Anda di halaman 1dari 3

13. Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit pada skenario ?

Tatalaksana DM Tipe 2 :
1. Terapi Nonfarmakologi
1.) Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Terapi nutrisi medis merupakan bagian penatalaksanaan diabetes secara total.
Terapi nutrisi medis pada dasarnya adalah melakukan pengaturan pola makan
yang didasarkan pada status gizi, kebiasaan makan dan kondisi atau komplikasi
yang telah ada. Terapi nutrisi medis dapat dipakai sebagai pencegahan timbulnya
diabetes bagi penderita yang mempunyai resiko diabetes, terapi pada penderita
yang sudah terdiagnosis diabetes, serta mencegah atau memperlambat laju
berkembannya komplikasi diabetes. Tujuan terapi gizi medis bagi diabetes adalah
:
a. Untuk mencapai dan mempertahankan
- Kadar glukosa darah dalam batas normal atau mendekati normal tanpa
efek samping hipoglikemi.
Glukosa darah sebelum makan pagi (preprandial) antara 70 130
mg/dl
Glukosa darah 1 jam sesudah makan (peak postprandial) < 180 mg/dl
Kadar A1C < 7%
- Profil lipid untuk mencegah resiko penyakit kardiovaskuler
Kolesterol LDL < 100 mg/dl (bagi diabetes dengan komplikasi
kardiovaskuler kolesterol LDL <70 mg/dl)
Kolesterol HDL >40 mg/dl
Trigliserida <150 mg/dl
- Tekanan darah dalam batas normal atau seaman mungkin mendekati
normal
<130/80 mmHg
b. Untuk mencegah atau memperlambat laju berkembangnya komplikasi kronis
diabetes dengan melakukan modifikasi asupan nutrisi serta perubahan gaya
hidup.
c. Nutrisi diberikan secara individual dengan memperhitungkan kebutuhan
nutrisi dan memperhatikan kebiasaan makan diabetes.
Terapi nutrisi medis yang dapat diberikan pada DM tipe 2 dengan gejala
penurunan BB yaitu : Diet DM-B1, yaitu diet DM yang mempunyai komposisi
60% kalori karbohidrat, 20% kalori protein dan 20% kalori lemak. Indikasi diet
DM-B1 yaitu :
a. Mampu atau mempunyai kebiasaan makan tinggi protein, tetapi harus
memiliki kadar lemak yang normal.
b. Kurus (BBR < 90%).

