Anda di halaman 1dari 19

PAPER INDIVIDU EKONOMI PERTANIAN

KEBIJAKAN PERGULAAN NASIONAL DAN IMPLEMENTASI

Disusun Oleh:
Nama

: Olivia Mutiara Larasati

NIM

: 15/383452/PN/14283

Prodi

: Perlindungan Tanaman

Dosen Pengampu: Dr. Ir. Suhatmini Hardyastuti, MS.

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

Daftar Isi

Pendahuluan:
1. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
2. Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
Pembahasan:
1. Kebijakan Pergulaan di Berbagai Negara . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
2. Kebijakan Ekonomi Gula di Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
3. Implikasi Kebijakan Gula . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
4. Kebijakan Harga, Perdagangan, dan Investasi Gula . . . . . . . . . . . . . . . . 9
5. Regim Kebijakan dan Kinerja Impor Pergulaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
6. Percepatan Pemanfaatan Lahan Potensial Untuk
Pembangunan Industri Gula . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
7. Dampak Positif dan Negatif dari Suatu Kebijakan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17
8. Lembaga yang Mengawasi Atau yang Bertanggung
Jawab Atas Pelaksanaan Kebijakan Pergulaan di Indonesia . . . . . . . . . . . . 17
Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18
Daftar Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19

I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia.
Dengan luas areal sekitar 360.350 ribu ha pada periode 2000-2005, industri gula berbasis
tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah
tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1.3 juta orang. Gula juga merupakan salah satu
kebutuhan pokok masyarakat dan sumber kalori yang relative murah. Karena merupakan
kebutuhan pokok, maka dinamika harga gula akan mempunyai pengaruh langsung terhadap
laju inflasi. Dengan posisinya yang penting, maka dan sejalan dengan revitalisasi sektor
pertanian, maka industri gula berbasis
2

tebu juga perlu melakukan berbagai upaya sehingga sejalan dengan revitalisasi sektor
pertanian. Hal ini berarti industri gula berbasis tebu perlu melakukan berbagai perubahan dan
penyesuaian guna meningkatkan produktivitas, dan efisiensi, sehingga menjadi industri yang
kompetitif, mempunyai nilai tambah yang tinggi, dan memberi tingkat kesejahteraan yang
memadai pada para pelakunya, khususnya petani. Dengan tingkat efisiensi yang masih belum
memadai serta pasar yang terdistorsi, revitalisasi pada industri berbasis tebu merupakan
keharusan.
Dalam hal ini, peningkatan investasi merupakan salah satu syarat keharusan untuk
dapat mewujudkan revitalisasi tersebut. Untuk itu, upaya upaya untuk menggalang
peningkatan investasi merupakan suatu upaya yang strategis. Sejalan dengan hal tersebut,
tulisan ini dimaksudkan untuk memberi gambaran prospek/peluang investasi pada industri
berbasis gula. Informasi ini dapat menjadi acuan pemerintah dan pelaku bisnis dalam
merumuskan kebijakan dan program investasi pada industri gula berbasis tebu. Sebelum
membahas propsek prospek tersebut, gambaran umum mengenai kondisi industri terlebih
dahulu akan diuraikan. Selanjutnya, bahasan difokuskan pada prospek investasi, kebijakan
dan program pemerintah. Kebutuhan investasi dibahas pada bagian selanjutnya. Tulisan
diakhiri dengan bahasan mengenai dukungan kebijakan untuk mempercepat/meningkatkan
investasi pada industri berbasis gula.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana kebijakan pergulaan di beberapa negara?
2. Apa Saja Kebijakan ekonomi gula di Indonesia?
3. Apa Saja implikasi kebijakan?
4. Apa Saja Kebijakan Harga, Perdagangan, dan Investasi?
5. Apa saja Regim Kebijakan Pergulaan di Indonesia?
6. Bagaimana Percepatan Pemanfaatan Lahan Potensial untuk Pembangunan Industri
Gula?
7. Bagaimana Dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan?
8. Apa Lembaga Yang Mengawasi Atau Yang Bertanggung Jawab Atas Pelaksanaan
Kebijakan Pergulaan Di Indonesia?

II.

PEMBAHASAN
1. Kebijakan Pergulaan di Berbagai Negara
Liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan disahkannya hasil Putaran Uruguay
(Uruguay Round) sebagai rangkaian dari General Agreement on Tarif And Trade (GATT)
pada tanggal 15 Desember 1993, sebenarnya memberi peluang yang besar untuk mengurangi
distorsi perdagangan dan industri pada sektor pertanian, termasuk untuk gula. Salah satu
kekhususan putaran ini adalah dimasukkannya komoditas pertanian dalam agenda
perundingan. Dengan perkataan lain, keberhasilan Putaran Uruguay (PU) menyebabkan
pemberlakuan sektor pertanian sama dengan sektor lainnya atau sektor pertanian tidak lagi
diperlakukan secara eksklusif dalam kerangka GATT (Departemen Perdagangan, 1994).
Hasil-hasil studi seperti yang dilakukan oleh Kennedy (2001) dan Groombridge (2001)
menyebutkan bahwa industri gula merupakan industri dengan tingkat distorsi tertinggi yang

bersumber dari intervensi pemerintah. Berbagai negara utama melakukan berbagai intervensi
kebijakan untuk melindungi industri gula masing-masing.
Amerika

