Anda di halaman 1dari 43

7

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1.

Pendidikan
Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) pendidikan adalah: usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Pengertian kata pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2001) adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan.
Pendidikan dalam pengertian yang agak luas dapat diartikan sebagai sebuah
proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memeroleh pengetahuan,
pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Karena di
dalam pendidikan tercakup proses perkembangan seseorang menuju kedewasaan
maka pendidikan mempunyai tujuan untuk mengubah dan membentuk sikap,
watak serta perilaku manusia ke arah yang lebih baik (Syah, 2011).

2.

Tingkat Pendidikan Formal


Berdasarkan

diklasifikasikan

lingkungan

terselenggaranya,

pendidikan

dapat

menjadi: pendidikan informal, pendidikan non formal dan

pendidikan formal. Pendidikan informal adalah pendidikan yang diperoleh dari


pengalaman sehari-hari secara sadar atau tidak sepanjang hayat seseorang.
Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga, pergaulan sehari-hari,
pekerjaan, masyarakat, keluarga dan organisasi. Pendidikan non formal adalah
pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu, dengan sadar tetapi tidak terlalu
mengikuti peraturan yang ketat. Pendidikan formal adalah pendidikan yang
berlangsung secara teratur, bertingkat dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara
ketat. Pendidikan ini berlangsung di sekolah. Sekolah merupakan lembaga
pendidikan formal karena diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis,
mempunyai jenjang dan kurun waktu tertentu, serta berlangsung mulai dari Taman
Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi berdasarkan aturan resmi yang sudah
ditetapkan (Ahmadi dan Uhbiyati, 1991).
Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 menjelaskan bahwa
pendidikan formal terbagi atas tiga jenjang pendidikan yaitu:
a.

Pendidikan dasar
Pada prinsipnya, pendidikan dasar memberikan bekal dasar bagi

perkembangan kehidupan serta mempersiapkan peserta didik untuk


mengikuti pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah
Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat

serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs),


atau bentuk lain yang sederajat. Jenjang waktu yang ditempuh untuk
pendidikan dasar adalah sembilan tahun, enam tahun Sekolah Dasar atau
bentuk lain yang sederajat dan tiga tahun Sekolah Menengah Pertama atau
bentuk lain yang sederajat.
b.

Pendidikan menengah
Pendidikan menengah merupakan kelanjutan dari pendidikan dasar,

yang

dipersiapkan

menjadi

anggota

masyarakat

yang

mempunyai

kemampuan hubungan timbal balik dalam lingkungan dan dapat


mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.
Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Jenjang waktu yang
ditempuh untuk pendidikan menengah adalah tiga tahun.
c.

Pendidikan tinggi
Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan mengengah

yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota


masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional yang
dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan,
teknologi dan kesenian. Pendidikan tinggi mencakup program pendidikan
diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi. Perguruan Tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka,

10

dan jenjang waktu yang ditempuh untuk pendidikan tinggi bervariasi sesuai
dengan gelar akademik, profesi, atau vokasi yang ditempuh seseorang.

3.

Nyamuk Aedes
a. Taksonomi
Secara taksonomi, Aedes dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Hexapoda
Ordo : Diptera
Subordo

: Nematocera

Famili : Culicidae
Subfamili

: Culicinae

Tribus : Culicini
Genus : Aedes
Spesies: Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Sucipto, 2011).
b. Morfologi
1)

Aedes aegypti

11

Bagian tubuh nyamuk dewasa terdiri atas kepala, dada (toraks) dan
perut (abdomen). Tanda khas Aedes aegypti berupa gambaran lyre pada
bagian dorsal toraks (mesonotum) yaitu sepasang garis putih yang sejajar
di tengah dan garis lengkung putih yang lebih tebal pada tiap sisinya.
Probosis berwarna hitam, skutelum trilobi, bersisik lebar berwarna putih.
Pada betina palpus lebih pendek dari probocis. dan abdomen berpita putih
pada bagian basal. Ruas tarsus kaki belakang berpita putih. Sisik sayap
sempit panjang dengan ujung runcing.
Telur Aedes aegypti berwarna putih saat pertama kali dikeluarkan,
lalu menjadi coklat kehitaman. Telur berbentuk oval, dan memiliki garisgaris yang menyerupai sarang lebah dengan panjang 0,5 mm. Telur dapat
bertahan sampai berbulan-bulan dalam suhu 2-24C, namun akan menetas
dalam waktu 1-2 hari pada kelembaban rendah. Setelah telur menetas
kemudian akan menjadi larva. Larva Aedes aegypti memiliki sifon yang
pendek dan mempunyai sisir pada ruas ke-8 abdomen yang terdiri dari
gigi-gigi bergerigi. Umur larva sekitar 7-9 hari kemudian menjadi pupa.
Bentuk pada stadium pupa seperti bentuk terompet panjang dan ramping.
Stadium pupa biasanya berlangsung selama 2 hari. Setelah itu, pupa akan
membuka dan melepaskan kulitnya, dan akan keluar stadium imago atau
nyamuk dewasa (Sucipto, 2011).

12

2) Aedes albopictus
Nyamuk Aedes albopictus mempunyai ciri morfologi yang mirip
dengan nyamuk Aedes aegypti, namun memiliki beberapa perbedaan.
Aedes albopictus dewasa mempunyai ciri-ciri fisik mempunyai gambaran
sebuah pita putih longitudinal pada bagian mesotonum. Selain itu, larva
Aedes albopictus mempunyai sisir pada ruas ke-8 abdomen dan
mempunyai gigi-gigi sederhana tanpa duri lateral. Stadium telur dan pupa
pada nyamuk Aedes albopictus memiliki ciri morfologis yang sama
dengan nyamuk Aedes aegypti (Sucipto, 2011).
c.

