Disusun Oleh:
Nama
NIM
: 15/383452/PN/14283
Prodi
: Perlindungan Tanaman
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
Daftar Isi
Pendahuluan:
1. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
2. Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
Pembahasan:
1. Kebijakan Pergulaan di Berbagai Negara . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
2. Kebijakan Ekonomi Gula di Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
3. Implikasi Kebijakan Gula . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
4. Kebijakan Harga, Perdagangan, dan Investasi Gula . . . . . . . . . . . . . . . . 9
5. Regim Kebijakan dan Kinerja Impor Pergulaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
6. Percepatan Pemanfaatan Lahan Potensial Untuk
Pembangunan Industri Gula . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
7. Dampak Positif dan Negatif dari Suatu Kebijakan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17
8. Lembaga yang Mengawasi Atau yang Bertanggung
Jawab Atas Pelaksanaan Kebijakan Pergulaan di Indonesia . . . . . . . . . . . . 17
Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18
Daftar Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia.
Dengan luas areal sekitar 360.350 ribu ha pada periode 2000-2005, industri gula berbasis
tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah
tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1.3 juta orang. Gula juga merupakan salah satu
kebutuhan pokok masyarakat dan sumber kalori yang relative murah. Karena merupakan
kebutuhan pokok, maka dinamika harga gula akan mempunyai pengaruh langsung terhadap
laju inflasi. Dengan posisinya yang penting, maka dan sejalan dengan revitalisasi sektor
pertanian, maka industri gula berbasis
2
tebu juga perlu melakukan berbagai upaya sehingga sejalan dengan revitalisasi sektor
pertanian. Hal ini berarti industri gula berbasis tebu perlu melakukan berbagai perubahan dan
penyesuaian guna meningkatkan produktivitas, dan efisiensi, sehingga menjadi industri yang
kompetitif, mempunyai nilai tambah yang tinggi, dan memberi tingkat kesejahteraan yang
memadai pada para pelakunya, khususnya petani. Dengan tingkat efisiensi yang masih belum
memadai serta pasar yang terdistorsi, revitalisasi pada industri berbasis tebu merupakan
keharusan.
Dalam hal ini, peningkatan investasi merupakan salah satu syarat keharusan untuk
dapat mewujudkan revitalisasi tersebut. Untuk itu, upaya upaya untuk menggalang
peningkatan investasi merupakan suatu upaya yang strategis. Sejalan dengan hal tersebut,
tulisan ini dimaksudkan untuk memberi gambaran prospek/peluang investasi pada industri
berbasis gula. Informasi ini dapat menjadi acuan pemerintah dan pelaku bisnis dalam
merumuskan kebijakan dan program investasi pada industri gula berbasis tebu. Sebelum
membahas propsek prospek tersebut, gambaran umum mengenai kondisi industri terlebih
dahulu akan diuraikan. Selanjutnya, bahasan difokuskan pada prospek investasi, kebijakan
dan program pemerintah. Kebutuhan investasi dibahas pada bagian selanjutnya. Tulisan
diakhiri dengan bahasan mengenai dukungan kebijakan untuk mempercepat/meningkatkan
investasi pada industri berbasis gula.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana kebijakan pergulaan di beberapa negara?
2. Apa Saja Kebijakan ekonomi gula di Indonesia?
3. Apa Saja implikasi kebijakan?
4. Apa Saja Kebijakan Harga, Perdagangan, dan Investasi?
5. Apa saja Regim Kebijakan Pergulaan di Indonesia?
6. Bagaimana Percepatan Pemanfaatan Lahan Potensial untuk Pembangunan Industri
Gula?
7. Bagaimana Dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan?
8. Apa Lembaga Yang Mengawasi Atau Yang Bertanggung Jawab Atas Pelaksanaan
Kebijakan Pergulaan Di Indonesia?
II.
PEMBAHASAN
1. Kebijakan Pergulaan di Berbagai Negara
Liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan disahkannya hasil Putaran Uruguay
(Uruguay Round) sebagai rangkaian dari General Agreement on Tarif And Trade (GATT)
pada tanggal 15 Desember 1993, sebenarnya memberi peluang yang besar untuk mengurangi
distorsi perdagangan dan industri pada sektor pertanian, termasuk untuk gula. Salah satu
kekhususan putaran ini adalah dimasukkannya komoditas pertanian dalam agenda
perundingan. Dengan perkataan lain, keberhasilan Putaran Uruguay (PU) menyebabkan
pemberlakuan sektor pertanian sama dengan sektor lainnya atau sektor pertanian tidak lagi
diperlakukan secara eksklusif dalam kerangka GATT (Departemen Perdagangan, 1994).