Serikat

secara

historis

menggunakan

berbagai

kebijakan

untuk

mendukung/melindungi industri gulanya. Kebijakan tersebut menyebabkan sekitar 67% dari


pendapatan produsen gula di US merupakan komponen dari kebijakan harga subsidi atau
price support yang didasarkan pada Farm Security and Rural Investment Act of 2002 (2002
Farm Act). Beberapa kebijakan penting yang diterapkan adalah kebijakan bantuan domestik
(price support loan), tariff-rate quota, subsidi ekpsor (export subsidy), program re-ekspor
(re-export programs), dan kebijakan pembayaran dalam bentuk natura atau payment-in-kind.
Sebagai contoh, kebijakan tariff-rate quota (TRQ) merupakan suatu kebijakan pengendalian
harga domestik dengan instrumen pengendalian impor. TRQ merupakan kombinasi antara
tarif dan kuota yang masih digunakan dalam kerangka liberalisasi perdagangan. Hal ini yang
menyebabkan, harga gula di pasar domestik US jauh di atas harga gula dunia.
India yang dari aspek ekonomi dan demografi memiliki banyak kesamaan dengan
Indonesia melakukan intervensi yang cukup intensif terhadap industri gulanya. Salah satu
landasan hukum kebijakan pergulaan di India adalah dimasukannya gula pada Essential
Commodities Acts of 1955. Kebijakan pergulaan di India pada dasarnya ditekankan pada
aspek produksi-harga dan distribusi-harga. Kebijakan produksi-harga yang diterapkan di
India pada dasarnya mengacu pada konsep harga dasar. Dengan kebijakan tersebut,
pemerintah dengan berbagai lembaga pendukungnya menentukan semacam harga dasar gula
untuk pabrik gula yang menjadi landasan untuk menentukan harga tebu petani (Pursell dan
Gupta, 1997).
Tabel 1. Kebijakan Pergulaan di Beberapa Negara
Negara
Brazil
Support
India

Domestic/price

Kebijakan Dasar
(US$ 743 juta/tahun)

Dukungan harga (1998)

Essential Commodities ACT


1955
Produksi
Distribusi
Partial Price Control

Thailand

Esensi Kebijakan

Price support

Alokasi dan kontrol produksi


(levy sugar)
Harga terjangkau oleh
konsumen (ration card)
Jaminan harga tebu dan gula
(levy price dan market price)
Dukungan harga

Production management
Jaminan harga (Y 71 miliar)

Jepang

Amerika

Pengendalian/quota produksi
Kepastian harga

Tarif impor yang tinggi

Membatasi impor

2002 Farm Act dan FAIR


ACT of 1996
Price Support Loan

(US$ 1.9 miliar)

Tariff-Rate Quota

Pengendalian impor

Export
Subsidy
pragrams

Re-export

Payment-in-Kind

Jaminan harga dan kredit

Kompensasi ke industri
berbahan baku gula
Mengurangi keterkaitan
kebijakan dengan distorsi yang
ditimbulkan

Sumber : Susila (2000)

2. Kebijakan Ekonomi Gula di Indonesia


Secara historis, industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan
terpenting yang ada di Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami
era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi
adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8% dan rendemen mencapai 11.0%-13.8%.
Dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton, dan ekspor gula pernah mencapai
sekitar 2.4 juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur,
tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Simatupang et
al., 1999; Tjokrodirdjo, et al., 1999; Sudana et al., 2000).
Setelah mengalami berbagai pasang-surut, industri gula Indonesia sekarang hanya
didukung oleh 60 pabrik gula (PG) yang aktif yaitu 43 PG yang dikelola BUMN dan 17 PG
yang dikelola oleh swasta (Dewan Gula Indonesia, 2000). Luas areal tebu yang dikelola pada
tahun 1999 adalah sekitar 341057 ha yang umumnya terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa
Tengah, Lampung, dan Sulawesi Selatan.
Pada awal tahun 1990-an, kinerja pergulaan nasional terus menurun, baik dari segi
areal, produktivitas maupun produksi. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah
mengeluarkan Inpres No. 5/1997, yang bertujuan untuk mengoptimalkan sinergi dan peran
tebu rakyat, perusahaan perkebunan, dan koperasi dalam pengembangan industri gula.
Namun Inpres tersebut dicabut dengan Inpres No. 5/1998 yang membebaskan petani
menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai dengan UU No. 12 Tahun 1996.
6