Siklus Hidup
Telur nyamuk Aedes akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari,

kemudian larva akan berubah menjadi pupa dalam waktu 5-15 hari. Stadium
pupa biasanya berlangsung selama 2 hari. Dalam suasana optimum,
perkembanga dari telur sampai dewasa memerlukan waktu sekurangkurangnya 9 hari.
Setelah nyamuk berkembang dan keluar dari pupa, nyamuk akan
beristirahat terlebih dahulu di kulit pupa untuk sementara waktu hingga sayap
menjadi kaku dan kuat untuk terbang. Pupa jantan menetas lebih dahulu dari
pupa betina. Setelah 1-2 hari keluar dari pupa, nyamuk betina dewasa siap
untuk kawin dan menghisap darah manusia.
Nyamuk jantan tidak pergi jauh dari tempat perindukan karena menunggu
nyamuk betina menetas dan siap berkopulasi. Sesudah kopulasi, nyamuk betina

13

akan menghisap darah manusia yang diperlukannya untuk pembentukan telur.


Waktu dari mulai nyamuk menghisap darah hingga telur dikeluarkan
berlangsung sekitar 3-4 hari. Kemudian nyamuk betina akan meletakkan
telurnya pada dinding tempat air dimana telur akan berkembang dan menetas.
Jumlah telur yang dikeluarkan nyamuk betina rata-rata berjumlah 150 butir
telur (Sungkar, 2005).
d. Kebiasaan Hidup Nyamuk
Aedes aegypti berkembangbiak di dalam tempat penampungan air yang
tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, tempayan, drum, vas bunga, dan
barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan. Aedes albopticus juga
demikian tetapi lebih banyak terdapat di luar rumah, seperti dahan pohon atau
daun yang menampung air.
Nyamuk Aedes aegypti aktif menghisap darah pada siang hari dengan 2
puncak aktivitas, yaitu pada pukul 08.00-12.00 dan 15.00-17.00. nyamuk
Aedes aegypti bersifat antropofilik, nyamuk betina lebih suka menghisap darah
manusia darpada darah binatang dan mempunyai kebiasaan menggigit berulang
sampai lambung penuh berisi darah. Nyamuk betina menghisap darah
umumnya 3 hari setelah melakukan kopulasi. Setelah menghisap darah,
nyamuk Aedes aegypti hinggap untuk beristirahat dalam rumah yang
berdekatan dengan tempat berkembangbiaknya. Tempat hinggap yang
disenangi adalah tempat yang gelap dan lembab, dan nyamuk senang hinggap
di benda yang menggantung seperti pakaian, kelambu, atau tumbuh-tumbuhan.

14

Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan
meletakkan telurnya di dinding tempat berkembangbiaknya, sedikit di atas
permukaan air. Jumlah telur yang dikeluarkan adalah sekitar 100-400 butir.
Nyamuk Aedes aegypti biasa menempatkan telurnya di air jernih terutama
bak air WC, bak mandi, dan gentong air minum, sedangkan nyamuk Aedes
albopticus lebih senang bertelur di luar rumah, seperti pekarangan, atau di
kaleng sampah yang dibuang (Sucipto, 2011).
Jarak terbang nyamuk Aedes sekitar 30-50 meter per hari, tetapi jarak
terbang ini juga bergantung dari tempat bertelur. Apabila tempat bertelur
terdapat di dalam rumah atau di sekitar rumah maka nyamuk tidak akan
terbang jauh. Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 meter, maksimal
100 meter. Namun, nyamuk dapat berpindah lebih jauh secara pasif karena
terbawa angin atau kendaraan (Sungkar, 2005).

4.

Infeksi Virus Dengue


Infeksi virus dengue adalah penyakit yang sistemik dan dinamis. penyakit ini

memiliki spektrum klinis yang luas yang meliputi baik manifestasi klinis berat
dan ringan (WHO, 2009).
a. Etiologi
Virus dengue termasuk group B arthropod bone virus dan sekarang lebih
dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae yang mempunyai 4 jenis

15

serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Infeksi salah satu serotipe
akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang
bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain
(Merdjani et al, .2008).
b. Patofisiologi
1)

Volume Plasma

Patofisiologi utama yang membedakan antara Demam Dengue dengan


Demam Berdarah Dengue adalah peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah, penurunan volume plasma, hipotensi, trombositopenia, serta
diatesis hemorrhagik. Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD dengan
menggunakan 131 Iodine labelled human albumin sebagai indikator
membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari
permulaan masa demam dan mencapai puncak pada masa syok. Pada kasus
berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat secara bersamaan
dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.
Meningkatnya nilai hematokrit pada kasus syok mengarahkan kepada dugaan
bahwa syok terjadi akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular
melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung adalah ditemukannya
cairan dalam rongga serosa seperti rongga peritoneum, pleura, dan
perikardium yang pada autopsi yang ternyata melebihi cairan yang diberikan
melalui infus, dan terdapatnya edema (Merdjani et al, .2008).

16

2)

Trombositopenia

Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang sering ditemukan


pada kasus DBD. Nilai trombosit menurun pada masa demam dan mencapai
nilai terendah pada masa syok. Trombositopenia dihubungkan dengan
meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa
hidup trombosit akibat peningkatan destruksi trombosit. Fungsi trombosit
pada DBD terbukti menurun yang kemungkinan disebabkan oleh proses
imunologis. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap
sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD (Merdjani et al, .
2008).
3)

Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis


Kelainan sistem koagulasi juga berperan sebagai penyebab

perdarahan pada DBD. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan


normal atau memanjang, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi
memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, yaitu faktor II, V, VII,
VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus berat terjadi peningkatan fibrinogen
degradation products (FDP).
Penelitian lebih lanjut membuktikan adanya penurunan aktivitas
antitrombin III. Selain itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktivitas
faktor VII, faktor II dan antitrombin III tidak sebanyak fibrinogen dan
faktor VIII. Hal tersebut menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar
fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem

17

koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan


fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan adanya penurunan aktivitas -2
plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas plasminogen (Merdjani, et al., .
2008).
Selain itu, pada penderita DBD terjadi disfungsi endotel, hal ini
dibuktikan dengan terdapatnya peningkatan kadar sVCAM-1, faktor von
Willebrand (vWF) dan D dimer. Namun tidak ada hubungan antara
sVCAM-1 dengan beratnya penyakit, hanya ada hubungan yang lemah
antara vWF dengan D dimer maupun beratnya penyakit (Dharma, et al.,
2006).
4)

Sistem Komplemen
Terdapat penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5 baik

pada kasus yang disertai syok atau tidak. Terdapat hubungan positif antara
kadar

serum

komplemen

dengan

derajat

penyakit.

