Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Berbicara mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kehidupan demokrasi kita
terasa makin mencuat, meski pemahaman terhadapnya belum memuaskan karena
banyak konsepsi yang dikembangkan masih dipahami secara beragam mulai dari
orang/masyarakat awam hingga kalangan yang 'melek' HAM. HAM yang bersifat
kodrati dan berlaku universal itu pada hakikatnya berisi pesan moral yang
menghendaki setiap orang baik secara individu ataupun kelompok bahkan
penguasa/pemerintah (negara) harus menghormati dan melindunginya.
Pesan moral yang ada, memang belum mengikat atau belum mempunyai daya
ikat secara hukum untuk dipaksakan pada setiap orang. Ketika ia dimuat
(dicantumkan dan ditegaskan) melalui berbagai piagam dan konvensi internasional,
maka semua orang harus menghormatinya. Paling tidak negara (sebagai yang
bertanggung jawab dalam rangka penghormatan dan pelaksanaan HAM) yang ikut
terlibat
dalam
atau
sebagai
peserta
konvensi
dan
terlibat
dalam
penandatanganannya, juga terhadap piagam yang telah disetujui bersama itu, akan
terikat dan berkewajiban untuk meratifikasinya ke dalam peraturan perundangan
masimng-masing negara bersangkutan. Dalam proses demikian, HAM telah
diakomodasi ke dalam hukum. Dengan kata lain, pesan HAM tersebut telah
menjelma menjadi pesan hukum karena ia telah dinormakan yakni melalui
peraturan perundangan. Dengan demikian, konsepsi HAM yang dimuat dalam
berbagai peraturan perundangan itu akan berfungsi sebagai suatu norma yang
mengikat, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan.
Meski demikian, fungsi hukum yang mengatur tentu selalu ada dan tampak
ketika fenomena sosial itu harus diatur, karena pertama, ia harus dilindungi dari
tindakan
atau
perbuatan
sewenang-wenang,
ketidakseimbangan
dan
ketidakpastian, dan sebagainya. Kedua, karena persoalan pelaksanaan
(implementasi) yang memang harus diatur pula. Semua harus berlangsung tertib
dan teratur di bawah aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian, fungsi
mengatur dan menertibkan hukum (yang ada dalam peraturan perundangan) itu,
terdapat upaya 'membatasi' dalam pelaksanaannya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka kami dapat merumuskan
masalah dalam karya tulis ini, sebagai berikut:
1. Hakikat tentang HAM dan hukum pidana mati?
2. Hukuman mati di Indonesia?
3. Macam-macam hukuman mati yang terdapat di Indonesia?
4. Hukum pidana mati dalam perspektif HAM?

PEMBAHASAN

A. Pengertian
1) HAM.
Dalam Hak Asai Manusia terkandung pengertian hak kewajiban yang dimiliki
oleh setiap orang dalam tata pergaulan hidupnya serta dengan lingkungan.
Kehidupannya serta dengan Tuhannya, terdapat beberapa tata kehidupan yang
bersumber dari Tuhan atau agama (hak kodrat) yaitu hak hidup, kebebasan
(freedom) serta hak jiwa raga yaitu hak menikmati kekayaan kebahagiaan (pursult
of happiness) ketiga hak kodrati diatas diturunkan tuhan kepada setiap umatnya
tanpa pilih kasih untuk melengkapi hidupnya sedangkan kewaiban yang dipikul oleh
kita yaitu kewajiban bersyukur, beriman dan bertakwa kepada-Nya. Di sisi lain
terdapat hak kewajiban yang bersuber daeri kehidupan sesame manusia, ingkungan
hidup dimana kita hidup dimasyarakat. Sumber ini kita kenla dengan sebutan
kaidah atau norma social, kebiasaan atau adapt istiadat, hak dan kewajiban yang
lain di tentukan oleh Negara dan organisasi-organisasi seperti PBB dan lain-lain. [1]
Secara khusus hak asasi manusia ini dapat dirinci yaitu:
a.

Hak asasi pribadi, yang meliputi hak kemerdekaan m,emeluk agama, menyatakan
pendapat, dan kebebasan berorganisasi atyau berpartai.

b. Hak asasi ekonomi, yang meliputi hak kebebasan memiliki sesuatu, hak membeli
atau menjual sesuatu, dan hak mengadakan suatu perjanjian atau kontrak.

c.

Hak asasi mendapat pengayoman dan perlkauan yang sama dalam keadilan dan
pemerintahan (hak persamaan hukum).
HAM merupakan hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat
pemberian Tuhan semesta alam, sesungguhnnya tidak dapat dipisahkan dari
hakikatnnya oleh karena itu setiap manusia berhak mendapat kehidupan yang
layak, kebebesan, keselamatan dan kebahagiaan. Didalam Negara merdeka hak-hak
asasi manusia seharusnnya secara keselruruhan terjamin, Karena pada
hakikatannya kemerdekaan negara dan bangsa berarti kemerdekaan pula bagi
warga negara oleh karena itu setiap wargan gera sudah sewajarnya menikmati
kemerdekaan nasionalnya yang berwujud kebebesan dalam fitrahnnya misalnnya :
hak mmilih dan dipilih, hak mendapat perlindungan dan perlakuan yang baik/adil,
hanya mendapat pendidikan dan pengajaran, serta hak mendapat pekerjaan dan
penghidupan yang layak dan kesejahteraan hidup, kesadaran menghormati hak
asasi dalam pergaulan, mencerminkan kedewasaan dan kebijakan seseorang,. Kritik
dan penyampaian juga menunjukan kematangan seseorang. Masalah hak asasi
manusia adalah hak masalah sesama manusia, hal ini mengandung arti akan
menyangkut masalah hak dan kewajiban tugas dan tangung jawab, serta
penghormatan dan perlakuan terhadap sesama manusia. Setiap pelanggaran
terhadap hak asasi oleh sesama warga negera, mengakibatkan tidak adannya tertib
sosial dan tertib hukum. [2]

1. Hak asasi manusia menurut UUD 1945


Dalam UUD 1945 pokok-pokok yang dirumuskan dalam UUD 1945, terutama dalam
pembukaan maupun dalam bartang tubuhnya yaitu merupakan hak bangsa atas
kemerdekaan atau kebebasan terlepasa dari segala bentuk penjajahan tidak saja
berlaku bagi bangsa indonesia saja tapi bagio semua bangsa di dunia (alinea I
pembukaan) dan yang penting bagi bangsa indonesia adalah yang tercantum, pada
(alinea IV pembukaan) bahwa tujuan pemerintah Ri terhadap dunia internasional
adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, dan yang khas bagi negara dan bangsa
indonesia adalah bahwa kemerdekaan dan kebangsan indonesia itu dalam satu
negara hukum yang berdasarkan pancasila
Mengenai hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945, dalam penjelasanya
tiudak diberikan ketegasan lebih lanjut, meskipun ketika rancangan UUD ini disusun
tela beberapa kali disinggung dalam sidang-sidang badan penyelidian usaha
persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) oleh beberapa ahliu seperti moh hata,
moh Yamin. Hal tersebut tidaklah mengherankan menginagt bahwa masalah UUD