Hasil-hasil studi seperti yang dilakukan oleh Kennedy (2001) dan Groombridge (2001)
menyebutkan bahwa industri gula merupakan industri dengan tingkat distorsi tertinggi yang
bersumber dari intervensi pemerintah. Berbagai negara utama melakukan berbagai intervensi
kebijakan untuk melindungi industri gula masing-masing.
Amerika
Serikat
secara
historis
menggunakan
berbagai
kebijakan
untuk
Domestic/price
Kebijakan Dasar
(US$ 743 juta/tahun)
Thailand
Esensi Kebijakan
Price support
Production management
Jaminan harga (Y 71 miliar)
Jepang
Amerika
Pengendalian/quota produksi
Kepastian harga
Membatasi impor
Tariff-Rate Quota
Pengendalian impor
Export
Subsidy
pragrams
Re-export
Payment-in-Kind
Kompensasi ke industri
berbahan baku gula
Mengurangi keterkaitan
kebijakan dengan distorsi yang
ditimbulkan
Kebijakan produksi yang cukup signifikan pada tahun 2003/2004 adalah pengembangan
program akselerasi peningkatan produksi gula pada tahun 2007 dengan produksi 3 juta ton
dan produktivitas rata-rata 8 ton/ha. Di samping kebijakan produksi dan input, pemerintah
mengeluarkan kebijakan distribusi dan perdagangan yang jauh lebih intensif dibandingkan
dengan kebijakan produksi dan input. Dinamika kebijakan distribusi dan perdagangan dapat
dibagi menjadi 4 tahapan utama yaitu kebijakan Era Isolasi (1980-1997), Era Perdagangan
Bebas (1997-1999), Era Transisi (1999-2002), dan Era Proteksi dan Promosi (2002-sekarang)
(Mardianto et al., 2005).
Perubahan tersebut memberikan keuntungan bagi industri gula nasional, terutama
petani tebu. Namun dengan adanya Letter of Intent yang menyatakan pembebasan bea masuk
0% bagi komoditi pertanian menyebabkan membanjirnya impor gula. Keadaan tersebut
diperparah dengan masuknya impor gula ilegal dan adanya impor gula yang langsung dijual
kepada konsumen sehingga harga gula domestic mengalami penurunan yang drastis dari Rp 3
000 per kg menjadi Rp 2 000 per kg. Penurunan harga yang drastis ini telah menghilangkan
insentif bagi petani tebu, sehingga petani tebu enggan untuk menanam tebu.
Kemudian muncul SK Menperindag Nomor 230/MPP/Kep/1999, yang menetapkan
tarif impor sebesar 20 persen untuk raw sugar dan 25 persen untuk white sugar untuk
mengefektifkan penerapan tarif, bea masuk impor gula diubah menjadi tarif spesifik sebesar
Rp 550, per kg untuk raw sugar dan Rp 700 untuk white. Tahun 2002 kebijakan tersebut
dikombinasikan
dengan
kuota
impor
berdasarkan
SK
Menperindag
Nomor
luar Jawa diperkirakan mencapai 284,5 ribu hektar yang tersebar di Sumatera, Sulawesi,
Maluku dan Papua. Dari areal tersebut sedikitnya
dapat dibangun 15 PG baru, dengan kapasitas giling antara 5.000 20.000 TCD (tons cane
per days). Pengembangan PG diluar Jawa harus mulai dilakukan pemerintah untuk
mengurangi ketergantungan terhadap produksi gula dari wilayah Jawa. Program akselerasi
peningkatan produksi gula sampai tahun 2007 yang ditetapkan pemerintah setelah masa krisis
moneter ini dari sisi PG perlu terus dilakukan sampai tercapainya Program Swasembada
Gula. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan kinerja/efisiensi PG melalui restrukturisasi PG,
optimalisasi kapasitas giling serta pengurangan jam berhenti giling (overall recovery).