Penurunan

menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi


baik melalui jalur klasik maupun alternatif. Hasil penelitian radioisotop
mendukung pendapat bahwa penurunan kadar komplemen disebabkan oleh
aktivasi sistem komplemen bukan karena produksi yang menurun. Aktivasi
sistem komplemen menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang
mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan
histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan
permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik.

18

Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel,


permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh
trombosit memendek, kebocoran plasma, syok, dan perdarahan. Selain itu,
komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti
tumor necrosis factor (TNF), interfeon gamma, dan interleukin (IL-2 dan
IL-1) (Merdjani et al, .2008).
5)

Respon Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat

peningkatan limfosit atipik yang berlangsung sampai hari kedelapan.


Dilaporkan juga bahwa pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD
dijumpai transformed lymphocytes dalam presentase tinggi (20-50%). Hal
tersebut khas untuk DBD karena pada infeksi virus lain hanya terdapat
sekitar 0-10%. Penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Sutaryo pada
tahun 1978, yang kemudian menyebutnya sebagai limfosit plasma biru
(LPB). Pemeriksaan LPB secara seri memperlihatkan bahwa LPB pada
infeksi dengue mencapai puncak pada hari keenam. Dari penelitian
imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfositB dan limfosit T. LPB adalah limfosit dengan sitoplasma biru tua,
ukurannya lebih besar atau sama dengan limfosit besar, sitoplasma lebar
dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata, dengan daerah perinuklear
yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk bulat oval.
Kromosom inti kasar dan terkadang dalam inti terdapat nukleoli. Pada

19

sitoplasma tidak ada granula azurofilik. Daerah yang berdekatan dengan


eritrosit tidak melekuk dan tidak bertambah biru (Merdjani, et al., .2008)
c.

Patogenesis
Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopticus

sebagai vektor ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Infeksi


yang pertama kali dapat memberi gejala sebagai diagnosis banding. Demam
Berdarah Dengue dapat terjadi apabila seseorang yang telah terinfeksi dengue
pertama kali, mendapat infeksi berulang virus dengue lainnya (Hendrawanto,
2002).
Organ sasaran dari virus dengue ini adalah organ RES (Reticulo
Endotelial System) yang meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah,
nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Setelah masuk dalam aliran
darah, virus akan difagosit oleh sel-sel monosit perifer. Namun,

virus

tersebut ternyata mampu bertahan hidup dan dapat melakukan multiplikasi di


dalam sel monosit. Virus akan melakukan hal tersebut dengan cara
memasukkan genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel
sel, kemudian genom akan virus membentuk komponen-komponennya, baik
komponen perantara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen
struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangbiakan
virus DEN ini terjadi dalam sitoplasma sel.
Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai empat fungsi
biologis yaitu: netralisasi virus, sitolisis komplemen, Antibody Dependent

20

Cell-mediated Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent Enhancement


(ADE).
Antibodi terhadap virus DEN secara in vivo dapat berperan pada dua hal
yang berbeda, yaitu : Antibodi netralisasi atau neutralizing antibodies yang
memiliki serotip spesifik yang dapat mencegah infeksi virus dan antibodi non
netralising yang memiliki peran cross-reaktif dan dapat meningkatkan infeksi
yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS.
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Namun, berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat
bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya DBD dan DSS.
Dua teori yang sering digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis
pada DBD dan DSS yaitu hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous
infection theory) dan hipotesis antibody dependent enhancement (ADE).
Teori

infeksi

sekunder

menyebutkan

bahwa

apabila

seseorang

mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis serotipe virus, maka akan
terjadi proses kekebalan terhadap virus jenis tersebut tersebut untuk jangka
waktu yang lama, tetapi apabila orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder
dari jenis serotipe virus yang berbeda, maka akan terjadi infeksi yang berat.
Antibodi yang telah terbentuk dari infeksi primer akan membentuk kompleks
dengan infeksi virus dengue dengan serotipe yang berbeda, tetapi antibodi
tersebut tidak dapat menetralisir virus, bahkan akan membentuk suatu
kompleks yang infeksius.

21

Karena adanya non neutralizing antibody, maka partikel virus DEN dan
molekul antibodi IgG akan membentuk suatu kompleks virus-antibodi.
Kompleks tersebut akan berikatan dengan reseptor Fc gama pada sel, yang
akan menimbulkan peningkatan infeksi virus DEN. Kompleks virus antibodi
juga akan meliputi sel makrofag yang beredar, antibodi tersebut akan bersifat
opsonisasi dan internalisasi sehingga makrofag mudah terinfeksi dan akan
teraktivasi, yang selanjutnya akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF- juga
Platelet Activating Faktor (PAF). TNF- akan berperan dalam menyebabkan
kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan
tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah, dimana hal-hal
tersebut dapat mengakibatkan syok.
Pada teori yang lain, yaitu teori Antibody Dependent Enhancement
(ADE), menyebutkan tiga hal, yaitu: antibodies enhance infection, T-cells
enhance infection serta limfosit T dan monosit yang akan melepaskan sitokin
yang berkontribusi terhadap terjadinya DBD dan DSS.
Teori ADE dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa jika terdapat antibodi
spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah
timbulnya penyakit, akan tetapi apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh
merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat
menimbulkan penyakit yang berat (Soegijanto, 2006).
Dalam teori ADE diperkirakan bahwa proses terjadinya peningkatan
replikasi virus pada infeksi sekunder adalah akibat antibodi yang berkadar