Kebijakan produksi yang cukup signifikan pada tahun 2003/2004 adalah pengembangan
program akselerasi peningkatan produksi gula pada tahun 2007 dengan produksi 3 juta ton
dan produktivitas rata-rata 8 ton/ha. Di samping kebijakan produksi dan input, pemerintah
mengeluarkan kebijakan distribusi dan perdagangan yang jauh lebih intensif dibandingkan
dengan kebijakan produksi dan input. Dinamika kebijakan distribusi dan perdagangan dapat
dibagi menjadi 4 tahapan utama yaitu kebijakan Era Isolasi (1980-1997), Era Perdagangan
Bebas (1997-1999), Era Transisi (1999-2002), dan Era Proteksi dan Promosi (2002-sekarang)
(Mardianto et al., 2005).
Perubahan tersebut memberikan keuntungan bagi industri gula nasional, terutama
petani tebu. Namun dengan adanya Letter of Intent yang menyatakan pembebasan bea masuk
0% bagi komoditi pertanian menyebabkan membanjirnya impor gula. Keadaan tersebut
diperparah dengan masuknya impor gula ilegal dan adanya impor gula yang langsung dijual
kepada konsumen sehingga harga gula domestic mengalami penurunan yang drastis dari Rp 3
000 per kg menjadi Rp 2 000 per kg. Penurunan harga yang drastis ini telah menghilangkan
insentif bagi petani tebu, sehingga petani tebu enggan untuk menanam tebu.
Kemudian muncul SK Menperindag Nomor 230/MPP/Kep/1999, yang menetapkan
tarif impor sebesar 20 persen untuk raw sugar dan 25 persen untuk white sugar untuk
mengefektifkan penerapan tarif, bea masuk impor gula diubah menjadi tarif spesifik sebesar
Rp 550, per kg untuk raw sugar dan Rp 700 untuk white. Tahun 2002 kebijakan tersebut
dikombinasikan

dengan

kuota

impor

berdasarkan

SK

Menperindag

Nomor

643/MPP/Kep/2002 tentang tataniaga Impor Gula. Kebijakan tersebut menyatakan bahwa


impor gula putih hanya dapat dilakukan oleh Importir Terdaftar Gula (IT). IT ini merupakan
perusahaan yang memperoleh bahan baku minimal 75 persen berasal dari petani tebu dan
impor gula hanya dilakukan pada saat harga di tingkat petani mencapai Rp 3.100 per kg.
Kebijakan ini telah memberikan insentif bagi petani tebu untuk kembali menanam
tebu. Seiring dengan perkembangan pergulaan nasional, tahun 2004 Presiden menerbitkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2004 tentang penetapan gula
sebagai barang dalam pengawasan dan Keputusan Republik Indonesia Nomor 58 tentang
penanganan gula yang diimpor secara tidak sah. Kemudian muncul Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula.
Keputusan ini bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan
perekonomian masyarakat Indonesia serta menciptakan swasembada gula dan meningkatkan
daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri gula.

3. Implikasi Kebijakan Gula


Melihat perkembangan agribisnis pergulaan nasional yang kurang menggembirakan
tersebut, pemerintah kemudian merumuskan tujuan umum kebijakan gula nasional, yaitu :
1. Meningkatkan produksi dan produktivitas gula,
2. Meningkatkan pendapatan petani tebu dan
3. Menciptakan AgroEkonomika No.1 Tahun XXXV April 2005 Kemandirian gula
secara nasional.
Untuk mewujudkan ketiga tujuan tersebut di atas diperlukan kebijakan yang
komprehensif untuk pengembangan agribisnis gula nasional. Pemerintah telah mengeluarkan
berbagai kebijakan untuk mendukung perkembangan industri gula nasional, antara lain
kebijakan proteksi, pemberian subsidi kepada petani tebu, pencabutan TRI, dan sebagainya.
Impor gula sangat inelastis terhadap konsumsi maupun harga gula dunia. Maka kebijakan
proteksi yang dikeluarkan oleh pemerintah harus dilanjutkan. Kebijakan ini merupakan
kombinasi tarif yaitu
Pengenaan tarif bea masuk gula impor dan non tarif berupa pengaturan, pengawasan, dan
pembatasan impor yang mempunyai dampak menaikkan harga gula lokal. Kebijakan ini
sebaiknya dilanjutkan sampai tercapainya target swasembada gula tahun 2009 dan sebaiknya
tarif bea masuk dinaikkan paling tidak mendekati angka 50% sehingga akan memberikan
kesempatan kepada PG untuk meningkatkan efisiensi teknis dan ekonomisnya.
Pemberian subsidi kepada petani tebu sebesar Rp. 500/ kg yang bukan bentuk tunai,
melainkan untuk pembenihan dan pendongkelan tanah seperti dalam SK Menkeu No.
324/KMK/01/2002 dapat dilanjutkan. Kebijakan subsidi tersebut dapat dijadikan alternatif
kebijakan jangka pendek untuk meningkatkan produkstivitas, rendeman dan pendapatan
petani tebu.
Produksi gula nasional dipengaruhi lebih responsif oleh produktivitas lahan tebu
dengan tingkat elstisitas sebesar 1,15 maka kebijakan pengembangan usaha tani tebu
sebaiknya dilanjutkan. Kebijakan ini meliputi tiga aspek yaitu efisiensi teknis, efisiensi harga
dan efisiensi ekonomi. Kebijakan tersebut antara lain adalah kebijakan peningkatan
produktivitas dan rendeman tebu petani melalui program bongkar ratoon, yang diharapkan
dapat dilakukan dengan melibatkan petani tebu dalam penyedian bibit tebu yang berkualitas.
Kebijakan perluasan areal tanaman tebu sebaiknya dilakukan di luar Pulau Jawa dan
diarahkan pada lahan kering, sehingga tidak mempunyai efek negatif dengan kepentingan
program peningkatan tanaman pangan lainnya. Areal potensial pengembangan areal tebu di

