Oleh
Kelompok 10 / Offering H
Isfatun Chasanah
(140342603465)
Khusnulwati Mukramiin
(140342606601)
Melati Putri Pertiwi
(140342604503)
Mita Larasati
(140342601011)
Monika N. Kuruwop
(140342602548)
Nur Fitriana
(140342601325)
Rika Ardilla
(140342605435)
Robiatul Hadawiyah
(140342604500)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah negara dengan keanekaragaman tertinggi
kedua di dunia setelah Brazil (Dewoto, 2007). Keanekaragaman tersebut terdiri
dari tumbuhan maupun hewan. Berbagai tumbuhan maupun hewan yang ada di
Indonesia saat ini mengalami ancaman kepunahan yang disebabkan oleh ulah
tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Tidak hanya itu, adanya
kepentingan-kepentingan penguasa menyebabkan bertambah parahnya kondisi
yang ada di Indonesia. Banyak para pemimpin yang rela menjual keanekaragaman
yang telah dimiliki hanya untuk kepentingan pribadi semata, sedangkan kerugian
yang diakibatkan akan hal tersebut dirasakan oleh seluruh masyarakat yang ada di
Indonesia. Untuk melindungi tumbuhan maupun hewan yang masih ada hingga
saat ini maka dibuatlah suatu kawasan alami yang digunakan untuk menjaga
kelestarian dari organisme tersebut. Kawasan itu dapat berupa cagar alam, swaka
margasatwa, taman nasional, dan kawassan pelestarian lainnya. Di Indonesia
terdapat beberapa taman nasional yang diperuntukkan untuk melindungi
organisme yang masih ada hingga saat ini. Salah satu taman nasional tersebut
ialah Taman Nasional Alas Purwo.
Taman Nasional Alas Purwo merupakan kawasan taman nasioanal yang
masuk ke dalam dua kecamatan sekaligus, yaitu Kecamatan Tegaldelimo dan
Kecamatan Purwoharjo, kabupaten Banyuwangi. Taman Nasional Alas Purwo
yang sering disebut TNAP merupakan kawasan yang sebelumnya dijadikan suaka
margasatwa dengan nama Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan, namun sejak
tahun 1992 kawasan ini secara resmi dijadikan taman nasional oleh Kementerian
Kehutanan. Nama Alas Purwo sendiri memiliki arti hutan pertama atau hutan
tertua di Pulau Jawa. Taman Nasional Alas Purwo merupakan suatu kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, yang dikelola dengan sistem
zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Geografi kawasan Taman Nasional
Alas Purwo terdiri dari daerah pantai (perairan, daratan dan rawa), daerah daratan
hingga daerah perbukitan dan pegunungan, dengan ketinggian mulai dari 0 322
m dpl. Secara geografis kawasan Taman Nasional Alas Purwo terletak di ujung
timur pulau jawa wilayah pantai selatan yang memiliki garis lintang antara 8o25 8o47 LS dan 114o20- 114o36 BT. Taman Nasional Model itu sendiri
dimaksudkan sebagai suatu kawasan konservasi yang dikelola secara ideal sesuai
potensi yang dimilikinya, sehingga kawasan ini mampu berfungsi secara optimal
sebagai sistem penyangga kehidupan (Kementerian Kehutanan, 2012).
Pada kawasan Taman Nasional Alas Purwo terdapat berbagai macam
hewan yang ditemukan, salah satunya ialah hewan tanah. Hewan tanah merupakan
salah satu komponen ekosistem tanah yang berperan dalam memperbaiki struktur
tanah melalui penurunan berat jenis, peningkatan ruang pori, aerasi, drainase,
kapasitas penyimpanan air, dekomposisi bahan organik, pencampuran partikel
tanah, penyebaran mikroba, dan perbaikan struktur agregat tanah (Syamada,
2013). Walaupun pengaruh fauna tanah terhadap pembentukan tanah dan
dekomposisi bahan organik bersifat tidak langsung, secara umum fauna tanah
dapat dipandang sebagai pengatur terjadinya proses fisik, kimia maupun biokimia
dalam tanah (Hill, 2004). Meso-mikrofauna atau infauna dapat memacu proses
dekomposisi bahan organik dengan memperkecil ukuran bahan dengan enzim
selulase yang dimilikinya, kemudian hasil pemecahan tersebut dimanfaatkan oleh
mikroba perombak lainnya.
