Anda di halaman 1dari 64

JAI

Volume III Nomor 01, Maret 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia


Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia
melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif

Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan
Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif
(PERDATIN) Jawa Tengah

JAI

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Pelindung:
Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
Ketua Program Studi Anestesiologi
dan Terapi Intensif FK UNDIP
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis
Anestesi dan Terapi Intensif
(PERDATIN) Jawa Tengah
Ketua Redaksi:
dr. Uripno Budiono, SpAn
Wakil Ketua Redaksi:
dr. Johan Arifin, SpAn, KAP
Anggota Redaksi:
dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA
dr. Hariyo Satoto, SpAn
dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR
dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO
dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP
dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC
dr. Doso Sutiyono, SpAn
dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR
dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn
dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med
dr. Aria Dian Primatika, SpAn, Msi.Med
dr. Danu Soesilowati, SpAn
dr. Hari Hendriarto, SpAn, Msi.Med

Sejawat terhormat,
Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini
memuat artikel penelitian klinik dan preklinik.
Diantaranya mengenai pengaruh propofol dan
etomidat terhadap agregasi trombosit, oral
hygiene menggunakan povidone iodine dan
chlorhexidine, pengaruh pretreatment vitamin C
terhadap kadar kortisol dan manfaat N2O untuk
mempercepat induksi dengan sevofluran.
Dua tinjauan pustaka, mengenai mekanisme obat
anestesi lokal dan
efek supresi imun pada
anestesi
epidural
diharapkan
menambah
pengetahuan kita dalam bidang anestesi.
Semoga bermanfaat.

Salam,

dr. Uripno Budiono, SpAn

Mitra Bestari:
Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV
Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO
Dr.dr. M.Sofyan Harahap, SpAn, KNA
Seksi Usaha:
dr. Mochamat
Administrasi:
Maryani, Nik Sumarni
Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per
tahun, setiap bulan Maret, Juli dan
November sejak tahun 2009. Harga
Rp.200.000,- per tahun.
Untuk berlangganan dan sirkulasi:
Ibu Nik Sumarni (081326271093)
Ibu Kamtini (081325776326)
Alamat Redaksi:
Program Studi Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi,
Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang.
Telp. 024-8444346.

Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk


kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Apabila akan menggunakannya sebagai acuan,
hendaknya mencantumkan artikel tersebut
sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.

DAFTAR ISI
PENELITIAN
Sri Tabahhati, Uripno Budiono, Mohamad Sofyan Harahap
Perbedaan Pengaruh Pemberian Propofol Dan Etomidat Terhadap Agregasi Trombosit
Propofol secara bermakna menurunkan persen agregasi maksimal trombosit
dibandingkan etomidat.
Kurniadi Sebayang, Jati Listiyanto Pujo, Johan Arifin
Perbedaan Efektifitas Oral Hygiene Antara Povidone Iodine Dengan Chlorhexidine
Terhadap Clinical Pulmonary Infection Score Pada Penderita Dengan Ventilator Mekanik
Chlorhexidine 0,2% merupakan antiseptik orofaring yang lebih efektif menurunkan skor
CPIS dibandingkan dengan povidone iodine 1% pada pasien dengan ventilator mekanik.
Tidak ada korelasi antara kenaikan skor GC plaque dengan penurunan skor CPIS.
Ratna Anggraeni, Hariyo Satoto, Widya Istanto Nurcahyo
Pengaruh Pretreatment Vitamin C 200 Miligram Terhadap Kadar Kolesterol Serum Pada
Induksi Etomidat
Pemberian vitamin C 200 mg intra vena 30 menit pre operasi dapat menurunkan efek
depresi kortisol oleh pemberian etomidat 0,2 mg/kgBB.
Tinon Anindita, Witjaksono, Aria Dian Primatika
Pengaruh Nitrous Oxide Pada Induksi Sevofluran 8% Dengan Tehnik Single Breath Terhadap
Kecepatan Induksi Anestesi
Penambahan Nitrous oxide pada induksi anestesi dengan sevofluran 8% dengan teknik
single-breath, tidak mempercepat waktu induksi anestesi.

TINJAUAN PUSTAKA
Ifar Irianto Yudhowibowo, Doso Sutiyono, Yulia Wahyu Villyastuti
Pengaruh Anestesi Epidural Terhadap Supresi Imun Yang Diinduksi Stres Operasi Selama
Pembedahan
Blok epidural dari segmen dermatom T4 sampai S5, dimulai sebelum pembedahan,
mencegah peningkatan konsentrasi kortisol dan glukosa pada histerektomi.
Ratno Samodro, Doso Sutiyono, Hari Hendriarto Satoto
Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal
Mekanisme kerja obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi)
dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada
membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan
perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai
sehingga potensial aksi tidak disebarkan.

Hal
1

10

19

27

42

48

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Perbedaan Pengaruh Pemberian Propofol Dan Etomidat Terhadap Agregasi


Trombosit
Sri Tabahhati*, Uripno-Budiono*, Mohammad Sofyan Harahap*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background: Perioperative bleeding is a serious and common problem in surgery.
Induction anesthetic agent usage is known for the inhibition of platelet aggregation.
Objective: To determine the difference effect of propofol and penthotal administration on
platelet aggregation.
Method: An experimental study on 40 patients who received general anesthesia. Samples
were divided into two groups (n:20, each). The first group received propofol and the
second group received etomidat as the induction anesthetic agent during the procedure,
and five minutes post induction, with the rate of administration propofol 2,5 mg/ body
weight, etomidat 0,3 mg/ body weight and O : NO ratio 50% : 50%. A specimens were
taken to the Clinical Pathology Laboratory for Platelet Aggregation testing. Statistical
analyses were performed using Paired T-Test and Independent T-Test (with level of
significance p<0,05).
Result: The result showed significant difference in percentage of maximal platelet
aggregation before and after the administration of propofol (p=0,001) and not significant
for etomidat group (p=0,089). In the propofol and etomidat group, the mean percentage of
maksimal platelet aggregation was 66,07 18,04. Statistically, propofol caused less
significant hypo aggregation of plateled compared to etomidate, with (p=0,053).
Conclusion: Propofol significantly decreased the percentage of maximal plateled
aggregation, however the difference was not significant between two experiment groups.
Keywords : Propofol, etomidate, ADP, platelet aggregation

ABSTRAK
Latar belakang penelitian: Perdarahan perioperatif merupakan masalah yang sering
dihadapi dalam setiap operasi. Penggunaan obat anestesi induksi dikatakan mempunyai
pengaruh dalam agregasi trombosit
Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan pengaruh pemberian propofol dan etomidat
terhadap agregasi trombosit.
Metode: Merupakan penelitian eksperimental pada 40 pasien yang menjalani anestesi
umum. Penderita dibagi 2 kelompok (n=20), kelompok I menggunakan propofol dan
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

kelompok II menggunakan etomidat, yang diberi sejak awal induksi dengan besar
pemberian propofol 2,5 mg/kg intravena, etomidat 0,3 mg/kg intravena bersama O2 : N2O
= 50% : 50%. Masing-masing kelompok akan diambil spesimen sebelum induksi dan 5
menit setelah induksi. Semua spesimen dibawa ke Laboratorium Patologi Klinik untuk
dilakukan pemeriksaan Tes Agregasi Trombosit. Uji statistik menggunakan Paired T-Test
dan Independent T-Test (dengan derajat kemaknaan <0.05).
Hasil: Karakteristik data penderita maupun data variabel yang akan dibandingkan
terdistribusi normal. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan persen agregasi maksimal
trombosit yang bermakna sebelum dan sesudah pemberian propofol (p=0,001) dan tidak
bermakna untuk sebelum dan sesudah pemberian etomidat (p=0,089). Pada kelompok
propofol didapatkan rerata persen agregasi maksimal trombosit 66,078,28 dan etomidat
56,29+18,04 dan menunjukkan perbedaan yang bermakna antara keduanya (p=0,053).
Kesimpulan: Propofol secara bermakna menurunkan persen agregasi maksimal trombosit,
dibandingkan etomidat.
Kata kunci : Propofol, etomidat, ADP, agregasi platelet

PENDAHULUAN
Penyulit yang mungkin muncul dalam
setiap operasi adalah risiko perdarahan.
Bila penyulit ini tidak diatasi dengan
baik,
dapat
menyulitkan
dan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas,
serta berpengaruh terhadap proses
hemodinamika selama dan sesudah
operasi.1 Faktor yang terlibat dalam
proses hemostasis adalah vasospasme
pembuluh darah, reaksi trombosit
(adhesi, pelepasan, dan agregasi), dan
faktor koagulasi.1,2 Interaksi obat-obatan
dengan trombosit dapat memperberat
risiko komplikasi perdarahan, mengingat
peran trombosit yang penting pada proses
hemostatis
selama
dan
sesudah
3
pembedahan. Clotting Time (CT) dan
Bleeding
Time
(BT)
merupakan
pemeriksaan rutin yang dilakukan untuk
mengetahui jalur koagulasi intrinsik dan
ekstrinsik.4
Beberapa
penelitian
menyatakan bahwa kekurangan dalam

kedua pemeriksaan tersebut dalam


menilai dua parameter tersebut dalam
perannya sebagai uji fungsi koagulasi.5
Uji perdarahan telah dilakukan beberapa
dekade dengan metode Duke. Beberapa
modifikasi dilakukan oleh Ivy et al dan
Mielke et al. Uji pemeriksaan tersebut
banyak digunakan pertengahan tahun
1980-an, di mana muncul pertanyaan
mengenai validitas pemeriksaan. De
Caterina melakukan analisis regresi linier
untuk
mengetahui
sensitifitas,
spesifisitas, nilai prediktif positif dan
negatif dari BT. Nilai hasil pemeriksaan
BT dipengaruhi oleh jumlah trombosit,
dinding pembuluh darah, hematokrit,
kualitas kulit, dan juga teknik yang
digunakan.6
Penelitian
lain
juga
menunjukkan tidak ada korelasi statistika
antara BT preoperatif dan jumlah
kehilangan darah atau kebutuhan produk
darah.7

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Anestesi dibutuhkan pada hampir semua


tindakan pembedahan, dan sebagian besar
dengan anestesi umum. Anestesi umum
berpengaruh secara intraseluler dan perlu
mendapat perhatian dalam hal interaksi
obat
anestesi
dengan
trombosit.8
Sebagian besar operasi yang dilakukan di
Instalasi Bedah Sentral RSUP dr. Kariadi
Semarang dilakukan dengan anestesi
umum. Propofol diketahui merupakan
agen anestesi yang berkontribusi terhadap
disfungsi trombosit melalui inhibisi
mobilisasi kalsium terhadap stimulasi
agonis.9 Propofol (2,6 diisopropylphenol)
merupakan obat anestesi yang sering
digunakan pada anestesi umum selain
ketamin.10,11 Propofol memiliki kemiripin
struktur serupa dengan alfatokoferol dan
asam asetilsalisilat. Efek antioksidannya
disebabkan kesamaan struktur dengan
alfatokoferol.12,13 Pada penelitian yang
dilatarbelakangi oleh keserupaan struktur
propofol
dengan
asam
salisilat,
memperlihatkan bahwa zat anestesi ini
akan menghambat agregasi trombosit
pada whole blood secara in vitro dalam
kisaran konsentrasi serupa pada plasma
manusia setelah pemberian intravena.14
Efek hipoagregasi trombosit ini telah
terlihat pada pemberian propofol
intravena terhadap pasien bedah.15,16
Propofol memperlihatkan efek anti
agregasi ditemukan serupa pada PRC dan
whole blood.11,17 Efek ini terkait dengan
dua
mekanisme
dasar
yaitu
penghambatan sintesis trombosit A2 dan
peningkatan sintesis NO oleh leukosit.
Kedua efek dapat bergantian, terkait efek
antioksidan propofol.10,18,19
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Penelitian
Andre
Gries
(2004)
menunjukkan ekspresi P-selectin in vitro
diinhibisi oleh Etomidat pada konsentrasi
2 (28 %) dan 20ug/ml (38%). Pasien
operasi vaskuler, induksi anestesi pada
kelompok
ETO
memberikan
pemanjangan waktu perdarahan in vitro
dan inhibisi ADP dan agregasi tromobsit
yang diinduksi kolagen.20
Etomidat merupakan gold standar, di RS
dr. Kariadi etomidat pernah dipakai
sebagai agen induksi, sekarang sudah
tidak digunakan lagi. Penelitian tentang
etomidat ini merupakan penelitian
payung di mana diharapkan sebagai obat
gold standard etomidat dapat dipakai
kembali.
Etomidat mengurangi fungsi trombosit
baik ex vivo dan in vivo. Hasil penelitian
Sarkar M, dkk pemberian etomidat untuk
induksi anestesi pada pasien pediatrik dan
neonatus memberikan kesan bahwa
etomidat tidak mengubah profil klinis
hemodinamika secara signifikan.21
Penelitian Aoki dkk di Jepang
menunjukkan propofol 2 mg/kg/jam
menghambat agregasi trombosit. Parolari
A, dkk mendapatkan setelah 5 menit
pemberian propofol 2,5 mg/kg bolus
intravena, terjadi penurunan agregasi
trombosit secara bermakna pada whole
blood.14,22
Agregasi trombosit dinilai melalui
pemeriksaan yang disebut Tes Agregasi
Trombosit (TAT). Pemilihan jenis TAT,
tergantung jenis obat yang digunakan.
Agonis atau induktor yang dapat
3

Jurnal Anestesiologi Indonesia

digunakan adalah trombin, tromboksan


A2,
asam
arakidonat,
serotonin,
vasopresin, dan ADP yang dipakai pada
Laboratorium Patologi Klinik di RSUP
Dr. Kariadi. TAT berdasarkan perubahan
transmisi cahaya masih dianggap baku
memang untuk menilai fungsi agregasi
trombosit. Setiap kenaikan transmisi
cahaya yang dicatat sebagai suatu
agregasi trombosit. Hasilnya akan
didapatkan presentase agregasi maksimal
trombosit yang terjadi dengan pemberian
ADP 2uM; 5uM dan 10uM sebagai
induktor agonis trombosit.21
Berdasarkan temuan dari penelitian di
atas, akan dilakukan penelitian perbedaan
pengaruh pemberian propofol 2,5 mg/kg
intravena dan etomidat 0,3 mg/kg
intravena terhadap agregasi trombosit
(Dosis anestesi induksi propofol 2,5
mg/kg ekuivalen dengan dosis induksi
etomidat 0,3 mg/kg).6 Pada penelitian ini
ditambahkan hasil yang mempertimbangkan interpretasi TAT dengan
mengamati gambaran pola kurva
agregasi.22
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis
perbedaan pengaruh pemberian propofol
dan
etomidate
terhadap
agregasi
trombosit.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental uji klinik fase 4 dengan
rancangan randomized clinical control
trial. Penelitian dilakukan di Instalasi
Bedah Sentral dan Laboratorium Patologi
Klinik RSUP dr. Kariadi Semarang pada
bulan Maret 2010 hingga April 2010.
Sampel merupakan pasien bedah
onkologi di Instalasi Bedah Sentral
RSUP dr. Kariadi yang memenuhi
kriteria inklusi yaitu menjalani operasi
elektif dengan general anestesi, pasien
bedah, status fisik ASA I-II, usia 19 - 39
tahun, BB normal. Sampel yang ada
dikelompokkan
dengan
acak
menggunakan
randomized
clinical
control trial double blind. Kelompok I
menggunakan Etomidat 0,3 mg/kg
intravena sebagai obat anestesi induksi
sedangkan Kelompok 2 menggunakan
Propofol 2,5 mg/kg intravena sebagai
obat anestesi induksi. Sampel dieksklusi
jika
menderita
DM,
hipertensi,
menggunakan NSAID, kadar trombosit
<200.000/uL atau >400.000/mL, riwayat
merokok, riwayat pascastrok, riwayat
penyakit jantung iskemik.
Analisis data menggunakan Alpha = 0,05
perhitungan dengan SPSS 15 for
windows. Etika disetujui oleh komisi Etik
dan Penelitian FK UNDIP/RSUP dr.
Kariadi. Setiap pasien yang dilakukan
penelitian dimintai persetujuan.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Karakteristik Umum Subjek pada Masing-Masing Kelompok


No
1
2
3
4
5
6

Variabel
Umur (tahun)
Body Mass Index (kg/m2
Tekanan Darah Sistol (mmHg)
Tekanan Darah Diastol (mmHg)
Nadi (x/menit)
Status ASA
ASA I
ASA II

HASIL
Uji normalitas one-sample Kolmogorov
Smirnov digambarkan pada tabel 1, di
mana karakteristik umum subjek pada
masing-masing
kelompok
memiliki
distribusi yang normal (p>0,05), sehingga
untuk uji homogenitas diperlukan analisis
statistik dengan Independent T Test.
Hasilnya didapatkan data yang homogen
(perbedaan tidak bermakna, p>0,05) dari

Kel Etomidat
(n=20)
34,5 + 3,7
21,1 + 1,7
127,6 + 9,2
74,6 + 7,7
80,2 + 9,6

Kel. Propofol
(n=20)
33,70 + 3,388
21,2 + 1,9
127,9 + 7,7
73,9 + 6,0
80.8 + 7.9

17
3

16
4

P
0,761
0,953
0,569
0,689
0,824

semua variabel yaitu umur, BMI, tekanan


darah sistole, tekanan darah diastol, nadi,
dan status ASA sebelum dilakukan
penelitian.
Tabel 2 menunjukkan data sebelum dan
sesudah penelitian pada kelompok I
(etomidat) dan II (propofol) didapatkan
hasil uji normalitas menunjukkan nilai %
agregasi trombosit maksimal berdistribusi
normal dengan induktor 10uM ADP
(p>0,05).

Tabel 2. Uji Normalitas Rerata % Agregasi Trombosit


Variabel
% Agregasi maks.
Trombosit
% Agregasi maks.
Trombosit
% Agregasi maks.
Trombosit
% Agregasi maks.
Trombosit

Induktor
10 uM ADP

Perlakuan
Pre Kelp I

P
0,509

Keterangan
Distribusi normal

10 uM ADP

Pre Kelp II

0,792

Distribusi Normal

10 uM ADP

Post Kelp I

0,942

Distribusi normal

10 uM ADP

Post Kelp II

0,935

Distribusi Normal

Data
kemudian
dianalisis
secara
parametrik menggunakan uji Paired T
Test untuk melihat perbedaan % agregasi

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

maksimal trombosit antara sebelum dan


sesudah perlakuan dengan 10 uM ADP.
Tabel 3 menunjukkan bahwa sebelum
dan sesudah perlakuan dengan induktor
5

Jurnal Anestesiologi Indonesia

ADP 10uM pada kelompok propofol


terbukti menyebabkan penurunan %
agregasi maksimal trombosit yang secara
statistik berbeda bermakna p=0,001
(p<0,05). Sedangkan pada kelompok

etomidat secara statistik tidak terbukti


menyebabkan penurunan % agregasi
maksimal trombosit dengan nilai p=0,089
(p>0,05).

Tabel 3. Nilai rerata dan simpangan baku persen agregasi maksimal trombosit sebelum dan setelah perlakuan
pada kelompok propofol dan etomidat (dengan induktor ADP 10 uM)
No

Keterangan

Sebelum

Sesudah

1
2

Kel. Etomidat
Kel. Propofol

73,45 + 7,33
62,55 + 13,91

66,07 + 8,28
56,29 + 18,04

0,089
0,001*

* = bermakna (p<0,05)

160

% Agregasi maksimal trombosit

140
70

120

65

100
Etomidat
Propofol

80
60

60
55
50

% Agregasi
maksimal
trombosit

40
20
0
Sebelum

Setelah

Gambar 1. Perbandingan perubahan % agregasi


maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah
perlakuan pada kelompok etomidat dan propofol

Gambar 2 menunjukkan perbedaan rerata


% agregasi maksimal trombosit antara
sesudah pemberian propofol dan sesudah
pemberian etomidat dengan ADP 10 uM
sebagai induktor.