Dalam konteks pengembangan kelembagaan, disarankan untuk melakukan tiga hal
yang terkait dengan privatisasi, yaitu :
a. Privatisasi BUMN/PTPN gula,
b. Konsolidasi areal tebu rakyat dalam sistem satu manajemen PG, dengan lahan petani
sebagai penyertaan modal di perusahaan dan
c. PG dapat saling mendukung demi untuk mencapai keuntungan yang optimal
4. Kebijakan Harga, Perdagangan, dan Investasi Gula
Sampai dengan tahun 2005, pemerintah pernah menerapkan berbagai kebijakan, yang
secara langsung ataupun tidak langsung, berpengaruh terhadap industri gula Indonesia.
Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas, dari kebijakan input dan
produksi, distribusi, dan kebijakan harga. Diantara berbagai kebijakan produksi dan
kebijakan input, kebijakan yang paling signifikan dari pemerintah adalah kebijakan TRI yang
tertuang dalam Inpres No. 9/1975, pada tanggal 22 April 1975. Tujuan dari kebijakan tersebut
adalah untuk meningkatkan produksi gula serta pendapatan petani tebu. Esensi dari kebijakan
tersebut adalah membuat petani menjadi manajer pada lahannya sendiri dengan dukungan
pemerintah melalui kredit bimas, bimbingan teknis, perbaikan sistem pemasaran dengan
melibatkan KUD, serta menciptakan suatu hubungan kerjasama antara petani tebu dan pabrik
gula.
Di samping kebijakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan kebijakan
distribusi dan perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan harga gula di pasar
domestik. Beberapa kebijakan terpenting adalah Kepmenperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998
yang tidak lagi memberi monopoli pada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis,
termasuk mengimpor gula. Ketika harga gula domestik terus merosot pada pertengahan tahun
2002 dan tekanan produsen semakin kuat, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang
bertujuan untuk mengendalikan impor, dengan membatasi importer hanya pada importir
produsen dan importir terdaftar.
Gula yang diimpor oleh importir produsen hanya dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain untuk menjadi
IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75% berasal dari petani. Kebijakan ini dituangkan
dalam Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/ 2002, 23 September 2002. Esensi lainnya yang
penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan bila harga gula di
tingkat petani mencapai minimal Rp 3100/kg. Kebijakan ini diharapkan mampu
meningkatkan harga di dalam negeri sehingga memperbaiki pendapatan produsen. Kebijakan
ini direvisi dengan Kepmenperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 yang mewajibkan IT untuk
menyangga harga di tingkat petani pada tingkat Rp 3410/kg. Pada Mei 2005, harga ditingkat
petani yang merupakan harga minimum dengan mekanisme meksnisme dana talangan oleh
investor ditetapkan Rp 3800/kg.
5. Regim Kebijakan dan Kinerja Impor Pergulaan
Sebagai suatu komoditi yang strategis, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan
yang memiliki efek langsung ataupun tidak langsung terhadap pasang-surut terhadap industri gula
nasional. Kebijakan tersebut pada gilirannya mempengaruhi kinerja impor gula nasional.
Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas, dari kebijakan input dan
produksi, distribusi, dan kebijakan harga.
Kebijakan pergulaan secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 regim (Tabel 3) yaitu (i)
periode stabilisasi (1971-1996); (ii) perdagangan bebas/liberalisasi (1997-2001); dan (iii)
pengendalian impor (2002-sekarang).
Nomor
SK/Keppres/Kepmen
Perihal
Tujuan
14 Juli 1971
bahan pokok
SUPORTIF
Penguasaan,
B.136/ABN
pengawasan,
SEKNEG/3/74, 27
Maret 1974
non PNP
tebu
DAN
April 1975
(TRI)
STABILISASI
Kepmen Perdagangan
dalam negeri
122/Kp/III/81, 12
Maret 1981
Kepmenkeu No.
342/KMK.011/1987
UU No. 12/1992
Budidaya tanaman
Memberikan
pendapatan
kebebasan
pada
LIBERALISASI
TERKENDALI
Penetapan
hargaprovenue gula
pasir produksi petani
Mencabut
Kepmenperindag No.
363/MPP/Kep/8/1999
Peningkatan
masuk
Kepmenperindag No.
