RANCANGAN
TENTANG
INFORMASI GEOSPASIAL
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI---------------------------------------------------------------------------- i
1. BAB I PENDAHULUAN -------------------------------------------------------- 1
1.1 LATAR BELAKANG --------------------------------------------------------------------- 1
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH ------------------------------------------------------------- 3
1.2.1 Permasalahan Utama --------------------------------------------------------- 3
1.2.1.1 Informasi Geospasial ------------------------------------------------ 3
1.2.1.2 Kelembagaan ---------------------------------------------------------- 7
1.2.1.3 Profesi ------------------------------------------------------------------- 7
1.2.1.4 Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK) ------------------------------------------------------------------ 8
1.2.2 Problema Terkait Aplikasi Informasi Geospasial Di Indonesia ----- 9
1.2.2.1 Pengelolaan Sumber Daya Alam--------------------------------- 9
1.2.2.2 Penjagaan Keutuhan Wilayah NKRI -------------------------- 11
1.2.2.3 Jaminan Memperoleh Informasi Geospasial ---------------- 15
1.2.2.4 Pengembangan Iptek dan Sumber Daya Manusia -------- 18
1.2.2.5 Efisiensi --------------------------------------------------------------- 20
1.2.2.6 Pelayanan Publik --------------------------------------------------- 22
1.2.2.7 Penanggulangan Bencana --------------------------------------- 26
1.2.2.8 Penataan Ruang ---------------------------------------------------- 28
1.2.2.9 Mendorong Investasi Ekonomi ---------------------------------- 32
1.2.2.10 Perubahan Iklim Global (Global Climate Change) ------- 35
1.2.2.11 Sistem Informasi Pajak Bumi dan Bangunan ------------- 36
1.2.2.12 Kemiskinan dan Ketahanan Pangan ------------------------ 36
1.3 TUJUAN DAN KEGUNAAN ----------------------------------------------------------38
1.4 METODE PENELITIAN ---------------------------------------------------------------38
5. BAB V PENUTUP-------------------------------------------------------------136
5.1 RINGKASAN PERMASALAHAN DAN SOLUSI PENGATURAN ------ 136
5.2 KESIMPULAN ----------------------------------------------------------------------- 141
5.3 SARAN -------------------------------------------------------------------------------- 144
LAMPIRAN-------------------------------------------------------------------------145
1. BAB I
PENDAHULUAN
Peter Hagget, 1978, Geography: Modern Synthesis dan R. Bintarto dan Surastopo Hadisumarno,
1982, Metode Analisis Geografi, LP3ES.
penyelenggaraan
Informasi
Geospasial
memerlukan
Informasi
Geospasial
sangat
erat
kaitannya
dengan
mendapatkan
Informasi
Geospasial
yang
benar
dan
dapat
Kesepakatan
(TGHK)
skala
1:500.000,
akurasi
Informasi Geospasial,
dengan
memasukkan
Akibatnya
dapat
menimbulkan
ketidakpastian
investasi,
1.2.1.2 Kelembagaan
Aspek kelembagaan dalam penyelenggaraan Informasi Geospasial sangat
penting dan menentukan keberhasilan pembangunan secara utuh pada setiap
tingkat pemerintahan. Sebenarnya kewenangan setiap lembaga sudah diatur,
namun demikian dalam implementasinya diperlukan penggunaan kewenangan
yang lebih detil dan konsisten.
Konsistensi dalam penggunaan kewenangan dapat dilakukan apabila ada
penegasan tentang jenis informasi dan institusi mana yang menjadi wali datanya
(Custodianship). Tanpa kejelasan institusi yang bertanggung jawab dan memiliki
kewenangan dalam penyelenggaraan Informasi Geospasial, potensi terjadinya
inefisiensi anggaran dalam pembuatannya akan menjadi besar. Hal ini sering
terjadi karena adanya duplikasi pembuatan Informasi Geospasial Tematik tertentu.
Tidak
jarang
ketidakjelasan
instansi
yang
bertugas
membuat
informasi,
record).
Akibatnya,
siapapun
dapat
mendirikan
perusahaan
jasa
yang
baru
memerlukan
kajian
kelayakan,
penerapan
dan
http://www.kapanlagi.com/h/0000067083.html
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0412/15/bahari/1440103.htm
4
http://id.wikipedia.org/wiki/Terumbu_karang
3
dan
838.297
Ha
(Badan
Planologi
Kehutanan
Kementerian
atau
hutan
untuk
pemukiman
juga
terjadi
sejalan
dengan
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0407/06/nas06.html
http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI_&_LINGKUNGAN_KEHUTANAN/INFO
_VI02/VII_VI02.htm
7
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.09.01170223
8
http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/19/12373539/jumlah.pulau.berkurang
9
http://groups.yahoo.com/group/berita-lingkungan/message/4627
10
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0407/06/nas06.html
11
http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI_&_LINGKUNGAN_KEHUTANAN/INFO
_VI02/VII_VI02.htm
6
10
11
Mengingat sisi terluar dari wilayah negara atau yang dikenal dengan
Kawasan Perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga integritas
Wilayah Negara, maka diperlukan juga pengaturan secara khusus. Pengaturan
batas-batas Wilayah Negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum
mengenai ruang lingkup wilayah negara, kewenangan pengelolaan Wilayah
Negara, dan hakhak berdaulat.
Pendekatan kesejahteraan dalam arti upaya-upaya pengelolaan Wilayah
Negara hendaknya memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan
kesejahteraaan masyarakat yang tinggal di Kawasan Perbatasan. Pendekatan
keamanan dalam arti pengelolaan Wilayah Negara untuk menjamin keutuhan
wilayah dan kedaulatan negara serta perlindungan segenap bangsa. Pendekatan
kelestarian
lingkungan
dalam
arti
pembangunan
Kawasan
Perbatasan
12
12
13
http://www.indomedia.com/ poskup/2008/04/17/edisi17/tirosa.htm
13
tersebut.
Pembangunan
kawasan
terdepan
juga
penting
untuk
Pada level daerah, data perbatasan yang tidak akurat dapat menyebabkan
angka luas daerah yang berbeda, yang berakibat pada perhitungan Dana Alokasi
Umum (DAU) daerah tersebut yang berbeda. Contoh SK Mendagri no 5/2002
tentang luas daerah dan SK sejenis dari tahun 2001 yang digunakan untuk
menghitung DAU 2002 oleh Kementerian Keuangan.
Permasalahan-permasalahan di atas memerlukan beberapa solusi sebagai
berikut.
1. Informasi atas wilayah perbatasan harus bersifat terbuka bagi publik, sehingga
tidak ada warga negara yang melanggar perbatasan dan bahkan mereka ikut
18
http://www.pajak.go.id/index.php?
view=article&catid=87%3Aartikel&id=96%3Aap1&tmpl=component&print=1&page=&option=com_content&Itemid=12
5
14
mengawasi agar tidak terjadi pelanggaran atas perbatasan tersebut. Dalam hal
ini, yang informasi yang ditutup bagi publik hanya informasi yang diadakan
khusus
untuk
menjalankan
fungsi
negara
(termasuk
hankam),
dan
15
19
16
860.000 orang pada 3.441 lembaga pendidikan tinggi 22, dan diasumsikan 50%
dari mereka akan tinggal di tempat yang baru, berarti sekitar 430 ribu mahasiswa
baru memerlukan adaptasi baru, yang dengan adanya peta yang praktis mereka
akan amat terbantu.
Warga negara yang ingin mencari tempat bekerja atau tempat tinggal juga
sering memerlukan informasi yang memadai atas lokasi lingkungan tempat yang
diinginkannya. Misalnya, sebelum memutuskan tinggal di suatu tempat, dia perlu
memikirkan kondisi air tanah, sanitasi, kerentanan terhadap bencana, risiko polusi,
akses transportasi publik, lokasi sekolah, dokter, tempat ibadah, pasar, kantor
polisi dan sebagainya.
Masyarakat ingin ikut memonitor pembangunan di daerahnya, yang di antara
sarana monitor itu adalah Informasi Geospasial. Diantara yang ingin diketahui
warga suatu daerah dalam suatu pilihan kepala daerah, ketika ada calon
incumbent adalah, prestasinya dalam membangun wilayah itu, dan itu sedikit
banyak bisa tergambar dari peta sebelum dan setelah menjabat lima tahun.
22
17
teknologi
Informasi
Geospasial
demi
kemajuan
peradaban
serta
18
Indonesia
pendidikan
jurusan
teknik
geodesi/geomatika
hanya
19
23
24
http://www.bls.gov/oco/pdf/ocos040.pdf
http://evaluasi.or.id/
20
instansi
pemerintah
terkait
dengan
sistem
penyelenggaraan
pengelolaan data spasial. Hal ini memerlukan payung hukum yang lebih kuat yang
juga mengatur kewenangan pembuatan Informasi Geospasial oleh pihak-pihak di
luar pemerintah.
UUD Tahun 1945:
Pasal 23
(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 23C
Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.
Geospasial
mencakup
berbagai
tahapan
yaitu:
pengumpulan,
21
pengambilan yang sama. Padahal apabila dua kegiatan itu disinkronkan, maka
pembelian citra dapat cukup dilakukan satu kali untuk dua kepentingan itu.
Seyogyanya
Informasi Geospasial
22
25
Harian Umum KOMPAS, 29 Agustus 2006, http://www2.kompas.com/kompascetak/0608/29/humaniora/2909590.htm diakses tanggal 16 Juni 2008.
23
26
24
Kabupaten Bogor di tahun 2004. Dalam kerusuhan ini, tujuh orang tewas dan
Pengelola TPST Bojong, PT. Wira Guna Sejahtera, memperkirakan mengalami
kerugian materi sekitar Rp. 30 miliar. DPRD Kabupaten Bogor, yang sebelumnya
memberi
peluang
beroperasinya
TPST,
kemudian
meminta
Pemerintah
29
25
(Alinea ke 4)
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawatan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
31
26
bisa
dikurangi
apabila
masyarakat
mengenali
kondisi
alam
disekitarnya dengan adanya peta resiko bencana. Selain itu, peta jalur evakuasi
seharusnya juga sudah tersosialisasikan kepada masyarakat sehingga mereka
dapat mengambil keputusan yang cepat dalam menyelematkan diri dan keluarga
mereka.
32
[http://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_Samudra_Hindia_2004]
http://www.indonesia.go.id/en/index.php/index.php?option=
com_content&task=view&id=6328&Itemid=821 dari Tempo Interaktif
34
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/02/12/brk,20070212-93047,id.html
35
http://www.fwi.or.id/indexasli.php?link=news&id=1288
36
http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=53123
33
27
5. Bencana tanah longsor yang terjadi di Balikpapan pada bulan Agustus 2007
sebesar Rp 59,2 miliar37.
Bencana lain adalah kebakaran hutan. Kerugian yang diakibatkan oleh
kebakaran hutan dapat mencapai total Rp. 91,38 milyar atau Rp. 7 juta per hektar
pada tahun 2003. Kerugian akibat asap kebakaran hutan adalah Rp 22.683 per
orang, penduduk tidak kerja Rp 27.082 per orang, gangguan transportasi Rp 1,32
juta per unit, hotel dan penginapan Rp 136.200 per unit serta menurunnya
produktivitas tanaman pangan Rp 73.528 hektar38. Informasi Geospasial yang
menyangkut suhu permukaan, arah angin, tekanan udara dan sebaran hotspot
seharusnya diintegrasi dalam suatu sistem informasi kerawanan bencana
kebakaran. Hal ini untuk mengantisipasi secara dini sebelum kebakaran terjadi.
Berdasarkan data dan fakta di atas maka mengenai kebencanaan
sehubungan dengan Informasi Geospasial bahwa:
1. ketika terjadi, jika mengikuti terminologi Undang-Undang tentang Keterbukaan
kebencanaan;
3. Informasi
pemerintah pusat dan/atau daerah yang diberi tugas dalam masalah ini.
1.2.2.8 Penataan Ruang
Untuk melakukan penataan ruang yang terpadu, terukur dan berkelanjutan
diperlukan peta dan Informasi Geospasial yang berkualitas. Pengaturan umum
telah dituangkan pada Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang.
1.2.2.8.1 Penataan ruang yang berkekuatan hukum
Penataan ruang adalah salah satu contoh aplikasi Informasi Geospasial yang
nyata dalam pembangunan nasional maupun daerah. Penyelenggaraan penataan
37
38
http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=44931
http://www2.kompas.com/utama/news/0509/07/040200.htm
28
Penyusunan
suatu
rencana
tata
ruang
yang
baik
memerlukan
data/informasi yang akurat baik itu yang bersifat spasial maupun non spasial,
demikian juga dalam implementasi dan pengendaliannya. Terlebih lagi masalah
perijinan dalam penggunaan ruang berdasarkan Undang-undang yang berlaku
mempunyai kekuatan hukum dan bila seseorang melanggar perijinan atau pejabat
menyalahi peraturan dalam pemberian ijin mereka dapat diberikan sanksi pidana,
administrative dan/atau denda. Berdasarkan hal tersebut Informasi Geospasial
menjadi sangat penting dan mempunyai kekuatan hukum. Di tingkat ini Informasi
Geospasial yang sangat akurat diperlukan. Belum lagi kalau dampak-dampak
akibat penataan ruang yang tidak baik, penyalahgunaan ijin maupun pemberian
ijin diperhitungkan, betapa banyaknya kerugian yang diakibatkan.