22

rendah dan bersifat subnetral yang sudah terbentuk pada saat terjadi infeksi
primer tidak mampu membunuh virus, sehingga kompleks imun melekat pada
reseptor Fc sel mononuklear fagosit, terutama makrofag, yang kemudian akan
mempermudah virus masuk ke sel dan meningkatkan kemampuan
multiplikasi virus tersebut (Sutaryo, 2004).
Imunoglobulin spesifik terhadap virus dengue di dalam serum pasien
DD, DBD dan DSS didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3, sedangkan IgA
dijumpai paling banyak pada fase akut dari DSS. Sehingga banyak juga yang
mengatakan bahwa IgA, IgG1 dan IgG4 dapat digunakan sebagai marker dari
risiko berkembangnya DBD dan DSS.
Disamping kedua teori tersebut masih ada teori-teori lain tentang
patogenesis dari DBD, diantaranya adalah teori virulensi virus, teori ini
didasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan
DEN-4 yang semuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus yang fatal, tetapi
berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain. Selain itu juga ada teori
antigen-antibodi, teori ini berdasarkan bukti bahwa pada penderita DBD
terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai dengan
penurunan dari kadar C3, C4 dan C5. Selain itu, pada 48-72% penderita DBD
terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus Dengue yang dapat
menempel pada trombosit, sel B, dan sel-sel dalam organ tubuh lain.
Terbentuknya kompleks imun tersebut juga akan mempengaruhi aktivitas
komponen sistem imun yang lain. Juga ada teori mediator, yang menjelaskan
bahwa makrofag yang terinfeksi virus Dengue akan melepas berbagai

23

mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dll. Diperkirakan mediator
dan endotoksin yang bertanggungjawab atas terjadinya syok septik, demam
dan peningkatan permeabilitas kapiler.
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, akan tetapi
derajat kerusakan jaringan yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan
kematian dari infeksi virus tersebut, kematian lebih disebabkan oleh
gangguan metabolik dan juga keadaan shock. Diketahui juga bahwa akibat
dari replikasi virus di dalam sel akan menimbulkan stres pada sel sampai
dapat menyebabkan kematian sel (apoptotik). Mekanisme pertahanan tubuh
melalui apoptosis dan aktivasi sel-sel fagosit dapat menimbulkan jejas
jaringan lokal juga ketidakseimbangan homeostasis.
Penelitian oleh Azaredo EL dkk, 2001 membuktikan bahwa patogenesis
DBD/DSS umumnya disebabkan oleh disregulasi respon imunologik.
Monosit/makrofag yang terinfeksi virus Dengue akan mensekresi monokin
yang berperan dalam proses patogenesis dan gambaran klinis DBD/DSS.
Pada penelitian invitro oleh Ho LJ dkk 2001, ternyata Dendritic Cell
yang terinfeksi virus dengue dapat mengekspresi antigen HLA B7-1, B7-2,
HLA-DR, CD11b dan CD83. Anehnya Dendritic Cell yang terinfeksi virus
dengue ini sanggup memproduksi TNF- a dan IFN-g, namun tidak dapat
mensekresi IL-6 dan IL-12. Oberholzer dkk, 2002, menjelaskan bahwa IL-10
dapat menekan proliferasi sel T. IL-10 sebagai sitokin proinflamasi

24

tampaknya berperan dalam respons imun yang diperantarai limfosit Th1,


yang dikatakan berperan pada infeksi virus pada umumnya.
Pada infeksi fase akut virus dengue terjadi penurunan dari populasi
limfosit CD2+ dan berbagai subsetnya CD4+ dan CD8+. Juga terjadi
penurunan respon proliferatif dari sel-sel mononuklear, sebaliknya pada fase
konvalesen respon proliferatif kembali normal. Terjadi peningkatan
konsentrasi IFN-g, TNF-a, IL-10 dan reseptor TNF terlarut di dalam plasma
pasien DBD/DSS. Peningkatan TNF-a berhubungan dengan manifestasi
hemoragik, sedangkan kenaikan IL-10 berhubungan dengan fungsi trombosit.
Sehingga, pada infeksi virus Dengue fase akut akan terjadi penurunan
jumlah maupun fungsi dari limfosit T, sedangkan sitokin proinflamasi TNF-a
akan meningkat dan berperan penting dalam derajat keparahan dan
patogenesis DBD/DSS. Juga terjadi peningkatan IL-10 yang akan
menurunkan fungsi limfosit T dan fungsi trombosit. Penyebab utama dari
kebocoran plasma yang khas terjadi pada pasien DBD dan DSS disebabkan
oleh kerjasama aktivasi komplemen, induksi kemokin dan kematian sel
apoptotik (Soegijanto, 2006).
d. Manifestasi Klinis
Infeksi virus dengue mungkin bersifat asimtomatik atau dapat
menyebabkan demam tidak terdiferensiasi (undifferentiated fever), Demam
Dengue (Dengue Fever), atau Demam Berdarah Dengue (Dengue
Haemorrhagic Fever) termasuk Sindrom Syok Dengue (Dengue Shock

25

Syndrome) dan Expanded Dengue Syndrome. Infeksi salah satu serotipe


dengue akan memberikan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe tersebut,
tetapi hanya ada proteksi-silang jangka pendek untuk serotipe lainnya.
Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung pada faktor-faktor strain
virus dan host seperti usia, status kekebalan, dan lain lain (WHO, 2011).
1)

Demam tidak terdiferensiasi


Pada bayi, anak dan orang dewasa yang terinfeksi virus dengue,

terutama untuk pertama kalinya (infeksi dengue primer), dapat terjadi


demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dari infeksi virus lainnya.
Ruam makulopapular dapat menyertai demam atau mungkin muncul
selama penurunan suhu badan sampai normal. Gejala saluran pernapasan
atas dan saluran pencernaan juga umum terjadi (WHO, 2011).
2)

Demam Dengue
Pada masa awal penyakit biasanya mendadak, disertai gejala

prodromal seperti nyeri kepala, nyeri di berbagai bagian tubuh, anoreksia,


menggigil, dan malaise. Akan dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi,
nyeri pada anggota badan, dan ruam. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum
suhu naik pertama kali, pada hari sakit ke 3-5 dan berlangsung selama 3-4
hari. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang pada penekanan.
Ruam biasanya terdapat di dada, abdomen, anggota gerak dan wajah.
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, selain itu rasa tidak
nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering

26

ditemukan. Pada stadium dini sering timbul perubahan pada indra


pengecap. Gejala klinis lain yaitu fotofobia, keringat bercucuran, serak,
batuk, epistaksis, dan disuria. Demam akan menghilang secara lisis disertai
keringat yang banyak.
Kelenjar limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus.
Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopenia selama periode prademam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh
neutropenia relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan
masa kovalesens. Eosinofil menurun ataumenghilang pada permulaan dan
puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode
demam, sel plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit
dengan terdapatnya trombositopenia. Darah tepi akan menjadi normal
kembali dalam waktu 1 minggu.
Komplikasi demam dengue jarang dilaporkan, antara lain orkhitis
atau ovaritis, keratitis, dan retinitis. Berbagai kelainan neurologis juga
dilaporkan, diantaranya menurunnya kesadaran, paralisis sensorium yang
sementara, meningismus, dan ensefalopati (Merdjani, et al., 2008).
3)

Demam Berdarah Dengue


Demam Berdarah Dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu

demam tinggi, perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah


(circulatory failure).