527/MPP/Kep/9/2004
Penyempurnaan
tataniaga impor gula
efektivitas
11
bea
3410
Sumber: Sudana et al. (2000) dan Susila (2000).
Tabel 3. Regim Kebijakan dan Dampaknya terhadap Impor dan Kinerja Pergulaan
Nasional
Produksi
1,0
Pertumbuhan (%)
Konsumsi
4,2
Impor
17,5
1997-2001
-5,8
-0,6
2,4
Terkendali
2002-2004
8,1
Stabilisasi
1984-1996
Liberalisasi
1997-2001
1,718
3,060
1,519
Terkendali
2002-2004
2,034
2,800
0,762
Regim
Stabilisasi
Periode
1984-1996
Liberalisasi
I.
1,5
-5,2
Volume Rata-rata (juta ton)
Produksi
Konsumsi
Impor
2,207
2,573
0,312
produksi dalam negeri, stabilitas persediaan dan harga di pasar domestik. Pada periode ini,
kebijakan yang diterapkan pemerintah sangat intensif baik pada sisi produksi, distribusi, dan
harga. Sebagai langkah awal, pemerintah mengeleluarkan Keppres No. 43/1971 yang pada
dasarnya memberi wewenang kepada BULOG untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula
pasir. SK ini mendai era dimulainya peran Bulog sebagai lembaga stabilisator.
Pada regim stabilisasi, secara umum kinerja industri gula Indonesia menunjukkan
stabilitas dan kemajuan yang gradual. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju 2.2 %
per tahun, dengan rata-rata luas areal mencapai 381.341 ribu ha. Pada akhir periode ini (1997),
areal tebu nasional mencapai 386.878 ribu ha. Produksi juga mengalami peningkatan dengan laju
1.0 % per tahun, dengan rata-rata produksi mencapai 2.207 juta ton dengan produksi nasional
pada akhri periode ini mencapai 2.191 juta ton. Konsumsi secara konsisten meningkat dengan
laju 4.2 % per tahun dan pada tahun 2004 telah mencapai 3.4 juta ton.
Karena periode ini adalah periode stabilisasi, maka impor menjadi bersifat residual.
Bulog sebagai lembaga yang mengelola impor gula menjadikan impor sebagai selisih antara
konsumsi dengan produksi domestik. Karena bersifat residual, maka volume impor cendrung
fluktuatif pada periode tersebut. Pada periode 1984-1991, impor cenderung meningkat.
12
Kemudian menurun danmencapoai titik terendah pada tahun 1994 dimana impor gula hanya 15
ribu ton. Pada posisi ini, Indonesia sudah dapat mengklaim mencapai swasembada gula. Akhir
periode stabilisasi ditandai oleh meningkatnya kembali impor.
II.
Regim Liberalisasi
Ketika harga gula domestik terus merosot dan industri gula sudah diambang
kebangkrutan dan tekanan produsen (PG dan petani) semakin kuat, pemerintah mengeluarkan
kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor, dengan membatasi importir hanya
menjadi importir produsen dan importir terdaftar. Era ini merupakan era dimulainya regim
pengendalian impor. Gula yang diimpor oleh importir produsen hanya dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain
untuk menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75% berasal dari petani. Kebijakan
13
14
pemerintah harus lebih banyak mengadakan kajian secara intensif, yang hasilhasilnya dapat
dikemas sebagai sumber informasi yang lebih menarik dan dapat diakses secara mudah.
2. Menempatkan ketersediaan lahan untuk tebu pada tingkat prioritas tinggi
Kebutuhan konsumsi gula setiap tahun terus meningkat, sementara pasok gula dari
sentra produksi sudah sampai mendekati kondisi optimal. Lahan potensial untuk areal
perkebunan tebu yang diandalkan disinyalir tinggal di kawasan Indonesia bagian timur.
Namun demikian, dikarenakan persyaratan tumbuh tebu sangat tinggi, maka lahan yang dapat
dikembangkan untuk tebu di Indonesia menjadi lebih terbatas. Sementara di sisi lain, lahan
yang sesuai tebu pada umumnya dapat dikembangkan untuk komoditas lain. Pada kondisi ini
kenyataannya tebu menjadi sulit bersaing dan sering posisinya dikalahkan oleh kepentingan
lainnya. Oleh karena itu, untuk menghindari lahan potensial untuk tebu digunakan untuk
kepentingan komoditas industri lain yang sesungguhnya peluangnya masih cukup banyak
dapat menggunakan alternatif
lahan lain, maka pemerintah harus menetapakan kebijakan perlu menempatkan lahan
potensial tebu pada prioritas tinggi supaya lahan yang ketersediaanya terbatas tersebut tidak
terganggu oleh kepentingan penggunaan lahan lainnya.
