menambah berat fetus dan meningkatkan timbunan lemak intrapelvis sehingga proses
pengejanan tidak efisien (Jackson, 2007). Sementara pemberian pakan dengan nutrisi
yang kurang pada sapi di akhir kebuntingan bisa menyebabkan kurangnya kekuatan
induk ketika pengejanan sehingga bisa menyebabkan distokia (Anonim, 2010).
Defisiensi mineral dalam pakan meliputi kalsium, fisfor, cobalt, selenium, iodine,
zinc, magnesium, dan mangan akan mempengaruhi sistem tubuh dari induk yang
akibatnya pada waktu partus yang menjadi lebih lama (Norman, 2009).
e. Exercise
Sapi yang diterapkan exercise paling tidak berupa jalan-jalan sejauh 1 mil setiap hari
selama 4 minggu untuk persiapan partus akan lebih mudah dalam menjalani partus
dibantingkan dengan sapi yang tidak melakukan exersice. Exercise ini akan
berpengaruh pada peningkatan tonus otot yang mendukung dalam proses partus
(Anonim, 2010).
Tabel efek exercise selama masa kebuntingan terhadap kelancaran kelahiran
(Anonim, 2010).
Faktor langsung meliputi
a. Faktor maternal
1) Kondisi induk sapi
Kondisi induk sapi berkaitan dengan ada tidaknya penyakit maupun kelainan pada
induk yang bisa menyebabkan terjadinya distokia. Dalam hal ini contohya induk
mengalami hipokalsemia yang akan berefek pada terjadinya inersia uterina primer
sehingga bisa menyebabkan distokia (Jackson, 2007).
2) Pelvis area
Diameter dari pelvis area akan menentukan terjdinya kesulitan patus atau tidak
pada sapi. Kejadian distokia akibat dari diameter pelvis area ini lebih banyak
terjadi pada sapi dara yang memliliki ukuran area pelvis lebih kecil dibandingkan
sapi dewasa yang sudah siap bunting (Anonim, 2010).
3) Lama kebuntingan
Lama kebuntingan nanti akan ada kaitannya dengan ukuran fetus. Jadi semakin
lama masa kebuntingan sapi akan semakin banyak nutrisi yang diserap oleh fetus
untuk pertumbuhan sehingga ukuran fetus akan meningkat baik itu dari berat
badannya
ataupun
dari
panjang
struktur
tulangnya.
Peningkaan
ukurn
menyebabkan fetu lebih sulit dalam melewati saluran peranakan (Anonim, 2010).
4) Umur induk
Distokia pada Sapi
Umur induk berkaitan dengan dewasa kelamin pada induk. Jikan induk masih
berupa sapi dara kemungkinan untuk terjadinya distokia lebih tinggi karena
umurnya masih terlalu muda. Hal ini disebabkan karena pada sapi betina yang
masih muda ukuran dari pelvis masih terlalu kecil, dan apabila dipaksakan untuk
bunting kemudian partus justru bisa menyebabkan terjadinya fraktur (Jackson,
2007).
b. Faktor fetal
1) Ukuran fetus
Peningkatan kemungkinan terjadinya kasus distokia sejalan dengan pertambahan
ukuran dari fetus. Semakin besar ukuran fetus akan semakin sulit keluar melalui
saluran peranakan dikarenakan ukuran fetus yang melebihi dari saluran peranakan
itu sendiri. Data sebuah penelitian menyebutkan bahwa pada sapi FH setiap berat
badan fetus naik 1 kg akan menyebabkan kemungkinan distokia sebesar 1 %
(Purohit, et al., 2012).
Tabel 1. Efek dari pertambahan berat fetus terhadap kelancaran partus
(Anonim, 2010).
2) Jenis kelamin fetus
Pada fetus jantan kemungkinan terjadinya distokia lebih tinggi dibandingkan
dengan fetus betina. Hal ini disebabkan karena mas kebuntingan pada fetus jantan
lebih lama daripada fetus betina. Lamanya masa kebuntingan ini nanti berefek
terhadap pertambahan ukuran dari fetus. Ketika fetus lebih lama di dalam tubuh
induk, maka akan terjadi pertumbuhan berupa peningkatan berat badan dan
peningkatan panjang dari struktur tulang sehingga akan lebih sulit dilahirkan
karena ukuran fetus terhadap saluran peranakan tidak sepadan (Purohit, et al.,
2012).
3) Kondisi fetus
Kondisi fetus yang dimaksud dalam hal ini yaitu fetus masih hidup atau mati.
Kematian fetus intrauterina pada akhir kebuntingan atau awal kelahiran bisa
menyebabkan distokia. Misalnya fetus mengalami hipoksia kronis, fetus gagal
melepaskan hormone-hormonnya dengan cukup (ACTH dan kortisol), fetus tidak
dapat mengambil postur kelahiran normal sehingga maldiposisi dan servik gagal
dilatasi sempurna sehingga fetus tidak bisa keluar. Kematian fetus intrauterina
bisa disebabkan karena ukuran fetus yang terlalu besar atau adanya akumulasi gas
subkutan (Jackson, 2007; Purihit, et al., 2012).