1945 disusun pada akhir pada masa pendudukan jepang dalam suasana mendesak
yang waktrunya sangat terbatas untuk membiarakan ak-hak asasi secara
mendalam, sedang kehadiran jepang di bumi Indonesia kurang mendukung untuk
merumuskan hak-hak asasi manusia disamping itu lahir UUD 1945, beberapa tahun
sebelum perntyataan hak-hak asasi diterima oleh PBB walaupun sebelumnnya
telah banyak piagam-piagam yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia.
Diterimanya pernyataan HAM oleh PBB, sekaligus menunjukan dengan jelas
bahwa gagasan mengenai perluannya HAM dijamin, hal ini benara-benar didukung
oleh seluruh umat manusia seluruh dunia. Hala ini pun dirasakan oleh bangsa
indonesia, dapat kita buktikan dalam UU berkonstitusi berikutnnya yang pernah
digunakan di Indonesia: yaitu konstitusi RI serikat 1949 dan UUD sementara 1950
bahwa hak asasi ditambah dan diperlengkap.
Secara garis besar dasar pemikiran HAM dalam pembukaan UUD 1945
mengandung prinsip :
1. kemerdekaan indonesia sesungguhnya adalah berkat Rahmat allah yang Maka
kuasa.
2. segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah indonesia di lindungi.
3. negara memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
4. negara ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdaaian abadi, dan keadilan sosial.
5. negara republik indonesia adalah negara hukum berdasarkan pancasila.
Hak dan kewajiban yang tercantum dalam UUD 1945, yaitu:
a. pasal 27, ayat (1) menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan. Dan wajib menjungjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Ayat (2), menyatakan bahwa : tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi manusia.
b. Pasal 28 menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan bverkumpul
mengeluarkan pikioran dengan lisan maupun tulisan dan sebagainnya ditetapkan
dengan UU

c. Pasal 29 ayat (2), menyaakan bahwa negara menjamin kemerdekaan penduiduk


untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribdah dan kepercayaannya
itu.
2. Pemahaman tentang Hak Asasi Manusia
Didalam mukadimah deklarasi universal tentang HAM yang telah disetujui dan
diuumkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB No. 217 A(III) tanggal 10 12 -1948
terdapat pertindang-pertindangan berikut :
1. Menimbang bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang
sama yang tidak terasingkan dari semua anggota keluarga manusia, keadilan dan
perdamaian di dunia.
2. Menimbang bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada hak-hak asasi
manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa
kemarahandalam hati nurani umat manuysia dan bahwa terbentuknya suatu dunia
dimana manusia akan m,engecap kenikmatan kebebasan dari rasa takut dan
kekurangan telah dinyatakan sebagai aspirasi tertingi dari rakyat jelata.
menimbang bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi peraturan hukum
supaya orang tidak terpaksa emilih pemberontakan sebagai usaha yang terakhir
untuk menentang kelaliman dan penjajahan.[3]

3) Pidana Mati.
Pidana mati merupakan hukuman yang terberat dari jenis-jenis ancaman
hukuman yang tercantum dalam KUHP bab 2 pasal 10 karena pidana mati
merupakan pidana terberat yaitu yang pelaksanaannya berupa perampasan
terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran apabila dalam menentukan
hukuman mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan ahli
hukum ataupun masyarakat itu sendiri.
Sebagian orang berpendapat bahwa pidana mati dibenarkan dalam hal-hal
tertentu yaitu, apabila si pelaku telah memperlihatkan dengan perbuatannya bahwa
dia adalah orang yang sangat membahayakan kepentingan umum, dan oleh karena
itu untuk menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang tegas yaitu
dengan hukuman mati. Dari pendapat ini tampak jelas bahwa secara tidak langsung
tujuan pidana yang dikatakan oleh Van Hammel adalah benar yaitu
untuk membinasakan.

Pendapat yang yang lain mengatakan bahwa hukuman mati sebenarnya tidak
perlu, karena mempunyai kelemahan. Apabila pidana mati telah dijalankan, maka
tidak bisa memberikan harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas pidananya
maupun perbaikan atas dirinya sendiri. Karena salah satu tujuan adanya pidana
adalah untuk mendidik ataupun memberikan rasa jera agar si pelaku tidak
mengulangi pada tindakan yang sama.
Sedangkan untuk tujuan pidana mati itu sendiri selalu ditujukan pada
khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman akan merasa takut apabila
melakukan perbuatan-perbuatan kejam.

B. Konsepsi HAM Dalam Perundangnan RI.


Penuangan konsep HAM dalam pelbagai peraturan perundangan tidak boleh
dikatakan purna atau tidak purna, karena sesungguhnya pencantuman pernyataan
HAM di dalam peraturan perundangan itu bermaksud awal, menegaskan kembali
hak yang telah ada dan mungkin lebih dahulu disebut dalam beragam peraturan
perundangan lain. Meski, akomodasi mengenai HAM dalam berbagai peraturan
perundangan lain itu tidak langsung dan agak samar-samar. Mengapa konstitusi kita
(UUD 1945) tidak banyak memuat ketentuan mengenai HAM, mulanya adalah
karena pada waktu itu awal pembentukan negara dan Konstitusi itu sendiri. Kita
beranggapan, cukup 'diwakili' oleh Pembukaan UUD 1945 sehingga dalam Batang
Tubuh (pasal-pasal)-nya tidak dijabarkan lagi.
Akan tetapi kini ternyata kita 'terpaksa'. mencantumkan/menjabarkannya ke
dalam pasal-pasal UUD 1945. Bahkan melalui amandemen kedua, kita menambah
dan memperjelas ketentuan berkenaan HAM dalam satu bab tersendiri, yakni Bab
XA dari pasal 28A hingga 28 J UUD 1945. Hal ini bisa jadi dapat dianggap masih
kurang, meski sebenarnya telah cukup karena nantinya secara rinci juga akan
dijabarkan ke dalam peraturan perundangan khusus berkenaan HAM. Lahirnya UU
Nomor 33 Tahun 1999 tentang HAM dan seperangkat peraturan perundangan yang
ada mengenai HAM sebagai penjabaran lebih lanjutnya, termasuk UU yang berasal
dari ratifikasi konvensi internasional mengenai HAM, sesungguhnya menguatkan
adanya indikasi bahwa RI berupaya sungguh-sungguh memperhatikan persoalan
yang berkenaan dengan HAM. Meski demikian, karena konsepsi HAM yang tidak
harus sama antara satu negara dengan negara lainnya terutama karena persoalan
ideologi dan sebagainya, maka yang disebut sebagai 'pengakuan' HAM itu menjadi
berbeda pula. Dengan kata lain, terdapat batasan dalam penerimaan konsepsi HAM
tersebut.

Nilai persamaan dan kebebasan yang ada dalam konsepsi HAM khususnya yang
berasal dari negara Barat, berbeda dengan negara Timur dan RI. Landasan yang
dipergunakan Indonesia dalam memahami HAM adalah agama, nilai luhur budaya
bangsa yang berakar pada Pancasila sebagai ideologi negara, juga nilai moral yang
berlaku universal. Jika fungsi peraturan perundangan membatasi HAM dalam
pelaksanaannya, maka tentu dimaknai lebih dahulu bahwa tujuannya adalah dalam
rangka perlindungan dan jaminan bagi pelaksanaan HAM. Tegak dan terlaksananya
HAM bila kewajiban asasi dilaksanakan, dan untuk melaksanakan semua ini
diperlukan peraturan perundangan. Membatasi pelaksanaan HAM tidak sama
dengan menghilangkan atau merampas hak azasi orang, karena pada dasarnya
HAM itu bersifat inviolable (tidak boleh diganggu gugat keabsahannya) dan
inelienable (tidak boleh dicabut atau diserahkan pada siapa pun yang berkuasa).

