Anda di halaman 1dari 12

LEARNING OBJECTIVES

1. Mengetahui penyebab terjadinya distokia.


2. Mengetahui bentuk-bentuk distokia beserta postur, presentasi, dan posisi normal fetus.
3. Mengetahui gejala, dignosa, dan penganganan distokia.
=================================================================
PEMBAHASAN
1. Penyebab terjadinya distokia
Distokia atau kesulitan kelahiran adalah keadaan dimana stadium pertama dan
khususnya stadium kedua pada partus lebih lama atau menjadi sulit sehingga tidak
mungkin bagi induk untuk melahirkan tanpa pertolongan. Distokia terjadi disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu faktor dasar dan faktor langsung. Faktor dasar berupa genetik, breed
(ras sapi), supervisi, penyakit, pakan, dan induksi kelahiran. Sementara untuk faktor
langsung meliputi faktor dari induk (faktor maternal) dan faktor dari fetus (faktor fetal)
(Jackson, 2007).
Faktor dasar penyebab distokia :
a. Genetik
Genetik atau faktor keturunan ini bisa bermacam-macam bentuknya dalam
mempengaruhi terjadinya distokia. Contohnya genetik berupa gen resesif sari induk
maupun dari pejantan yang mengahasilkan ukuran fetus yang besar yang
memnugkinkan terjadinya distokia (Jackson, 2007).
b. Breed (ras sapi)
Terlihat pada sapi-sapi yang beberapa rasnya memliki masa kebuntingan yang lebih
lama dan memiliki proporsi kelahiran dengan ukuran fetus yang lebih besar yang
memungkinkan terjadinya distokia. Contohnya yaitu pada breed Aberdeen angus
kemungkinan distokia 3%, Simmental 10%, Charolais 9%, Frisian Holstein 6%, dll
Pada sapi jenis Charolais pendukung utama terjadinya distokia karena ukuran pevis
yang kecil dan fetus yang terlalu besar (Jackson, 2007).
c. Penyakit
Ada beberapa penyakit yang terjadi di masa partus yang secara tidak langsung bisa
mempengaruhi terjadinya distokia. Contohnya yaitu hipokalsemia saat melahirkan
adalah salah satu penyebab inersia uterine primer atau kegagalan unterus dalam
berkontraksi sehingga sulit saat melakukan pengejanan. Selain itu bisa juga karena
adanya Salmonellosis dan Brucellosis dapat meningkatkan insiden distokia (Jackson,
2007).
d. Pakan
Jika sapi diberi pakan dengan kualitas yang buruk dapat menyebabkan distokia dan
mengurangi daya hidup pedet. Pemberian pakan berlebih tidak sesuai aturan
Distokia pada Sapi

menambah berat fetus dan meningkatkan timbunan lemak intrapelvis sehingga proses
pengejanan tidak efisien (Jackson, 2007). Sementara pemberian pakan dengan nutrisi
yang kurang pada sapi di akhir kebuntingan bisa menyebabkan kurangnya kekuatan
induk ketika pengejanan sehingga bisa menyebabkan distokia (Anonim, 2010).
Defisiensi mineral dalam pakan meliputi kalsium, fisfor, cobalt, selenium, iodine,
zinc, magnesium, dan mangan akan mempengaruhi sistem tubuh dari induk yang
akibatnya pada waktu partus yang menjadi lebih lama (Norman, 2009).
e. Exercise
Sapi yang diterapkan exercise paling tidak berupa jalan-jalan sejauh 1 mil setiap hari
selama 4 minggu untuk persiapan partus akan lebih mudah dalam menjalani partus
dibantingkan dengan sapi yang tidak melakukan exersice. Exercise ini akan
berpengaruh pada peningkatan tonus otot yang mendukung dalam proses partus
(Anonim, 2010).
Tabel efek exercise selama masa kebuntingan terhadap kelancaran kelahiran

(Anonim, 2010).
Faktor langsung meliputi
a. Faktor maternal
1) Kondisi induk sapi
Kondisi induk sapi berkaitan dengan ada tidaknya penyakit maupun kelainan pada
induk yang bisa menyebabkan terjadinya distokia. Dalam hal ini contohya induk
mengalami hipokalsemia yang akan berefek pada terjadinya inersia uterina primer
sehingga bisa menyebabkan distokia (Jackson, 2007).
2) Pelvis area
Diameter dari pelvis area akan menentukan terjdinya kesulitan patus atau tidak
pada sapi. Kejadian distokia akibat dari diameter pelvis area ini lebih banyak
terjadi pada sapi dara yang memliliki ukuran area pelvis lebih kecil dibandingkan
sapi dewasa yang sudah siap bunting (Anonim, 2010).
3) Lama kebuntingan
Lama kebuntingan nanti akan ada kaitannya dengan ukuran fetus. Jadi semakin
lama masa kebuntingan sapi akan semakin banyak nutrisi yang diserap oleh fetus
untuk pertumbuhan sehingga ukuran fetus akan meningkat baik itu dari berat
badannya

ataupun

dari

panjang

struktur

tulangnya.