Gambar 2. Perbedaan % agregasi maksimal


trombosit antara sesudah pemberian propofol dan
sesudah pemberian etomidat

Hasil Tes Agregasi Trombosit yang


terbaca
oleh
PACKS-4
selain
menunjukkan persen agregasi trombosit
juga menggambarkan pola kurva agregasi
yang terbentuk oleh masing-masing dosis
induktor ADP pada masing-masing
kelompok perlakuan. Semua sampel pada
kedua kelompok perlakuan sebelum
perlakuan
mempunyai
gambaran
normoagregasi.
Kemudian
setelah
dilakukan perlakuan gambaran dari 20
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

sampel untuk kelompok Etomidat


terdapat 2 orang hipoagregasi (10%), 4
orang hipoagregasi ringan (20%) dan
sisanya 14 orang normoagregasi (70%).
Kelompok propofol terdapat 14 orang
hipoagregasi (70%), 3 orang hipoagregasi
ringan (15%), dan 3 orang normoagregasi
(15%).
Secara statistik propofol secara bermakna
menyebabkan hipoagregasi daripada
pentotal, p=0,01 (p<0,05). Hal ini lebih
jelas terlihat pada gambar 3.

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

Etomidat
Propofol

Hipo

Hipo Normo
ringan

Gambar 3. Perbedaan Propofol dan Etomidat


dalam menyebabkan hipoagregasi

PEMBAHASAN
Hasil dari penelitian ini bahwa dengan
ADP 10M untuk kelompok etomidat
antara sebelum dan sesudah perlakuan
tidak memberi perbedaan bermakna
p=0,089 (p>0,05), hal ini semakin
berbeda
dengan
pendapat
yang
mengatakan bahwa etomidat bisa
dikatakan dapat mempengaruhi secara

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

bermakna respon trombosit terhadap


ADP.20
Kelompok propofol dengan induktor
10M antara sebelum dan sesudah
perlakuan didapatkan perbedaan yang
bermakna p=0,001 (p<0,05). Hasil ini
mendukung penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh de La Cruz, dkk di mana
dikatakan propofol 2,5mg/kg intravena
menghambat
intensitas
maksimum
agregasi
trombosit.
Propofol
menghambat agregasi trombosit pada
whole blood secara in vitro.17,19 ADP
10M diharapkan terjadi pelepasan
granula sekunder dari permukaan
trombosit dan terbentuklah agregasi
sekunder, di mana perlu diingat agregasi
sekunder terjadi akibat pelepasan granula
pada setelah terjadinya agregasi primer
sehingga kembali
membuat jalur
arakidonat dan terbentuk tromboksan A2.
Tromboksan A2 ini akan menurunkan
konsentrasi cAPMP yang berfungsi
mengendalikan konsentrasi ion kalsium
bebas yang dibutuhkan dalam proses
agregasi. Kadar cAMP yang tinggi
menyebabkan kadar ion kalsium bebas
dalam trombosit yang digunakan dalam
proses agregasi.23
Hasil
penelitian
ini
memperkuat
pernyataan yang mengatakan pemberian
propofol secara bermakna menurunkan
aktivasi ADP pada proses terjadinya
agregasi trombosit bila dibandingkan
dengan etomidat.13,19 Pemberian induktor
ADP 10 uM merupakan induktor terkuat
yang umumnya digunakan sebagai
pedoman untuk penetapan keadaan
7

Jurnal Anestesiologi Indonesia

hipoagregasi bila nilai % agregasi


maksimal trombosit lebih rendah dari
rentang nilai rujukan terendah dan
disertai pola kurva agregasi reversibel.
ADP paling tepat dalam menilai fungsi
agregasi trombosit, di mana hanya
selektif untuk agregasi tromobosit dan
stimulasinya bersifat langsung.24
Hasil penelitian ini mendukung penelitian
sejenis penelitian de La Cruz, dkk yang
menyatakan
propofol
menurunkan
sensitivitas ADP terhadap terjadinya
agregasi trombosit, namun penelitian
tersebut juga menghubungkan dengan
kejadian
memanjangnya
waktu
perdarahan secara signifikan ditemukan
hubungan kuat di antaranya. Walaupun
peran
agregasi
trombosit
pada
manifestasi
memanjangnya
waktu
perdarahan dianggap mempunyai peran
besar, namun juga harus dipikirkan
penyebab lainnya di mana juga terjadi
relaksasi sel otot polos pembuluh darah
akibat halotan di samping akibat
pengaruh komponen lain seperti faktor
pembuluh darah dan faktor koagulasi.18
Sementara etomidat pada penelitian ini
dinyatakan tidak bermakna p=0,089
(p>0,05) menurunkan rerata agregasi
maksimal trombosit berarti tidak
mendukung penelitian - penelitian
sebelumnya seperti Gries (2001) dkk di
mana
etomidat
memberikan
penghambatan
trombosit
secara
20
bermakna.
Keterbatasan penelitian ini adalah masih
digunakannya ADP sebagai indikator, di
mana diketahui etomidat mempengaruhi

ADP dalam menghambat agregasi


trombosit, dan tidak dilakukannya
pemeriksaan
pendahuluan
untuk
menyingkirkan variabel perancu yang
dapat mempengaruhi agregasi maksimal
trombosit

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
presentase agregasi maksimal trombosit
sebelum dan setelah pemberian propofol
2,5 mg/kg intravena namun tidak terdapat
perbedaan presentase agregasi maksimal
trombosit
sebelum
dan
sesudah
pemberian etomidat 0,3 mg/kg intravena
serta propofol menurunkan agregasi
maksimal trombosit secara bermakna
dibandingkan etomidat.

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

Baldy CM. Pembekuan. Dalam: Price


SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep
klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-4.
Jakarta: EGC, 1995; 264-5
Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi
kedokteran. Edisi ke 9. Jakarta: EGC.
1997; 579-82.
Kartono D, Thaib MR. Masalah
perdarahan pada pembedahan. Jakarta:
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia. 1986; 20-6.
Macpherson DS. Preoperative laboratory
testing: Should any test be routine before
surgery? Med Clin North Am 1993;
77:289-90.
Rodgers RPC. A critical reappraisal of
bleeding time. Semin Thromb Haemost
1990; 16:131-44.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

Lind SE. The bleeding time does not


predict surgical bleeding. Blood 1991;
77:2547-52
Lehman CM. Discontinuation of BT
without detechable adverse clinical
impact. Clin Chem 2001; 47:1204-11.
Morgan GE, Mikhail MS, Murry MJ,
Larson CP. Inhalational Anesthetic. In
Clinical Anesthesiology. 3rd Ed. New
York: Lange Medical Book/Mc GrewHill Medical Publishing Edition, 2002;
127-51.
Gepts E, Camu F, Cockshott D, Douglas
EJ. Disposition of Propofol administered
as constant rate intravenous infusion in
humans. Anaesth Analg 1987; 66:125663.
Stoelting RK, Hillier SC. Propofol. In:
Nonbarbiturate intravenous anesthetic
drug. In: Pharmacology and Physiologi
in aneesthetic Practice, 4th ed.
Philadelphia: Lippincott 2006; 156-63.
Muacchio E, Rizzoli V, Bianchi M,
Bindoli A, Galzigna L. Antioxidant
action of propofol on liver microsomes,
mitochondria, and brain synaptosomes in
rat. Pharmacol. Toxicol 1991; 69:15-17.
De la Cruz JP, Villalobos MA, Sedeno
G, Sanchez DC. Effect of propofol on
oxidative stress in an in vitro model of
anoxia-reoxygenation in the rat brain.
Brain Res 1998; 800:136-44.
De la Cruz JP, Carmona JA, Paez MV,
Blanco E, Sanchez DC. Propofol inhibits
in vitro platelet aggregation in human
whole blood. Anesth Analg 1997; 84:
919-21.
Aoki H, Mizobet, Nozuchi S, Hiramatsu
N. In vivo and in vitro studies of the
inhibitory effect of propofol on human
platelet aggregation. Anesthesiology
1998; 88: 362-70.
Dogan IV, Ovali E, Eti Z, Yayci A,
Gogusf Y. The in vitro effect of
isofluorane, isovofluorane, and propofol
on platelet aggregation. Anesth Analg
1999; 88: 432-36.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

16. De la Cruz JP, Paez MV, Carmona JA,


Sanchez DC. Antiplatelet effect of the
anesthetic drug propofol influence of red
cells and leucocytes. Br Med J
Pharmacol 1999; 128: 1538-44.
17. De la Cruz JP, Zanca A, Carmona JA,
Sanchez DC. Effect of propofol on
oxidative stress in platelets from surgical
patients. Anesth Analg 1999; 89: 1050-5.
18. De la Cruz JP, Sedeno G, Carmona JA,
Sanchez DC. In vitro effect of propofol
on tissular oxidative stress in the rats.
Anesth Analg 1998; 87: 1141-615.
19. Mendez D, De la Cruz JP, Arrebola MM,
Guerrero A, Gonzalez-Corea, Garcia
Temboury E, et al. The effect of
propofol on the interaction of platelets
with leucocytes and erythrocyts in
surgical patients. Anesth Analg 2003;
96: 713-19.
20. Gries A, Weis S, Herr A, Graf BM,
Seelos R, Martin E, et al. Etomidate and
thiopental inhibit platelet function in
patients
undergoing
infrainguinal
vascular surgery. Acta Anaesthesiol
Scand 2001; 45: 449-57.
21. Dordoni PL, Frassanito L, Bruno MF,
Proietti R, De Cristofaro R, Ciabattoni
G, et al. In vivo and in vitro effects of
different anaesthetics on platelet
function. Br Med J Haematol 2004; 125:
79-82.
22. Palolari A, Guamieri D, Alamanni F,
Toscano T, Tantalo V, Gherli T et al.
Platelet function and anesthetics in
cardiac surger. An in vitro and ex vivo
study. Anesth Analg 2007; 89: 26-31.
23. Shafer Al. Effects of nonsteroidal antiinflammatory therapy on platelets. Clin
Pharmacol J. 1999; 106: 25 S-36S.
24. Lisyani BS. Hasil tes agregasi trombosit
pada subjek sehat kelompok usia 19-39
tahun dibandingkan dengan 40 tahun ke
atas. Media Medika Indonesiana 2006;
41: 69-77.

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN
Perbedaan Efektifitas Oral Hygiene Antara Povidone Iodine Dengan
Chlorhexidine Terhadap Clinical Pulmonary Infection Score Pada Penderita
Dengan Ventilator Mekanik
Kurniadi Sebayang*, Jati Listiyanto Pujo*, Johan Arifin*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background : Oral hygiene antiseptic can reduce incidence of Ventilator Associated
Pneumonia (VAP) that reduce Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) in patients with
mechanical ventilation. Chlorhexidine can prevent formation of biofilm compare with
povidone iodine.
Objectives : This study was performed to find out wether chlorhexidine 0, 3 % was better
than povidone iodine 1 % on Clinical Pulmonary Infection Score in patients with
mechanical ventilation.
Methods : An experimental study, as consecutive sampling on 32 subjects was decided in
two groups (n = 16). Povidone iodine 1% was administrated in first group and
cholrhexidin 0,2 % in second group. Clinical Pulmonary Infection Score was determined
using Mann-Whitney before and after treatment in each group temperature, blood gas
analysis, tracheal secretion, blood analysis and chest x-ray. Statistical analysis was
performed with Wilcoxon test to compare CPIS and corelative test to analyzed GC plaque
and spearman test to analyzed the correlation between GC plaque score and CPIS.
Result : There were significant diference in the first group on CPIS (p<0,05) and no
difference in the second group (p>0,05). The difference score before and after treatment in
both group were significantly different (p=0,05). GC plaque score in chlorhexidinee group
were significantly different (p=0, 0000). There were no correlation between GC plaque
score and CPIS.
Conclusion : Chlorhexidinee 0,3% is more effective in oropharing decontaminated
antisepcic that decrease CPIS than povidone iodine on patients with mechanical
ventilation. No correlation between GC plaque score with score of CPIS.
Keywords : Povidone iodine 1 %, chlorhexidine 0, 2%, CPIS, mechanical ventilation, GC
plaque

10

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

ABSTRAK
Latar belakang : Antiseptik oral hygiene merupakan salah satu cara non farmakologi
yang dapat menurunkan insiden Ventilation Associated Pneumonia (VAP) dengan
menurunkan skor Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) pada penderita dengan
ventilator mekanik. Chlorhexidine adalah antiseptik yang lebih mampu mencegah
pembentukan biofilm dibandingkan dengan povidone iodine.
Tujuan : Mengetahui chlorhexidine 0,2% lebih efektif menurunkan angka Clinical
Pulmonary Infection Score (CPIS) dibandingkan dengan povidone iodine 1% pada
penderita dengan ventilator mekanik.
Metode : Merupakan penelitian eksperimental, dua subjek dibagi dua kelompok sama
besar (n =16). Kelompok chlorhexidinee 0,2 % dan kelompok kontrol povidone iodine 1%.
Kedua kelompok sebelum dan setelah perlakuan dilakukan pemeriksaan CPIS, yaitu: suhu,
analisa gas darah, sekret trakea, darah rutin dan foto ronsen dada. Uji wilcoxon adalah uji
korelatif untuk melihat GC plaque sebelum dan setelah perlakuan.Sedangkan uji spearman
melihat korelasi GC plaque dan skor CPIS pada kelompok perlakuan.
Hasil : Hasil skor CPIS berbeda makna pada kelompok I (p<0,05). Analisis komparatif
selisih skor sebelum dan sesudah perlakuan kedua kelompok berbeda bermakna (p<0,05).
Skor GC plaque sebelum [6,00 (5,60-7,00)] dan setelah aplikasi chlorhexidinee 0,2% [7,00
(6,80-7,20)] menunjukkan hasil berbeda bermakna (p= 0,000). Uji spearman skor GC
plaque dan CPIS menunjukkan hasil berbeda tidak bermakna, hasil korelatif negatif.
Kesimpulan : Chlorhexidinee 0,2% merupakan antiseptik orofaring yang lebih efektif
menurunkan skor CPIS dibandingkan dengan povidone iodine 1% pada pasien dengan
ventilator mekanik. Tidak ada korelasi antara kenaikan skor GC plaque dengan penurunan
skor CPIS.
Kata kunci : Povidone iodine 1%, chlorhexidinee 0, 2%, ventilator mekanik, GC plaque
PENDAHULUAN

data di ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang.


1,2,3,4

Penggunaan antiseptik terhadap oral


hygiene
merupakan salah satu cara
farmakologi yang dapat menurunkan
insiden
Ventilation
Associated
Pneoumonia (VAP) dengan menurunkan
skor Clinical Pulmonary Infection Score
(CPIS) pada penderita dengan ventilator
mekanik. Di Indonesia belum ada data
nasional kasus VAP, namun sudah ada
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Patogenesis VAP sangat komplek. Kollef


menyatakan insiden VAP tergantung dari
lamanya paparan lingkungan, petugas
kesehatan dan faktor resiko lain.
Penelitian terhadap 130 penderita yang
diintubasi,
kuman
gram
negatif
ditemukan dalam trakea 58% penderita
yang mendapatkan pengobatan antasid,

11

Jurnal Anestesiologi Indonesia

antagonis H2 serta 30 % penderita yang


mendapatkan sukralfat. 4
Pemeriksaan CPIS meliputi beberapa
komponen yaitu suhu tubuh, leukosit,
sekret
trakea,
indeks
oksigenasi,
pemeriksaan radiologi dan kultur. Biakan
kuman diambil berdasarkan teknik
protected
specimen
brush,
bronchoalveolar lavage ataupun blind
suctioning sekret. 1,5,6,7
Pencegahan non farmakologi lebih
mudah dan lebih murah untuk
dilaksanakan bila dibandingkan dengan
pencegahan VAP secara farmakologi,
yang meliputi menghindari intubasi
trakhea, penggunaan ventilasi mekanik
sesingkat mungkin, pembagian kerja
tenaga kesehatan, intubasi non nasal,
menghindari manipulasi yang tidak perlu
pada sirkuit ventilator, posisi setengah
duduk, dan mencuci tangan dan
pemakaian disinfektan sebelum dan
sesudah kontak dengan penderita.2,5
Pencegahan VAP secara farmakologi
dilakukan dengan cara dekontaminasi
selektif menggunakan antibiotika pada
saluran cerna (selective decontamination
of the digestive tract (SDD)) dan
dekotaminasi orofaring (oropharyngeal
dencotamination (OD)) menggunakan
antiseptik. 8,9

Fourrier
menyatakan
bahwa
chlorhexidine
dapat
menurunkan
pertumbuhan kuman penyebab VAP
sebesar 53%.9 Dengan menurunnya
pertumbuhan kuman di orofaring
diharapkan insiden VAP juga menurun,
hal ini dibuktikan dalam penelitian yang
dilakukan oleh Tantipong dan Chan.9,10
Sedangkan menurut Houston, rerata
penderita dengan pneumonia nosokomial
lebih
rendah
dengan
peridex
chlorhexidine 0,12% daripada kontrol
dengan menggunakan phenolic mixture.
11

Guide control (GC) plaque dan pH mulut


merupakan parameter kesehatan mulut
yang dapat memberikan hasil diagnosis
terhadap patogenesis plak. Tetapi belum
ada data tentang penelitian GC plaque
yang dihubungkan dengan penggunaan
antiseptik.9
Penyempurnaan
dari
penelitian
sebelumnya yang menganalisis dan
membandingkan
efektifitas
dekontaminasi
orofaring
dengan
menggunakan chlorhexidine 2%. Pada
penelitian ini yang diberikan dalam dosis
yang lebih kecil yaitu 0,2%. Karena
berdasarkan
penelitian
sebelumnya
terbukti dapat menurunkan insiden VAP
11,12,13

METODE
De Riso menyatakan dalam penelitiannya
bahwa chlorhexidine yang digunakan
dalam dekontaminasi orofaring dapat
menurunkan kejadian infeksi nasokomial
saluran napas di ICU sampai 69%.8

12

Penelitian
ini
adalah
penelitian
eksperimental. Kelompok penelitian
dibagi menjadi dua yaitu kelompok I
(chlorhexidine 0,2% sebagai antiseptik

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

oral pada penderita dengan ventilator


mekanik) dan kelompok II (povidone
iodine 1% sebagai antiseptik oral
penderita dengan ventilator mekanik).
Sampel mengambil semua penderita
dengan ventilator mekanik di ICU RSUP
Dr. Kariadi pada bulan April- Juni 2010.
Sampel dikelompokkan dengan cara
berurutan dimana penderita pertama
dimasukkan dalam kelompok 1(C),
penderita kedua dimasukkan kedalam
kelompok 2(P) secara cosecutive
sampling. Sampel adalah laki-laki dan
perempuan dewasa dengan GCS < 8 serta
keluarga setuju diikutsertakan dalam
penelitian. Total sampel adalah 32 dan
dibagi menjadi 2 kelompok sama rata.
Pada kelompok 1 (C) diberikan
chlorhexidine 0,2% sebanyak 25 ml.
Pada kelompok 2(P) diberikan povidone
iodine 1% sebanyak 25 ml. Semua
penderita dengan ventilator mekanik
dilakukan
pemeriksaan
klinis
laboratorium, perbandingan tekanan
oksigen
dengan
fraksi
oksigen

(PaO2/PaO2) dan foto thorak dan tes GC


plaque.
Hasil analisis disajikan dalam bentuk
tabel silang, grafik Box Plot. Analisis
analitik akan dilakukan untuk menguji
Clinical Pulmonary Infection Score pada
kedua kelompok perlakuan dengan uji
non
parametrik
Mann
Whithney,
Wilcoxon, Spearman. Semua uji analitik
menggunakan
Sofware
Statistiscal
Package for Social Science (SPSS) 15.