27

Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji torniquet positif, memar,


dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus yang
tersebar di anggota gerak, wajah, aksila sering ditemukan pada masa dini
demam. Perdarahan dapat juga terjadi di setiap organ tubuh. Pada masa
kovalesens sering ditemukan eritema pada telapak tangan dan kaki.
Pada DBD yang disertai syok, setelah demam berlangsung selama
beberapa hari keadaan umum tiba-tiba memburuk. Hal tersebut biasa
terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu antara hari sakit ke 37. Pada sebagian kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit
terasa lembab dan dingin, sianosis di sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan
lembut. Anak akan tampak lesu dan gelisah kemudian secara cepat masuk
dalam fase syok. Pasien sering mengeluh nyeri di daerah perut sesaat
sebelum syok. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya
mempunyai prognosis buruk.
Selain kegagalan sirkulasi, saat syok tekanan nadi menurun
menjadi 20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80
mmHg atau lebih rendah.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan
hemokonsentrasi. Jumlah trombosit <100.000/l ditemukan antara hari
sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematokrit merupakan sebuah bukti
adanya kebocoran plasma. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan
adalah hipoproteinemia, hiponatremia, kadar transaminase serum dan urea

28

nitrogen darah meningkat. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis


metabolik. Jumlah lekosit bervariasi antara leukopenia dan leukositosis.
Terkadang ditemukan albuminuria ringan yang bersifat sementara
(Merdjani, et al., 2008).
4)

Expanded Dengue Syndrome


Merupakan manifestasi klinis yang tidak biasa pada pasien dengan

keterlibatan organ-organ penting seperti hati, otak ginjal, atau jantung yang
terkait dengan infeksi dengue yang tidak terdapat kebocoran plasma.
Manifestasi yang tidak biasa ini, mungkin terkait dengan co-infeksi,
komorbiditas atau komplikasi syok yang berkepanjangan. Investigasi
lengkap harus dilakukan dalam kasus ini. Kebanyakan pasien DBD yang
memiliki

manifestasi

yang

tidak

biasa adalah

hasil

dari syok

berkepanjangan dengan kegagalan organ atau pasien dengan penyakit


penyerta atau koinfeksi (WHO, 2011).
Manifestasi Klinis ini mungkin tidak dilaporkan, tidak terdeteksi,
atau tidak terkait dengan infeksi dengue. Namun, penilaian klinis yang
tepat sangat penting dilakukan agar selanjutnya dapat diberikan
manajemen dan penatalaksanaan yang sesuai.
Tabel 1. Expanded Dengue Syndrome (Manifestasi Klinis yang
Tidak Umum pada Infeksi Dengue)

29

Sistem
Neurologis

Manifestasi Klinis yang Tidak Umum (Atypical)


Kejang demam pada anak-anak
Ensefalopati
Ensefalitis / meningitis aseptik
Pendarahan Intrakranial
Efusi subdural.
Mononeuropati/polineuropati/Guillane-Barre
Syndrome
Transverse myelitis

Gastrointestinal

Hepatitis
Acalculous kolesistitis
Pankreatitis akut
Hiperplasia Peyers patch
Parotitis akut

Renal

Gagal ginjal akut


Hemolytic Uremic Syndrome

Kardiovaskular

Abnormalitas konduksi
Myokarditis
Perikarditis

Respirasi

Acute Respiratory Distress Syndrome

30

Perdarahan pulmonal
Muskuloskeletal

Myostitis

dengan

peningkatan

Creatinine

Phosphokinase
Rhabdomyolisis
Lymphoreticular
/Sumsum Tulang

Infeksi terkait Haemophagocytic Syndrome


IAHS atau Lymphohistiocytosis Haemophagocytic
(HLH), Idiopathic
Thrombocytopenic Purura (ITP).
Ruptur limpa spontan
Infark kelenjar getah bening

Mata

Perdarahan macular
Gangguan ketajaman visual
Neuritis Optik

Lainnya

Post-Infectious

Fatigue

Syndrome,

halusinasi, psikosis, alopecia


(WHO, 2011).
e. Diagnosis
1)

Demam Dengue
Demam akut dengan dua atau lebih dari kriteria berikut:

depresi,

31

a)

sakit kepala

b)

Nyeri retro-orbital

c)

mialgia

d)

arthralgia

e)

ruam

f)

manifestasi perdarahan

g)

leukopenia (lekosit 5000 sel/mm3)

h)

trombositopenia (jumlah trombosit <150 000 sel/mm3)

i)

kenaikan hematokrit (5 - 10%);

dan setidaknya salah satu dari kriteria berikut:


a)

Hasil tes serologi yang mendukung: titer 1280 dengan test


Penghambatan Hemaglutinasi, titer IgG yang comparable dengan
enzyme-linked immunosorbent assay, atau tasting positive pada test
antibodi IgM

b)

Terjadinya di lokasi dan waktu yang sama dengan kasus demam


dengue yang sudah terkonfirmasi.

Untuk mengkonfirmasi diagnosis harus memenuhi kriteria yang telah


disebutkan di atas, dengan setidaknya salah satu dari berikut:
a)

isolasi virus dengue dari serum, CSF atau sampel otopsi.