C. Hukuman Mati Di Indonesia.


Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak menjatuhkan pidana mati.
Berdasarkan catatan berbagai Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional, Indonesia
termasuk salah satu negara yang yang masih menerapkan ancaman hukuman mati
pada sistem hukum pidananya (Retentionist Country). Retentionist maksudnya de
jure secara yuridis, de facto menurut fakta mengatur pidana mati untuk segala
kejahatan. Tercatat 71 negara yang termasuk dalam kelompok ini. Salah satu
negara terbesar di dunia yang termasuk dalam retentionist country ini adalah
Amerika Serikat. Dari 50 negara bagian, ada 38 negara bagian yang masih
mempertahankan ancaman pidana mati . Padahal seperti diketahui, Amerika Serikat
merupakan salah satu negara yang paling besar gaungnya dalam menyerukan
perlindungan hak asasi manusia di dunia. Namun dalam kenyataannya masih tetap
memberlakukan ancaman pidana mati, juga dalam hukum militernya.
Angka orang yang dihukum mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi setelah
Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran. Di Indonesia sendiri, sejak 1982
hingga 2004, tidak kurang dari 63 yang berstatus sedang menunggu eksekusi, atau
masih dalam proses upaya hukum di pengadilan lanjutan . Alasan yang banyak
dikemukakan berkaitan dengan resistensi politik agar setiap negara menghormati
pemikiran bahwa masalah sistim peradilan pidana merupakan persoalan kedaulatan
nasional yang merupakan refleksi dari nilai-nilai kultural dan agama, dan menolak
argumen bahwa pidana mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Terkecuali Cina dan Amerika Serikat, negara yang masih mempertahankan ancaman
pidana mati adalah negara yang didominasi oleh penduduk muslim. Sedangkan

Indonesia adalah negara yang notabene merupakan negara yang penduduknya juga
didominasi oleh penduduk muslim.
Hasil sejumlah studi tentang kejahatan tidak menunjukkan adanya korelasi
antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Beberapa studi
menunjukkan, mereka yang telah dipidana karena pembunuhan (juga yang
berencana) lazimnya tidak melakukan kekerasan di penjara. Begitu pula setelah ke
luar penjara mereka tidak lagi melakukan kekerasan atau kejahatan yang sama.
Sebaliknya sejumlah ahli mengkritik, suatu perspektif hukum tidak dapat
menjangkau hukum kerumitan kasus-kasus kejahatan dengan kekerasan di mana
korban bekerjasama dengan pelaku kejahatan, di mana individu adalah korban
maupun pelaku kejahatan, dan dimana orang yang kelihatannya adalah korban
dalam kenyataan adalah pelaku kejahatan .

D. Macam-Macam Pidana Mati Yang Ada Di Indonesia.


Untuk pelaksanaan pidana mati di Indonesia pada mulanya dilaksanakan
menurut ketentuan dalam pasal 11 KUHP yang menyatakan bahwa pidana mati
dijalankan oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum
dengan sebuah jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari
bawah kakinya.
Karena dirasa kurang sesuai maka kemudian pasal tersebut di atas diubah
dengan ketentuan dalam S. 1945 : 123 dan mulai berlaku sejak tanggal 25 agustus
1945. Pasal 1 aturan itu menyatakan bahwa: menyimpang dari apa tentang hal ini
yang ditentukan dalam undang-undang lain, hukuman mati dijatuhkan pada orangorang sipil (bukan militer), sepanjang tidak ditentukan lain oleh gubernur
jenderal dilakukan dengan cara menembak mati.untuk ketentuan pelaksanaannya
secara rinci di jelaskan pada UU No. 2 (PNPS) tahun 1964.
Berdasarkan keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi
hukuman mati di Indonesia yang berlaku saat ini dilakukan dengan cara menembak
mati bukan dengan cara menggantungkan si terpidana pada tiang gantungan.
Beberapa ketentuan terpenting dalam pelaksanaan pidana mati adalah sebagai
berikut:
1) Tiga kali 24 jam sebelum pelaksanaan pidana mati, jaksa tinggi atau jaksa yang
bersangkutan memberitahukan kepada terpidana dan apabila ada kehendak
terpidana untuk mengemukakan sesuatu maka pesan tersebut diterima oleh jaksa;

2) Apabila terpidana sedang hamil harus ditunda pelaksanaannya hingga melahirkan;


3) Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman di daerah
hukum pengadilan hukum pengadilan tingkat 1 yang bersangkutan;
4) Kepala Polisi Daerah
pelaksanaannya;

yang

bersangkutan

bertanggungjawab

mengenai

5) Pelaksanaan pidana mati dilaksanakan oleh suatu regu penembak polisi di bawah
pimpinan seorang perwira polisi;
6) Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan harus menghadiri pelaksanaan tersebut;
7) Pelaksanaan tidak boleh dimuka umum;
8) Penguburan jenazah diserahkan pada keluarga;
9) Setelah selesai pelaksanaan pidana mati tersebut Jaksa yang bersangkutan harus
membuat berita acara pelaksanaan pidana mati tersebut, yang kemudian salinan
surat putusan tersebut harus dicantumkan ke dalam surat putusan pengadilan.
E. Hukum Pidana Mati Dalam Perspektif HAM.
Perdebatan hukum terhadap absah tidaknya pidana mati berangkat dari
peraturan-peraturan di atas, yang pada satu sisi masih mengakui pidana mati dan
sisi lain mengakui hak hidup. Bagi pihak yang menolak pidana mati, berpendapat
bahwa pidana mati secara hukum adalah inkonstitusional, karena bertentangan
dengan konstitusi. Dalam tata urutan peraturan perundangan di Indonesia, setiap
peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya.
Undang-undang yang memuat pidana mati bertentangan dengan konstitusi yang
mengakui hak hidup. Karena konstitusi dalam tata hukum Indonesia lebih tinggi
dibanding dengan undang-undang, maka pidana mati dalam undang-undang itu
harus amandemen. Pro kontra penerapan Pidana Hukuman Mati di Indonesia secara
garis besar mengerucut ke dalam dua bagian besar yaitu;
(1) Bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM karena pelaku telah melanggar
HAM korban dan HAM masyarakat. Parahnya tudingan mengenai hukuman mati
melangar HAM dinilai sebagai sebuah pernyataan sepihak yang tidak melihat
bagaimana HAM korban kejahatan itu di langgar. Selanjutnya
(2) Hukuman mati dinilai melanggar HAM karena dicabutnya hak hidup
seseorang yang sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun yang

boleh mencabutnya. Oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan dalam
perundang-undangan yang ada.
Pihak-pihak yang kurang menyetujui penerapan hukuman mati, kemudian
merekomendasikan apa yang disebut sebagai conditional capital punisment
menjadi alternatif apabila negara masih memberlakukan hukuman mati. Karena itu
hukuman mati bisa dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Sehingga hukuman
mati diterapkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Di samping
itu rekomendasi juga diarahkan agar pemerintah bersikap tegas. Proses hukum
yang lamban dan cenderung berlarur-larut membuat timbulnya rasa kasihan dan
iba dikalangan masyarakat terhadap mereka yang di pidana mati. Walaupun di satu
sisi terdapat anggapan bahwa proses hukum yang lama tersebut adalah upaya
memberi kesempatan bagi terpidana mati, namun kondisi ini tanpa disadari justru
mempunyai sisi ketidak pastian hukum bagi terpidana mati.
Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional,
agaknya harus diyakini jika penerapan hukuman mati adalah jelas-jelas melanggar
Konstitusi RI UUD 1945 sebagai produk hukum positif tertinggi di negeri ini. Pasal
28A UUD 45 (Amandemen Kedua) telah menyatakan bahwa setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sementara itu
pasal 28I ayat (1) UUD 45 (Amandemen Kedua) menyatakan bahwa hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
A. Kesimpulan
Dari penjelasan dan pemaparan dalam bab pembahasan, maka dapat
disimpulkan bahwa HAM merupakan hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia
berkat pemberian Tuhan semesta alam, sesungguhnnya tidak dapat dipisahkan dari
hakikatnnya oleh karena itu setiap manusia berhak mendapat kehidupan yang
layak, kebebesan, keselamatan dan kebahagiaan.
Perdebatan hukum terhadap absah tidaknya pidana mati berangkat dari
perbedaan pendapat mengenai hukum mati dalam pandangan HAM, yang pada satu
sisi masih mengakui pidana mati dan sisi lain mengakui hak hidup. Bagi pihak yang
menolak pidana mati, berpendapat bahwa pidana mati secara hukum adalah
inkonstitusional, karena bertentangan dengan konstitusi. Dalam tata urutan
peraturan perundangan di Indonesia, setiap peraturan yang berada di bawah tidak
boleh bertentangan dengan yang di atasnya. Undang-undang yang memuat pidana