HASIL
Secara berurutan pasien dibagi dalam dua
kelompok yaitu kelompok I yang
menerima chlorhexidine 0,2% dan
kelompok II yang menerima povidone
iodine 1%.
Data karakteristik pasien pada kedua
kelompok dapat dilihat pada tabel 1 :

Tabel 1. Data karateristik pasien kedua kelompok


Usia

Frekuensi

Persentase (%)

< 20 Tahun
2030 tahun
3140 tahun
41-50 tahun
51-60 tahun
> 60 tahun
Total

4
3
3
2
10
10
32

12,5
9,4
9,4
6,25
31
31
100

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

13

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Uji normalitas dilakukan pada kedua


kelompok dengan menggunakan uji
Saphiro-Wilk untuk mengetahui sebaran
data masing-masing. Hanya terdapat dua
hasil sebaran yang merata (p>0,05) yaitu

pada kelompok II, tepatnya untuk skor


sebelum dan sesudah perlakuan, dengan
nilai p maisng-masing 0, 166 dan 0,061.

Tabel 2. Uji normalitas sebaran data skor pada kedua kelompok


Kelompok Perlakuan
Skor sebelum perlakuan

Skor sebelum perlakuan

Selisih Skor

Median (min-maks)

Nilai p

Kelompok I

150 (0,00-4,00)

0,019

Kelompok II

4,00 (1,00- 6,00)

0,166

Kelompok I

0,50 (0,00-4 ,00)

0,001

Kelompok II

4,00 (1,00-7,00)

0,061

Kelompok I

0,00 (-3,00-2,00)

0,026

Kelompok II

0,50 (-3,00- 2,00)

0,037

Hasil uji Saphiro-Wilk, kelompok II sebelum dan setelah perlakuan adalah p= 0, 166 dan p = 0, 061

Ketiga puluh dua pasien tersebut dihitung


nilai CPIS-nya sebelum dan sesudah
perlakuan. Dari hasil uji komparatif
Mann Whithey diketahui bahwa nilai
CPIS sebelum perlakuan dan setelah
perlakuan antara dua kelompok berbeda

bermakna. Selisih skor didapatkan dari


hasil pengurangan antara skor CPIS
setelah perlakuan dengan skor CPIS
sebelum perlakuan per pasien.

Tabel 3. Uji komparatif selisih skor sebelum dan sesudah perlakuan kedua kelompok
Kelompok I

Kelompok II

Nilai p

[Median (min-maks)]

[median (min-maks)]

Skor CPIS Sebelum perlakuan

1,50 ( 0,00-4,00 )

4,00 ( 1,00- 6,00 )

0,000

Skor CPIS Setelah perlakuan

0,50 (0,00- 4,00)

4,00 ( 1,00- 7,00 )

0,000

Selisih skor CPIS

0,00 (-3,00- 2,00)

0,50 (-3,00 2,00)

0,051

Hasil uji komparatif selisih skor Mann Whitney adalah p = 0, 051.

14

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Selain itu dilakukan juga uji komparatif


antara skor sebelum dan sesudah
perlakuan secara terpisah pada masingmasing kelompok perlakuan dengan

menggunakan uji analsis Wilcoxon.


Didapatkan hasil yang berbeda bermakna
pada kelompok I (p <0,05), namun tidak
pada kelompok II (p> 0,05).

Tabel 4. Uji komparatif skor sebelum dan sesudah perlakuan secara terpisah.
Skor CPIS sebelum perlakuan

Skor CPIS setelah perlakuan

[median (min-maks)]

[median (min-maks)]

Kel I

(0,00-4,00)

0,50 (0,00- 4,00)

0,000

Kel II

4,00 (1,00-6,00)

4,00 (1,00-7,00)

0,227

Nilai p

Hasil uji komparatif Wilcoxon adalah p= 0,000 dan p = 0, 227

Penelitian ini juga mengambil data skor


GC plaque
pada kelompok yang
mendapat chlorhexidine 0, 2 %. Skor GC

plaque seperti halnya pada skor CPIS


juga diambil sebelum dan sesudah
perlakuan.

Tabel 5. Uji korelasi skor GC plaque dan CPIS sebelum dan sesudah perlakuan
Jenis Skor

Sebelum Perlakuan

Sesudah Perlakuan

Median

Nilai p

Korelasi

GC plaque

6,00 (5,60-7,00)

0,122

-0,403

CPIS

1,50 (0,00-4,00)

GC plaque

7,00 (6,80-7,20)

0,274

-0,291

CPIS

0,50 (0,00- 4,00)

Hasil uji Spearman adalah p= 0, 122 (-0, 403) dan p= 0, 274 (-0, 291)

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

15

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PEMBAHASAN
VAP
adalah
inefksi
nosokomial
pneumonia yang terjadi pada pasien
dengan bantuan ventilasi mekanik setelah
48 jam. 4,8,11. Etiologi yang paling sering
adalah
staphylococcus
aureus,
pseudomonas
aeroginosa
dan
7,8
enterobacteriacea.
CPIS sendiri berdasarkan komponennya
dapat CPIS modifikasi tidak disertai
pemeriksaan kultur.12 CPIS modifikasi
sangat menguntungkan negara-negara
berkembang yang belum memiliki system
pelayanan kesehatan yang sepenuhnya
terjamin oleh asuransi. Tidak adanya
pemeriksaan kultur pada negara-negara
tersebut tentunya akan mengurangi biaya
kesehatan,
dan
pada
akhirnya
menguntungkan pasien.
Insiden VAP bervariasi antara 9- 27%
dan angka kematiannya bisa melebihi
50%.2,4 Di Indonesia belum ada data
nasional tentang kasus VAP, termasuk di
ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang, tempat
penelitian ini dilakukan. Faktor-faktor
resiko terjadinya VAP yang telah
dibuktikan lewat berbagai peneitian
adalah usia, jenis kelamin, trauma,
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
dan lama pemakaian ventilator. 4,5
Penelitian ini menggunakan CPIS
modifikasi sebagai parameter untuk
membandingkan
antara
antiseptik
chlorhexidine 0,2% dan povidone iodine
1 %. Hasil analisis komparatif MannWhitney antara kelompok I dan II

16

menunjukan perbedaan bermakna baik


pada skor CPIS sebelum maupun setelah
perlakuan. Namun, hasil ini tidak dapat
dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa
chlorhexidine
0,2%
lebih
efektif
dibandingkan dengan povidone iodine
1%. Karena skor CPIS antara kelompok I
dan II berbeda secara signifikan sebelum
perlakuan,
maka
akan
dijumpai
perbedaan yang juga signifikan setelah
perlakuan. Untuk itu, dilakukan uji
komparatif terhadap selisih skor CPIS
sebelum dan sesudah perlakuan antar
kedua kelompok perlakuan. Dari hasil uji
didapatkan nilai p=0,051, hasil ini berada
sangat dekat dengan nilai cutt off
signifikasi dalam studi, yaitu 0,05.
Selanjutnya dilakukan uji Wilcoxon
untuk menganalisis skor CPIS antara
kedua kelompok secara terpisah. Hasil uji
ini menunjukkan bahwa skor pada
kelompok I (p=0,000), namun tidak pada
kelompok II (p= 0,227). Hasil ini
menunjukkan bahwa chlorhexidine 0,3 %
lebih efektif dibandingkan dengan
povidone iodine 1% dalam menurunkan
kejadian VAP. Walaupun hasil uji
komparatif selisih skor CPIS sebelum dan
setelah perlakuan antara kedua kelompok
hanya menghasilkan nilai p borderline 0,
051.
Lebih efektifnya chlorhexidine 0, 2%
ditunjang kuat oleh cara kerja antiseptik
ini yang tidak hanya membunuh bakteri
dalam rongga mulut, namun juga
mencegah timbulnya biofilm. Biofilm
adalah awal terbentuknya plak dan
tempat berkumpulnya bakteri.14,15,16

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Selain CPIS, pada penelitian ini dihitung


pula GC plaque pada kelompok I yang
mendapat chlorhexidine 0,2 %. Skor GC
plaque hanya dihitung pada kelompok I
berpegang pada penelitian-penelitian
sebelumnya menggunakan CPIS klasik
yang menyatakan bahwa chlorhexidine
lebih unggul dibandingkan dengan
povidone iodine, selain itu pemberian
chlorhexidine telah dianjurkan secara
internasional
untuk
menggantikan
17,18
povidone iodine.
Analisis Wilcoxon menunjukkan terdapat
perbedaan yang signifikan antara skor
GC plaque sebelum dan sesudah
pemberian chlorhexidine 0,2%. Nilai GC
plaque yang lebih tinggi setelah
pemakaian
chlorhexidine
0,2%
menujukkan
bahwa
chlorhexidine
meningkatkan pH intraoral secara
signifikan.

yang disampaikan Pugin et al dalam


publikasinya di tahun 1991 merupakan
skor terpadu yang memuat variabel
klinis, laboratorik dan radiologis. 19

SIMPULAN
Chlorhexidine
0,2%
merupakan
antiseptik dekontaminasi orofaring yang
lebih efektif dibandingkan dengan
povidone iodine 1 %. Tidak ada korelasi
antara skor GC plaque dengan skor CPIS.
Sebaiknya
penggunaan
antiseptik
chlorhexidine 0,2% dilaksanakan untuk
menggantikan povidone iodine 1%
sebagai dekontaminasi orofaring pada
penderita ventilator mekanik.

DAFTAR PUSTAKA

Hal ini berarti ada hubungan yang


berlawanan antara CPIS dan GC plaque
pada pasien ICU dengan ventilator
mekanik yang menerima chlorhexidine
0,2 %.

1.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil


penelitian sebelumnya oleh Tantipong H
et al,10 dan Genuit T et al.13 Yang
mengatakan bahwa chlorhexidine 0,2%
merupakan antisptik yang efektif untuk
menurunkan insiden VAP, walau
penelitian ini menggunakan CPIS
modifikasi sedangkan 3 penelitian
sebelumnya yang disebtkan di atas
menggunakan CPIS klasik. CPIS, seperti

2.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

3.

4.

Luna CM, Blanzaco D, Niedman MS,


Maturucco W, Brades NC, Desmery P,
et.al. Resolution of ventilator associated
pneumonia : prospective evaluation of
the clinical pulmonary infection score as
an early clinical predictor of outcome.
Crit Care Med 2003; 31: 676-82.
Chastre J, Fragon JY. Ventilator
associated pneomina. AM J Respir Crit
Care Med 2002; 65 :67-903.
Kollef M. Prevention of hospital
associated pneumonia and ventilator
associated pneumonia. Crit Care Med
2004; 32: 1396-405.
Sallam SA, Arafa MA, Razek AA, Naga
M, Hamid MA : Device related
nosocomial infection in intensive care
units of Alexandria University Students

17

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Hospital. East Med. Health J 2005 ;11 :


52-61.
5. Ibrahim EH, Tracy L, Hill C, faser VJ,
Kollef MH. The occurrence of ventilator
associated pneumonia in a comunity
hospital. Chest 2001; 120: 555-61.
6. Ewig E, Baueur T, Torres A. The
pulmonary phsyician in critical care :
nasocomial pneumonia. Thorax 2002 ;
57: 366-71.
7. Cook DJ, Meade MO, Hand LE, et. Al :
toward understanding evidence uptake:
semirecumbency
for
pneumonia
prevention. Crit Care Med 2002;30
:1427-7.
8. DeRiso
AJ,
et.al.
Chlorhexidine
gluconate 0, 12 % oral; rinse reduces the
incidence of total nosocomial respiratory
infection an non prophylactic systemic
antibiotic use in patients undergoing
heart sugery. Chest 1996; 109:1556-61.
9. Fpurrier F, Dubois D, Pronnier P, et al.
Effect of gingival and dental plaque
antiseptic
decontamination
on
nosocomial infections acquired in the
intensive care unit : A doubleblind
placebo- controlled multicenter study.
Crit care Med 2005;33:1728-36.
10. Tntipong H, Morckhareonpong C,
jayindee S, Thamlikitkul V. Randomized
contrrolled trial and meta- analysis of
oral decontamination with 2 %
chlorhexidine solution for the prevention
of ventilator associated pneumonia
infection Control Hosp Epidemiol 2008;
29:131-6.
11. Houstun S, Hougland P, Anderson JJ,
LaRocco M, Kenedy V, Gentry LO.
Effectiveness of 0, 12% chlorhexidine
gluconate oral rinse in recuding
prevalence of nosocomial pneumonia in

18

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

patients undergoing heart surgey. Am J


Crit care 2002;(11) : 567-70.
Koeman M, Van der van Andre, Hak E,
Joore HCA, Kaasjager K, De Smet A,
et.al. Oral Decontamination with
chlorhexidine 0, 2% Reduces the
incidience of ventilator- associated
pneumonia. Am J of Resp and Critical
care Medeciene 2006; 173: 1348-1355.
Genuit T, Bochicchio G, Napolitano LM,
Mc Carter RJ, Roghman MC. Surg
Infection 2001;2(1):5-18.
Pourbbasa R, Delazarb A, Chisaza MT.
The effect of german chamomile
moyhwash on dental plaque and gingival
inflamation
Iranian
Journal
of
pharmaceutical research 2005;2:105109.
Schiott CR, Loe H. The sensitivity of
oral streptococci to chlorhexidine. J.
Periodont. Res 1973;12:61.
McGee DC, Gould MK : preventing
comlications
of
central
venous
catherization.
N
Engl
Med
2003;384:1123-33.
Gjermo P, Bonesvoll P, Rolla G.
Relationship between plaque inhibiting
effect and relation of chlorhexidine in
the human oral cavity. Arch. Oral Biol.
1974;19:1031.
Michel F, franceschini B, Berger P,
Arnal JM, Gainier M, Sainty JM, et.al.
Early antibiotic treatment for BALconfirmed
ventilator
associated
pneumonia. Chest 2005;127:589-97.
Pugin J, Auckenthaler R, mili N.
Diagnostic of ventilator associated
pneumonia by bacteriologic analysis of
bronchocopic
and
nonbronchocospicblindbronchoalveola
r lavage fluid. Am Rev Respir Dis 1991;
143:1121-9

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN
Pengaruh Pretreatment Vitamin C 200 Miligram Terhadap Kadar Cortisol
Serum Pada Induksi Etomidat
Ratna Anggraeni*, Hariyo Satoto*, Widya Istanto Nurcahyo*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Backgrounds: Etomidate is one of anesthetic agent which has minimal effect on
cardiovascular function. However, etomidate depress cortisol production. Vitamin C is one
of the agent that hamper the effect of etomidate toward cortisol production.
Objectives: To analyze the effect of pre-treatment with vitamin C 200 mg on cortisol serum
concentration in elective surgery under general anesthesia.
Method: This double blind, Randomized Controlled Trial with 30 subjects which divided
into two groups (n=15), control group and treatment group which received etomidate 0,2
mg/kgBW and combination of etomidate and vitamin C 200 mg in pre-operation
respectively. Each group was then examined for cortisol serum concentration preanesthesia, 2 hours post induction, and 8 hours post induction. Wilcoxon Signed Rank Test
and Paired T Test was performed to compare cortisol serum concentration in each group.
While Mann Whitney and Independent Sample T Test was used to compare between control
and treatment group.
Results: Cortisol serum concentration in control group between pre-anesthesia ;244,15
(181,39-382,75)] and 2 hours post induction [185,52 35,88]; and between 2 hours and 8
hours post induction [349,81 121,28] was significantly different with value 0,002 and
0,000 respectively. It showed that decrement of etomidate dosage mo 0,2 mg/kgBW still
able to decrease cortisol serum production significantly. However, in treatment group
cortisol serum concentration pre-anesthesia [258,49 1"5,45-369,09)] and 2 hours post
induction [202,14 45,3]; and between 2 hours and 8 hours post induction [251,39
122,91] was non significant, with p value 0,256 and 0,691 respectively. It proved the
negative effect of vitamin C on cortisol depression effect of etomidate. Cortisol serum
concentration between control and treatment group was significantly different on 2 hours
post induction, but non significant on 8 hours post induction. It showed that the negative
effect of vitamin C in cortisol depression because of etomidate only significant during 8
hours post eduction
Conclusions: The effect of Vitamin C 200 mg iv 30 minutes pre-operation can minimize
Cortisol depression on administration of etomidate 0,2 mg/kgBW
Keywords: Pretreatment, vit c 200 mg, cortisol serum, etomidate

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

19

Jurnal Anestesiologi Indonesia

ABSTRAK
Latar Belakang: Etomidat adalah salah satu agen anestesi yang berefek minimal terhadap
kardiovaskular. Namun, etomidat mendepresi produksi kortisol. Salah satu agen yang
dapat meminimalisir efek depresi tersebut adalah vitamin C.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pretreatment vitamin C 200
mg pada operasi elektif dengan anestesi umum terhadap kadar kortisol serum.
Metode: penelitian ini merupakan penelitian Randomized Contolled Trial dengan 30
subjek yang dibagi dalam dua kelompok sama besar (n=15), yaitu kelompok kontrol yang
menerima etomidat 0,2 mg/kgBB dan kelompok perlakuan yang menerima etomidat dan
vitamin C 200 mg iv preoperasi. Masing-masing kelompok tersebut selanjutnya diperiksa
kadar kortisolnya pre anestesi, 2 jam pasca induksi, 8 jam pasca induksi. Uji statistik
Wilcoxon Signed Rank Test dan Paired T Test digunakan untuk membandingkan kadar
kortisol di masing-masing kelompok. Uji Mann Whitney dan Independent Sample T Test
digunakan untuk membandingkan antar kelompok kontrol dan perlakuan.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok kontrol, kadar kortisol preanestesi
244,15 dan 2 jam pasca induksi 185,52 + 35,88 berbeda bermakna (p=0,002). Begitu pula
antara kadar 2 jam dengan 8 jam pasca induksi 349,81 + 121,28 (p=0,000). Sedangkan
pada kelompok perlakuan, kadar kortisol antara pre anestesi 258,49 (175,45-369,09) dan
2 jam pasca induksi 202,14 + 45,3 tidak berbeda bermakna (p=0,256), begitu pula 2 jam
pasca induksi dengan 8 jam pasca induksi 251,39 + 122,91 (p=0,691).
Kesimpulan: Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian vitamin C 200 mg
intra vena 30 menit pre operasi dapat menurunkan efek depresi kortisol oleh pemberian
etomidat 0,2 mg/kgBB.
Kata kunci: pretreatment, vit c 200 mg, cortisol serum, etomidat

PENDAHULUAN
Pemberian
obat
induksi
anestesi
berpotensi yang diikuti pemberian obat
penghambat aktivitas neuromuskuler,
bertujuan menghilangkan kesadaran dan
paralisis motorik akan menghasilkan
keadaan yang optimal dari suatu proses
intubasi dan juga dapat menurunkan
serendah mungkin risiko aspirasi paru
pada pasien-pasien yang tidak puasa1.

