Anda di halaman 1dari 15

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ........................................................................................................ 2


Daftar isi .......................................................................................................................... 3
Bab I Pendahuluan .......................................................................................................... 4
Bab II Tinjauan Pustaka .................................................................................................. 5
2.1 Anatomi dan Fisiologi Usus Besar.................................................................... 5
2.2 Definisi.............................................................................................................. 7
2.3 Epidemiologi..................................................................................................... 7
2.4 Etiologi dan Patogenesis................................................................................... 8
2.5 Klasifikasi......................................................................................................... 9
2.6 Manifestasi Klinis............................................................................................. 10
2.7 Diagnosis........................................................................................................... 10
2.8 Diagnosis Banding............................................................................................ 12
2.9 Komplikasi........................................................................................................ 13
2.10 Tatalaksana...................................................................................................... 14
2.11 Prognosis......................................................................................................... 15
Bab III Kesimpulan ......................................................................................................... 16
Daftar Pustaka ................................................................................................................. 17

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Hirschsprung (HSCR) atau megakolon kongenital adalah salah satu


diagnosis banding dari konstipasi kronik yang sebagian besar terjadi pada masa neonatus dan
penyakit ini merupakan suatu tantangan bagi dokter anak, dokter bedah anak, dan patologi
anak. Penyakit ini adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada
semua usia akan tetapi yang paling sering pada neonatus.1
Diagnosis penyakit ini dapat diidentifikasi dengan tidak adanya sel-sel ganglion
parasimpatis pada plexus submukosus Meissneri dan plexus mienterikus Aurbachi di dinding
usus. 90% terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh kolon bahkan
seluruh usus (Total Colonic Aganglionois). Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan
hambatan pada gerakan peristaltic dan evakuasi usus secara spontan, sphincter rectum tidak
dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses secara spontan, kemudian dapat
menyebabkan isi usus terdorong ke bagian yang aganglion dan akhirnya feses dapat
terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat menyebabkan dilatasi usus bagian proksimal.1
Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch
pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang
mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1886. Namun patofisiologi terjadinya
penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan
Kernohan yang menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan
oleh gangguan peristaltic dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion.1

BAB II
3

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Usus Besar
Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 150
cm yang terbentang dari sekum sampai anus, diameter usus besar rata-rata sekitar 6,5
cm, tetapi makin dekat anus diameternya semakin mengecil.2
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat
katup ileosekal dan apendiks, yang melekat pada ujung sekum. Sekum merupakan
kantung yang berukuran 5-7cm. Ileum merupakan tempat cabang terakhir dari usus
halus yang berakhir di bagian posteromedial sekum. Antara keduanya terdapat katup
ileosekal yang fungsinya mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Dibawah
ileosekum terdapat appendiks veriformis yang panjangnya bervariasi rata-rata sekitar
2-3cm dengan diameter 5mm. Kolon dibagi menjadi beberapa bagian yaitu, kolon
asendens (12-20cm), colon transversum (45cm), colon desendens (22-30cm), dan
kolon sigmoid. Tempat dimana kolon membetuk kelokan tajam yaitu pada abdomen
kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis.3

Gambar 1. Letak anatomis usus besar di rongga abdomen


Kolon sigmoid berada mulai dari setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu
lekukan berbentuk-S dan memiliki mesenterium yang panjang sehingga dapat
bergerak dengan bebas. lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid
bersatu dengan rektum, yang menjelaskan alasan anatomis meletakkan penderita pada
sisi sebelah kiri bila diberi enema. Pada posisi ini gaya berat membantu mengalirkan
air dari rektum ke fleksura sigmoid. Bagian utama usus besar yang terakhir
dinamakan rektum dan terbentang dari kolon sigmoid sampai anus (muara ke bagian
luar tubuh). Kira-kira 2cm terakhir dari rectum dinamakan kanalis ani dan dilindungi