Kehidupan hewan tanah sangat bergantung dengan habitatnya, karena
keberadaan populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah dipengaruhi oleh
faktor biotik dan faktor abiotik. Faktor abiotik yang mempengaruhi tersebut
secara garis besar dapat dibedakan menjadi faktor fisika seperti suhu dan faktor
kimia yang meliputi pH, kadar mineral, dan lainnya. Untuk mengetahui jenis
spesies infauna yang terdapat di kawan Hutan Pantai Triangulasi Taman Nasional
Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi dilakukan dengan metode dekantasi basah
dengan menggunakan tanah yang diambil dari hutan homogen di kawasan
tersebut. Berdasarkan uraian tersebut melatarbelakangi dilaksanakannya kegiatan
KKL Ekologi pada tanggal 24-27 April 2016 oleh Mahasiswa Jurusan Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang
angkatan 2014 dalam rangka mengkaji Keanekaragaman infauna yang ada di
E. Definisi Operasional
Definisi Operasional dari studi keanekaragaman infauna dengan metode
dekantasi basah, yaitu:
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Leksono
(2007)
Indeks
keanekaragaman
digunakan
untuk
H < 1,5
: keanekaragaman rendah
H > 3,5
: keanekaragaman tinggi
2. Indeks Kemerataan
Indeks kemerataan jenis merupakan suatu indeks yang dapat menunjukkan
perataan penyebaran individu dari jenis-jenis organisme tertentu yang menyusun
suatu ekosistem. Suin (2006) menyatakan bahwa kriteria yang digunakan untuk
menginterpretasikan kemerataan Evenness yaitu :
E < 0,3
E > 0,6
: kemerataan rendah
: kemerataan tinggi
3. Kekayaan Jenis
Kekayaan jenis menunjukkan jumlah spesies dalam suatu komunitas yang
dipelajari. Dalam menentukan kekayaan jenis pada suatu ekosistem perlu
dilakukan kajian intensif untuk memperoleh informasi yang tepat mengenai
jumlah spesies yang ada. Semakin banyak jenis spesies yang ada di suatu daerah,
semakin tinggi tingkat kekayaannya.
Maguran dalam Suhardjono menyatakan bahwa kriteria yang digunakan
untuk menginterpretasikan kekayaan jenis yaitu :
< 3,5
>5
R
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Studi keanekaragaman infauna dengan menggunakan metode dekantasi
basah dilaksanakan pada hari Jumat, 01 April 2016 pukul 07.10 WIB hingga
pukul 10.30 WIB di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang. Kemudian untuk identifikasi
infauna yang didapatkan dilakukan di Laboratorium Ekologi (O5. 109) Jurusan
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri
Malang.
Ember
Baskom
Cetok
Saringan
bertingkat
e.
Kamera
f.
Mikroskop
stereo
g.
h.
i.
j.
k.
l.
Cawan petri
Jarum pentul
Kuas kecil
Gelas Beaker
Kantong kain
3 botol plakon
m.
a. 900 ml Tanah
b. Air
Bahan:
c. Aquades
D. Prosedur
d.
e.
k.
l.
m.
n. Memasukkan air yang dihasilkan dari proses penyaringan hingga tingkat
o.
tertinggi ke dalam botol plakon dan memberi label
p.
q.
r.
Menuangkan air tersebut ke dalam masing-masing cawan petri
s.
t.
Mengidentifikasi benda dipermukaan air yang diindikasikan sebagai
u.
infauna menggunakan mikroskop stereo
E. Teknik Pengumpulan Data
v. Teknik pengumpulan
data
yang
dilakukan
dengan
cara
aa.
ab.
H1 = -
(Pi lnPi)
Keterangan:
ac.
ad.
ai.
E=
aj.
Keterangan:
ak.
E = Evenness / Kemerataan
al.
H = Indeks Keanekaragaman
am.
S= Banyaknya spesies
an.
BAB IV
A. DATA
1. Infauna yang Diperoleh dari Dekanta Basah
bm.
bn.
langan
bq.
1.
bu.
2.
by.
3.
cc.
Nama
bo.
Spesies
br.
bv.
bz.
-
Ciri-ciri
bs.
bw.
ca.
bp.
