Anda di halaman 1dari 7

TUGAS KELOMPOK

EKONOMI PEMBANGUNAN PERTANIAN


KEBIJAKAN DALAM IRIGASI

Disusun Oleh:
Kelas D
Kelompok 2

Novita Candra I.
Irine Octaviani
Fadli Choironi
Fildzah Shabrina

145040101111089
145040101111069
145040101111060
145040101111049

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

Dinamika Kebijakan Irigasi dan Implikasinya


Kondisi kekurangan atau kelangkaan air irigasi disebabkan oleh berbagai
faktor, yang kemudian mendorong timbulnya berbagai permasalahan di dalam
kehidupan masyarakat, khususnya petani. Faktor kondisi alam, fisik irigasi, dan
kelembagaan adalah faktor-faktor yang secara bersama dan saling berkaitan
memainkan peran besar dalam menciptakan permasalahan tersebut. Bila
ditelusuri, semua faktor itu menuju pada titik yang sama, yaitu kebijakan
pemerintah.
Harus diakui, berbagai kebijakan pemerintah memang belum mampu
menyelesaikan semua masalah yang ada. Untuk dapat memahami kebijakan
pemerintah yang ada saat ini mengenai irigasi, kita perlu sedikit memahami jejak
rekam kebijakan irigasi yang terdahulu. Titik tolak kebijakan pemerintah
mengenai pengembangan dan pengelolaan irigasi dimulai sejak era Revolusi
Hijau. Pada masa tersebut pemerintah melakukan pembangunan irigasi, dan
transmigrasi secara besar-besaran baik di pulau Jawa dan beberapa daerah lainnya
di Luar Jawa seperti Sumatera dan Sulawesi. Kebijakan pembangunan dan
pengelolaan irigasi secara besar-besaran merupakan upaya untuk mendukung
program intensifikasi pertanian yang dicanangkan guna mendukung cita-cita
meraih swasembada pangan.
Namun demikian pada periode tersebut, kebijakan yang dimunculkan
berdasarkan administrasi pemerintahan yang terpusat, yang disebabkan karena
kemampuan teknis yang terbatas. Pada periode ini, petani hanya menjadi objek
dari kegiatan pembangunan dan pengelolaan irigasi, akibatnya. Akibatnya
kapasitas petani dalam mengelola irigasi juga masih sangat lemah. Pada akhir
tahun 1980 sampai dengan tahun 1990 pengelolaan sumber daya air dilaksanakan
dengan pendekatan suplai (supply driven approach) mengakibatkan terabaikannya
pemeliharaan prasarana sumber daya air serta pemanfaatan sumber daya yang
tidak berwawasan lingkungan. Pendekatan ini mengakibatkan banyaknya sarana
fisik irigasi yang terbengkalai serta rusaknya kawasan hulu berfungsi sebagai
daerah resapan air. Masalah minimnya kapasitas petani dalam mengelola irigasi
juga masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah.

Sejalan dengan perubahan peraturan perundang-undangan dan kebijakan


pemerintah tentang irigasi, yang semula didasarkan pada Undang-undang Nomor
11 Tahun 1974 tentang Pengairan, Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi dan Peraturan Pemerintah
Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi, yang diperbaharui dengan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor
20 Tahun 2006 tentang Irigasi, maka pola penangangan irigasi berubah dari pola
penyerahan kewenangan irigasi dalam Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan
Irigasi (PKPI) menjadi pola Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi
Partisipatif (PPSIP). Undang-Undang UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya
Air diberlakukan sebagai landasan hukum bagi pengelolaan sumberdaya air.
Undang-undang tersebut diharapkan dapat melindungi dan menjamin akses
masyarakat

terutama

masyarakat

miskin

terhadap

air

bersih

dengan

memperhatikan pemanfaatan secara seimbang. Ini adalah titik balik perubahan


paradigma kebijakan pengelolaan irigasi di Indonesia.