2.) Latihan Fisik

Selama latihan fisik kebutuhan energi akan meningkat dan ini dipenuhi dari
pemecahan glikogen dan pembongkaran trigliserida, asam lemak bebas dari
jaringan adiposa, serta pelepasan glukosa dari hepar. Kadar glukosa
dipertahankan normal untuk memenuhi kebutuhan energi otak selama latihan
fisik melalui mekanisme hormonal. Menurunnya hormon insulin dan
meningkatnya glukagon diperlukan utnuk meningkatkan produksi glukosa hepar
selama latihan fisik dan pada latihan fisik yang lama akan terjafi peningkatan
hormon glukagon dan ketolamin.
Pada DM tipe 2 yang mendapatkan terapi insulin atau golongan sulfonilurea
terjadinya hipoglikemia selama latihan fisik tidak terlalu menimbulkan masalah,
bahwa latihan fisik pada DM tipe 2 akan memperbaiki sensitivitas insulin dan
membantu menurunkan kadar glukosa darah. Latihan fisik merupakan salah satu
pilar dalam pengelolaan DM tipe 2 selain bisa memperbaiki sensitivitas insulin,
juga untuk menjaga kebugaran tubuh. Beberapa penelitian membuktikan dengan
latihan fisik bisa memasukkan glukosa kedalam sel tanpa membutuhkan insulin,
selain itu Latihan fisik bisa untuk menurunkan BB bagi diabetesi dengan obesitas
serta mencegah laju progresivitas gangguan toleransi glukosa menjadi DM tipe 2.
Di dalam konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia PERKENI 2011, menyarankan bahwa setiap diabetisi melakukan
kegiatan fisik secara teratur 3-4 kali dalam seminggu selama 30 menit. Kegiatan
sehari-hari seperti berjalan kaki dan menggunakan tangga tetap harus dilakukan.
Latihan fisik yang dianjurkan adalah berupa latihan fisik yang bersifat aerobik
seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging dan berenang.
2. Terapi Farmakologi
Megelola DM tipe 2 degan terapi farmakologi sangat tergantung pada fase mana
diagnosis diabetes ditegakkan yaitu sesuai dengan kelainan dasar yang terjadi.
Penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa
pemberian edukasi, perencanaan makanan/ terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan
penurunan BB bila didapat BB lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah
pendekatan nonfarmakologi belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM, maka
dilanjutkan dengan penggunaan terapi medikamentosa disamping tetap melakukan
pengaturan makan dan aktivitas fisik yang sesuai.
Macam-macam Obat Anti Hiperglikemik Oral
1.) Golongan insulin sensitizing
a. Biguanid
Saat ini biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin
menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada
tingkat seluler, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati.
Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga
menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorbsi glukosa
diusus sesudah asupan makanan. Metformin juga dapat menstimulasi produksi
glukagon like peptida-1 (GLP-1) dari gastrointestinal yang dapat menekan
fungsi sel alfa pangkreas sehingga menurunkan glukagon serum dan
mengurangi hiperglikemia saat puasa.
b. Glitazone

Glitazon (Thiazolidinediones), merupakan agonist peroxisome proliferatoractiveted receptor gamma (PPAR gamma) yang sangat selektif. Reseptor
PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa,
otot skelet dan hati. Glitazone merupakan regulator homeostasis lipid,
diferensiasi adiposit dan kerja insulin. Sama seperti metformin, glitazon tidak
menstimulasi produksi insulin oleh sel beta pangkreas bahkan menurunkan
konsentrasi insulin lebih besar dari pada metformin. Mengingat efeknya dalam
metabolisme glukosa dan lipid, glitazon dapat meningkatkan efisiensi dan
respon sel beta pangkreas dengan menurunkan glukotoksisitas dan
lipotoksisitas.
2.) Golongan sekretagok insulin
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi
insulin oleh sel beta pangkreas.
a. Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pangkreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan, sehingga hanya bermanfaat pada pasien
yang masih mampu mensekresikan insulin. Efek hipoglikemia sulfonilurea
adalah dengan merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta
pangkreas. Bila sulfonilurea terikat pada reseptor channel tersebut maka akan
terjadi penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan
permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi depolarisasi membran dan
membuka channel Ca tergantung voltase dan menyebabkan peningkatan Ca
intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodulin dan menyebabkan eksositosis
granul yang mengandung insulin.
b. Glinid
Mekanisme kerja glinid juga melalui reseptor sulfonilurea dan mempunyai
struktur yang mirip dengan sulfonilurea, perbedaannya dengan sulfonilurea
adalah pada masa kerjanya yang lebih pendek. Mengingat lama kerjanya yang
pendek maka glinid digunakan sebagai obat prandial.
c. Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini memperlambat dan pemecahan dan penyerapan karbohidrat kompleks
dengan menghambat enzim alpha glukosidase yang terdapat dalam dinding
enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Secara klinis akan
terjadi hambatan pembentukan monosakarida intraluminal, menghambat dan
memperpanjang peningkatan glukosa darah postprandial dan mempengaruhi
respon insulin plasma. Hasil akhirnya adalah penurunan glukosa darah
postprandial.
Bila obat-obat oral yang diberikan belum mampu mencapai sasaran
pengendalian DM, maka dilanjutkan dengan penggunaan suntikan insulin.
(Sumber : Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV).

Anda mungkin juga menyukai