Peningkaan

ukurn

menyebabkan fetu lebih sulit dalam melewati saluran peranakan (Anonim, 2010).
4) Umur induk
Distokia pada Sapi

Umur induk berkaitan dengan dewasa kelamin pada induk. Jikan induk masih
berupa sapi dara kemungkinan untuk terjadinya distokia lebih tinggi karena
umurnya masih terlalu muda. Hal ini disebabkan karena pada sapi betina yang
masih muda ukuran dari pelvis masih terlalu kecil, dan apabila dipaksakan untuk
bunting kemudian partus justru bisa menyebabkan terjadinya fraktur (Jackson,
2007).
b. Faktor fetal
1) Ukuran fetus
Peningkatan kemungkinan terjadinya kasus distokia sejalan dengan pertambahan
ukuran dari fetus. Semakin besar ukuran fetus akan semakin sulit keluar melalui
saluran peranakan dikarenakan ukuran fetus yang melebihi dari saluran peranakan
itu sendiri. Data sebuah penelitian menyebutkan bahwa pada sapi FH setiap berat
badan fetus naik 1 kg akan menyebabkan kemungkinan distokia sebesar 1 %
(Purohit, et al., 2012).
Tabel 1. Efek dari pertambahan berat fetus terhadap kelancaran partus

(Anonim, 2010).
2) Jenis kelamin fetus
Pada fetus jantan kemungkinan terjadinya distokia lebih tinggi dibandingkan
dengan fetus betina. Hal ini disebabkan karena mas kebuntingan pada fetus jantan
lebih lama daripada fetus betina. Lamanya masa kebuntingan ini nanti berefek
terhadap pertambahan ukuran dari fetus. Ketika fetus lebih lama di dalam tubuh
induk, maka akan terjadi pertumbuhan berupa peningkatan berat badan dan
peningkatan panjang dari struktur tulang sehingga akan lebih sulit dilahirkan
karena ukuran fetus terhadap saluran peranakan tidak sepadan (Purohit, et al.,
2012).
3) Kondisi fetus
Kondisi fetus yang dimaksud dalam hal ini yaitu fetus masih hidup atau mati.
Kematian fetus intrauterina pada akhir kebuntingan atau awal kelahiran bisa
menyebabkan distokia. Misalnya fetus mengalami hipoksia kronis, fetus gagal
melepaskan hormone-hormonnya dengan cukup (ACTH dan kortisol), fetus tidak
dapat mengambil postur kelahiran normal sehingga maldiposisi dan servik gagal
dilatasi sempurna sehingga fetus tidak bisa keluar. Kematian fetus intrauterina

Distokia pada Sapi

bisa disebabkan karena ukuran fetus yang terlalu besar atau adanya akumulasi gas
subkutan (Jackson, 2007; Purihit, et al., 2012).
4) Maldeposition pada fetus
Maldeposition fetus dalam hal ini meliputi presentasi, posisi, dan atau postur yang
tidak normal sehingga mempersulit induk ketika proses partus. Maldeposition
akan menyebabkan kesulitan saat fetus akan melewti saluran peranakan dan
kemungkinan untuk tertahan atau terjapitnya dari fetus sendiri juga besar sehingga
perlu bantuan saat partus (Jackson, 2007).
5) Kembar siam
Pada sapi yang bunting kembar akan memiliki masa kebuntingan yang lebih
singkat dan kemungkinan distokia yang lebih tinggi. Bunting kembar memang
menyebabkan fetus memiliki ukuran yang lebih kecil, tapi jika terjadi
maldepoition pada salah satu atau kedua fetus maka kan menyebabkan induk
kesulitan saat partus. Maldeposition pada bunting kembar juga lebih kompleks
sehingga cukup sulit untuk ditangani (Purohit, et al., 2012).
6) Fetal monster
Karena adanya kelainan pada bentuk dari fetus itu sendiri. Kelainan ini bisa
disebabkan karena faktor fisik, kimiawi, ataupun virus. Faktor-faktor ini akan
mengganggu fetus pada waktu sebelum terjadinya organogenensis yaitu sebelum
umur fetus 42 hari yang kemudian mengganggu dalam proses pertumbuhan fetus.
Bentuk dari fetal monster ini bisa berupa gabungan dari kembar, schistomosis,
kelahiran bulldog, dll (Jackson, 2007).