20

Sekarang ini tidak hanya satu jenis obat


saja yang biasa digunakan pada Rapid
Sequence Induction
(RSI), tetapi
beberapa obat bias digunakan tergantung
dari keuntungan, kondisi klinik, efek
samping, serta kontra indikasinya2.
Etomidat merupakan obat sedasi-hipnotik
yang secara kimia berbeda dengan obatobat induksi sejenis lainnya1. Etomidat
mempunyai spesifikasi onset dan durasi
yang cepat, efek minimal pada parameter
kardiovaskuler, depresi nafas maupun
pada mekanisme lepasnya histamin3,4,5.
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Birnbaumer menyatakan bahwa Etomidat


bersifat aman dan efektif untuk menjadi
obat pilihan pada RSI di unit gawat
darurat Amerika Serikat karena efeknya
aman untuk aktivitas miokardium dan
perfusi serebral, serta insidensi yang
rendah terkait hipotensi2.
Etomidat diketahui dapat menyebabkan
supresi adrenal baik pada pemberian
dosis tunggal maupun infus lama1,6.
Makna klinis dari efek obat ini terus
diperdebatkan, terkait adanya efek
supresi adrenal7,8,9. Pada penggunaan
dosis tunggal etomidat menyebabkan
penurunan fungsi adrenokortikal selama
paling tidak 24 jam8.
Penggunaan etomidat dosis tunggal pada
unit gawat darurat belum pernah
dilaporkan
menyebabkan
supresi
adrenokortikal yang signifikan hingga
menyeabkan kematian7. Penggunaan
etomidat dosis tunggal pada pasien syok
septik juga masih merupakan kontroversi
karena akan mempengaruhi fungsi
kelenjar adrenal dalam 24 sampai 72 jam
setelah pemakaian etomidat dengan cara
menghambat 11 hydroxylase yang akan
menambah angka kesakitan serta
kematian pasien10.
Etomidat seharusnya tidak digunakan
untuk sedasi jangka lama di ruangan
Intensive Care Unit (ICU) karena
menyebabkan supresi adrenal, yang
berakibat meningkatnya jumlah kematian
di ICU8.
Penggunaan vitamin C sebelum tindakan
operasi akan mengembalikan kadar
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

kortisol serum yang sama sebelum


operasi, setelah pemberian infus etomidat
durante operasi11.
Vitamin C berperan sebagai kofaktor
dalam sejumlah reaksi hidroksilasi dan
amidasi dengan memindahkan elektron
ke dalam enzim yang ion metalnya
berada dalam keadaan tereduksi, dan
dalam
keadaan
tertentu
sebagai
antioksidan. Onset kerja dari vitamin C
30 menit pada orang sehat dan 1,5 jam
pada orang dengan diabetes mellitus12.
Kortisol sangat berperan penting untuk
kehidupan,
berperan
dalam
mempertahankan tekanan darah dengan
cara meningkatkan sensitivitas vaskular
untuk epinefrin dan norepinefrin, ekskresi
air oleh ginjal, mempertahankan kadar
gula darah, respon imun dan memiliki
efek anti inflamasi dengan mengurangi
sekresi histamin serta menstabilkan
membran lisosomal. Stabilisasi membran
lisosomal mencegah robeknya membran,
sehingga mencegah kerusakan jaringan
sehat. Kadar kortisol yang terlalu rendah
mampu menyebabkan hipotensi, syok,
demam, koma, dan pada akhirnya dapat
berujung pada kematian. Sedangkan
kadar kortisol yang meningkat terlalu
tinggi, juga akan menimbulkan gangguan
hemodinamik13. Pemberian vitamin C
500 mg pre operasi
menurut studi
Pirbudak L et al akan menormalkan
kembali kadar kortisol pada 6 jam post
operasi14. Sedangkan menurut Nathan et
al pemberian pretreatment infus vitamin
C 1 gr dalam 500 ml glukosa sebelum
induksi dengan etomidat 0,3 mg/kgBB
21

Jurnal Anestesiologi Indonesia

memberikan
gambaran insufisiensi
adrenal yang lebih tinggi15. Kontradiksi
kedua hasil studi ini menunjukkan adanya
dualitas efek vitamin C. Namun, menurut
Schraag S et al dalam artikel studinya
menggunakan vitamin C dosis 500 mg
dengan tambahan xylitol 0,25 mg/kg
memaparkan hal yang berlawanan
dengan kesimpulan studi Pirbudak et al.16
Maka dari itu di penelitian ini digunakan
dosis vitamin C yang lebih rendah yaitu
200 mg.

METODE
Penelitian ini merupakan uji klinik fase 2
dengan bentuk rancangan eksperimental
ulang (pretest and posttest controlled
group design). Penelitian ini dilakukan di
Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr Kariadi
Semarang dan Laboratorium GAKY
Semarang pada lingkup waktu bulan
Maret sampai Mei 2010.
Populasi dalam penelitian ini adalah
semua pasien yang menjalani operasi
dengan anestesi umum dan diinduksi
anestesi antara jam 08.00 sampai 10.00
WIB pada bulan Maret sampai Mei 2010.
Teknik
pengambilan
sampel
menggunakan
randomized
clinical
controlled trial dibagi dalam dua
kelompok.
Kelompok
1
(E)
menggunakan obat anestesi induksi
etomidate 0,2 mg/kgBB intravena tanpa
pretreatment vitamin C 200 mg
intravena. Kelompok 2 (C) menggunakan
obat anestesi induksi etomidate 0,2
mg/kgBB intravena dengan pretreatment
vitamin C 200 mg intravena 30 menit
22

sebelum
induksi.
Sampel
harus
memenuhi kriteria inklusi : status fisik
ASA I-II, usia 14-50 tahun, jenis operasi
dengan anestesi umum, operasi dilakukan
antara jam 08.00 10.00 WIB, berat
badan normal (BMI 18-25 kg/m2),
dengan
kriteria
eksklusi:
alergi/
kontraindikasi terhadap obat yang dipakai
selama penelitian, pasien menggunakan
steroid, pasien dengan kadar kolesterol
>200
mg,
pasien
menggunakan
kontrasepsi hormonal, pasien yang
mengkonsumsi vitamin C.
Total sampel adalah 30 orang dibagi
menjadi 2 kelompok masing-masing 15
orang.
Seleksi
penderita
dilakukan
saat
kunjungan prabedah di RSUP Dr. Kariadi
Semarang pada penderita yang akan
menjalani operasi elektif dengan anestesi
umum. Penderita diberikan penjelasan
dan mengisi formulir informed consent.
Pasien tidak mengetahui perilaku yang
akan diterima. Disediakan kertas undian
berlabel C dan E yang dilipat, masingmasing berjumlah 15, satu hari sebelum
operasi ahli anestesi yang bertugas
mengambil undian tersebut. Perlakuan
yang dilakukan pada pasien sesuai label
yang diambil saat undian.
Semua pasien dipuasakan 6 jam sebelum
operasi, kebutuhan cairan selama puasa
dipenuhi sebelum operasi dengan
menggunakan cairan Ringer Laktat.
Pengambilan sampel sebelum perlakuan
dilakuakan sekitar pukul 08.00 WIB saat
pasien tiba di kamar operasi sebelum
dilakukan induksi anestesi. Sampel

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

adalah darah vena perifer sebanyak 3 ml,


yang kemudian dimasukkan dalam
tabung tanpa antikoagulan dan dibiarkan
beku secara alami sampai serum/plasma
terpisah dari bekuan sesegera mungkin
untuk menghindari hemolisis sel darah
merah. Sampel segera dikirim ke
Laboratorium GAKY FK Undip untuk
dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol
serum.
Setelah dipastikan jalur intravena lancar,
pasien dipremedikasi ondansetron 4 mg
30 menit sebelum operasi dan fentanyl
1g/kg 3 menit sebelum induksi.
Selanjutnya dilakukan induksi anestesi
dimana kelompok E menggunakan obat
anestesi induksi etomidat 0,2 mg/kg iv,
sedangkan kelompok C menggunakan
pretreatment vitamin C 200 mg 30 menit
sebelum obat anestesi induksi etomidat
0,2 mg/kg iv. Anestesi dipertahankan
pada seluruh kasus dengan inhalasi
campuran N2O : O2 (50%:50%).
Pelumpuh otot menggunakan vecuronium
bromide 0,1 mg/kg. Pada semua
kelompok
sampel
darah
sesudah
perlakuan diambil 2 jam dan 8 jam pasca
induksi
etomidat
sebanyak
3ml
dimasukkan
dalam
tabung
tanpa
antikoagulan dan segera dikirimkan ke
Laboratorium GAKY.
Sampel diberi nomer well kemudian
penambahan sampel dan konugat-HRP.
Selanjutnya diinkubasikan selama 60
menit pada suhu 37oC, pada akhir
inkubasi isi tiap well dibilas dengan 300
l aqua destilata. Selanjutnya dilakukan
pewarnaan dengan substrat TMB, plate
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

diinkubasi pada suhu 37oC selama 15


menit dan dihindarkan dari cahaya
kemudian dilakukan penghentian reaksi
dan selanjutnya dilakukan pengukuran
penyerapan pada 450 nm.
Data yang dikumpulkan mencakup
karakteristik umum sampel (umur, jenis
kelamin, MAP, tekanan arteri rata-rata,
status ASA) dan kadar kortisol serum
sebelum dan sesudah perlakuan. Uji
statistic Wilcoxon Signed Rank Test dan
Paired
T-Test
digunakan
untuk
membandingkan kadar kortisol di
masing-masing kelompok. Uji Mann
Whitney dan Independent Sample T-Test
digunakan untuk membandingkan antar
kelompok kontrol dan perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Data karakteristik umum sampel yang
telah diperiksa (data baseline) dilakukan
uji komparatif untuk tiap variable dan
didapatkan hasil yang tidak berbeda
bermakna.
Data kadar kortisol yang didapatkan pada
ketiga kelompok: preanestesi, 2 jam
pasca induksi, dan 8 jam pasca induksi
sebagian besar memperlihatkan distribusi
yang merata, kecuali kelompok kontrol
preanestesi dan kelompok perlakuan 8
jam post induksi. Kemudian dilakukan
analisis data uji hipotesis dan didapatkan
hasil analisis yang disajikan dalam tabel
berikut.

23

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Nilai distribusi tiap kelompok

Kelompok

Nilai p

Pre anestesi

E
C

244,15 (181,39-382,75)
258,49 (175,45-369,09)

0,10
0,47

2 jam pasca induksi

E
C

185,52 + 35,88
202,14 + 45,3

0,174
0,121

8 jam pasca induksi

E
C

349,81 + 121,28
251,39 + 122,91

0,487
0,032

Tabel 2. Hasil uji hipotesis


Deskripsi uji hipotesis

Nilai p

Etomidat

Pre vs 2 jam
2 jam vs 8 jam

0,002*
0,000**

Etomidat & vit C

Pre vs 2 jam
2 jam vs 8 jam

0,256*
0,691*

2 jam pasca induksi

Etomidat vs vit C

0,300***

8 jam pasca induksi

Etomidat vs vit C

0,036****

* Wilcoxon Signed Rank Test


**Paired T test
***Mann Whitney
****Independent Sample T Test

Hasil penelitian menunjukkan pada


kelompok kontrol, kadar kortisol
preanestesi dan 2 jam pasca induksi
berbeda bermakna (p=0,002). Begitu pula
antara kadar 2 jam dengan 8 jam pasca
induksi (p=0,000). Hal ini berarti efek
depresi
kortisol
etomidat
tetap
berlangsung walau kadarnya telah
dikurangi sebanyak 0,1 mg/kgBB. Selain
itu diperlihatkan pula bahwa efek depresi
kortisol tersebut terjadi secara bertahap,
sehingga kadar kortisol antara 2 jam dan

24

8 jam pasca induksi dapat berbeda secara


bermakna.
Sedangkan pada kelompok perlakuan,
kadar kortisol antara pre anestesi dan 2
jam pasca induksi tidak berbeda
bermakna (p=0,256), begitu pula 2 jam
pasca induksi dengan 8 jam pasca induksi
(p=0,691). Hal ini menunjukkan adanya
efek negatif dari vitamin C terhadap efek
depresi kortisol etomidat. Efek tersebut
telah muncul pada 2 jam pasca induksi
dan dipertahankan hingga 8 jam paska
induksi. Hasil ini jauh lebih cepat
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dibandingkan hasil yang disajikan oleh


studi Pirbudak et al.
Pada analisis komparatif antara kelompok
kontrol dan perlakuan didapatkan
perbedaan yang signifikan pada kadar
kortisol 8 jam pasca induksi, namun tidak
pada 2 jam pasca induksi. Hal ini
menunjukkan bahwa efek depresi kortisol
etomidat hanya bertahan kurang dari 8
jam pasca induksi. Temuan ini sekaligus
menyangkal kekhawatiran adanya depresi
kortisol yang memanjang pada pemberian
etomidat. Temuan di atas juga dapat
diartikan bahwa pemberian vitamin C
mampu menstabilkan kadar kortisol
darah pada pemberian etomidat.

SIMPULAN
Pemberian Vitamin C 200 mg intra vena
30 menit preoperasi dapat menurunkan
efek depresi kortisol oleh pemberian
etomidate 0,2 mg/kgBB. Penurunan efek
depresi
kortisol
tersebut
tidak
ditimbulkan lewat pengurangan dosis
etomidat sebesar 0,3 mg/kgBB. Efek
depresi kortisol oleh etomidat hanya
bertahan kurang dari 8 jam.

3.

4.

5.
6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

Reves JG, Glass P. Intravenous anesthesia.


In: Miller RD, ed Miller anesthesia 7th
edition. California: Churchill livingstone;
2005
Licille B. Endotracheal intubation. Safe
Anesthesia intubation 1996: 113-26

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

14.

Morgan. GE, Mikhail MS, MUrry MJ.


Nonvolatile agent anesthesia. In: Clinical
Anesthesiology. 3rd ed. New York: Large
Medical
Books/McGrew-Hill
Medical
Publishing Edition; 2002, 199-200
Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology and
physicology in anesthetic practice 3rd edition.
Philadelphia: Lippincot-Raven; 1999, 141-3
Arden Pharmacology of etomidate. Available
from http:/www.metrohealthanesthesia.com
Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik,
edisi
8
bahasa
Indonesia.
Bagian
Farmakologi
Kedokteran
Universitas
Airlangga. Surabaya: Salemba Medika; 2002,
153-4
White PF. Nonopioid intravenous anesthesia.
In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK.
Clinical anesthesia 5th edition. Lippincott
Williams & Willkins; 2006,344-5
Chung DC, Lam AM, editors. Essential of
anesthesiology, 3rd edition. London: W.B
Saunders Company; 2001, 177-8
Oglesby AJ. Should etomidate be the
induction agent of choice for rapid sequence
intubation in emergency department.
Emergency medical journal 2004; 21: 655-9
William L, Jacson jr. Should we use
etomidate as an intubation agent for
endotracheal intubation in patient with septic
shock. CHEST journal 2005; 127: 1031-8
Boidin MP, Erdmann. The role of ascorbic
acid in etomidate toxicity. Europe journal
anesthesiology 1986: 417-22
National Academy of Science. Vitamin C In:
Dietary reference intakes for vitamin, vitamin
e, selenium and carotenoids. Washington DC:
National academy press 2000: 95-131
Murray RK , Granner DK, Mayes PA,
Rodwell VW. Biokimia Harper, edisi 25
bahasa Indonesia. Jakarta. EGC: 2003, 598612
Pirbudak L, Balat O. Effects of ascorbic acid
on surgical stress response in gynecologic
surgery. Journal of clinical practice
2004:928-31

25

Jurnal Anestesiologi Indonesia

15. Nathan N, Vandroux JC. Role of vitamin C


and adrenocortical effects of etomidate. Ann
fr anesthesiology reanimation journal
1991:329-32

26

16. Schraag S, Pawlink M, Mohl U. The role of


ascorbic acid and xylithol in etomidateinduced adenocortical suppression in human.
European journal 1996: 346-51

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN
Pengaruh Nitrous Oxide Pada Induksi Sevofluran 8% Dengan Tehnik Single Breath
Terhadap Kecepatan Induksi Anestesi
Tinon Anindita*, Witjaksono*, Aria Dian Primatika*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Backgrounds: The addition of Nitrous Oxide increase induction time of anesthesia
agent,because of second gas effect and concentration effect.
Objectives: The aims of this study is to compare induction time of 8% sevoflurane with and
without Nitrous oxide using a single-breath vital capacity induction.
Methods: Seventy two healthy unpremedicated patients were randomized to inhale a singlebreath, one of three gas mixture : 8% sevoflurane in Oksigen (group I), 8% sevoflurane in
50% Nitrous oxide (group II) and 8% sevoflurane in 66 2/3% Nitrous oxide (group 111).The
time to absent of the eyelash reflex and induction-related complications, if present, were
noted by independent observer. Blood pressure (systolic, diastolic and mean arterial
pressure/MAP), and heart rate were measured pre and post induction. Data was analyzed
using student T-Test and ANOVA at significancy level of 0,05.
Results: Three groups had similar distribution on sex,age,body weight, and early clinical state.
The time to absent of the eyelash reflex with 8% sevofllurane in 50% Nitrous oxide, 24,96
4,14 second ,and for 8% sevoflurane in 66 2/3% Nitrous oxide , 24,81 3,85 second, were
less than that with 8% sevoflurane in Oksigen, 27,21 4,14 second, but this was no
significant (p = 0,098).Changes in blood pressure (systolic,diastolic, mean arterial
pressure), heart rate and oksigen saturation were no significant different on three
groups.The induction-related complications in the sevoflurane with Nitrous oxide groups
were less than that in the sevoflurane without Nitrous oxide group, but this was no
significant different.
Conclusions: The addition of Nitrous oxide do not increase induction time of anesthesia with a
single-breath of 8% sevoflurane.
Keywords: Sevoflurane,nitrous oxide, induction time.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

27

Jurnal Anestesiologi Indonesia

ABSTRAK
Latar Belakang: Penambahan nitrous oxide pada induksi anestesi akan mempercepat
waktu induksi, oleh karena adanya second gas effect dan concentration effect.
Tujuan: Membandingkan kecepatan induksi anestesi sevofluran 8% dengan atau tanpa
nitrous oxide, dengan menggunakan tehnik single breath vital capacity induction.
Metode: Tujuh puluh dua pasien tanpa diberikan premedikasi , dibagi dalam 3 kelompok
secara random dan diminta untuk menghirup salah satu dari tiga campuran gas dengan
tehnik single breath vital capacity : kelompok I diberikan sevofluran 8% + Oksigen,
keiompok II diberikan sevofluran 8% + 50% nitrous oxide dan kelompok III diberikan
sevofluran 8% + 66 2/3% nitrous oxide. Dicatat waktu saat hilangnya reflek bulu mata
dan komplikasi yang terjadi. Tekanan darah (sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata), laju
jantung dan saturasi oksigen diukur sebelum dan sesudah induksi. Data diuji dengan
Student T Test dan ANOVA dengan derajat kemaknaan < 0,05.
Hasil: Karakteristik penderita (umur, usia, berat badan dan lain-lain) pada ketiga
kelompok berbeda tidak bermakna. Waktu saat hilangnya reflek bulu mata untuk kelompok
sevofluran 8% + 50% nitrous oxide (24,96 4,14 detik), dan untuk kelompok sevofluran
8% + 66 2/3% nitrous oxide (24,81 3,85 detik) lebih sepat dibandingkan dengan
kelompok sevofluran 8% + Oksigen (27,21 4,14 detik) , tetapi perbedaan ini tidak
bermakna (p=0,098), Perubahan tekanan darah (sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata),
laju jantung dan saturasi oksigen yang terjadi pada ketiga kelompok berbeda tidak
bermakna. Komplikasi induksi anestesi yang terjadi pada kelompok sevofluran 8% dengan
nitrous oxide lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok sevofluran 8% tanpa nitrous
oxide , tetapi perbedaan ini tidak bermakna .
Kesimpulan: Penambahan Nitrous oxide pada induksi anestesi dengan sevofluran 8%
dengan tehnik single-breath, tidak mempercepat waktu induksi anestesi.
Kata kunci : sevofluran, nitrous oxide, waktu induksi
LATAR BELAKANG
Sejak ditemukan obat anestesi intravena
pada tahun 1935, induksi dengan obat
anestesi inhalasi atau induksi inhalasi
mulai ditinggalkan. Hal ini disebabkan
karena obat anestesi inhalasi bersifat
merangsang/ bau kurang enak dan
mengiritasi saluran pernafasan sehingga