mati bertentangan dengan konstitusi yang mengakui hak hidup. Karena konstitusi
dalam tata hukum Indonesia lebih tinggi dibanding dengan undang-undang, maka
pidana mati dalam undang-undang itu harus diamandemen. Pro kontra penerapan
Pidana Hukuman Mati di Indonesia secara garis besar mengerucut ke dalam dua
bagian besar yaitu;
(1) Bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM karena pelaku telah melanggar
HAM korban dan HAM masyarakat. Parahnya tudingan mengenai hukuman mati
melangar HAM dinilai sebagai sebuah pernyataan sepihak yang tidak melihat
bagaimana HAM korban kejahatan itu dilanggar.
(2) Hukuman mati dinilai melanggar HAM karena dicabutnya hak hidup
seseorang yang sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun yang
boleh mencabutnya. Oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan dalam
perundang-undangan yang ada.
Pihak-pihak yang kurang menyetujui penerapan hukuman mati, kemudian
merekomendasikan apa yang disebut sebagai conditional capital punismentmenjadi
alternatif apabila negara masih memberlakukan hukuman mati. Karena itu hukuman
mati bisa dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Sehingga hukuman mati
diterapkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Di samping itu
rekomendasi juga diarahkan agar pemerintah bersikap tegas. Proses hukum yang
lamban dan cenderung berlarur-larut membuat timbulnya rasa kasihan dan iba
dikalangan masyarakat terhadap mereka yang di pidana mati. Walaupun di satu sisi
terdapat anggapan bahwa proses hukum yang lama tersebut adalah upaya
memberi kesempatan bagi terpidana mati, namun kondisi ini tanpa disadari justru
mempunyai sisi ketidak pastian hukum bagi terpidana mati.
Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional,
agaknya harus diyakini jika penerapan hukuman mati adalah jelas-jelas melanggar
Konstitusi RI UUD 1945 sebagai produk hukum positif tertinggi di negeri ini. Pasal
28A UUD 45 (Amandemen Kedua) telah menyatakan bahwa setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sementara itu
pasal 28I ayat (1) UUD 45 (Amandemen Kedua) menyatakan bahwa hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

ISLAM DAN TERORISME

Selama ini terorisme sering diidentikkan dan dilekatkan pada penganut


fundamentalisme, utamanya fundamentalisme agama yang kemudian disebut-sebut
sebagai anak kandung agama Islam, artinya agama Islam diposisikan sebagai
terdakwa yang ajaran-ajarannya membenarkan dan menghalalkan kekerasan
sebagai tajuk perjuangan.
Sementara itu, kemunculan terorisme sendiri cukup kompleks. Tidaklah
mengherankan kalau kemudian muncul beragam argument teoritis mengenai
sebab-sebab terjadinya terorisme.
Sebagi fenomena teks keagamaan, kata jihad sering kali dipahami oleh kelompok
eksklusif sebagai suatu tindakan yang lekat dengan kekerasan. Dalam kaitannya
dengan hal ini maka asumsi komunitas keagamaan menyebut bila terorisme
diidentikkan dengan Islam.
Ideologi fundamentalis Muslim atas legitimasi agama terhadap aksi kekerasan
sebagai konsep jihad perlu dikaji lebih mendalam. Hal ini dimaksudkan untuk
mengelaborasi ada atau tidaknya keterkaitan antara jihad dalam Islam dan aksi
terror, sekaligus menjawab asumsi bahwa Islam seolah-olah menjustifikasi
terorisme.

Kesimpulan
Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa, Terorisme adalah setiap tindakan atau
ancaman yang dapat mengganggu keamanan orang banyak baik jiwa, harta,
maupun kemerdekaannya yang dilakukan oleh perorangan, kelompok ataupun
negara.
Adapun faktor yang menyebabkan terjadinya terorisme adalah Jauh dari tuntunan
syariat Allah, Jahil terhadap tuntunan syariat dan sedikitnya pemahaman agama,
Sikap ekstrem, Jauh dari tuntunan ulama, Mengikuti ideologi menyimpang, Hizbiyah
terselubung, Tersebarnya buku-buku yang memuat ideologi terorisme, Paham
khawarij, Kerusakan media massa, Diletakkannnya berbagai rintangan terhadap
dakwah yang haq.
Hampir semua pemuka Islam menolak adanya pengkaitan antara Islam dengan
Terorisme. Ajaran Islam dipandang mengajarkan perdamaian dan bukan terorisme.
Terlepas dari penolakan label terorisme itu, realitas menunjukan bahwa ada
kelompok-kelompok di dalam Islam yang menggunakan simbol Islam di dalam
mencapai tujuannya, termasuk melalui cara-cara terorisme.
Perbedaan Jihad dan Terorisme adalah: terorisme selalu mendatangkan
kerusakan (ifshad), sedangkan Jihad bersifat melakukan upaya-upaya menuju
perbaikan (islah) sekalipun dalam bentuk peperangan. Terorisme bertujuan
menghancurkan pihak lain, sedangkan jihad bertujuan menegakkan agama Allah.

Terorisme tanpa mempertimbangkan aturan dari nilai-nilai normatif serta tidak


memiliki misi dan sasaran yang jelas, sedangkan jihad mengikuti aturan yang
ditentukan oleh syariat.

DEMOKRASI DIY GUBERNUR


Undang-undang keistimewaan yogyakarta yang selama terkatung-katung
(RUUK DIY) akhirnya disahkan DPR dalam sidanag paripurna Kamis
(30/8/2012). Undang-undang yang memakan waktu bertahun-tahun ini
menyangkut hajat hidup masyarakat jogja tentang keistimewaan dan
kekhususan daerahnya akhirnya mengukuhkan Raja Yogya di Republik
Indonesia
Perdebatan baik di kalangan masyarakat dan birokrat mengenai
keistimewaan yogyakarta adalah Substansi yang selama ini menjadi
permasalahan dalam RUU DIY itu telah diambil jalan tengah. Terkait jabatan
Gubernur/Wakil Gubernur DIY apakah melalui mekanisme pemilihan
langsung atau penetapan, akhirnya diambil keputusan dengan melakukan
penetapan Gubernur DIY. Dalam Undang-undang Keistimewaan DI Yogyakarta
(UUK DIY) Bab VI tentang Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
diatur secara detil mulai soal persyaratan cagub/cawagub DIY (pasal 18). Di
bagian kedua mengatur Tata Cara Pengajuan Calon (pasal 19 dan 20), bagian
ketiga tentang verifikasi dan penetapan (Pasal 21, 22, 23, 24, 25, 26) serta
bagian keempat tentang pelantikan gubernur dan wakil gubernur (pasal 27).
Bagian yang menarik dari bab ini salah satunya terkait dengan syarat
calon Gubernur/Wakil Gubernur DIY di pasal 18 huruf (n) disebutkan syarat
calon sebagai anggota partai politik. Atas persyaratan inilah, secara otomatis
Gubernur DIY saat ini Sri Sultan HB X harus melepaskan keanggotaannya di
Partai Golkar. Saat ini, Sultan menjadi anggota Dewan Pertimbangan Partai
Golkar.
Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo menyebutkan implikasi dari
pengesahan UUK DIY ini ke depan, kesultanan dan pakualaman harus
melakukan perubahan. "Mereka harus menyiapkan pemimpin. Seorang
Sultan yang akan menjadi gubernur itu mau tidak mau harus memenuhi
seluruh persyaratan gubernur yang ada," kata Ganjar.
Ganjar menyebutkan, jika dalam perjalanannya Gubernur/Wagub DIY
terjerat masalah korupsi, secara otomatis tidak memenuhi syarat. "Posisi
sebagai Sultan tetap, tapi posisi gubernur kosong. Makanya Sultan harus
hati-hati, harus menjadi sebuah filosofi dari amanah yang kerakyatan, yang
mengayomi, yang baik-baik," papar politikus PDI Perjuangan ini.
Terkait pengesahan UUK DIY ini, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi
PAN Abdul Hakam Naja mengatakan kecil kemungkinan UU ini mendapat
gugatan dari publik. "Saya kira tidak akan ada persoalan di UUK DIY ini," ujar
Hakam optimistis.