luar Jawa diperkirakan mencapai 284,5 ribu hektar yang tersebar di Sumatera, Sulawesi,
Maluku dan Papua. Dari areal tersebut sedikitnya
dapat dibangun 15 PG baru, dengan kapasitas giling antara 5.000 20.000 TCD (tons cane
per days). Pengembangan PG diluar Jawa harus mulai dilakukan pemerintah untuk
mengurangi ketergantungan terhadap produksi gula dari wilayah Jawa. Program akselerasi
peningkatan produksi gula sampai tahun 2007 yang ditetapkan pemerintah setelah masa krisis
moneter ini dari sisi PG perlu terus dilakukan sampai tercapainya Program Swasembada
Gula. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan kinerja/efisiensi PG melalui restrukturisasi PG,
optimalisasi kapasitas giling serta pengurangan jam berhenti giling (overall recovery).
Dalam konteks pengembangan kelembagaan, disarankan untuk melakukan tiga hal
yang terkait dengan privatisasi, yaitu :
a. Privatisasi BUMN/PTPN gula,
b. Konsolidasi areal tebu rakyat dalam sistem satu manajemen PG, dengan lahan petani
sebagai penyertaan modal di perusahaan dan
c. PG dapat saling mendukung demi untuk mencapai keuntungan yang optimal
4. Kebijakan Harga, Perdagangan, dan Investasi Gula
Sampai dengan tahun 2005, pemerintah pernah menerapkan berbagai kebijakan, yang
secara langsung ataupun tidak langsung, berpengaruh terhadap industri gula Indonesia.
Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas, dari kebijakan input dan
produksi, distribusi, dan kebijakan harga. Diantara berbagai kebijakan produksi dan
kebijakan input, kebijakan yang paling signifikan dari pemerintah adalah kebijakan TRI yang
tertuang dalam Inpres No. 9/1975, pada tanggal 22 April 1975. Tujuan dari kebijakan tersebut
adalah untuk meningkatkan produksi gula serta pendapatan petani tebu. Esensi dari kebijakan
tersebut adalah membuat petani menjadi manajer pada lahannya sendiri dengan dukungan
pemerintah melalui kredit bimas, bimbingan teknis, perbaikan sistem pemasaran dengan
melibatkan KUD, serta menciptakan suatu hubungan kerjasama antara petani tebu dan pabrik
gula.
Di samping kebijakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan kebijakan
distribusi dan perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan harga gula di pasar
domestik. Beberapa kebijakan terpenting adalah Kepmenperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998
yang tidak lagi memberi monopoli pada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis,
termasuk mengimpor gula. Ketika harga gula domestik terus merosot pada pertengahan tahun
2002 dan tekanan produsen semakin kuat, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang

bertujuan untuk mengendalikan impor, dengan membatasi importer hanya pada importir
produsen dan importir terdaftar.
Gula yang diimpor oleh importir produsen hanya dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain untuk menjadi
IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75% berasal dari petani. Kebijakan ini dituangkan
dalam Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/ 2002, 23 September 2002. Esensi lainnya yang
penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan bila harga gula di
tingkat petani mencapai minimal Rp 3100/kg. Kebijakan ini diharapkan mampu
meningkatkan harga di dalam negeri sehingga memperbaiki pendapatan produsen. Kebijakan
ini direvisi dengan Kepmenperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 yang mewajibkan IT untuk
menyangga harga di tingkat petani pada tingkat Rp 3410/kg. Pada Mei 2005, harga ditingkat
petani yang merupakan harga minimum dengan mekanisme meksnisme dana talangan oleh
investor ditetapkan Rp 3800/kg.
5. Regim Kebijakan dan Kinerja Impor Pergulaan
Sebagai suatu komoditi yang strategis, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan
yang memiliki efek langsung ataupun tidak langsung terhadap pasang-surut terhadap industri gula
nasional. Kebijakan tersebut pada gilirannya mempengaruhi kinerja impor gula nasional.
Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas, dari kebijakan input dan
produksi, distribusi, dan kebijakan harga.
Kebijakan pergulaan secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 regim (Tabel 3) yaitu (i)
periode stabilisasi (1971-1996); (ii) perdagangan bebas/liberalisasi (1997-2001); dan (iii)
pengendalian impor (2002-sekarang).

Tabel 2. Regim Kebijakan Pergulaan Nasional


Regim
Kebijakan

Nomor
SK/Keppres/Kepmen

Perihal

Tujuan

Keppres No. 43/1971, Pengadaan,

Menjaga kestabilan gula sebagai

14 Juli 1971

bahan pokok

penyaluran, dan pemasaran gula

SUPORTIF

Surat Mensekneg No.

Penguasaan,

B.136/ABN

pengawasan,

SEKNEG/3/74, 27

penyaluran gula pasir

Maret 1974

non PNP

Inpres No. 9/1975, 22 Intensifikasi

Penjelasan mengenai Keppres No.


dan

tebu

43/1971 yang meliputi gula PN

Peningkatan produksi gula serta


10

DAN

April 1975

(TRI)

STABILISASI

peningkatan pendapatan petani


tebu

Kepmen Perdagangan

Tataniaga gula pasir

Menjamin kelancaran pengadaan

dan Koperasi No.

dalam negeri

dan penyaluran gula pasir serta

122/Kp/III/81, 12

peningkatan pendapatan petani

Maret 1981
Kepmenkeu No.