Rencana Tata Ruang merupakan bentuk intervensi dalam mewujudkan
alokasi ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keseimbangan antar wilayah.
Proses perencanaan tata ruang merupakan suatu system yang melibatkan
input, process dan output. Input yang digunakan adalah keadaan fisik seperti
kondisi alam dan geografis, sosial budaya seperti demografi sebaran
penduduk, ekonomi seperti lokasi pusat kegiatan perdagangan yang ada
maupun yang potensial dan aspek strategis nasional lainnya. Keseluruhan
input ini diproses dengan menganalisis input tersebut secara integral baik
kondisi saat ini maupun kedepan untuk masing-masing hirarki tata ruang
Nasional, Propinsi maupun Kabupaten/Kota sehingga menghasilkan output
berupa Rencana Tata Ruang yang menyeluruh.39
kabupaten/kota
yang
bertetangga.
Konsep
keterpaduan
dalam
39
Pembangunan infrastruktur secara terpadu dan berkelanjutan berbasis penataan ruang oleh: Dr. Ir. a. hermanto
dardak, MSc. Direktur Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum
http://www.penataanruang.net/taru/Makalah/060227-itb.pdf.
29
penyelenggaraan penataan ruang ini akan menjadi lebih mudah apabila Informasi
Geospasial yang mempunyai referensi sama digunakan oleh dua atau lebih
daerah yang bertetanggaan. Sehingga pembangunan di daerah pun akan menjadi
selaras dengan kebijakan di tingkat nasional. Kualitas peta dan Informasi
Geospasial dalam hal ini sangat penting, baik itu secara geometris maupun
substansi. Sehingga keterpaduan dalam penyelenggaraan penataan ruang dapat
dipantau.
1.2.2.8.3 Masalah dalam penataan ruang
Konsistensi
penataan
ruang
terhadap
tata
ruang
di
atasnya
sering
40
Dinas Bina Marga Prov Jawa Tengah http://www.binamargajateng.go.id/berita/2006/februari/260206-01.htm, kutipan Suara Merdeka 26/2/2006.
41
Harian WASPADA, kolom OPINI halaman 4, Sabtu 13 November 2004
dan di Harian ANALISA, kolom OPINI halaman 18, Jumat 19 November 2004)
Oleh:Dr. Ir. Richard Napitupulu, MT. Ir. Filiyanti T.A. Bangun, Grad. Dipl. P.M., M.Eng.
42
30
RTRWN
RTRWP
43
b. Lahan pertanian di Jabar mencapai 900 ribu hektar. Setiap tahun, tidak
kurang dari 2.500 hektar lahan pertanian tersebut terkikis oleh
pembangunan fisik. Untuk lahan hutan di Jabar, mencapai 861 ribu
hektare. Tidak kurang dari 500 ribu hektar lahan hutan itu dalam kondisi
kritis. Kerusakan lahan pertanian dan hutan tersebut terjadi karena
penyalahgunaan infrastruktur di Jabar. Sehingga program Gerakan
Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) yang memakai dana tidak kurang dari
Rp 25 miliar dana dari APBD Jabar disalurkan44.
c. Kerugian akibat kemacetan di Indonesia mencapai Rp 70-80 triliun per
tahun. Angka itu diperoleh dari 60 kota/kabupaten besar yang ada di
Indonesia (Republika on Line, 20 Juni 2007).
d. Gali lubang tutup lubang (listrik, gas, telepon, airminum, kabel fiberoptik, saluran pembuangan) merupakan contoh ketidakterpaduan dalam
penataan ruang45.
Mengingat data dan fakta yang telah disampaikan di atas, maka:
114616,id.html
43
44
http://rencanatataruangriau.blogspot.com/2007/09/konsistensi-penataan-ruang-dan.html
31
dan spesifikasinya.
Dalam pengendalian kemacetan lalu lintas dan hal lain yang tidak sesuai
dengan Informasi Geospasial dalam penataan ruang maka peran serta
masyarakat diperlukan.
Gambar Ilustrasi gali lobang tutup lobang yang seringkali menunjukkan tidak berjalannya koordinasi kerja
antar instansi.
46
32
investasi listrik untuk seluruh wilayah Indonesia yang diakui oleh PLN belum ada.
Informasi spasial ini diperlukan untuk mengetahui daerah-daerah yang mengalami
krisis listrik di Indonesia, dan bila PLN ternyata tidak mampu untuk membangun
pembangkit di daerah tersebut maka akan ditawarkan kepada investor 47. Untuk
calon investor yang berminat, informasi ini tentu memberikan kepastian akan
calon lokasi investasi mereka.
Indonesia sebagai negara pertambangan, Indonesia merupakan negara yang
tentu menarik para investor di bidang pertambangan. Indonesia memiliki produksi
timah terbesar ke dua di dunia, tembaga terbesar ke empat, nikel terbesar ke lima,
emas terbesar ke tujuh dan produksi batu bara terbesar ke delapan di dunia.
Menurut survei tahunan dari Price Waterhouse Coopers (PWC), ekspor produk
pertambangan menyumbangkan 11 persen nilai ekspor di tahun 2002, sementara
sektor ini juga menyumbangkan 2,7% dari produk domestik bruto (PDB) dan US$
920 juta dalam bentuk pajak dan pungutan bukan pajak bagi berbagai tingkat
pemerintahan. Tetapi masih menurut estimasi dari PWC, eksplorasi di Indonesia
telah mengalami penurunan dari US$ 160 juta di tahun 1996 menjadi hanya
US$18,9 juta di tahun 2002. Sementara itu, jumlah investasi keseluruhan dalam
sektor pertambangan turun dari sekitar US$ 2 billion di tahun 1997 menjadi di
bawah US$ 500 juta pada tahun 2001 dan 200248.
Untuk menarik lagi minat investor, diperlukan peta potensi sumber daya kita
yang menunjukkan dengan persis lokasi-lokasinya. Dalam hal ini menurut Ketua
Umum Asosiasi Pertambangan Indonesia, Indonesia hingga kini masih relatif
sama dengan Argentina, Peru, Mexico dan Chile; negara-negara yang relatif
belum mempunyai peta sumber daya geologi yang jelas baik di atas maupun di
bawah permukaan bumi49.
Informasi Geospasial juga akan membantu investasi dalam bidang
telekomunikasi. Misalnya untuk membantu mencari lokasi yang optimal untuk
pembangunan BTS (Base Tranceiver Stasiun). Investasi biaya pembangunan 1
47
48
33
BTS adalah sekitar Rp 700 juta sampai Rp 1 milyar50,51. Bahkan untuk lokasilokasi yang sulit aksesnya seperti di Sulawesi, Maluku dan Papua, biaya
pembangunan 1 BTS dapat mencapai Rp 5 milyar52. Investasi sebesar ini tentu
memerlukan informasi yang meyakinkan bahwa lokasi yang dipilih adalah betulbetul lokasi yang tepat.
Di samping sebagai bahan masukan untuk sebuah keputusan dan investasi,
informasi spasial juga diyakini akan membantu menaikkan revenue perusahaan di
berbagai bidang. Karena itu, investasi di bidang Informasi Geospasial misalnya
untuk pengadaan dan pengolahan data geospasial sudah mulai dilakukan oleh
berbagai perusahaan swasta.
Di bidang perkebunan, beberapa perusahaan perkebunan nasional sudah
berani mengeluarkan investasi untuk pengadaan dan pengelolaan Informasi
Geospasial untuk menunjang operasional perusahaannya. Grup Sinar Mas
misalnya, melakukan kontrak dengan Intermap (perusahaan Canada) sebesar 2.6
juta US $ untuk memetakan areal perkebunannya di tahun 2006 dengan
menggunakan teknologi pemetaan radar53.
Perusahaan perkebunan di bawah Grup Rajawali, juga melakukan investasi
senilai kurang lebih Rp 1 milyar untuk mengadakan data dan membangun sebuah
sistem Informasi Geospasial untuk menunjang aktifitasnya54. Perusahaan Coca
Cola juga melakukan investasi dalam bidang Informasi Geospasial untuk
mengoptimasi aktivitas distribusi ke berbagai agen. Coca Cola menginvestasikan
sekitar Rp 5 miliar dalam waktu dua sampai tiga tahun dengan biaya terbesar
untuk pembelian software berlisensi. Tetapi perusahaan tersebut kemudian
mampu melakukan penghematan ongkos distribusi antara Rp 3-4 miliar setiap
tahunnya55.
Bahkan dalam pengembangan bisnis retail, penentuan lokasi diyakini
merupakan kunci kesuksesan. Dauglas J. Tigert & Lawarnce J. Ring dalam
50
51
34
dengan
berbagai
atribut
informasi
pendukung
seperti
data
kependudukan, daya beli, tingkat persaingan dan lain sebagainya. Misalnya, atas
permintaan Bank Niaga tahun 2003 Surindo telah melakukan riset seperti ini57.
Potensi pasar di bidang geospasial di Indonesia memang belum dapat
dihitung dengan pasti. Tetapi dari hal yang disampaikan di atas, terlihat potensi
investasi yang mulai berkembang yang pada akhirnya akan berkontribusi positif
pada perekonomian nasional.
1.2.2.10 Perubahan Iklim Global (Global Climate Change)
Para pakar ilmu lingkungan menyampaikan pendapatnya bahwa penyiapan
informasi sumber daya alam menjadi program prioritas utama di setiap negara,
setelah diadakan konferensi lingkungan hidup sedunia di Rio de Janeiro.
Pendapat ini didasarkan pada kenyataan semakin bertambah rusak serta
berkurang sebaran daerah agihan dari sumber daya alam dari waktu ke waktu,
sehingga terjadi pemanasan global. Pendataan dan penyusunan informasi sumber
daya alam dimaksudkan agar pemanfaatan sumber daya alam yang ada di suatu
negara tidak mengalami percepatan kerusakan (degradasi) karena tidak
direncanakan secara cermat dalam pengelolaannya58. Khusus untuk negaranegara yang perekonomian nasionalnya bertumpu dari sektor sumber daya alam
seperti minyak bumi, batubara serta hasil-hasil tambang lainnya seperti Indonesia,
56
Dauglas J. Tigert & Lawarnce J. Ring dalam bukunya Strategic Planing & Management in
Retailing (1994)
57
35
59
Dury G.H., 1981. An Introduction to Environmental Systems. Heinemann Educational bookLtd, London.
60
Agus Muliantara, Program Studi Teknik Informatika, Jurusan Ilmu Komputer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Udayana
36
61
http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/09/tantangan-menuju-ketahanan-pangan/
37
Negara
1. Bangladesh
2. China
3. India
4. Indonesia
5. Jepang
6. Korea Selatan
7. Malaysia
8. Pakistan
9. Filipina
10. Sri Lanka
11. Thailand
12. Vietnam
38
40
2. BAB II
ASAS-ASAS
peraturan
perundang-undangan
yang
menjamin
hak-hak
para
Geospasial
secara
lengkap
dalam
mendukung
pembangunan
41
diatur.
Undang-undang
ini
juga
harus
menjamin
asas
effisiensi
Untuk itu Undang-Undang ini harus mengatur dengan jelas sifat terbuka
pada Informasi Geospasial yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah dan
pemerintah daerah. Aturan tentang penyebarluasan informasi gespasial harus
diakomodasi berdasarkan asas ini. Berbagai usaha pemerintah untuk mendorong
penyebarluasan Informasi Geospasial mesti diatur dengan sungguh-sungguh.
Diantara kegiatan penting dalam kaitan ini adalah pembangunan infrastruktur
Informasi Geospasial yang cakupannya nasional dan dibangun pada tingkat pusat
dan tingkat daerah.
Informasi
43
3. BAB III
MATERI MUATAN
3.1 PENDAHULUAN
Rancangan Undang-Undang tentang Informasi Geospasial harus dapat
mengakomodasi pengaturan survei dan pemetaan, Informasi Geospasial dan
pengelolaan informasi tersebut dalam suatu sistem informasi spasial yang telah
berkembang. Pembinaan yang telah berjalan harus lebih terkoordinasi dan
terpadu untuk menentukan sasaran, optimasi kemampuan, ketepatan dan
kecepatan administrasi kegiatan pengelolaan Informasi Geospasial. Dengan
demikian produk Informasi Geospasial atau produk survei dan pemetaan yang
dihasilkan dapat lebih didayagunakan untuk mendukung pelaksanaan sistem
informasi spasial dalam mendukung kelancaran pembangunan nasional di segala
bidang guna meningkatkan kesejahteraan bangsa dan dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Pengaturan
penyelenggaraan
Undang-Undang
Informasi
ini
Geospasial,
mengikuti
yaitu
keseluruhan
pengumpulan,
proses
pengolahan,
Undang-Undang
ini
harus
dapat
menjawab
empat
44
aset nasional yang penting, karena informasi ini menjadi bagian penting dari
sistem informasi nasional, yang akan menjadi pemerintahan berlangsung berbasis
informasi dan pengetahuan yang handal (knowlegde based or smart governance).
