JAI
Pelindung:
Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
Ketua Program Studi Anestesiologi
dan Terapi Intensif FK UNDIP
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis
Anestesi dan Terapi Intensif
(PERDATIN) Jawa Tengah
Ketua Redaksi:
dr. Uripno Budiono, SpAn
Wakil Ketua Redaksi:
dr. Johan Arifin, SpAn, KAP
Anggota Redaksi:
dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA
dr. Hariyo Satoto, SpAn
dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR
dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO
dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP
dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC
dr. Doso Sutiyono, SpAn
dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR
dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn
dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med
dr. Aria Dian Primatika, SpAn, Msi.Med
dr. Danu Soesilowati, SpAn
dr. Hari Hendriarto, SpAn, Msi.Med
Sejawat terhormat,
Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini
memuat artikel penelitian klinik dan preklinik.
Diantaranya mengenai pengaruh propofol dan
etomidat terhadap agregasi trombosit, oral
hygiene menggunakan povidone iodine dan
chlorhexidine, pengaruh pretreatment vitamin C
terhadap kadar kortisol dan manfaat N2O untuk
mempercepat induksi dengan sevofluran.
Dua tinjauan pustaka, mengenai mekanisme obat
anestesi lokal dan
efek supresi imun pada
anestesi
epidural
diharapkan
menambah
pengetahuan kita dalam bidang anestesi.
Semoga bermanfaat.
Salam,
Mitra Bestari:
Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV
Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO
Dr.dr. M.Sofyan Harahap, SpAn, KNA
Seksi Usaha:
dr. Mochamat
Administrasi:
Maryani, Nik Sumarni
Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per
tahun, setiap bulan Maret, Juli dan
November sejak tahun 2009. Harga
Rp.200.000,- per tahun.
Untuk berlangganan dan sirkulasi:
Ibu Nik Sumarni (081326271093)
Ibu Kamtini (081325776326)
Alamat Redaksi:
Program Studi Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi,
Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang.
Telp. 024-8444346.
DAFTAR ISI
PENELITIAN
Sri Tabahhati, Uripno Budiono, Mohamad Sofyan Harahap
Perbedaan Pengaruh Pemberian Propofol Dan Etomidat Terhadap Agregasi Trombosit
Propofol secara bermakna menurunkan persen agregasi maksimal trombosit
dibandingkan etomidat.
Kurniadi Sebayang, Jati Listiyanto Pujo, Johan Arifin
Perbedaan Efektifitas Oral Hygiene Antara Povidone Iodine Dengan Chlorhexidine
Terhadap Clinical Pulmonary Infection Score Pada Penderita Dengan Ventilator Mekanik
Chlorhexidine 0,2% merupakan antiseptik orofaring yang lebih efektif menurunkan skor
CPIS dibandingkan dengan povidone iodine 1% pada pasien dengan ventilator mekanik.
Tidak ada korelasi antara kenaikan skor GC plaque dengan penurunan skor CPIS.
Ratna Anggraeni, Hariyo Satoto, Widya Istanto Nurcahyo
Pengaruh Pretreatment Vitamin C 200 Miligram Terhadap Kadar Kolesterol Serum Pada
Induksi Etomidat
Pemberian vitamin C 200 mg intra vena 30 menit pre operasi dapat menurunkan efek
depresi kortisol oleh pemberian etomidat 0,2 mg/kgBB.
Tinon Anindita, Witjaksono, Aria Dian Primatika
Pengaruh Nitrous Oxide Pada Induksi Sevofluran 8% Dengan Tehnik Single Breath Terhadap
Kecepatan Induksi Anestesi
Penambahan Nitrous oxide pada induksi anestesi dengan sevofluran 8% dengan teknik
single-breath, tidak mempercepat waktu induksi anestesi.
TINJAUAN PUSTAKA
Ifar Irianto Yudhowibowo, Doso Sutiyono, Yulia Wahyu Villyastuti
Pengaruh Anestesi Epidural Terhadap Supresi Imun Yang Diinduksi Stres Operasi Selama
Pembedahan
Blok epidural dari segmen dermatom T4 sampai S5, dimulai sebelum pembedahan,
mencegah peningkatan konsentrasi kortisol dan glukosa pada histerektomi.
Ratno Samodro, Doso Sutiyono, Hari Hendriarto Satoto
Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal
Mekanisme kerja obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi)
dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada
membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan
perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai
sehingga potensial aksi tidak disebarkan.
Hal
1
10
19
27
42
48
PENELITIAN
ABSTRACT
Background: Perioperative bleeding is a serious and common problem in surgery.
Induction anesthetic agent usage is known for the inhibition of platelet aggregation.
Objective: To determine the difference effect of propofol and penthotal administration on
platelet aggregation.
Method: An experimental study on 40 patients who received general anesthesia. Samples
were divided into two groups (n:20, each). The first group received propofol and the
second group received etomidat as the induction anesthetic agent during the procedure,
and five minutes post induction, with the rate of administration propofol 2,5 mg/ body
weight, etomidat 0,3 mg/ body weight and O : NO ratio 50% : 50%. A specimens were
taken to the Clinical Pathology Laboratory for Platelet Aggregation testing. Statistical
analyses were performed using Paired T-Test and Independent T-Test (with level of
significance p<0,05).
Result: The result showed significant difference in percentage of maximal platelet
aggregation before and after the administration of propofol (p=0,001) and not significant
for etomidat group (p=0,089). In the propofol and etomidat group, the mean percentage of
maksimal platelet aggregation was 66,07 18,04. Statistically, propofol caused less
significant hypo aggregation of plateled compared to etomidate, with (p=0,053).
Conclusion: Propofol significantly decreased the percentage of maximal plateled
aggregation, however the difference was not significant between two experiment groups.
Keywords : Propofol, etomidate, ADP, platelet aggregation
ABSTRAK
Latar belakang penelitian: Perdarahan perioperatif merupakan masalah yang sering
dihadapi dalam setiap operasi. Penggunaan obat anestesi induksi dikatakan mempunyai
pengaruh dalam agregasi trombosit
Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan pengaruh pemberian propofol dan etomidat
terhadap agregasi trombosit.
Metode: Merupakan penelitian eksperimental pada 40 pasien yang menjalani anestesi
umum. Penderita dibagi 2 kelompok (n=20), kelompok I menggunakan propofol dan
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
kelompok II menggunakan etomidat, yang diberi sejak awal induksi dengan besar
pemberian propofol 2,5 mg/kg intravena, etomidat 0,3 mg/kg intravena bersama O2 : N2O
= 50% : 50%. Masing-masing kelompok akan diambil spesimen sebelum induksi dan 5
menit setelah induksi. Semua spesimen dibawa ke Laboratorium Patologi Klinik untuk
dilakukan pemeriksaan Tes Agregasi Trombosit. Uji statistik menggunakan Paired T-Test
dan Independent T-Test (dengan derajat kemaknaan <0.05).
Hasil: Karakteristik data penderita maupun data variabel yang akan dibandingkan
terdistribusi normal. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan persen agregasi maksimal
trombosit yang bermakna sebelum dan sesudah pemberian propofol (p=0,001) dan tidak
bermakna untuk sebelum dan sesudah pemberian etomidat (p=0,089). Pada kelompok
propofol didapatkan rerata persen agregasi maksimal trombosit 66,078,28 dan etomidat
56,29+18,04 dan menunjukkan perbedaan yang bermakna antara keduanya (p=0,053).
Kesimpulan: Propofol secara bermakna menurunkan persen agregasi maksimal trombosit,
dibandingkan etomidat.
Kata kunci : Propofol, etomidat, ADP, agregasi platelet
PENDAHULUAN
Penyulit yang mungkin muncul dalam
setiap operasi adalah risiko perdarahan.