Penetapan harga gula

342/KMK.011/1987

pasir produksi dalam serta

UU No. 12/1992

Menjamin stabilitas harga, devisa,


kesesuaian

negeri dan impor

petani dan pabrik

Budidaya tanaman

Memberikan

pendapatan

kebebasan

pada

petani untuk menanam komoditas


sesuai dengan prospek pasar

Inpres No. 5/1997, 29 Program


pengembangan tebu
Desember 1997
rakyat

Pemberian peranan pada pelaku


bisnis dalam rangka perdagangan
bebas

LIBERALISASI

TERKENDALI

Inpres No. 5/1998, 21 Penghentian


pelaksanaan Inpres
Januari 1998
No. 5/1997

Kebebasan pada petani untuk


memilih komoditas sesuai dengan
UU No. 12/1992

Kepmen Perindag No.


25/MPP/Kep/1/1998
Kepmenhutbun No.
282/Kpts-IX/1999, 7
Mei 1999
Kepmenperindag No.
363/MPP/Kep/8/1999,
5 Agustus 1999
Kepermenindag No.
230/MPP/
Kep/6/1999, 5 Juni
1999
Kepmenkeu No.
324/KMK.01/2002
Kepmenperindag No.
643/MPP/Kep/9/2002,
23 September 2002

Komoditas yang diatur


tataniaga impornya

Mendorong efisiensi dan kelancaran arus barang

Penetapan
hargaprovenue gula
pasir produksi petani

Menghindari kerugian petani dan


mendorong peningkatan produksi

Tataniaga impor gula

Pengurangan beban anggaran


pemerintah melalui impor gula
oleh produsen

Mencabut
Kepmenperindag No.
363/MPP/Kep/8/1999

Pembebanan tarif impor gula


untuk melindungi industri dalam
negeri

Perubahan bea masuk

Peningkatan
masuk

Tataniaga impor gula

Pembatasan pelaku impor gula


hanya
pada
importir
gula
produsen dan importir gula
terdaftar
untuk
peningkatan
pendapatan petani/produsen

Kepmenperindag No.
527/MPP/Kep/9/2004

Penyempurnaan
tataniaga impor gula

IT wajib menyangga harga di


tingkat
petani
dan
impor
dilakukan bila harga minimum Rp

efektivitas

11

bea

3410
Sumber: Sudana et al. (2000) dan Susila (2000).

Tabel 3. Regim Kebijakan dan Dampaknya terhadap Impor dan Kinerja Pergulaan
Nasional

Produksi
1,0

Pertumbuhan (%)
Konsumsi
4,2

Impor
17,5

1997-2001

-5,8

-0,6

2,4

Terkendali

2002-2004

8,1

Stabilisasi

1984-1996

Liberalisasi

1997-2001

1,718

3,060

1,519

Terkendali

2002-2004

2,034

2,800

0,762

Regim
Stabilisasi

Periode
1984-1996

Liberalisasi

I.

1,5
-5,2
Volume Rata-rata (juta ton)
Produksi
Konsumsi
Impor
2,207
2,573
0,312

Regim Kebijakan Stabilisasi


Periode regim stabilisasi ditandai oleh berbagai kebijakan pemerintah untuk mendorong

produksi dalam negeri, stabilitas persediaan dan harga di pasar domestik. Pada periode ini,
kebijakan yang diterapkan pemerintah sangat intensif baik pada sisi produksi, distribusi, dan
harga. Sebagai langkah awal, pemerintah mengeleluarkan Keppres No. 43/1971 yang pada
dasarnya memberi wewenang kepada BULOG untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula
pasir. SK ini mendai era dimulainya peran Bulog sebagai lembaga stabilisator.
Pada regim stabilisasi, secara umum kinerja industri gula Indonesia menunjukkan
stabilitas dan kemajuan yang gradual. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju 2.2 %
per tahun, dengan rata-rata luas areal mencapai 381.341 ribu ha. Pada akhir periode ini (1997),
areal tebu nasional mencapai 386.878 ribu ha. Produksi juga mengalami peningkatan dengan laju
1.0 % per tahun, dengan rata-rata produksi mencapai 2.207 juta ton dengan produksi nasional
pada akhri periode ini mencapai 2.191 juta ton. Konsumsi secara konsisten meningkat dengan
laju 4.2 % per tahun dan pada tahun 2004 telah mencapai 3.4 juta ton.
Karena periode ini adalah periode stabilisasi, maka impor menjadi bersifat residual.
Bulog sebagai lembaga yang mengelola impor gula menjadikan impor sebagai selisih antara
konsumsi dengan produksi domestik. Karena bersifat residual, maka volume impor cendrung
fluktuatif pada periode tersebut. Pada periode 1984-1991, impor cenderung meningkat.
12

Kemudian menurun danmencapoai titik terendah pada tahun 1994 dimana impor gula hanya 15
ribu ton. Pada posisi ini, Indonesia sudah dapat mengklaim mencapai swasembada gula. Akhir
periode stabilisasi ditandai oleh meningkatnya kembali impor.
II.