Penyelenggaraan Informasi Geospasial akan mendukung penataan ruang, proses
inventarisasi dan pemanfaatan kekayaan alam, dan juga mengurangi resiko
bencana alam bagi masyarakat. Penyelenggaraan ini juga membantu proses
pelayanan publik yang baik dan mendorong kemajuan perekonomian. Tujuan
akhir dari penyelenggaraan Informasi Geospasial ini adalah menegakkan keadilan
dan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Geospasial
Dasar
merupakan
Informasi
Geospasial
yang
45
pemerintah,
badan
usaha
maupun
perorangan,
yang
memiliki
ciri-ciri
pemanfaatannya relatif untuk jangka waktu yang panjang dan memiliki informasi
posisi atau lokasi suatu obyek yang dapat dilihat langsung atau diukur, dicatat
dan/atau dicitra dari kenampakan fisik di muka bumi.
Informasi Geospasial Dasar memiliki kriteria unik atau tunggal, terbuka,
diselenggarakan oleh negara melalui otoritas tertentu, dan menjadi dasar atau
referensi bagi pembuatan Informasi Geospasial Tematik. Informasi Geospasial
Dasar berbentuk titik, garis dan poligon dan nama-nama rupabumi (toponim).
Adapun asal usul Informasi Geospasial Dasar berupa unsur alam (garis pantai,
kontur, hipsografi), buatan manusia (bangunan fasilitas umum) dan tak berujud
(batas wilayah administrasi, nama-nama rupabumi).
Informasi Geospasial Dasar juga meliputi informasi yang menjadi kerangka
pembuatan Informasi Geospasial Dasar yaitu kerangka jaring titik kontrol yang
koordinatnya di atas permukaan bumi diketahui dengan ketelitian tertentu.
3.2.1.1 Kandungan Informasi Geospasial Dasar
Informasi Geospasial Dasar meliputi:
A. Jaring kontrol geodesi
1) Jaring kontrol geodesi horizontal
Jaring kontrol geodesi horizontal merupakan Jaring Kontrol Horizontal
Nasional yang digunakan sebagai kerangka acuan posisi horizontal dua dimensi
bagi Informasi Geospasial. Titik-titik kontrol geodesi horizontal diwujudkan di atas
permukaan bumi dalam bentuk tanda fisik. Posisi titik kontrol tersebut mengacu
pada satu sistem referensi yang berlaku secara nasional.
2) Jaring kontrol geodesi vertikal
Jaring kontrol geodesi vertikal merupakan Jaring Kontrol Vertikal Nasional
yang digunakan sebagai kerangka acuan posisi vertikal bagi Informasi
Geospasial. Jaring Kontrol Vertikal Nasional berupa titik-titik kontrol geodesi
vertikal yang mengacu pada satu sistem referensi tinggi yang berlaku secara
nasional.
3) Jaring kontrol gaya berat dan pasang surut laut
46
Jaring kontrol gaya berat merupakan jaring kontrol gaya berat nasional yang
digunakan sebagai acuan dalam penentuan posisi vertikal dan sistem referensi
tinggi. Nilai gaya berat di setiap titik pada jaring tersebut mengacu pada satu
sistem referensi gaya berat yang berlaku secara nasional.
Data pasang surut laut yang diperoleh dari pengamatan naik turunnya muka
laut di stasiun-stasiun pasang surut diperlukan pada penentuan bidang referensi
vertical. Lokasi stasiun-stasiun pasang surut laut tersebut tersebar di seluruh
wilayah Indonesia dengan kerapatan tertentu.
B. Peta Induk
Peta induk adalah peta yang digunakan sebagai dasar geometris untuk
pembuatan peta tematik, yang meliputi:
1) Peta Rupabumi Indonesia (RBI)
Peta rupabumi merupakan peta garis yang meliputi unsur garis pantai, garis
kontur, perairan, nama rupabumi, batas administratif, perhubungan, bangunan
fasilitas umum, dan/atau penutup lahan.
Penjelasan dari setiap unsur peta rupabumi tersebut adalah sebagai-berikut:
47
disertai
catatan
mengenai
status
batas.
Batas
wilayah
48
pada
koordinat
tanda
fisik
yang
ditentukan
dengan
49
51
52
bersifat terbuka dan dibuat oleh Instansi Pemerintah yang mempunyai otoritas
pada tema tersebut.
Contoh:
Peta Lereng, Peta Geologi, Peta Hidrologi, Peta Penutup Lahan, Peta Tanah,
Peta Hutan, Peta Jalan, Peta Utilitas Perkotaan dan Peta Penduduk.
2. Peta Tematik Analisis adalah peta yang berisi suatu tema tertentu hasil dari
proses analisis dan transformasi dari suatu peta tematik dasar.
Contoh:
Peta Sistem Lahan, Peta Bentuk Lahan, Peta Neraca Sumber daya Alam, Peta
Daerah Aliran Sungai (DAS) Peta Curah Hujan, Peta Temperatur dan Peta
Perolehan Suara Pemilu.
3. Peta Tematik Sintesis adalah peta yang berisi suatu tema tertentu hasil
proses sintesis (penggabungan) dari peta tematik dasar, dan atau peta tematik
analisis. Satuan pemetaan baru pada peta tematik sintesis
diperoleh dari
digambarkan di atas peta rupabumi. Unsur peta rupabumi yang diambil untuk
penggambaran Informasi Geospasial Tematik ini disesuaikan dengan tema yang
ditampilkan dalam Informasi Geospasial Tematik tersebut.
53
Informasi
tugas
dan
Geospasial
fungsi
Tematik
kementerian,
dibuat
lembaga
sesuai
kebutuhan
pemerintah
non
54
55
umum,
ketatausahaan,
organisasi
dan
tatalaksana,
57
Geospasial
Tematik
yang
memang
sesuai
dengan
tugas,
fungsi
dan
Kementerian Dalam
Negeri
Kementerian
Perhubungan
Kementerian
Komunikasi dan
Informasi
Kementerian Pekerjaan jaringan jalan, tubuh air/hidrologi lingkungan
Umum
bangunan, jaringan air bersih, instalasi pengolahan
limbah, dan rencana tata ruang, serta Data Spasial
lain untuk bidang pekerjaan umum
Kementerian
lingkungan budaya dan Data Spasial lain untuk
Kebudayaan dan
bidang kebudayaan dan kepariwisataan
Pariwisata
Badan Pusat Statistik
wilayah pengumpulan data statistik, dan hasil
kegiatan statistik, serta Data Spasial lain untuk
bidang statistik
Kementerian ESDM
kuasa pertambangan, geologi, sumber daya
mineral, seismik eksplorasi, gayaberat, geomagnet,
logging sumur pemboran dan hidrogeologi, serta
Data Spasial lain untuk bidang energi dan sumber
daya mineral
Kementerian Kehutanan kawasan hutan dan keanekaragaman hayati, serta
Data Spasial lain untuk bidang kehutanan
Kementerian Pertanian klasifikasi tanah, serta Data Spasial lain untuk
bidang pertanian
Kementerian Kelautan oseanografi dan Data Spasial lain untuk bidang
dan Perikanan
kelautan dan perikanan
BMKG
iklim dan geofisika dan Data Spasial lain untuk
9
10
11
12
58
No.
Instansi
13
LAPAN
14
Pemerintah Daerah
59
Informasi
Geospasial
Tematik
lainnya
yang
dibutuhkan
guna
60
kemampuannya
untuk
diolah
kembali,
terkini,
relevansi,
61
data
beserta
pengertian,
kriteria,
dan
format
standar.
Dalam
Karena
itulah
maka
pihak pengumpul
data
geospasial
harus
63
Apabila perangkat lunak bebas dan terbuka tidak tersedia, maka wajib
menggunakan perangkat lunak berlisensi. Kebanyakan perangkat lunak di
pasaran berhubungan dengan lisensi, yaitu kondisi dan syarat yang disetujui oleh
pengguna selama dalam proses instalasi. Dalam pemasaran program-program
terdahulu, persetujuan lisensi standar dimaksudkan bahwa perangkat lunak
diberikan
lisensi
untuk
mesin
atau
perangkat
keras
tertentu.
Dalam
produk-produkbebas
dan
terbuka
untuk
digunakan.
insentif
bagi
penyelenggara
yang
mengembangkan
sendiri
64
Setelah pengolahan selesai dilakukan, pihak luar negeri yang mendapat tugas
untuk mengolah data wajib mengembalikan semua data/Informasi Geospasial
yang diolah kepada pihak di dalam negeri terkecuali kalau ada perjanjian khusus
mengenai hal tersebut yang bersifat mengikat dan mempunyai kekuatan hukum
secara internasional.
3.4.2.3 Tahapan Pengolahan
Pengolahan data dan informasi Geospasial meliputi:
a
65
66
penyimpanan,
pengamanan
terhadap
keberadaan
Informasi
Geospasial ini juga sangat penting terlebih pengamanan terhadap data atau
Informasi Geospasial yang bersifat rahasia. Pengamanan Informasi Geospasial ini
mencakup pengamanan pada seluruh bentuk penyajiannya dan juga infrastruktur
fisik yang terkait Informasi Geospasial yang ada di lapangan.
Informasi Geospasial yang dikategorikan sebagai informasi khusus dan
bersifat rahasia dapat disandikan dengan suatu metode enkripsi. Dan data atau
Informasi Geospasial yang dienkripsi ini diserahkan kepada lembaga negara yang
ditugasi pemerintah untuk itu beserta kode dekripsi.
3.4.4 Penyebarluasan Informasi Geospasial
Saat ini kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan
pengumuman, pengedaran dan penyebaran Informasi Geospasial melalui internet
dalam penyajian multimedia. Para penyelenggara Informasi Geospasial mesti
memanfaatkan sarana ini untuk semakin mendekatkan masyakarat luas dengan
informasi yang mereka produksi.
3.4.4.1 Keterbukaan Informasi Geospasial
Penyebarluasan Informasi Geospasial ini terkait erat dengan sifat dari
informasi yang secara umum terbuka. Informasi Geospasial dasar mesti bersifat
terbuka. Informasi ini memiliki fungsi penting sebagai kerangka acuan posisi bagi
Informasi Geospasial Tematik. Dengan kesamaan kerangka posisi ini, berbagai
Informasi Geospasial Tematik dapat dikomunikasikan satu sama lain. Hal ini
menjadi salah satu tujuan penting pembuatan RUU tentang IG ini, yaitu untuk
mewujudkan kedayagunaan dan keberhasilgunaan Informasi Geospasial dalam
penyelenggaraan pemerintah dan berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Sifat terbuka juga mesti diberlakukan pada Informasi Geospasial Tematik
yang diproduksi instansi pemerintah dan pemerintah daerah, karena informasi ini
menjadi acuan pada proses perencanaan dan eksekusi pembangunan. Informasi
67
dan
Informasi
Geospasial
menyebarluaskan
yang
dalam
bersifat
terbuka
pengertian
mesti
membacakan,
68
penyebarluasan
Untuk memudahkan akses, proses pertukaran dan penyebarluasan data dan
Informasi Geospasial mesti digunakan teknologi mutakhir di bidang informasi dan
komunikasi, melalui suatu jaringan Informasi Geospasial yaitu suatu sistem
penyelenggaraan pengelolaan Informasi Geospasial secara bersama, tertib,
terukur, terintegrasi dan berkesinambungan serta berdayaguna. Jaringan ini
dibangun diantara instansi pemerintah pusat, diantara instansi pemerintah daerah
dan juga menghubungkan pusat dan daerah. Karena pekerjaan ini memerlukan
proses koordinasi yang intensif, maka mesti ada instansi pemerintah yang
memegang peran kunci (leading institution).
Pentingnya pembangunan jaringan Informasi Geospasial disadari oleh
negara-negara maju. Salah satu rujukan adalah kebijakan yang ditempuh
Pemerintah Amerika Serikat melalui Executive Order tentang infrastruktur data
spasial nasional.
Di Indonesia telah terbit Peraturan Presiden nomor 85/2007 tentang Jaringan
Data Spasial Nasional. Perpres ini mesti terus dilaksanakan secara konsisten.
3.4.4.4 Pengesahan Informasi Geospasial berkekuatan hukum sebelum
disebarluaskan
Catatan penting mengenani penyebarluasan Informasi Geospasial adalah
bahwa beberapa Informasi Geospasial seperti batas administrasi pemerintahan,
batas kawasan pengelolaan hutan, pertambangan dan lain-lain memiliki kekuatan
hukum. Untuk itu sebelum diumumkan dan disebarluaskan informasi yang
memiliki kekuatan hukum ini harus disahkan oleh pejabat yang berwenang.
3.4.5 Penggunaan Informasi Geospasial
Penggunaan Informasi Geospasial adalah kegiatan dimana pengguna
memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung dari Informasi Geospasial
tersebut. Pemanfaatan ini antara lain dengan mendapatkan salinan peta dalam
bentuk cetak maupun elektronik, mengakses peta melalui web, mendapatkan
informasi posisi layanan jasa terdekat, dan mendapatkan informasi kerawanan
bencana dari suatu tempat.
69
Masalah
kualitas
Informasi
informasi
Geospasial
ini
untuk
merupakan
kewajiban
memberitahukannya.
bagi
Dengan
70
demikian data atau Informasi Geospasial ini dapat dipakai secara tepat sesuai
kualitasnya.
