terkontrol, sasaran pCO2 dipertahankan
antara 30-35 mmHg selama 48 sampai 72 jam, lalu dicoba dilepas dengan
mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi, hiperbentilasi diteruskan 24-48
20
jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan
lakukan CT Scan ulang1,2,3,7
-
Terapi diuretik:
Terapi barbiturat
Diberikan jika tidak reseponsif terhadap semua jenis terapi di atas.
Cara pemberian:
Bolus 10 mg/kgBB iv selama jam, dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam
selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg% dengan dosis
sekitar 1mg/kgBB/jam. Setelah TIK terkontrol <20 mmHg selama 24-48
jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
Posis tidur
Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada dalam
satu bidang.1,7
21
Nutrisi
Kebutuhan energi rata-rata pada CKB meningkat rata-rata 40%, kebutuhan
protein 1,5-2 g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, dan zinc 12 mg/hari
Selain infus, nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik:
-
Hari ke-3 dan seterusnya: makanan cair 2000-3000 kalori per hari disesuaikan
dengan keseimbangan elektrolit.1,7
> 40cc dengan midline shifting pada daerah temporal/frontal/parietal denagn fungsi
batang otak masih baik.
b.
>30cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang otak atau
hidrosefalus denagn fungsi batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak
masih baik
c.
EDH progresif
SDH luas (>40cc/>5mm)dengan GCS >6, fungsi batang otak masih baik
SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai midline shift dengan fungsi batang
otak masih baik
22
7.
Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangkan operasi
dekompensasi.2
2.8 PROGNOSIS
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma kapitis.3
Diffuse
Injury
CT appearance
Mortality
Grade
I
II
Normal CT Scan
9.6%
Cisterns present. Midline shift <5 13,5%
III
mm
Cisterns
IV
compressed/
absent. 34%
56,2%
DAFTAR PUSTAKA
1. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A, Dian
S.Kegawatdaruratan Neurologi. 2nd Ed. Bandung: Departemen/UPF Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma Kapitis. In:
Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.
Jakarta: PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. p1-18.
3. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan
Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004. p1154.
4. Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Price SA.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. p1006-1042
23
5. Ginsberg L. Bedah Saraf: Cedera Kepala dan Tumor Otak. In: Lecture Notes:
Neurologi. 8th Ed. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. p114-117
6. Kasan U. Jurnal Cedera Kepala. Available at:
http://images.neurosurg.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SZQ
@KQoKCDUAAGkRGyM1/CEDERA%20KEPALA.DOC?
key=neurosurg:journal:9&nmid=198747111. Accessed on: November 20
2012.
7. RSUP Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo. Komosio Cerebri, CKR, CKS, CKB. In:
Panduan Pelayanan Medis Departemen Neurologi. Pusat Penerbitan
Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2007. p51-58
8. Mayo Clinic. Traumatic brain injury. Available at:
http://www.mayoclinic.com/health/traumatic-brain-injury/DS00552.
Accessed on November 21 2012.
9. Lombardo MC. Cedera Sistem Saraf Pusat. In: In: Price SA. Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2006. p1067-1077
10. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Cedera Kepala. In: Panduan Praktis
Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. 2009. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006. p12-18
24