32

b)

peningkatan empat kali lipat atau lebih kenaikan serum IgG


(dengan uji inhibisi Hemaglutinasi) atau peningkatan IgM antibodi
spesifik untuk virus dengue.

c)

deteksi virus dengue atau antigen dalam jaringan, serum atau cairan
serebrospinal dengan uji imunohistokimia, imunofluoresensi atau
enzyme-linked immunosorbent assay.

d)

deteksi urutan genom virus dengue dengan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (WHO, 2011).

2)

Demam Berdarah Dengue


Terdapat semua dari kriteria berikut:

a)

Onset akut demam 2-7 hari.

b)

Manifestasi perdarahan, yang ditunjukkan oleh salah satu dari


berikut: tourniquet tes positif, petechiae, ekimosis atau purpura,
atau perdarahan dari mukosa, saluran pencernaan, situs injeksi, atau
lokasi lainnya.

c)

Trombosit 100000 sel/mm3

d)

Bukti objektif kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas


pembuluh darah yang ditunjukkan oleh salah satu kriteria berikut:
Meningkatnya hematokrit 20%, efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia/hipoalbuminemia (WHO, 2011).

33

3)

Dengue Shock Syndrome


Memenuhi kriteria untuk demam berdarah dengue seperti yang

tercantum sebelumnya, dengan tanda-tanda shock berikut:


a)

Takikardia, ekstremitas dingin, waktu pengisian kapiler melambat,


nadi lemah, lesu atau gelisah, yang mungkin merupakan tanda
perfusi otak berkurang.

b)

Tekanan nadi 20 mmHg dengan tekanan diastolik yang


meningkat.

c)

Hipotensi berdasarkan usia, yang didefinisikan sebagai tekanan


sistolik <80 mmHg bagi mereka berusia <5 tahun, dan 80-90
mmHg untuk anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa (WHO,
2011).
Konfirmasi laboratorium lain yang dapat dlakukan untuk infeksi

dengue adalah dengan melalui isolasi virus, deteksi asam nukleat virus,
deteksi antigen virus, test imunologis (IgM dan IgG), dan analisis
parameter hematologis (Mandal, et al., 2008)
f. Klasifikasi
Klasifikasi infeksi dengue menurut WHO tahun 2011 terbagi dalam
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue, dimana Demam Berdarah
Dengue terbagi dalam empat derajat menurut tigkat keparahannya. DBD

34

derajat III dan IV sudah masuk kedalam keadaan DSS (Dengue Shock
Syndrome).
Tabel 2. Klasifikasi Infeksi Dengue dan Derajat Keparahan DBD
DD/DBD
DD

Derajat

Tanda dan Gejala


Demam
dengan

dua hal berikut:

Laboratorium
leukopenia
(lekosit
5000 sel/mm3).

Sakit kepala.

Trombositopenia
(trombosit

Nyeri retro-

<150000

sel/mm3).

orbital.

Mialgia.

Meningkatnya
hematokrit

Arthtralgia.
Ruam.

Tidak

ada

bukti

kehilangan plasma

perdarahan.
Tidak

ada

bukti
kebocoran
plasma.
DBD

10%).

manifestasi

(5%

Demam dan

Trombositopenia <100000

manifestasi

sel/mm3; kenaikan HCT

35

perdarahan (test

20%

torniquet positif)
dan adanya bukti
kebocoran plasma
DBD

II

Seperti derajat I

Trombositopenia <100000

ditambah

sel/mm3; kenaikan HCT

perdarahan

20%.

spontan.
DBD

III

Seperti derajat I

Trombositopenia <100000

atau II ditambah

sel/mm3; kenaikan HCT

kegagalan

20%.

peredaran darah
(nadi lemah,
tekanan nadi
rendah 20
mmHg, hipotensi,
kegelisahan).
DBD

IV

Seperti derajat III

Trombositopenia <100 000

ditambah syok

sel/mm3; kenaikan HCT

berat dengan

20%.

tekanan darah dan


nadi yang tidak
terdeteksi.
(WHO, 2011).

36

g. Penularan
Virus dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes
albopticus betina. Nyamuk tersebut dapat secara langsung meularkan virus
dengue kepada manusia, yaitu setelah menggigit orang yang mengalami
viremia, atau secara tidak langsung setelah mengalami masa inkubasi dalam
tubuhnya selama 8-10 hari.
Pada manusia diperlukan waktu 4-6 hari sebelum menjadi sakit setelah
virus masuk ke dalam tubuhnya. Pada nyamuk, sekali virus masuk ke dalam
tubuhnya, maka nyamuk tersebut dapat menularkan virus seumur hidupnya.
Penularan dari manusia ke nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum
panas samapai lima hari setelah demam timbul (Depkes RI, 2001).
h. Pencegahan Penyakit Dengue
Pencegahan penyakit dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
aedes dikelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu:
1) Pencegahan Primer
Pada tahap ini dilakukan upaya menghilangkan kemungkinan terjadinya
penyakit yang akan terjadi. Tingkatan ini terdiri dari:
a)

Promosi Kesehatan

37

Promosi kesehatan dilakukan dengan cara penyuluhan kesehatan


yaitu memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat mengenai apa
itu DBD, apa tanda-tandanya, apa penyebabnya, dan bagaimana cara
penularannya; bila terjadi serangan apa yang harus dilakukan.
b)

Perlindungan khusus
Karena penyakit ini tidak terdapat vaksinnya, dan penularan terjadi

melalui gigitan nyamuk Aedes yang mengandung virus dengue,


masyarakat diminta untuk menghindari gigitan nyamuk (Farouk, 2004)
2) Pencegahan Sekunder
Pada tahap ini dilakukan upaya untuk menghambat perjalanan penyakit
dan mencegah komplikasi. Upaya ini meliputi melakukan diagnosis seawal
mungkin terhadap kasus penyakit dengue dan memberikan pengobatan yang
tepat. Begitu didapatkan kasus dengan gejala panas segera dilakukan
pemeriksaan fisik dengan cermat untuk menetapkan apakah kasus dengue
atau bukan dan bila telah didiagnosis dilakukan pengobatan yang tepat
terutama untuk mencegah terjadinya perdarahan dan syok (Farouk, 2004)
3) Pencegahan Tersier
Upaya yang dilakukan pada tahap ini bertujuan agar penderita sembuh
seperti sedia kala dan tanpa cacat. Upaya ini meliputi:

38

a)

Menghindakan dari kecacatan. Bila kasus menjadi berat dilakukan


perawatan rumah sakir untuk menghindari perdarahan hebat dan
kematian.

b)

Rehabilitasi. Bila ada tanda-tanda penyembuhan, dilakukan


pemulihan kesehatan dengan cara pemberian makanan yang bergizi
serta vitamin. (Farouk, 2004)

Langkah pencegahan DBD yang paling baik adalah dengan mengeliminasi


nyamuk Aedes dengan cara mengeliminasi tempat berbiaknya (Wijaya, 2007).
Pemberantasan vektor tersebut dapat dilakukan dengan beberapa metode
yaitu:
1)

Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk trsebut antara

lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah


padat, menyingkirkan tempat perkembangbiakan nyamuk, dan perbaikan
desain rumah
2)

Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan

pemakan jentik (ikan cupang), tanaman pencegah nyamuk, dan bakteri


3)

Kimiawi

39

Pengendalian kimiawi antara lain dengan pengasapan/fogging


dengan menggunakan malathion dan fenthion, berguna untuk mengurangi
kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu. Dapat juga dilakukan
dengan memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat
penampungan air, seperti gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.
Bubuk abate 1% diberikan dengan dosis 1ppm (part per-million) yaitu 10
gram untuk 100 liter air diulangi dalam jangka waktu 2-3 bulan (Wijaya,
2007)

5.

Pemberantasan Sarang Nyamuk Aedes


Upaya

pemberantasan

sarang

nyamuk

(PSN)

adalah

upaya

untuk

memberantas nyamuk Aedes, dilakukan dengan cara:


a. Menguras dengan menggosok tempat-tempat penampungan air sekurangkurangnya seminggu sekali yang bertujuan untuk merusak telur nyamuk,
sehingga jentik-jentik tidak bisa menjadi nyamuk atau menutupnya rapatrapat agar nyamuk tidak bisa bertelur di tempat penampungan air tersebut.
b. Mengganti air vas bunga, perangkap semut, air tempat minum burung
seminggu sekali dengan tujuan untuk merusak telur maupun jentik
nyamuk.

40

c. Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas dan sampah-sampah


lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga tidak menjadi tempat
berkembang biaknya nyamuk.
d. Mencegah barang-barang/pakaian-pakaian yang bergelantungan di kamar
ruang yang remang-remang atau gelap yang berpotensi untuk menjadi
tempat hinggap nyamuk. (Depkes RI, 1996).
Gerakan PSN biasa disebut dengan 3M Plus, yaitu menguras, menutup, dan
menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus yang bertujuan untuk
mencegah gigitan nyamuk, seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur
larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kawat kasa pada
ventilasi, menyemprot insektisida, menggunakan lotion anti nyamuk, memasang
obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, tidak menggantung pakaian di ruang
gelap, menutup pintu dan jendela saat senja, dan lain-lain sesuai dengan kondisi
setempat (Wahono, 2004).
Dengan melakukan kegiatan PSN secara rutin dan dilakukan oleh semua
masyarakat, maka perkembangan penyakit akibat infeksi virus dengue di suatu
wilayah tertentu dapat dicegah dan dibatasi penyebarannya, sehingga dapat
menurunkan angka kejadian penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue.

6.

Perilaku
a. Pengertian Perilaku

41

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup)


yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis, semua
makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan
manusia memiliki perilaku karena mereka mempunyai aktifitas masingmasing.
Perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas manusia
yang mempunyai bentangan yang sangat luas, antara lain: berjalan, berbicara,
tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Maka, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku adalah semua kegiatan
atau aktifitas seseorang, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak
dapat diamati pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari
luar). Oleh karena perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap
organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon. Teori skiner disebut
teori S-O-R atau Stimulus-Organisme-Respon. Skiner membedakan adanya
dua respon, yaitu:
1)

Respondent response atau reflexsive response, yakni respon yang


ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu.
Stimulus semacam ini disebut electing stimulation karena
menimbulkan respon-respo yang relative tetap. Misalnya : makanan
yang lezat menimbul kankeinginan untuk makan, cahaya terang

42

menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent response


ini juga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita
musibah menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan
kegembiraannya dengan mengadakan pesta, dan sebagainya.
2)

Operant response atau instrumental response, yakni respon yang


timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau
perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation,
karena perangsangan tersebut bersifat memperkuat respon yang
telah dilakukan. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan
melaksanakan tugasnya dengan baik kemudian memperoleh
penghargaan dari atsannya, maka petugas kesehatan tersebut akan
lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya (Notoatmodjo, 2003).

b. Bentuk Perilaku
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1)

Perilaku tertutup. Merupakan respon seseorang terhadap stimulus


dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi
terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,
pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi belum bisa diamati
secara jelas oleh orang lain.

2)

Perilaku terbuka. Merupakan respon seseorang terhadap stimulus


dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap

43

terhadap stimulus tersebut sudah jelas dan dapat diamati dalam


bentuk tindakan ataupun praktek (Notoatmodjo, 2007a).
c. Determinan Perilaku
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, perilaku merupakan bentuk
respon dari stimulus (rangsangan dari luar). Akan tetapi, walaupun bentuk
stimulusnya sama, bentuk respon akan berbeda pada setiap setiap orang. Hal
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang membedakan
respon terhadap stimulus disebut determinan perilaku. Determinan perilaku
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1)

Faktor internal. Yaitu karakteristik seseorang yang bersangkutan


yang bersifat bawaan. Misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat
emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2)

Faktor eksternal. Yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, ekonomi,


sosial, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering
menjadi faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang
(Notoatmodjo, 2007a).

d. Proses Adopsi Perilaku


Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses yang
berurutan, yakni:

44

1)

Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam


arti mengetahui stimulus terlebih dahulu.

2)

Interest (tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut dan sikap


terhadap objek sudah mulai timbul.

3)

Evaluation (menilai) menimbang terhadap baik dan tidaknya


stimulus tersebut bagi dirinya, hal ini berarti sikap responden sudah
lebih baik lagi.