Penyelenggara Informasi Geospasial menyampaikan kualitas data yang
didistribusikan kepada publik dalam bentuk metadata, atau data tentang data.
Berbagai konvensi telah dikeluarkan untuk menyusun metadata secara sistematis
dan konsisten. Perangkat-perangkat lunak sistem Informasi Geospasial juga
sudah mengadopsi konvensi-konvensi ini.
3.4.5.2 Informasi Geospasial dalam proses pengambilan kebijakan terkait
keruangan dan kebencanaan
Informasi Geospasial yang berkualitas amat diperlukan dalam melakukan
penataan ruang yang terpadu, terukur dan berkelanjutan. Pengaturan umum telah
dituangkan pada Undang-Undang nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Rencana Tata Ruang merupakan bentuk intervensi dalam mewujudkan
alokasi ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keseimbangan antar wilayah. Proses
perencanaan tata ruang merupakan suatu sistem yang melibatkan masukan,
proses dan keluaran. Masukan yang digunakan adalah keadaan fisik seperti
kondisi alam dan geografis, sosial budaya seperti demografi sebaran penduduk,
ekonomi seperti lokasi pusat kegiatan perdagangan yang ada maupun yang
potensial dan aspek strategis nasional lainnya. Keseluruhan masukan ini diproses
dengan menganalisis masukan tersebut secara integral baik kondisi saat ini
maupun kedepan untuk masing-masing hirarki tata ruang Nasional, Propinsi
maupun Kabupaten/Kota sehingga menghasilkan output berupa Rencana Tata
Ruang yang menyeluruh.
Mengingat pentingnya penataan ruang tersebut maka segenap keputusan
dan kebijakan instansi pemerintah pusat dan daerah yang terkait dengan
keruangan wajib menggunakan informasi spasial yang tepat, akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Sementara
itu
Undang-Undang
tentang
Pemerintahan
Daerah
71
72
berkewajiban
untuk
mengkonsultasikan
kebutuhan
Informasi
73
yang
bergerak
dalam
survei/pemetaan/Informasi
Geospasial,
74
karenanya
penyelenggaraan
perorangan
Informasi
yang
Geospasial
melaksanakan
harus
terus
dijaga
tugas-tugas
kualifikasi
dalam
rangka
menjaga
kualitas
informasi
yang
dihasilkan,
juga
75
3.6 PEMBINAAN
Badan
yang
diamanatkan
oleh
Rancangan
Undang-Undang
ini
bimbingan,
supervisi,
pendidikan
dan
pelatihan
Informasi
Geospasial;
perencanaan,
penelitian,
pengembangan,
pemantauan
dan
evaluasi
76
dalam hal ini orang perseorangan, kelompok orang atau Badan Hukum,
dengan rumusan: Barangsiapa.;
2. Perbuatan
hukum
dalam
RUU
Informasi
Geospasial
adalah
77
78
rupiah).
3. Ketentuan ketiga
- mengubah Informasi Geospasial Dasar,
- untuk maksud disebarkan kepada orang lain,
- tanpa persetujuan dari penyelenggara Informasi Geospasial Dasar,
- dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun penjara,
- dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
4. Ketentuan keempat
- mengubah Informasi Geospasial Tematik,
- dengan maksud disebarkan kepada orang lain kecuali untuk keperluan
Tentang lamanya pemidanaan dan besarnya denda Rancangan UndangUndang Informasi Geospasial ini menggunakan ukuran dari beberapa sanksi
pidana pada undang-undang lain. Di bawah ini dipaparkan beberapa rumusan
perbuatan hukum, pidananya dan dendanya dari undang-undang tentang Hak
Cipta, Undang-Undang Keterbukaan Memperoleh Informasi Publik, UndangUndang Penataan Ruang, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, sebagai bahan perbandingan penyusunan pemidanaan
Undang-Undang Informasi Geospasial.
79
PER-UU-AN
Undangundang
Nomor 19
Tahun 2002
tentang Hak
Cipta
Undangundang
Nomor 14
Tahun 2008
tentang
Keterbukaan
Memperoleh
Informasi
Publik
PERBUATAN HUKUM
Barangsiapa dengan sengaja
dan tanpa hak melakukan
perbuatan :
- mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaannya,
yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan
dilahirkan tanpa mengurangi
pembatasan menurut
peraturan
perundang-undangan yang
berlaku.
- memberikan izin atau
melarang pihak lain yang
tanpa persetujuannya
membuat, memperbanyak,
atau menyiarkan rekaman
suara dan/atau gambar
pertunjukannya.
- Barangsiapa dengan sengaja
menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan
atau barang hasil
pelanggaran Hak Cipta
- Barangsiapa dengan sengaja
dan tanpa hak
memperbanyak penggunaan
untuk kepentingan komersial
suatu Program Komputer
- Setiap Orang yang dengan
sengaja menggunakan
Informasi Publik secara
melawan hukum
- Badan Publik yang dengan
sengaja tidak menyediakan,
tidak memberikan, dan/atau
tidak menerbitkan Informasi
Publik berupa Informasi
Publik secara berkala,
Informasi Publik yang wajib
diumumkan secara
sertamerta, Informasi Publik
yang wajib tersedia setiap
saat, dan/atau Informasi
Publik yang harus diberikan
atas dasar permintaan sesuai
dengan Undang-Undang ini,
dan mengakibatkan kerugian
bagi orang lain
DIPIDANA
DENDA
paling singkat 1
(satu) bulan
denda paling
sedikit Rp
1.000.000,00
pidana penjara
paling lama 7
(tujuh) tahun
paling banyak Rp
5.000.000.000,0
0 (lima miliar
rupiah).
dipidana dengan
pidana penjara
paling lama 5
(lima) tahun
dan/atau
denda paling
banyak Rp
500.000.000,00
(lima ratus juta
rupiah).
dipidana dengan
pidana penjara
paling lama 5
(lima) tahun
dan/atau
denda paling
banyak Rp
500.000.000,00
(lima ratus juta
rupiah).
dipidana dengan
pidana penjara
paling lama 1
(satu) tahun
dan/atau
dikenakan pidana
kurungan paling
lama 1 (satu)
tahun dan/atau
pidana denda
paling banyak Rp
5.000.000,00
(lima juta rupiah).
pidana denda
paling banyak Rp
5.000.000,00
(lima juta rupiah).
80
PER-UU-AN
Undangundang
Nomor 26
Tahun 2007
tentang
Penataan
Ruang
PERBUATAN HUKUM
DIPIDANA
DENDA
dipidana dengan
pidana penjara
paling lama 2
(dua) tahun
dan/atau
pidana denda
paling banyak Rp
10.000.000,00
(sepuluh juta
rupiah).
dipidana dengan
pidana penjara
paling lama 3
(tiga) tahun dan
pidana denda
paling banyak
Rp20.000.000,00
(dua puluh juta
rupiah).
dipidana dengan
pidana penjara
paling lama 1
(satu) tahun
dan/atau
pidana denda
paling banyak
Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah).
dipidana dengan
pidana penjara
paling lama 3
(tiga) tahun dan
denda paling
banyak
Rp500.000.000,0
0 (lima ratus juta
rupiah).
pelaku dipidana
dengan pidana
penjara paling
lama 8 (delapan)
tahun dan
pelaku dipidana
dengan pidana
penjara paling
lama 15 (lima
belas) tahun dan
denda paling
banyak
Rp1.500.000.000
,00 (satu miliar
lima ratus juta
rupiah).
denda paling
banyak
Rp5.000.000.000
,00 (lima miliar
rupiah).
81
PER-UU-AN
PERBUATAN HUKUM
DIPIDANA
DENDA
dipidana dengan
pidana penjara
paling singkat 3
(tiga) tahun dan
paling lama 10
(sepuluh) tahun
dan
dipidana dengan
pidana penjara
paling singkat 4
(empat) tahun
dan paling lama
12 (dua belas)
tahun dan
dipidana dengan
pidana penjara
paling singkat 5
(lima) tahun dan
paling lama 15
(lima belas) tahun
dan
dipidana dengan
pidana penjara
paling singkat 1
(satu) tahun dan
paling lama 3
(tiga) tahun dan
dipidana dengan
pidana penjara
paling singkat 2
(dua) tahun dan
paling lama 6
(enam) tahun dan
dipidana dengan
pidana penjara
denda paling
sedikit
Rp3.000.000.000
,00 (tiga miliar
rupiah) dan
paling banyak
Rp10.000.000.00
0,00 (sepuluh
miliar rupiah).
denda paling
sedikit
Rp4.000.000.000
,00 (empat miliar
rupiah) dan
paling banyak
Rp12.000.000.00
0,00 (dua belas
miliar rupiah).
denda paling
sedikit
Rp5.000.000.000
,00 (lima miliar
rupiah) dan
paling banyak
Rp15.000.000.00
0,00 (lima belas
miliar rupiah).
denda paling
sedikit
Rp1.000.000.000
,00 (satu miliar
rupiah) dan
paling
banyakRp3.000.
000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
denda paling
sedikit
Rp2.000.000.000
,00 (dua miliar
rupiah) dan
paling banyak
Rp6.000.000.000
,00 (enam miliar
rupiah).
denda paling
sedikit
82
PER-UU-AN
PERBUATAN HUKUM
berat atau mati,
DIPIDANA
DENDA
paling singkat 3
(tiga) tahun dan
paling lama 9
(sembilan) tahun
dan
Rp3.000.000.000
,00 (tiga miliar
rupiah) dan
paling banyak
Rp9.000.000.000
,00 (sembilan
miliar rupiah).
denda paling
banyak
Rp3.000.000.000
,00 (tiga miliar
rupiah).
dipidana, dengan
pidana penjara
paling lama 3
(tiga) tahun dan
dapat dikenakan
apabila sanksi
administratif yang
telah dijatuhkan
tidak dipatuhi
atau pelanggaran
dilakukan lebih
dari satu kali.
Negara,
Perbatasan
Daerah,
Toponimi
dan
Perbatasan
Pemetaan
Wilayah,
Wilayah, berdasarkan
SUB BIDANG
PEMERINTAH
PEMERINTAH
DAERAH PROVINSI
PEMERINTAH
DAERAH
KABUPATEN/ KOTA
Wilayah Perbatasan:
a. Pengelolaan
Perbatasan
Antar Negara
b. Perbatasan
Daerah
c. Toponimi dan
Pemetaan
Wilayah
1. Penetapan
kebijakan
pengelolaan
perbatasan
antar negara.
1.
1.
2. Pelaksanaan
pengelolaan
perbatasan
antar negara.
2. Dukungan
pelaksanaan
kebijakan
pengelolaan
perbatasan antar
negara.
2. Dukungan
pelaksanaan
kebijakan
pengelolaan
perbatasan antar
negara.
3. Koordinasi
pengelolaan
perbatasan
antar negara.
3. Dukungan
koordinasi antar
kabupaten/kota
yang berbatasan
dengan negara
lain.
3. Dukungan
koordinasi antar
kecamatan/desa/k
elurahan yang
berbatasan
dengan negara
lain.
4. Pelaksanaan
penyelesaian
perselisihan
perbatasan
antar negara.
4.
4.
1. Penetapan
1. Dukungan
kebijakan,
pelaksanaan
pelaksanaan,
penegasan
dan penegasan
perbatasan
perbatasan
provinsi dan
daerah.
kabupaten/kota di
wilayah provinsi.
1. Penetapan
kebijakan dan
pelaksanaan
perbatasan
kecamatan dan
desa/kelurahan di
kabupaten/kota.
2. Penetapan
kebijakan
toponimi dan
pemetaan
wilayah.
2. Penetapan
2. Penetapan
kebijakan provinsi
kebijakan
mengacu pada
kabupaten/kota
kebijakan nasional
mengacu pada
mengenai toponimi
kebijakan nasional
dan pemetaan
mengenai toponimi
wilayah provinsi.
dan pemetaan
wilayah
kabupaten/kota.
1. Pengelolaan
toponimi dan
pemetaan
skala nasional.
1. Pengelolaan
toponimi dan
pemetaan skala
provinsi.
1. Pengelolaan
toponimi dan
pemetaan skala
kabupaten/kota.
84
2. Inventarisasi
laporan
toponimi dan
pemetaan.
d. Pengembangan
Wilayah
Perbatasan
e. Penetapan Luas
Wilayah
2. Inventarisasi dan
laporan toponimi
dan pemetaan
skala provinsi.
2. Inventarisasi dan
laporan toponimi
dan pemetaan
skala kabupaten/
kota.
1. Penetapan
1. Penetapan
kebijakan
kebijakan
pengembangan
pengembangan
wilayah
wilayah
perbatasan.
perbatasan antar
kabu-paten/kota
skala provinsi.
2. Pengelolaan
2. Pengelolaan
pengembangan
pengembangan
wilayah
wilayah
perbatasan
perbatasan skala
antar negara
provinsi.
dan antar
provinsi.
3. Koordinasi dan 3. Koordinasi dan
fasilitasi
fasilitasi
pengembangan
pengembangan
wilayah
wilayah
perbatasan
perbatasan
antar negara
provinsi.
dan antar
provinsi.
1. Penetapan
kebijakan
pengembangan
wilayah
perbatasan skala
kabupaten/kota.