4) Maldeposition pada fetus
Maldeposition fetus dalam hal ini meliputi presentasi, posisi, dan atau postur yang
tidak normal sehingga mempersulit induk ketika proses partus. Maldeposition
akan menyebabkan kesulitan saat fetus akan melewti saluran peranakan dan
kemungkinan untuk tertahan atau terjapitnya dari fetus sendiri juga besar sehingga
perlu bantuan saat partus (Jackson, 2007).
5) Kembar siam
Pada sapi yang bunting kembar akan memiliki masa kebuntingan yang lebih
singkat dan kemungkinan distokia yang lebih tinggi. Bunting kembar memang
menyebabkan fetus memiliki ukuran yang lebih kecil, tapi jika terjadi
maldepoition pada salah satu atau kedua fetus maka kan menyebabkan induk
kesulitan saat partus. Maldeposition pada bunting kembar juga lebih kompleks
sehingga cukup sulit untuk ditangani (Purohit, et al., 2012).
6) Fetal monster
Karena adanya kelainan pada bentuk dari fetus itu sendiri. Kelainan ini bisa
disebabkan karena faktor fisik, kimiawi, ataupun virus. Faktor-faktor ini akan
mengganggu fetus pada waktu sebelum terjadinya organogenensis yaitu sebelum
umur fetus 42 hari yang kemudian mengganggu dalam proses pertumbuhan fetus.
Bentuk dari fetal monster ini bisa berupa gabungan dari kembar, schistomosis,
kelahiran bulldog, dll (Jackson, 2007).
Gambar (a) Schistosomus reflexus (b) Gabugan ftus kembar (Jackson, 2007).
Contoh bentuk kejadian yang menyebabkan distokia pada sapi
Uterus
Inersi
primer
Abdominal
Inersia uterine
sekunder
Kerusakan uterus
Torsi uterus
Ketidakmampuan
Termasuk rupture
Dapat juga menyebabkan obstruksi saluran peranakan
Karena umur, kesakitan, kelemahan, rupture
untuk mengejan
diafragma, kerusakan trachea/laringeal
Obstruksi saluran Peranakan
Tulang pelvis
Fraktur, ras, diet, belum dewasa, neoplasia, penyakit
Jaringan lunak Vulva
Cacat congenital, fibrosis, belum dewasa.
Vagina
Cacat congenital, fibrosis, prolaps, neoplasia, abses,
Servik
Uterus
No.
perivagina, hymen.
Cacat congenital, fibrosis, kegagalan untuk dilatasi.
Torsi, deviasi, herniasi, adhesi, stenosis.
1
2
Defisiensi hormone
Disproporsi fetopelvis
Penyebab fetal
ACTH/cortisol: inisisi kelahiran
Fetus yang terlalu besar, Cacat pelvis, Monster fetus
Maldisposisi fetal
Malpresentasi
Tranversal,
Malposisi
Malpostur
simultaneous.
Ventral, lateral, miring.
Deviasi dari kepala dan kaki.
lateral,
vertical,
Kematian fetus
(Jackson, 2007).
2. Bentuk-bentuk distokia
Pada fetus normal dalam tubuh induk memiliki kedudukan normal tersendiri. Kedudukan
normal fetus dalam tubuh induk mencakup tiga aspek yaitu presentasi, postur, dan posisi.
a. Presentasi
Presentasi berupa hubungan antara sumbu panjang tubuh fetus terhadap sumbu
panjang tubuh induk. Presentasi bisa berupa lonitudinal (anterior atau posterior),
tranversal, atau vertikal.
b. Postur
Postur berupa hubungan dari permukaan saluran peranakan terhadap bagian columna
vetebralis dari fetus. Postur ini bisa nerupa dorsal, ventral, atau lateral.
c. Posisi
Posisi berkaitan dengan penempatan bagian kepala dan ekstremitas dari fetus itu
sendiri (Jackson, 2007).
caesaria. Pada pengangan ventrotranvesal lebih mudah karena bagian kaki berada
di pelvis sehingga untuk reposisi berupa rotasi menjadi lebih mudah. Tapi
sebaliknya jika dalam posisi ventrotranversal maupun lateral akan lebih sulit
melakukan reposisi sehingga disarankan untuk melakukan sectio caesaria (Jackson,
2007).
Koreksi postur ini dengan menarik fetus dan menghadapkan bagian moncong fetus
ke arah depan (Jackson, 2007).
3) Carpal flexion
Carpal flexion merupakan malpostur berupa kaki depan yang harusnya lurus
berada di rongga pelvis justru mengalami penenkukan ke arah dalam. Koreksi
melpostur ini bisa dengan menarik kaki yang mengalami fleksi kearah ringga
pelvis (Jackson, 2007).
(Cady, 2009).
3. Distokia
Gejala klinis
Gejala klinis distokia biasanya dengan terlihatnya stadium partus terutama stadium kedua
yang mengalami perpenjangan waktu atau mengalami kesulitan. Selain itu terlihat juga
dari progres selama stadium kedua partus yang sehirung akan mengamali peningkatan
paling tidak selama 20-30 menit tapi tidak mengalami peningkatan apapun. Induk juga
terlihat akan terus mengejan dan mengalami postur urinasi (Whittier, et al., 2009).