oleh sphincter ani interna dan eksterna, panjang rectum dan canalis ani sekitar 1215cm.3
Usus besar memiliki empat lapis morfologik seperti juga bagian usus lainnya.
Akan tetapi, ada beberapa gambaran yang khas pada usus besar saja. Lapisan otot
longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga pita yang
dinamakan teniae coli. Teniae coli bersatu pada sigmoid distal, dengan demikian
rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang teniae lebih
pendek daripada usus, hal ini menyebabkan usus tertarik dan terkerut membentuk
kantung-kantung kecil yang dinamakan haustrae. Pada teniae melekat kantongkantong kecil peritoneum yang berisisi lemak yang disebut appendices epiploika
Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan mukosa usus halus dan
tidak mengandung vili atau rugae.3
Vaskularisasi usus besar bersumber pada 2 arteri yaitu;
1. Arteri mesenterika superior (memvaskularisasi kolon bagian kanan mulai dari
sekum sampai 2/3 proksimal kolon transversum) mempunyai 3 cabang utama:
Arteri ileocolica
Arteri colica dextra
Arteri colica media
2. Arteri mesenterika inferior (memvaskularisasi kolon bagian kiri mulai dari 1/3
distal kolon transversum sampai rektum bagian proksimal) mempunyai 3
cabang utama:
Arteri colica sinistra
Arteri hemoroidalis superior
Arteri sigmoidea
Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur oleh arteri sakralis media dan
arteri hemoroidalis inferior dan media. aliran darah vena mengikuti perjalanan arteri.4
Innervasi usus besar dilakukan oleh saraf otonom kecuali sphincter ani
eksternus yang diatur secara voluntary. Serabut parasimpatis berjalan melalui nervus
vagus yang memberikan cabang-cabang yang mengikuti percabangan arteri colica dan
arteri mesenterika superior untuk sekum, appendiks, kolon asendens, dan kolon
transversum. Kolon desendens dan kolon sigmoid menerima serabut-serabut
parasimpatis dari segmental sakral 3-4, melalui pleksus mesenterikus inferior. Saraf
simpatis berpusat pada medulla spinalis yang berjalan dari pars thorasika dan lumbalis
dari T6-12 dan L1-3 ke ganglia simpatis preortika. Disana bersinaps dengan post
ganglion yang mengikuti aliran arteri utama dan berakhir pada pleksus mienterikus
5

(Aurbach) dan submukosa (meissner). Perangsangan simpatis menyebabkan


penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sphincter di rektum,
sedangkan saraf parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. Kendali usus yang
paling penting adalah aktivitas reflex lokal yang diperantarai oleh pleksus nervus
intramural (meissner dan aurbach) dan interkoneksinya. Jadi pasien dengan kerusakan
medulla spinalis maka fungsi ususnya tetap normal. Sedangkan pasien dengan
penyakit hirschsprung akan mempunyai fungsi usus yang abnormal dikarenakan
absennya pleksus aurbach dan meissner.4
2.2 Definisi
Penyakit Hirschsprung merupakan kelainan perkembangan komponen
intrinsik pada sistemsaraf enterik yang ditandai oleh absennya sel-sel ganglion pada
pleksus myenterik dan submukosa di intestinal distal. Karena sel-sel ini bertanggung
jawab untuk peristaltic normal, pasien-pasien penyakit Hirschsprung akan mengalami
obstruksi intestinal fungsional pada level aganglion.5
2.3 Epidemiologi
Insidens diperkirakan 1 per 5000 kelahiran hidup dengan perbandingan antara
laki-laki : perempuan sebesar 4 : 1. Panjangnya segmen aganglionik bervariasi, sekitar
75-80% biasanya terjadi pada kolon rektosigmoid distal dan 5% terjadi pada usus
halus. Kolon aganglionik total jarang ditemukan, namun dapat terjadi terdapat
kecenderungan familial pada penyakit ini. Sekitar 80% kasus terdiagnosis pada
periode neonatus sedangkan 20% terdiagnosis setelahnya.6

2.4 Etiologi dan Patogenesis


Penyebab dari penyakit ini belum diketahui dengan jelas. Diperkirakan, terjadi
defek migrasi sel-sel krista neural yang merupakan precursor sel ganglion intestinal.
Normalnya sel-sel tersebut bermigrasi sefalokaudal. Proses tersebut selesai pada
minggu ke-12 kehamilan. Namun, migrasi dari kolon transversal bagian tengah ke
anus memerlukan waktu selama 4 minggu. Pada periode inilah paling rentan terjadi
defek migrasi sel krista neural. Hingga saat ini penyakit hirschsprung diasosiasikan
dengan mutasi tiga gen spesifik: proto-onkogen RET, gen EDNRB (endothelin B
receptor), dan gen EDN3 (endothelin 3).7
Hipoganglionosis
6

Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area hipoganglionosis.


Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi. Hipoganglionosis adalah keadaan
dimana jumlah sel ganglion kurang dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan sel
berkurang 5 kali dari jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah plexus myentricus
berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai sebagian panjang
colon namun ada pula yang mengenai seluruh colon.8
Imaturitas dari sel ganglion
Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan
pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki sitoplasma
yang dapat menghasilkan dehidrogenase sehingga tidak terjadi diferensiasi menjadi
sel Schwanns dan sel saraf lainnya. Pematangan dari sel ganglion diketahui
dipengaruhi oleh reaksi succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah
pada minggu pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion ditentukan oleh reaksi
SDH yang memerlukan wakru pematangan penuh selama 2 sampai 4 tahun.
Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan hipoganglionosis.8
Kerusakan sel ganglion
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal dari
vaskular atau nonvaskular. Yang termasuk penyebab nonvaskular adalah infeksi
Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas), defisiensi vitamin bi, infeksi kronis seperti
Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion karena aliran darah yang
inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull through secara
Swenson, Duhamel, atau Soave.8
2.5 Klasifikasi
Penyakit hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak kolon yang
terkena. Tipe penyakit hirschsprung meliputi:
Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil dari

rektum.
Short segment: Ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian kecil dari

kolon.
Long segment: Ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian besar kolon.
Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh kolon dan rektum dan
kadang sampai sebagian usus kecil.

Gambar 2. Klasifikasi penyakit hirschsprung

2.6 Manifestasi Klinis


Pasien dengan kemungkinan penyakit hirschsprung dapat menunjukkan tanda
dan gejala berikut ini:7
1. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam setelah lahir (keterlambatan
evakuasi meconium).7,9
2. Tanda obstruksi intestinal nonspesifik: distensi abdomen, muntah hijau, dan
intoleransi dalam pemberian makan. Hal ini terjadi karena tidak adanya
peristaltis yang bersifat propulsif pada segmen aganglionik.
3. Enterokolitis yang ditandai dengan demam, distensi abdomen, tinja
menyemprot bila dilakukan pemeriksaan colok dubur, tinja berbau busuk serta
berdarah. Enterokolitis diperkirakan terjadi karena statis obstruktif dan
pertumbuhan bakteri yang berlebihan (misalnya C. difficile dan rotavirus).
8

4. Apabila sudah terjadi komplikasi berupa peritonitis ditemukan edema, bercak


kemerahan di sekitar umbilikus, punggung, serta pada daerah genitalia.
5. Pada anak yang lebih dewasa: distensi abdomen, konstipasi berulang, gagal
tumbuh kembang, serta tampak letargis.7,9
2.7 Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik serta penunjang.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik mencakup tanda dan gejala yang dialami pasien.
Selain itu perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat kehamilan dan kelahiran.7
Anamnesis
Sekitar 10% pasien memiliki riwayat penyakit yang sama pada
keluarga, terutama pada pasien dengan segmen aganglion yang panjang.
Penyakit

hirschsprung

harus

dicurigai

pada

anak

yang

mengalami

keterlambatan dalam mengeluarkan meconium, atau pada anak dengan riwayat


konstipasi kronik sejak lahir. Gejala lainnya termasuk obstruksi usus dengan
muntah, distensi abdominal, nafsu makan menurun, dan pertumbuhan yang
terhambat
Sebagian besar pasien yang telah mengalami komplikasi enterokolitis
dating dengan diare berlendir, disertai perut yang kembung dan feses yang
berbau busuk, hal ini terkait dengan pertumbuhan bakteri akibat statis feses
yang lama sehingga terjadi infeksi pada usus. Keadaan ini dapat berkembang

menjadi perforasi kolon yang menyebabkan sepsis.


Pemeriksaan fisik
Pasien dengan penyakit hirschsprung

pada

masa

neonatus,

memperlihatkan adanya distensi abdomen dan atau spasme anus. Pada anak
yang lebih besar, distensi abdomen dan kemungkinan adanya gambaran usus
pada dinding abdomen juga dapat ditemukan.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan kecurigaan
penyakit hirschsprung adalah:7

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk mengetahui kondisi umum
pasien, serta persiapan yang dilakukan untuk perencanaan tindakan operatif.
Pemeriksaan kimia darah berupa elektrolit dan fungsi renal biasanya dalam
batas normal. Anak dengan diare akibat penyakit hirschsprung mempunyai
hasil yang sesuai dengan kondisi dehidrasi, pemeriksaan ini dapat membantu
mengarahkan pada penatalaksanaan cairan dan elektrolit. Pemeriksaan profil
9

koagulasi dilakukan untuk memastikan tidak adanya gangguan pembekuan


darah sebelum tindakan operatif.