Gambar (a) Schistosomus reflexus (b) Gabugan ftus kembar (Jackson, 2007).
Contoh bentuk kejadian yang menyebabkan distokia pada sapi
Uterus

Inersi
primer

Kegagalan untuk mendorong keluar


uterine Gangguan myometrium, pemekaran yang berlebihan,
degenerasi (ketuaan, toksik, dll), infeksi uterus,
penyakit sistemik, jumlah anak sekelahiran yang
sedikit, heriditer
Defisiensi biokimiawi: rasio estrogen/progesterone,
oksitosin, prostalglandin F2, relaksin, kalsium,
glukosa.

Distokia pada Sapi

Abdominal

Inersia uterine

Histeris gangguan lingkungan


Oligoamnion (defisiensi cairan amnion)
Kelahiran premature
Sebagai konsekuensi dari penyebab distokia yang lain

sekunder
Kerusakan uterus
Torsi uterus
Ketidakmampuan

Termasuk rupture
Dapat juga menyebabkan obstruksi saluran peranakan
Karena umur, kesakitan, kelemahan, rupture

untuk mengejan
diafragma, kerusakan trachea/laringeal
Obstruksi saluran Peranakan
Tulang pelvis
Fraktur, ras, diet, belum dewasa, neoplasia, penyakit
Jaringan lunak Vulva
Cacat congenital, fibrosis, belum dewasa.
Vagina
Cacat congenital, fibrosis, prolaps, neoplasia, abses,
Servik
Uterus
No.

perivagina, hymen.
Cacat congenital, fibrosis, kegagalan untuk dilatasi.
Torsi, deviasi, herniasi, adhesi, stenosis.

1
2

Defisiensi hormone
Disproporsi fetopelvis

Penyebab fetal
ACTH/cortisol: inisisi kelahiran
Fetus yang terlalu besar, Cacat pelvis, Monster fetus

Maldisposisi fetal

Malpresentasi

Tranversal,

Malposisi
Malpostur

simultaneous.
Ventral, lateral, miring.
Deviasi dari kepala dan kaki.

lateral,

vertical,

Kematian fetus

(Jackson, 2007).
2. Bentuk-bentuk distokia
Pada fetus normal dalam tubuh induk memiliki kedudukan normal tersendiri. Kedudukan
normal fetus dalam tubuh induk mencakup tiga aspek yaitu presentasi, postur, dan posisi.
a. Presentasi
Presentasi berupa hubungan antara sumbu panjang tubuh fetus terhadap sumbu
panjang tubuh induk. Presentasi bisa berupa lonitudinal (anterior atau posterior),
tranversal, atau vertikal.
b. Postur
Postur berupa hubungan dari permukaan saluran peranakan terhadap bagian columna
vetebralis dari fetus. Postur ini bisa nerupa dorsal, ventral, atau lateral.
c. Posisi
Posisi berkaitan dengan penempatan bagian kepala dan ekstremitas dari fetus itu
sendiri (Jackson, 2007).

Distokia pada Sapi

Gambar kedudukan normal fetus (Cady, 2009; Whittier, et al., 2009).


Kedudukan normal pada fetus di dalam tubuh induk yaitu dengan presentasi anterior
dengan posisi fetus bagian columna vetebralis sejajar columna vetebralis induk dan postur
kaki depan serta kepala berada dirongga pelvis (Cady, 2009). Bisa juga dengan posisi
sungsang berupa presentasinya longitudinal posterior dengan posisi bagian dorsal fetus
sejajar dorsal indul dan kaki belakang serta ekor berada dirongga pelvis (Manan, 2002).
Bentuk-bentuk distokia terlihat dari masing-masing abnormalitas deposisi yang terjadi
pada fetus. Bentuk-bentuk abnormalitas deposisi ini bisa berupa malposisi, malpresentasi,
dan malpostur. Kejadiannya bisa berlangsung ketiganya bersamaan, hanya dua kejadian,
atau salah satunya saja.
a. Malpresentasi
1) Presentasi posterior
Presentasi poster bantuknya fetus menghadap ke belakang. Presentasi ini bisa
masuk dalam kategori normal jika postur dan posisi dari fetus mendukung atau
tidak terjadi abnormalitas. Pada posisi ini jika dilakukan palpasi perrektal maka
yang ditemukan dalam rongga pelvis bukan kepala tapi ekor, kaki bekakng, dan
bagian panggul (Jackson, 2007).