Regim Liberalisasi

Pada periode perdagangan bebas/liberalisasi (1997-2002), pemerintah membuka pasar


impor Indonesia secara dramatis. Dalam hal ini, pelaku impor dibebaskan, atau tidak
dimonopoli oleh Bulog. Dengan argumen untuk peningkatan efisiensi ekonomi, pemerintah
mengeluarkan Kepmenperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli
pada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis, termasuk mengimpor gula. Era ini
merupakan akhir dari peran Bulog sebagai lembaga yang memonopoli impor, sekaligus
dimulainya era perdagangan bebas untuk gula di pasar Indonesia. Karena tidak ada tarif
impor pada periode ini, maka impor gula dilakukan dengan tarif impor 0% dan pelaku
dilakuakn oleh perusahaan importir. Akibatnya, impor gula melonjak pesat pada periode ini.
Jika pada tahun 1996 impor masih dibawah 1 juta ton, maka pada tahun 1977 sudah mencapai
1.36 juta ton dan mencapai puncaknya menjadi 1.73 juta ton pada tahun 1998.
Banjirnya gula impor dengan harga murah membuat industri gula dalam negeri
mengalami kontraksi/kemunduran. Pada periode ini areal turun drastis dari 446 ribu ha pada
tahun 1996 menjadi sekitar 350 ribu ha pada periode liberalisasi. Sebagai akibatnya, produksi
menurun dari lebih diatas 2 juta ton pada akhir periode stabilisasi menjadi sekitar 1.5 juta ton
pada periode liberalisasi.
Kebijakan tersebut yang diduga berkaitan dengan tekanan IMF merupakan suatu
perubahan kebijakan yang sangat drastis sehingga mempunyai dampak yang cukup luas
terhadap industri gula Indonesia. Hal ini diperkuat lagi oleh krisis ekonomi Indonesia
yang semakin parah yang menyebabkannya terjadinya kenaikan biaya produksi.
III.

Regim Pengendalian Impor

Ketika harga gula domestik terus merosot dan industri gula sudah diambang
kebangkrutan dan tekanan produsen (PG dan petani) semakin kuat, pemerintah mengeluarkan
kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor, dengan membatasi importir hanya
menjadi importir produsen dan importir terdaftar. Era ini merupakan era dimulainya regim
pengendalian impor. Gula yang diimpor oleh importir produsen hanya dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain
untuk menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75% berasal dari petani. Kebijakan
13

ini dituangkan dalam Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/ 2002, 23 September 2002.


Esensi lainnya yang penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan
bila harga gula di tingkat petani mencapai minimal Rp 3100/kg. Kebijakan ini diharapkan
mampu meningkat harga di dalam negeri sehingga memperbaiki pendapatan produsen.
Kebijakan-kebijakan pada periode ini cukup efektif untuk membangkitkan kembali
industri gula nasional, walaupun faktor eksternal seperti kenaikan harga gula di pasar
internasional juga turut menolong industri gula nasional. Dari sisi areal, dampaknya mulai
tampak dan pada tahun 2005 areal diperkirakan mulai meningkat secara signifikan. Produksi
mulai meningkat dan mulai tahun 2004 produksi sudah kembali diatas 2 juta ton. Sebagai
akibatnya, impor mulai menurun datri sekitar 1.5 juta ton menjadi sekitar 1.3 juta ton. Jika
kebijakan-kebijakan ini dipertahankan dan didukung oleh program revitalisasi pembangunan
industri gula nasional, Indonesia dapat berharap mencapai swasembada gula pada tahun 2010
(proporsi impor adalah sekitar 90% dari konsumsi nasional). Paling tidak, kebijakan-kebijakan
tersebut akan memberi landasan yang memadai untuk kebangkitan industri gula nasional.

6. Percepatan Pemanfaatan Lahan Potensial Untuk Pembangunan Industri Gula


Perkembangan perluasan areal perkebunan tebu berjalan sangat lambat, tidak seperti
komoditas perkebunan lainnya khususnya sawit yang berjalan begitu cepat. Dalam upaya
untuk memanfaatkan lahan potensial dan investasi pembangunan industry gula di kawasan
Indonesia bagian timur perlu dilakukan langkah terencana oleh semua pihak yang terkait,
termasuk pemerintah, investor, lembaga penelitian dan masyrakat. Di lain pihak,
pembangunan industri gula di kawasan ini bersifat sangat strategis, selain dilihat dari sisi
kebutuhan pasok gula menuju swasembada, juga akan bermanfaat dalam mendorong
pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
Oleh karena itu, agar percepatan pengembangan indutri gula di Indonesia bagian
temur dapat segera terealisasi, maka diperlukan upaya dukungan, anatara lain sebagai berikut;
1. Menyediakan dan meningkatkan akses informasi potensi sumber daya lahan
Telaah potensi sumberdaya lahan yang sesuai untuk tebu di Indonesia bagian timur
relatif masih sedikit, sementara potensinya masih cukup luas. Oleh karena itu, pemerintah
harus mampu menyediakan informasi potensi sumberdaya lahan sesuai untuk tebu minimal
sampai pada tingkat tinjau mendalam. Bekerjasama dengan lembaga yang kompeten,