Persoalan yang selama ini krusial seperti masalah pertanahan, kata


Hakam juga dapat diselesaikan dengan baik. Pihak keraton menyetujui
kewajiban pendaftaran di Badan Pertanahan Nasional (BPN), begitu juga soal
keuangan. "Saya pikir belum ada hal yang terjadi permasalahan, digugat
maupun macet implementasinya," tambah Hakam yakin.
Sultan HB X memastikan akan keluar dari Partai Golkar seiring dengan
pengesahan UUK DIY. Saya pasti akan keluar dari Golkar karena itu sesuai
dengan undang-undangnya. Tapi ya tidak saat ini, nanti cari momentum
yang tepat, tegas Sultan. UUK DIY ini dipastikan akan segera terlaksana
seiring berakhirnya masa perpanjangan jabatan Sultan HB X sebagai
gubernur DIY pada 9 Oktober mendatang.Setelah melalui beberapa masa
persidangan di DPR, Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK)
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akhirnya berhasil disahkan menjadi UU
melalui rapat paripurna DPR.
Meski ada polemik, pengesahan UUK ini sedikit melegakan hati
masyarakat Yogya. Sebab, nasib Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku
Alam ke depan terkatung-katung selama UUK tersebut masih berkutat di
DPR.
Salah satu persoalan dalam alotnya proses pembahasan UUK tersebut
menyangkut proses pengangkatan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Ada yang menginginkan melalui
penetapan oleh DPRD, ada yang menginginkan melalui mekanisme
pemilihan langsung di Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Usai
melewati polemik yang panjang, diputuskanlah Sri Sultan Hamengku Buwono
dan Paku Alam bisa menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur melalui
mekanisme penetapan oleh DPRD DIY. Tetapi ada catatan yang
mensyaratkan
kedua
pimpinan
Yogyakarta
tersebut
tidak
boleh
berkencimpung dalam aktivitas politik praktis. Hal ini tertulis dalam BAB VI
mengenai pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, pasal 18 ayat (1)
huruf n yang berbunyi, calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah
warga negara Reublik Indonesia yang harus memenuhi syarat bukan sebagai
anggota partai politik.
Dalam ayat (2) huruf m juga disebutkan, kelengkapan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat pernyataan bukan
sebagai anggota partai politik, sebagai bukti pemenuhan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
Bunyi aturan inilah yang kemudian melahirkan polemik baru. Aturan
tersebut dinilai sebagai upaya mengganjal Sri Sultan maju sebagai bakal
calon presiden 2014 mendatang, mengingat namanya selama ini sudah
digadang-gadang oleh beberapa kalangan. Polemik juga muncul, mengenai
aturan larangan bagi Gubernur dan Wakil Gubernur tidak boleh ikut berpartai
sebaiknya jangan hanya untuk DIY, tetapi berlaku diberlakukan untuk daerah
lainnya termasuk jabatan Bupati, Wali Kota, Menteri , bahkan
Presiden. Sementara itu, mengenai bagaimana tata cara pengajuan calon
Gubernur dan calon Wakil Gubernur DIY diatur dalam pasal 19 ayat (1),

yaituDPRD DIY memberitahukan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur serta


Kasultanan dan Kadipatenan tentang berakhirnya masa jabatan Gubernur
dan Wakil Gubernur paling lambat tiga bulan sebelum berakhirnya masa
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
.
Ayat (2) menerangkan, berdasarkan pemberitahuan dari DPRD DIY
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kasultanan mengajukan Sultan
Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai calon Gubernur dan Kadipaten
mengajukan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai calon Wakil
Gubernur paling lambat 30 hari setelah surat pemberitahuan DPRD DIY
diterima.
Ayat (3) Kesultanan dan Kadipaten pada saat mengajukan calon Gubernur
dan calon Wakil Gubernur kepada DPRD DIY menyerahkan, surat pencalonan
untuk calon Gubernur yang ditandatangani oleh Penghageng Kawedanan
Hageng Panitrapura Kasultanan Ngyogyakarta Hadiningrat; surat pencalonan
untuk calon Wakil Gubernur yang ditandatangani oleh Penghageng
Kawedanan Hageng Kasentanan Kadipaten Pakualaman; surat pernyataan
kesediaan Sultan Hamengku Buwono yang bertahta sebagai calon Gubernur
dan Adipati Paku Alam yang bertahta sebagai calon Wakil Gubernur; dan
kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (2).
Setelah itu DPRD DIY (pasal 20) membentuk panitia khusus penyusunan
tata tertib penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur. Selanjutnya (pasal 21,
22, dan 23) DPRD DIY melakukan verifikasi melalui panitia khusus terhadap
dokumen persyaratan Sultan Hamengku Buwono sebagai calon Gubernur
dan Adipati Paku Alam sebagai calon Wakil Gubernur. Selanjutnya, dalam
pasal 24 DPRD DIY menyelenggarakan rapat paripurna dengan agenda
pemaparan visi, misi, dan program calon Gubernur paling lambat tujuh hari
setelah diterimanya hasil penetapan dari panitia khusus. Setelah
menyampaikan visi, misi, dan program, DPRD DIY kemudian menetapkan
Sultan Hamengku Buwono yang bertahta sebagai Gubernur dan Adipati Paku
Alam yang bertahta sebagai Wakil Gubernur. Usai ditetapkan, sesuai
ketentuan pasal 27, keduanya akan dilantik oleh Presiden. Jika Presiden
berhalangan, pelantikan dilakukan oleh Wakil Presiden. Jika Wakil Presiden
juga berhalangan, maka pelantikan dilakukan oleh menteri . Dalam UUK DIY
tersebut, selain menyangkut mekanisme pengangkatan Gubernur dan Wakil
Gubernur DIY juga diatur mengenai kelembagaan, kebudayaan, pertanahan,
dan tata ruang. Selain itu juga diatur mengenai Perda, Perdais, peraturan
Gubernur, dan keputusan Gubernur. Bahkan, mengenai pendanaannya juga
diatur dalam UUK DIY tersebut, termasuk ketentuan lain-lain

Paguyuban Rakyat Jogja Semesta sebagai wadah masyarakat jogjakarta yang


melawan dan mendukung diadakannya pemilihan sebagai pendidikan

demokrasi serta mengakui konsitutusi tertinggi dengan sistem demokrasi


yang bersifat stagnan

Permasalahan yang cukup krusial dan sensitif dari RUU ini adalah terkait dengan
mekanisme pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur Provinsi DIY yang diusulkan
oleh Pemerintah Pusat. Pemerintah dalam RUU ini menghendaki adanya pemilihan bukan
penetapan. Sedangkan sebagian besar masyarakat Yogyakarta menghendaki penetapan.
Apabila mekanismenya melalui pemilihan, maka Sultan dan Paku Alam akan ditempatkan
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Utama, fungsi mereka hanya sebagai simbol,
pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu masyarakat DIY (Pasal 1
ayat 8). Sedangkan penyelenggara pemerintah Daerah Provinsi DIY dilakukan oleh
gubernur DIY yang berkedudukan sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah (Pasal 1
ayat 10). Dalam RUUK Yogyakarta ini sama sekali tidak mengatur mengenai wakil gubernur
DIY.
Dalam RUUK Yogyakarta ini pengertian, fungsi dan tugas Gubernur dan Wakil Gubernur
Utama diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (7), ayat (8), ayat (12), ayat (13), dan ayat (14),
Pasal 5 ayat (5) huruf c, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal
11, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 27, Pasal 28 ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 29 ayat (2),
Pasal 33 ayat (4), dan Pasal 35 ayat (2) huruf f.
Sebelum RUU ini dibahas secara substansial (pasal demi pasal), Komisi II DPR RI
melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Anggota DPRD Provinsi DIY,
para Pakar Politik dan Pakar Hukum Tata Negara yang bertujuan menggali informasi, data
dan masukan-masukan dari para pakar tersebut, juga akan melakukan kunjungan lapangan
ke DIY untuk melihat secara langsung dan berdialog dengan semua pemangku
kepentingan di daerah tersebut dalam rangka menyerap aspirasi yang berkembang di DIY,
yang nantinya akan dijadikan sebagai materi pembahasan RUU ini.
Sampai dengan tanggal 24 Februari 2011 sudah ada 5 (lima) Pakar Politik dan Pakar
Hukum Tata Negara yang diundang Komisi II DPR RI, yaitu Prof. Dr. Maswadi Rauf dan Dr.
Isbdroini Suyanto, (17 Februari 2011), Muhammad Fajrul Falaakh (23 Februari 2011), Prof.
Dr. Yusril Ihza Mahendra dan Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution (24 Februari 2011).
Tanggal 9 Februari 2011 Komisi II DPR RI melakukan RDPU dengan Anggota DPRD
Provinsi dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota se-Provinsi DIY. Mereka menyampaikan hasil
Rapat Paripurna DPRD DIY yang pada intinya mendukung Penetapan Sri Sultan
Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY.