28

bila digunakan untuk induksi anestesi,


tidak menyenangkan bagi pasien dan ahli
anestesi karena sifat-sifat tersebut sering
menyebabkan pasien batuk, menahan
napas, spasme laring dan waktu induksi
yang lama. 1,2
Penemuan halotan pada tahun 1951, yang
bersifat tidak merangsang saluran
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

pernafasan serta mempunyai koefisien


partisi darah/ gas yang rendah,
memungkinkan untuk dilakukan kembali
induksi inhalasi dan berhasil baik
terutama pada pasien anak2.
Pada tahun 1968, ditemukan obat anestesi
inhalasi
baru,
yaitu
sevofluran.
Sevofluran mempunyai sifat-sifat : bau
enak, koefisien partisi darah/ gas rendah
(lebih rendah dari halotan, enfluran dan
isofluran), dan tidak mengiritasi saluran
pernapasan, sehingga mendorong para
ahli anestesi untuk mengembangkan
kembali induksi inhalasi pada semua
pasien1,2.
Induksi inhalasi dapat dilakukan dengan
berbagai tehnik, yaitu : tehnik gradual
induct induction, tehnik, single-breath
vital capacity induct ion dan tehnik
triple-breath
(multiple-breath)
vital
capacity induction. Tehnik triple-breath
vital capacity merupakan variasi dari
tehnik single-breath vital capacity
induction3.
Teknik single-breath vital capacity
induction diperkenalkan oleh Brourne
pada
tahun
19544.
Tehnik
ini
membutuhkan sifat kooperatif dari
pasien dan obat anestesi inhalasi yang
bersifat: bau tidak menyengat, iritasi
saluran pernapasan minimal, koefisien
partisi darah/ gas rendah dan dapat
digunakan dengan konsentrasi tinggi.
Sevofluran
memenuhi
persyaratan
tersebut, sehingga dapat digunakan untuk
induksi inhalasi dengan tehnik ini.
Tehnik single-breath vital capacity
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

induction
menggunakan
sevofluran
konsentrasi tinggi 8% dan setelah napas
dalam sesuai dengan vital capacity,
pasien diminta menahan napas selama
mungkin (lebih 20 detik), hal ini
inenyebabkan konsentrasi sevofluran di
alveoli
menjadi
lebih
tinggi,
dibandingkan bila pasien langsung
mengeluarkan
napasnya
lagi.
Konsentrasi sevofuran di alveoli yang
tinggi, ini menyebabkan konsentrasi obat
dalan darah juga akan makin tinggi,
sehingga efek terhadap organ tubuh
seperti otak dan sistem kardiovaskuler
akan makin besar, tetapi konsentrasi
dalam darah dibutuhkan hanya untuk
menidurkan pasien (sampai reflek bulu
mata negatif)4,5,6,7,8
N2O (Nitrous oxide) adalah obat anestesi
inhalasi yang mempunyai sifat-sifat:
kelarutan dalam darah dan jaringan
rendah dan tidak mengiritasi saluran
pernapasan sehingga ditoleransi baik
untuk induksi dengan masker. Pemberian
N2O
pada
saat
induksi
akan
menyebabkan peningkatan konsentrasi
alevolar dari suatu obat anestesi inhalasi,
oleh karena sifat second gas effect dan
concentration effect dari N2O, sehingga
pemberian N2O pada saat induksi anestesi
dapat mempercepat induksi anestesi.
Seorang penderita menerima 70%-75%
N2O, akan menyerap sampai 1000
ml/menit N2O saat fase awal induksi,
sehingga
menghasilkan
perubahan
signifikan pada laju penyerapan gas lain.
Seorang penderita menerima 10%-25%
N2O, akan menyerap hanya 150 ml/menit
N2O, hal ini tidak menghasilkan
29

Jurnal Anestesiologi Indonesia

perubahan
signifikan
penyerapan gas lain9,10,11.

pada

laju

N2O menurunkan koefisien partisi darah/


gas halotan dan isofluran, sehingga akan
mempercepat pengambilan halotan dan
isofluran12. Penelitian menggunakan
halotan dan isofluran13 dengan tehnik
single-breath
membuktikan
bahwa
pemberian N2O pada saat induksi
anestesi, akan mempercepat induksi
anestesi. Laporan-laporan penelitian
tentang pemberian N2O pada induksi
dengan sevofluran bersifat kontroversial.
Pada orang dewasa, pemberian N2O : O2 ;
2 : 1 pada induksi sevofluran 8% dengan
tehnik single-breath ternyata tidak
mempercepat induksi anestesi. Begitu
pula pada anak-anak, pemberian 66%
N2O pada induksi sevofluran 8% dengan
tehnik single-breath tidak mempercepat
induksi anestesi. 14,15,16
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka
kami akan meneliti pengaruh pemberian
50% N2O, 66 2/3% N2O dan O2 saja,
terhadap kecepatan induksi anestesi, pada
induksi anestesi dengan sevofluran 8%,
dengan tehnik single-breath vital
capacity induction.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mencari bukti obyektif pengaruh
pemberian 50% N2O, 66 2/3% N2O dan
O2 saja, terhadap kecepatan induksi
anestesi, pada induksi anestesi dengan
sevofluran 8%, tehnik single-breath vital
capacity induction.

30

METODE
Penelitian ini merupakan uji klinik tahap
2. Rancangan penelitian yang digunakan
adalah eksperimental sederhana (post test
only control group design) untuk variabel
waktu induksi dan eksperimental ulang
(pretest-posttest control group design)
untuk variabel tekanan darah, laju
jantung dan saturasi oksigen.
Populasi pada penelitian ini adalah
penderita yang menjalani operasi elektif
di Instalasi Bedah Sentral RSUP dr
Kariadi Semarang dengan anestesi
umum, ASA I-II, setelah penderita
terseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan
eksklusi. Pemilihan sampel dilakukan
dengan cara
consecutive random
sampling dimana setiap penderita yang
memenuhi kriteria dimasukkan dalam
sampel penelitian sampai jumlah yang
diperlukan terpenuhi.
Data dikumpulkan dan dicatat dalam
lembar khusus penelitian yang telah
disediakan serta diolah dengan komputer
menggunakan program SPSS dan
dinyatakan dalam rerata simpang baku
(mean SO) disertai kisaran (range). Uji
statistik dengan ANOVA, T Test dan Chi
Square, Two-Fail Significance, dan
derajat kemaknaan< 0,05. Penyajian
dalam bentuk tabel dan grafik.
Kriteria inklusi terdiri dari : Pasien RSUP
Dr. Kariadi yang akan menjalani operasi
elektif dengan anestesi umum, laki-laki
dan wanita, umur 16-40 tahun, BMI
(Body Mass Index) 20-25 kg/m2, dan
tanpa pemberian obat-obat premedikasi.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Kriteria eksklusi terdiri dari : kelainan


paru-paru, kelainan kardiovaskuler.
HASIL
Telah dilakukan penelitian terhadap 72
sampel yang terbagi menjadi 3 kelompok,
masing-masing kelompok dilakukan
induksi anestesi dengan sevofluran 8%
dengan tehnik single breath (aliran gas
segar sesuai dengan volume semenit),
dimana kelompok I (n = 24 ) diberikan
O2 murni, kelompok 11 (n=24) diberikan
50% N2O + 50% O2 dan kelompok III (n24) diberikan 66 2/3% N2O + 33 1/3%
O2. Penelitian ini membandingkan waktu
induksi anestesi antara kelompok I
dengan kelompok II, kelompok II dengan
kelompok III dan kelompok III dengan
kelompok I. Uji statistik dengan ANOVA
dan t-test, dengan uji kemaknaan
digunakan p dua ekor (two tail
significance), dengan derajat kemaknaan
p < 0,05.
Karakteristik penderita seperti umur,
jenis kelamin, berat badan, tinggi badan,
BMI (body mass index), TDSP (tekanan
darah sistolik premedikasi), TDDP
(tekanan darah diastolik premedikasi) ,
LJP (laju jantung premedikasi), LNP
(laju napas premedikasi) dan status ASA
penderita
pada
ketiga
kelompok
ditunjukkan pada tabel 1.

Kecepatan waktu induksi kelompok lebih


cepat dibandingkan dengan kelompok II
dan I. sedangkan kelompok II lebih cepat
dibandingkan kelompok I, tetapi secara
statistik menunjukkan berbeda tidak
bermakna di antara ketiga kelompok
tersebut (p=0,098). Berdasarkan uji
keorelasi, hubungan konsentrasi N2O
dengan waktu induksi menunjukkan
hubungan linier negative, dengan
koefisien korelasi = r = -0,553 (Tabel 2)
Karakteristik penderita pada ketiga
kelompok berdasarkan statistik berbeda
tidak bermakna (p > 0,05).
Kecepatan waktu induksi kelompok lebih
cepat dibandingkan dengan kelompok II
dan I. sedangkan kelompok II lebih cepat
dibandingkan kelompok I, tetapi secara
statistik menunjukkan berbeda tidak
bermakna di antara ketiga kelompok
tersebut (p=0,098). Berdasarkan uji
keorelasi, hubungan konsentrasi N2O
dengan waktu induksi menunjukkan
hubungan linier negative, dengan
koefisien korelasi = r = -0,553 (Tabel 2)
Grafik 1 menunjukkan waktu induksi
kelompok III lebih cepat dibanding
kelompok II dan kelompok I , serta
kelompok II lebih cepat dibanding
kelompok I, tetapi secara statistik
berbeda tidak bermakna.

Karakteristik penderita pada ketiga


kelompok berdasarkan statistik berbeda
tidak bermakna (p > 0,05).

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

31

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Karakteristik Penderita pada Kelompok I, II dan III.

Variabel

Kelompok I
(n = 24 )

Kelompok II
(n - 24)

kelompok III
(n = 24)

Umur (tahun)

26,79 6,79

27,58 7,29

26,04 6,86

0,747

Jenis kelamin

0,346*

laki-laki

11

10

11

perempuan

13

14

13

BB(kg)

55,79 7,19

58,71 5,52

57,25 5,67

0,269

TB (cm)

160,7117,36

163,215,09

161,63 5,62

0,362

BM1 (kg/m2)

21,55 1,26

21,751,32

22,08 1,45

0,400

TDSP (mmHg)

122,29 5,71

122,085,50

12 1,88 7,04

0,973

TDDP (mmHg)

76,88 4,62

75,634,73

76,67 4,58

0,610

LJP (x/memt)

85,79 + 6,04

84,637,11

85,00 6,23

0,817

LNP (x/menit)

14, 13 1,45

14,641,33

14,00 1,29

0.949

FGF (L/memt)

7,83 0,76

8, 17 0,82

8,000,82

0,378

ASA

0.949*

18

19

18

II

Keterangan : BB = berat badan, TB = tinggi badan , BMI = body mass index, TDSP=tekanan darah sistolik
premedikasi, TDDP = tekanan darah diastolik premedikasi, LJP=laju jantung premedikasi dan LNP = laju
napas premedikasi, FGF =fress gas flow.Uji statistik dengan ANOVA dan Chi square* .

Tabel 2. Waktu Induksi Anestesi pada Kelompok I, II, dan III.


Variabel

Kelompok I

Kelompok II

Kelompok III

P*

WI

27,214,71

24,964,14

24,813,85

0,098

Keterangan : WI = berlaku induksi (dalam detik), p* =uji statistik dengan ANOVA

32

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Pada ketiga kelompok terjadi penurunan


tekanan darah sistolik, tekanan darah
distolik, tekanan arteri rerata dan laju
jantung sesudah induksi dibandingkan
dengan
sebelum
induksi,
tetapi
perbandingan uji statistik antara ketiga

kelompok menunjukkan berbeda tidak


bermakna (p>0,05), begitu pula pada
masing-masing
kelompok
juga
menunjukkan berbeda tidak bermakna (p
0,05).(Tabel3)

WAKTU INDUKSI
30
25
20
15
10
5

waktu induksi

Kel. I

Kel.II

Kel.III

Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 1 menunjukkan waktu induksi kelompok III lebih cepat dibanding kelompok II dan kelompok I , serta
kelompok II lebih cepat dibanding kelompok I, tetapi secara statistik berbeda tidak bermakna.

TEKANAN DARAH SISTOLIK


128
126
124
Series 1
122

Series 2

120
118
Kel. I

Kel.II

Kel.III

Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 2. Tekanan Darah Sistolik Sebelum dan Sesudah Induksi pada Kelompok I, II dan III.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

33

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 3. Tekanan Darah Sistolik,Tekanan Darah Diastolik, Tekanan arteri Rerata dan Laju jantung Sebelum
dan Sesudah Induksi pada Kelompok I, II dan III..
Variabel

kelompok. I

kelompok. II

kelompok III

p*

-Sebelum induksi

124,92 6,95

124,71 7,39

124,83 7,09

0,995

-Setelah induksi

123,42 4,49

123, 13 4,70

122,38 5,27

0,636

0,382

0,089

0,115

-Sebelum induksi

78,29 5,42

78,04 6,05

78,33 + 5,91

0,982

-Setelah induksi

77,174,10

76,67 3,51

76,96 4,58

0,914

0,444

0,258

0,207

-Sebelum induksi

92,42 5,69

92,25 6,32

92,50 + 6,17

0,989

-Setelah induksi

91,29 4,19

90,46 3,49

90,75 4,59

0,777

0,460

0,156

0,134

-Sebelum induksi

86,04 6,96

86,38 5,24

86,29 + 4,80

0,978

-Setelah induksi

84,67 9,41

83,46 6,98

83,29 8,46

0,824

0,615

0,179

0,208

TDS :

P'
TDD:

P'
TAR:

P'
LJ

P'

Keterangan : TDS = tekanan darah sistolik, TDD = tekanan darah diastolik, TAR = tekanan arteri rerata, : LJ
= Laju jantung, p* = uji statistik denganANOVA, p' = uji statistik dengan / test

Grafik 2 menunjukkan penurunan takanan darah sistolik antara sebelum dan sesudah
induksi pada masing-masing kelompok dan antara ketiga kelompok, tetapi secara statistik
berbeda tidak bermakna

34

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

TEKANAN DARAH DIASTOLIK


80

78
76

Sebelum Induksi
Setelah Induksi

74

72
Kel.I

Kel.II

Kel.III

Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 3. Tekanan Darah Diaslotik Sebelum dan sesudah induksi pada Kelompok I,II, dan III.

Grafik 3 menunjukkan penurunan


tekanan darah diastolik antara sebelum
dan sesudah induksi pada masing-masing

kelompok dan di antara ketiga kelompok,


tetapi secara statistik berbeda tidak
bermakana.

TEKANAN ARTERI RERATA


94
92
90

Sebelum Induksi
Setelah Induksi

88
86
Kel.I

Kel.II

Kel.III

Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 4. Tekanan Arteri Rerata Sebelum dan Sesudah Induksi Pada Kel. I, II, dan III.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

35

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Grafik 4
menunjukkan
penurunan
takanan arteri rerata antara sebelum dan
sesudah induksi pada masing-masing

kelompok dan antara ketiga kelompok,


tetapi secara statistik berbeda tidak
bemakna.

LAJU JANTUNG
90
88
86
Sebelum Induksi
84

Setelah Induksi

82
80
Kel.I

Kel.II

Kel.III

Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 5. Laju jantung Sebelum dan Sesudah Induksi pada Kelompok I. II dan III.

Grafik 5 menunjukkan penurunan laju


jantung antara sebelum dan sesudah
induksi pada masing-masing kelompok
dan antara ketiga kelompok, tetapi secara
statistik berbeda tidak bemakna.
Perubahan
sebelum

saturasi oksigen
antara
dan
sesudah
induksi,

berdasarkan perbandingan uji statistik


antara ketiga kelompok menunjukkan
berbeda tidak bennakna (p > 0,05),
begitu
pula
pada
masing-masing
kelompok juga menunjukkan berbeda
tidak bemakna (p > 0,05). (tabel 4)

Tabel 4. Saturasi Oksigen Sebelum dan Sesudah Induksi pada Kelompok I, II dan III.
Variabel

kelompok. I

kelompok. II

kelompok III

P*

-Sebelum induksi

99,29 0,62

99,25 0,79

99,29 0,69

0,973

-Setelah induksi

99,42 0,58

99,33 0,64

99,17 0,56

0,340

0,450

0,604

0,417

Sa02

P'

Keterangan : SaO2 = saturasi oksigen, p* = uji statistik dengan v4M9K4, p' = uji statistik dengan t test

36

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

SATURASI OKSIGEN
100

99

98

Sebelum Induksi
Setelah Induksi

97

96
Kel.I

Kel.II

Kel.III

Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 6. Saturasi Oksigen Sebelum dan Sesudah Induksi pada Kelompok I, II dan III.

Grafik 6 menunjukkan perubahan saturasi


oksigen antara sebelum dan sesudah
induksi pada masing-masing kelompok
dan antara ketiga kelompok, tetapi secara
statistik berbeda tidak bermakna.
Komplikasi
induksi
anestesi
menunjukkan hasil berbeda tidak
bermakna antara ketiga kelompok (p =
0,259). Komplikasi yang timbul adalah
batuk, yaitu , 3 orang pada kelompok
yang diberikan O2, 1 orang pada
kelompok yang diberikan 50% N2O +
50% 02 dan 1 orang pada kelompok
diberikan 66 2/3% N2O + 33 1/3% O2.
PEMBAHASAN
Karakteristik sampel seperti umur jenis
kelamin, berat badan, tinggi badan BMI
(Bodv Mass Index), tekanan darah sistolik
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

premedikasi, tekanan darah diastolik


premedikasi laju jantung premedikasi laju
napas premedikasi dan status ASA
berdasarkan uji statistik berbeda tidak
bermakna , sehingga ketiga kelompok
cukup
homogen
dan
layak
diperbandingkan.
Induksi Anestesi
adalah peralihan
dari keadaan
sadar
dengan reflek
perlindungan masih utuh sampai dengan
hilangnya kesadaran (ditandai dengan
hilangnya reflek bulu mata)
akibat
17,18
pemberian obat-obat anestesi
Pada
Penelitian
ini
induksi
anestesi
menggunakan sevofluran 8% dengan
tehnik
single breath vital capacity
induction, yaitu sampel diberikan
sevofluran konsentrasi tinggi ( 8%) dan
setelah napas dalam (sesuai dengan vital
37

Jurnal Anestesiologi Indonesia

capacity, kira-kira 20 detik), hal ini akan


menyebabkan konsentrasi sevofluran di
alveoli
menjadi
lebih
tinggi,
dibandingkan
bila
sampel
mengeluarkan
napasnya
lagi.
Konsentrasi sevofluran di alveoli yang
tinggi , menyebabkan konsentrasi obat
dalam darah juga makin tinggi, sehingga
akan mempercepat waktu induksi
anestesi5,6,7,8. Waktu induksi anestesi juga
akan dipercepat dengan pemberian N2O,
oleh karena sifat second gas effect dan
concentration effect19,20.
Waktu induksi pada kelompok yang
diberikan N2O (kelompok 50% N2O =
24,96 4,14
detik dan kelompok 66
2/3% N2O = 24,81 3,85 detik) lebih
cepat dibandingkan kelompok tanpa
pemberian N2O (kelompok O2 saja
=.27,20 4,71 detik ) dan makin besar
konsentrasi N2O yang diberikan akan
makin mempercepat
waktu induksi
(kelompok 66 2/3% N2O - 24,81 3,85
detik, sedangkan kelompok 50% N2O =
24,96 4,14
detik), tetapi berdasarkan
uji statistik didapatkan hasil berbeda
tidak bermakna sehingga pemberian N2O
pada induksi anestesi dengan sevofluran
8% dengan tehnik single breath tidak
mempercepat induksi anestesi dan
semakin besar konsentrasi N20 tidak
semakin mempercepat induksi anestesi.
Hasil ini sama dengan penelitianpenelitian induksi sevofluran 8% dengan
tehnik single breath yang dilakukan oleh
Yurino dan Kimura (kelompok N2O : O2
(2 :1) = 41 16 detik sedangkan
kelompok tanpa N20 = 48+16 detik),
Ross dkk (kelompok 66 % N2O = 34
12 detik sedangkan kelompok tanpa
38