3. Dukungan pembangunan infrastruktur
Sejauh ini lahan potensial yang sesuai untuk tebu yang telah diidentifikasi
karakteristik fisik lingkungannya, pada umumnya memiliki aksesibitas rendah. Di lain pihak
dengan kecenderungan situasi pergulaan yang kondusif, cukup banyak investor yang tertarik
untuk investasi pembangunan industry gula. Namun kenyataannya, perkembangan areal
perkebunan
tebu berjalan ditempat. Investasi pembangunan pabrik gula sering terkendala oleh
infrastruktur yang rendah sehingga membebani biaya investasi pembangunan industri gula
menjadi sangat mahal. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mendorong pembangunan
infrastruktur di sekitar kawasan areal potensialnya.
4. Dukungan kebijakan pemerintah
Investasi di bidang industri gula memerlukan biaya yang sangat besar dan memiliki
peranan cukup penting dalam mendorong perekonomian nasional. Agar investasi industri
gula
dapat terwujud maka pemerintah perlu mendorong situasi usaha yang lebih kondusif,
misalnya dengan memberikan insentif dan kemudahan seperti jaminan keamanan, keringanan
perpajakan,
15
kemudahan perijinan, kemudahan dalam memperoleh lahan (temasuk peran masyarakat adat)
dan konsistensi dalam penerapan kebijakannya dalam perspektif jangka panjang.
5. Dukungan SDM dan Teknologi
Pengelolaan industri gula merupakan usaha yang padat karya dan membutuhkan
tenaga kerja yang terampil. Sebagaimana diketahur dari hasil survei bahwa di sekitar lokasi
lahan potensial yang dijumpai di Indonesia bagian timur pada umumnya memiliki jumlah
penduduk yang terbatas. Selain itu, masyarakat yang ada di sekitar lokasipun pada
kenyataannya tidak terbiasa bekerja di perkebunan tebu. Hal ini akan memberikan persoalan
tersendiri. Untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja yang cukup dan handal, maka
pemerintah dan investor dapat bekerja sama menyediakan sarana kegiatan berupa pelatihan
dan pembekalan pengetahuan terhadap masyarakat yang mampu bekerja. Tenaga terampil
yang mampu bekerja di industri gula dapat pula didatangkan dari Jawa.
Dalam menyediakan tenaga kerja, khususnya untuk tenaga pekerja di perkebunan
tebu, pemerintah daerah apabila memungkinkan dapat mengupayakan melalui program
transmigrasi. Keterbatasan potensi sumberdaya yang tersedia di kawasan indonesia bagian
timur, memeperlukan dukungan teknologi on farm maun off farm yang memadai. Seperti
misalnya, dari sisi on farm, teknologi mekanisasi mampu mengurangi beban kelangkaan
tenaga kerja, penggunaan varietas dan pengendalian jasad penggangu serta sarana produksi
lainnya merupakan kebutuhan ditahap awal yang cukup mendesak. Sedangkan dari sisi on
farm dapat menggunakan adopsi teknologi industry gula yang sudah maju.
7. Dampak Positif dan Negatif dari Suatu Kebijakan
Penerapan kebijakan pada periode Bulog menunjukkan bahwa sisi negatif lebih
banyak daripada sisi positif yaitu menimbulkan adanya fluktuasi harga gula domestik yang
memberikan ketidakpastian harga baik produsen maupun konsumen. Kondisi ini
digambarkan pada kebijakan yang diterapkan periode bebas dan transisi, dimana sisi negatif
lebih banyak dibandingkan sisi positif dari berbagai kebijakan tersebut. Lain halnya pada
periode proteksi dan promosi, sisi positif lebih besar dibandingkan sisi negatif. Sisi positif
dari kebijakan yang diterapkan pada periode proteksi dan promosi adalah menyehatka
industri gula. Namun, esensi dari sisi negatif kebijakan yang diterapkan pada periode proteksi
dan promosi dampaknya lebih jelas pada jangka panjang dan menimbulkan penurunan daya
saing gula domestik
Kebijakan proteksi dan promosi mampu menyehatkan kondisi pergulaan nasional.