1. Penetapan
kebijakan luas
wilayah.
1. Inventarisasi
perubahan luas
wilayah
kabupaten/kota
yang diakibatkan
oleh alam antara
lain delta, abrasi.
2. Pemetaan luas
wilayah sesuai
peruntukannya.
1. Inventarisasi
perubahan luas
wilayah provinsi
yang diakibatkan
oleh alam antara
lain delta, abrasi.
2. Pengelolaan
pengembangan
wilayah
perbatasan skala
kabupaten/kota.
3. Koordinasi dan
fasilitasi
pengembangan
wilayah
perbatasan
kabupaten/kota.
85
dari
Undang
undang
Informasi
Geospasial
ini,
peraturan
86
87
4. BAB IV
KETERKAITAN DENGAN HUKUM POSITIF
kepentingan
nasional
dalam
dan/atau
dari
kegiatan
88
dalam
kerangka
ketertiban
dan
perdamaian
internasional
Sumber daya alam merupakan karunia dan amanah dari Tuhan Yang Maha
Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia sebagai kekayaan yang tak
ternilai harganya. Oleh karena itu sumber daya alam wajib dikelola secara
bijaksana agar dapat dimanfaatkan secara berdaya guna, berhasil guna dan
berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, baik generasi
sekarang maupun generasi yang akan datang. Ketersediaan sumber daya alam
baik hayati maupun nonhayati sangat terbatas, oleh karena itu pemanfaatannya
baik sebagai modal alam (stock resources) maupun komoditas (product) harus
dilakukan secara bijaksana sesuai dengan karakteristiknya, dengan menggunakan
media Informasi Geospasial.
Pada pasal ini diamanatkan bahwa setelah bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai negara, maka agar dapat dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat antara lain negara harus dapat
menginventarisasi seluruh kekayaan alamnya dalam hal ini antara lain melalui
kegiatan survei dan menyajikannya dalam peta/Informasi Geospasial, agar dari itu
dapat diketahui letak dan sebaran kekayaan alamnya.
4.1.1.3 Pasal 25A
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri
nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah serta memiliki hak-hak berdaulat di
luar wilayah kedaulatannya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya
89
ditetapkan
dengan
undang-undang.
Dalam
rangka
90
kualitas
pelibatan
masyarakat
dalam
proses
pengambilan
keputusan publik. Partisipasi atau pelibatan masyarakat tidak banyak berarti tanpa
jaminan keterbukaan Informasi Geospasial.
Keterkaitan dengan Informasi Geospasial sangat penting sebagai landasan
hukum yang berkaitan dengan (1) hak setiap Orang untuk memperoleh Informasi
Geospasial; (2) kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan
Informasi Geospasial secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan
cara sederhana; (3) kewajiban Badan Publik untuk membenahi sistem
dokumentasi dan pelayanan Informasi Geospasial.
91
Wilayah Negara.
92
Pasal 6
(1) Garis pangkal kepulauan Indonesia yang ditarik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dicantumkan dalam peta dengan skala atau skala-skala
yang memadai untuk menegaskan posisinya, atau dapat pula dibuat daftar
titik-titik koordinat geografis yang secara jelas memerinci datum geodetik.
(2) Peta dengan skala atau skala-skala yang memadai yang menggambarkan
wilayah perairan Indonesia atau daftar titik-titik koordinat geografis dari
garis-garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Pemerintah Indonesia mengumumkan sebagaimana mestinya peta
dengan skala atau skala-skala yang memadai atau daftar titik-titik
koordinat geografis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta
mendepositokan salinan daftar titik-titik koordinat geografis tersebut pada
Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
93
Ketentuan tersebut di atas adalah satu dari sepuluh peraturan perundangundangan tentang batas wilayah laut maupun batas landas kontinen antara
Indonesia dengan Negara tetangga, Berdasarkan undang-undang dan Keputusan
Presiden tersebut di atas Ketua Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
diberikan kewenangan dalam menentukan koordinat-koordinat geografis letak
yang sebenarnya dari setiap titik atau garis yang disebut dalam Perjanjian itu yang
belum ditetapkan, akan ditentukan dengan cara yang akan disetujui bersama para
pihak dalam perjanjian internasional itu.
Dengan perumusan yang sama dalam suatu Pasal tertentu dalam perjanjian
tersebut di bawah ini Ketua Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
diberikan kewenangan dalam menentukan koordinat-koordinat geografis letak
yang sebenarnya dari setiap titik atau garis yang disebut dalam Perjanjian itu,
perjanjian dimaksud adalah sebagi berikut.
4.1.2.4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1973 tentang Perjanjian antara Republik
Indonesia dan Republik Singapura mengenai garis Batas laut Wilayah
kedua Negara di Selat Singapura
Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1971 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Commonwealth Australia
tentang Penetapan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu
Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1972 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Malaysia dan Pemerintah
Kerajaan Thailand tentang Penetapan Garis-Garis Batas Landas Kontinen di
94
95
96
97
lingkungan,
serta
didukung
oleh
teknologi
yang
sesuai
akan
penataan
ruang
menuntut
dikembangkannya
suatu
sistem
keterpaduan sebagai ciri utama. Hal itu berarti perlu adanya suatu kebijakan
nasional tentang penataan ruang yang dapat memadukan berbagai kebijakan
pemanfaatan ruang. Seiring dengan maksud tersebut, pelaksanaan pembangunan
yang
dilaksanakan,
baik
oleh
Pemerintah,
pemerintah
daerah,
maupun
masyarakat, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah, harus dilakukan
sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian,
pemanfaatan ruang oleh siapa pun tidak boleh bertentangan dengan rencana tata
ruang.
98
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
daya guna dan hasil guna, pemanfaatan data dan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikelola dalam sistem informasi daerah yang
terintegrasi secara nasional.
Bahwa sebagian besar unsur rupabumi yang merupakan bagian fisik alami
dari rupabumi kepulauan Indonesia maupun unsur rupabumi buatan yang tersebar
di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia masih belum bernama;
disamping itu unsur rupabumi kepulauan Indonesia yang sudah bernama masih
memerlukan pembakuan, untuk menjamin tertib administrasi wilayah dalam
kerangka
Negara
Kesatuan
segera
dilakukan
Sekretariat.
(2) Tim Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh Kelompok
Pakar.
Pasal 7
(1) Tim Pelaksana sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) terdiri dari:
a. Ketua : Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.
b. Wakil Ketua : Direktur Jenderal Pemerintahan Umum Kementerian
Dalam Negeri.
c. Anggota : Wakil-wakil dari instansi terkait.
(2) Anggota Tim Pelaksana sebagaimana pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Ketua Tim Nasional.
99
100
Pasal 12
(1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam
bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
k
l
101
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari
hasil pengalihwujudan.
Apa sanksinya jika melanggar Hak Cipta ?
(1).
(2).
(3).
Ciptaan serta produk Hak Terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri
Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa
pun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan.
Dengan hak moral, Pencipta dari suatu karya cipta memiliki hak untuk:
102
berhubungan dengan karya cipta yang pada akhirnya akan merusak apresiasi
dan reputasi Pencipta. Selain itu tidak satupun dari hak-hak tersebut di atas
dapat dipindahkan selama Penciptanya masih hidup, kecuali atas wasiat
Pencipta berdasarkan peraturan perundang-undangan.
meminjamkan,
mengimpor,
memamerkan,
mempertunjukkan
103
dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Bahwa peta adalah suatu
gambaran dari unsur-unsur alam dan/atau buatan manusia yang berada di atas
ataupun di bawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar
dengan skala tertentu.
Database merupakan salah satu Ciptaan yang dilindungi adalah kompilasi
data dalam bentuk apapun yang dapat dibaca oleh mesin (komputer) atau dalam
bentuk lain, yang karena alasan pemilihan atau pengaturan atas isi data itu
merupakan kreasi intelektual. Perlindungan terhadap database diberikan dengan
tidak mengurangi hak Pencipta lain yang Ciptaannya dimasukkan dalam database
tersebut.
4.1.2.9 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik
UU No 14 Tahun 2008:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda
yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun
penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan
dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun
nonelektronik.
2. Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola,
dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan
penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan
penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan UndangUndang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
12. Pemohon Informasi Publik adalah warga negara dan/atau badan hukum
Indonesia yang mengajukan permintaan informasi publik sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 2
(1) Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap
Pengguna Informasi Publik.
(2) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.
(3) Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi
Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.
(4) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan
Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada
pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi
104
105
106
UU No 31 Thn 2004:
Pasal 46
(1) Pemerintah menyusun dan mengembangkan sistem informasi dan data
mudah dan cepat oleh seluruh pengguna data statistik dan informasi
perikanan.
(3) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
a.
b.
c.
d.
(4) Hasil inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) antara lain dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan
hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, penyusunan rencana
kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
107
UU No 22 Thn 2001:
Pasal 1
6. Survei Umum adalah kegiatan lapangan yang meliputi pengumpulan,
analisis, dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi
geologi untuk memperkirakan letak dan potensi sumber daya Minyak dan
Gas Bumi di luar Wilayah Kerja;
8. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi
mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan
cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan;
UU No 22 Thn 2001:
Pasal 20
(1) Data yang diperoleh dari Survei Umum dan/atau Eksplorasi dan Eksploitasi
Kerjanya dapat digunakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
dimaksud selama jangka waktu Kontrak Kerja Sama.
(3) Apabila Kontrak Kerja Sama berakhir, Badan Usaha atau Bentuk Usaha
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) untuk merencanakan penyiapan
pembukaan Wilayah Kerja.
(6) Pelaksanaan ketentuan mengenai kepemilikan, jangka waktu penggunaan,
108
4.1.2.13.1
109
Pasal 16
(1) Untuk keperluan pembuatan peta dasar pendaftaran tanah Badan
Pertanahan Nasional menyelenggarakan pemasaran, pengukuran,
pemetaan dan pemeliharaan titik-titik dasar teknik nasional di setiap
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2) Pengukuran untuk pembuatan peta dasar pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diikatkan dengan titik-titik dasar teknik nasional
sebagai kerangka dasarnya.
(3) Jika di suatu daerah tidak ada atau belum ada titik-titik dasar teknik
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam melaksanakan
pengukuran untuk pembuatan peta dasar pendaftaran dapat digunakan titik
dasar teknik yang bersifat sementara, yang kemudian diikatkan dengan titik
dasar teknik nasional.
(4) Peta dasar pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
menjadi dasar untuk pembuatan peta pendaftaran.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengukuran dan pemetaan titik dasar
teknik nasional dan pembuatan peta dasar pendaftaran ditetapkan oleh
Menteri.
110
Penjelasan
Ayat (1)
Data dan informasi yang dimaksud bersifat akurat, dapat
dipertanggungjawabkan, terkini, dan sesuai kebutuhan mengenai wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.
Ayat (2)
Publikasi resmi dimaksud antara lain melalui berita negara pada tingkat
nasional, berita daerah pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
111
(1) dan ayat (2) bertanggung jawab menjamin keakuratan, kebenaran, dan
ketepatan waktu atas informasi yang disampaikan.
Pasal 68
(1) Untuk mendukung pengelolaan sistem informasi sumber daya air
diperlukan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrome-teorologi, dan
hidrogeologi wilayah sungai pada tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota.
(2) Kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrome-teorologi, dan
hidrogeologi ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan usul Dewan Sumber
Daya Air Nasional.
(3) Pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan pengelola sumber daya air sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan melalui kerja sama
dengan pihak lain.
Pasal 69
Ketentuan mengenai sistem informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68 diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
112
d.
e.
f.
g.
surat;
petunjuk;
keterangan terdakwa; dan/atau
alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan
perundangundangan.
Penjelasan huruf f
Yang dimaksud dengan alat bukti lain, meliputi, informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik,
optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman,
atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan
dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik,
tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna
atau yang dapat dipahami atau dibaca.
(2)
(3)
Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
dapat berbentuk dukungan sumber daya, dukungan dana, pemberian
insentif, penyelenggaraan program ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
pembentukan lembaga.
(4)
Lembaga yang dimaksud dalam ayat (3) dapat meliputi lembaga litbang
dan lembaga penunjang, baik yang berdiri sendiri sebagai Lembaga
Pemerintah Non Kementerian maupun sebagai unit kerja Kementerian
atau pemerintah daerah tertentu.
(5)
113
114
Penjelasan Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Lampiran peta cakupan wilayah yang digambarkan dengan skala
1:100.000 diterbitkan oleh Pemerintah dan diserahkan kepada
Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat pada saat dilakukan peresmian
sebagai daerah otonom baru.
Ayat (3)
Cukup jelas.
diatas
batas
wilayah
provinsi/kabupaten
bentukan
baru,
harus
115
116
Article 6
Reefs
In the case of islands situated on atolls or of islands having fringing reefs, the
baseline for measuring the breadth of the territorial sea is the seaward lowwater line of the reef, as shown by the appropriate symbol on charts officially
recognized by the coastal State.
Pasal 6
Karang
Dalam hal pulau yang terletak pada atol atau pulau yang mempunyai karangkarang disekitarnya, maka garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial
adalah garis air rendah pada sisi karang kearah laut sebagaimana ditunjukkan
oleh tanda yang jelas untuk itu pada peta yang diakui resmi oleh negara pantai
yang bersangkutan.