Gambar presentasi posterior dan kaki belakang fleksi


2) Presentasi tranversal
Presentasi tranversal bisa dalam bentuk dorsotranversal, ventrotanversal, atau
laterotranversal. Bentuk ini bergantung dari bagian ventral, dorsal, atau lateral
tubuh fetus yang menempel pada bagian pelvis. Pada palpasi pereektal presentasi
ini akan terasa jelas dan bila sulit dilakukan penaganan bisa dilakukan sectio
Distokia pada Sapi

caesaria. Pada pengangan ventrotranvesal lebih mudah karena bagian kaki berada
di pelvis sehingga untuk reposisi berupa rotasi menjadi lebih mudah. Tapi
sebaliknya jika dalam posisi ventrotranversal maupun lateral akan lebih sulit
melakukan reposisi sehingga disarankan untuk melakukan sectio caesaria (Jackson,
2007).

Gambar abnormalias preentasi yaitu (a) presentasi ventrotramversal (b) presentrasi


dorsotanversal (Jackson, 2007)
3) Presentasi vertikal
Presentasi vertikal berupa malpresentasi dengan bagian tubuh fetus menghadap
vertikal dibagian inlet pelvis. Bentuk presentasi vertikal bisa dorsoventikal,
lateroventrikal, maupun ventroventrikal (Jackson, 2007).
b. Malposisi
Malposisi terjadi jika posisi fetus bukan dorsal posisi yaitu bagian columna vetebralis
fetus sejajar dengan columna vetebralis induk. Bentuk malposisi ini bisa berupa
ventral posisi (terbalik) atau lateral posisi. Biasanya malposisi sering terjadi jika fetus
mengalami presentasi posterior (Jackson, 2007).
c. Malpostur
1) Lateral deviation head
Malpostur ini terjadi jika bagian kepala pada fetus bukan menghadap kearah depan
menuju saluran peranakan tapi justru berputar arah ke belakang.

Gambar lateral deviation head (Jackson, 2007).


2) Downward deviation head
Downward deviation head merupakan malpostur berupa bagian hidung dari fetus
mengadap ke arah dasar pelvis. Postur ini disebut juga sebgai vertex posture.

Distokia pada Sapi

Koreksi postur ini dengan menarik fetus dan menghadapkan bagian moncong fetus
ke arah depan (Jackson, 2007).
3) Carpal flexion
Carpal flexion merupakan malpostur berupa kaki depan yang harusnya lurus
berada di rongga pelvis justru mengalami penenkukan ke arah dalam. Koreksi
melpostur ini bisa dengan menarik kaki yang mengalami fleksi kearah ringga
pelvis (Jackson, 2007).

Gambar carpal flexion (Jackson, 2007).


4) Shoulder flexion
Shoulder flexion merupakan malpostur yang terjadi ketika bagian bahu dari fetus
masih menekuk ke arah dalam sehingga kaki depan yang seharusnya lurus ke arah
rongga pelvis tidak terjadi. Koreksi posisi ini dengan menarik bagian bahu yang
menekuk menuju ke arah pelvis (jackson, 2007).

Gambar shoulder flexion (Jackson, 2007).


5) Hock flexion
Hock flexion merupakan malpostur yang terjadi ketika presentasi fetus longitudinal
poterior berupa penekukan bagian hock kaki belakang fetus yang menekuk ke ara
dalam. Koreksi pada malpostur ini bisa dilakukan dengan menarik bagian hock
kaki belakang yang menekuk ke arah rongga pelvis (Jackson, 2007).

Distokia pada Sapi

Gambar hock flexion (Jackson, 2007)