N2O = 38 8 detik ) dan penelitian


Tatang Bisri pada wanita hamil
(kelompok 60% N2O = 24,25 detik
sedangkan kelompok tanpa N2O = 25,08
detik), di mana penelitian-penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa pemberian
N2O pada induksi anestesi dengan
sevofluran 8% dengan tehnik single
breath tidak mempercepat induksi
anestesi (berbeda tidak bermakna)2,4,14.21.
Penelitian lain menyimpulkan bahwa
N2O tidak potensiasi dengan sevofluran
tetapi potensiasi dengan halotan dan
isofluran (Lerman dkk), serta pemberian
N2O akan menurunkan koefisien partisi
darah/gas halotan dan isofluran. (Gou
dkk)2,12,21. Penelitian induksi anestesi
menggunakan halotan dan isoflurane
membuktikan bahwa pemberian N2O
akan mempercepat induksi anestesi
secara bermakna13,14,22.
Kecepatan induksi anestesi antara lain
dipengaruhi oleh konsentrasi zat anestesi
dan pemindahan zat anestesi dari alveoli
ke darah. Pemindahan zat anestesi dari
alveoli ke darah dipengaruhi oleh
koefisien partisi darah/gas dan aliran
darah5,6. Pada penelitian ini digunakan
sevofluran konsentrasi tinggi yaitu 8%
dan sevofluran sendiri mempunyai
koefisien partisi darah/gas 0,63 , sedikit
lebih tinggi dibanding N2O (0,47) tetapi
lebih rendah dibanding halotan, isofluran
(1,4) dan enfluran (1,91), sehingga
menyebabkan
induksi
anestesi
berlangsung dengan cepat. Konsentrasi
sevofluran yang tinggi dan koefisien
partisi darah/gas yang rendah tersebut
seakan-akan menutup efek N2O (second
gas effect dan concentration effect),
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

sehingga N2O tidak dapat bekerja


optimal untuk mempercepat peningkatan
konsentrasi sevofluran di alveoli dan
darah.. Hal tersebut mungkin yang
menyebabkan mengapa pemberian N2O
tidak mempercepat induksi anestesi
dengan
sevofluarne7,14,23
Meskipun
pemberian N2O tidak mempercepat
induksi sevofluran, tetapi berdasarkan uji
korelasi, terayata hubungan konsentrasi
N2O dengan waktu induksi menunjukkan
hubungan linier negatif (koefisisen
korelasi r = - 0, 553) , berarti terdapat
kecenderungan makin tinggi konsentrasi
N20 yang diberikan ,maka akan makin
mempercepat waktu induksi anestesi
sevofluran.
Penelitian ini menunjukkan
bahwa
sevofluran dapat menjamin stabilitas
kardiovaskuler. Ini terlihat dan hasil
pengukuran tekanan darah (sistolik dan
diastolik), tekanan arteri rerata dan laju
jantung menunjukkan perubahan berbeda
tidak bermakna antara keadaan sebelum
dengan setelah induksi pada masingmasing kelompok dan antara ketiga
kelompok.
Penelitian-penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa induksi
sevofluran 8% dengan tehnik single
breath
memberikan
kestabilan
4,7,14,24
hemodinamik yang baik
dan
pemberian N2O akan menyebabkan efek
klinis yang signifikan terhadap tekanan
darah dan laju jantung apabila diberikan
lebih 80% 24. Penurunan tekanan darah
(sistolik dan diastolik), tekanan arteri
rerata dan laju jantung yang terjadi
diakibatkan
pemberian
sevofluran
konsentrasi tinggi yaitu 8% sehingga efek
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

terhadap kardiovaskuler akan makin


besar , tetapi konsentrasi sevofluran yang
tinggi ini dibutuhkan hanya untuk
menidurkan pasien sampai hilangnya
reflek bulu mata.Penelitian terdahulu
menyimpulkan
bahwa
pemberian
sevofluran 4% dan sevofluran 8%
mempunyai pengaruh penurunan tekanan
darah dan laju jantung yang sama pada
saat reflek bulu mata negatif, yang
berbeda adalah waktu induksinya24,25
Perubahan saturasi oksigen menunjukkan
hasil berbeda tidak bermakna antara
ketiga kelompok dan antara sebelum
dengan sesudah induksi pada masingmasing kelompok. Sehingga penambahan
N2O sampai konsentrasi 662/3% tidak
mempengaruhi saturasi oksigen pada saat
induksi anestesi. Hal ini mungkin
disebabkan
oleh
waktu
induksi
sevofluran yang cepat dan oksigenasi
sebelum induksi cukup efektif untuk
meningkatkan cadangan oksigen(4,7,14).
Komplikasi induksi anestesi pada
masing-masing kelompok adalah minimal
dan menunjukkan hasil berbeda tidak
bermakna. Komplikasi yang terjadi
adalah batuk, yaitu 3 orang pada
kelompok 02 , 1 orang pada kelompok
50% N2O dan 1 orang pada kelompok 66
2/3% N2O. Hal ini mungkin disebabkan
oleh karena sifat-sifat sevofluran dan
N2O, yaitu iritasi jalan napas minimal dan
koefisien partisi darah/ gas yang rendah,
sehingga induksi berjalan mulus dan
cepat. Kelompok yang diberikan N2O,
komplikasi
induksi
lebih
sedikit
dibandingkan tanpa N2O. Hal ini
39

Jurnal Anestesiologi Indonesia

disebabkan pemberian N2O akan


menyebabkan sedasi ringan (mulai 25%)
dan peningkatan konsentrasi akan
menyebabkan
penurunan
sensasi
perasaan khusus misalnya bau sehingga
mengurangi komplikasi induksi. 4,7,14,26.

SIMPULAN
Pemberian N2O pada induksi anestesi
dengan sevofluran 8% dengan tehnik
single breath , tidak mempercepat waktu
induksi anestesi. Induksi anestesi dengan
sevofluran 8% dengan atau tanpa N2O ,
dengan
tehnik
single
breath
menunjukkan gejolak kardiovaskuler
yang minimal (tekanan darah, tekanan
arteri rerata dan laju jantung). Induksi
anestesi dengan sevofluran 8% dengan
atau tanpa N2O ,dengan tehnik single
breath berjalan lancar tanpa komplikasi
yang berarti.
Perlu dilakukan penelitian dengan jumlah
sampel yang lebih besar dan bervariasi
sehingga akan dapat diketahui dengan
tepat pengaruh Nitrous oxide terhadap
kecepatan induksi anestesi dengan
sevofluran. Perlu dilakukan penelitian
tentang pengaruh pemberian Nitrous
oxide pada induksi anestesi, dengan
menggunakan obat anestesi inhalasi yang
mempunyai koefisien partisi darah/ gas
sama atau lebih rendah dari Nitrous
oxide, sehingga dapat diketahui apakah
second gas effect dan concentration effect
dari Nitrous oxide masih dapat berefek
maksimal atau tidak.

40

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Bisri T. Konsep VIMA dengan


sevofluran. Bandung, 1998 : 2-22
Bisri T. Sevofluran untuk VIMA pada
pediatnk anestesi. Dalam : Kumpulan
Makalah Simposium Anestesi Pediatrik.
Bandung : Bagian Anestesiologi FK
Unpad / RSUP dr. Hasan Sadikin dan
IDSAI Jawa Barat, 1998.
Rushman GB, Davies NJH, Cashyman
JN.
Administration
of
Volatile
anaesthetics and gases. In A Synopsis of
Anesthesia.
12th
ed.
Oxford
:
Butterworth Co, 1999 ; 152-63.
Agnor RC, Sikich NB, Leman J. Singlebreath vital capacity rapid inhalation
induction in children : 8% sevofluran
versus 5% halothane. Anesthesiology
1998 ; 89 : 379 - 84.
Handoko T. Anestetik umum. Dalam :
Gan S, penyunting. Farmakologi dan
Terapi. Edisi III. Jakarta : Bagian
Farmakologi FK. UI, 1987 ; 103 - 15.
Joenoerham J, Latif SA. Anestesia
Umum. Dalam : Muhiman M, Sunatrio,
Dahlan R, penyunting. Anestesiologi.
Jakarta : CV Infomedia, 1989 ; 80- 1.
Yurino M, Kimura H. Induction of
anesthesia with sevofluran, Nitrous
oxide and Oxygen : A Comparison of
spontaneus ventilation and vital capacity
rapid inhalation induction tehniques.
Anesthesia and Analgesia 1993 ; 76 :
598 - 601.
Nishiyama T, Aibiki M, Hanaoka K.
Haemodynamic
and
catecholamin
changes
during rapid sevofluran
induction with tidal volume breathing.
Canadian Journal of Anesthesia 1997;
44: 1066-1070.
Baswell MV, Collins VJ. Pharmacology
of Inorganic Gas Anesthetics. In :
Collins VJ, ed. Physiologic and
Pharmacologic Bases of Anesthesia.
Chicago : Willim and Wilkins, 1996;
712-23.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

10. Morgan E, Mikhael M. Inhalational


Anesthetics.
In
:
Clinical
st
Anesthesiology. 1 ed Connecticut:
Prentice-Hall International Inc, 1992 ;
105 - 07.
11. Korman
W,
Maplesson
WW.
Concentration and second gas effect :
can the accepted explanation be
improved ? British Journal of
Anaesthesia 1997 ; 78 : 618 - 625.
12. Gou M, Alex M, Rolf L. Nitrous oxide
decrease solubility of Halotan and
isoflurane in blood. Anesthesia and
Analgesia 1993 ; 77 : 761 5.
13. Lambert J. Single-breath induction of
anesthesia with isoflurane. Br J Anaesth
1987 ; 59 : 1214- 18.
14. Yurino M, Kimura H. Comparison of
induction time and characteristics
between sevofluran and sevofluran /
nitrous oxide. Anaesthesiology 1995 ; 39
: 356 - 8.
15. Smith I, Nathanson HM, White PF.
Sevofluran - a long-awaited volatile
anaesthetic.
British
Journal
of
Anaesthesia 1996 ; 76 : 435 - 45.
16. Cousins M, Seaton H. Volatile
anaesthetic agents and their delivery
systems. In : Healy T, Cohen PJ, eds. A
Practise of Anaesthesia 6lh ed. London :
Edward Arnold, 1995 ; 117 -119.
17. Baswell MV, Collins VJ. Fluorinated
Ether Anesthetic. In : Collins VJ, ed.
Physiologic and Pharmacologic Bases of
Anesthesia. Chicago : William and
Wikins, 1996 ; 700 - 3.
18. Lennon P. Intravenous and Inhalation
Anesthetic. In : Davison KJ, Eckhardt

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

19.
20.

21.

22.

23.
24.

25.

26.

WF, Perese DA, eds. Clinical Anesthesia


Procedures of the Masachusetts General
Hospital. 4th ed. Boston : Little, Brown
and Company, 1993 ; 143 - 50.
Guyton AC. Fisiologi Kedokteran. Edisi
5. Jakarta : EGC, 1983 : 6 - 8.
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi :
Konsep klinis proses-proses penyakit.
Cetakan I. Jakarta: EGC, 1995 : 667 -77.
Colins VJ. Anatomical aspects of
respiration. In : Physiologic and
Pharmacologic Bases of Anesthesia.
Chicago : Williams and Wilkins, 1996 ;
2 - 12.
Haloday DA. Elimination of inhalation
anesthetics. In : Collins VJ, ed.
Physiologic and Pharmacologic Bases of
Anesthesia. Chicago : Williams and
Wilkins, 1996 ; 730.
Bisri, T. Neuroanestesi. Edisi 1.
Bandung 1996 : 1 - 15.
Walpole R, Logan M. Effect of
sevofluran concentration on inhalation
induction of anaesthesia in the elderly.
British Journal of Anaesthesia 1999 ; 82
: 2 - 24.
Baum VC, Yemen TA. Immediate 8%
sevofluran induction in children : A
Comparison with incremental sevofluran
anf incremental halothane. Anaethesia
and analgesia 1997 ; 85:313-16.
Philip BK, Lombard LL, Roaf ER.
Comparison of vital capacity induction
with sevofluran to intravenous with
propofol for adult ambulatory anesthesia.
Anesthesi and analgesia, 1999 ; 89 : 623

7.

41

Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA

Pengaruh Anestesi Epidural Terhadap Supresi Imun Yang Diinduksi Stres


Operasi Selama Pembedahan
Ifar Irianto Yudhowibowo*, Doso Sutiyono*, Yulia Wahyu Villyastuti*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Major surgery associated with dysfunction of the innate immune system. More recently,
demonstrated that the stress of surgery can rapidly induce a temporary reduction of the
blood response to endotoxin from 2 hours after incision and that plasma IL-10 increased
during surgery, contributes to reducing the response.
It has been reported that epidural anesthesia has beneficial effects on immune reactions
and response to the stress of surgery. Some researchers have reported that epidural
anesthesia maintains NK cell activity and reduced stress response in patients undergoing
hysterectomy. Epidural block from T4 to S5 dermatomal segments, starting before surgery,
to prevent an increase in cortisol and glucose concentrations in the hysterectomy.
Regional anesthesia techniques for major surgery may reduce the release of cortisol,
adrenaline (epinephrine) and other hormones, but has little effect on the cytokine response.
Recent studies (Kawasaki et al., 2007) suggests that the innate immune system, such as
phagocytosis, suppressed by the stress of surgery and that epidural anesthesia did not
prevent this decline in immune responsiveness during upper abdominal surgery
ABSTRAK
Operasi besar berhubungan dengan disfungsi sistem kekebalan tubuh bawaan. Baru-baru
ini, dibuktikan bahwa stres akibat pembedahan dapat dengan cepat menginduksi
penurunan respon sementara dari darah terhadap endotoksin sejak 2 jam setelah insisi
dan bahwa IL-10 plasmayang meningkat selama pembedahan, berperan dalam penurunan
respon ini.
Telah dilaporkan bahwa anestesi epidural memiliki efek menguntungkan pada reaksi
imunitas dan respon terhadap stres akibat pembedahan. Beberapa peneliti telah
melaporkan bahwa anestesi epidural mempertahankan aktivitas sel NK dan mengurangi
respon stres pada pasien yang menjalani histerektomi. Blok epidural dari segmen
dermatom T4 sampai S5, dimulai sebelum pembedahan, mencegah peningkatan
konsentrasi kortisol dan glukosa pada histerektomi. Teknik anestesi regional untuk operasi
besar dapat mengurangi pelepasan kortisol, adrenalin (epinefrin) dan hormon lain, namun
memiliki pengaruh kecil pada respon sitokin.

42

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Penelitian terbaru (kawasaki et al.,2007) menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh


bawaan, misalnya fagositosis, ditekan oleh stres akibat pembedahan dan bahwa
anestesi epidural tidak mampu mencegah penurunan respon kekebalan tubuh ini selama
operasi perut bagian atas.

PENDAHULUAN
Banyak peneliti telah melaporkan bahwa
stres
akibat
pembedahan
dapat
menginduksi imunosupresi. Operasi besar
berhubungan dengan disfungsi sistem
kekebalan tubuh bawaan. Baru-baru ini,
dibuktikan
bahwa stres akibat
pembedahan
dapat
dengan
cepat
menginduksi penurunan respon sementara
dari darah terhadap endotoksin sejak 2
jam setelah insisi dan bahwa IL-10 plasma
yang meningkat selama pembedahan,
berperan dalam penurunan respon ini.
Penurunan ini meningkatkan risiko
terjadinya komplikasi paska operasi,
seperti SIRS (systemic inflammatory
response
syndrome),
sepsis,
dan
kegagalan multi organ.
Telah dilaporkan bahwa anestesi epidural
memiliki efek menguntungkan pada reaksi
imunitas dan respon terhadap stres akibat
pembedahan. Beberapa peneliti telah
melaporkan bahwa anestesi epidural
mempertahankan aktivitas sel NK dan
mengurangi respon stres pada pasien yang
menjalani histerektomi. Blok saraf
simpatis yang disebabkan oleh anestesi
epidural dapat mengurangi respon stres
akibat pembedahan dari katekolamin dan
kortisol plasma serta meningkatkan
beberapa
respon
imun,
seperti
sitotoksisitas sel Natural Killer (NK) pada
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

pasien yang menjalani pembedahan perut


bagian bawah. Namun demikian, beberapa
peneliti telah melaporkan bahwa anestesi
epidural tidak berefek terhadap stres
operasi pada pasien yang menjalani
pembedahan perut bagian atas.

RESPON IMUN TERHADAP STRES


OPERASI
Sitokin memiliki peran utama dalam
respon inflamasi terhadap pembedahan,
trauma dan mekanisme nyeri. Sitokin
memiliki efek lokal menjadi mediator dan
mempertahankan respon inflamasi pada
jaringan yang cedera, dan juga memacu
terjadinya beberapa perubahan sistemik.
Setelah operasi besar, sitokin utama yang
diproduksi adalah interleukin-1 (IL-1),
tumor necrosing factor (TNF-) dan
interleukin-6 (IL-6). IL-6 adalah sitokin
utama yang bertanggung jawabuntuk
menginduksi perubahan sistemik yang
dikenal sebagai respon fase akut.1,2,3,4
Dalam 30-60 menit setelah pembedahan
dimulai,
konsentrasi
IL-6
mulai
meningkat; perubahan konsentrasinya
menjadi signifikan setelah 2-4 jam.
Produksi sitokin mencerminkan tingkat
kerusakan jaringan, sehingga prosedur
dengan tingkat invasif dan traumatis
minimal dapat menyebabkan pelepasan
43

Jurnal Anestesiologi Indonesia

sitokin paling sedikit, misalnya bedah


laparoskopi. Peningkatan IL-6 terbesar
terjadi setelah operasi besar seperti
operasi penggantian sendi, operasi
pembuluh darah utama dan operasi
kolorektal. Setelah operasi ini, konsentrasi
sitokin mencapai tingkat maksimal setelah
24 jam dan tetap tinggi sampai 48-72 jam
setelah operasi (Sheeran dan Hall, 1997).5
Tabel 1. Jenis jenis sitokin pada inflamasi akut.
SITOKIN
YANG
INFLAMASI AKUT

TERLIBAT

DALAM

Sitokin

Aksi

TNF-

Pro-inflamasi; pelepasan leukosit


olehsumsum tulang; aktivasi leukosit
dansel endotel

IL-1

Demam; aktivasi sel T dan makrofag

IL-6

Pertumbuhan
dan
diferensiasi
limfosit;aktivasi respon protein faseakut

IL-8

Kemotaksis untuk neutrofil dan sel T

IL-10

Menghambat fungsi kekebalan tubuh

(TNF = tumor necrosis factor; IL = interleukin)

SUPRESI IMUN YANG DIINDUKSI


STRES OPERASI
Banyak peneliti telah melaporkan bahwa
stres
akibat
pembedahan
dapat
menginduksi imunosupresi. Operasi besar
berhubungan dengan disfungsi sistem
kekebalan tubuh bawaan. Baru-baru ini,
dibuktikan
bahwa stres akibat
pembedahan
dapat
dengan
cepat
menginduksi penurunan respon sementara
dari darah terhadap endotoksin sejak 2

44

jam setelah insisi dan bahwa IL-10


plasmayang
meningkat
selama
pembedahan, berperan dalam penurunan
respon ini.6
Berdasarkan hasil penelitian (kawasaki et
al,2007) terhadap 20 pasien yang
menjalani operasi gastrektomi parsial
didapatkan: Aktivitas fagositosis neutrofil
menurun secara signifikan 2 jam setelah
operasi dimulai dan pulih ke tingkat praoperasi pada hari keempat paska operasi,
konsentrasi IL-10 plasma meningkat
secara signifikan2 jamsetelah operasi
dimulai dan mencapai puncaknyapada
akhiroperasi, konsentrasi IL-10 kembali
ke tingkat pra-operasi pada hari keempat
paska operasi; produksi TNF- menurun
secara signifikan 2 jam setelah operasi
dimulai dan mencapai nilai minimum
pada akhir operasi. Produksi TNF- yang
diinduksi-LPS pulih ke tingkat pra-operasi
pada hari pertama paska operasi.6