Sejak Indonesia tidak mampu lagi mencapai swasembada pangan, berbagai


perubahan kebijakan terus dilakukan pemerintah dalam pengelolaan irigasi.
Alasan utama yang muncul perubahan kebijakan tersebut adalah keterbatasan
anggaran yang dimiliki oleh pemerintah. Namun jika dikaji lebih dalam,
perubahan tersebut juga tidak terlepas perubahan model kebijakan irigasi pada
tingkatan internasional. Dominasi pemerintah dalam pembangunan irigasi pada
masa revolusi hijau dipandang sebagai penyebab utama kegagalan pembangunan
irigasi termasuk di Indonesia. Salah satu dari kegagalan tersebut adalah ekspansi
besar-besaran daerah irigasi tidak diimbangi dengan ketersediaan dana untuk
melakukan operasional dan pemeliharaan jaringan irigasi. Dengan demikian
pemindahan tanggung jawab operasional dan pemeliharaan jaringan irigasi dari
pemerintah kepada petani (P3A) dipandang sebagai solusi atas permasalahan yang
dihadapi dalam pembangunan sektor irigasi. Konsep inilah yang sebenarnya
diadopsi oleh pemerintah Indonesia di sektor irigasi atau yang lebih dikenal
sebagai Irrigation Management Transfer (IMT), yang menempatkan P3A sebagai
aktor utama dalam operasional dan pemeliharaan jaringan irigasi.
Salah satu prasyarat yang dibutuhkan untuk menjalankan IMT ini adalah
hak guna air (water use rights). Bank Dunia sendiri mendefinisikan hak-hak
irigasi dalam tiga kategori yaitu management kontrol, fasilitas fisik dan air.
Khusus hak atas air (water rights) irigasi adalah seberapa banyak air yang dapat
diberikan kepada petani untuk menjamin kecukupan air bagi lahan petani anggota
P3A lainnya. Pada intinya IMT mendorong adanya transfer otoritas pengambilan
keputusan dalam pengelolaan irigasi kepada P3A.
Beberapa studi terhadap IMT menunjukkan dampak yang positif baik
terhadap petani maupun keberlajutan system irigasi. Hal ini meliputi perbaikan
distribusi air yang adil kepada petani dan meningkatnya partisipasi petani dalam
proses pengambilan keputusan. Namun studi lain juga menunjukkan bahwa IMT
berdampak negatif, antara lain rendahnya skala ekonomi P3A untuk menyediakan
layanan sesuai dengan sistem yang ada, petani juga diminta untuk membayar jasa
air lebih mahal tanpa adanya perbaikan dan efisiensi layanan. Dan yang
terpenting sebenarnya adalah bahwa IMT memperkenalkan P3A sebagai sebagai

langkah awal untuk merubah sistem pertanian subsisten menjadi tanaman yang
bersifat komersial. Dengan tanaman komersial dan ketersediaan pasar petani kecil
akan mampu membayar iuran kepada P3A untuk operasional dan pemeliharaan
serta perbaikan jaringan irigasi. Dan pada akhirnya pemerintah

dapat

menghilangkan subsidi maupun pengeluaran yang terkait dengan pembangunan


irigasi.
Hal lain yang juga perlu dicermati adalah ketidakjelasan status jaringan
irigasi di Indonesia. Jika jaringan irigasi dipandang sebagai barang publik (public
goods), seharusnya petani tidak dibebankan untuk membayar biaya jasa layanan
air irigasi. Tetapi jika jaringan irigasi dipandang sebagai common property goods ,
maka petani harus membayar jasa layanan air tersebut. Persoalannya dengan
kebijakan irigasi sekarang adalah ada dua penyedia layanan jaringan irigasi yaitu
pemerintah dan P3A dan keduanya berhak untuk menarik jasa layanan air tersebut
kepada petani, yang tentu saja membawa implikasi pada semakin beratnya beban
petani.
Potensi Perluasan Irigasi Perpulau
Data pada Tabel 3 menunjukan potensi perluasan irigasi pada berbagai
pulau berdasarkan potensi ketersediaan air dan kesesuaian lahan. Walaupun
potensi ketersediaan air masih memungkinkan perluasan irigasi seluas lebih dari
dua juta ha demikian pula potensi berdasarkan kesesuaian lahan masih cukup
tinggi namun ditinjau dari kelayakan ekonomi mungkin hanya sekitar peluang ini
dapat diwujudkan dalam kurun waktu sampai tahun 2020 dan dengan
memperhitungkan peluang perluasan lain misalnya dari areal pasang surut sebesar
0,5 juta ha demikian pula proses konversi lahan masih terus berlangsung maka
paling tidak sampai tahun 2020 akan ada tambahan areal irigasi sebesar 20 25
persen dari areal yang ada sekarang.Tambahan ini sudah cukup memadai untuk
memelihara ketahanan pangan nasional dalam kurun waktu tersebut (Gambar 3).

DAFTAR PUSTAKA
Eric Guiterezz dkk, dalam New Rules, New Roles: Does PSP Benefit the Poor?,
Water Aid and Tearfund, 2003, www.wateraid.org

Anda mungkin juga menyukai