Article 16
Charts and lists of geographical coordinates
1. The baselines for measuring the breadth of the territorial sea determined in
accordance with articles 7, 9 and 10, or the limits derived therefrom, and
the lines of delimitation drawn in accordance with articles 12 and 15 shall
be shown on charts of a scale or scales adequate for ascertaining their
position. Alternatively, a list of geographical coordinates of points,
specifying the geodetic datum, may be substituted.
2. The coastal State shall give due publicity to such charts or lists of
geographical coordinates and shall deposit a copy of each such chart or list
with the Secretary-General of the United Nations.
Pasal 16
Peta dan Daftar Koordinat Geografis
1. Garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial sebagaimana ditetapkan
sesuai dengan pasal 7, 8, dan 10, atau garis batas yang ditarik sesuai
dengan pasal 12 dan 15, harus dicantumkan dalam peta dengan skala
atau skala-skala yang memadai untuk penetapan garis posisinya. Sebagai
gantinya dapat diberikan suatu daftar titik-titik koordinat geografis, yang
menjelaskan datum geodetik.
2. Negara pantai harus memeberikan pengumuman sebagaimana mestinya
mengenai peta dan daftar koordinat geografis tersebut dan mendepositkan
satu copy/turunan setiap peta atau daftar tersebut kepada Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
117
Article 22
Sea lanes and traffic separation schemes in the territorial sea
1. The coastal State may, where necessary having regard to the safety of
navigation, require foreign ships exercising the right of innocent passage
through its territorial sea to use such sea lanes and traffic separation
schemes as it may designate or prescribe for the regulation of the passage
of ships.
2. In particular, tankers, nuclear-powered ships and ships carrying nuclear or
other inherently dangerous or noxious substances or materials may be
required to confine their passage to such sea lanes.
3. In the designation of sea lanes and the prescription of traffic separation
schemes under this article, the coastal State shall take into account:
(a) the recommendations of the competent international organization;
(b) any channels customarily used for international navigation;
(c)the special characteristics of particular ships and channels; and
(d) the density of traffic.
4. The coastal State shall clearly indicate such sea lanes and traffic
separation schemes on charts to which due publicity shall be given.
Pasal 22
Alur laut dan skema pemisah lalu lintas dilaut teritorial
1. Negara pantai dimana perlu dengan memperhatikan keselamatan navigasi,
dapat mewajibkan kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai
melalui laut teritorialnya untuk mempergunakan alur laut dan skema
pemisah lalu lintas sebagaiman yang dapat ditetapkan dan yang harus
diikuti untuk pengaturan lintas kapal.
2. Khususnya, kapal tanki, kapal bertenaga nuklir dan kapal yang
mengangkut nukliratau barang atau bahan lain yang karena sifatnya
berbahaya atau beracun dapat diharuskan untuk membatasi lintasnya pada
alur laut yang demikian.
3. Dalam penetapan alur laut dan penentuan skema pemisah lalu lintas
menurut pasal ini, negara pantai harus memperhatikan:
a.
b.
c.
d.
4. Negara pantai harus mencantumkan secara jelas alur laut dan skema
pemisah lalu lintas demikian pada peta yang harus diumumkan
sebagaimana menstinya.
Article 41
Sea lanes and traffic separation schemes in straits used for international
navigation
1. In conformity with this Part, States bordering straits may designate sea
118
119
Article 47
Archipelagic baselines
1. An archipelagic State may draw straight archipelagic baselines joining the
outermost points of the outermost islands and drying reefs of the
archipelago provided that within such baselines are included the main
islands and an area in which the ratio of the area of the water to the area of
the land, including atolls, is between 1 to 1 and 9 to 1.
2. The length of such baselines shall not exceed 100 nautical miles, except
that up to 3 per cent of the total number of baselines enclosing any
archipelago may exceed that length, up to a maximum length of 125
nautical miles.
3. The drawing of such baselines shall not depart to any appreciable extent
from the general configuration of the archipelago.
4. Such baselines shall not be drawn to and from low-tide elevations, unless
lighthouses or similar installations which are permanently above sea level
have been built on them or where a low-tide elevation is situated wholly or
partly at a distance not exceeding the breadth of the territorial sea from the
nearest island.
5. The system of such baselines shall not be applied by an archipelagic State
in such a manner as to cut off from the high seas or the exclusive economic
zone the territorial sea of another State.
6. If a part of the archipelagic waters of an archipelagic State lies between two
parts of an immediately adjacent neighbouring State, existing rights and all
other legitimate interests which the latter State has traditionally exercised in
such waters and all rights stipulated by agreement between those States
shall continue and be respected.
7. For the purpose of computing the ratio of water to land under paragraph l,
land areas may include waters lying within the fringing reefs of islands and
atolls, including that part of a steep-sided oceanic plateau which is
enclosed or nearly enclosed by a chain of limestone islands and drying
reefs lying on the perimeter of the plateau.
8. The baselines drawn in accordance with this article shall be shown on
charts of a scale or scales adequate for ascertaining their position.
Alternatively, lists of geographical coordinates of points, specifying the
geodetic datum, may be substituted.
9. The archipelagic State shall give due publicity to such charts or lists of
geographical coordinates and shall deposit a copy of each such chart or list
120
121
Article 53
Right of archipelagic sea lanes passage
1. An archipelagic State may designate sea lanes and air routes thereabove,
suitable for the continuous and expeditious passage of foreign ships and
aircraft through or over its archipelagic waters and the adjacent territorial
sea.
2. All ships and aircraft enjoy the right of archipelagic sea lanes passage in
such sea lanes and air routes.
3. Archipelagic sea lanes passage means the exercise in accordance with this
Convention of the rights of navigation and overflight in the normal mode
solely for the purpose of continuous, expeditious and unobstructed transit
between one part of the high seas or an exclusive economic zone and
another part of the high seas or an exclusive economic zone.
4. Such sea lanes and air routes shall traverse the archipelagic waters and
the adjacent territorial sea and shall include all normal passage routes used
as routes for international navigation or overflight through or over
archipelagic waters and, within such routes, so far as ships are concerned,
all normal navigational channels, provided that duplication of routes of
similar convenience between the same entry and exit points shall not be
necessary.
5. Such sea lanes and air routes shall be defined by a series of continuous
axis lines from the entry points of passage routes to the exit points. Ships
and aircraft in archipelagic sea lanes passage shall not deviate more than
25 nautical miles to either side of such axis lines during passage, provided
that such ships and aircraft shall not navigate closer to the coasts than 10
per cent of the distance between the nearest points on islands bordering
the sea lane.
6. An archipelagic State which designates sea lanes under this article may
also prescribe traffic separation schemes for the safe passage of ships
through narrow channels in such sea lanes.
7. An archipelagic State may, when circumstances require, after giving due
publicity thereto, substitute other sea lanes or traffic separation schemes
for any sea lanes or traffic separation schemes previously designated or
prescribed by it.
8. Such sea lanes and traffic separation schemes shall conform to generally
accepted international regulations.
9. In designating or substituting sea lanes or prescribing or substituting traffic
separation schemes, an archipelagic State shall refer proposals to the
competent international organization with a view to their adoption. The
organization may adopt only such sea lanes and traffic separation schemes
as may be agreed with the archipelagic State, after which the archipelagic
State may designate, prescribe or substitute them.
10. The archipelagic State shall clearly indicate the axis of the sea lanes and
the traffic separation schemes designated or prescribed by it on charts to
which due publicity shall be given.
11. Ships in archipelagic sea lanes passage shall respect applicable sea lanes
and traffic separation schemes established in accordance with this article.
12. If an archipelagic State does not designate sea lanes or air routes, the right
122
123
Article 75
Charts and lists of geographical coordinates
1. Subject to this Part, the outer limit lines of the exclusive economic zone and
the lines of delimitation drawn in accordance with article 74 shall be shown
on charts of a scale or scales adequate for ascertaining their position.
Where appropriate, lists of geographical coordinates of points, specifying
the geodetic datum, may be substituted for such outer limit lines or lines of
delimitation.
2. The coastal State shall give due publicity to such charts or lists of
geographical coordinates and shall deposit a copy of each such chart or list
with the Secretary-General of the United Nations.
Pasal 75
Peta dan daftar koordinat geografis
1. Dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan bab ini, garis batas terluar zona
ekonomi ekslusif dan garis penetapan batas yang ditarik sesuai dengan
ketentuan pasal 74 harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skalaskala yang memadai untuk menentukan posisinya. Dimana perlu, daftar
titik-titik koordinat-koordinat geografis, yang memerinci datum geodetik,
dapat menggantikan garis batas terluar atau garis-garis penetapan
perbatasan yang demikian.
2. Negara pantai harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau
daftar koordinat geografis demikian dan harus mendepositokan satu copy
setiap peta atau daftar demikian pada Sekretaris Jendral Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Article 76
Definition of the continental shelf
1. The continental shelf of a coastal State comprises the seabed and subsoil of
the submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the
natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental
margin, or to a distance of 200 nautical miles from the baselines from which
124
the breadth of the territorial sea is measured where the outer edge of the
continental margin does not extend up to that distance.
2. The continental shelf of a coastal State shall not extend beyond the limits
provided for in paragraphs 4 to 6.
3. The continental margin comprises the submerged prolongation of the land
mass of the coastal State, and consists of the seabed and subsoil of the
shelf, the slope and the rise. It does not include the deep ocean floor with
its oceanic ridges or the subsoil thereof.
4. (a) For the purposes of this Convention, the coastal State shall establish the
outer edge of the continental margin wherever the margin extends beyond
200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the
territorial sea is measured, by either:
(i) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference to the
outermost fixed points at each of which the thickness of sedimentary
rocks is at least 1 per cent of the shortest distance from such point to
the foot of the continental slope; or
(ii) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference to fixed
points not more than 60 nautical miles from the foot of the continental
slope.
(b) In the absence of evidence to the contrary, the foot of the continental
slope shall be determined as the point of maximum change in the
gradient at its base.
5. The fixed points comprising the line of the outer limits of the continental shelf
on the seabed, drawn in accordance with paragraph 4 (a)(i) and (ii), either
shall not exceed 350 nautical miles from the baselines from which the
breadth of the territorial sea is measured or shall not exceed 100 nautical
miles from the 2,500 metre egara , which is a line connecting the depth of
2,500 metres.
6. Notwithstanding the provisions of paragraph 5, on submarine ridges, the
outer limit of the continental shelf shall not exceed 350 nautical miles from
the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured. This
paragraph does not apply to submarine elevations that are natural
components of the continental margin, such as its egara , rises, caps,
banks and spurs.
7. The coastal State shall delineate the outer limits of its continental shelf,
where that shelf extends beyond 200 nautical miles from the baselines from
which the breadth of the territorial sea is measured, by straight lines not
exceeding 60 nautical miles in length, connecting fixed points, defined by
coordinates of latitude and longitude.
8. Information on the limits of the continental shelf beyond 200 nautical miles
from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured
shall be submitted by the coastal State to the Commission on the Limits of
the Continental Shelf set up under Annex II on the basis of equitable
geographical
representation.
The
Commission
shall
make
recommendations to coastal States on matters related to the establishment
of the outer limits of their continental shelf. The limits of the shelf
established by a coastal State on the basis of these recommendations shall
be final and binding.
9. The coastal State shall deposit with the Secretary-General of the United
Nations charts and relevant information, including geodetic data,
125
126
Article 84
Charts and lists of geographical coordinates
1. Subject to this Part, the outer limit lines of the continental shelf and the lines
of delimitation drawn in accordance with article 83 shall be shown on charts
of a scale or scales adequate for ascertaining their position. Where
appropriate, lists of geographical coordinates of points, specifying the
geodetic datum, may be substituted for such outer limit lines or lines of
delimitation.
2. The coastal State shall give due publicity to such charts or lists of
geographical coordinates and shall deposit a copy of each such chart or list
with the Secretary-General of the United Nations and, in the case of those
showing the outer limit lines of the continental shelf, with the SecretaryGeneral of the Authority.
Pasal 84
Peta dan daftar koordinat geografis
1. Dengan tunduk pada ketentuan Bab ini, garis batas luar landas kontinen
dan garis-garis penetapan batas yang ditarik sesuai dengan pasal 83 harus
dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai
untuk penentuan posisinya. Di mana perlu daftar titik-titik koordinat
geografis, yang memerinci datum geodetik, dapat menggantikan garis-garis
batas laut atau garis-garis penetapan batas demikian.
2. Negara pantai harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta-peta
atau daftar-daftar koordinat hgeografis demikian dan harus mendepositkan
satu copy/salinan dari setiap peta atau daftar demikian pada Sekretaris
Jenderal Perserikata Bangsa-Bangsa dan dalam hal peta dalam daftar
yang mencantumkan garis-garis batas luar kontinen, pada Sekretaris
Jenderal.
127
Article 94
Duties of the flag State
1. Every State shall effectively exercise its jurisdiction and control in
administrative, technical and social matters over ships flying its flag.
2. In particular every State shall:
(a) maintain a register of ships containing the names and particulars of
ships flying its flag, except those which are excluded from generally
accepted international regulations on account of their small size; and
(b) assume jurisdiction under its internal law over each ship flying its flag
and its master, officers and crew in respect of administrative, technical
and social matters concerning the ship.