PENGARUH ANESTESI EPIDURAL


TERHADAP SUPRESI IMUN YANG
DIINDUKSI STRES OPERASI
Telah dilaporkan bahwa anestesi epidural
memiliki efek menguntungkan pada reaksi
imunitas dan respon terhadap stres akibat
pembedahan.6,7,8 Beberapa peneliti telah
melaporkan bahwa anestesi epidural
mempertahankan aktivitas sel NK dan
mengurangi respon stres pada pasien yang
menjalani histerektomi.9 Blok epidural
dari segmen dermatom T4 sampai S5,
dimulai sebelum pembedahan, mencegah
peningkatan konsentrasi kortisol dan
glukosa pada histerektomi.10 Teknik
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

anestesi regional untuk operasi besar


dapat mengurangi pelepasan kortisol,
adrenalin (epinefrin) dan hormon lain,
namun memiliki pengaruh kecil pada
respon sitokin.3
Anestesi lokal dapat mengurangi respon
inflamasi pascaoperasi melalui dua cara:
memblokir
transmisi
sarafpada
lokasikerusakan jaringan dan mengurangi
inflamasi neurogenik (Coderre et al,
1993); anestesi lokal juga memiliki sifat
anti-inflamasi sistemik sendiri (Hollmann
danDurieux, 2000).Tampaknya hanya
teknik anestesi regional saja yang dapat
menurunkan respon stres jangka panjang.2
Terdapat perbedaan produksi IL-6 yang
signifikan antara pasien yang mendapat
analgetik terkontrol (patient controlled
analgesia-PCA), pasien yang mendapat
analgetik epidural terkontrol (patientcontrolled epidural analgesia-PCEA) dan
pasien yang mendapat rejimen opiat
intermiten(intermittent
opioates-IOR)
selama 72 jam. Kadar IL-6tidak terlalu
meningkat pada kelompok PCEA, hampir
kembali ke nilai preoperatif setelah 72
jam. Sebaliknya, IL-6 paling banyak
meningkat pada kelompok IOR dan masih
meningkat setelah 72 jam, sedangkan
kadar IL-6 di kelompok PCA naik secara
intermediet (Beilin et al., 2003).2,11
Hole dkk,Menunjukkan bahwa fungsi
limfosit dan monositakan tersupresi di
bawah anestesi umum, namun bisa
dipertahankan di bawah anestesi epidural
pada pasien yang menjalani penggantian
panggul total. Selain itu, mereka juga
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

menunjukkan bahwa anestesi epidural


menekan peningkatan konsentrasi kortisol
serum selama pembedahan.Sebaliknya,
pada pasien yang menjalani operasi perut
bagian atas, ada beberapa laporan bahwa
anestesi epidural tidak memperbaiki
penekanan sistem imun atau respon
terhadap stres. Tonnesen dkk, Melaporkan
bahwa aktivitas sel NK selama operasi
perut bagian atas menurun secara
signifikan selama anestesi umum dan
anestesi umum yang digabung dengan
anestesi epidural.6
Penelitian terbaru (kawasaki et al.,2007)
menunjukkan bahwa sistem kekebalan
tubuh bawaan, misalnya fagositosis,
ditekan oleh stres akibat pembedahan dan
bahwa anestesi epidural tidak mampu
mencegah penurunan respon kekebalan
tubuh ini selama operasi perut bagian
atas.6

RINGKASAN
Operasi besar berhubungan dengan
disfungsi sistem kekebalan tubuh bawaan.
Baru-baru ini, dibuktikan bahwa stres
akibat pembedahan dapat dengan cepat
menginduksi penurunan respon sementara
dari darah terhadap endotoksin sejak 2
jam setelah insisi dan bahwa IL-10
plasmayang
meningkat
selama
pembedahan, berperan dalam penurunan
respon ini.
Telah dilaporkan bahwa anestesi epidural
memiliki efek menguntungkan pada reaksi
imunitas dan respon terhadap stres akibat
45

Jurnal Anestesiologi Indonesia

pembedahan.Beberapa
peneliti
telah
melaporkan bahwa anestesi epidural
mempertahankan aktivitas sel NK dan
mengurangi respon stres pada pasien yang
menjalani histerektomi. Blok epidural dari
segmen dermatom T4 sampai S5, dimulai
sebelum
pembedahan,
mencegah
peningkatan konsentrasi kortisol dan
glukosa pada histerektomi. Teknik
anestesi regional untuk operasi besar
dapat mengurangi pelepasan kortisol,
adrenalin (epinefrin) dan hormon lain,
namun memiliki pengaruh kecil pada
respon sitokin.
Penelitian terbaru (kawasaki et al.,2007)
menunjukkan bahwa sistem kekebalan
tubuh bawaan, misalnya fagositosis,
ditekan oleh stres akibat pembedahan dan
bahwa anestesi epidural tidak mampu
mencegah penurunan respon kekebalan
tubuh ini selama operasi perut bagian atas.

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

Choileain N N, Redmond H P. Cell response to


surgery [homepage on the Internet]. c2006
[cited 2010 Okt 5]. Avalaible from:
http://archsurg.ama-assn.org/cgi/reprint/
141/11/1132.pdf
Goluovska I, Vanags I. Anaesthesia and stress
response to surgery [homepage on the Internet].
c2008 [cited 2010 Okt 26]. Available from:
http://versita.metapress.com/content/17101800
28u232l2/fulltext.pdf
Walsh T S. The metabolic response to injury
[homepage on the Internet]. c2007 [cited 2010
Sep 26]. Available from:
http://www.medicaltextbooksrevealed.com/file
s/11217-53.pdf

4. Kato M, Honda I, Hitoshi Suzuki H, Murakami


M, Matsukawa S, Hashimoto Y. Interleukin-10

46

5.

6.

production during and after upper abdominal


surgery [homepage on the Internet]. c2005
[update 2005 Okt 21; cited 2010 Jan 26].
Available from:
http://xa.yimg.com/kq/groups/1864568/287187
149/name/Interleukin10+Production.pdf
Hermawan A G. Sitokin yang berperan dalam
SIRS dan sepsis. SIRS, sepsis dansyok septik.
Surakarta: UNS press, 2008; 23.
Kawasaki T, Ogata M, Kawasaki C, Okamoto
K, Sata T. Effects of epidural anaesthesia on
surgical stress-induced immunosuppression
during upper abdominal surgery [homepage on
the Internet]. c2006 [update 2007 Jan 11; cited
2010 Sep 26]. Available from:
http://bja.oxfordjournals.org/content/98/2/196.f
ull.pdf

7.

Sendasgupta C, Makhija N, Kiran U,


Choudhary S K, Lakshmy R, Das S N. Caudal
epidural sufentanil and bupivacaine decreases
stress response in paediatric cardiac surgery
[homepage on the Internet]. c2008 [update
2010 Apr 6; cited 2010 Sep 26]. Available
from:
http://www.anestesiadolor.org/repositorio/Anes
tesia-en-pediatria/regional/Sufentabupi%20caudal%20en%20ninos.pdf
8. Willmore DW, Kehlet H. Management of
patients in fast track surgerty {homepage on
the Internet}.c2001{cited 2010 Sep 26}.
Available from ;
http://www.bmj/content/322/7284/473.full.pdf.
9. Gottschalk A, Ford J G, Regelin C C, You J,
Mascha E J, Sessler D I, et al. Association
between epidural analgesia and cancer
recurrence after colorectal cancer surgery
{homepage on the internet}.c2010{cited 2010
Sep 26}. Available from :
http://www.mendeley.com/reserch/associationbetween-epidural-analgesia-and-cancerrecurrence-after-colorectal-cancer-surgery/
10. Desborogh J P. The stress response to trauma
and surgery {Homepage on the Internet}.c2000
{cited 2010 Sept}. Available from :
http://bja.oxfordjournals.org/content/85/1/109.f
ull.pdf.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

11. Yokoyama M, Itano Y, Katayama H,


Morimatsu H, Takeda Y, Takahashi T, et al.
The effects of continuous epidural anesthesia
and analgesia on stress response and immune
function in patients undergoing radical

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

esophagectomy [homepage on the Internet].


c2005 [cited 2010 Sep 26]. Available from:
http://www.anesthesiaanalgesia.org/content/101/5/1521.full.pdf

47

Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA
Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal
Ratno Samodro*, Doso Sutiyono*, Hari Hendriarto Satoto*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Regional anesthesia is growing and expanding its use, given the variety of benefits offered,
such as relatively cheap, minimal systemic effects, produce adequate analgesia and the
ability to prevent the stress response is more perfect.
Local anesthetic drug is chemically divided into two major categories, namely the class of
Amide and ester groups. These chemical differences are reflected in differences in the
metabolism of the place, where the ester group is mainly metabolized by the enzyme
pseudo-cholinesterase in the plasma while the Amide groups mainly through enzymatic
degradation in the liver. This difference is also related to the magnitude of the possibility
of allergies, in which the ester group derived from p-amino-benzoic acid has a greater
frequency of allergic tendencies. Local anesthetic commonly used in our country for the
class of esters are procaine, whereas the Amide groups are lidocaine and bupivacaine.
Mechanism of action of local anesthetic drugs to prevent transmission of nerve impulses
(conduction blockade) by inhibiting the delivery of sodium ions through selective sodium
ion gates in neuronal membranes. Failure of the sodium ion permeability of the gate to
increase the speed of depolarization of the slowdown as a potential threshold was not
reached so that action potentials are not propagated. Local anesthetic did not alter the
resting potential or transmembrane potential threshold.
Pharmacokinetics of the drug include absorption, distribution, metabolism and excretion.
Complications of local anesthetic is a local side effects can occur at the injection site
hematoma and abscess while systemic side effects such as neurological in the central
nervous, respiratory, cardiovascular, immunological, musculoskeletal, and hematologic
Some local anesthetic drug interactions include coadministration may increase the potency
of each drug. decreased metabolism of local anesthetics as well as increase the potential
for intoxication.

ABSTRAK
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai
keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang
minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress
secara lebih sempurna.
48

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan ester
dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat
metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudokolinesterase di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis
di hati. Perbedaan ini juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi,
dimana golongan ester turunan dari
p-amino-benzoic acid memiliki frekwensi
kecenderungan alergi lebih besar. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita
untuk golongan ester adalah prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan
bupivakain.
Mekanisme kerja obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi)
dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada
membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan
perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai
sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah potensial
istirahat transmembran atau ambang batas potensial.
Farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Komplikasi
obat anestesi lokal yaitu efek samping lokal pada tempat suntikan dapat timbul hematom
dan abses sedangkan efek samping sistemik antara lain neurologis pada Susunan Saraf
Pusat, respirasi, kardiovaskuler, imunologi ,muskuloskeletal dan hematologi
Beberapa interaksi obat anestesi lokal antara lain pemberian bersamaan dapat
meningkatkan potensi masing-masing obat. penurunan metabolisme dari anestesi lokal
serta meningkatkan potensi intoksikasi.

PENDAHULUAN
Anestesi regional semakin berkembang
dan meluas pemakaiannya, mengingat
berbagai keuntungan yang ditawarkan,
diantaranya relatif lebih murah, pengaruh
sistemik yang minimal, menghasilkan
analgesi yang adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress secara lebih
sempurna. Namun demikian bukan berarti
bahwa tindakan anestesi lokal tidak ada
bahayanya. Hasil yang baik akan dicapai
apabila selain persiapan yang optimal
seperti halnya anestesi umum juga disertai
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

pengetahuan tentang farmakologi obat


anestesi lokal.1

SEJARAH
Carl Koller (1884), seorang ahli mata
telah memperkenalkan untuk yang
pertama kali penggunaan kokain secara
topikal pada operasi mata. Gaedicke
(1885) mendapatkan kokain dalam bentuk
ester asam benzoat yang diisolasi dari
tumbuhan koka (erythroxylon coca) yang

49

Jurnal Anestesiologi Indonesia

banyak tumbuh di pegunungan Andes.


Kemudian olah Albert Naiman (1860)
dalam bentuk ekstrak. William Halsted
(1884), seorang ahli bedah telah
menggunakan kokain intradermal dan
blok saraf fasialis, pudendal, tibialis
posterior
dan
plexus
brachialis.
Selanjutnya
August
Bier
(1898),
menggunakan 3 ml kokain 0,5% intratekal
untuk anestesi spinal dan pada 1908
memperkenalkan
anestesi
regional
intravena (Bier Block). Alfred Einhorn
(1904) mensintesa prokain dan pada tahun
yang sama digunakan untuk anestesi lokal
oleh Heinrich Braun. Penambahan
epinefrin untuk memperpanjang aksi
anestetik lokal dilakukan pertama kali
oleh Heinrich Braun. 1,2,3
Ferdinand Cathelin dan Jean Sicard
(1901) memperkenalkan anestesi epidural
kaudal dan Frigel Pages (1921)
memperkenalkan anestesi epidural lumbal
yang diikuti oleh Achille Doglioti (1931).
Selanjutnya Lofgren (1943) mensintesa
anestesi lokal amide, yaitu lidokain yang
menghasilkan blokade konduksi lebih kuat
daripada
Prokain
dan
menjadi
pembanding semua anestesi lokal.
Penggunaan klinis lidokain sejak 1947.
Sebelumnya dibukain (1930), tetrakain
(1932) dan sesudah itu kloroprokain
(1955), mepivakain (1957), prilokain
(1960), bupivakain (1963), etidokain
(1972).
Ropivakain dan levobupivakain adalah
obat baru dengan aksi durasi hampir sama
seperti bupivacain tetapi kardio dan
neurotoksisitasnya lebih kecil.1-4

50

Penggolongan Obat Anestesi Lokal


Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi
dalam dua golongan besar, yaitu golongan
ester dan golongan amide. Perbedaan
kimia ini direfleksikan dalam perbedaan
tempat metabolisme, dimana golongan
ester terutama dimetabolisme oleh enzim
pseudo-kolinesterase di plasma sedangkan
golongan amide terutama melalui
degradasi
enzimatis
di
hati.1,2,3,4
Perbedaan ini juga berkaitan dengan
besarnya kemungkinan terjadinya alergi,
dimana golongan ester turunan dari pamino-benzoic acid memiliki frekuensi
kecenderungan alergi lebih besar.3
Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal
dibedakan berdasarkan potensi dan lama
kerjanya menjadi 3 group. Group I
meliputi prokain dan kloroprokain yang
memiliki potensi lemah dengan lama kerja
singkat. Group II meliputi lidokain,
mepivakain dan prilokain yang memiliki
potensi dan lama kerja sedang. Group III
meliputi tetrakain, bupivakain dan
etidokain yang memiliki potensi kuat
dengan lama kerja panjang.2,3 Anestesi
lokal juga dibedakan berdasar pada mula
kerjanya.
Kloroprokain,
lidokain,
mepevakain, prilokain dan etidokain
memiliki mula kerja yang relatif cepat.
Bupivakain memiliki mula kerja sedang,
sedangkan prokain dan tetrakain bermula
kerja lambat.3
Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di
negara kita untuk golongan ester adalah

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

prokain, sedangkan golongan amide


adalah lidokain dan bupivakain. Secara
garis besar ketiga obat ini dapat dibedakan
sebagai berikut : 1-4
Tabel 1. Jenis anestesi lokal

Golongan
Mula Kerja
Lama Kerja
Metabolisme
Dosis
maksimal
(mg/kgBB)
Potensi
Toksisitas

Prokain

Lidokain

Ester
2 menit
30 45
menit
Plasma
12

Amide
5 menit
45 90
menit
Hepar
6

Bupivakai
n
Amide
15 menit
24
jam
Hepar
2

1
1

3
2

15
10

menghasilkan blockade konduksi impuls


saraf seperti obat anestesi local ester atau
obat anestesi amide (Gambar 2).
Perbedaan penting antara obat anestesi
lokal ester dan amide berkaitan dengan
tempat metabolisme dan kemapuan
menyebabkan reaksi alergi.2-7

Gambar 1. Obat anestesi local terdiri dari bagian


lipofilik dan hidrofilik yang dihubungkan dengan
ikaran rantai hidrokarbon.

HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS

Anestesi lokal terdiri dari kelompok


lipofilikbiasanya
dengan
cincin
bezenedibedakan
dari
kelompok
hidrofilikbiasanya
amin
tersier
berdasarkan rantai intermediat yang
memiliki cabang ester atau amida. ).
Kelompok hidrofilik biasanya amine
tersier, seperti dietilamine, dimana bagian
lipofilik biasanya merupakan cincin
aromatic tak jenuh, seperti asam
paraaminobenzoat.
Bagian
lipofilik
penting untuk aktivitas obat anestesi, dan
secara terapeutik sangat berguna untuk
obat anestesi local yang membutuhkan
keseimbangan
yang
bagus
antara
kelarutan lipid dan kelarutan air. Pada
hampir semua contoh, ikatan ester (-CO-)
atau amide (-NHC-) menghubungkan
rantai hidrokarbon dengan rantai aromatic
lipofilik. Sifat dasar ikatan ini adalah
dasar untuk mengklasifikasikan obat yang

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Gambar 2. Obat anestesi local ester dan amide.


Mepivacaine, bupivacaine dan ropivacaine adalah
obat khiral karena molekulnya memiliki atom
karbon asimetris.

51

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Potensi berkorelasi dengan kelarutan


lemak, karena itu merupakan kemampuan
anestesi lokal untuk menembus membran,
lingkungan yang hidrofobik. Secara
umum, potensi dan kelarutan lemak
meningkat dengan meningkatnya jumlah
total atom karbon pada molekul. Onset
dari kerja obat bergantung dari banyak
faktor, termasuk kelarutan lemak dan
konsentrasi relatif bentuk larut-lemak
tidak-terionisasi (B) dan bentuk larut-air
terionisasi (BH+), diekspresikan oleh pKa.
Pengukurannya adalah pH dimana jumlah
obat yang terionisasi dan yang tidak
terionisasi sama. Obat dengan kelarutan
lemak yang lebih rendah biasanya
memiliki onset yang lebih cepat.2,3
Anestesi lokal dengan pKa yang
mendekati pH fisiologis akan memiliki
konsentrasi basa tak-terionisasi lebih
tinggi yang dapat melewati membran sel
saraf, dan umumnya memiliki onset yang
lebih cepat. Onset dari kerja anestesi lokal
dalam serat saraf yang terisolasi secara
langsung berkorelasi dengan pKa. Onset
klinis dari kerja anestesi lokal dengan pKa
yang sama tidak identik. Faktor-faktor
lain, seperti kemudahan berdifusi melalui
jaringan ikat, dapat mempengaruhi onset
kerja in vivo. Lebih lagi, tidak semua
anestesi lokal berubah menjadi bentuk
terionisasi (contoh: benzocaine) anestesi
ini
kemungkinan
beraksi
dengan
mekanisme yang bergantian (contoh:
memperlebar membran lipid).2,4
Hal yang penting dari bentuk ionisasi dan
tak-terionisasi adalah implikasi klinisnya.