Diagnosa
Untuk mendiagnosa terjadi distokia ketika partus harus diketahui terlabih dahulu
stadium normal partus pada sapi. Partus meliputi tiga stadium yaitu stadium pertama
berupa dilatasi servik yang berlangsung sekitar 1-24 jam dengan rata-rata wakturnya 2-6
jam. Stadium kedua mulai terjadi kontraksi utarus dan keluarnya amnion sampai fetus
keluar. Stadium ini terjadi selama sekitar 2 jam. Stadium ketiga berupa pengeluaran
pengeluaran plasenta yang terjadi sekitar 8-12 jam.
Jika selama partus tidak terjadi stadium normal seperti di atas maka perlu dicurigai.
Pada stadium kedua seharusnya yang pada sapi terjadi pengeluaran kantung amnion
smapai pengeluaran fetus ditunggu tidak terjadi pengeluaran lebih dari satu jam maka
kemungkinan terjadi distokia. Selain itu bisa juga dengan mengamati progres pengeluaran
fetus. Jika tidak terjadi progeres pengeluaran fetus selama 20-30 menit maka kemungkinan
terjadi distokia. Diagnosa juga bisa didukung dengan mengamati induk yang terlihat
mengejan tapi fetus tidak keluar, bahkan induk mennjukkan postur sepertu urinasi
kemungkinan terjadi distokia. Kemungkinan distokia juga bisa diamati sebelum partus
terjadi dengan melakukan palpasi perektal atau pemeriksaan dengan ultrasonografi
(Whittier, et al., 2009).
Penanganan
a. Manipulatif
Teknik manipulasi dengan menarik atau mengubah posisi fetus yang awalnya
mengalami abnormalitas menjadi dalam keadaan yang memungkinkan fetus untuk bisa
dikeluarkan dari tubuh induk. Penanganannya bisa menggunakan tangan atau dengan
bantuan alat-alat kebidanan. Metode manipulasi meliputi repulsi, eksitasi, rotasi,
versio, dan retraksi. Repulsi yaitu pendorongan fetus keluar dari rongga pelvis menuju
ke rongga abdomen. Eksitasi berupa pembetulan letak bagian fetus yang mengalami
flexi. Rotasi berupa pembentulan fetus dengan pemutaran fetus. Versio juga
pembetulan dengan pemutaran fetus dengan posro tranversal menjadi anterior atau
posterior. Retraksi berupa penarikan fetus keluar tubuh induk dengan bantuan alat
maupaun tangan kosong (Jackson, 2007).
b. Sectio caesaria
10
Sectio caesaria adalah pengeluaran fetus yang umumnya pada waktu partus melalui
laparo histerektom atau pembedahan pada perut dan uterus. Pembedahan ini dilakukan
bila metode manipulatif tidak bisa digunakan untuk mengangani partus ini, fetus yang
terlalu besar, dilatasi dan relaksasi serviks tidak sempurna (Toelihere, 2006).
c. Fetotomi
Fetotomi merupakan metode penganan distokia dengan cara pemotongn fetus yang
tidak bisa dikeluarkan menjadi ptotngan-potongan yang llebih kecil sehingga lebih
mudah untuk dikeluarkan melalui saluran peranakan. Teknik ini dilakukan jika fetus
sudah dalam keadaan mati dan tidak dapat dikoreksi secara manipulatif. Teknik
fetotomi bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
a. Teknik perkutan
Teknik perkutan digunakan embriotom tubuler dan gergaji kawat. Embriotom
digunakan untuk melindungi jaringan internal dari kerusakan, sementara gergaji
kawat untuk memotong fetus.
b. Teknik subkutan
Dalam teknik ini baian-bagian feus dibedah kelar dari dalam kulitnya hingga
engurangi bgian terbesar fetus dan memungkinkan pengeluaran bagian sisanya
melalui saluran peranakan (Jackson, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Calving School Handbook. Beef Cattle Sciences, Oregon State University.
Cady, R.A. 2009. Dystocia- Difficult Calving, What It Costs and How to Avoid it. Dairy
Integrated Reproductive Management.
Distokia pada Sapi
11
Jackson, P.G.G. 2007. Handbook Obstetri Veteriner Edisi Kedua. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press, dterjemahkan oleh Aris Junaidi.
Manan, D. 2002. Ilmu Kebidanan Pada Ternak. Banda Aceh : Depertemen Pendidikan
Nasional.
Norman, S. 2009. The Management of Dystocia in Cattle. Charles Sturt University.
Purohit, G.N., Solanki, K., Shekhar, C., Yadav, S.P. 2012. Prespectives of Fetal Dystocia in
Cattle and Buffalo. Veterinary Science Development 2012; volume 2;e8.
Whittier, W.D., Currin, N.M., Currin, J.F., Hall, J.B. 2009. Calving Emergencies in Beef
Cattle Identification and Prevention. Virginia Cooperation Extension.
12