3. Every State shall take such measures for ships flying its flag as are
necessary to ensure safety at sea with regard, inter alia, to:
(a) the construction, equipment and seaworthiness of ships;
(b) the manning of ships, labour conditions and the training of crews, taking
into account the applicable international instruments;
I the use of signals, the maintenance of communications and the
prevention of collisions.
4. Such measures shall include those necessary to ensure:
(a) that each ship, before registration and thereafter at appropriate
intervals, is surveied by a qualified surveior of ships, and has on board
such charts, nautical publications and navigational equipment and
instruments as are appropriate for the safe navigation of the ship;
(b) that each ship is in the charge of a master and officers who possess
appropriate qualifications, in particular in seamanship, navigation,
communications and marine engineering, and that the crew is
appropriate in qualification and numbers for the type, size, machinery
and equipment of the ship;
(c) that the master, officers and, to the extent appropriate, the crew are fully
conversant with and required to observe the applicable international
regulations concerning the safety of life at sea, the prevention of
collisions, the prevention, reduction and control of marine pollution, and
the maintenance of communications by radio.
5. In taking the measures called for in paragraphs 3 and 4 each State is
required to conform to generally accepted international regulations,
procedures and practices and to take any steps which may be necessary to
secure their observance.
6. A State which has clear grounds to believe that proper jurisdiction and
control with respect to a ship have not been exercised may report the facts
to the flag State. Upon receiving such a report, the flag State shall
investigate the matter and, if appropriate, take any action necessary to
remedy the situation.
7. Each State shall cause an inquiry to be held by or before a suitably qualified
person or persons into every marine casualty or incident of navigation on
the high seas involving a ship flying its flag and causing loss of life or
128
129
Article 134
Scope of this Part
1. This Part applies to the Area.
2. Activities in the Area shall be governed by the provisions of this Part.
3. The requirements concerning deposit of, and publicity to be given to, the
charts or lists of geographical coordinates showing the limits referred to in
article l, paragraph l(1), are set forth in Part VI.
4. Nothing in this article affects the establishment of the outer limits of the
continental shelf in accordance with Part VI or the validity of agreements
relating to delimitation between States with opposite or adjacent coasts.
Pasal 134
Ruang lingkup Bab ini
1. Ketentuan- ketentuan Bab ini berlaku bagi kawasan.
2. Kegiatan-kegiatan di kawasan diatur oleh ketentuan-ketentuan Bab ini.
3. Syarat-syarat mengenai penyimpanan dan pengumuman peta-peta atau
daftar koordinat-koordinat geografis yang menunjukkan batas-batas seperti
dimaksud dalam pasal 1 ayat 1, tercantum dalam Bab VI.
4. Tidak satu ketentuanpun dalam pasal ini mempengaruhi penetapan garis
batas terluar landas kontinen sesuai denfgan Bab VI atau keabsahan dari
perjanjian-perjanjian mengenai penetapan garis batas di antara Negaranegara yang pantainya berhadapan atau berdampingan.
130
131
jarak
jauh
dapat
pula
dilakukan
dengan
pesawat
udara.
Penginderaan jarak jauh dengan pesawat udara sebenarnya sudah mulai sejak
awal abad ke-20. Walaupun penginderaan jarak jauh dengan pesawat udara
mempunyai kelemahan-kelemahan, penginderaan jarak jauh dengan pesawat
udara sampai saat ini masih mempunyai peranan yang penting.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa di samping mempergunakan
pesawat udara remote sensing dapat pula dilakukan dengan satelit. Dengan
segala keunggulannya, remote sensing dengan satelit semakin populer. Remote
sensing dimgan satelit dapat mengatasi segala kelemahan-kelemahan yang
dihadapi oleh remote sensing dengan pesawat udara.
Remote sensing dengan satelit dapat dipergunakan untuk memonitor
perubahan lingkungan alam tanpa dipengaruhi adanya musim, tidak memerlukan
bahan bakar, dapat dipasang terus menerus dan lain-lain. Tetapi pengoperasian
satelit sebagai sarana remote sensing dapat berhasil dengan baik bilamana
dilengkapi dengan prasarana ruas antariksa berupa satelit, ruas darat yang
meliputi pusat handling, prasarana interpretasi dan analisis yang baik. Demikian,
pula harus mempunyai tenaga ahli yang mampu menginterpretasi foto yang
diperoleh dari satelit.
4.5.2 Hukum yang Berlaku
Di atas telah dikatakan bahwa remote sensing di samping mempergunakan
satelit dapat pula dengan mempergunakan pesawat udara. Penggunaan pesawat
udara untuk remote sensing jelas tunduk pada hukum udara. Prinsip ini telah
diakui di dalam pasal 1 konvensi Chicago tahun 1944 yang menyatakan bahwa
negara anggota konvensi mengakui bahwa setiap negara berdaulat mempunyai
132
pasal
12
konvensi
Chicago
1944
menyatakan
bahwa
penerbangan di atas lautan bebas (tidak bertuan atau high seas) berlaku
ketentuan konvensi Chicago 1944. Oleh karena, itu baik penerbangan di atas
wilayah suatu negara maupun di lautan bebas atau daerah tidak bertuan, berlaku
ketentuan hukum udara baik hukum udara nasional maupun internasiona.
Berbeda dengan pesawat udara, penggunaan satelit untuk remote sensing
tunduk pada Treaty on Principles Governing the Activities of States in the
Exploration and Use of Outer Space Including the Moon and Other Celestial
Bodies yang biasa disebut Outer Space Treaty of 1967.
Paragraf 2 pasal l Outer Space Treaty menyatakan antara lain bahwa pada
prinsipnya, setiap negara bebas explorasi dan menggunakan ruang angkasa luar
tanpa adanya diskriminasi dalam bentuk apapun. Selanjutnya di dalam pasal II
konvensi tersebut dinyatakan negara tidak boleh memiliki ruang angkasa luar
secara nasional atas dasar tuntutan kedaulatan, penggunaan atau pemakaian
dengan cara apapun juga.
Sebenarnya, masalah hukum yang timbul sebagai akibat remote sensing
dengan satelit, tidak begitu sederhana seperti dikemukakan di atas. Sebagaimana
halnya Direct Broadcasting by Satellite (DBS), Remote Sensing by Satellite (RSS)
juga mempunyai persoalan hukum yang sulit dipecahkan.
Baik DBS maupun RSS dilakukan di ruang angkasa luar yang berarti tunduk
pada ketentuan umum yang termuat di dalam Outer Space Treaty. Walaupun
kegiatan tersebut adalah di permukaan bumi, sehingga kemungkinan akan
melanggar hak-hak prerogatif negara berdaulat. Dengan DBS mereka dapat
menyiarkan informasi-informasi yang tidak dikehendaki oleh negara penerima,
berita-berita yang bersifat menghasut, propaganda yang akan menimbulkan suatu
ketegangan-ketegangan politik suatu negara berdaulat.
Demikian
pula
penggunaan
satelit
untuk
remote
sensing.
Dengan
133
terhadap sumber-sumber alam tersebut. Bahkan dengan RSS dapat pula untuk
melakukan kegiatan mata-mata negara asing.
Baik DBS maupun RSS menimbulkan pertentangan hukum mana yang
berlaku antara prinsip penggunaan ruang aogkasa di satu pihak, dan prinsip
kedaulatan negara di wilayah jurisdiksinya di lain pihak. Untuk pemecahan
persoalan hukum mana yang berlaku terhadap remote sensing dengan satelit,
pada tahun 1969 beberapa negara Amerika Latin dan Eropa mengajukan masalah
tersebut kepada Sub Komite Hukum COPUOS.
4.5.3 Hukum yang berlaku terhadap RSS (Remote Sensing by Satellite).
Berbicara mengenai hukum yang berlaku terhadap kegiatan angkasa luar,
khususnya berkenaan dengan penginderaan jarak jauh dengan satelit, sepanjang
belum ada suatu norma-norma hukum yang disetujui dan disahkan oleh bangsabangsa yang berupa "Treaty" atau peraturan-peraturan formal lainnya, kegiatan
remote sensing dengan satelit berlaku ketentuan-ketentuan Outer Space Treaty of
1967, piagam-piagam PBB dan prinsip-prinsip umum hukum internasional. Oleh
karena itu, sebelum membahas draft pengaturan RSS, terutama masalah yang
belum dapat dipecahkan, perlu meneliti terlebih dahulu norma-norma hukum
internasional yang ada pada saat ini.
Walaupun kegiatan pengamatan bumi melalui ruang angkasa telah
dilakukan, baik oleh Amerika Serikat maupun oleh Rusia, jauh sebelum lahirnya
Outer Space Treaty of 1967, isi (teks) dari Outer Space Treaty of 1967 tidak
menyinggung sama sekali masalah kegiatan remote sensing dengan satelit secara
terperinci.
Di dalam Outer Space Treaty of 1967, hanya disinggung secara umum
dalam pasal I Outer Space Treaty of 1967 yang meletakkan suatu prinsip bahwa
setiap negara bebas mengadakan kegiatan explorasi dan penggunaan ruang
angkasa luar.
Tetapi kebebasan tersebut tidak berarti tanpa persyaratan. Explorasi dan
penggunaan ruang angkasa harus dilakukan untuk kemanfaatan bagi semua
negara. Demikian pula kegiatan tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan
kepentingan" ngara anggota lainnya, memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama
134
135
5. BAB V
PENUTUP
5.1
No
1.
Topik
Jenis Informasi
2.
Penyelenggara
Informasi
Geospasial
Dasar
3.
Permasalahan
Perencanaan penataan ruang dan
kebijakan-kebijakan terkait keruangan
memerlukan data dan Informasi
Geospasial Tematik beragam. Untuk
memenuhi keperluan ini berbagai
instansi pemerintah cenderung
membuat Informasi Geospasial dari
awal, yaitu dengan membuat Informasi
Geospasial dasar. Ini mengakibatkan
pemborosan anggaran yang besar.
Sementara itu keakuratan informasi
dasar ini pun seringkali tidak standar.
Akibatnya berbagai informasi tematik
yang dibuat tidak dapat
ditumpangtindihkan dalam analisa.
Akibatnya kualitas perencanaan dan
kebijakan menjadi rendah.
Solusi Pengaturan
Jenis Informasi
Geospasial dibagi
menjadi Informasi
Geospasial Dasar dan
Informasi Geospasial
Tematik. Mengingat
peran krusial yang
dimilikinya, Informasi
Gespasial Dasar mesti
dijelaskan dengan
detil. Untuk menjamin
integritas informasi,
posisi dan ketelitian
geometris Informasi
Geospasial Tematik
harus mengacu pada
Informasi Geospasial
Dasar.
Mesti dibentuk atau
dikukuhkan suatu
Badan yang
berkewajiban
menyelenggarakan
Informasi Geospasial
Dasar.
136
No
4.
5.
6.
Topik
Permasalahan
batas yang digambar di atas peta diberi
kejelasan status hukumnya, dan harus
makin banyak data batas wilayah yang
telah memiliki kepastian hukum.
Hal yang sama juga terjadi pada
Informasi Geospasial Tematik. Batasbatas kawasan pengelolaan hutan,
pertambangan dan, yang saat ini
menjadi perbincangan ilmiah, batas
pengelolaan kawasan pantai (marine
cadaster) mesti diperjelas siapa yang
berwenang menentukannya.
Penyelenggara Ineffisiensi anggaran juga sering terjadi
Informasi
karena adanya duplikasi pembuatan
Gespasial
Informasi Geospasial Tematik tertentu.
Tematik.
Tidak jarang ketidakjelasan instansi
mana yang bertugas membuat
informasi apa, menyebabkan konflik di
lapangan ketika harus memutuskan
informasi mana yang dijadikan acuan,
contohnya konflik perijinan lokasi /
kawasan pengelolaan hutan yang
dikeluarkan Kementerian Kehutanan
dan Pemda setempat.
Perijinan
Seringkali pelaksanaan pengumpulan
Survei
data geospasial terhambat proses
perijinan yang tidak jelas dan panjang
(harus melalui berbagai instansi
berbeda). Akibatnya pembuatan
informasi menjadi lambat dan dunia
usaha bidang Informasi Geospasial pun
jadi lambat perkembangannya. Di sisi
lain, mesti ada perlindungan atau
jaminan bagi keselamatan para
surveior pengumpul data lapangan,
sebab tidak jarang mereka harus
memasuki kawasan-kawasan yang
sedang dilanda konflik sosial, kawasan
yang rawan bencana, atau kawasan
berbahaya lainnya.
Sementara itu Informasi Geospasial
pun menjadi informasi penting dalam
masalah kebijakan geopolitik dunia,
terutama terkait masalah pemenuhan
energi dan sumber daya alam.
Karenanya diperlukan pengamanan
Informasi Geospasial Tematik penting
yang hanya dapat dikumpulkan lewat
survei lapangan.
Perangkat
Pemanfaatan software proprietary telah
Lunak Bebas menyebabkan tiga hal:
Terbuka
pemborosan sumber daya finansial
untuk membeli lisensi dan berarti
juga pemborosan devisa;
Solusi Pengaturan
Pengolahan data
geospasial mesti
menggunakan
perangkat lunak yang
bersifat bebas dan
137
No
8.