16
Namun, adanya disparitas harga gula domestik yang lebih tinggi dari harga impor
menunjukkan gejala penurunan daya saing sehingga kebijakan ini belum mampu
meningkatkan daya saing gula domestik. Oleh karena itu, kebijakan proteksi dan promosi
harus didukung dengan kebijakan lain untuk meningkatkan daya saing gula domestic secara
komperhensif dari subsistem hulu sampai hilir
8. Lembaga yang Mengawasi Atau yang Bertanggung Jawab Atas Pelaksanaan
Kebijakan Pergulaan di Indonesia
Pelaku utama dari pendistribusian gula adalah industri hilir dari sistem pergulaan
nasional. Yaitu pabrik gula, baik gula kristal maupun gula rafinasi, pedagang gula, serta
konsumen. Pelaku lain yaitu pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang mengatur sistem
pergulaan nasional mulai dari hulu hingga hilir. Peran lain dari pemerintah dalam distribusi
gula adalah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bernama BULOG.
Sistem pergulaan nasional Big Picture Mapping adalah system yang dikaji dalam
pengkajian ini. Sistem ini terdiri atas industri hulu yaitu petani tebu, industri proses yaitu
pabrik gula, dan industri hilir berupa distributor. Lingkup dari penelitian ini adalah pada
industri hilir
dari sistem pergulaan nasional, khususnya pada jaringan distribusi yang meliputi pabrik gula,
pedagang, dan konsumen.
Selain pelaku inti dalam sistem ini, dikaji pula keterkaitan dan peran pemerintah
dalam sistem ini. Yakni sebagai pengawas dan perumus kebijakan. Begitupun peran
organisasi seperti asosiasi pedagang, organisasi ini turut dikaji karena perannya cukup besar
dalam mengawasi kegiatan dalam sistem, khususnya mengawasi pedagang besar gula.
Hubungan keterkaitan dari setiap pelaku industri hilir penting diketahui agar dapat
dipahami dengan baik peran masing- masing pelaku. Pabrik gula sebagai produsen gula, baik
gula kristal maupun rafinasi berperan besar dalam menyediakan gula untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi gula. Selain pabrik gula, importir juga mempunyai peran dan fungsi
yang sama, yaitu penyedia gula impor. Sedangkan pedagang, baik pedagang besar maupun
retailer berperan dalam
penyaluran gula dari pabrik gula kepada masyarakat sebagai konsumen. Asosiasi pedagang
akan membantu dalam memanajemen beberapa pedagang besar dalam pendistribusian,
karena asosiasi ini merupakan wadah bagi para pedagang dalam menjalankan fungsi
distribusinya. Pemerintah selain sebagai pengawas dan perumus kebijakan, juga memberikan
bantuan dalam pendistribusian gula melalui lembaga BUMN yaitu BULOG.
17
III.
KESIMPULAN
4. Sisi negatif penerapan kebijakan pada periode Bulog menimbulkan adanya fluktuasi
harga gula domestik yang memberikan ketidakpastian harga baik produsen maupun
konsumen. Sedangkan sisi positif dari kebijakan yang diterapkan pada periode proteksi
dan promosi adalah menyehatkan industri gula.
5. Lembaga yang mengawasi atau yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan
pergulaan di indonesia yaitu pabrik gula, baik gula kristal maupun gula rafinasi, pedagang
gula, serta konsumen. Pelaku lain yaitu pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) bernama BULOG.
DAFTAR PUSTAKA
18
Pursell, G. and A. Gupta. 1997. Trade Policies And Incentives In Indian Agriculture.
Development Research Group, the World Bank., New Delhi.
Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyanto, C. Muslim, dan T. Soelistiyo. 2000. Dampak
Deregulasi
Industri Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan, Dan
Pendapatan Petani.
Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian,
Bogor.
Susila, W.R. dan A. Susmiadi. 2000. Analisis Dampak Pembebasan Tarif Impor dan Perdagangan
Bebas Terhadap Industri Gula. Laporan Penelitian, Asosiasi Penelitian Perkebunan
Indonesia, Bogor.
19