Pemeriksaan definitive (Biopsi rektal)


Biopsi rektal dapat dilakukan secara bedside pada pasien neonatus
dengan indikasi pada bayi < 6 bulan : keterlambatan mengeluarkan mekonium,
obstruksi usus bagian bawah yang tidak diketahui penyebabnya, konstipasi
berat, distensi abdomen kronik, dan gagal tumbuh kembang. Sedangkan pada
anak yang lebih besar diperlukan sedasi intravena. Pengambilan sample
meliputi lapisan mukosa serta submukosa 1cm, 2cm, dan 3cm dari linea
dentate. Sediaan histopatologi penyakit hirschsprung menunjukkan tidak
adanya sel ganglion pada pleksus mienterikus, adanya hipertrofi bundle saraf,

pewarnaan yang menyangat dengan asetilkolin.7,10


Manometri anorektal
Pemeriksaan ini digunakan untuk mendiagnosis penyakit hirschsprung,
gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi dari sphincter ani interna
ketika rektum dilebarkan dengan balon. Metode ini sering dilakukan pada
anak yang lebih besar dibangdingkan neonatus.

Rontgen abdomen
Pemeriksaan ini bersifat nonspesifik. Hasil foto menunjukkan usususus yang terdistensi dan terisi oleh udara. Biasanya sulit untuk membedakan
usus halus dan usus besar saat usia neonatus.7,9

Pemeriksaan barium enema


Dilakukan untuk menunjukkan lokasi zona transisi antara segmen
kolon dengan ganglion yang mengalami dilatasi dengan segmen aganglionik
yang mengalami konstriksi. Terdapat tanda klasik radiografis penyakit
hirschsprung, yakni;
1. Segmen sempit dari sphincter anal (daerah penyempitan di bagian
distal yang panjangnya bervariasi)
2. Zona transisi (terlihat dari daerah distal yang menyempit ke daerah
proksimal yang berdilatasi)
3. Segmen dilatasi (daerah pelebaran lumen di proksimal daerah
transisi)

10

Gambar 3. Barium enema pada penyakit hirschsprung


Pemeriksaan barium enema sangat berguna untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti atresia kolon, sindrom sumbatan meconium, atau
small left colon syndrome.7
2.8 Diagnosis Banding7
1) Atresia ileum: meconium sedikit, kering, berbutir-butir, warna hijau muda
2) Sumbatan mekonium: pada rontgen abdomen tampak usus melebar disertai
kalsifikasi
3) Atresia rektal
4) Enterokolitis nekrotikan neonatal: pasien letargis, meconium bercampur darah,
tanda enterokolitis muncul lebih cepat dibandingkan penyakit hirschsprung
5) Peritonitis intra-uterin
6) Sepsis neonatorum: gagal evakuasi meconium dalam 24-48 jam pertama,
pasien menolak minum, distensi abdomen mulai dari gaster, pasien tampak
letargis
7) Sindrom kolon kiri kecil: biasanya pada ibu dengan diabetes mellitus, pada
pemeriksaan barium enema, kolon kiri terlihat kecil sedangkan ampula rektum
melebar
8) Obstipasi psikogenik: pada pasien usia >2 tahun, feses seperti tanah liat dekat
sphincter ani.
2.9 Komplikasi
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit hirschsprung dapat digolongkan
atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi sphincter.
11

Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita penyakit


hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri dan
translokasi. Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel neuroendokrin,
kenaikan aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau rotavirus
dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis.6
Pada keadaan yang sangat berat enterokolitis akan menyebabkan terjadinya
megakolon toksik yang ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi
abdomen, dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi dan nekrosis akibat iskemia mukosa
diatas segmen aganglionik akan menyebakan terjadinya sepsis, pneumatosis dan
perforasi usus. Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita penyakit hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja,
namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1
minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan
disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan
kolostomi. Kejadian enteokolitis berdasar prosedur operasi yang dipergunakan
Swenson 16,9%, Boley-Soave 14,8%, Duhamel 15,4% dan Lester Martin 20%.6
2.10
Tatalaksana
Semua pasien dengan penyakit hirschsprung dirujuk ke dokter spesialis bedah
anak untuk mendapatkan tatalaksana definitive. Namun, tatalaksana awal dapat
diberikan pada pasien dengan distensi abdomen (biasanya pada kasus aganglionik
total)7:
1) Dekompresi saluran cerna dengan selang nasogastric (NGT). Cairan dihisap
setiap 15-20 menit karena cairan jejunum akan mulai mengisi lambung dalam
rentang waktu ini. Dekompresi rektal juga dapat dilakukan dengan
menggunakan rektal tube. Apabila dekompresi tidak berhasil kolostomi
menjadi pilihan terapi bedah sementara.
2) Rehidrasi (diberikan kebutuhan rumatan dan rehidrasi). Hindari pemberian
cairan dengan kecepatan tinggi untuk menghindari terjadinya edema paru.
3) Pemasangan kateter urine untuk memantau urine output. Normalnya 1,5
cc/KgBB/jam.
4) Pemberian antibiotic apabila terjadi enterokolitis.
Tatalaksana operatif dilakukan dalam beberapa tahap7;
1) Kolostomi, dilakukan pada periode neonatus, pasien anak dan dewasa
yang terlambat terdiagnosis, dan pasien enterokolitis berat dengan keadaan
12