4)

Trial (Mencoba) subjek sudah mulai mencoba melakukan sesuatu


sesuai dengan apa yang dihendaki oleh stimulus.

5)

Adoption (menerima) dimana subjek telah berperilaku baru sesuai


dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Apabila adopsi perilaku terjadi melalui proses yang didasari oleh


pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan
bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya, apabila perilaku itu tidak
disadari oleh pengetahuan dan kesadaran, maka perilaku tersebut tidak akan
berlangsung lama (Notoatmodjo, 2007a).

7.

Hubungan Pendidikan Formal Kepala Keluarga dengan Perilaku


terhadap PSN Aedes

45

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara


tingkat pendidikan formal kepala keluarga dengan perilaku terhadap PSN Aedes.
Pendidikan mempunyai tujuan untuk mengubah dan membentuk sikap, watak
serta perilaku manusia ke arah yang lebih baik (Syah, 2011). Maka, diharapkan
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula pengetahuan
orang tersebut tentang suatu hal, sehingga diharapkan berperilaku dengan
mengambil tindakan yang baik, dalam hal ini termasuk juga pemberantasan sarang
nyamuk yang bertujuan untuk mencegah terjadinya wabah penyakit demam
berdarah.
Pendidikan yang relatif rendah melatarbelakangi sulitnya penduduk untuk
mengetahui konsep kejadian penyakit demam berdarah serta pencegahannya.
Pendidikan akan mempengaruhi pemahaman terhadap demam berdarah dengue
dan cara-cara penanggulangannya. Sedangkan kepala keluarga sendiri memiliki
peran yang penting dalam sebuah keluarga. Kepala keluarga berperan sebagai role
model dalam sebuah keluarga, apabila kepala keluarga berperilaku baik dan aktif
dalam melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk maka dapat juga memberikan
manfaat positif dan mencontohkan keluarganya untuk melakukan hal yang sama.
Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas
organisme yang bersangkutan. Jadi, perilaku manusia hakikatnya adalah suatu
aktivitas dari manusia itu sendiri (Notoatmodjo, 2007b).
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang terhadap
stimulus yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan,

46

makanan, serta lingkungan. Respons atau reaksi manusia, dapat bersifat pasif
(pengetahuan, persepsi, sikap) maupun tindakan nyata atau praktik. Sedangkan
stimulus di sini terdiri dari empat unsur pokok yanki sakit, penyakit, sistem
pelayanan kesehatan dan lingkungan. Para ahli pendidikan membagi perilaku ke
dalam tiga domain, ketiga domain dukur dalam:
a. Pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan
b. Sikap atau persepsi peserta didik terhadap materi pendidikan yang
diberikan
c. Praktik atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan
dengan materi pendidikan yang diberikan (Notoatmodjo, 2007b).
Perilaku kesehatan dapat diklassifikasikan menjadi 3:
a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance)
Perilaku atau usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan
agar tidak sakit dan usaha penyembuhan bilamana terjadi sakit
b. Perilaku pencarian dan penggunaan fasilitas kesehatan atau pencarian
pengobatan (health seeking behavioral)
Upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit. Tindakan
atau perilaku ini dimulai dari mengobati diri sendiri sampai mencari
pengobatan keluar negeri
c. Perilaku kesehatan lingkungan

47

Bagaimana seseorang maupun lingkungan, baik fisik maupun social


budaya sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi derajat
kesehatan individu, keluarga dan masyarakat (Machfoedz, 2003).
Dapat disimpulkan bahwa perilaku tentang kesehatan ditentukan oleh
pengetahuan, sikap, tradisi, kepercayaan dari orang atau masyarakat yang
bersangkutan. Disamping itu ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku petugas
yang akan mendukung terbentuknya perilaku. Tiga kategori yang memberi
kontribusi atas perilaku kesehatan merupakan hasil tahu, ini akan terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, terjadi melalui
panca indera manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, dan rasa,
paling besar dipengaruhi penglihatan dan pendengaran (Notoatmodjo, 2003).
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang di bidang
kesehatan, yaitu:

a. Latar belakang
Di sini dibedakan atas pendidikan, penghasilan, norma-norma yang
dimiliki, kebiasaan serta keadaan sosial budaya yang berlaku. Pendidikan
itu sendiri dapat diperoleh dari pendidikan formal, pendidikan informal,
maupun

pendidikan

nonformal.

Bila

faktor-faktor

ini

bersifat

menguntungkan terhadap kesehatan, maka akan timbul perilaku yang baik.

48

b. Kepercayaan dan kesiapan mental


Perilaku seseorang dalam bidang kesehatan juga dipengaruhi oleh
kepercayaan orang tersebut terhadap kesehatan serta kesiapan mental yang
dimilikinya, terutama tentang manfaat yang akan diperoleh, kerugian yang
akan didapatkan, kepercayaan bahwa dirinya dapat diserang penyakit, dan
lain-lain.
c. Sarana
Tersedia atau tidaknya sarana kesehatan yang dapat dimanfaatkan. Sebab
betapapun positifnya latar belakang serta sikap mental yang dimiliki tetapi
jika sarana kesehatan yang akan dimanfaatkan tidak tersedia, tentunya
orang tersebut tidak akan bisa berbuat banyak, sehingga perilaku
kesehatan tidak akan muncul.
d. Cetusan
Faktor pencetus seperti pengaruh media masa, tenaga kesehatan, dan lainlain, dalam bidang kesehatan mempunyai peran yang cukup besar yang
harus diperhatikan jika ingin memunculkan perilaku kesehatan yang
diinginkan (Liana, 1996).

B. Kerangka Pemikiran
C.

Tingkat pendidikan formal

Pengetahuan tentang
Perilakukesehatan
Pemberantasan
Perilaku kesehatan
Sarang Nyamuk Aedes

penyuluhan dari petugas


kesehatan, informasi
dari media massa
maupun elektronik,
lingkungan, sosial
budaya, kondisi
ekonomi, sarana dan
prasarana

49

Keterangan:
: Faktor yang diteliti
: Faktor yang tidak diteliti (Variabel luar)
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
D. Hipotesis
Ada hubungan antara tingkat pendidikan formal kepala keluarga
dengan perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Aedes.

Anda mungkin juga menyukai