Prof. Dr. Maswadi Rauf berpandangan bahwa belajar dari pengalaman Barat,
menggabungkan monarki absolut seperti di DIY dengan demokrasi adalah sesuatu yang
tidak mungkin. Oleh karena itu, mau tidak mau harus ada pengurangan kewenangan Sultan
Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam sebagai pemimpin simbolis dengan memperkuat
peranan politisi yang bertanggung jawab secara politik. Oleh karena itu sudah tepat untuk
tidak menjadikan Sri Sultan HB X dan Sri Paku Alam sebagai politisi yang memikul
tanggung jawab politik dan menyerahkan kedudukan itu kepada politisi yang menjabat
sebagai gubernur. Lebih lanjut Maswadi berpendapat bahwa membuka kesempatan bagi
Sultan HB X dan Sri Paku Alam mengikuti pemilihan gubernur/wakil gubernur di DPRD
berarti menjadikan kedua tokoh tersebut sebagai politisi yang tidak sesuai dengan
kedudukan mereka sebagai pemimpin tradisional.
Senada dengan itu, Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution yang
diundang sebagai narasumber di Komisi II DPR RI tanggal 24 Februari 2011 mengatakan
bahwa demokrasi yang kita anut tidak hanya berdasarkan suara terbanyak atau kehendak
mayoritas tetapi di atas itu ada azas-azas atau nilai-nilai konstitusional yang harus dijunjung
tinggi dan dipegang teguh. Celakalah bangsa ini jika melupakan atau meninggalkan nilainilai tersebut, tegasnya.
Buyung juga mengatakan bahwa Gubernur/Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Istimewa Yogyakarta dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis konstitusional sesuai
dengan isi dan semangat ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tentang Pemerintahan
Daerah. Pemerintah perlu menetapkan untuk sementara, paling 5 (lima) tahun, Sri Sultan
dan Sri Paku Alam masing-masing sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Dalam
waktu sementara tersebut, dibentuk suatu komisi independen yang terdiri dari para ahli
maupun stakeholderuntuk mempersiapkan segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan
pemilihan langsung oleh rakyat secara demokratis konstitusional sesuai dengan isi dan
semangat ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, demikian Buyung..
Sedangkan Isbodroini Suyanto (Pakar Politik Universitas Indonesia) berpendapat bahwa
demokrasi adalah mendengar suara rakyat dan menghargai nilai-nilai lokal yang mencakup
latar belakang sejarah politik, sosial dan budaya suatu daerah. Menurutnya, Depdagri
tampaknya mengabaikan hal tersebut dengan mengemukakan lembaga Paradhya
Keistimewaan Yogyakarta yang memposisikan Sultan dan Paku Alam hanya sebagai
simbol, pelindung nilai-nilai budaya dan pengayom rakyat.
Isbodroini mengatakan bahwa apabila memperhatikan pasal demi pasal dalam RUU ini,
jelas bertujuan untuk menghilangkan political power dari Sultan dan Paku Alam. Sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur Utama, mereka hanya diberikan posisi sebagai pengayom
dan pelindung nilai-nilai adat. Mereka hanya dapat mengemukakan usul dan pendapat dan
kedudukan mereka dalam struktur pemerintahan berada di bawah Gubernur hasil pemilihan

DPRD. Gubernur dan Wakil Gubernur Utama akan mempunyai political power apabila
mereka mempunyai hak veto untuk setiap keputusan yang berkaitan dengan pemerintahan
yang mencakup politik, sosial dan budaya. Tetapi hal tersebut akan menghadirkan dualisme
kepemimpinan, ada Gubernur dan Wakil Gubernur Utama dan Gubernur hasil pilihan
DPRD.Hal ini akan merupakan potensi konflik karena Gubernur merupakan perpanjangan
tangan Pusat. Lebih lanjut Isbodroini berpendapat bahwa meskipun Sultan dan Paku Alam
dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur (tidak berlaku masa jabatan dua kali), hal ini
bertentangan dengan mayoritas rakyat DIY yang menghendaki jabatan
tersebut ditetapkanbukan melalui pemilihan DPRD. Bagaimana jika dalam perjalanan
waktu Sultan dan Sri Paku Alam yang telah ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur melakukan tindakan yang merugikan rakyat? Menghianti rakyat Yogyakarta?
Biarlah rakyat yang dipresentasikan dalam DPRD dan civil society yang akan
merupakan alat control bagi keduanya. Di samping itu bukankah Lembaga Pengadilan
pun akan tetap menjalankan fungsinya. Checks and balances tetap berfungsi. Isbodroini
juga berpesan agar (Pemerintah dan DPR RI) mendengar suara rakyat Yogyakarta,
mengabaikan suara mereka akan merupakan blunderbagi pemerintahan SBY.
Pakar Hukum Tata Negara UGM Yogyakarta Mohammad Fajrul Falaakh mengatakan
bahwa Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tidak untuk dipertentangkan dengan Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945, atau sebaliknya. Menurutnya, substansi Pasal 18B ayat (1) bahkan
merupakan lex speciallis (tentang status daerah istimewa) dan menjadi dasar bagi
pengaturan khusus menurut Pasal 225-226 UU No. 32 Tahun 2004 sehingga gubernur
sebagai kepala daerah berdasarkan hak asal-usul dari daerah istimewa (bukan daerah
khusus atau daerah biasa) dapat langsung diangkat oleh Presiden terpilih.
Senada dengan Isbodroini di atas, Fajrul Falaakh juga menyarankan agar keputusan politik
atas RUU Keistimewaan Yogyakarta sebaiknya mempertimbangkan kenyataan sosial dan
pendapat masyarakat di Yogyakarta saat ini.
Fajrul Falaakh menunjukkan beberapa hasil survai terkait polemik penetapan atau
pemilihan gubernur dan wakil gubernur DIY, yaitu: hasil survai Jurusan Ilmu Pemerintahan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2011 menunjukkan bahwa mayoritas warga
Yogyakarta (90-an persen) menginginkan penetapan HB X dan Paku Alam IX sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Survai Program Magister Administrasi Publik UGM
Yogayakarta tahun 2011 juga menunjukkan bahwa mayoritas warga Yogyakarta (di atas 70
persen) menginginkan penetapan dimaksud. Hasil kedua survai ini konsisten dengan hasil
survai surat kabar Kompas2008-2010 bahwa 53,5 79,9 persen responden warga
Yogyakarta masih menginginkan penetapan. Begitupula mekanisme demokrasi perwakilan
di 6 (enam) DPRD di Yogyakarta (2010-2011) juga menginginkan penetapan. Sikap
kelembagaan tentang keistimewaan Yogyakarta juga ditunjukkan oleh wakil semua provinsi
di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pada tahun 2010.