umum yang buruk. Apabila pasien tidak termasuk kedalam tiga kelompok
ini tindakan bedah definitive dapat dilaksanakan.
2) Pull-trough operation.
Prinsip operasi ini adalah membuang segmen aganglionik dan
membuat anastomosis segmen ganglion dengan anus. Ada 3 buah teknik
yang sering digunakan oleh dokter bedah anak, yakni prosedur Swenson,
Duhamel, Soave, dan Rehbein. Teknik Duhamel dan Soave memberikan
hasil yang lebih baik dan dapat digunakan pada kasus aganglionik total.
Teknik lain yang sering digunakan dengan transanal pull trough. Pada
kasus aganglionik total ileum digunakan sebagai anastomosis.
2.11

Prognosis
Secara umum prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit hirschprung

yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar


10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus
dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan
pembedahan pada bayi sekitar 20%.6

13

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan penelusuran literatur tersebut dapat disimpulkan beberapa hal yaitu


penyakit hirschsprung adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai pleksus auerbach
dan pleksus meisneri pada kolon. 90% terletak pada rectosigmoid dan penyakit ini
disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf parasimpatis myentericus dari cephalo ke
caudal. Dasar patofisiologi karena tidak adanya gelombang propulsive dan abnormalitas atau
hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang disebabkan aganglionosis,
hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus besar.
Penyakit hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang terkena
meliputi: Ultra short segment, Short segment, Long segment, Very longs segment. Gejala
kardinalnya yaitu gagalnya pasase mekonium pada 24-48 jam pertama kehidupan, distensi
abdomen dan muntah. Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan diantaranya barium
enema, Anorectal manometry dan Biopsy rectal sebagai gold standard. Tatalaksana operatif
dengan cara tindakan bedah sementara dan bedah definitive (Prosedur Swenson, Duhamel,
Soave dan Rehbein). Komplikasi utama adalah enterokolitis post operatif, konstipasi dan
gangguan anastomosis . Secara umum prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit
hirschprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya
sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus
dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan
pada bayi sekitar 20%.

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Sergi C. Hirschsprungs Disease: Historical Notes and Pathological Diagnosis on the


Occasion of the 100th Anniversary of Dr. Harald Hirschsprungs Death. World J Clin
Pediatr. 2015;4(4):120-5.
2. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Colon and Rectum. Sabiston
Textbook of Surgery. 20th ed. Elsevier Health Science. 2016;(51)3.
3. Bailey HR, Billingham RP, Stamos MJ, Snyder MJ. Colorectal Surgery. Elsevier
Health Science. 2012;(1)3.
4. Szmulowicz UM, Hull TL. Colonic Physiology. The ASCRS Textbook of Colon and
Rectal Surgery. 2nd ed. Springer Science and Business Media. LLC; 2011.p.23-4.
5. Langer JC. Hirschsprung Disease. Dalam: Coran AG, Adzick NS, Krummel TM,
Laberge JM, Caldamone A, Shamberger R, ed. Pediatric Surgery. 7th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2012.p.1265-78.
6. Florino K, Liacouras CA. Congenital Aganglionic Megacolon (Hirschsprung
Disease). In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, eds. Nelson
Textbook of Pediatric. 20th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2015.p.1809-10.
7. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Penyakit Hirschsprung. Kapita Selekta
Kedokteran. 4th ed. Jakarta: FKUI. Media Aesculapius; 2014:(67)211-2.
8. Adhi M, Khan S, Zafar H, Arshad M. Duhamels Procedure for Adult Hirschsprungs
Disease. Journal of the College of Physicians and Surgeon. Pakistan: 2012; 22(6);
395-7.
9. MayoClinic. Hirschsprung Disease. 2016. Available at : http://www.mayoclinic.org/
diseases-conditions/hirschsprungs- disease/basics/symptoms/con-20027602. Accessed
June 17, 2016.
10. Rouzrokh M, Jadali F, Gharib A, et al. Can We Rely on Frozen Section of a Rectal
Biopsy for One-stage Trans-anal Pull-trough Operation in Hirschprung Disease? Iran
J Pediatr. 2011;21(1):72-6.

15

Anda mungkin juga menyukai