14

pemerintah harus lebih banyak mengadakan kajian secara intensif, yang hasilhasilnya dapat
dikemas sebagai sumber informasi yang lebih menarik dan dapat diakses secara mudah.
2. Menempatkan ketersediaan lahan untuk tebu pada tingkat prioritas tinggi
Kebutuhan konsumsi gula setiap tahun terus meningkat, sementara pasok gula dari
sentra produksi sudah sampai mendekati kondisi optimal. Lahan potensial untuk areal
perkebunan tebu yang diandalkan disinyalir tinggal di kawasan Indonesia bagian timur.
Namun demikian, dikarenakan persyaratan tumbuh tebu sangat tinggi, maka lahan yang dapat
dikembangkan untuk tebu di Indonesia menjadi lebih terbatas. Sementara di sisi lain, lahan
yang sesuai tebu pada umumnya dapat dikembangkan untuk komoditas lain. Pada kondisi ini
kenyataannya tebu menjadi sulit bersaing dan sering posisinya dikalahkan oleh kepentingan
lainnya. Oleh karena itu, untuk menghindari lahan potensial untuk tebu digunakan untuk
kepentingan komoditas industri lain yang sesungguhnya peluangnya masih cukup banyak
dapat menggunakan alternatif
lahan lain, maka pemerintah harus menetapakan kebijakan perlu menempatkan lahan
potensial tebu pada prioritas tinggi supaya lahan yang ketersediaanya terbatas tersebut tidak
terganggu oleh kepentingan penggunaan lahan lainnya.
3. Dukungan pembangunan infrastruktur
Sejauh ini lahan potensial yang sesuai untuk tebu yang telah diidentifikasi
karakteristik fisik lingkungannya, pada umumnya memiliki aksesibitas rendah. Di lain pihak
dengan kecenderungan situasi pergulaan yang kondusif, cukup banyak investor yang tertarik
untuk investasi pembangunan industry gula. Namun kenyataannya, perkembangan areal
perkebunan
tebu berjalan ditempat. Investasi pembangunan pabrik gula sering terkendala oleh
infrastruktur yang rendah sehingga membebani biaya investasi pembangunan industri gula
menjadi sangat mahal. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mendorong pembangunan
infrastruktur di sekitar kawasan areal potensialnya.
4. Dukungan kebijakan pemerintah
Investasi di bidang industri gula memerlukan biaya yang sangat besar dan memiliki
peranan cukup penting dalam mendorong perekonomian nasional. Agar investasi industri
gula
dapat terwujud maka pemerintah perlu mendorong situasi usaha yang lebih kondusif,
misalnya dengan memberikan insentif dan kemudahan seperti jaminan keamanan, keringanan
perpajakan,

15

kemudahan perijinan, kemudahan dalam memperoleh lahan (temasuk peran masyarakat adat)
dan konsistensi dalam penerapan kebijakannya dalam perspektif jangka panjang.
5. Dukungan SDM dan Teknologi
Pengelolaan industri gula merupakan usaha yang padat karya dan membutuhkan
tenaga kerja yang terampil. Sebagaimana diketahur dari hasil survei bahwa di sekitar lokasi
lahan potensial yang dijumpai di Indonesia bagian timur pada umumnya memiliki jumlah
penduduk yang terbatas. Selain itu, masyarakat yang ada di sekitar lokasipun pada
kenyataannya tidak terbiasa bekerja di perkebunan tebu. Hal ini akan memberikan persoalan
tersendiri. Untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja yang cukup dan handal, maka
pemerintah dan investor dapat bekerja sama menyediakan sarana kegiatan berupa pelatihan
dan pembekalan pengetahuan terhadap masyarakat yang mampu bekerja. Tenaga terampil
yang mampu bekerja di industri gula dapat pula didatangkan dari Jawa.
Dalam menyediakan tenaga kerja, khususnya untuk tenaga pekerja di perkebunan
tebu, pemerintah daerah apabila memungkinkan dapat mengupayakan melalui program
transmigrasi. Keterbatasan potensi sumberdaya yang tersedia di kawasan indonesia bagian
timur, memeperlukan dukungan teknologi on farm maun off farm yang memadai. Seperti
misalnya, dari sisi on farm, teknologi mekanisasi mampu mengurangi beban kelangkaan
tenaga kerja, penggunaan varietas dan pengendalian jasad penggangu serta sarana produksi
lainnya merupakan kebutuhan ditahap awal yang cukup mendesak. Sedangkan dari sisi on
farm dapat menggunakan adopsi teknologi industry gula yang sudah maju.
7. Dampak Positif dan Negatif dari Suatu Kebijakan
Penerapan kebijakan pada periode Bulog menunjukkan bahwa sisi negatif lebih
banyak daripada sisi positif yaitu menimbulkan adanya fluktuasi harga gula domestik yang
memberikan ketidakpastian harga baik produsen maupun konsumen. Kondisi ini
digambarkan pada kebijakan yang diterapkan periode bebas dan transisi, dimana sisi negatif
lebih banyak dibandingkan sisi positif dari berbagai kebijakan tersebut. Lain halnya pada
periode proteksi dan promosi, sisi positif lebih besar dibandingkan sisi negatif. Sisi positif
dari kebijakan yang diterapkan pada periode proteksi dan promosi adalah menyehatka
industri gula. Namun, esensi dari sisi negatif kebijakan yang diterapkan pada periode proteksi
dan promosi dampaknya lebih jelas pada jangka panjang dan menimbulkan penurunan daya
saing gula domestik
Kebijakan proteksi dan promosi mampu menyehatkan kondisi pergulaan nasional.

16

Namun, adanya disparitas harga gula domestik yang lebih tinggi dari harga impor
menunjukkan gejala penurunan daya saing sehingga kebijakan ini belum mampu
meningkatkan daya saing gula domestik. Oleh karena itu, kebijakan proteksi dan promosi
harus didukung dengan kebijakan lain untuk meningkatkan daya saing gula domestic secara
komperhensif dari subsistem hulu sampai hilir
8. Lembaga yang Mengawasi Atau yang Bertanggung Jawab Atas Pelaksanaan
Kebijakan Pergulaan di Indonesia
Pelaku utama dari pendistribusian gula adalah industri hilir dari sistem pergulaan
nasional. Yaitu pabrik gula, baik gula kristal maupun gula rafinasi, pedagang gula, serta
konsumen. Pelaku lain yaitu pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang mengatur sistem
pergulaan nasional mulai dari hulu hingga hilir. Peran lain dari pemerintah dalam distribusi
gula adalah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bernama BULOG.
Sistem pergulaan nasional Big Picture Mapping adalah system yang dikaji dalam
pengkajian ini. Sistem ini terdiri atas industri hulu yaitu petani tebu, industri proses yaitu
pabrik gula, dan industri hilir berupa distributor. Lingkup dari penelitian ini adalah pada
industri hilir
dari sistem pergulaan nasional, khususnya pada jaringan distribusi yang meliputi pabrik gula,
pedagang, dan konsumen.
Selain pelaku inti dalam sistem ini, dikaji pula keterkaitan dan peran pemerintah
dalam sistem ini. Yakni sebagai pengawas dan perumus kebijakan. Begitupun peran
organisasi seperti asosiasi pedagang, organisasi ini turut dikaji karena perannya cukup besar
dalam mengawasi kegiatan dalam sistem, khususnya mengawasi pedagang besar gula.
Hubungan keterkaitan dari setiap pelaku industri hilir penting diketahui agar dapat
dipahami dengan baik peran masing- masing pelaku. Pabrik gula sebagai produsen gula, baik
gula kristal maupun rafinasi berperan besar dalam menyediakan gula untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi gula. Selain pabrik gula, importir juga mempunyai peran dan fungsi
yang sama, yaitu penyedia gula impor. Sedangkan pedagang, baik pedagang besar maupun
retailer berperan dalam
penyaluran gula dari pabrik gula kepada masyarakat sebagai konsumen. Asosiasi pedagang
akan membantu dalam memanajemen beberapa pedagang besar dalam pendistribusian,
karena asosiasi ini merupakan wadah bagi para pedagang dalam menjalankan fungsi
distribusinya. Pemerintah selain sebagai pengawas dan perumus kebijakan, juga memberikan
bantuan dalam pendistribusian gula melalui lembaga BUMN yaitu BULOG.
17

III.

KESIMPULAN

1. Implikasi kebijakan pergulaan dilakukan pemerintah dengan merumuskan tujuan umum


kebijakan gula nasional, yaitu :

meningkatkan produksi dan produktivitas gula,


meningkatkan pendapatan petani tebu dan
menciptakan AgroEkonomika No.1 Tahun XXXV April 2005

2. Dalam mencapai kemanadirian gula secara nasional, Pemerintah telah mengeluarkan


berbagai kebijakan antara lain kebijakan proteksi, pemberian subsidi kepada petani tebu,
pencabutan TRI, dan sebagainya.
3. Kebijakan pergulaan secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 regim (Tabel 3) yaitu (i)
periode stabilisasi (1971-1996); (ii) perdagangan bebas/liberalisasi (1997-2001); dan (iii)
pengendalian impor (2002-sekarang)

4. Sisi negatif penerapan kebijakan pada periode Bulog menimbulkan adanya fluktuasi
harga gula domestik yang memberikan ketidakpastian harga baik produsen maupun
konsumen. Sedangkan sisi positif dari kebijakan yang diterapkan pada periode proteksi
dan promosi adalah menyehatkan industri gula.
5. Lembaga yang mengawasi atau yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan
pergulaan di indonesia yaitu pabrik gula, baik gula kristal maupun gula rafinasi, pedagang
gula, serta konsumen. Pelaku lain yaitu pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) bernama BULOG.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Perdagangan. 1994. Implikasi Kesepakatan GATT Terhadap Sektor Pertanian


Indonesia.
Departemen Perdagangan, Jakarta.
Dewan Gula Indonesia. 1999. Restrukturisasi Gula Indonesia April 1999. Bahan Diskusi
Reformasi
Gula Indonesia, Dewan Gula Indonesia, Jakarta.
Groombridge, M. A. 2001. Americas Bittersweet Sugar Policy. Trade Briefing Paper. Center
for
Trade Policy Study, CATO Institute, Washington DC.
Kennedy, P. L. 2001. Sugar Policy. Louisiana State University, Louisiana.
Mardianto, Sudi et al. 2005. Peta jalan (Road Map) dan kebijkan pengembangan industri
gula nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 23, No. 1, Juli: 19 37.

18

Pursell, G. and A. Gupta. 1997. Trade Policies And Incentives In Indian Agriculture.
Development Research Group, the World Bank., New Delhi.
Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyanto, C. Muslim, dan T. Soelistiyo. 2000. Dampak
Deregulasi
Industri Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan, Dan
Pendapatan Petani.
Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian,
Bogor.
Susila, W.R. dan A. Susmiadi. 2000. Analisis Dampak Pembebasan Tarif Impor dan Perdagangan
Bebas Terhadap Industri Gula. Laporan Penelitian, Asosiasi Penelitian Perkebunan
Indonesia, Bogor.

19

Anda mungkin juga menyukai