Gambar
bt.
bx.
cb.
cd. Keterangan:
-
Plot
cg.
ci.
cm.
Suhu
Udara
cj.
(oC)
cn.
30
Faktor Abiotik
ck.
Kelemb
cl.
aban Udara (%)
co.
78
Suhu
Tanah (oC)
cp.
30
cq.
B. ANALISIS DATA
cr. Dalam praktikum dekantasi basah, langkah pertama yang harus
dilakukan ialah mengukur setengah bagian sampel tanah yang telah diambil
dari plot 8 transek 10 yang terletak 160 m dari bibir Pantai Triangulasi Hutan
Pantai Taman Nasional Alas Purwo sebanyak 300 ml dalam tiga kali ulangan.
Tanah yang telah diukur kemudian dimasukkan ke dalam baskom lalu diberi air
dan diaduk secara perlahan. Air dari proses pengadukan tersebut kemudian
disaring menggunakan saringan bertingkat hingga saringan terkecil. Langkah
yang dilakukan sama untuk setiap ulangan. Kemudian hasil saringan
dimasukkan ke dalam botol plakon masing-masing yang telah diberi label
sesuai dengan ulangannya.
cs. Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan di bawah
mikroskop stereo dan data di atas, diketahui bahwa pada praktikum dekantasi
basah yang telah dilakukan dengan menggunakan sampel tanah yang berasal
dari plot 8 transek 10 yang berjarak 160 m dari bibir Pantai kawasan Huatan
Pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi tidak
ditemukan satu pun infauna dari ketiga ulangan yang digunakan karena infauna
terdapat di muka bumi dengan jumlah yang sangat banyak serta bentuk
dan ukuran yang beragam. Hewan memiliki habitat yang sangat luas,
mulai dari daratan hingga perairan. Masing-masing hewan yang berbeda
akan memiliki habitat yang berbeda pula. Kondisi habitat yang ditempati
oleh masing-masing hewan akan berpengaruh terhadap distribusi populasi
tanah.
Menurut
Monica
(2015)
Biodiversitas
seluruh hidupnya selalu di tanah dan tidak pernah keluar dari dalam tanah,
misalnya Kumbang, Nematoda tanah dan Protozoa) (Syamada, 2013).
dd. Seperti halnya organisme lain, pertumbuhan dan
perkembangan hewan tanah tidak terlepas dari faktor biotik dan abiotik
habitatnya (Halli, dkk., 2014). Namun diketahui bahwa secara garis besar
faktor abiotik sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan
serta kepadatan suatu populasi hewan tanah di suatu habitat tertentu. Halli,
dkk (2014) menyatakan bahwa terdapat banyak faktor abiotik yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan serta kepadatan suatu
populasi hewan tanah, seperti suhu udara, suhu tanah, pH tanah,
kelembaban udara, keberadaan zat pencemar dalam tanah, ukuran poripori tanah, kedalaman tanah, serta iklim atau musim di suatu kawasan
tempat hewan tersebut tinggal.
de. Selain faktor abiotik yang telah disebutkan, kehidupan
hewan tanah juga sangat ditentukan oleh faktor biotik di kawasan tempat
hewan tersebut tinggal. Faktor biotik merupakan adanya organisme lain
yang berada di habitat yang sama, seperti mikroflora, tumbuh-tumbuhan,
dan golongan fauna lainnya (Lisnawati, dkk., 2014). Lebih lanjut
Lisnawati, dkk. (2014) menyatakan bahwa keanekaragaman vegetasi di
suatu habitat merupakan salah satu faktor biotik yang sangat
mempengaruhi keberadaan hewan tanah, karena keanekaragaman vegetasi
dapat mempengaruhi sifat keadaan tanah.