Topik
Permasalahan
ketergantungan yang tinggi
terhadap vendor software dari luar
negeri yang apabila vendor ini
hilang dari peredaran menyebabkan
seluruh sistem tidak dapat lagi
diteruskan, karena tidak tersedia
source code yang dapat diteruskan
oleh siapapun;
menghambat kreativitas dan
kemandirian teknologi dari anak
bangsa.
Sifat Terbuka Kesan yang ada di masyarakat seakanInformasi
akan data dan Informasi Geospasial
Geospasial
bersifat rahasia. Berbagai instansi
pemerintah yang menghasilkan
Informasi Geospasial seperti peta
sangat sulit untuk dimintai informasi
tersebut, baik oleh instansi lain apalagi
oleh masyarakat. Akibat dari ini
semua:
suatu instansi yang ingin
menggunakan Informasi Geospasial
dari instansi pemerintah lainnya
kadang-kadang harus melalui
prosedur yang berbelit (tidak jelas),
atau harus membelinya dengan
harga mahal sehingga terjadi
anggaran berulang yang
menjadikan APBN tidak efisien.
berbagai instansi akhirnya bahkan
mengadakan informasi sendirisendiri, pada lokasi yang sama,
sehingga sangat boros sumber
daya keuangan nasional (APBN).
berbagai instansi tidak
menggunakan Informasi Geospasial
yang sama, akibatnya koordinasi
antar instansi sangat sulit,
akibatnya pemborosan anggaran
pembangunan dalam skala ekonomi
yang lebih besar.
perbedaan informasi dan sulitnya
akses atas data dan informasi
membuat masyarakat kesulitan,
atau ragu untuk menggunakan peta
yang mana; akibatnya tingkat melek
peta dan tingkat penggunaan peta
di masyarakat Indonesia termasuk
sangat rendah; ini berdampak pada
mobilitas yang kurang cerdas,
seperti tidak tahu jalan alternatif,
sehingga menumpuk di rute-rute
tertentu, dan akibatnya macet,
Solusi Pengaturan
terbuka (free and open
source). Pemerintah
bahkan seharusnya
memberikan insentif
kepada pihak-pihak
yang memajukan
perang lunak bebasterbuka untuk
memajukan teknologi
Informasi Geospasial
secara umum.
Informasi Geospasial
Dasar mesti bersifat
terbuka. Informasi
Geospasial Tematik
yang dibuat instansi
pemerintah juga pada
prinsipnya terbuka.
Hanya informasi
tertentu yang
dikecualikan dari sifat
terbuka ini didasarkan
peraturan perundangundangan tertentu.
138
No
9.
10.
11.
Topik
Permasalahan
hingga partisipasi pengawasan
pembangunan yang rendah,
misalnya karena tidak tahu peta tata
ruang atau peta kebencanaan di
daerahnya.
pada sisi lain, informasi yang
semestinya dapat diakses publik
tetapi diperlakukan seperti rahasia
ini membuat banyak data dan
informasi hanya menumpuk di
lemari atau di hard disk tanpa diberi
nilai tambah.
Jaminan Hak Tidak semua orang yang ingin
untuk
memperoleh Informasi Geospasial
Mengetahui
bahkan yang paling asasipun akan
Keberadaan
dapat memperolehnya dengan mudah
dan
dan murah. Ketika seseorang datang
Memperoleh
ke kantor kecamatan, hanya untuk
Informasi
melihat peta wilayah kecamatan itu
Geospasial
atau ingin mengetahui sebaran
penduduk atau masjid, maka petugas
sering meminta membawa surat
pengantar. Jika ini terjadi pada
masyarakat awam, tentu mereka tidak
tahu harus meminta surat pengantar ke
mana? Mereka ingin memperoleh
informasi untuk kenyamanan hidupnya,
bukan untuk dalam rangka membuat
skripsi, berinvestasi bisnis, atau
mempersiapkan diri ikut pilkada.
Kepastian
Orang menggunakan data tanpa
tentang
mengetahui kualitasnya, sehingga
Kualitas
sering berharap lebih dari apa yang
Informasi
disediakan data tersebut. Ada orang
bernavigasi di dalam kota dengan peta
skala 1:100.000, yang kesalahan baca
1 cm berarti 1 km di lapangan. Ada
orang mengukur posisi tanahnya
dengan GPS, tetapi
membandingkannya dengan peta tata
guna hutan kesepakatan (TGHK) skala
1:500.000, yang akurasi
penggambarannya saja sudah
memungkinkan salah 500 meter.
Sertifikasi
Saat ini praktis hanya ada registrasi
Badan Usaha
umum sebagaimana lazimnya setiap
perusahaan. Belum ada registrasi yang
khusus berlaku untuk mengawasi
kompetensi dan kualitas perusahaan
yang bergerak dalam survei / pemetaan
/ Informasi Geospasial, misalnya
menyangkut SDM, peralatan maupun
trackrecord. Akibatnya, siapapun dapat
mendirikan perusahaan jasa
Solusi Pengaturan
Penyebarluasan
Informasi Geospasial,
termasuk
pengumumannya,
mesti dilakukan
dengan luas dengan
memanfaatkan
berbagai sarana
informasi dan
komunikasi mutakhir.
Pengguna Informasi
Geospasial berhak
mengetahui kualitas
informasi yang
diperolehnya. Artinya
pembuat informasi
wajib memberitahukan
kualitas informasi yang
dibuatnya.
139
No
Topik
12.
Sertifikasi
Kompetensi
SDM
13.
IDSN
14.
Integrasi
INFORMASI
GEOSPASIAL
Tematik
Permasalahan
survei/pemetaan/Informasi Geospasial.
Hal ini dapat merugikan konsumen dan
bahkan membahayakan keselamatan
umum, bila itu terkait survei atau peta
yang digunakan untuk membangun
fasilitas umum seperti jembatan atau
tanggul penahan banjir. Kalau peta
kontur yang diturunkan dari peta
1:10.000 dipakai untuk desain tanggul
penahan banjir, maka kesalahan
tanggul akibat toleransi kesalahan
vertikal pada peta 1:10.000 adalah
sekitar 1-2 meter.
Saat ini praktis siapapun dapat
mengklaim dirinya surveior atau praktisi
remote sensing atau GIS dan lain-lain.
Untuk SDM-nya, perusahaan jasa
pemetaan juga sering merekrut lulusan
SMA atau S1 ilmu-ilmu yang tidak
relevan, dan hanya menambah dengan
training singkat yang sebenarnya
kurang memadai, lalu dalam CV yang
bersangkutan langsung disematkan
julukan GIS-specialist atau Remote
Sensing expert. Hal ini juga sangat
membahayakan konsumen.
Pertukaran dan penggunaan Informasi
Geospasial masih sangat lambat.
Padahal saat ini teknologi informasi dan
komukasi sudah sedemikian maju dan
merasuki sendi-sendi kehidupan praktis
masyarakat, misalnya lewat
penggunaan mobile-phone yang
semakin mengintegrasikan berbagai
informasi, termasuk Informasi
Geospasial, dengan memasukkan
berbagai konten geografi dan
penggunaan penerima GPS.
Data-data tematik seperti data
pertanahan (BPN), kehutanan,
pertanian, ESDM, PU, DKP dan
sebagainya, meski bertolak dari peta
dasar yang sama, kadang-kadang tetap
saja secara tematik tumpang tindih,
karena dibuat dengan filosofi yang
berbeda. Tidak adanya lembaga yang
secara jelas bertugas dan berwenang
untuk mengintegrasikan berbagai
informasi tematik itu membuat bingung
pengguna peta, terutama di daerah.
Hal ini sangat krusial bila menyangkut
perizinan, misalnya suatu daerah sudah
diberi izin pertambangan berdasarkan
peta yang dikeluarkan DESDM, namun
Solusi Pengaturan
diproduksinya.
SDM pelaksana
produksi Informasi
Geospasial mesti
memenuhi kualifikasi
dan sertifikat
kompetensi dari
lembaga yang
berwenang.
140
No
15.
16.
5.2
Topik
Permasalahan
ternyata pada petanya Kementerian
kehutanan itu adalah hutan lindung.
Akibatnya fatal: mulai dari
ketidakpastian investasi, kemarahan
masyarakat adat, hingga tuduhan
pelanggaran hukum yang sebenarnya
berawal dari peta yang tidak sinergis.
Informasi
Banyak perencanaan kebijakan dan
Geospasial
evaluasi program, pemerintah terkait
dalam
keruangan yang masih belum
Penentuan
menggunakan Informasi Geospasial
Kebijakan yang yang tepat. Akibatnya perencanaan dan
Berhubungan
evaluasi tersebut menjadi lemah,
dengan
karena kehilangan konteks keruangan.
Keruangan
Sebaliknya berbagai studi di luar negeri
telah membuktikan effisiensi anggaran
pembangunan ketika dipandu Informasi
Geospasial yang baik.
Kebijakan
Penampakan unsur-unsur rupabumi
terkait
bias berubah drastis ketika terjadi
penanganan
bencana alam, perang, dan lain-lain.
bencana
Selain itu saat terjadi kondisi di atas,
diperlukan akses terhadap semua
Informasi Geospasial yang ada, baik
yang dimiliki instansi pemerintah,
pemerintah daerah ataupun yang
dimiliki badan usaha dan perorangan.
Solusi Pengaturan
Instansi pemerintah
dan pemerintah daerah
diwajibkan untuk
menggunakan
Informasi Geospasial
dalam kebijakan terkait
masalah keruangan.
KESIMPULAN
Semua materi muatan yang ada dalam Naskah Akademik ini diatur dalam
untuk
sebesar-besar
kemakmuran
rakyat
sebagaimana
diamanatkan amanat UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3,4 dan 5, memerlukan peta
dan Informasi Geospasial untuk menunjukkan lokasi dan sebaran potensinya.
141
142
tidak efektif dan tidak transparan, juga duplikasi kegiatan yang tidak
bermanfaat dan mengakibatkan pemborosan anggaran maka diperlukan
pengaturan yang baik.
7. Bahwa agar masyarakat mendapatkan pelayanan prima dari pemerintah
(good-governance) diperlukan peta dan Informasi Geospasial yang akurat dan
mutakhir.
8. Bahwa untuk penanggulangan bencana alam yang sangat banyak dan
beragam di Indonesia dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia
dan aset-aset nasional hasil pembangunan diperlukan peta dan Informasi
Geospasial yang berkualitas.
9. Bahwa untuk melakukan penataan ruang yang terpadu, terukur dan
berkelanjutan diperlukan peta dan Informasi Geospasial yang berkualitas.
Pengaturan umum telah dituangkan pada Undang-Undang nomor 26/2007
tentang Penataan Ruang. Keterpaduan dalam penyelenggaraan penataan
ruang sudah lama menjadi isu antar daerah baik itu di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota, dalam meng-implementasikan substansi dari tata ruang
tingkat nasional maupun tingkat provinsi. Terlebih lagi dengan adanya Undangundang yang mengatur kepemerintahan daerah. Seringkali kawasan yang
seharusnya mempunyai peruntukan sama di tingkat provinsi maupun nasional,
diimplementasikan lain di tingkat kabupaten/kota yang bertetanggaan. Konsep
keterpaduan dalam penyelenggaraan penataan ruang ini akan menjadi lebih
mudah apabila Informasi Geospasial yang mempunyai referensi sama
digunakan oleh dua atau lebih daerah yang bertetanggaan. Sehingga
pembangunan di daerah pun akan menjadi selaras dengan kebijakan di tingkat
nasional. Kualitas peta dan Informasi Geospasial dalam hal ini sangat penting,
baik itu secara geometris maupun substansi. Sehingga keterpaduan dalam
penyelenggaraan penataan ruang dapat dipantau.
10. Bahwa untuk mendorong iklim investasi sehingga calon investor dapat optimal
memilih atau meletakkan obyek investasi yang sesuai dengan pertimbangan
lokasi, kedekatan dengan sumber daya alam, ketersediaan sumber daya
manusia dan akses infrastruktur diperlukan peta dan Informasi Geospasial.
143
5.3
SARAN
1. Semua materi muatan yang ada dalam Naskah Akademik ini disarankan diatur
dalam bentuk undang-undang dikarenakan mengatur tentang hak dan
kewajiban warga negara, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undangundang nomor 10 tahun 2004 tentanmg Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
2. Sambil menunggu Keputusan DPR RI tentang Daftar Prolegnas RUU Prioritas
tahun 2010, berdasarkan Surat Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor: PHN.HN.01.01 175,
hal: Penyampaian Daftar Prolegnas 2010-2014 dan Prolegnas Prioritas tahun
2010, tanggal 8 Desember 2009, dimana RUU tentang Informasi Geospasial
tercantum pada nomor 57, maka disarankan untuk dapat kiranya dibahas
bersama antara DPR-Ri dengan Pemerintah sesuai dengan tata cara dan
prosedur yang berlaku.
3. Untuk
mengantisipasi
berlakunya
undang-undang
tentang
Informasi
Rancangan
Peraturan
Pemerintah,
dan
Rancangan
Peraturan Presiden.
-0-
144
LAMPIRAN
145