Bila penyulit ini tidak diatasi dengan
baik,
dapat
menyulitkan
dan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas,
serta berpengaruh terhadap proses
hemodinamika selama dan sesudah
operasi.1 Faktor yang terlibat dalam
proses hemostasis adalah vasospasme
pembuluh darah, reaksi trombosit
(adhesi, pelepasan, dan agregasi), dan
faktor koagulasi.1,2 Interaksi obat-obatan
dengan trombosit dapat memperberat
risiko komplikasi perdarahan, mengingat
peran trombosit yang penting pada proses
hemostatis
selama
dan
sesudah
3
pembedahan. Clotting Time (CT) dan
Bleeding
Time
(BT)
merupakan
pemeriksaan rutin yang dilakukan untuk
mengetahui jalur koagulasi intrinsik dan
ekstrinsik.4
Beberapa
penelitian
menyatakan bahwa kekurangan dalam
Penelitian
Andre
Gries
(2004)
menunjukkan ekspresi P-selectin in vitro
diinhibisi oleh Etomidat pada konsentrasi
2 (28 %) dan 20ug/ml (38%). Pasien
operasi vaskuler, induksi anestesi pada
kelompok
ETO
memberikan
pemanjangan waktu perdarahan in vitro
dan inhibisi ADP dan agregasi tromobsit
yang diinduksi kolagen.20
Etomidat merupakan gold standar, di RS
dr. Kariadi etomidat pernah dipakai
sebagai agen induksi, sekarang sudah
tidak digunakan lagi. Penelitian tentang
etomidat ini merupakan penelitian
payung di mana diharapkan sebagai obat
gold standard etomidat dapat dipakai
kembali.
Etomidat mengurangi fungsi trombosit
baik ex vivo dan in vivo. Hasil penelitian
Sarkar M, dkk pemberian etomidat untuk
induksi anestesi pada pasien pediatrik dan
neonatus memberikan kesan bahwa
etomidat tidak mengubah profil klinis
hemodinamika secara signifikan.21
Penelitian Aoki dkk di Jepang
menunjukkan propofol 2 mg/kg/jam
menghambat agregasi trombosit. Parolari
A, dkk mendapatkan setelah 5 menit
pemberian propofol 2,5 mg/kg bolus
intravena, terjadi penurunan agregasi
trombosit secara bermakna pada whole
blood.14,22
Agregasi trombosit dinilai melalui
pemeriksaan yang disebut Tes Agregasi
Trombosit (TAT). Pemilihan jenis TAT,
tergantung jenis obat yang digunakan.
Agonis atau induktor yang dapat
3
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental uji klinik fase 4 dengan
rancangan randomized clinical control
trial. Penelitian dilakukan di Instalasi
Bedah Sentral dan Laboratorium Patologi
Klinik RSUP dr. Kariadi Semarang pada
bulan Maret 2010 hingga April 2010.
Sampel merupakan pasien bedah
onkologi di Instalasi Bedah Sentral
RSUP dr. Kariadi yang memenuhi
kriteria inklusi yaitu menjalani operasi
elektif dengan general anestesi, pasien
bedah, status fisik ASA I-II, usia 19 - 39
tahun, BB normal. Sampel yang ada
dikelompokkan
dengan
acak
menggunakan
randomized
clinical
control trial double blind. Kelompok I
menggunakan Etomidat 0,3 mg/kg
intravena sebagai obat anestesi induksi
sedangkan Kelompok 2 menggunakan
Propofol 2,5 mg/kg intravena sebagai
obat anestesi induksi. Sampel dieksklusi
jika
menderita
DM,
hipertensi,
menggunakan NSAID, kadar trombosit
<200.000/uL atau >400.000/mL, riwayat
merokok, riwayat pascastrok, riwayat
penyakit jantung iskemik.
Analisis data menggunakan Alpha = 0,05
perhitungan dengan SPSS 15 for
windows. Etika disetujui oleh komisi Etik
dan Penelitian FK UNDIP/RSUP dr.
Kariadi. Setiap pasien yang dilakukan
penelitian dimintai persetujuan.
Variabel
Umur (tahun)
Body Mass Index (kg/m2
Tekanan Darah Sistol (mmHg)
Tekanan Darah Diastol (mmHg)
Nadi (x/menit)
Status ASA
ASA I
ASA II
HASIL
Uji normalitas one-sample Kolmogorov
Smirnov digambarkan pada tabel 1, di
mana karakteristik umum subjek pada
masing-masing
kelompok
memiliki
distribusi yang normal (p>0,05), sehingga
untuk uji homogenitas diperlukan analisis
statistik dengan Independent T Test.
Hasilnya didapatkan data yang homogen
(perbedaan tidak bermakna, p>0,05) dari
Kel Etomidat
(n=20)
34,5 + 3,7
21,1 + 1,7
127,6 + 9,2
74,6 + 7,7
80,2 + 9,6
Kel. Propofol
(n=20)
33,70 + 3,388
21,2 + 1,9
127,9 + 7,7
73,9 + 6,0
80.8 + 7.9
17
3
16
4
P
0,761
0,953
0,569
0,689
0,824
Induktor
10 uM ADP
Perlakuan
Pre Kelp I
P
0,509
Keterangan
Distribusi normal
10 uM ADP
Pre Kelp II
0,792
Distribusi Normal
10 uM ADP
Post Kelp I
0,942
Distribusi normal
10 uM ADP
Post Kelp II
0,935
Distribusi Normal
Data
kemudian
dianalisis
secara
parametrik menggunakan uji Paired T
Test untuk melihat perbedaan % agregasi
Tabel 3. Nilai rerata dan simpangan baku persen agregasi maksimal trombosit sebelum dan setelah perlakuan
pada kelompok propofol dan etomidat (dengan induktor ADP 10 uM)
No
Keterangan
Sebelum
Sesudah
1
2
Kel. Etomidat
Kel. Propofol
73,45 + 7,33
62,55 + 13,91
66,07 + 8,28
56,29 + 18,04
0,089
0,001*
* = bermakna (p<0,05)
160
140
70
120
65
100
Etomidat
Propofol
80
60
60
55
50
% Agregasi
maksimal
trombosit
40
20
0
Sebelum
Setelah
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Etomidat
Propofol
Hipo
Hipo Normo
ringan
PEMBAHASAN
Hasil dari penelitian ini bahwa dengan
ADP 10M untuk kelompok etomidat
antara sebelum dan sesudah perlakuan
tidak memberi perbedaan bermakna
p=0,089 (p>0,05), hal ini semakin
berbeda
dengan
pendapat
yang
mengatakan bahwa etomidat bisa
dikatakan dapat mempengaruhi secara
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
presentase agregasi maksimal trombosit
sebelum dan setelah pemberian propofol
2,5 mg/kg intravena namun tidak terdapat
perbedaan presentase agregasi maksimal
trombosit
sebelum
dan
sesudah
pemberian etomidat 0,3 mg/kg intravena
serta propofol menurunkan agregasi
maksimal trombosit secara bermakna
dibandingkan etomidat.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
PENELITIAN
Perbedaan Efektifitas Oral Hygiene Antara Povidone Iodine Dengan
Chlorhexidine Terhadap Clinical Pulmonary Infection Score Pada Penderita
Dengan Ventilator Mekanik
Kurniadi Sebayang*, Jati Listiyanto Pujo*, Johan Arifin*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background : Oral hygiene antiseptic can reduce incidence of Ventilator Associated
Pneumonia (VAP) that reduce Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) in patients with
mechanical ventilation. Chlorhexidine can prevent formation of biofilm compare with
povidone iodine.
Objectives : This study was performed to find out wether chlorhexidine 0, 3 % was better
than povidone iodine 1 % on Clinical Pulmonary Infection Score in patients with
mechanical ventilation.