df. Dalam praktikum dekantasi basah dengan menggunakan
sampel tanah yang diambil dari plot delapan transek sepuluh pada jarak
160 m dari bibir Pantai, kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman
Nasional Alas Purwo diketahui bahwa tidak ada satu pun infauna yang
ditemukan karena infauna yang teramati di bawah mikroskop stereo
hanyalah berupa potongan-potongan tubuhnya saja sehingga tidak dapat
diidentifikasi. Tidak ditemukannya satu pun infauna dari praktikum
dekantasi kering menyebabkan tidak diketahuinya jenis infauna yang
tinggal di kawasan tersebut. Dengan demikian maka besarnya indeks
keanekaragaman, kekayaan, serta kemerataan infauna yang tersebar di
kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo juga tidak
diketahui. Dari analisis yang telah dilakukan, tidak ditemukannya satu pun
infauna disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sampel tanah yang
digunakan diambil dari hutan homogen kawasan Hutan Pantai Triangulasi
Taman Nasional Alas Purwo, kesalahan praktikan pada saat meletakkan
sampel tanah yang akan digunakan, dan kesalahan praktikan pada saat
proses pengadukan tanah dengan air yang dilakukan terlalu keras sehingga
infauna yang terdapat di dalamnya hancur.
dg. Menurut Lisnawati, dkk. (2014) keanekaragaman vegetasi
di suatu habitat merupakan salah satu faktor biotik yang sangat
mempengaruhi keberadaan hewan tanah, karena keanekaragaman vegetasi
dapat
mempengaruhi
sifat
keadaan
tanah.
Pernyataan
demikian
menunjukkan bahwa tanah yang diambil dari plot 8 transek sepuluh yang
terletak pada jarak 160 m dari bibir Pantai, kawasan Hutan Pantai
Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo merupakan suatu kawasan hutan
homogen yang hanya terdiri dari dua tanaman yang berbeda, yaitu
Tanaman Mahoni dan Tanaman Jati sehingga dapat diketahui bahwa tidak
banyak infauna yang hidup di kawasan tersebut. Dalam praktikum ini juga
dimungkinkan infauna yang ada di dalam tanah yang sebelumnya
dimasukkan ke dalam kantong kain telah mati. Hal ini dikarenakan
kantong kain yang telah berisi tanah diletakkan di dalam box tertutup
sehingga infauna yang ada di dalam kantong kain kekurangan oksigen dan
kemudian mati. Tidak hanya itu, pada saat proses pengadukan tanah
dengan air yang dilakukan terlalu keras sehingga infauna yang terdapat di
dalamnya hancur dan yang tersisa hanya potongan-potongan tubuhnya saja
sehingga tidak dapat diidentifikasi. Menurut Syamada (2013) terdapat
kekurangan pada praktikum dekantasi basah untuk mengisolasi infauna
jika dibandingkan dengan dekantasi kering, kekurangan tersebut ialah
infauna yang akan diisolasi bisa saja hancur saat dilakukannya proses
pengadukan tanah yang dicampur dengan air.
dh. Selain faktor-faktor tersebut,
juga diketahui
bahwa
kehidupan infauna sangat dipengaruhi oleh faktor abiotik seperti suhu dan
penguapan. Dalam pengambilan tanah untuk praktikum ini setelah diukur
diketahui bahwa suhu pada kawasan tersebut dapat digolongkan tinggi,
baik suhu udara maupun suhu tanah. Diketahui bahwa besar suhu udara
dan suhu tanah di kawasan tersebut sama, yaitu 30 oC. Tingginya suhu
udara di kawasan tersebut menyebabkan adanya proses penguapan yang
cukup tinggi. Hal ini diketahui dari pengukuran kelembaban yaitu sebesar
78%. Sugiarto, dkk (2001) menyatakan bahwa tingkat kematian hewan
tanah akan lebih tinggi pada musim kering, karena hewan tanah tidak
tahan terhadap kekeringan. Hewan tanah sangat peka terhadap perubahan
perubahan kelembaban, baik yang terjadi di atas permukaan maupun di
dalam tanah itu sendiri. Perubahan kelembaban sangat berkaitan dengan
perubahan suhu di lingkungan
em.
en.
eo.
ep.
(1): 1-8
Halli, M., Pramana, W. & Yanuwiadi, B. 2014. Diversitas Arthropoda
Tanah di Lahan Kebakaran dan Lahan Transisi Kebakaran Jalan HM 36
eq.
er.
es.
et.
eu.
Malang: Bayumedia
Lisnawati, Y., Suprijo, H., Poedjirahajoe, E. & Musyafa. 2014. Hubungan
Kedekatan Ekologis antara Fauna Tanah dengan Karakteristik Tanah
Gambut yang Didrainase untuk HTI Acacia crassicarpa. Jurnal Manusia
ev.
ew.
ex.
ey.
ez.
fa.
Tanah
dalam
Sistem
fi.