52

Larutan anestesi lokal dipersiapkan secara


komersial
dalam
bentuk
garam
hidroklorida yang larut-air (pH 6-7).
Karena epinefrin tidak stabil dalam
suasana alkali, maka larutan anestesi lokal
yang
tersedia,
yang
mengandung
epinefrin, dibuat dalam suasana asam (pH
4-5). Sebagai konsekuensi langsung,
sediaan ini memiliki konsentrasi basa
bebas yang lebih rendah dan onset yang
lebih lambat dibanding dengan epinefrin
yang ditambahkan oleh klinisi saat akan
digunakan. Hal yang sama, rasio basakation ekstraselular diturunkan dan onset
dihambat sewaktu anestesi lokal diinjeksi
ke dalam jaringan yang bersifat asam
(misal:
jaringan
yang
terinfeksi).
Walaupun masih merupakan kontroversi,
beberapa peneliti melaporkan bahwa
alkalinisasi
larutan
anestesi
lokal
(biasanya sediaan komersial, yang
mengandung
epinefrin)
dengan
menambahkan sodium bikarbonat (misal,
1 mL 8,4% sodium bikarbonat dalam tiap
10 mL lidokain) akan mempercepat onset,
memperbaiki kualitas dari blokade dan
memperpanjang durasi blokade dengan
meningkatkan jumlah basa bebas yang
tersedia. Yang menarik, alkalinisasi juga
menurunkan nyeri saat dilakukan infiltrasi
pada jaringan.2,3
Durasi kerja umumnya berkorelasi dengan
kelarutan lemak. Anestesi lokal dengan
kelarutan lemak tinggi memiliki durasi
yang lebih panjang, diperkirakan karena
lebih lama dibersihkan dari dalam darah.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Mekanisme Kerja
Obat anestesi local mencegah transmisi
impuls saraf (blokade konduksi) dengan
menghambat pengiriman ion natrium
melalui gerbang ion natrium selektif pada
membrane saraf (Butterworth dan
Strichartz, 1990). Gerbang natrium sendiri
adalah reseptor spesifik molekul obat
anestesi local. Penyumbaatn gerbang ion
yang terbuka dengan molekul obat
anestesi local berkontribusi sedikit sampai
hampir keseluruhan dalam inhibisi
permeabilitas
natrium.
Kegagalan
permeabilitas gerbang ion natrium untuk
meningkatkan perlambatan kecepatan
depolarisasi seperti ambang batas
potensial tidak tercapai sehingga potensial
aksi tidak disebarkan. Obat anestesi local
tidak mengubah potensial istirahat
transmembran
atau
ambang batas
potensial.
Lokal anestesi juga memblok kanal
kalsium dan potasium dan reseptor Nmethyl-D-aspartat
(NMDA)
dengan
derajat yang berbeda-beda. Beberapa
golongan obat lain, seperti antidepresan
trisiklik
(amytriptiline),
meperidine,
anestesi inhalasi, dan ketamin juga
memiliki efek memblok kanal sodium.
Tidak semua serat saraf dipengaruhi sama
oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas
terhadap blokade ditentukan dari diameter
aksonal, derajat mielinisasi, dan berbagai
faktor anatomi dan fisiologi lain. Diameter
yang kecil dan banyaknya mielin
meningkatkan
sensitivitas
terhadap
anestesi
lokal.
Dengan
demikian,
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

sensitivitas saraf spinalis terhadap anestesi


lokal: autonom > sensorik > motorik2,4,6
FARMAKOLOGI KLINIS
Farmakokinetik
Karena
anestesi
lokal
biasanya
diinjeksikan atau diaplikasikan sangat
dekat dengan lokasi kerja maka
farmakokinetik dari obat umumnya lebih
dipentingkan tentang eliminasi dan
toksisitas obat dibanding dengan efek
klinis yang diharapkan.2,3,6
A. Absorpsi
Sebagian besar membran mukosa
memiliki barier yang lemah terhadap
penetrasi
anestesi
lokal,
sehingga
menyebabkan onset kerja yang cepat.
Kulit yang utuh membutuhkan anestesi
lokal larut-lemak dengan konsentrasi
tinggi
untuk
menghasilkan
efek
2
analgesia.
Absorpsi sitemik dari anestesi lokal yang
diinjeksi bergantung pada aliran darah,
yang ditentukan dari beberapa faktor di
bawah ini 2,5
1. Lokasi injeksilaju absorpsi
sistemik proporsional dengan
vaskularisasi lokasi injeksi :
intravena > trakeal > intercostal >
caudal > paraservikal > epidural >
pleksus brakhialis > ischiadikus >
subkutaneus.
2. Adanya
vasokonstriksi
penambahan epinefrinatau yang
lebih
jarang
fenilefrin
menyebabkan vasokonstriksi pada
tempat
pemberian
anestesi.
53

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Sebabkan penurunan absorpsi dan


peningkatan
pengambilan
neuronal, sehingga meningkatkan
kualitas analgesia, memperpanjang
durasi, dan meminimalkan efek
toksik. Efek vasokonstriksi yang
digunakan biasanya dari obat yang
memiliki masa kerja pendek.
Epinefrin juga dapat meningkatkan
kualitas
analgesia
dan
memperlama
kerja
lewat
aktivitasnya
terhadap
resptor
adrenergik 2.
3. Agen anestesi lokalanestesi
lokal yang terikat kuat dengan
jaringan lebih lambat terjadi
absorpsi. Dan agen ini bervariasi
dalam vasodilator intrinsik yang
dimilikinya.
B. DISTRIBUSI
Distribusi tergantung dari ambilan organ,
yang ditentukan oleh faktor-faktor di
bawah ini :1,6
1. Perfusi jaringan-organ dengan
perfusi jaringan yang tinggi (otak,
paru, hepar, ginjal, dan jantung)
bertanggung
jawab
terhadap
ambilan awal yang cepat (fase ),
yang diikuti redistribusi yang lebih
lambat (fase ) sampai perfusi
jaringan moderat (otot dan saluran
cerna
2. Koefisien partisi jaringan/darahikatan protein plasma yang kuat
cenderung mempertahankan obat
anestesi di dalam darah, dimana
kelarutan lemak yang tinggi
memfasilitasi ambilan jaringan.

54

3. Massa jaringanotot merupakan


reservoar paling besar untuk
anestesi lokal karena massa dari
otot yang besar.
Metabolisme dan Ekskresi
Metabolisme dan ekskresi dari lokal
anestesi
dibedakan
berdasarkan
2,5
strukturnya :
1. Ester-anestesi
lokal
ester
dominan dimetabolisme oleh
pseudokolinesterase
(kolinesterase
palsma
atau
butyrylcholinesterase). Hidrolisa
ester
sangat
cepat,
dan
metabolitnya
yang
larut-air
diekskresikan ke dalam urin.
Procaine
dan
benzocaine
dimetabolisme menjadi asam paminobenzoiz (PABA), yang
dikaitkan dengan reaksi alergi.
Pasien yang secara genetik
memiliki
pseudokolinesterase
yang abnormal memiliki resiko
intoksikasi, karena metabolisme
dari ester yang menjadi lambat.
2. Amida-anestesi lokal amida
dimetabolisme (N-dealkilasi dan
hidroksilasi)
oleh
enzim
mikrosomal P-450 di hepar. Laju
metabolisme amida tergantung
dari
agent
yang
spesifik
(prilocine
>
lidocaine
>
mepivacaine > ropivacaine >
bupivacaine), namun secara
keseluruhan jauh lebih lambat
dari hidrolisis ester. Penurunan
fungsi hepar (misal pada sirosis
hepatis) atau gangguan aliran
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

darah ke hepar (misal gagal


jantung kongestif, vasopresor,
atau blokade reseptor H2) akan
menurunkan laju metabolisme
dan merupakan predisposisi
terjadi
intoksikasi
sistemik.
Sangat
sedikit
obat
yang
diekskresikan tetap oleh ginjal,
walaupun
metabolitnya
bergantung pada bersihan ginjal.
Komplikasi obat Anestesi lokal.
1.Efek samping lokal
Pada tempat suntikan, apabila saat
penyuntikan tertusuk pembuluh darah
yang cukup besar, atau apabila penderita
mendapat terapi anti koagulan atau ada
gangguan pembekuan darah, maka akan
dapat timbul hematom. Hematom ini bila
terinfeksi akan dapat membentuk abses
Apabila tidak infeksi mungkin saja
terbentuk infiltrat dan akan diabsorbsi
tanpa meninggalkan bekas.
Tindakan yang perlu adalah konservatif
dengan kompres hangat, atau insisi
apabila
telah terjadi abses disertai
pemberian antibiotika yang sesuai.
Apabila suatu organ end arteri dilakukan
anestesi lokal dengan campuran adrenalin,
dapat saja terjadi nekrosis yang
memerlukan tindakan nekrotomi, disertai
dengan antibiotika yang sesuai.9-10

2. Pengaruh Pada Sistem Organ


Karena
blokade
kanal
sodium
mempengaruhi bangkitan aksi potensial di
seluruh tubuh, sehingga bukan hal yang
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

mengejutkan jika anestesi lokal dapat


menyebabkan intoksikasi sistemik. 2,4,5,7,11
A. Neurologis
Sistem saraf pusat merupakan
bagian yang paling rentan terjadi
intoksikasi dari anestesi lokal dan
merupakan sistem yang dimonitoring awal
dari gejala overdosis pada pasien yang
sadar. Gejala awal adalah rasa kebas,
parestesi lidah, dan pusing. Keluhan
sensorik dapat berupa tinitus, dan
penglihatan yang kabur. Tanda eksitasi
(kurang
istirahat,
agitasi,
gelisah,
paranoid) sering menunjukkan adanya
depresi sistem saraf pusat (misal, bicara
tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, dan
tidak sadar). Kontraksi otot yang cepat,
kecil dan spontan mengawali adanya
kejang tonik-klonik. Biasanya diikuti
dengan gagal nafas. Reaksi eksitasi
merupakan hasil dari blokade selektif
pada jalur inhibitor. Anestesi lokal dengan
kelarutan lemak tinggi dan pontensi tinggi
menyebabkan kejang pada konsentrasi
obat lebih rendah dalam darah dibanding
agen anestesi dengan potensi yang lebih
rendah. Dengan menurunkan aliran darah
otak dan pemaparan obat, benzodiazepin
dan hiperventilasi meningkatkan batas
ambang terjadinya kejang karena anestesi
lokal. Thiopental (1-2 mg/kg) dengan
cepat dan tepat menghentikan kejang.
Ventilasi dan oksigenasi yang baik harus
tetap dipertahankan.
Lidokain
intravena
(1,5
mg/kg)
menurunkan aliran darah otak dan
menurunkan
peningkatan
tekanan
intrakranial yang biasanya timbul pada
55

Jurnal Anestesiologi Indonesia

intubasi pasien dengan penurunan


komplians intrakranial. Lidokain dan
prokain infus selama ini digunakan
sebagai tambahan dalam teknik anestesi
umum,
karena
kemampuannya
menurunkan MAC dari anestesi inhalasi
sampai 40%.

polos bronkhus. Lidokain intravena


(1,5mg.kg) terkadang mungkin efektif
untuk memblok refleks bronkokonstriksi
saat
dilakukan
intubasi.
Lidokain
diberikan sebagai aerosol dapat sebabkan
bronkospasme pada beberapa pasien yang
menderita penyakit saluran nafas reaktif.

Dosis lidokain berulang 5% dan 0,5%


tetracaine dapat menjadi penyebab dari
neurotoksik (sindroma kauda ekuina)
setelah dilakukan infus kontinu melalui
keteter bore-kecil pada anestesi spinal.
Hal in terjadi mungkin karena adannya
pooling obat di kauda ekuina, yang
sebabkan peningkatan konsentrasi obat
dan kerusakan saraf yang permanen.
Penelitian pada hewan menunjukkan
neurotoksisitas pada pemberian berulang
melalui intratekal bahwa lidokain =
tetracaine > bupivacaine > ropivacaine.

C. Kardiovaskular
Umumnya,
semua
anestesi
lokal
mendepresi
automatisasi
miokard
(depolarisasi spontan fase IV) dan
menurunkan durasi dari periode refraktori.
Kontraktilitas miokard dan kecepatan
konduksi
juga
terdepresi
dalam
konsentrasi yang lebih tinggi. Pengaruh
ini menyebabkan perubahan membran otot
jantung dan inhibisi sistem saraf autonom.
Semua anestesi lokal, kecuali cocaine,
merelaksasikan otot polos, yang sebabkan
vasodilatasi arteriolar. Kombinasi yang
terjadi, yaitu bradikardi, blokade jantung,
dan hipotensi dapat mengkulminasi
terjadinya henti jantung. Intoksikasi pada
jantung mayor biasanya membutuhkan
konsentrasi tiga kali lipat dari konsentrasi
yang dapat sebabkan kejang. Injeksi
intravaskular bupivicaine yang tidak
disengaja selama anestesi regional
mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang
berat,
termasuk
hipotensi,
blok
atrioventrikular, irama idioventrikular,
dan aritmia yang dapat mengancam nyawa
seperti takikardi ventrikular dan fibrilasi.
Kehamilan, hipoksemia, dan adisosis
respiratorik
merupakan
faktor
predisposisi.

Gejala neurologis transien, yang terdiri


dari disestesia, nyeri terbakar, dan nyeri
pada ekstremitas dan bokong pernah
dilaporkan setelah dilakukan anestesi
spinal dengan berbagai agent anestesi.
Penyebab dari gejala ini dikaitkan dengan
adanya iritasi pada radiks, dan gejala ini
biasanya menghilang dalam 1 minggu.
Faktor resikonya adalah penggunaan
lidokain, posisi litotomi, obesitas, dan
kondisi pasien.
B. Respirasi
Lidokain mendepresi respon hipoksia.
Paralisis dari nervus interkostalis dan
nervus phrenicus atau depresi dari pusat
respirasi dapat mengakibatkan apneu
setelah pemaparan langsung anestesi
lokal. Anestesi lokal merelaksasikan otot

56

Ropivacaine memiliki banyak kesamaan


dalam psikokimia dengan bupivacaine
kecuali bahwa sebagian dari ropivacaine
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

adalah larut-lemak. Waktu onset dan


durasi kerja sama, namun ropivacaine
memblok motorik lebih rendah, yang
sebabkan
potensi
lebih
rendah,
ditunjukkan dalam beberapa penelitian.
Yang
paling
menjadi
perhatian,
ropivacaine memiliki index terapi yang
besar karena 70% lebih sedikit
menyebabkan
intoksikasi
kardia
dibandingkan
dengan
bupivacaine.
Ropivacain dikatakan memiliki toleransi
terhadap sistem saraf pusat yang lebih
besar. Keamanan dari ropivacaine ini
mungkin disebabkan karena kelarutan
lemaknya
yang
rendah
atau
availibilitasnya sebagai isomer S(-) yang
murni, yang bertolak belakang dengan
struktur
dari
bupivacaine.
Levobupivacaine, merupakan isomer S(-)
dari bupivacain, yang tidak lagi tersedia di
Amerika Serikat, dilaporkan memiliki
efek samping terhadap cardiovaskular dan
serebral yang lebih kecil dari pada struktur
campuran; penelitian mengatakan bahwa
efeknya terhadap kardiovaskular hampir
menyerupai efek ropivacaine.
D. Imunologi
Reaksi hipersensitivitas murni terhadap
agent anestesi lokalyang bukan
intoksikasi sistemik karena konsentrasi
plasma yang berlebihanmerupakan hal
yang
jarang.
Ester
memiliki
kecenderungan menginduksi reaksi alergi
karena adanya derivat ester yaitu asam paminobenzoic, yang merupakan suatu
alergen. Sediaan komersial multidosis dari
amida
biasanya
mengandung
methylparaben, yang memiliki struktur
kimia mirip dengan PABA. Bahan
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

tambahan ini yang bertanggung jawab


terhadap sebagian besar reaksi alergi.
Anestesi
lokal
dapat
membantu
mengurangi respon inflamasi karena
pembedahan dengan cara menghambat
pengaruh asam lysophosphatidic dalam
mengaktivasi neutrofil.
E. Muskuloskeletal
Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot
skeletal (trigger-point injeksi), anestesi
lokal adalah miotoksik (bupivacaine >
lidocaine > procaine). Secara histologi,
hiperkontraksi miofibril menyebabkan
degenarasi litik, edema, dan nekrosis.
Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4
minggu. Steroid tambahan atau injeksi
epinefrin memperburuk nekrosis otot.
Data penelitian hewan menunjukkan
bahwa
ropivacaine
menghasilkan
kerusakan otot yang tidak terlalu berat
dibanding bupivacaine.
F. Hematologi
Telah
dibuktikan
bahwa
lidokain
menurunkan
koagulasi
(mencegah
trombosis dan menurunkan agregasi
platelet) dan meningkatkan fibrinolisis
dalam darah yang diukur dengan
thromboelastography.
Pengaruh
ini
mungkin berhubungan dengan penurunan
efikasi autolog epidural setelah pemberian
anestesi lokal dan insidensi terjadinya
emboli yang lebih rendah pada pasien
yang mendapatkan anestesi epidural.
Interaksi Obat
Anestesi lokal meningkatkan potensi
blokade otot non-depolarisasi. Suksinil
kolin dan anestesi lokal ester bergantung
57

Jurnal Anestesiologi Indonesia

pada
pseudokolinesterase
untuk
metabolismenya. Pemberian bersamaan
dapat meningkatkan potensi masingmasing obat.
Dibucaine,
anestesi
lokal
amida,
menghambat pseudokolinesterase dan
digunakan untuk mendeteksi kelainan
genetik enzim.
Inhibitor pseudokolinaesterase dapat
menyebaban penurunan metabolisme dari
anestesi lokal ester.
Cimetidine dan propanolol menurunkan
aliran darah hepatik dan bersihan lidokain.
Level lidokain yang lebih tinggi dalam
darah meningkatkan potensi intoksikasi.
Opioid (misal, fentanil, morfin) dan
agonis adrenergik 2 (contoh: epinefrin,
klonidin)
meningkatkan
potensi
penghilang rasa nyeri anestesi lokal.
Kloroprokain
epidural
dapat
mempengaruhi kerja analgesik dari morfin
intraspinal.2-5
RINGKASAN
Anestesi regional semakin berkembang
dan meluas pemakaiannya, mengingat
berbagai keuntungan yang ditawarkan,
diantaranya relatif lebih murah, pengaruh
sistemik yang minimal, menghasilkan
analgesi yang adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress secara lebih
sempurna.
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi
dalam dua golongan besar, yaitu golongan
ester dan golongan amide. Perbedaan
kimia ini direfleksikan dalam perbedaan
tempat metabolisme, dimana golongan
ester terutama dimetabolisme oleh enzim
58

pseudo-kolinesterase di plasma sedangkan


golongan amide terutama melalui
degradasi enzimatis di hati. Perbedaan ini
juga
berkaitan
dengan
besarnya
kemungkinan terjadinya alergi, dimana
golongan ester turunan dari p-aminobenzoic
acid
memiliki
frekwensi
kecenderungan alergi lebih besar. Obat
anestesi lokal yang lazim dipakai di
negara kita untuk golongan ester adalah
prokain, sedangkan golongan amide
adalah lidokain dan bupivakain.
Mekanisme kerja obat anestesi local
mencegah transmisi impuls saraf (blokade
konduksi)
dengan
menghambat
pengiriman ion natrium melalui gerbang
ion natrium selektif pada membrane saraf.
Kegagalan permeabilitas gerbang ion
natrium untuk meningkatkan perlambatan
kecepatan depolarisasi seperti ambang
batas potensial tidak tercapai sehingga
potensial aksi tidak disebarkan. Obat
anestesi lokal tidak mengubah potensial
istirahat transmembran atau ambang batas
potensial.
Farmakokinetik obat meliputi absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi.
Komplikasi obat anestesi lokal yaitu efek
samping lokal pada tempat suntikan dapat
timbul hematom dan abses sedangkan
efek samping sistemik antara lain
neurologis pada Susunan Saraf Pusat,
respirasi,
kardiovaskuler,
imunologi
,muskuloskeletal dan hematologi
Beberapa interaksi obat anestesi lokal
antara lain pemberian bersamaan dapat
meningkatkan potensi masing-masing
obat. penurunan metabolisme dari anestesi

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

lokal
serta
intoksikasi.

meningkatkan

potensi

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

Marwoto,
Primatika
DA.
Anestesi
lokal/Regional. Dalam : Soenarjo, Jatmiko
DH. editor. Anestesiologi. Semarang : Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
kedokteran UNDIP, 2010: 309-22.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local
Anesthetics. In: Clinical Anesthesiology. 4th
edition. New York: Mc Graw Hill Lange
Medical Books, 2006 : 151-52, 263-75.
Brown DL, Factor DA. Regional Anesthesia
and Analgesia. Philadelphia :WB Saunders,
1996 : 188 205.
Miller RD. Anesthesia. 5th edition .
Philadelphia : Churchill & Livingstone, 2000 :
491 515.
Stoelting R Hillier SC. Pharmacology and
Physiology in Anesthetics Practice. 4th ed.
Philladelphia : JB Lippincott Raven, 2006:
179 - 83.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

6.

Gaiser RR. Pharmacology of Local


Anesthetic. In : Longnecker DE, Murphy SL,
ed. Introduction to Anaesthesia. Philadelphia :
WB Saunders Company, 1997 : 201-14.
7. Longnecker DE , Murphy FL . Introduction to
anesthesia . 9th edition .Philadelphia : WB
Saunders , 1997 : 201 14
8. Marwoto, Mudzakkir. Komplikasi anestesi
lokal dan penanganannya. Majalah Ilmiah
PKMI Mantap. Penerbit : Perkumpulan
Kontrasepsi Mantap.Indonesia, No. 2 Tahun
XII, April Juni 1992 : 44-9
9. Raj Prithvi P. Local Anaesthetics In : Ross A,
editors. Textbook of regional anesthesia.
Philadelphia : Elsevier Science. 2003 :120-27.
10. Sweitzer B.
Local Anaesthetics. In
:
Davidson JK, Eckhardt WF, Perese DA.
Clinical Anaesthesia
Procedure
of the
Massacluisets General Hospital, 4th ed, Little
Brown & Co Boston, Toronto, London 1993 :
197 205.

11. Mehrkens

H, Geiger MP. . Local


Anaesthetics. In : Peripheral regional
Anaesthesia. 3rd. ed. Ulm 2005 : 16-9.

59

Jurnal Anestesiologi Indonesia

60

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Anda mungkin juga menyukai