Sebagai penutup, Fajrul Falaakh mengatakan bahwa RI adalah Negara kesatuan, tidak
memiliki Negara bagian, di dalamnya ada daerah istimewa bekas kerajaan dengan hak-hak
asal-usul yang diakui dan dihormati. Status Yogyakarta sebagai suatu daerah dalam NKRI
melekat pada norma konstitusi tentang daerah yang bersifat istimewa (Pasal 18 pasca
amandemen) atau satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa (Pasal 18B ayat
(1) hasil amandemen). Selain itu, Yogyakarta sebagai daerah istimewa juga menunjukkan
kemampuan pemerintahannya (governability) sebagai bagian Indonesia yang sangat
bergejolak pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1949), dideklarasikan dengan UU No. 3
Tahun 1950 jo. UU No. 9 tahun 1955, struktur pemerintahannya mengadopsi lembaga
demokrasi, didukung rakyat Yogyakarta.
Status daerah istimewa mencakup unsur-unsur pemerintahan daerah. Dalam hal eksekutif
(pemerintah) maka pengisian kepala daerah dan wakilnya diakui dan dihormati berdasarkan
hak asal-usul. Terkait klausul mengingati dasar permusyawaratan maka keberadaan
DPRD tidak boleh dihapus dan perannya tidak boleh dipangkas, pesannya.
Fajrul menegaskan kembali bahwa hak asal-usul DIY tidak terbatas pada pengisian kepala
daerah tetapi juga mencakup tanah. Status kepemilikan atau penguasaan tanah ini
memerlukan pembahasan tersendiri. Namun jelas, tindakan monarki Yogyakarta atas
tanah dalam konteks hak-hak asal-usul adalah sah, misalnya, dalam pewarisan,
penggunaan tanah untuk Istana Kepresidenan RI (Gedung Agung, eks residen Belanda),
gedung dan tanah untuk perkantoran pemerintah provinsi, lembaga pendidikan (termasuk
kampus UGM), pungkasnya.
Pakar Hukum Tata Negara lainnya yang juga mantan Menteri Sekretaris Negara dan
Menkumham Prof. Dr. Yusril Izha Mahendra, SH menyarankan kepada DPR RI, khususnya
Komisi II DPR RI agar mencermati benar latar belakang lahirnya Pasal 18 dan Pasal 18B
UUD 1945 dalam membahas RUUK Yogyakarta ini.
Yusril menegaskan bahwa menjelang kemerdekaan itu kita sudah sepakat bahwa kita
membentuk Negara kesatuan dan tidak ada Negara di dalam Negara, itu prinsip. Menurut
Yusril, ada daerah-daerah bersifat istimewa tetapi apakah istimewanya itu memang betulbetul ada satu kesultanan menjalankan roda pemerintahan secara langsung di kawasan itu
atau tidak. Kalau kita melihat sejarah Yogyakarta dari awal kemerdekaan sampai saat-saat
terakhir ini, sebenarnya pemerintahan oleh Kesultanan Yogyakarta itu sudah tidak ada.
Pemerintahan oleh Kesultanan itu tidak ada. Jadi Sri Sultan sebagai Gubernur, ya
Gubernur, hanya sumber orang jadi gubernur itu Sri Sultan. Tapi dalam menjalankan
kekuasaan pemerintahannya itu bukan menjalankan kekuasaan kesultanan. Sultan
menjalankan kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia. Hanya sumbernya orang ini
asalnya adalah Sri Sultan. Apabila konsep dalam RUU ini Gubernur Utama, Wakil Gubernur
Utama, Gubernur dan Wakil Gubernur, itu seakan-akan menempatkan Yogyakarta seperti

negara bagian. Ada kewenangan Dia sebagai Sultan, ada kewenangan Dia sebagai
Gubernur Utama yang nota bene adalah Sultan. Sedangkan kalau konsep yang selama ini
berjalan dari tahun 1945 sampai sekarang ini, Sultan itu menjalankan tugas-tugasnya
sebagai pemerintah, sebagai bagian dari pemerintahan Republik Indonesia. Atau dulu
dikenal dengan Gubernur Kepala Daerah saja, atau kepala daerah saja yang menjalankan
tugas-tugas pemerintahan RI, tetapi tidak menjalankan tugasnya sebagai kesultanan.
Menjawab pertanyaan anggota dewan, apakah Sultan dapat diinvestigasi apabila diduga
melanggar hukum? Yusril mengatakan bisa, normal-normal saja. Cuma nanti persoalannya
adalah kalau memang Sultan tunduk kepada aturan-aturan umum seperti sekarang ini
misalnya Gubernur diperiksa KPK kalau dinyatakan sebagai tersangka, masih tetap
gubernur, tetapi begitu dinyatakan terdakwa diberhentikan sebagai gubernur. Kalau
diberhentikan sebagai kepala daerah Yogyakarta atau sebagai Gubernur Yogyakarta, lalu
bagaimana kaitannya dengan posisinya sebagai Sultan. Itu yang memang harus dicarikan
formulanya di dalam RUU ini. Walaupun sebenarnya RUU ini tidak mungkin mengatur
internal kesultanan. Namun hal ini bisa diatur dalam suatu UU tapi harus dibicarakan
secara bersama-sama terlebih dahulu.
Menjawab pertanyaan anggota dewan tentang dimana letak keistimewaan Yogyakarta?
Apakah melekat pada daerahnya atau pada orangnya? Yusril mengatakan bahwa salah
satu keistimewaan DIY adalah karena secara politik dan budaya yang melekat dengan
kesultanan itu sendiri. Dia Istimewa karena gubernurnya berasal dari kesultanan itu. Jadi
dimana istimewanya ya pada daerahnya, pada orangnya, ya melekatlah satu dengan yang
lainnya, demikian Yusril.
Yusril juga menjelaskan bahwa sebenarnya RUU ini sudah dibahas oleh DPR RI Periode
lalu (2004-2009). Pembahasannya sudah mau selesai hanya karena masih berbeda
pendapat mengenai mekanisme pengisian jabatan gubernur ini yang belum disepakati.
Namun RUU yang diajukan pemerintah ini bukan RUU yang lama atau yang pernah
dibahas. Tetapi RUU ini sama sekali baru. Yusril juga berpesan agar DPR RI lebih bijaksana
dalam membahas RUUK Yogyakarta ini.
Kita berharap pemerintah dan DPR RI mencarikan formulasi yang cocok dengan keinginan
masyarakat Yogyakarta. Meminjam istilah Bapak Aleks Litay, jangan memberikan sepatu
yang ukurannya tidak cocok dengan kaki si pemakai (beliau mencontohkan kaki kakeknya
yang lecet akibat tidak cocok dengan sepatu yang dibelikannya), nanti kakinya lecet.
Pemerintah Pusat dan DPR RI seyogyanya lebih arif dan bijaksana dalam merespon dan
mengakomodir aspirasi masyarakat DIY yang menghendaki gubernur dan wakil
gubernurnya (dalam hal ini Sultan dan Paku Alam) ditetapkan.

Dari dulu masyarakat Yogyakarta dikenal ramah, santun dan terbuka bagi siapa saja dan
dari mana saja asalnya, terutama yang mau menuntut ilmu di daerah ini. Makanya
Yogyakarta dikenal sebagai Kota Pelajar sekaligus sebagai Kota Budaya. Predikat ini
tentu tidak muncul secara kebetulan atau turun dari langit. Semua ini berkat peran,
perhatian dan keteladanan Sultan dan Paku Alam sebagai pemimpin di daerah ini
(Gubernur dan Wakil Gubernur). Masyarakat Yogyakarta sangat menghormati Sultan-nya,
bukan karena Beliau Raja/Sultan. Tapi lebih dari itu Sultan dipandang sebagai pemimpin,
sebagai tokoh budaya dan tokoh masyarakat yang mengayomi, santun dan bijaksana
dalam memperhatikan kesejahteraan rakyatnyaa tanpa memandang suku, agama, dan ras
Pemerintah Pusat dan DPR RI diharapkan jangan memaksakan formalasinya. Bisa saja
apa yang dikehendaki Pemerintah dan DPR RI (yang pro pemilihan) tidak cocok dengan
apa yang sesungguhnya dikehendaki masyarakat Yogyakarta. Pemerintah Pusat (terutama
SBY dan Partai Demokratnya) jangan memaksakan kehendaknya. Suatu UU bisa setiap
saat diubah apabila menuntut untuk diubah. Tetapi jangan mengubah tatanan masyarakat
yang sudah baik dan mapan seperti di DIY dengan suatu UU. Sejak jaman penjajahan
Belanda sampai saat ini Daerah Yogyakarta cenderung aman, damai, sejuk dan kondusif
bagi siapa saja yang tinggal atau menuntut ilmu di daerah ini.
Jangan dengan alasan demokrasi untuk menghancurkan semua itu dalam waktu sesaat.
Pemerintah dan DPR RI perlu membuka mata, telinga dan hatinya untuk melihat,
mendengarkan dan merasakan apa yang sesungguhnya mereka dambakan. Jangan
mengabaikan, apalagi berusaha dengan berbagai alasan untuk memasung aspirasi
mereka. Kehendak yang tulus dari mereka hanya satu, yaitu: menetapkan Sri Sultan dan
Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur mereka. Apabila dalam
perkembangannya masyarakat Yogyakarta sudah tidak percaya atau tidak menghendaki
lagi Sultan dan Paku Alam sebagai pemimpinnya, mereka akan dengan sendirinya minta
Pemerintah Pusat dan DPR RI untuk mengubah atau mengganti undang-undang itu. Untuk
saat ini berikanlah apa menjadi hak mereka, karena merekalah yang berdaulat. Bukankah
demokrasi itu berarti kekuasaan pemerintahan yang berasal dari, oleh dan untuk rakyat?
Bukankah Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei)? Mau berdosa? Atau
mau tambah dosanya?(Kamillus Elu, SH).