Beberapa contoh gambar maldeposisi pada sapi

(Cady, 2009).
3. Distokia
Gejala klinis

Distokia pada Sapi

Gejala klinis distokia biasanya dengan terlihatnya stadium partus terutama stadium kedua
yang mengalami perpenjangan waktu atau mengalami kesulitan. Selain itu terlihat juga
dari progres selama stadium kedua partus yang sehirung akan mengamali peningkatan
paling tidak selama 20-30 menit tapi tidak mengalami peningkatan apapun. Induk juga
terlihat akan terus mengejan dan mengalami postur urinasi (Whittier, et al., 2009).
Diagnosa
Untuk mendiagnosa terjadi distokia ketika partus harus diketahui terlabih dahulu
stadium normal partus pada sapi. Partus meliputi tiga stadium yaitu stadium pertama
berupa dilatasi servik yang berlangsung sekitar 1-24 jam dengan rata-rata wakturnya 2-6
jam. Stadium kedua mulai terjadi kontraksi utarus dan keluarnya amnion sampai fetus
keluar. Stadium ini terjadi selama sekitar 2 jam. Stadium ketiga berupa pengeluaran
pengeluaran plasenta yang terjadi sekitar 8-12 jam.
Jika selama partus tidak terjadi stadium normal seperti di atas maka perlu dicurigai.
Pada stadium kedua seharusnya yang pada sapi terjadi pengeluaran kantung amnion
smapai pengeluaran fetus ditunggu tidak terjadi pengeluaran lebih dari satu jam maka
kemungkinan terjadi distokia. Selain itu bisa juga dengan mengamati progres pengeluaran
fetus. Jika tidak terjadi progeres pengeluaran fetus selama 20-30 menit maka kemungkinan
terjadi distokia. Diagnosa juga bisa didukung dengan mengamati induk yang terlihat
mengejan tapi fetus tidak keluar, bahkan induk mennjukkan postur sepertu urinasi
kemungkinan terjadi distokia. Kemungkinan distokia juga bisa diamati sebelum partus
terjadi dengan melakukan palpasi perektal atau pemeriksaan dengan ultrasonografi
(Whittier, et al., 2009).
Penanganan
a. Manipulatif
Teknik manipulasi dengan menarik atau mengubah posisi fetus yang awalnya
mengalami abnormalitas menjadi dalam keadaan yang memungkinkan fetus untuk bisa
dikeluarkan dari tubuh induk. Penanganannya bisa menggunakan tangan atau dengan
bantuan alat-alat kebidanan. Metode manipulasi meliputi repulsi, eksitasi, rotasi,
versio, dan retraksi. Repulsi yaitu pendorongan fetus keluar dari rongga pelvis menuju
ke rongga abdomen. Eksitasi berupa pembetulan letak bagian fetus yang mengalami
flexi. Rotasi berupa pembentulan fetus dengan pemutaran fetus. Versio juga
pembetulan dengan pemutaran fetus dengan posro tranversal menjadi anterior atau
posterior. Retraksi berupa penarikan fetus keluar tubuh induk dengan bantuan alat
maupaun tangan kosong (Jackson, 2007).
b. Sectio caesaria

Distokia pada Sapi

10

Sectio caesaria adalah pengeluaran fetus yang umumnya pada waktu partus melalui
laparo histerektom atau pembedahan pada perut dan uterus. Pembedahan ini dilakukan
bila metode manipulatif tidak bisa digunakan untuk mengangani partus ini, fetus yang
terlalu besar, dilatasi dan relaksasi serviks tidak sempurna (Toelihere, 2006).
c. Fetotomi
Fetotomi merupakan metode penganan distokia dengan cara pemotongn fetus yang
tidak bisa dikeluarkan menjadi ptotngan-potongan yang llebih kecil sehingga lebih
mudah untuk dikeluarkan melalui saluran peranakan. Teknik ini dilakukan jika fetus
sudah dalam keadaan mati dan tidak dapat dikoreksi secara manipulatif. Teknik
fetotomi bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
a. Teknik perkutan
Teknik perkutan digunakan embriotom tubuler dan gergaji kawat. Embriotom
digunakan untuk melindungi jaringan internal dari kerusakan, sementara gergaji
kawat untuk memotong fetus.
b. Teknik subkutan
Dalam teknik ini baian-bagian feus dibedah kelar dari dalam kulitnya hingga
engurangi bgian terbesar fetus dan memungkinkan pengeluaran bagian sisanya
melalui saluran peranakan (Jackson, 2007).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Calving School Handbook. Beef Cattle Sciences, Oregon State University.
Cady, R.A. 2009. Dystocia- Difficult Calving, What It Costs and How to Avoid it. Dairy
Integrated Reproductive Management.
Distokia pada Sapi

11

Jackson, P.G.G. 2007. Handbook Obstetri Veteriner Edisi Kedua. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press, dterjemahkan oleh Aris Junaidi.
Manan, D. 2002. Ilmu Kebidanan Pada Ternak. Banda Aceh : Depertemen Pendidikan
Nasional.
Norman, S. 2009. The Management of Dystocia in Cattle. Charles Sturt University.
Purohit, G.N., Solanki, K., Shekhar, C., Yadav, S.P. 2012. Prespectives of Fetal Dystocia in
Cattle and Buffalo. Veterinary Science Development 2012; volume 2;e8.
Whittier, W.D., Currin, N.M., Currin, J.F., Hall, J.B. 2009. Calving Emergencies in Beef
Cattle Identification and Prevention. Virginia Cooperation Extension.

Distokia pada Sapi

12

Anda mungkin juga menyukai