Methods : An experimental study, as consecutive sampling on 32 subjects was decided in
two groups (n = 16). Povidone iodine 1% was administrated in first group and
cholrhexidin 0,2 % in second group. Clinical Pulmonary Infection Score was determined
using Mann-Whitney before and after treatment in each group temperature, blood gas
analysis, tracheal secretion, blood analysis and chest x-ray. Statistical analysis was
performed with Wilcoxon test to compare CPIS and corelative test to analyzed GC plaque
and spearman test to analyzed the correlation between GC plaque score and CPIS.
Result : There were significant diference in the first group on CPIS (p<0,05) and no
difference in the second group (p>0,05). The difference score before and after treatment in
both group were significantly different (p=0,05). GC plaque score in chlorhexidinee group
were significantly different (p=0, 0000). There were no correlation between GC plaque
score and CPIS.
Conclusion : Chlorhexidinee 0,3% is more effective in oropharing decontaminated
antisepcic that decrease CPIS than povidone iodine on patients with mechanical
ventilation. No correlation between GC plaque score with score of CPIS.
Keywords : Povidone iodine 1 %, chlorhexidine 0, 2%, CPIS, mechanical ventilation, GC
plaque
10
ABSTRAK
Latar belakang : Antiseptik oral hygiene merupakan salah satu cara non farmakologi
yang dapat menurunkan insiden Ventilation Associated Pneumonia (VAP) dengan
menurunkan skor Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) pada penderita dengan
ventilator mekanik. Chlorhexidine adalah antiseptik yang lebih mampu mencegah
pembentukan biofilm dibandingkan dengan povidone iodine.
Tujuan : Mengetahui chlorhexidine 0,2% lebih efektif menurunkan angka Clinical
Pulmonary Infection Score (CPIS) dibandingkan dengan povidone iodine 1% pada
penderita dengan ventilator mekanik.
Metode : Merupakan penelitian eksperimental, dua subjek dibagi dua kelompok sama
besar (n =16). Kelompok chlorhexidinee 0,2 % dan kelompok kontrol povidone iodine 1%.
Kedua kelompok sebelum dan setelah perlakuan dilakukan pemeriksaan CPIS, yaitu: suhu,
analisa gas darah, sekret trakea, darah rutin dan foto ronsen dada. Uji wilcoxon adalah uji
korelatif untuk melihat GC plaque sebelum dan setelah perlakuan.Sedangkan uji spearman
melihat korelasi GC plaque dan skor CPIS pada kelompok perlakuan.
Hasil : Hasil skor CPIS berbeda makna pada kelompok I (p<0,05). Analisis komparatif
selisih skor sebelum dan sesudah perlakuan kedua kelompok berbeda bermakna (p<0,05).
Skor GC plaque sebelum [6,00 (5,60-7,00)] dan setelah aplikasi chlorhexidinee 0,2% [7,00
(6,80-7,20)] menunjukkan hasil berbeda bermakna (p= 0,000). Uji spearman skor GC
plaque dan CPIS menunjukkan hasil berbeda tidak bermakna, hasil korelatif negatif.
Kesimpulan : Chlorhexidinee 0,2% merupakan antiseptik orofaring yang lebih efektif
menurunkan skor CPIS dibandingkan dengan povidone iodine 1% pada pasien dengan
ventilator mekanik. Tidak ada korelasi antara kenaikan skor GC plaque dengan penurunan
skor CPIS.
Kata kunci : Povidone iodine 1%, chlorhexidinee 0, 2%, ventilator mekanik, GC plaque
PENDAHULUAN
11
Fourrier
menyatakan
bahwa
chlorhexidine
dapat
menurunkan
pertumbuhan kuman penyebab VAP
sebesar 53%.9 Dengan menurunnya
pertumbuhan kuman di orofaring
diharapkan insiden VAP juga menurun,
hal ini dibuktikan dalam penelitian yang
dilakukan oleh Tantipong dan Chan.9,10
Sedangkan menurut Houston, rerata
penderita dengan pneumonia nosokomial
lebih
rendah
dengan
peridex
chlorhexidine 0,12% daripada kontrol
dengan menggunakan phenolic mixture.
11
METODE
De Riso menyatakan dalam penelitiannya
bahwa chlorhexidine yang digunakan
dalam dekontaminasi orofaring dapat
menurunkan kejadian infeksi nasokomial
saluran napas di ICU sampai 69%.8
12
Penelitian
ini
adalah
penelitian
eksperimental. Kelompok penelitian
dibagi menjadi dua yaitu kelompok I
(chlorhexidine 0,2% sebagai antiseptik
HASIL
Secara berurutan pasien dibagi dalam dua
kelompok yaitu kelompok I yang
menerima chlorhexidine 0,2% dan
kelompok II yang menerima povidone
iodine 1%.
Data karakteristik pasien pada kedua
kelompok dapat dilihat pada tabel 1 :
Frekuensi
Persentase (%)
< 20 Tahun
2030 tahun
3140 tahun
41-50 tahun
51-60 tahun
> 60 tahun
Total
4
3
3
2
10
10
32
12,5
9,4
9,4
6,25
31
31
100
13
Selisih Skor
Median (min-maks)
Nilai p
Kelompok I
150 (0,00-4,00)
0,019
Kelompok II
0,166
Kelompok I
0,001
Kelompok II
4,00 (1,00-7,00)
0,061
Kelompok I
0,00 (-3,00-2,00)
0,026
Kelompok II
0,037
Hasil uji Saphiro-Wilk, kelompok II sebelum dan setelah perlakuan adalah p= 0, 166 dan p = 0, 061
Tabel 3. Uji komparatif selisih skor sebelum dan sesudah perlakuan kedua kelompok
Kelompok I
Kelompok II
Nilai p
[Median (min-maks)]
[median (min-maks)]
1,50 ( 0,00-4,00 )
0,000
0,000
0,051
14
Tabel 4. Uji komparatif skor sebelum dan sesudah perlakuan secara terpisah.
Skor CPIS sebelum perlakuan
[median (min-maks)]
[median (min-maks)]
Kel I
(0,00-4,00)
0,000
Kel II
4,00 (1,00-6,00)
4,00 (1,00-7,00)
0,227
Nilai p
Tabel 5. Uji korelasi skor GC plaque dan CPIS sebelum dan sesudah perlakuan
Jenis Skor
Sebelum Perlakuan
Sesudah Perlakuan
Median
Nilai p
Korelasi
GC plaque
6,00 (5,60-7,00)
0,122
-0,403
CPIS
1,50 (0,00-4,00)
GC plaque
7,00 (6,80-7,20)
0,274
-0,291
CPIS
Hasil uji Spearman adalah p= 0, 122 (-0, 403) dan p= 0, 274 (-0, 291)
15
PEMBAHASAN
VAP
adalah
inefksi
nosokomial
pneumonia yang terjadi pada pasien
dengan bantuan ventilasi mekanik setelah
48 jam. 4,8,11. Etiologi yang paling sering
adalah
staphylococcus
aureus,
pseudomonas
aeroginosa
dan
7,8
enterobacteriacea.
CPIS sendiri berdasarkan komponennya
dapat CPIS modifikasi tidak disertai
pemeriksaan kultur.12 CPIS modifikasi
sangat menguntungkan negara-negara
berkembang yang belum memiliki system
pelayanan kesehatan yang sepenuhnya
terjamin oleh asuransi. Tidak adanya
pemeriksaan kultur pada negara-negara
tersebut tentunya akan mengurangi biaya
kesehatan,
dan
pada
akhirnya
menguntungkan pasien.
Insiden VAP bervariasi antara 9- 27%
dan angka kematiannya bisa melebihi
50%.2,4 Di Indonesia belum ada data
nasional tentang kasus VAP, termasuk di
ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang, tempat
penelitian ini dilakukan. Faktor-faktor
resiko terjadinya VAP yang telah
dibuktikan lewat berbagai peneitian
adalah usia, jenis kelamin, trauma,
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
dan lama pemakaian ventilator. 4,5
Penelitian ini menggunakan CPIS
modifikasi sebagai parameter untuk
membandingkan
antara
antiseptik
chlorhexidine 0,2% dan povidone iodine
1 %. Hasil analisis komparatif MannWhitney antara kelompok I dan II
16
SIMPULAN
Chlorhexidine
0,2%
merupakan
antiseptik dekontaminasi orofaring yang
lebih efektif dibandingkan dengan
povidone iodine 1 %. Tidak ada korelasi
antara skor GC plaque dengan skor CPIS.
Sebaiknya
penggunaan
antiseptik
chlorhexidine 0,2% dilaksanakan untuk
menggantikan povidone iodine 1%
sebagai dekontaminasi orofaring pada
penderita ventilator mekanik.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
17
18
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
PENELITIAN
Pengaruh Pretreatment Vitamin C 200 Miligram Terhadap Kadar Cortisol
Serum Pada Induksi Etomidat
Ratna Anggraeni*, Hariyo Satoto*, Widya Istanto Nurcahyo*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Backgrounds: Etomidate is one of anesthetic agent which has minimal effect on
cardiovascular function. However, etomidate depress cortisol production. Vitamin C is one
of the agent that hamper the effect of etomidate toward cortisol production.
Objectives: To analyze the effect of pre-treatment with vitamin C 200 mg on cortisol serum
concentration in elective surgery under general anesthesia.
Method: This double blind, Randomized Controlled Trial with 30 subjects which divided
into two groups (n=15), control group and treatment group which received etomidate 0,2
mg/kgBW and combination of etomidate and vitamin C 200 mg in pre-operation
respectively. Each group was then examined for cortisol serum concentration preanesthesia, 2 hours post induction, and 8 hours post induction. Wilcoxon Signed Rank Test
and Paired T Test was performed to compare cortisol serum concentration in each group.
While Mann Whitney and Independent Sample T Test was used to compare between control
and treatment group.
Results: Cortisol serum concentration in control group between pre-anesthesia ;244,15
(181,39-382,75)] and 2 hours post induction [185,52 35,88]; and between 2 hours and 8
hours post induction [349,81 121,28] was significantly different with value 0,002 and
0,000 respectively. It showed that decrement of etomidate dosage mo 0,2 mg/kgBW still
able to decrease cortisol serum production significantly. However, in treatment group
cortisol serum concentration pre-anesthesia [258,49 1"5,45-369,09)] and 2 hours post
induction [202,14 45,3]; and between 2 hours and 8 hours post induction [251,39
122,91] was non significant, with p value 0,256 and 0,691 respectively. It proved the
negative effect of vitamin C on cortisol depression effect of etomidate. Cortisol serum
concentration between control and treatment group was significantly different on 2 hours
post induction, but non significant on 8 hours post induction. It showed that the negative
effect of vitamin C in cortisol depression because of etomidate only significant during 8
hours post eduction
Conclusions: The effect of Vitamin C 200 mg iv 30 minutes pre-operation can minimize
Cortisol depression on administration of etomidate 0,2 mg/kgBW
Keywords: Pretreatment, vit c 200 mg, cortisol serum, etomidate
19
ABSTRAK
Latar Belakang: Etomidat adalah salah satu agen anestesi yang berefek minimal terhadap
kardiovaskular. Namun, etomidat mendepresi produksi kortisol. Salah satu agen yang
dapat meminimalisir efek depresi tersebut adalah vitamin C.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pretreatment vitamin C 200
mg pada operasi elektif dengan anestesi umum terhadap kadar kortisol serum.
Metode: penelitian ini merupakan penelitian Randomized Contolled Trial dengan 30
subjek yang dibagi dalam dua kelompok sama besar (n=15), yaitu kelompok kontrol yang
menerima etomidat 0,2 mg/kgBB dan kelompok perlakuan yang menerima etomidat dan
vitamin C 200 mg iv preoperasi. Masing-masing kelompok tersebut selanjutnya diperiksa
kadar kortisolnya pre anestesi, 2 jam pasca induksi, 8 jam pasca induksi. Uji statistik
Wilcoxon Signed Rank Test dan Paired T Test digunakan untuk membandingkan kadar
kortisol di masing-masing kelompok. Uji Mann Whitney dan Independent Sample T Test
digunakan untuk membandingkan antar kelompok kontrol dan perlakuan.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok kontrol, kadar kortisol preanestesi
244,15 dan 2 jam pasca induksi 185,52 + 35,88 berbeda bermakna (p=0,002). Begitu pula
antara kadar 2 jam dengan 8 jam pasca induksi 349,81 + 121,28 (p=0,000). Sedangkan
pada kelompok perlakuan, kadar kortisol antara pre anestesi 258,49 (175,45-369,09) dan
2 jam pasca induksi 202,14 + 45,3 tidak berbeda bermakna (p=0,256), begitu pula 2 jam
pasca induksi dengan 8 jam pasca induksi 251,39 + 122,91 (p=0,691).
Kesimpulan: Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian vitamin C 200 mg
intra vena 30 menit pre operasi dapat menurunkan efek depresi kortisol oleh pemberian
etomidat 0,2 mg/kgBB.
Kata kunci: pretreatment, vit c 200 mg, cortisol serum, etomidat
PENDAHULUAN
Pemberian
obat
induksi
anestesi
berpotensi yang diikuti pemberian obat
penghambat aktivitas neuromuskuler,
bertujuan menghilangkan kesadaran dan
paralisis motorik akan menghasilkan
keadaan yang optimal dari suatu proses
intubasi dan juga dapat menurunkan
serendah mungkin risiko aspirasi paru
pada pasien-pasien yang tidak puasa1.
20
memberikan
gambaran insufisiensi
adrenal yang lebih tinggi15. Kontradiksi
kedua hasil studi ini menunjukkan adanya
dualitas efek vitamin C. Namun, menurut
Schraag S et al dalam artikel studinya
menggunakan vitamin C dosis 500 mg
dengan tambahan xylitol 0,25 mg/kg
memaparkan hal yang berlawanan
dengan kesimpulan studi Pirbudak et al.16
Maka dari itu di penelitian ini digunakan
dosis vitamin C yang lebih rendah yaitu
200 mg.
METODE
Penelitian ini merupakan uji klinik fase 2
dengan bentuk rancangan eksperimental
ulang (pretest and posttest controlled
group design). Penelitian ini dilakukan di
Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr Kariadi
Semarang dan Laboratorium GAKY
Semarang pada lingkup waktu bulan
Maret sampai Mei 2010.
Populasi dalam penelitian ini adalah
semua pasien yang menjalani operasi
dengan anestesi umum dan diinduksi
anestesi antara jam 08.00 sampai 10.00
WIB pada bulan Maret sampai Mei 2010.
Teknik
pengambilan
sampel
menggunakan
randomized
clinical
controlled trial dibagi dalam dua
kelompok.
Kelompok
1
(E)
menggunakan obat anestesi induksi
etomidate 0,2 mg/kgBB intravena tanpa
pretreatment vitamin C 200 mg
intravena. Kelompok 2 (C) menggunakan
obat anestesi induksi etomidate 0,2
mg/kgBB intravena dengan pretreatment
vitamin C 200 mg intravena 30 menit
22
sebelum
induksi.
Sampel
harus
memenuhi kriteria inklusi : status fisik
ASA I-II, usia 14-50 tahun, jenis operasi
dengan anestesi umum, operasi dilakukan
antara jam 08.00 10.00 WIB, berat
badan normal (BMI 18-25 kg/m2),
dengan
kriteria
eksklusi:
alergi/
kontraindikasi terhadap obat yang dipakai
selama penelitian, pasien menggunakan
steroid, pasien dengan kadar kolesterol
>200
mg,
pasien
menggunakan
kontrasepsi hormonal, pasien yang
mengkonsumsi vitamin C.
Total sampel adalah 30 orang dibagi
menjadi 2 kelompok masing-masing 15
orang.
Seleksi
penderita
dilakukan
saat
kunjungan prabedah di RSUP Dr. Kariadi
Semarang pada penderita yang akan
menjalani operasi elektif dengan anestesi
umum. Penderita diberikan penjelasan
dan mengisi formulir informed consent.
Pasien tidak mengetahui perilaku yang
akan diterima. Disediakan kertas undian
berlabel C dan E yang dilipat, masingmasing berjumlah 15, satu hari sebelum
operasi ahli anestesi yang bertugas
mengambil undian tersebut. Perlakuan
yang dilakukan pada pasien sesuai label
yang diambil saat undian.
Semua pasien dipuasakan 6 jam sebelum
operasi, kebutuhan cairan selama puasa
dipenuhi sebelum operasi dengan
menggunakan cairan Ringer Laktat.
Pengambilan sampel sebelum perlakuan
dilakuakan sekitar pukul 08.00 WIB saat
pasien tiba di kamar operasi sebelum
dilakukan induksi anestesi. Sampel
23
Kelompok
Nilai p
Pre anestesi
E
C
244,15 (181,39-382,75)
258,49 (175,45-369,09)
0,10
0,47
E
C
185,52 + 35,88
202,14 + 45,3
0,174
0,121
E
C
349,81 + 121,28
251,39 + 122,91
0,487
0,032
Nilai p
Etomidat
Pre vs 2 jam
2 jam vs 8 jam
0,002*
0,000**
Pre vs 2 jam
2 jam vs 8 jam
0,256*
0,691*
Etomidat vs vit C
0,300***
Etomidat vs vit C
0,036****
24
SIMPULAN
Pemberian Vitamin C 200 mg intra vena
30 menit preoperasi dapat menurunkan
efek depresi kortisol oleh pemberian
etomidate 0,2 mg/kgBB. Penurunan efek
depresi
kortisol
tersebut
tidak
ditimbulkan lewat pengurangan dosis
etomidat sebesar 0,3 mg/kgBB. Efek
depresi kortisol oleh etomidat hanya
bertahan kurang dari 8 jam.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
14.
25
26
PENELITIAN
Pengaruh Nitrous Oxide Pada Induksi Sevofluran 8% Dengan Tehnik Single Breath
Terhadap Kecepatan Induksi Anestesi
Tinon Anindita*, Witjaksono*, Aria Dian Primatika*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Backgrounds: The addition of Nitrous Oxide increase induction time of anesthesia
agent,because of second gas effect and concentration effect.
Objectives: The aims of this study is to compare induction time of 8% sevoflurane with and
without Nitrous oxide using a single-breath vital capacity induction.
Methods: Seventy two healthy unpremedicated patients were randomized to inhale a singlebreath, one of three gas mixture : 8% sevoflurane in Oksigen (group I), 8% sevoflurane in
50% Nitrous oxide (group II) and 8% sevoflurane in 66 2/3% Nitrous oxide (group 111).The
time to absent of the eyelash reflex and induction-related complications, if present, were
noted by independent observer. Blood pressure (systolic, diastolic and mean arterial
pressure/MAP), and heart rate were measured pre and post induction. Data was analyzed
using student T-Test and ANOVA at significancy level of 0,05.
Results: Three groups had similar distribution on sex,age,body weight, and early clinical state.
The time to absent of the eyelash reflex with 8% sevofllurane in 50% Nitrous oxide, 24,96
4,14 second ,and for 8% sevoflurane in 66 2/3% Nitrous oxide , 24,81 3,85 second, were
less than that with 8% sevoflurane in Oksigen, 27,21 4,14 second, but this was no
significant (p = 0,098).Changes in blood pressure (systolic,diastolic, mean arterial
pressure), heart rate and oksigen saturation were no significant different on three
groups.The induction-related complications in the sevoflurane with Nitrous oxide groups
were less than that in the sevoflurane without Nitrous oxide group, but this was no
significant different.
Conclusions: The addition of Nitrous oxide do not increase induction time of anesthesia with a
single-breath of 8% sevoflurane.
Keywords: Sevoflurane,nitrous oxide, induction time.
27
ABSTRAK
Latar Belakang: Penambahan nitrous oxide pada induksi anestesi akan mempercepat
waktu induksi, oleh karena adanya second gas effect dan concentration effect.
Tujuan: Membandingkan kecepatan induksi anestesi sevofluran 8% dengan atau tanpa
nitrous oxide, dengan menggunakan tehnik single breath vital capacity induction.
Metode: Tujuh puluh dua pasien tanpa diberikan premedikasi , dibagi dalam 3 kelompok
secara random dan diminta untuk menghirup salah satu dari tiga campuran gas dengan
tehnik single breath vital capacity : kelompok I diberikan sevofluran 8% + Oksigen,
keiompok II diberikan sevofluran 8% + 50% nitrous oxide dan kelompok III diberikan
sevofluran 8% + 66 2/3% nitrous oxide. Dicatat waktu saat hilangnya reflek bulu mata
dan komplikasi yang terjadi. Tekanan darah (sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata), laju
jantung dan saturasi oksigen diukur sebelum dan sesudah induksi. Data diuji dengan
Student T Test dan ANOVA dengan derajat kemaknaan < 0,05.
Hasil: Karakteristik penderita (umur, usia, berat badan dan lain-lain) pada ketiga
kelompok berbeda tidak bermakna. Waktu saat hilangnya reflek bulu mata untuk kelompok
sevofluran 8% + 50% nitrous oxide (24,96 4,14 detik), dan untuk kelompok sevofluran
8% + 66 2/3% nitrous oxide (24,81 3,85 detik) lebih sepat dibandingkan dengan
kelompok sevofluran 8% + Oksigen (27,21 4,14 detik) , tetapi perbedaan ini tidak
bermakna (p=0,098), Perubahan tekanan darah (sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata),
laju jantung dan saturasi oksigen yang terjadi pada ketiga kelompok berbeda tidak
bermakna. Komplikasi induksi anestesi yang terjadi pada kelompok sevofluran 8% dengan
nitrous oxide lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok sevofluran 8% tanpa nitrous
oxide , tetapi perbedaan ini tidak bermakna .
Kesimpulan: Penambahan Nitrous oxide pada induksi anestesi dengan sevofluran 8%
dengan tehnik single-breath, tidak mempercepat waktu induksi anestesi.
Kata kunci : sevofluran, nitrous oxide, waktu induksi
LATAR BELAKANG
Sejak ditemukan obat anestesi intravena
pada tahun 1935, induksi dengan obat
anestesi inhalasi atau induksi inhalasi
mulai ditinggalkan. Hal ini disebabkan
karena obat anestesi inhalasi bersifat
merangsang/ bau kurang enak dan
mengiritasi saluran pernafasan sehingga
28
induction
menggunakan
sevofluran
konsentrasi tinggi 8% dan setelah napas
dalam sesuai dengan vital capacity,
pasien diminta menahan napas selama
mungkin (lebih 20 detik), hal ini
inenyebabkan konsentrasi sevofluran di
alveoli
menjadi
lebih
tinggi,
dibandingkan bila pasien langsung
mengeluarkan
napasnya
lagi.
Konsentrasi sevofuran di alveoli yang
tinggi, ini menyebabkan konsentrasi obat
dalan darah juga akan makin tinggi,
sehingga efek terhadap organ tubuh
seperti otak dan sistem kardiovaskuler
akan makin besar, tetapi konsentrasi
dalam darah dibutuhkan hanya untuk
menidurkan pasien (sampai reflek bulu
mata negatif)4,5,6,7,8
N2O (Nitrous oxide) adalah obat anestesi
inhalasi yang mempunyai sifat-sifat:
kelarutan dalam darah dan jaringan
rendah dan tidak mengiritasi saluran
pernapasan sehingga ditoleransi baik
untuk induksi dengan masker. Pemberian
N2O
pada
saat
induksi
akan
menyebabkan peningkatan konsentrasi
alevolar dari suatu obat anestesi inhalasi,
oleh karena sifat second gas effect dan
concentration effect dari N2O, sehingga
pemberian N2O pada saat induksi anestesi
dapat mempercepat induksi anestesi.
Seorang penderita menerima 70%-75%
N2O, akan menyerap sampai 1000
ml/menit N2O saat fase awal induksi,
sehingga
menghasilkan
perubahan
signifikan pada laju penyerapan gas lain.
Seorang penderita menerima 10%-25%
N2O, akan menyerap hanya 150 ml/menit
N2O, hal ini tidak menghasilkan
29
perubahan
signifikan
penyerapan gas lain9,10,11.
pada
laju
30
METODE
Penelitian ini merupakan uji klinik tahap
2. Rancangan penelitian yang digunakan
adalah eksperimental sederhana (post test
only control group design) untuk variabel
waktu induksi dan eksperimental ulang
(pretest-posttest control group design)
untuk variabel tekanan darah, laju
jantung dan saturasi oksigen.
Populasi pada penelitian ini adalah
penderita yang menjalani operasi elektif
di Instalasi Bedah Sentral RSUP dr
Kariadi Semarang dengan anestesi
umum, ASA I-II, setelah penderita
terseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan
eksklusi. Pemilihan sampel dilakukan
dengan cara
consecutive random
sampling dimana setiap penderita yang
memenuhi kriteria dimasukkan dalam
sampel penelitian sampai jumlah yang
diperlukan terpenuhi.
Data dikumpulkan dan dicatat dalam
lembar khusus penelitian yang telah
disediakan serta diolah dengan komputer
menggunakan program SPSS dan
dinyatakan dalam rerata simpang baku
(mean SO) disertai kisaran (range). Uji
statistik dengan ANOVA, T Test dan Chi
Square, Two-Fail Significance, dan
derajat kemaknaan< 0,05. Penyajian
dalam bentuk tabel dan grafik.
Kriteria inklusi terdiri dari : Pasien RSUP
Dr. Kariadi yang akan menjalani operasi
elektif dengan anestesi umum, laki-laki
dan wanita, umur 16-40 tahun, BMI
(Body Mass Index) 20-25 kg/m2, dan
tanpa pemberian obat-obat premedikasi.
31
Variabel
Kelompok I
(n = 24 )
Kelompok II
(n - 24)
kelompok III
(n = 24)
Umur (tahun)
26,79 6,79
27,58 7,29
26,04 6,86
0,747
Jenis kelamin
0,346*
laki-laki
11
10
11
perempuan
13
14
13
BB(kg)
55,79 7,19
58,71 5,52
57,25 5,67
0,269
TB (cm)
160,7117,36
163,215,09
161,63 5,62
0,362
BM1 (kg/m2)
21,55 1,26
21,751,32
22,08 1,45
0,400
TDSP (mmHg)
122,29 5,71
122,085,50
12 1,88 7,04
0,973
TDDP (mmHg)
76,88 4,62
75,634,73
76,67 4,58
0,610
LJP (x/memt)
85,79 + 6,04
84,637,11
85,00 6,23
0,817
LNP (x/menit)
14, 13 1,45
14,641,33
14,00 1,29
0.949
FGF (L/memt)
7,83 0,76
8, 17 0,82
8,000,82
0,378
ASA
0.949*
18
19
18
II
Keterangan : BB = berat badan, TB = tinggi badan , BMI = body mass index, TDSP=tekanan darah sistolik
premedikasi, TDDP = tekanan darah diastolik premedikasi, LJP=laju jantung premedikasi dan LNP = laju
napas premedikasi, FGF =fress gas flow.Uji statistik dengan ANOVA dan Chi square* .
Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
P*
WI
27,214,71
24,964,14
24,813,85
0,098
32
WAKTU INDUKSI
30
25
20
15
10
5
waktu induksi
Kel. I
Kel.II
Kel.III
Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 1 menunjukkan waktu induksi kelompok III lebih cepat dibanding kelompok II dan kelompok I , serta
kelompok II lebih cepat dibanding kelompok I, tetapi secara statistik berbeda tidak bermakna.
Series 2
120
118
Kel. I
Kel.II
Kel.III
Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 2. Tekanan Darah Sistolik Sebelum dan Sesudah Induksi pada Kelompok I, II dan III.
33
Tabel 3. Tekanan Darah Sistolik,Tekanan Darah Diastolik, Tekanan arteri Rerata dan Laju jantung Sebelum
dan Sesudah Induksi pada Kelompok I, II dan III..
Variabel
kelompok. I
kelompok. II
kelompok III
p*
-Sebelum induksi
124,92 6,95
124,71 7,39
124,83 7,09
0,995
-Setelah induksi
123,42 4,49
123, 13 4,70
122,38 5,27
0,636
0,382
0,089
0,115
-Sebelum induksi
78,29 5,42
78,04 6,05
78,33 + 5,91
0,982
-Setelah induksi
77,174,10
76,67 3,51
76,96 4,58
0,914
0,444
0,258
0,207
-Sebelum induksi
92,42 5,69
92,25 6,32
92,50 + 6,17
0,989
-Setelah induksi
91,29 4,19
90,46 3,49
90,75 4,59
0,777
0,460
0,156
0,134
-Sebelum induksi
86,04 6,96
86,38 5,24
86,29 + 4,80
0,978
-Setelah induksi
84,67 9,41
83,46 6,98
83,29 8,46
0,824
0,615
0,179
0,208
TDS :
P'
TDD:
P'
TAR:
P'
LJ
P'
Keterangan : TDS = tekanan darah sistolik, TDD = tekanan darah diastolik, TAR = tekanan arteri rerata, : LJ
= Laju jantung, p* = uji statistik denganANOVA, p' = uji statistik dengan / test
Grafik 2 menunjukkan penurunan takanan darah sistolik antara sebelum dan sesudah
induksi pada masing-masing kelompok dan antara ketiga kelompok, tetapi secara statistik
berbeda tidak bermakna
34
78
76
Sebelum Induksi
Setelah Induksi
74
72
Kel.I
Kel.II
Kel.III
Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 3. Tekanan Darah Diaslotik Sebelum dan sesudah induksi pada Kelompok I,II, dan III.
Sebelum Induksi
Setelah Induksi
88
86
Kel.I
Kel.II
Kel.III
Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 4. Tekanan Arteri Rerata Sebelum dan Sesudah Induksi Pada Kel. I, II, dan III.
35
Grafik 4
menunjukkan
penurunan
takanan arteri rerata antara sebelum dan
sesudah induksi pada masing-masing
LAJU JANTUNG
90
88
86
Sebelum Induksi
84
Setelah Induksi
82
80
Kel.I
Kel.II
Kel.III
Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 5. Laju jantung Sebelum dan Sesudah Induksi pada Kelompok I. II dan III.
saturasi oksigen
antara
dan
sesudah
induksi,
Tabel 4. Saturasi Oksigen Sebelum dan Sesudah Induksi pada Kelompok I, II dan III.
Variabel
kelompok. I
kelompok. II
kelompok III
P*
-Sebelum induksi
99,29 0,62
99,25 0,79
99,29 0,69
0,973
-Setelah induksi
99,42 0,58
99,33 0,64
99,17 0,56
0,340
0,450
0,604
0,417
Sa02
P'
Keterangan : SaO2 = saturasi oksigen, p* = uji statistik dengan v4M9K4, p' = uji statistik dengan t test
36
SATURASI OKSIGEN
100
99
98
Sebelum Induksi
Setelah Induksi
97
96
Kel.I
Kel.II
Kel.III
Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 6. Saturasi Oksigen Sebelum dan Sesudah Induksi pada Kelompok I, II dan III.
SIMPULAN
Pemberian N2O pada induksi anestesi
dengan sevofluran 8% dengan tehnik
single breath , tidak mempercepat waktu
induksi anestesi. Induksi anestesi dengan
sevofluran 8% dengan atau tanpa N2O ,
dengan
tehnik
single
breath
menunjukkan gejolak kardiovaskuler
yang minimal (tekanan darah, tekanan
arteri rerata dan laju jantung). Induksi
anestesi dengan sevofluran 8% dengan
atau tanpa N2O ,dengan tehnik single
breath berjalan lancar tanpa komplikasi
yang berarti.
Perlu dilakukan penelitian dengan jumlah
sampel yang lebih besar dan bervariasi
sehingga akan dapat diketahui dengan
tepat pengaruh Nitrous oxide terhadap
kecepatan induksi anestesi dengan
sevofluran. Perlu dilakukan penelitian
tentang pengaruh pemberian Nitrous
oxide pada induksi anestesi, dengan
menggunakan obat anestesi inhalasi yang
mempunyai koefisien partisi darah/ gas
sama atau lebih rendah dari Nitrous
oxide, sehingga dapat diketahui apakah
second gas effect dan concentration effect
dari Nitrous oxide masih dapat berefek
maksimal atau tidak.
40
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
7.
41
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRACT
Major surgery associated with dysfunction of the innate immune system. More recently,
demonstrated that the stress of surgery can rapidly induce a temporary reduction of the
blood response to endotoxin from 2 hours after incision and that plasma IL-10 increased
during surgery, contributes to reducing the response.
It has been reported that epidural anesthesia has beneficial effects on immune reactions
and response to the stress of surgery. Some researchers have reported that epidural
anesthesia maintains NK cell activity and reduced stress response in patients undergoing
hysterectomy. Epidural block from T4 to S5 dermatomal segments, starting before surgery,
to prevent an increase in cortisol and glucose concentrations in the hysterectomy.
Regional anesthesia techniques for major surgery may reduce the release of cortisol,
adrenaline (epinephrine) and other hormones, but has little effect on the cytokine response.
Recent studies (Kawasaki et al., 2007) suggests that the innate immune system, such as
phagocytosis, suppressed by the stress of surgery and that epidural anesthesia did not
prevent this decline in immune responsiveness during upper abdominal surgery
ABSTRAK
Operasi besar berhubungan dengan disfungsi sistem kekebalan tubuh bawaan. Baru-baru
ini, dibuktikan bahwa stres akibat pembedahan dapat dengan cepat menginduksi
penurunan respon sementara dari darah terhadap endotoksin sejak 2 jam setelah insisi
dan bahwa IL-10 plasmayang meningkat selama pembedahan, berperan dalam penurunan
respon ini.
Telah dilaporkan bahwa anestesi epidural memiliki efek menguntungkan pada reaksi
imunitas dan respon terhadap stres akibat pembedahan. Beberapa peneliti telah
melaporkan bahwa anestesi epidural mempertahankan aktivitas sel NK dan mengurangi
respon stres pada pasien yang menjalani histerektomi. Blok epidural dari segmen
dermatom T4 sampai S5, dimulai sebelum pembedahan, mencegah peningkatan
konsentrasi kortisol dan glukosa pada histerektomi. Teknik anestesi regional untuk operasi
besar dapat mengurangi pelepasan kortisol, adrenalin (epinefrin) dan hormon lain, namun
memiliki pengaruh kecil pada respon sitokin.
42
PENDAHULUAN
Banyak peneliti telah melaporkan bahwa
stres
akibat
pembedahan
dapat
menginduksi imunosupresi. Operasi besar
berhubungan dengan disfungsi sistem
kekebalan tubuh bawaan. Baru-baru ini,
dibuktikan
bahwa stres akibat
pembedahan
dapat
dengan
cepat
menginduksi penurunan respon sementara
dari darah terhadap endotoksin sejak 2
jam setelah insisi dan bahwa IL-10 plasma
yang meningkat selama pembedahan,
berperan dalam penurunan respon ini.
Penurunan ini meningkatkan risiko
terjadinya komplikasi paska operasi,
seperti SIRS (systemic inflammatory
response
syndrome),
sepsis,
dan
kegagalan multi organ.
Telah dilaporkan bahwa anestesi epidural
memiliki efek menguntungkan pada reaksi
imunitas dan respon terhadap stres akibat
pembedahan. Beberapa peneliti telah
melaporkan bahwa anestesi epidural
mempertahankan aktivitas sel NK dan
mengurangi respon stres pada pasien yang
menjalani histerektomi. Blok saraf
simpatis yang disebabkan oleh anestesi
epidural dapat mengurangi respon stres
akibat pembedahan dari katekolamin dan
kortisol plasma serta meningkatkan
beberapa
respon
imun,
seperti
sitotoksisitas sel Natural Killer (NK) pada
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
TERLIBAT
DALAM
Sitokin
Aksi
TNF-
IL-1
IL-6
Pertumbuhan
dan
diferensiasi
limfosit;aktivasi respon protein faseakut
IL-8
IL-10
44
RINGKASAN
Operasi besar berhubungan dengan
disfungsi sistem kekebalan tubuh bawaan.
Baru-baru ini, dibuktikan bahwa stres
akibat pembedahan dapat dengan cepat
menginduksi penurunan respon sementara
dari darah terhadap endotoksin sejak 2
jam setelah insisi dan bahwa IL-10
plasmayang
meningkat
selama
pembedahan, berperan dalam penurunan
respon ini.
Telah dilaporkan bahwa anestesi epidural
memiliki efek menguntungkan pada reaksi
imunitas dan respon terhadap stres akibat
45
pembedahan.Beberapa
peneliti
telah
melaporkan bahwa anestesi epidural
mempertahankan aktivitas sel NK dan
mengurangi respon stres pada pasien yang
menjalani histerektomi. Blok epidural dari
segmen dermatom T4 sampai S5, dimulai
sebelum
pembedahan,
mencegah
peningkatan konsentrasi kortisol dan
glukosa pada histerektomi. Teknik
anestesi regional untuk operasi besar
dapat mengurangi pelepasan kortisol,
adrenalin (epinefrin) dan hormon lain,
namun memiliki pengaruh kecil pada
respon sitokin.
Penelitian terbaru (kawasaki et al.,2007)
menunjukkan bahwa sistem kekebalan
tubuh bawaan, misalnya fagositosis,
ditekan oleh stres akibat pembedahan dan
bahwa anestesi epidural tidak mampu
mencegah penurunan respon kekebalan
tubuh ini selama operasi perut bagian atas.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
46
5.
6.
7.
47
TINJAUAN PUSTAKA
Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal
Ratno Samodro*, Doso Sutiyono*, Hari Hendriarto Satoto*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Regional anesthesia is growing and expanding its use, given the variety of benefits offered,
such as relatively cheap, minimal systemic effects, produce adequate analgesia and the
ability to prevent the stress response is more perfect.
Local anesthetic drug is chemically divided into two major categories, namely the class of
Amide and ester groups. These chemical differences are reflected in differences in the
metabolism of the place, where the ester group is mainly metabolized by the enzyme
pseudo-cholinesterase in the plasma while the Amide groups mainly through enzymatic
degradation in the liver. This difference is also related to the magnitude of the possibility
of allergies, in which the ester group derived from p-amino-benzoic acid has a greater
frequency of allergic tendencies. Local anesthetic commonly used in our country for the
class of esters are procaine, whereas the Amide groups are lidocaine and bupivacaine.
Mechanism of action of local anesthetic drugs to prevent transmission of nerve impulses
(conduction blockade) by inhibiting the delivery of sodium ions through selective sodium
ion gates in neuronal membranes. Failure of the sodium ion permeability of the gate to
increase the speed of depolarization of the slowdown as a potential threshold was not
reached so that action potentials are not propagated. Local anesthetic did not alter the
resting potential or transmembrane potential threshold.
Pharmacokinetics of the drug include absorption, distribution, metabolism and excretion.
Complications of local anesthetic is a local side effects can occur at the injection site
hematoma and abscess while systemic side effects such as neurological in the central
nervous, respiratory, cardiovascular, immunological, musculoskeletal, and hematologic
Some local anesthetic drug interactions include coadministration may increase the potency
of each drug. decreased metabolism of local anesthetics as well as increase the potential
for intoxication.
ABSTRAK
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai
keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang
minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress
secara lebih sempurna.
48
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan ester
dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat
metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudokolinesterase di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis
di hati. Perbedaan ini juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi,
dimana golongan ester turunan dari
p-amino-benzoic acid memiliki frekwensi
kecenderungan alergi lebih besar. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita
untuk golongan ester adalah prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan
bupivakain.
Mekanisme kerja obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi)
dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada
membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan
perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai
sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah potensial
istirahat transmembran atau ambang batas potensial.
Farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Komplikasi
obat anestesi lokal yaitu efek samping lokal pada tempat suntikan dapat timbul hematom
dan abses sedangkan efek samping sistemik antara lain neurologis pada Susunan Saraf
Pusat, respirasi, kardiovaskuler, imunologi ,muskuloskeletal dan hematologi
Beberapa interaksi obat anestesi lokal antara lain pemberian bersamaan dapat
meningkatkan potensi masing-masing obat. penurunan metabolisme dari anestesi lokal
serta meningkatkan potensi intoksikasi.
PENDAHULUAN
Anestesi regional semakin berkembang
dan meluas pemakaiannya, mengingat
berbagai keuntungan yang ditawarkan,
diantaranya relatif lebih murah, pengaruh
sistemik yang minimal, menghasilkan
analgesi yang adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress secara lebih
sempurna. Namun demikian bukan berarti
bahwa tindakan anestesi lokal tidak ada
bahayanya. Hasil yang baik akan dicapai
apabila selain persiapan yang optimal
seperti halnya anestesi umum juga disertai
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
SEJARAH
Carl Koller (1884), seorang ahli mata
telah memperkenalkan untuk yang
pertama kali penggunaan kokain secara
topikal pada operasi mata. Gaedicke
(1885) mendapatkan kokain dalam bentuk
ester asam benzoat yang diisolasi dari
tumbuhan koka (erythroxylon coca) yang
49
50
Golongan
Mula Kerja
Lama Kerja
Metabolisme
Dosis
maksimal
(mg/kgBB)
Potensi
Toksisitas
Prokain
Lidokain
Ester
2 menit
30 45
menit
Plasma
12
Amide
5 menit
45 90
menit
Hepar
6
Bupivakai
n
Amide
15 menit
24
jam
Hepar
2
1
1
3
2
15
10
51
52
Mekanisme Kerja
Obat anestesi local mencegah transmisi
impuls saraf (blokade konduksi) dengan
menghambat pengiriman ion natrium
melalui gerbang ion natrium selektif pada
membrane saraf (Butterworth dan
Strichartz, 1990). Gerbang natrium sendiri
adalah reseptor spesifik molekul obat
anestesi local. Penyumbaatn gerbang ion
yang terbuka dengan molekul obat
anestesi local berkontribusi sedikit sampai
hampir keseluruhan dalam inhibisi
permeabilitas
natrium.
Kegagalan
permeabilitas gerbang ion natrium untuk
meningkatkan perlambatan kecepatan
depolarisasi seperti ambang batas
potensial tidak tercapai sehingga potensial
aksi tidak disebarkan. Obat anestesi local
tidak mengubah potensial istirahat
transmembran
atau
ambang batas
potensial.
Lokal anestesi juga memblok kanal
kalsium dan potasium dan reseptor Nmethyl-D-aspartat
(NMDA)
dengan
derajat yang berbeda-beda. Beberapa
golongan obat lain, seperti antidepresan
trisiklik
(amytriptiline),
meperidine,
anestesi inhalasi, dan ketamin juga
memiliki efek memblok kanal sodium.
Tidak semua serat saraf dipengaruhi sama
oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas
terhadap blokade ditentukan dari diameter
aksonal, derajat mielinisasi, dan berbagai
faktor anatomi dan fisiologi lain. Diameter
yang kecil dan banyaknya mielin
meningkatkan
sensitivitas
terhadap
anestesi
lokal.
Dengan
demikian,
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
54
C. Kardiovaskular
Umumnya,
semua
anestesi
lokal
mendepresi
automatisasi
miokard
(depolarisasi spontan fase IV) dan
menurunkan durasi dari periode refraktori.
Kontraktilitas miokard dan kecepatan
konduksi
juga
terdepresi
dalam
konsentrasi yang lebih tinggi. Pengaruh
ini menyebabkan perubahan membran otot
jantung dan inhibisi sistem saraf autonom.
Semua anestesi lokal, kecuali cocaine,
merelaksasikan otot polos, yang sebabkan
vasodilatasi arteriolar. Kombinasi yang
terjadi, yaitu bradikardi, blokade jantung,
dan hipotensi dapat mengkulminasi
terjadinya henti jantung. Intoksikasi pada
jantung mayor biasanya membutuhkan
konsentrasi tiga kali lipat dari konsentrasi
yang dapat sebabkan kejang. Injeksi
intravaskular bupivicaine yang tidak
disengaja selama anestesi regional
mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang
berat,
termasuk
hipotensi,
blok
atrioventrikular, irama idioventrikular,
dan aritmia yang dapat mengancam nyawa
seperti takikardi ventrikular dan fibrilasi.
Kehamilan, hipoksemia, dan adisosis
respiratorik
merupakan
faktor
predisposisi.
56
pada
pseudokolinesterase
untuk
metabolismenya. Pemberian bersamaan
dapat meningkatkan potensi masingmasing obat.
Dibucaine,
anestesi
lokal
amida,
menghambat pseudokolinesterase dan
digunakan untuk mendeteksi kelainan
genetik enzim.
Inhibitor pseudokolinaesterase dapat
menyebaban penurunan metabolisme dari
anestesi lokal ester.
Cimetidine dan propanolol menurunkan
aliran darah hepatik dan bersihan lidokain.
Level lidokain yang lebih tinggi dalam
darah meningkatkan potensi intoksikasi.
Opioid (misal, fentanil, morfin) dan
agonis adrenergik 2 (contoh: epinefrin,
klonidin)
meningkatkan
potensi
penghilang rasa nyeri anestesi lokal.
Kloroprokain
epidural
dapat
mempengaruhi kerja analgesik dari morfin
intraspinal.2-5
RINGKASAN
Anestesi regional semakin berkembang
dan meluas pemakaiannya, mengingat
berbagai keuntungan yang ditawarkan,
diantaranya relatif lebih murah, pengaruh
sistemik yang minimal, menghasilkan
analgesi yang adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress secara lebih
sempurna.
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi
dalam dua golongan besar, yaitu golongan
ester dan golongan amide. Perbedaan
kimia ini direfleksikan dalam perbedaan
tempat metabolisme, dimana golongan
ester terutama dimetabolisme oleh enzim
58
lokal
serta
intoksikasi.
meningkatkan
potensi
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
Marwoto,
Primatika
DA.
Anestesi
lokal/Regional. Dalam : Soenarjo, Jatmiko
DH. editor. Anestesiologi. Semarang : Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
kedokteran UNDIP, 2010: 309-22.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local
Anesthetics. In: Clinical Anesthesiology. 4th
edition. New York: Mc Graw Hill Lange
Medical Books, 2006 : 151-52, 263-75.
Brown DL, Factor DA. Regional Anesthesia
and Analgesia. Philadelphia :WB Saunders,
1996 : 188 205.
Miller RD. Anesthesia. 5th edition .
Philadelphia : Churchill & Livingstone, 2000 :
491 515.
Stoelting R Hillier SC. Pharmacology and
Physiology in Anesthetics Practice. 4th ed.
Philladelphia : JB Lippincott Raven, 2006:
179 - 83.
6.
11. Mehrkens
59
60