KORUPSI
Tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sudah mencapai titik yang paling mengkhawatirkan
karena akan menyebabkan negara menjadi bankrut sehingga pemerintah berupaya melakukan
pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana korupsi. Selama ini pemberantasan tindak
pidana korupsi dengan menggunakan UU No.20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan lembaganya
tersendiri yaitu KPK dirasakan kurang tepat sasaran karena kasus korupsi sangat sulit
pembuktiannya dan juga para penegak hukum kesulitan untuk menyita harta kekayaan para koruptor
yang telah dipecah, tetapi dengan adanya UU TPPU maka merupakan metode baru untuk
memberantas tindak pidana korupsi. Bagaimanakah penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)
untuk memberantas tindak pidana korupsi?Bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana
korupsi tersebut?
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang bertujuan mencari asas dan dasar
falsafah hukum positif serta menemukan hukum secara in concreto. Spesifikasi penelitian ini adalah
deskriptif analisis yaitu tidak hanya menggambarkan permasalahan saja, melainkan juga
menganalisis melalui peraturan yang berlaku dalam hukum pidana. Teknik pengumpulan data
dilakukan melalui studi kepustakaan untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder.
Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) untuk memberantas tindak pidana korupsi merupakan
metode baru yang menerapkan dua undang-undang sekaligus dalam satu tindak pidana yaitu UU
Korupsi dan UU TPPU, dengan menerapkan kedua undang-undang ini akan memudahkan penyidik
dan penuntut umum untuk membuktikan telah terjadinya tindak pidana korupsi juga memudahkan
para aparat penegak hukum untuk menyita harta kekayaan koruptor sebagai hasil dari korupsi pada
negara atau merupakan metode untuk memiskinkan koruptor dan memberikan sanksi pidana yang
berat, diharapkan memberikan efek jera bagi para koruptor yang lainnya.Upaya penanggulangan
tindak pidana korupsi yang dilakukan pemerintah selama ini sudah cukup dengan adanya UU Tindak
pidana korupsi, UU TPPU, KPK serta adanya lembaga yang mengawasi transaksi dan rekening
yang mencurigakan yaitu PPATK hanya disini diharapkan adanya kerjasama antara para penegak
hukum tersebut yaitu penyidik KPK, penyidik Polri, penyidik Kejaksaan, dan PPATK untuk mencapai
tujuan bersama yaitu memberantas tindak pidana korupsi.

1.1. Latar Belakang


Persoalan kemiskinan bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia. Berbagai program
pemerintah mulai bergulir untuk mengatasi atau paling tidak mengurangi angka
kemiskinan. Kebutuhan hidup dirasakan sulit terpenuhi bagi masyarakat miskin
terutama di kota dan pinggirannya. Program-program yang dilaksanakan pun belum
tentu dapat menyelesaikan permasalahan ini. Bahkan terkadang menimbulkan
permasalahan baru yang harus diselesaikan selanjutnya.
Banyak program pemerintah yang memberikan bantuan dalam berbagai hal untuk
mengurangi angka kemiskinan. Beberapa diantaranya Bantuan Langsung Tunai
(BLT), beras masyarakat miskin (raskin), bantuan operasional sekolah, dan program
keluarga harapan. Program yang menjadi fokus disini adalah Bantuan Langsung
Tunai (BLT). Program ini diberlakukan untuk mengantisipasi akibat kenaikan harga

BBM bagi masyarakat miskin agar tetap mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
BLT merupakan suatu program yang diharapkan nantinya dapat menimbulkan
kemandirian dengan penggunaan dana yang sebaiknya.
Kemandirian yang ada terkait dengan hubungannya dengan pembangunan
berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang tidak
hanya mencari pertumbuhan dalam hal ekonomi melainkan juga dari segi
pembangunan manusia dan lingkungannya. Indonesia telah mengalami model
pembangunan yang berbeda selama lebih dari 64 tahun merdeka. Perjalanan dalam
pembangunan menjadi suatu pemikiran yang perlu direncanakan agar Indonesia
menjadi lebih maju.
Pembangunan tentunya berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam sistem
pembangunan yang diterapkannya. Program yang dilaksanakan untuk
pembangunan seperti sudah dijelaskan sebelumnya banyak macamnya.
Pelaksanaan program yang ada menuntut keefektifitasan serta kaitannya dengan
pembangunan yang berkelanjutan. Perubahan yang diharapkan dari pembangunan
itu sendiri salah satunya yaitu memberikan kemandirian. Kemandirian inilah yang
membuat suatu pembangunan bisa menjadi berkelanjutan. Oleh karena itu, melalui
realisasi program pemerintah, khususnya BLT, akan dilihat kaitannya dengan
pembangunan berkelanjutan yang terikat dengan kemandirian.
Masalah kemiskinan banyak dikaitkan dengan pembangunan ekonomi. Namun
dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi terkadang kurang memperhatikan
keadaan untuk jangka panjang. Mengatasi hal tersebut, pembangunan
berkelanjutan dapat menjadi suatu bentuk rancangan yang dapat digunakan.
Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu pembangunan yang memperhatikan
keberlanjutan untuk jangka panjang. Pembangunan berkelanjutan menjadi model
pembangunan yang memperhatikan segi sumber daya dan juga lingkungan.
Pembangunan yang dilakukan di Indonesia berubah seiring dengan perubahan
sistem pemerintahan yang terjadi. Sisa-sisa pembangunan di setiap pemerintahan
ada yang memberikan dampak pada kenaikan tingkat kemiskinan. Pembangunan
sebagai penyebab kemiskinan terkait dengan adanya utang yang belum dilunasi
dan pihak terkait yang lepas tangan akan keadaan tersebut. Pelaksanaan kebijakan
dan pembangunan untuk mengatasi kemiskinan pun menjadi hal yang banyak
menjadi sorotan untuk segera dibenahi. Salah satunya Bantuan Langsung Tunai
(BLT)
BLT dianggap sebagai salah satu solusi cepat untuk mengatasi kenaikkan harga
BBM pada tahun 2008. Pelaksanaan kebijakan ini diharapkan dapat membantu
meringankan keadaan rakyat miskin, walaupun dalam prakteknya masih kurang
tepat sasaran. Pemberian BLT juga dapat dikaitkan dengan model pembangunan
berkelanjutan. Kaitan yang terlihat adalah dimana keadaan penerima BLT
merupakan masyarakat yang digolongkan miskin. Mereka bisa diaktakan kesulitan

dalam memenuhi kebutuhan hidup apalagi untuk memikirkan masalah lingkungan


yang menjadi salah satu aspek dalam model pembangunan berkelanjutan. Untuk itu
dapat dilihat bahwa penerimaan BLT tidak memberikan suatu kontribusi bagi
pembangunan yang berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai