Anda di halaman 1dari 150

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

TENTANG

INFORMASI GEOSPASIAL

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI---------------------------------------------------------------------------- i
1. BAB I PENDAHULUAN -------------------------------------------------------- 1
1.1 LATAR BELAKANG --------------------------------------------------------------------- 1
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH ------------------------------------------------------------- 3
1.2.1 Permasalahan Utama --------------------------------------------------------- 3
1.2.1.1 Informasi Geospasial ------------------------------------------------ 3
1.2.1.2 Kelembagaan ---------------------------------------------------------- 7
1.2.1.3 Profesi ------------------------------------------------------------------- 7
1.2.1.4 Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK) ------------------------------------------------------------------ 8
1.2.2 Problema Terkait Aplikasi Informasi Geospasial Di Indonesia ----- 9
1.2.2.1 Pengelolaan Sumber Daya Alam--------------------------------- 9
1.2.2.2 Penjagaan Keutuhan Wilayah NKRI -------------------------- 11
1.2.2.3 Jaminan Memperoleh Informasi Geospasial ---------------- 15
1.2.2.4 Pengembangan Iptek dan Sumber Daya Manusia -------- 18
1.2.2.5 Efisiensi --------------------------------------------------------------- 20
1.2.2.6 Pelayanan Publik --------------------------------------------------- 22
1.2.2.7 Penanggulangan Bencana --------------------------------------- 26
1.2.2.8 Penataan Ruang ---------------------------------------------------- 28
1.2.2.9 Mendorong Investasi Ekonomi ---------------------------------- 32
1.2.2.10 Perubahan Iklim Global (Global Climate Change) ------- 35
1.2.2.11 Sistem Informasi Pajak Bumi dan Bangunan ------------- 36
1.2.2.12 Kemiskinan dan Ketahanan Pangan ------------------------ 36
1.3 TUJUAN DAN KEGUNAAN ----------------------------------------------------------38
1.4 METODE PENELITIAN ---------------------------------------------------------------38

2. BAB II ASAS-ASAS ----------------------------------------------------------- 41


2.1 ASAS KEPASTIAN HUKUM ---------------------------------------------------------41
2.2 ASAS KETERPADUAN ---------------------------------------------------------------41
2.3 ASAS KETERBUKAAN ---------------------------------------------------------------42
2.4 ASAS KEMUTAKHIRAN --------------------------------------------------------------43
2.5 ASAS KEAKURATAN -----------------------------------------------------------------43

3. BAB III MATERI MUATAN -------------------------------------------------- 44


3.1 PENDAHULUAN ------------------------------------------------------------------------44
3.2 JENIS INFORMASI GEOSPASIAL ------------------------------------------------45
3.2.1 Informasi Geospasial Dasar ------------------------------------------------45
3.2.1.1 Kandungan Informasi Geospasial Dasar --------------------- 46
3.2.1.2 Cakupan dan Skala Informasi Geospasial Dasar ---------- 50
3.2.1.3 Pemutakhiran Informasi Geospasial Dasar------------------ 51
3.2.1.4 Spesifikasi Informasi Geospasial Dasar ---------------------- 51
3.2.2 Informasi Geospasial Tematik ---------------------------------------------52
3.2.2.1 Pembuatan Informasi Geospasial Tematik ------------------ 54
ii

3.2.2.2 Skala Informasi Geospasial Tematik -------------------------- 54


3.2.2.3 Informasi Geospasial Tematik Berkekuatan Hukum ------ 54
3.2.2.4 Pembuatan Informasi Geospasial Tematik untuk
Pemutakhiran Informasi Geospasial Dasar ------------------ 55
3.3 PENYELENGGARA INFORMASI GEOSPASIAL ------------------------------56
3.3.1 Penyelenggara Informasi Geospasial Dasar --------------------------56
3.3.2 Penyelenggara Informasi Geospasial Tematik ------------------------57
3.3.2.1 Informasi Geospasial Tematik di Tingkat Daerah ---------- 59
3.3.2.2 Kerjasama Penyelenggaraan Informasi Geospasial
Tematik ---------------------------------------------------------------- 59
3.3.2.3 Integrasi Informasi Geospasial Tematik ---------------------- 60
3.4 PENYELENGGARAAN INFORMASI GEOSPASIAL --------------------------60
3.4.1 Pengumpulan Data -----------------------------------------------------------60
3.4.1.1 Metoda Pengumpulan Data -------------------------------------- 60
3.4.1.2 Pembakuan dalam Pengumpulan Data ---------------------- 61
3.4.1.3 Perizinan Pengumpulan Data ----------------------------------- 62
3.4.2 Pengolahan Data dan Informasi Geospasial---------------------------63
3.4.2.1 Perangkat Pengolah Data dan Informasi Geospasial----- 63
3.4.2.2 Pengolahan di Luar Negeri -------------------------------------- 64
3.4.2.3 Tahapan Pengolahan --------------------------------------------- 65
3.4.3 Penyimpanan dan Pengamanan Data dan Informasi
Geospasial ----------------------------------------------------------------------66
3.4.3.1 Penyimpanan Data dan Informasi Geospasial ------------- 66
3.4.3.2 Pengamanan Informasi Geospasial --------------------------- 67
3.4.4 Penyebarluasan Informasi Geospasial ----------------------------------67
3.4.4.1 Keterbukaan Informasi Geospasial ---------------------------- 67
3.4.4.2 Insentif Untuk Mendorong Penyebarluasan Informasi
Geospasial ----------------------------------------------------------- 68
3.4.4.3 Jaringan Informasi Geospasial sebagai sarana
pertukaran dan penyebarluasan -------------------------------- 68
3.4.4.4 Pengesahan Informasi Geospasial berkekuatan hukum
sebelum disebarluaskan ------------------------------------------ 69
3.4.5 Penggunaan Informasi Geospasial ---------------------------------------69
3.4.5.1 Kebijakan tentang Harga dan Kualitas Informasi ---------- 70
3.4.5.2 Informasi Geospasial dalam proses pengambilan
kebijakan terkait keruangan dan kebencanaan------------- 71
3.4.6 Infrastruktur Penyelenggaraan Informasi Geospasial ---------------72
3.5 PELAKSANA INFORMASI GEOSPASIAL ---------------------------------------73
3.5.1 Registrasi Badan Usaha ----------------------------------------------------74
3.5.2 Sertifikasi Profesi --------------------------------------------------------------74
3.6 PEMBINAAN -----------------------------------------------------------------------------76
3.7 KETENTUAN SANKSI-----------------------------------------------------------------77
3.7.1 Tentang Perbuatan Yang Dikenai Sanksi ------------------------------77
3.7.1.1 Pengertian Hukum Pidana --------------------------------------- 77
3.7.2 Tentang Sanksi Pemidanaan Dan Denda -----------------------------78
3.8 KETENTUAN PERALIHAN ----------------------------------------------------------83
3.8.1 Aturan Peralihan Terkait Dengan Penyelenggara Informasi
Geospasial ----------------------------------------------------------------------83
3.9 ATURAN PERALIHAN TERKAIT DENGAN BADAN --------------------------85
3.10 KETENTUAN PENUTUP -----------------------------------------------------------86
iii

4. BAB IV KETERKAITAN DENGAN HUKUM POSITIF --------------- 88


4.1 KETERKAITAN DENGAN HUKUM POSITIF -----------------------------------88
4.1.1 Undang-Undang Dasar 1945 ----------------------------------------------88
4.1.1.1 Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 ------------------- 88
4.1.1.2 Pasal 33 ayat (3)---------------------------------------------------- 89
4.1.1.3 Pasal 25A ------------------------------------------------------------- 89
4.1.1.4 Pasal 28F ------------------------------------------------------------- 90
4.1.2 Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan
Presiden--------------------------------------------------------------------------91
4.1.2.1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun
2008 Tentang Wilayah Negara. --------------------------------- 91
4.1.2.2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
1996 tentang Perairan Indonesia ------------------------------- 92
4.1.2.3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1973 tentang
Perjanjian Antara Indonesia dan Australia Mengenai
Garis-Garis Batas Tertentu Antara Indonesia dan Papua
New Guinea ---------------------------------------------------------- 93
4.1.2.4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1973 tentang
Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik
Singapura mengenai garis Batas laut Wilayah kedua
Negara di Selat Singapura --------------------------------------- 94
4.1.2.5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005 2025 ------------------------------------ 95
4.1.2.6 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang ---------------------------------------------------- 96
4.1.2.7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah ---------------------------- 98
4.1.2.8 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak
Cipta. ------------------------------------------------------------------ 100
4.1.2.9 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik ---------------------------------- 104
4.1.2.10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan ----------------------------------------- 106
4.1.2.11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan ---------------------------------------- 107
4.1.2.12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ------------------------- 107
4.1.2.13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria---- 109
4.1.2.14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan PulauPulau Kecil ---------------------------------------------------------- 110
4.1.2.15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air -------------------------------- 111
4.1.2.16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup ------------------------------------------------- 112
4.1.2.17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
iv

Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan


Teknologi ------------------------------------------------------------ 113
4.1.2.18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2009 Tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat Di
Provinsi Papua Barat --------------------------------------------- 114
4.1.2.19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik-------- 115
4.2 KETERKAITAN DENGAN KONVENSI INTERNASIONAL ---------------- 116
4.2.1 United Nations Convention on the Law of the Sea ----------------- 116
4.3 CONVENTION ON INTERNASIONAL CIVIL AVIATION------------------- 131
4.4 TREATY ON PRINCIPLES GOVERNING THE ACTIVITIES OF
STATES IN THE EXPLORATION AND USE OF OUTER SPACE ---- 131
4.5 ASPEK-ASPEK HUKUM PENGINDERAAN JAUH -------------------------- 132
4.5.1 Sarana Remote Sensing -------------------------------------------------- 132
4.5.2 Hukum Yang Berlaku------------------------------------------------------- 132
4.5.3 Hukum yang berlaku terhadap RSS (Remote Sensing by
Satellite). ----------------------------------------------------------------------- 134

5. BAB V PENUTUP-------------------------------------------------------------136
5.1 RINGKASAN PERMASALAHAN DAN SOLUSI PENGATURAN ------ 136
5.2 KESIMPULAN ----------------------------------------------------------------------- 141
5.3 SARAN -------------------------------------------------------------------------------- 144

LAMPIRAN-------------------------------------------------------------------------145

1. BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Informasi Geospasial, yang lazim dikenal dengan peta, adalah informasi
obyek permukaan bumi yang mencakup aspek waktu dan keruangan. Pengertian
geo dalam geospasial, berarti geosfer yang mencakup atmosfer (lapisan udara
yang meliputi permukaan bumi), litosfer (lapisan kulit bumi), pedosfer (tanah
beserta pembentukan dan zona-zonanya, sebagai bagian dari kulit bumi),
hidrosfer (lapisan air yang menutupi permukaan bumi dalam berbagai bentuknya),
biosfer (segenap unsur di permukaan bumi yang membuat kehidupan dan proses
biotik berlangsung) dan antroposfer (manusia dengan segala aktivitas yang
dilakukannya di permukaan bumi)1.
Informasi terkait dengan geografi mencakup tiga pengertian 1) informasi
tentang lokasi di permukaan bumi; 2) informasi tentang terdapatnya suatu obyek
di bumi yang bersifat fisik (atmosfer, litosfer, pedosfer, hidrosfer dan biosfer)
ataupun non-fisik dan budi daya hasil kreasi manusia (antroposfer); 3) informasi
tentang apa yang berada pada suatu lokasi tertentu. Dengan demikian pengertian
geografi tidak hanya menunjukkan lokasi di permukaan bumi, tetapi juga terkait
sumber daya dan lingkungan hidup manusia.
Pengertian Informasi Geospasial tersebut di atas amat erat kaitannya
dengan salah satu syarat terbentuknya sebuah negara yaitu adanya wilayah yang
berkonotasi teritorial. Wilayah merupakan salah satu syarat utama terbentuknya
suatu negara, dalam pengertian tersedianya obyek yang ada di permukaan bumi
dengan lokasi yang pasti dan batas-batas yang diakui berdasarkan peraturan
yang berlaku.
Informasi Geospasial merupakan bagian penting dalam mewujudkan sistem
informasi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung sektor publik dalam

Peter Hagget, 1978, Geography: Modern Synthesis dan R. Bintarto dan Surastopo Hadisumarno,
1982, Metode Analisis Geografi, LP3ES.

melaksanakan proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan,


baik pada pemerintahan tingkat pusat maupun tingkat daerah, dan juga pada
sektor perorangan dan kelompok orang. Informasi Geospasial menjadi komponen
penting dalam mendukung pengambilan keputusan.
Peran Informasi Geospasial semakin penting dalam pembangunan, namun
masih banyak permasalahan yang muncul karena belum adanya peraturan
perundang-undangan yang khusus mengatur tentang Informasi Geospasial.
Pentingnya undang-undang tentang Informasi Geospasial adalah usaha untuk
menjadikan Informasi Geospasial menjadi program di setiap instansi pemerintah
dan tanggung jawab masyarakat, agar penyelenggaraannya menjadi sistematis
dan berkelanjutan.
Undang-Undang tentang Informasi Geospasial ini diharapkan menjadi aturan
yang mengikat bagi seluruh pemangku kepentingan, sehingga dapat dimanfaatkan
untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keberlangsungan

penyelenggaraan

Informasi

Geospasial

memerlukan

dukungan dari berbagai pihak, yaitu Pemerintah, pemerintah daerah, dan


masyarakat yang menjadi penyelenggara Informasi Geospasial. Keberlangsungan
penyelenggaraan

Informasi

Geospasial

sangat

erat

kaitannya

dengan

ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas, dan perkembangan ilmu


pengetahuan, teknologi, dan sosial (IPTEKS).
Pengaturan tentang Informasi Geospasial mendesak untuk dilakukan sejalan
dengan meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat dan kemajuan teknologi
yang sangat pesat, masyarakat secara umum semakin menyadari makna penting
dari sebuah informasi. Informasi Geospasial sekarang sudah muncul dalam
berbagai ragam bentuk dan kemanfaatannya, seperti tersedianya berbagai
Informasi Geospasial yang dapat diakses melalui jaringan internet pada komputer
atau telepon seluler. Hak masyarakat, baik perorangan maupun badan usaha,
untuk

mendapatkan

Informasi

Geospasial

yang

benar

dan

dapat

memanfaatkannya untuk keperluan masyarakat harus terjamin. Di sisi lain harus


ada kejelasan tentang kewajiban masyarakat terkait penyelenggaraan Informasi
Geospasial.

Pada umumnya sebuah undang-undang disiapkan dengan maksud untuk


menjawab berbagai permasalahan nasional. Sebuah undang-undang juga dibuat
untuk menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban masyarakat dalam berbagai hal.
Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang tentang Informasi Geospasial ini
diajukan, agar dapat menjadi solusi bagi berbagai permasalahan Bangsa
Indonesia yang sangat terkait dengan Informasi Geospasial baik secara langsung
maupun tidak langsung.

1.2 IDENTIFIKASI MASALAH


1.2.1 Permasalahan Utama
Permasalahan utama yang dihadapi, yang memerlukan pengaturan dalam
bentuk norma-norma dalam Undang-Undang mencakup 4 (empat) kelompok
utama, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan:
1. Informasi Geospasial;
2. Kelembagaan;
3. Profesi; dan
4. Ilmu pengetahuan dan teknologi.
1.2.1.1 Informasi Geospasial
Pokok permasalahan yang berkaitan dengan Informasi Geospasial, antara
lain:
1. Informasi Geospasial belum tersedia secara lengkap dan mutakhir
Belum lengkapnya Informasi Geospasial yang tersedia secara nasional
terkait erat dengan prioritas pembangunan, ketersediaan anggaran dalam
pengadaannya, dan belum ada aturan yang tegas untuk menugaskan
pemerintah dalam menyediakan Informasi Geospasial secara lengkap yang
mencakup seluruh wilayah NKRI. Pengertian lengkap di sini adalah
sistematik secara nasional dengan kualitas informasi yang sama dan
berkelanjutan. Ketidaklengkapan Informasi Geospasial secara nasional
mengakibatkan kualitas perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan
menjadi tidak merata. Implikasi sosial yang dapat dirasakan adalah

perbedaan tingkat kesejahteraan. Permasalahan informasi yang tidak


lengkap ini tentu erat kaitannya dengan kemuktahiran informasi, yang
diperlukan dalam mendukung pembangunan.
2. Informasi Geospasial belum terintegrasi secara nasional
Permasalahan mendasar tentang Informasi Geospasial terintegrasi terkait
sebagai berikut.
a. Penyelenggaraan Informasi Geospasial belum seluruhnya merujuk pada
satu sistem referensi nasional, peta dasar yang sama atau satu
Informasi Geospasial Dasar.
b. Belum adanya jaminan tentang kualitas Informasi Geospasial. Misalnya
seseorang menggunakan data (tanpa mengetahui kualitasnya), sering
berharap lebih dari apa yang disediakan oleh data tersebut. Seseorang
bernavigasi di dalam kota dengan menggunakan peta skala 1:100.000,
berarti berpotensi memiliki kesalahan baca 1 cm sama dengan 1 km di
lapangan. Seseorang yang mengukur posisi tanahnya dengan Global
Positioning System (GPS), membandingkannya dengan peta Tata Guna
Hutan

Kesepakatan

(TGHK)

skala

1:500.000,

akurasi

penggambarannya memungkinkan salah dan geser 5 km. Dengan


demikian dapat dikatakan bahwa tidak adanya jaminan kualitas
Informasi Geospasial dapat merugikan penggunanya.
c. Pertukaran dan penggunaan Informasi Geospasial masih sangat
lambat. Saat ini teknologi informasi dan komunikasi sudah sedemikian
maju dan merasuki sendi-sendi kehidupan praktis masyarakat, misalnya
melalui penggunaan mobile-phone yang mengintegrasikan berbagai
informasi, termasuk

Informasi Geospasial,

dengan

memasukkan

berbagai konten geografi dan penggunaan penerima GPS.


d. Data-data tematik seperti data pertanahan, kehutanan, pertanian,
mineral, tata ruang, kelautan, perikanan dan sebagainya, walaupun
menggunakan peta dasar yang sama, ada kemungkinan tetap saja
secara tematik tumpang tindih, karena dibuat dengan acuan yang
berbeda.

Tidak adanya lembaga yang secara jelas bertugas dan

berwenang untuk mengintegrasikan berbagai informasi tematik itu

membuat rancu pengguna peta, terutama di daerah, apalagi hal


tersebut menyangkut perijinan, misalnya suatu daerah sudah diberi izin
pertambangan, namun ternyata pada peta yang lama adalah hutan
lindung.

Akibatnya

dapat

menimbulkan

ketidakpastian

investasi,

terjadinya konflik antar sektor, kemarahan masyarakat adat, hingga


pelanggaran hukum yang sebenarnya berawal dari peta yang tidak
sinergis.
e. Di samping keempat butir tersebut di atas, permasalahan standardisasi
dalam semua aspek Informasi Geospasial perlu dilakukan penyusunan
pengaturannya.
3. Informasi Geospasial belum dapat diakses dengan mudah
Aksesibilitas merupakan aspek yang berhubungan langsung dengan hak
masyarakat atau publik dan juga instansi pemerintah. Permasalahan akses
bersumber dari:
a. ketersediaan Infrastruktur; dan
b. klasifikasi Informasi Geospasial yang belum jelas mana yang dapat
bersifat terbuka maupun tertutup (rahasia).
Kesan yang ada di masyarakat menunjukkan bahwa seakan-akan data dan
Informasi Geospasial bersifat rahasia. Berbagai instansi pemerintah yang
menghasilkan Informasi Geospasial sangat sulit untuk memberikan
informasinya kepada masyarakat bahkan kepada instansi lain. Akibat dari
hal tersebut di atas maka:
suatu instansi yang ingin menggunakan Informasi Geospasial dari
instansi pemerintah lainnya harus melalui prosedur yang berbelit (tidak
jelas), atau harus membelinya dengan harga mahal.
berbagai instansi akhirnya menyelenggarakan pengadaan Informasi
Geospasial masing-masing pada lokasi yang sama, terjadi pengulangan
pengadaan sehingga terjadi pemborosan dan merugikan keuangan
negara.
berbagai instansi tidak menggunakan Informasi Geospasial yang sama,
akibatnya integrasi data spasial tidak mudah dan koordinasi antar
instansi sangat sulit, akibatnya pemborosan anggaran pembangunan

dalam skala ekonomi yang lebih besar.


perbedaan informasi dan sulitnya akses atas data dan informasi
membuat masyarakat kesulitan, atau ragu untuk menggunakan peta
yang mana; akibatnya tingkat melek peta dan tingkat penggunaan peta
di masyarakat Indonesia termasuk sangat rendah. Hal ini berdampak
pada mobilitas yang kurang cerdas, seperti tidak tahu adanya jalan
alternatif dalam berkendaraan, sehingga menimbulkan kemacetan lalu
lintas di rute-rute tertentu. Hal lain adalah partisipasi pengawasan
pembangunan yang rendah, misalnya karena tidak paham tentang peta
tata ruang atau peta kebencanaan di daerahnya, maka koordinasi
pengawasan menjadi tidak lancar.
pada sisi lain, informasi yang seharusnya dapat diakses oleh
masyarakat/publik karena dikatagorikan sebagai barang rahasia maka
hal ini dapat membuat banyak data dan Informasi Geospasial hanya
menumpuk di lemari atau di hard disk, sehingga tidak memberikan nilai
tambah bagi masyarakat.
Tidak semua orang yang ingin memperoleh Informasi Geospasial akan
dapat memperolehnya dengan mudah dan murah. Ketika seseorang datang
ke kantor kecamatan, hanya untuk melihat peta wilayah kecamatan atau
ingin mengetahui sebaran penduduk atau lokasi masjid, maka petugas
sering meminta membawa surat pengantar sebagai bukti akses perijinan.
Jika ini terjadi pada masyarakat awam, tentu mereka tidak tahu harus
meminta surat pengantar ke mana dan pada siapa. Mereka ingin
memperoleh informasi untuk kenyamanan hidupnya.
4. Penggunaan Informasi Geospasial masih terbatas
Kesadaran penggunaan Informasi Geospasial bagi perencanaan kebijakan
dan evaluasi program pengelolaan wilayah oleh berbagai pihak termasuk
pemerintah masih belum menggunakan Informasi Geospasial yang tepat.
Akibatnya perencanaan dan evaluasi tersebut menjadi kurang tepat dan
kurang berkualitas karena kehilangan konteks keruangan. Sebaliknya
berbagai studi di luar negeri telah membuktikan adanya efisiensi anggaran
pembangunan ketika berbagai program tersebut dipandu dengan Informasi
Geospasial.
6

1.2.1.2 Kelembagaan
Aspek kelembagaan dalam penyelenggaraan Informasi Geospasial sangat
penting dan menentukan keberhasilan pembangunan secara utuh pada setiap
tingkat pemerintahan. Sebenarnya kewenangan setiap lembaga sudah diatur,
namun demikian dalam implementasinya diperlukan penggunaan kewenangan
yang lebih detil dan konsisten.
Konsistensi dalam penggunaan kewenangan dapat dilakukan apabila ada
penegasan tentang jenis informasi dan institusi mana yang menjadi wali datanya
(Custodianship). Tanpa kejelasan institusi yang bertanggung jawab dan memiliki
kewenangan dalam penyelenggaraan Informasi Geospasial, potensi terjadinya
inefisiensi anggaran dalam pembuatannya akan menjadi besar. Hal ini sering
terjadi karena adanya duplikasi pembuatan Informasi Geospasial Tematik tertentu.
Tidak

jarang

ketidakjelasan

instansi

yang

bertugas

membuat

informasi,

menyebabkan konflik di lapangan ketika harus memutuskan informasi mana yang


dijadikan acuan, contohnya konflik perijinan lokasi/kawasan pengelolaan hutan
dengan Pemda setempat, yang dijumpai di beberapa provinsi.
1.2.1.3 Profesi
Agar keberadaan Informasi Geospasial dipercaya oleh semua pihak,
sumber daya manusia dan badan hukum pelaksana harus memenuhi kriteria dan
standar. Permasalahan sumber daya manusia dan badan usaha pelaksana ini
terkait erat dengan tiga hal berikut:
1. Sertifikasi Personil dan Akreditasi Badan Usaha
2. Standar untuk Kompetensi, dan
3. Implementasi Sertifikasi.
Saat ini praktis hanya ada registrasi umum sebagaimana lazimnya setiap
perusahaan. Belum ada registrasi yang diberlakukan secara nasional untuk
mengawasi kualitas perusahaan yang bergerak dalam survei, pemetaan, Informasi
Geospasial, termasuk kompetensi pelaksana/SDM, peralatan maupun rekam jejak
(track

record).

Akibatnya,

siapapun

dapat

mendirikan

perusahaan

jasa

survei/pemetaan/Informasi Geospasial. Hal ini dapat merugikan konsumen dan


bahkan membahayakan keselamatan umum, bila itu terkait survei atau peta yang

digunakan untuk membangun fasilitas umum seperti jembatan atau tanggul


penahan banjir. Kalau Peta Kontur yang diturunkan dari peta 1:10.000 dipakai
untuk desain tanggul penahan banjir, maka kesalahan tanggul akibat toleransi
kesalahan vertikal pada peta 1:10.000 adalah sekitar 1-2 meter.
Saat ini juga siapapun dapat mengklaim dirinya surveior atau praktisi remote
sensing atau Geographic Information System (GIS) dan lain-lain. Untuk sumber
daya manusianya, perusahaan jasa pemetaan juga sering merekrut lulusan
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau Sarjana dari ilmu-ilmu yang tidak
relevan, dan hanya menambah pengetahuan geospasial dengan pelatihan singkat
yang sebenarnya kurang memadai, dalam Curriculum Vitae (CV)

yang

bersangkutan langsung disematkan julukan GIS-specialist atau Remote Sensing


expert.
Sumber daya manusia pelaksana produksi Informasi Geospasial harus
memenuhi kualifikasi dan sertifikasi kompetensi dari lembaga yang berwenang
dan badan usaha Informasi Geospasial harus disertifikasi kualifikasinya, termasuk
peralatan yang dimilikinya untuk menjamin kualitas Informasi Geospasial yang
dihasilkan.
1.2.1.4 Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan aspek yang saling terkait, di
mana teknologi merupakan wujud dari perkembangan ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat merupakan
salah satu faktor penting yang menggerakkan keberlangsungan Informasi
Geospasial. Perkembangan teknologi harus diikuti dengan penyediaan sumber
daya manusia berkualitas dan berkelanjutan. Konsekuensinya diperlukan tenaga
terdidik, terampil dan berkualitas.
Teknologi

baru

memerlukan

kajian

kelayakan,

penerapan

dan

pengembangan untuk kesesuaian aplikasinya dengan kondisi di Indonesia.


Insentif dalam pengembangan teknologi sendiri sangat kurang bahkan tidak ada.
Akibatnya bangsa Indonesia hanya menjadi pengguna teknologi, sementara
beberapa negara Asia lain sudah begitu maju dalam dunia teknologi geospasial.

1.2.2 Problema Terkait Aplikasi Informasi Geospasial Di Indonesia


1.2.2.1 Pengelolaan Sumber Daya Alam
Sebagaimana diamanatkan pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat
(3), ayat (4) dan ayat (5), Pengelolaan sumber daya alam memerlukan peta dan
Informasi Geospasial untuk menunjukkan lokasi dan sebaran potensinya.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki potensi sumber daya
alam yang besar dan beragam. Negara kita yang jumlah pulaunya lebih dari
17.000 memiliki luas sekitar 1.9 juta km2.
UUD Tahun 1945:
Pasal 33
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan
lingkungan,
kemandirian,
serta
dengan
menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.

Kekayaaan alam laut Indonesia sangat besar. Wilayah lautan Indonesia


memiliki potensi sumber daya ikan 6,7 ton, yakni 2,0 juta ton untuk Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE) Indonesia dan 4,7 juta ton untuk perairan teritorial Indonesia, dan
hanya 62 persen yang dimanfaatkan2. Secara keseluruhan nilai ekonomi total dari
produk perikanan dan produk bioteknologi perairan Indonesia diperkirakan
mencapai 82 miliar dollar AS per tahun3. Dari segi kekayaan non perikanan, luas
terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia adalah lebih dari 60.000 km2,
yang tersebar luas dari perairan Kawasan Barat Indonesia sampai Kawasan Timur
Indonesia. Indonesia merupakan tempat bagi sekitar 1/8 dari terumbu karang
Dunia4.
Di kawasan pesisir, luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75%
dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di

http://www.kapanlagi.com/h/0000067083.html
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0412/15/bahari/1440103.htm
4
http://id.wikipedia.org/wiki/Terumbu_karang
3

dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis


yang tertinggi di dunia5.
Kekayaan alam di daratan juga sangat melimpah. Menurut Statistik
Kehutanan 2001 yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan, luas hutan Indonesia
adalah 109,96 juta hektar6. Luas lahan pertanian Indonesia adalah sekitar 21 juta
hektar7.
Ada beberapa permasalahan dalam pengelolaan sumber daya alam di
Indonesia. inventarisasi data kekayaan alam yang tersedia tidak akurat. Sebagai
contoh jumlah pulau di Indonesia beberapa pihak menghitung dengan metoda
yang berbeda-beda ada yang menghitung jumlah sehingga menjadi 13.667, ada
pula yang menjumlah 17.504. Ada juga yang menyebutkan pulau 17.508 pulau 8.
Seharusnya data dasar tentang jumlah pulau harus pasti sehingga semakin
memperjelas kondisi kekayaan alam Indonesia.
Contoh data yang tidak sinkron adalah tentang luas hutan di Provinsi
Gorontalo9. Beberapa luas hutan yang berbeda adalah 978.385 Ha (Dinas
Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Gorontalo), 826.378 Ha
(BAPPEDA Provinsi Gorontalo), 750.053 Ha (Komite Pusat Pembentukan Provinsi
Gorontalo)

dan

838.297

Ha

(Badan

Planologi

Kehutanan

Kementerian

Kehutanan). Ketidaksamaan luas hutan ini menunjukkan ketidakpastian dalam


pengelolaaan hutan.
Permasalahan berikutnya adalah dalam mendata perubahan sumber daya
alam yang dinamis. Sebagai contoh, degradasi hutan mangrove sekitar 200 ribu
hektar/tahun10. Perubahan fungsi hutan diperkirakan 2-2,4 juta ha per tahun
menjadi kawasan bukan hutan atau setiap satu menit hutan hilang seluas enam
kali lapangan sepakbola11. Konversi penggunaan lahan dari lahan pertanian,
perkebunan

atau

hutan

untuk

pemukiman

juga

terjadi

sejalan

dengan

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0407/06/nas06.html
http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI_&_LINGKUNGAN_KEHUTANAN/INFO
_VI02/VII_VI02.htm
7
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.09.01170223
8
http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/19/12373539/jumlah.pulau.berkurang
9
http://groups.yahoo.com/group/berita-lingkungan/message/4627
10
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0407/06/nas06.html
11
http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI_&_LINGKUNGAN_KEHUTANAN/INFO
_VI02/VII_VI02.htm
6

10

perkembangan suatu wilayah perkotaan. Perubahan lahan tersebut sebaiknya


dipetakan sehingga terlihat perubahannya. Prediksi perubahan lahan dalam
beberapa tahun kedepan dapat diprediksi dan dikendalikan.
Potensi sumber daya alam di laut meliputi wilayah yang berpotensi untuk
pengeboran minyak/gas dan wilayah yang berpotensi untuk budidaya pesisir
seperti untuk pengembangan ikan kerapu dalam keramba jaring apung, terumbu
karang buatan dan budidaya rumput laut. Potensi sumber daya alam darat
termasuk wilayah yang berpotensi digunakan sebagai lahan sawah, perkebunan,
hutan dan cagar alam. Sampai saat ini belum ada data potensi sumber daya alam
tingkat provinsi dan nasional yang telah dipetakan. Ketersedian peta potensi
sumber daya alam akan membantu dalam membuka pintu bangsa kita dalam
memanfaatkan sumber daya alam ini.
Selain itu, dengan belum adanya informasi potensi sumber daya alam, suatu
wilayah dikonsesikan kepada pihak swasta ataupun asing, tanpa menyadari nilai
ekonomi sumber daya alam yang sesungguhnya. Akibatnya, pemerintah pusat
atau daerah yang mewakili rakyat memiliki posisi tawar yang rendah. Akibatnya
pemasukan daerah maupun negara dari sumber daya alam jauh dari yang
semestinya.
1.2.2.2 Penjagaan Keutuhan Wilayah NKRI
Untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI dalam rangka mendukung sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta serta mencegah berbagai kejahatan
transnasional diperlukan peta dan Informasi Geospasial terkini dan akurat tentang
wilayah terdepan dan pulau-pulau terluar sepanjang perbatasan. Hal ini untuk
menjalankan amanat UUD 1945 Pasal 25A, dan Pasal 30 Ayat 2.
UUD Tahun 1945:
Pasal 25A
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang
berciri Nusantara dengan wilayah dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan
dengan undang-undang.
Pasal 30 Ayat 2
(2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan
utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.

11

Mengingat sisi terluar dari wilayah negara atau yang dikenal dengan
Kawasan Perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga integritas
Wilayah Negara, maka diperlukan juga pengaturan secara khusus. Pengaturan
batas-batas Wilayah Negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum
mengenai ruang lingkup wilayah negara, kewenangan pengelolaan Wilayah
Negara, dan hakhak berdaulat.
Pendekatan kesejahteraan dalam arti upaya-upaya pengelolaan Wilayah
Negara hendaknya memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan
kesejahteraaan masyarakat yang tinggal di Kawasan Perbatasan. Pendekatan
keamanan dalam arti pengelolaan Wilayah Negara untuk menjamin keutuhan
wilayah dan kedaulatan negara serta perlindungan segenap bangsa. Pendekatan
kelestarian

lingkungan

dalam

arti

pembangunan

Kawasan

Perbatasan

memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yang merupakan wujud dari


pembangunan yang berkelanjutan.
Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting terkait
dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan prinsip otonomi
daerah dalam mengelola pembangunan Kawasan Perbatasan. Menjaga keutuhan
wilayah Indonesia merupakan amanat konstitusi. Oleh karena itu, informasi
tentang garis perbatasan beserta kondisi daerah di sepanjang perbatasan
(termasuk pulau-pulau kecil) mutlak diperlukan.
Peta wilayah perbatasan baik dalam masa damai maupun perang diperlukan
untuk mobilisasi aparat pertahanan dan keamanan. Pada masa damai, peta-peta
perbatasan diperlukan untuk menjaga infiltrasi dari penyusup, baik yang bermotif
komersial maupun politis. Sebagai contoh, pada tahun 1987 saja, paling sedikit
150 kapal setiap harinya melintasi daerah perbatasan di Indonesia-Malaysia
antara Nunukan-Tawau tanpa dilengkapi dokumen resmi12.
Penyusup bermotif komersial ada beraneka ragam, seperti ekspor kayu hasil
illegal logging, illegal fishing, human-trafficking dan penyelundupan klasik (dari
barang elektronik, narkotika hingga sampah barang yang termasuk B3). Data
menunjukkan berbagai kerugian dari aktifitas tersebut.

12

Krystof Obidzinski et al, CIFOR 2006,


www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/Books/BObidzinski0601i.pdf

12

Kerugian akibat praktik "illegal fishing" yang terjadi di perairan Indonesia


diperkirakan mencapai Rp. 30 triliun setiap tahun, atau sekitar 25 persen
dari total potensi perikanan yang ada di Indonesia yaitu 1,6 juta ton per
tahun13.
Kerugian negara akibat illegal logging sebesar Rp 30 triliun per tahun 14.
Belanja narkoba sehari di Jakarta mencapai Rp 8 milyar. Sedangkan
transaksi di seluruh Indonesia mencapai Rp. 20 triliyun per tahun15.
Dengan prakiraan nilai kegiatan ekonomi bawah tanah Indonesia (2004) termasuk illegal logging, illegal fishing, dan illegal mining - sebesar 1750
trilyun rupiah dan asumsi tax ratio 15%, besarnya potensi pajak yang hilang
dari kegiatan ekonomi bawah tanah Indonesia mencapai sekitar 262 trilyun
rupiah16.
Sedang penyusup yang bermotif politis dapat berupa teroris hingga kapal
atau pesawat militer asing yang masuk tanpa ijin. Tanpa peta-peta kawasan
perbatasan yang memadai, TNI-AD, AL maupun AU akan kesulitan untuk
memastikan bahwa kondisi di perbatasan itu dalam kendali.
Peta-peta ini juga berguna bagi nelayan kita agar tidak beroperasi hingga
melanggar wilayah negara tetangga.
Kita sendiri yang harus menjaga agar nelayan kita tidak diperlakukan
sewenang-wenang oleh otoritas negara lain seperti kasus nelayan-nelayan
dari Nusa Tenggara Timur yang sering ditenggelamkan kapalnya oleh polisi
laut Australia17.
Menurut Erwin Silitonga, Direktur Penyuluhan Perpajakan, dengan
prakiraan nilai kegiatan ekonomi bawah tanah Indonesia (2004) - termasuk
illegal logging, illegal fishing, dan illegal mining - sebesar 1750 trilyun rupiah
dan asumsi tax ratio 15%, besarnya potensi pajak yang hilang dari kegiatan

13

Freddy Numberi dalam http://www.antara.co.id/arc/2008/2/4/freddy-numberi-tenggelamkankapal-asing-illegal-fishing/


14
M.S. Kaban dalam http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2004/11/14/brk,20041114-05,id.html
15
Badan Narkotika Nasional dalam www.politikindonesia.com/
16
Erwin Silitonga, Direktur Penyuluhan Perpajakan, http://www.pajak.go.id/index.php?
view=article&catid=87%3Aartikel&id=96%3Aap1&tmpl=component&print=1&page=&option=com_c
ontent&Itemid=125
17

http://www.indomedia.com/ poskup/2008/04/17/edisi17/tirosa.htm

13

ekonomi bawah tanah Indonesia mencapai sekitar 262 trilyun rupiah18.


Pemindahan patok perbatasan bila dilakukan sejauh rata-rata 1 kilometer
pada garis batas sepanjang 500 kilometer sudah berakibat hilangnya luas
wilayah kita 50.000 hektar - menunjukkan urgensi pembangunan kawasan
terdepan yakni di daerah perbatasan yang akan mencegah aksi pemindahan
patok

tersebut.

Pembangunan

kawasan

terdepan

juga

penting

untuk

mengantisipasi pengungsi negara tetangga yang sedang mengalami konflik.


Sebagai contoh di Kab. Belu NTT terdapat ribuan pengungsi dari Timor Leste
yang memerlukan dana santuan hingga Milyaran Rupiah per tahun.
Tabel-2. Heterogenitas luas yang terdapat dalam sumber otoritas yang sama

Pada level daerah, data perbatasan yang tidak akurat dapat menyebabkan
angka luas daerah yang berbeda, yang berakibat pada perhitungan Dana Alokasi
Umum (DAU) daerah tersebut yang berbeda. Contoh SK Mendagri no 5/2002
tentang luas daerah dan SK sejenis dari tahun 2001 yang digunakan untuk
menghitung DAU 2002 oleh Kementerian Keuangan.
Permasalahan-permasalahan di atas memerlukan beberapa solusi sebagai
berikut.
1. Informasi atas wilayah perbatasan harus bersifat terbuka bagi publik, sehingga
tidak ada warga negara yang melanggar perbatasan dan bahkan mereka ikut

18

http://www.pajak.go.id/index.php?
view=article&catid=87%3Aartikel&id=96%3Aap1&tmpl=component&print=1&page=&option=com_content&Itemid=12
5

14

mengawasi agar tidak terjadi pelanggaran atas perbatasan tersebut. Dalam hal
ini, yang informasi yang ditutup bagi publik hanya informasi yang diadakan
khusus

untuk

menjalankan

fungsi

negara

(termasuk

hankam),

dan

ketidaktahuan publik atasnya tidak membuat hak asasi mereka terganggu.


2. Dalam menyelenggarakan Informasi Geospasial, terutama di kawasan
perbatasan ini, diperlukan aturan melalui mekanisme perijinan, agar tidak
disalahgunakan oleh negara asing, baik melalui wahana asing (kecuali di luar
batasan atmosfir) maupun tenaga asing; juga pengolahan data dengan tenaga
asing atau di luar negeri, tanpa kecuali semua dengan izin. Perijinan ini untuk
menjamin keselamatan masyarakat dan pelaku pengumpulan Informasi
Geospasial.
3. Data batas wilayah ini perlu dikategorisasi, antara batas yang sudah
ditegaskan dengan yang belum, serta dibedakan dalam visualisasinya.
Demikian juga dengan nama-nama rupabumi yang digunakannya.
4. Agar data ini selalu siap untuk digunakan, maka harus ada jaminan
keberadaannya. Untuk itu data wajib disimpan ganda, yaitu pada instansi
penyelenggara dan pada Arsip Nasional. Dalam hal data itu bersifat rahasia,
misalnya data kekayaan alam yang cukup rinci dan operasional di sekitar
wilayah perbatasan dan disandikan (encrypted), maka metode enkripsi itu
wajib diserahkan kepada Lembaga Sandi Negara.
1.2.2.3 Jaminan Memperoleh Informasi Geospasial
Setiap Warga Negara Indonesia berhak mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan peta dan Informasi Geospasial untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya dengan menggunakan segala
jenis saluran yang tersedia. Hal ini diamanatkan pada UUD 45 pasal 28F.
UUD Tahun 1945:
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Pada tahun 2008, Indonesia mencanangkan program Visit Indonesia Year.

15

Dengan ini diharapkan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke


Indonesia akan meningkat dari tahun 2007 yang tercatat 5.505.759 wisman dan
mendatangkan devisa US$ 5,35 Milyar19.
Sementara itu wisatawan domestik atau wisatawan nusantara (wisnus) data
perkiraan tahun 2007 mencapai 116,4 juta orang dengan pengeluaran Rp 80
Trilyun20. Dengan demikian, sektor pariwisata menggerakkan ekonomi sekitar Rp.
130 Trilyun dengan pergerakan sebesar 122 juta orang.
Untuk wilayah seluas Indonesia dengan ratusan obyek menarik sebenarnya
ini terhitung sangat rendah. Sebagai perbandingan, wisman yang datang ke
Singapura pada tahun 2007 adalah 10,3 juta orang dan menghasilkan pemasukan
US$ 10 Milyar21.
Salah satu sebab adalah bahwa para wisatawan dinegara itu sangat mudah
dan cepat mendapatkan peta. Begitu sampai di bandara, pelabuhan, stasiun
kereta api, terminal bus, SPBU terdekat dari tempat tujuan, dia akan mendapatkan
peta yang sangat informatif atas kota tersebut, lengkap dengan nama jalan, lokasi
hotel, restoran, ATM, fasilitas kesehatan, pendidikan, ibadah, serta fasilitas
lainnya, beserta room rate nya misalnya hotel bintang berapa. Dan peta ini bisa
disebarkan dengan gratis karena dibiayai oleh iklan dari obyek komersial yang
turut digambarkan dalam peta tersebut. Namun data dasar dari peta-peta tersebut
sebelumnya sudah disediakan oleh otoritas negara yang ditugasi untuk itu.
Peta-peta ini sebenarnya juga dibutuhkan tidak hanya oleh wisatawan tetapi
juga oleh masyarakat setempat yang mungkin tidak selalu familier dengan posisiposisi fasilitas umum di kotanya.
Di kota-kota pendidikan setiap tahun ratusan ribu mahasiswa baru
membutuhkan peta yang bisa dijadikan alat orientasi sehingga mereka dapat lebih
optimal dalam menempuh pendidikannya.
Sementara itu kebutuhan akan peta yang praktis sebenarnya sangat tinggi.
Di dunia pendidikan setiap tahun ratusan ribu pelajar dan mahasiswa harus
pindah domisili demi pendidikannya. Bila mahasiswa baru setiap tahun sekitar

19

http://www.budpar.go.id, akses pada 16 Juni 2008


http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2007/8/23/pa1.htm
21
http://app.stb.gov.sg/asp/new/new03a.asp?id=8123.
20

16

860.000 orang pada 3.441 lembaga pendidikan tinggi 22, dan diasumsikan 50%
dari mereka akan tinggal di tempat yang baru, berarti sekitar 430 ribu mahasiswa
baru memerlukan adaptasi baru, yang dengan adanya peta yang praktis mereka
akan amat terbantu.
Warga negara yang ingin mencari tempat bekerja atau tempat tinggal juga
sering memerlukan informasi yang memadai atas lokasi lingkungan tempat yang
diinginkannya. Misalnya, sebelum memutuskan tinggal di suatu tempat, dia perlu
memikirkan kondisi air tanah, sanitasi, kerentanan terhadap bencana, risiko polusi,
akses transportasi publik, lokasi sekolah, dokter, tempat ibadah, pasar, kantor
polisi dan sebagainya.
Masyarakat ingin ikut memonitor pembangunan di daerahnya, yang di antara
sarana monitor itu adalah Informasi Geospasial. Diantara yang ingin diketahui
warga suatu daerah dalam suatu pilihan kepala daerah, ketika ada calon
incumbent adalah, prestasinya dalam membangun wilayah itu, dan itu sedikit
banyak bisa tergambar dari peta sebelum dan setelah menjabat lima tahun.

Misalnya, bagi kelas menengah, tidak cukup laporan seperti telah


membangun jalan sekian kilometer, namun mereka ingin tahu, jalan itu dibangun
di mana saja. Perkembangan di dunia, participatory mapping juga sudah berjalan
karena sudah ada teknologi yang terbuka di internet (maps.google.com).
Dalam bidang politik, masyarakat ingin mengikuti hasil pemilu atau pilkada

22

Ikhtisar Data Pendidikan Nasional 2006, http://www.depdiknas.go.id/

17

dengan cepat lewat peta perolehan suara.


Permasalahan-permasalahan di atas memerlukan beberapa solusi sebagai
berikut:
1. Informasi atas fasilitas umum atau obyek wisata dibuat milik publik (peta
fasilitas publik), sehingga tidak ada warga negara kesulitan untuk memenuhi
kebutuhannya. Dalam hal ini, Informasi Geospasial yang ditutup hanya
informasi yang diadakan khusus untuk menjalankan fungsi negara yang
ketidaktahuan publik atasnya tidak membuat hak asasi mereka terganggu.
2. Informasi fasilitas publik harus benar sehingga harus dikoordinasikan antar
instansi pemerintah, karena ini kadang-kadang menyangkut berbagai sistem
pemetaan yang berbeda, minimal pada klasifikasi obyek dan visualisasi. Oleh
karena itu pemerintah wajib melakukan koordinasi antar instansi, baik pada
level pusat maupun terhadap level daerah.
3. Visualisasi informasi itu dimungkinkan dalam beberapa bentuk, seperti peta
cetak (lembaran atau buku), peta digital, peta interaktif dan multimedia, selama
mengikuti norma, prosedur dan spesifikasi yang berlaku. Sedang visualisasi
non standar, seperti misalnya dalam kartu undangan pernikahan dan
sejenisnya tidak perlu dianggap sebagai Informasi Geospasial.
4. Agar penggunaan data spasial (seperti peta) semakin populer, maka perlu
diberikan insentif kepada penyelenggara Informasi Geospasial (yaitu yang
menyediakan peta secara gratis dengan didanai sponsor, seperti dari jaringan
hotel dan restoran yang membuat peta turis lengkap dan jaringan angkutan
umum) untuk informasi yang berhasil digunakan secara optimal oleh
masyarakat. Insentif ini dapat berupa pengurangan pajak atau sejenisnya.
Insentif ini diberikan karena secara makro, masyarakat mendapatkan benefit,
misalnya dari berkurangnya kemacetan atau meningkatnya devisa dari sektor
pariwisata.
1.2.2.4 Pengembangan Iptek dan Sumber Daya Manusia
Setiap orang berhak mendapatkan manfaat yang optimal dari kemajuan ilmu
dan teknologi Informasi Geospasial agar negara dapat maksimal memajukan ilmu
dan

teknologi

Informasi

Geospasial

demi

kemajuan

peradaban

serta

18

kesejahteraan umat manusia. Hal-hal tersebut diamanatkan pada UUD 45 pasal


28C dan pasal 31 ayat 5.
1.2.2.4.1 Tingkat Pendidikan Tinggi
Bidang yang terkait geospasial tersebar di berbagai jurusan di perguruan
tinggi, seperti geodesi/geomatika, geografi, geologi, geofisika, teknik sipil,
pertanian, kehutanan, kelautan, informatika dan sebagainya. Namun faktanya
memang hanya jurusan geodesi dan geografi yang secara spesifik menekuni ilmu
dan teknologi geospasial.
UUD Tahun 1945:
Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya.
Pasal 31
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Di Indonesia, perguruan tinggi yang membuka program studi Geografi


sebagai ilmu murni hanya tiga perguruan tinggi negeri. Sedangkan program studi
Pendidikan Geografi dapat dijumpai pada 45 perguruan tinggi.
Di

Indonesia

pendidikan

jurusan

teknik

geodesi/geomatika

hanya

diselenggarakan di 8 universitas, dengan mahasiswa sekitar 400 orang/tahun dan


meluluskan sarjana sekitar 300 orang/tahun. Namun usia pendidikan ini di
berbagai perguruan tinggi masih bervariasi. Bila diasumsikan setiap tahun lulus
300 orang selama 1 generasi (30 tahun) hanya akan didapatkan 9.000 sarjana.
Bila dihitung bersama jurusan ilmu geografi yang diadakan pada 3 perguruan
tinggi, dengan asumsi yang sama akan didapatkan maksimal 16.875 sarjana yang
memiliki kompetensi geospasial setiap generasi. Bila dibandingkan dengan luas
wilayah Indonesia berarti satu tenaga ahli geospasial rata-rata harus menangani
area seluas 112,6 Km2 (11.260 hektar). Kondisi ini membuat ketika ada kejadian
bencana, kita kekurangan SDM, sehingga memaksa kita mengundang para ahli

19

dari luar negeri. Sedangkan kebutuhan akan ahli geospasial (surveyor,


kartografer, geograf, pemeta) akan meningkat menjadi 21 persen pada tahun
2016 di USA. Hal ini sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan data yang
lebih akurat23. Oleh sebab itu jumlah dan mutu pendidikan terkait Informasi
Geospasial harus segera ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan yang ada.
1.2.2.4.2 Ketersediaan Tenaga Pendidik
Sementara itu jurusan pendidikan (calon guru) Geografi diselenggarakan di
18 PTN dan 18 PTS di seluruh Indonesia24. Dengan asumsi satu PT meluluskan
50 guru geografi per tahun, didapatkan angka 1.800 guru per tahun. Dalam satu
generasi (30 tahun) akan didapatkan 54.000 guru geografi yang kompeten
mengajarkan geografi kepada anak didik atau masyarakat. Bila dibandingkan
dengan jumlah penduduk yang sekitar 220 juta jiwa, berarti rasionya baru 1:4074.
Hal ini sungguh kurang memadai untuk mensosialisasikan ilmu Informasi
Geospasial pada tingkat dasar hingga sekolah menengah.
1.2.2.4.3 Pendidikan Geospasial Usia Dini
Pengetahuan tentang Informasi Geospasial harus diberikan kepada generasi
muda sejak usia dini untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan dan rasa cinta
tanah air. Sosialisasi Informasi Geospasial atau pembudayaan peta untuk
generasi muda dirasa masih perlu ditingkatkan dan mencari metode pengajaran
yang lebih mudah dan menarik.
1.2.2.5 Efisiensi
Ketidaksinkronan dalam perencanaan pembangunan yang berbasis spasial
antar instansi berakibat pada perencanaan yang tidak efisien, tidak efektif dan
tidak transparan. Selain itu, terjadi juga duplikasi kegiatan yang tidak bermanfaat
dan mengakibatkan pemborosan anggaran. Hal-hal tersebut terkait dengan UUD
45 pasal 23 ayat 1 dan pasal 23C.
Kegiatan pemetaan yang menghasilkan Informasi Geospasial yang bersifat
terbuka tidak hanya dilakukan oleh BAKOSURTANAL. Sebagai lembaga survei

23
24

http://www.bls.gov/oco/pdf/ocos040.pdf
http://evaluasi.or.id/

20

dan pemetaan nasional, BAKOSURTANAL bertugas menyediakan Informasi


Geospasial dasar. Berbagai Kementerian dan lembaga pemerintahan juga
melakukan pemetaan yang sesuai dengan lingkup tugasnya masing-masing. Hasil
kegiatan masing-masing Kementerian dan lembaga pemerintah ini yang disebut
Informasi Geospasial Tematik.
Kewenangan masing-masing Kementerian dan lembaga dalam melakukan
aktifitas penyelenggaraan Informasi Geospasial telah diatur dalam Peraturan
Presiden RI nomor 85 tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional yang
merangkum

instansi

pemerintah

terkait

dengan

sistem

penyelenggaraan

pengelolaan data spasial. Hal ini memerlukan payung hukum yang lebih kuat yang
juga mengatur kewenangan pembuatan Informasi Geospasial oleh pihak-pihak di
luar pemerintah.
UUD Tahun 1945:
Pasal 23
(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 23C
Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.

Di samping itu, kegiatan pemetaan juga dilakukan oleh BNPB (Badan


Nasional Penanggulangan Bencana) tentang hal-hal yang terkait kebencanaan.
Juga pihak TNI melalui Dittopad, Dishidros, dan Disurpotrud melakukan pemetaan
di wilayah darat, laut dan udara.
Kegiatan pemetaan di berbagai lembaga itu harus disinkronkan untuk
mencegah duplikasi. Mengingat kegiatan pemetaan atau penyelenggaraan
Informasi

Geospasial

mencakup

berbagai

tahapan

yaitu:

pengumpulan,

pengolahan, penyimpanan dan pengamanan, penyebarluasan, dan penggunaan,


maka duplikasi yang harus dicegah tidak hanya duplikasi keseluruhan satu
kegiatan, misalnya satu lembaga melakukan pemetaan yang persis sama dengan
kegiatan lembaga lain. Duplikasi pada beberapa bagian dari tahapan kegiatan
pemetaan juga harus dicegah untuk efisiensi anggaran, misalnya pada tahapan
pengadaan sumber data. Untuk kepentingan yang berbeda, bisa saja dua
lembaga membeli citra satelit dengan jenis, cakupan wilayah, dan waktu

21

pengambilan yang sama. Padahal apabila dua kegiatan itu disinkronkan, maka
pembelian citra dapat cukup dilakukan satu kali untuk dua kepentingan itu.
Seyogyanya

anggaran terkait penyelenggaraan

Informasi Geospasial

mayoritas berada di lembaga/Kementerian teknis dan pemerintah daerah yang


melakukan penyelenggaraan Informasi Geospasial secara sektoral. Di Jepang
misalnya, Geographical Survey Institute (GSI), lembaga yang bertanggung jawab
terhadap penyediaan Informasi Geospasial Dasar seperti BAKOSURTANAL,
hanya melaksanakan 1% dari seluruh kegiatan pemetaan di Jepang. Mayoritas
kegiatan pemetaan Jepang, yaitu sekitar 80%, adalah kegiatan pemetaan yang
dilakukan oleh lembaga/badan pemerintah (disebut dengan public survei/mapping
karena didanai oleh negara). Sisa kegiatan pemetaan lainnya dilakukan oleh pihak
swasta, lembaga non profit dan individual.
Di samping sinkronisasi anggaran, semua Kementerian/lembaga yang
melakukan pemetaan tematik dapat mengambil keuntungan dari sinergi dari
pertukaran data dan adanya peta dasar.
Koordinasi yang paling baik adalah koordinasi spasial. Koordinasi antar
sektor yang tidak menggunakan data dan Informasi Geospasial berakibat
inefisiensi yang sangat besar. Misalnya pembangunan jalan yang tidak
menggunakan informasi spasial berisi jaringan telepon atau jaringan listrik bawah
tanah, sangat mungkin akan memutus jaringan-jaringan tersebut. Informasi terkait
jaringan bawah tanah harus disediakan oleh instansi yang terkait dan menjadi satu
input penting dalam perencanaan pembangunan infrastruktur di atasnya.
Contoh lain yang menunjukkan pentingnya koordinasi secara spasial adalah
keputusan penentuan lokasi suatu pabrik kimia yang berada di sekitar hulu sungai.
Apabila terdapat informasi spasial yang menunjukkan misalnya bahwa di daerah
hilir sungai tersebut itu ada tambak, tentu pembangunan pabrik kimia itu harus
dipertimbangkan lagi agar limbahnya tidak merugikan masyarakat di hilir.
1.2.2.6 Pelayanan Publik
Agar masyarakat mendapatkan pelayanan prima dari pemerintah (goodgovernance) diperlukan peta dan Informasi Geospasial yang akurat dan mutakhir.
Hal ini diamanatkan pada UUD 45 pasal 28F.

22

UUD Tahun 1945:


Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi unutk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Melihat kepentingannya, peta adalah informasi yang harus tersedia setiap


saat, jika mengikuti kategorisasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
Hampir semua aspek kehidupan masyarakat akan sangat terbantu oleh informasi
yang tersaji secara spasial dalam bentuk peta, bahkan dalam banyak hal informasi
spasial merupakan hal yang mutlak diperlukan keberadaannya.
Memang tingkat kesadaran akan pentingnya informasi peta ini di masyarakat
Indonesia masih rendah. Hasil penelitian Litbang KOMPAS memperlihatkan
bahwa di kalangan masyarakat yang berpendidikan SD, hanya 11 persen yang
menyatakan akan membaca peta untuk menemukan suatu alamat. Semakin tinggi
tingkat pendidikan, keinginan untuk melihat peta juga semakin tinggi. Di tingkat
SLTP dan SLTA ada 16 persen responden yang senang membuka peta, dan pada
tingkat pendidikan S1 ke atas persentasenya meningkat menjadi 30 persen25.
Banyak informasi yang tertuang dalam peta yang sangat diperlukan bagi
masyarakat untuk mendapatkan pelayanan pemerintah. Contoh sederhana adalah
kebutuhan peta yang berisi informasi rute transportasi umum. Ketidakadaan peta
rute transportasi umum sering menyebabkan masyarakat kebingungan apabila
berada di daerah yang bukan tempat tinggalnya apabila mereka ingin
menggunakan sarana transportasi umum, bahkan tidak jarang masyarakat
menjadi korban penipuan karena ketidaktahuannya tentang informasi itu.
Pada level yang lebih tinggi, jenis informasi transportasi yang dibutuhkan
adalah informasi kemacetan lalu lintas. Studi Yayasan Pelangi Indonesia
menyebutkan bahwa kemacetan berkepanjangan di Jakarta menyebabkan
berbagai kerugian yang nilainya berkisar Rp 43 triliun per tahun atau lebih dari dua
kali APBD Jakarta 2007. Kerugian itu berupa pemborosan bahan bakar minyak
(BBM), waktu kerja, kerugian angkutan barang, dan angkutan penumpang

25

Harian Umum KOMPAS, 29 Agustus 2006, http://www2.kompas.com/kompascetak/0608/29/humaniora/2909590.htm diakses tanggal 16 Juni 2008.

23

umum26. Sedangkan menurut Kepala Bappeda Depok, kemacetan di sepanjang Jl.


Margonda mengakibatkan kerugian sebesar Rp 10 milyar per tahun 27. Apabila
informasi spasial berupa lokasi kemacetan ini tersedia dan diketahui oleh
masyarakat, maka tentu masyarakat bisa mengantisipasinya sehingga nilai
kerugian ini dapat terhindari.
Informasi spasial tentang transportasi sebenarnya sudah mulai ada dan
dirasakan kemanfaatannya oleh publik, meskipun jumlahnya baru sedikit dan
terbatas pada informasi spasial yang disediakan oleh pihak swasta. Misalnya
penggunaan teknologi GPS oleh sebuah perusahaan taksi nasional. Dengan
teknologi ini, taksi yang berlokasi paling dekat dengan alamat konsumen yang
memesan (melalui telepon) dapat langsung diketahui dan diperintahkan menuju
alamat tersebut. Dengan demikian maka waktu tunggu seorang konsumen ketika
memesan taksi akan berkurang dari rata-rata 30-60 menit menjadi 5-20 menit.
Keuntungan lainnya adalah bahwa sopir taksi dapat menerima informasi kondisi
lalu lintas sehingga dapat menyesuaikan rutenya ketika ada banjir atau
demonstrasi28.
Informasi yang bersifat layanan umum lainnya seperti informasi tentang
fasilitas umum berbentu peta yang mudah dibaca dan ditempatkan di lokasi
strategis atau dibagikan secara gratis, harusnya sudah merupakan tugas
pemerintah. Dengan informasi seperti ini, masyarakat dengan mudah akan dapat
mengetahui lokasi dari obyek yang mereka perlukan seperti WC umum, masjid,
ATM, dsb.
Untuk pemerintah sendiri, informasi spasial sangat diperlukan untuk
meningkatkan pelayanan publiknya secara umum. Misalnya untuk menentukan
lokasi tempat pembuangan sampah akhir (TPA), suatu hal yang selalu diributkan
oleh warga yang lokasinya menjadi calon tempat pembuatan TPA.
Misalnya, konflik sampah perkotaan yang berujung pada kerusuhan massa
yang terjadi di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bojong, Klapanunggal,

26

Harian Umum KOMPAS, 06 November 2007, http://www.pelangi.or.id/othernews.php?nid=3450 diakses tanggal 25


Juni 2008.
27
Tempo Interaktif, 02 Januari 2008, http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2008/01/02/brk,20080102114616,id.html diakses tanggal 25 Juni 2008.
28
http://www.bluebirdgroup.com/news.html, diakses tanggal 16 Juni 2008.

24

Kabupaten Bogor di tahun 2004. Dalam kerusuhan ini, tujuh orang tewas dan
Pengelola TPST Bojong, PT. Wira Guna Sejahtera, memperkirakan mengalami
kerugian materi sekitar Rp. 30 miliar. DPRD Kabupaten Bogor, yang sebelumnya
memberi

peluang

beroperasinya

TPST,

kemudian

meminta

Pemerintah

Kabupaten Bogor untuk mengevaluasi pengoperasian TPST bahkan meminta


TPST itu ditutup. Sebaliknya, pihak Pemerintah DKI Jakarta mendesak
Pemerintah Kabupaten Bogor untuk memberikan jaminan pengoperasian TPST
tersebut29.
Bidang pemerintahan lain yang memerlukan Informasi Geospasial adalah di
bidang perpajakan. Menyadari hal ini, Kementerian Keuangan mengusulkan
tambahan dana sebesar Rp 438 miilar untuk pembuatan peta digital wajib pajak
seluruh Indonesia pada RAPBN 2004. Peta ini nantinya akan dijadikan data dan
mengetahui keberadaan wajib pajak yang bandel tak membayar kewajibannya.
"Sistem digital ini kunci kepatuhan mebayar pajak meningkat," menurut Direktur
Jenderal Pajak Hadi Purnomo saat rapat kerja dengan Komisi Keuangan dan
Perbankan DPR, Kamis (26/6). Hadi optimis dengan perlengkapan peta digital ini
pemerintah bisa menggenjot penerimaan sektor pajak. Sejak dipakai peta digital
ini, kata Hadi, penerimaan pajak naik Rp 30 miliar. Menurut Hadi Purnomo peta
digital ini datanya memakai data Pajak Bumi dan Bangunan30.
Pemerintah juga memerlukan Informasi Geospasial tentang berbagai hal
untuk penyusunan tata ruang yang optimal. Kemudian, informasi tata ruang yang
tersaji secara spasial harus diketahui oleh masyarakat. Tentang perlunya
penyelenggaraan Informasi Geospasial untuk kepentingan penataan ruang,
dibahas lebih jauh pada poin ke-8.
Masyarakat juga berhak untuk mendapatkan informasi tentang tingkat
kerawanan dari daerahnya terhadap berbagai bencana. Hal ini sangat penting
untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana sehingga
berbagai upaya mitigasi dapat dilakukan untuk menekan tingkat resiko dari
bencana itu. Keterkaitan antara informasi spasial dengan kebencanaan yang
begitu erat akan dibahas lebih lanjut pada bagian lain setelah ini.

29

Tempo Interaktif, 25 November 2004, http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/11/25/nrs,2004112506,id.html, diakses tanggal 25 Juni 2008.


30
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2003/06/26/brk,20030626-33,id.htmli 26 Juni 2003, diakses 16 Juni 2008

25

Kondisi sekarang menunjukkan bahwa peta-peta yang sangat dibutuhkan


masyarakat seperti contoh yang disebutkan di atas, masih banyak yang belum
tersedia. Kalaupun tersedia, peta-peta tersebut masih dalam skala yang belum
memadai atau informasinya sudah kedaluarsa karena berasal survei lebih dari 10
tahun yang lalu.
1.2.2.7 Penanggulangan Bencana
Untuk penanggulangan bencana alam yang sangat banyak dan beragam di
Indonesia dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan aset-aset
nasional hasil pembangunan diperlukan peta dan Informasi Geospasial yang
berkualitas. Hal ini diamanatkan pada UUD 45 Pembukaan alinea ke-4 dan telah
dituangkan pada Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana.
UUD Tahun 1945:
PEMBUKAAN
(Preambule)

(Alinea ke 4)
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawatan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bencana alam yang terjadi di dunia mengalami peningkatan dalam kurun


waktu 3 dasa warsa terakhir31. Tren yang mirip juga terjadi di Indonesia. Semakin
sering terjadi dengan variasi bencana yang ada seperti tsunami, gunung meletus,
banjir dan tanah longsor. Kerugian dari segi jiwa dan harta benda semakin
meningkat. Proses mitigasi bencana untuk mengurangi dampak atau korban

31

CRED, 2003. Thirty Years Of Natural Disasters 1974-2003:The Numbers

26

bencana seharusnya dilakukan dengan menggunakan Informasi Geospasial.


Bencana gempa bumi dan tsunami pada 24 Desember 2004 di NAD dan
Sumatra Utara telah menewaskan 126.915 jiwa 32. Korban yang begitu banyak
seharusnya

bisa

dikurangi

apabila

masyarakat

mengenali

kondisi

alam

disekitarnya dengan adanya peta resiko bencana. Selain itu, peta jalur evakuasi
seharusnya juga sudah tersosialisasikan kepada masyarakat sehingga mereka
dapat mengambil keputusan yang cepat dalam menyelematkan diri dan keluarga
mereka.

[CRED, 2003. Thirty Years of Natural Disasters 1974-2003:The Numbers]


Berikut adalah beberapa bencana yang seharusnya dapat dikurangi dampak
dan korbannya bila peta resiko bencana dan peta evakuasi:
1. Bencana alam gempa tektonik di seluruh Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
pada 27 Mei 2006 telah merobohkan 17.378 rumah dan kerugian
diperhitungkan mencapai Rp 2,5 triliun.33
2. Banjir yang melanda wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi
(Jabodetabek) pada bulan Februari 2007 mencapai Rp 8 triliun 34.
3. Wilayah rawan banjir rob mencakup 10 dari 16 kecamatan yang ada di Kota
Semarang. Sebanyak lebih dari 40.000 jiwa penduduk terancam banjir35.
4. PT. Jasa Marga mengalami kerugian sekitar Rp. 500 juta per hari akibat
terendamnya jalan tol Sedyatmo36.

32

[http://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_Samudra_Hindia_2004]
http://www.indonesia.go.id/en/index.php/index.php?option=
com_content&task=view&id=6328&Itemid=821 dari Tempo Interaktif
34
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/02/12/brk,20070212-93047,id.html
35
http://www.fwi.or.id/indexasli.php?link=news&id=1288
36
http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=53123
33

27

5. Bencana tanah longsor yang terjadi di Balikpapan pada bulan Agustus 2007
sebesar Rp 59,2 miliar37.
Bencana lain adalah kebakaran hutan. Kerugian yang diakibatkan oleh
kebakaran hutan dapat mencapai total Rp. 91,38 milyar atau Rp. 7 juta per hektar
pada tahun 2003. Kerugian akibat asap kebakaran hutan adalah Rp 22.683 per
orang, penduduk tidak kerja Rp 27.082 per orang, gangguan transportasi Rp 1,32
juta per unit, hotel dan penginapan Rp 136.200 per unit serta menurunnya
produktivitas tanaman pangan Rp 73.528 hektar38. Informasi Geospasial yang
menyangkut suhu permukaan, arah angin, tekanan udara dan sebaran hotspot
seharusnya diintegrasi dalam suatu sistem informasi kerawanan bencana
kebakaran. Hal ini untuk mengantisipasi secara dini sebelum kebakaran terjadi.
Berdasarkan data dan fakta di atas maka mengenai kebencanaan
sehubungan dengan Informasi Geospasial bahwa:
1. ketika terjadi, jika mengikuti terminologi Undang-Undang tentang Keterbukaan

Informasi Publik, Informasi Geospasial tentang kebencanaan merupakan


informasi serta merta;
2. Informasi Geospasial kebencanaan sangat diperlukan untuk manajemen

kebencanaan;
3. Informasi

Geospasial kebencanaan ini perlu diterbitkan oleh instansi

pemerintah pusat dan/atau daerah yang diberi tugas dalam masalah ini.
1.2.2.8 Penataan Ruang
Untuk melakukan penataan ruang yang terpadu, terukur dan berkelanjutan
diperlukan peta dan Informasi Geospasial yang berkualitas. Pengaturan umum
telah dituangkan pada Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang.
1.2.2.8.1 Penataan ruang yang berkekuatan hukum
Penataan ruang adalah salah satu contoh aplikasi Informasi Geospasial yang
nyata dalam pembangunan nasional maupun daerah. Penyelenggaraan penataan

37
38

http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=44931
http://www2.kompas.com/utama/news/0509/07/040200.htm

28

ruang wilayah harus dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi,


terpadu. terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan
hidup.

Penyusunan

suatu

rencana

tata

ruang

yang

baik

memerlukan

data/informasi yang akurat baik itu yang bersifat spasial maupun non spasial,
demikian juga dalam implementasi dan pengendaliannya. Terlebih lagi masalah
perijinan dalam penggunaan ruang berdasarkan Undang-undang yang berlaku
mempunyai kekuatan hukum dan bila seseorang melanggar perijinan atau pejabat
menyalahi peraturan dalam pemberian ijin mereka dapat diberikan sanksi pidana,
administrative dan/atau denda. Berdasarkan hal tersebut Informasi Geospasial
menjadi sangat penting dan mempunyai kekuatan hukum. Di tingkat ini Informasi
Geospasial yang sangat akurat diperlukan. Belum lagi kalau dampak-dampak
akibat penataan ruang yang tidak baik, penyalahgunaan ijin maupun pemberian
ijin diperhitungkan, betapa banyaknya kerugian yang diakibatkan.
Rencana Tata Ruang merupakan bentuk intervensi dalam mewujudkan
alokasi ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keseimbangan antar wilayah.
Proses perencanaan tata ruang merupakan suatu system yang melibatkan
input, process dan output. Input yang digunakan adalah keadaan fisik seperti
kondisi alam dan geografis, sosial budaya seperti demografi sebaran
penduduk, ekonomi seperti lokasi pusat kegiatan perdagangan yang ada
maupun yang potensial dan aspek strategis nasional lainnya. Keseluruhan
input ini diproses dengan menganalisis input tersebut secara integral baik
kondisi saat ini maupun kedepan untuk masing-masing hirarki tata ruang
Nasional, Propinsi maupun Kabupaten/Kota sehingga menghasilkan output
berupa Rencana Tata Ruang yang menyeluruh.39

1.2.2.8.2 Keterpaduan penataan ruang dengan Informasi Geospasial yang handal


Keterpaduan dalam penyelenggaraan penataan ruang yang sudah lama
menjadi isu antar daerah baik itu di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,
dalam meng-implementasikan substansi dari tata ruang tingkat nasional maupun
tingkat provinsi. Terlebih lagi dengan adanya Undang-undang yang mengatur
kepemerintahan daerah. Seringkali kawasan yang seharusnya mempunyai
peruntukan sama di tingkat provinsi maupun nasional, diimplementasikan lain di
tingkat

kabupaten/kota

yang

bertetangga.

Konsep

keterpaduan

dalam

39

Pembangunan infrastruktur secara terpadu dan berkelanjutan berbasis penataan ruang oleh: Dr. Ir. a. hermanto
dardak, MSc. Direktur Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum
http://www.penataanruang.net/taru/Makalah/060227-itb.pdf.

29

penyelenggaraan penataan ruang ini akan menjadi lebih mudah apabila Informasi
Geospasial yang mempunyai referensi sama digunakan oleh dua atau lebih
daerah yang bertetanggaan. Sehingga pembangunan di daerah pun akan menjadi
selaras dengan kebijakan di tingkat nasional. Kualitas peta dan Informasi
Geospasial dalam hal ini sangat penting, baik itu secara geometris maupun
substansi. Sehingga keterpaduan dalam penyelenggaraan penataan ruang dapat
dipantau.
1.2.2.8.3 Masalah dalam penataan ruang

Di samping keberadaan Indonesia yang sangat strategis, Indonesia berada


pula pada kawasan rawan bencana, yang secara alamiah dapat mengancam
keselamatan bangsa.

Pemprov Jawa Tengah telah mengeluarkan anggaran Rp 66 miliar dari APBD


untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur yang rusak akibat
bencana. Diperkirakan kerusakan tersebut merupakan akibat dari penataan
ruang yang kurang baik.40

Kemacetan lalulintas di Kota Medan dinilai cukup serius serius. Bagaimana


sebenarnya arahan kebijakan dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
(RTRWK) Medan yang ada. Kerugian akibat kemacetan ini diperkirakan
mencapai Rp. 1,3 Miliar per hari.41

Konsistensi

penataan

ruang

terhadap

tata

ruang

di

atasnya

sering

menimbulkan permasalahan seperti bencana alam.

Salah penataan ruang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, kesalahan


investasi, kesalahan merencanakan lahan perkebunan atau transmigrasi,
penambangan di dekat kawasan permukiman, kemacetan lalu lintas,
contohnya:
a. Kemacetan lalu lintas akibat penataan ruang di Depok menyebabkan
kerugian sebesar Rp 10 Milyar/tahun42;

40

Dinas Bina Marga Prov Jawa Tengah http://www.binamargajateng.go.id/berita/2006/februari/260206-01.htm, kutipan Suara Merdeka 26/2/2006.
41
Harian WASPADA, kolom OPINI halaman 4, Sabtu 13 November 2004
dan di Harian ANALISA, kolom OPINI halaman 18, Jumat 19 November 2004)
Oleh:Dr. Ir. Richard Napitupulu, MT. Ir. Filiyanti T.A. Bangun, Grad. Dipl. P.M., M.Eng.
42

Tempo Interaktif Rabu, 02 Januari 2008 http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2008/01/02/brk,20080102-

30

RTRWN

RTRWP
43

Gambar Inkonsistensi RTRWN dan RTRWP untuk wilayah Provinsi Riau .

b. Lahan pertanian di Jabar mencapai 900 ribu hektar. Setiap tahun, tidak
kurang dari 2.500 hektar lahan pertanian tersebut terkikis oleh
pembangunan fisik. Untuk lahan hutan di Jabar, mencapai 861 ribu
hektare. Tidak kurang dari 500 ribu hektar lahan hutan itu dalam kondisi
kritis. Kerusakan lahan pertanian dan hutan tersebut terjadi karena
penyalahgunaan infrastruktur di Jabar. Sehingga program Gerakan
Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) yang memakai dana tidak kurang dari
Rp 25 miliar dana dari APBD Jabar disalurkan44.
c. Kerugian akibat kemacetan di Indonesia mencapai Rp 70-80 triliun per
tahun. Angka itu diperoleh dari 60 kota/kabupaten besar yang ada di
Indonesia (Republika on Line, 20 Juni 2007).
d. Gali lubang tutup lubang (listrik, gas, telepon, airminum, kabel fiberoptik, saluran pembuangan) merupakan contoh ketidakterpaduan dalam
penataan ruang45.
Mengingat data dan fakta yang telah disampaikan di atas, maka:

Untuk mencapai keterpaduan dalam penataan ruang maka pengumpulan,


pengolahan, dan penyajian Informasi Geospasial harus dibuat standardisasi

114616,id.html
43
44

http://rencanatataruangriau.blogspot.com/2007/09/konsistensi-penataan-ruang-dan.html

Dinas Kehutanan Prov Jabar http://www.dishut.jabarprov.go.id/


index.php?mod=detilBerita&idMenuKiri=334&idBerita=384
45
http://privateeronboard.wordpress.com/2007/09/20/gali-lobang-tutup-lobang/

31

dan spesifikasinya.

Informasi Geospasial harus digunakan dalam pengambilan keputusan, sebab


jika tidak akan cenderung tersusun rencana tata ruang yang tidak sesuai
dengan kondisi yang diinginkan.

Dalam pengendalian kemacetan lalu lintas dan hal lain yang tidak sesuai
dengan Informasi Geospasial dalam penataan ruang maka peran serta
masyarakat diperlukan.

Gambar Ilustrasi gali lobang tutup lobang yang seringkali menunjukkan tidak berjalannya koordinasi kerja
antar instansi.

1.2.2.9 Mendorong Investasi Ekonomi


Untuk mendorong iklim investasi sehingga calon investor dapat optimal
memilih atau meletakkan obyek investasi yang sesuai dengan pertimbangan
lokasi, kedekatan dengan sumber daya alam, ketersediaan sumber daya manusia
dan akses infrastruktur diperlukan peta dan Informasi Geospasial. Hal ini telah
diatur pada Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Informasi Geospasial berupa peta yang menunjukkan potensi investasi telah
diakui misalnya oleh Dorodjatun Kuntjoro-Jakti ketika masih menjabat sebagai
Menko Perekonomian46. Informasi potensi investasi dapat dibuat dengan
memadukan berbagai informasi sumber daya alam, infrastruktur, kondisi sosial
ekonomi dan sebagainya.
Dalam bidang energi listrik misalnya, sangat diperlukan peta kebutuhan

46

Harus Ada Peta Potensi Investasi, Suara Pembaruan 1 Juli 2002

32

investasi listrik untuk seluruh wilayah Indonesia yang diakui oleh PLN belum ada.
Informasi spasial ini diperlukan untuk mengetahui daerah-daerah yang mengalami
krisis listrik di Indonesia, dan bila PLN ternyata tidak mampu untuk membangun
pembangkit di daerah tersebut maka akan ditawarkan kepada investor 47. Untuk
calon investor yang berminat, informasi ini tentu memberikan kepastian akan
calon lokasi investasi mereka.
Indonesia sebagai negara pertambangan, Indonesia merupakan negara yang
tentu menarik para investor di bidang pertambangan. Indonesia memiliki produksi
timah terbesar ke dua di dunia, tembaga terbesar ke empat, nikel terbesar ke lima,
emas terbesar ke tujuh dan produksi batu bara terbesar ke delapan di dunia.
Menurut survei tahunan dari Price Waterhouse Coopers (PWC), ekspor produk
pertambangan menyumbangkan 11 persen nilai ekspor di tahun 2002, sementara
sektor ini juga menyumbangkan 2,7% dari produk domestik bruto (PDB) dan US$
920 juta dalam bentuk pajak dan pungutan bukan pajak bagi berbagai tingkat
pemerintahan. Tetapi masih menurut estimasi dari PWC, eksplorasi di Indonesia
telah mengalami penurunan dari US$ 160 juta di tahun 1996 menjadi hanya
US$18,9 juta di tahun 2002. Sementara itu, jumlah investasi keseluruhan dalam
sektor pertambangan turun dari sekitar US$ 2 billion di tahun 1997 menjadi di
bawah US$ 500 juta pada tahun 2001 dan 200248.
Untuk menarik lagi minat investor, diperlukan peta potensi sumber daya kita
yang menunjukkan dengan persis lokasi-lokasinya. Dalam hal ini menurut Ketua
Umum Asosiasi Pertambangan Indonesia, Indonesia hingga kini masih relatif
sama dengan Argentina, Peru, Mexico dan Chile; negara-negara yang relatif
belum mempunyai peta sumber daya geologi yang jelas baik di atas maupun di
bawah permukaan bumi49.
Informasi Geospasial juga akan membantu investasi dalam bidang
telekomunikasi. Misalnya untuk membantu mencari lokasi yang optimal untuk
pembangunan BTS (Base Tranceiver Stasiun). Investasi biaya pembangunan 1

47

48

http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2003/07/08/brk,20030708-15,id.html 8 Juli 2003, diakses 16 Juni 2008

http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/2800161106130305439/617331-1110769011447/810296-1110769073153/mining.pdf diakses tanggal 16


Juni 2008
49
http://www.ima-api.com/news.php?pid=731&act=detail

33

BTS adalah sekitar Rp 700 juta sampai Rp 1 milyar50,51. Bahkan untuk lokasilokasi yang sulit aksesnya seperti di Sulawesi, Maluku dan Papua, biaya
pembangunan 1 BTS dapat mencapai Rp 5 milyar52. Investasi sebesar ini tentu
memerlukan informasi yang meyakinkan bahwa lokasi yang dipilih adalah betulbetul lokasi yang tepat.
Di samping sebagai bahan masukan untuk sebuah keputusan dan investasi,
informasi spasial juga diyakini akan membantu menaikkan revenue perusahaan di
berbagai bidang. Karena itu, investasi di bidang Informasi Geospasial misalnya
untuk pengadaan dan pengolahan data geospasial sudah mulai dilakukan oleh
berbagai perusahaan swasta.
Di bidang perkebunan, beberapa perusahaan perkebunan nasional sudah
berani mengeluarkan investasi untuk pengadaan dan pengelolaan Informasi
Geospasial untuk menunjang operasional perusahaannya. Grup Sinar Mas
misalnya, melakukan kontrak dengan Intermap (perusahaan Canada) sebesar 2.6
juta US $ untuk memetakan areal perkebunannya di tahun 2006 dengan
menggunakan teknologi pemetaan radar53.
Perusahaan perkebunan di bawah Grup Rajawali, juga melakukan investasi
senilai kurang lebih Rp 1 milyar untuk mengadakan data dan membangun sebuah
sistem Informasi Geospasial untuk menunjang aktifitasnya54. Perusahaan Coca
Cola juga melakukan investasi dalam bidang Informasi Geospasial untuk
mengoptimasi aktivitas distribusi ke berbagai agen. Coca Cola menginvestasikan
sekitar Rp 5 miliar dalam waktu dua sampai tiga tahun dengan biaya terbesar
untuk pembelian software berlisensi. Tetapi perusahaan tersebut kemudian
mampu melakukan penghematan ongkos distribusi antara Rp 3-4 miliar setiap
tahunnya55.
Bahkan dalam pengembangan bisnis retail, penentuan lokasi diyakini
merupakan kunci kesuksesan. Dauglas J. Tigert & Lawarnce J. Ring dalam

50

http://www.handphone.co.id/snapshot/detail.php?no=102, diakses 16 juni 2008

51

http://www.republika.co.id/korandetail.asp?id=329404&kat_id=&kat_id1=&kat_id2=, 7 April 2008,


diakses 16 juni 2008
52
http://www.kapanlagi.com/h/0000171128.html 10 Mei 2007, diakses tanggal 16 juni 2008
53
Laporan Pelaksanaan IGTE 2006
54
Talkshow, Launching IGTE 2007
55
Henny Liliwati dan Budiman, Data Spasial, Pilihan Cerdas Bangsa Yang Bijak, 2007

34

bukunya Strategic Planing & Management in Retailing (1994), mengemukakan


ada 5 hal yang harus betul-betul diperhatikan agar bisnis ritel sukses, yang
kemudian dikenal sebagai konsep Retail mix (bauran ritel). Nomor 1 dari 5 hal ini
adalah Place atau lokasi. Lokasi memiliki peran yang sangat penting. Bahkan
dalam bisnis ritel dikenal adagium yang menyatakan bahwa tiga kunci sukses
bisnis ritel, yaitu pertama lokasi, kedua lokasi dan ketiga lokasi56.
Dalam beberapa hal informasi lokasi ini sangat terbantu dengan sebuah
sistem Informasi Geospasial yang dapat menamilkan peta wilayah secara
elektronik

dengan

berbagai

atribut

informasi

pendukung

seperti

data

kependudukan, daya beli, tingkat persaingan dan lain sebagainya. Misalnya, atas
permintaan Bank Niaga tahun 2003 Surindo telah melakukan riset seperti ini57.
Potensi pasar di bidang geospasial di Indonesia memang belum dapat
dihitung dengan pasti. Tetapi dari hal yang disampaikan di atas, terlihat potensi
investasi yang mulai berkembang yang pada akhirnya akan berkontribusi positif
pada perekonomian nasional.
1.2.2.10 Perubahan Iklim Global (Global Climate Change)
Para pakar ilmu lingkungan menyampaikan pendapatnya bahwa penyiapan
informasi sumber daya alam menjadi program prioritas utama di setiap negara,
setelah diadakan konferensi lingkungan hidup sedunia di Rio de Janeiro.
Pendapat ini didasarkan pada kenyataan semakin bertambah rusak serta
berkurang sebaran daerah agihan dari sumber daya alam dari waktu ke waktu,
sehingga terjadi pemanasan global. Pendataan dan penyusunan informasi sumber
daya alam dimaksudkan agar pemanfaatan sumber daya alam yang ada di suatu
negara tidak mengalami percepatan kerusakan (degradasi) karena tidak
direncanakan secara cermat dalam pengelolaannya58. Khusus untuk negaranegara yang perekonomian nasionalnya bertumpu dari sektor sumber daya alam
seperti minyak bumi, batubara serta hasil-hasil tambang lainnya seperti Indonesia,

56

Dauglas J. Tigert & Lawarnce J. Ring dalam bukunya Strategic Planing & Management in
Retailing (1994)
57

Peranan Riset Pasar dalam Bisnis Ritel, http://


www.majalahfranchise.com/home.php?link=archives&edisi=29&&a_id=271&name_cat=Opini
58
Bradbury, Roger. 1998. Sustainable development as a Subversive Issue. International Journal Nature Resources, Vol
34, No 4, 1998, The UNESCO quarterly journal on The Environmental and Natural Resources Research.

35

perlu lebih berhati-hati terhadap dampak kerusakan lingkungan yang dapat


muncul akibat adanya ekploitasi sumber daya alam secara berlebihan, tindakan ini
dapat merugikan negara59.
Informasi Geospasial kedudukannya sangat penting dalam menghadapi isu
perubahan iklim global ini. Hal ini membutuhkan informasi yang menyeluruh,
terintegrasi dan mengandung banyak jenis informasi, baik itu fisik, biotik maupun
sosial ekonomi. Dalam menghadapi perubahan iklim global ini, Informasi
Geospasial berperan tidak hanya dalam identifikasi perubahan, tetapi juga
kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian dalam beradaptasi dengan
perubahan ini.
1.2.2.11 Sistem Informasi Pajak Bumi dan Bangunan
Semakin berkembangnya teknologi komputer, berdampak pada berbagai
bidang. Termasuk di bidang pajak bumi dan bangunan.penetapan pajak bumi dan
bangunan yang dilakukan secara manual berangsur-angsur berkembang dengan
menggunakan komputer. Perhitungan tidak dilakukan secara manual namun
sudah dibantu dengan peralatan yang canggih. Hasil kegiatan tersebut semakin
cepat dan akurat. Seiring dengan hal tersebut, teknologi pemetaan juga
berkembang dengan pesat. Oleh sebab itu integrasi antara data wajib pajak dan
data pemetaan sangatlah penting untuk dilakukan.
Mekanisme Pembentukan Basis Data Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sifat basis data PBB sangat penting dan berhubungan dengan besarnya
penerimaan negara. Untuk memperoleh kebenaran basis data yang berhubungan
kebenaran nilai PBB, maka Kementerian Keuangan Negara Republik Indonesia
menetapkan beberapa tahap dalam pengumpulan data objek dan subjek PBB
tersebut, yaitu : pendaftaran, pendataan dan penilaian Objek Pajak60.
1.2.2.12 Kemiskinan dan Ketahanan Pangan
Kemiskinan dan ketahanan pangan sangat erat kaitannya satu sama lain.

59

Dury G.H., 1981. An Introduction to Environmental Systems. Heinemann Educational bookLtd, London.

60

Agus Muliantara, Program Studi Teknik Informatika, Jurusan Ilmu Komputer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Udayana

36

Berikut adalah cuplikan kondisi ketahanan pangan Indonesia dalam kaitannya


dengan kesejahteraan rakyat61. Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang
terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem
ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi
kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan
keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang
efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh
pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga
yang terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan agar
pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman,
kandungan gizi, kemananan dan kehalalannya. Situasi ketahanan pangan di
negara kita masih lemah. Hal ini ditunjukkan antara lain oleh: (a) jumlah penduduk
rawan pangan (tingkat konsumsi<90% dari rekomendasi 2.000 kkal/kap/hari) dan
sangat rawan pangan (tingkat konsumsi <70 % dari rekomendasi) masih cukup
besar, yaitu masing-masing 36,85 juta dan 15,48 juta jiwa untuk tahun 2002; (b)
anak-anak balita kurang gizi masih cukup besar, yaitu 5,02 juta dan 5,12 juta jiwa
untuk tahun 2002 dan 2003 (Ali Khomsan, 2003). Menurut Bustanul Arifin (2005)
ketahanan pangan merupakan tantangan yang mendapatkan prioritas untuk
mencapai kesejahteraan bangsa pada abad milenium ini. Apabila melihat
Penjelasan PP 68/2002 tersebut, upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional
harus bertumpu pada sumber daya pangan lokal yang mengandung keragaman
antar daerah.
Permasalahan yang menghambat dalam mencapai ketahanan pangan dan
menjauhkan Indonesia dari keadaan rawan pangan dan kemiskinan adalah
konversi lahan pertanian menjadi daerah industri. Menurut Tambunan (2003)
dengan semakin sempitnya lahan pertanian ini, maka sulit untuk mengharapkan
petani kita berproduksi secara optimum. Konversi lahan pertanian ke nonpertanian
di Indonesia akan semakin meningkat dengan rata-rata 30.000-50.000 ha per
tahun, yang diperkirakan jumlah petani gurem telah mencapai sekitar 12 juta
orang.
Lahan Pertanian di Beberapa Negara Asia.

61

http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/09/tantangan-menuju-ketahanan-pangan/

37

Negara
1. Bangladesh
2. China
3. India
4. Indonesia
5. Jepang
6. Korea Selatan
7. Malaysia
8. Pakistan
9. Filipina
10. Sri Lanka
11. Thailand
12. Vietnam

Lahan Pertanian (ha per kapita)


1979-81
1996-1998
0,10
0,06
0,10
0,10
0,24
0,17
0,12
0,09
0,04
0,04
0,05
0,04
0,07
0,08
0,24
0,17
0,11
0,08
0,06
0,05
0,35
0,28
0,11
0,07

Sumber : World Bank database dalam Tambunan (2003).

1.3 TUJUAN DAN KEGUNAAN


Gambaran latar belakang permasalahan di atas menunjukkan bahwa
penyelenggaraan Informasi Geospasial sangat diperlukan sebagai bagian penting
dari jawaban permasalahan-permasalahan tersebut. Untuk itu tujuan dari kegiatan
ini adalah pengajuan sebuah Rancangan Undang-Undang tentang Informasi
Geospasial yang diharapkan dapat memberikan jawaban menyeluruh terhadap
permasalahan tata Informasi Geospasial di Indonesia. Naskah ini dibuat dengan
harapan dapat membantu proses pembahasan Rancangan Undang-undang
tersebut dan selanjutnya dapat dijadikan landasan hukum penyelenggaraan dan
pembinaan tata Informasi Geospasial secara nasional yang tertib, terpadu, terarah
dan aman yang diselenggarakan secara terus menerus dalam menunjang
kelancaran jalannya pembangunan nasional di segala bidang kehidupan.

1.4 METODE PENELITIAN


Naskah akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Informasi
Geospasial ini disusun dengan menggunakan berbagai metodologi sebagai
berikut:
Pengalaman praktis di lapangan tentang pelaksanaan aktifitas survei dan
pemetaan yang dimiliki oleh BAKOSURTANAL sejak didirikannya pada tahun
1969.
Rapat kerja dan diskusi dengan berbagai stakeholders dunia geospasial
nasional yang meliputi perguruan tinggi, dunia usaha, dan lembaga swadaya
masyarakat

38

Studi literatur naskah Undang-Undang dan Peraturan sejenis di berbagai


negara seperti Jepang, Cina, Amerika Serikat, dan Malaysia.
Studi berbagai naskah Undang-Undang dan Peraturan yang sudah dikeluarkan
terlebih dahulu yang terkait dengan Informasi Geospasial seperti:
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Kebencanaan
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik
- Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial
Nasional
Penjaringan masukan melalui internet yaitu melalui milis-milis komunitas
geospasial.
Pertemuan dengan berbagai kementerian dan lembaga terkait, yaitu:
- Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan
- Kementerian Pertahanan
- Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
- Kementerian Dalam Negeri
- Kementerian Pekerjaan Umum
- Kementerian Kehutanan
- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
- Kementerian Komunikasi dan Informasi
- Kementerian Pertanian
- Kementerian Kelautan dan Perikanan
- Kementerian Perhubungan
- Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
- Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
- Badan Pertanahan Nasional
- Badan Pusat Statistik
39

- Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika

40

2. BAB II
ASAS-ASAS

Permasalahan yang dipaparkan dalam BAB I menunjukkan perlunya


penyelenggaraan Informasi Geospasial. Penyelenggaraan ini harus berlandaskan
pada beberapa asas di bawah ini sehingga dapat berlangsung secara efektif.

2.1 ASAS KEPASTIAN HUKUM


Penyelenggaraan Informasi Geospasial dilakukan berlandaskan hukum atau
ketentuan

peraturan

perundang-undangan

yang

menjamin

hak-hak

para

pemangku kepentingan. Diperlukan kejelasan tugas dan kewenangan instansi


pemerintah dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan Informasi Geospasial.
Dengan demikian ada kejelasan siapa bertanggung jawab pada data dan
Informasi Geospasial apa. Hal ini akan menjamin ketersediaan berbagai jenis
Informasi

Geospasial

secara

lengkap

dalam

mendukung

pembangunan

perekonomian, pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup


di Negara Republik Indonesia.
Kepastian hukum juga diperlukan oleh segenap warga negara untuk
berpartisipasi dalam pelaksanaan penyelenggaraan Informasi Geospasial, baik
sebagai perorangan maupun sebagai badan usaha. Undang-Undang ini harus
menjamin keikutsertaan mereka dalam bentuk pengaturan yang jelas pada proses
administrasi, sertifikasi dan kualifikasi kompetensi. Pada beberapa Informasi
Geospasial, seperti batas wilayah administrasi atau batas kawasan pengelolaan
hutan dan pertambangan, ada kebutuhan kepastian hukum. Undang-Undang ini
karenanya mesti memberikan landasan bagi penyelesaikan permasalahan hukum
terkait Informasi Geospasial.

2.2 ASAS KETERPADUAN


Permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan Informasi Geospasial
sekarang ini adalah ketidakterpaduan Informasi Geospasial yang tersebar di

41

berbagai tempat. Informasi Geospasial sudah banyak tersedia dan dikembangkan


oleh berbagai pihak baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Informasi
tersebut dibuat dan dikelola untuk keperluan masing-masing pihak tersebut.
Selama memang penggunaannya dibatasi untuk kepentingan internal, tentu hal ini
tidak menjadi masalah. Masalah mulai timbul apabila informasi tersebut digunakan
dengan mengkombinasikannya dengan data yang dibuat institusi lain. Contoh
permasalahan ini misalnya Informasi Geospasial Tematik kehutanan yang
dihasilkan Kementerian atau dinas terkait, harus dipadukan dengan Informasi
Geospasial pekerjaan umum, pertanahan, dan lingkungan hidup yang dikeluarkan
masing-masing intansi terkait dan juga data lainnya. Keseluruhan informasi
tersebut harus dapat diintegrasikan satu sama lain. Integrasi data hanya mungkin
apabila data tersebut memenuhi standar tertentu yang disepakati semua pihak
dan dapat dipertukarkan satu sama lain.
Saat ini pelaksanaan kegiatan survei dan pemetaan yang merupakan inti dari
penyelenggaraan Informasi Geospasial belum terintegrasi, sehingga sering terjadi
tumpang tindih dalam berbagai kegiatannya. Dampak langsung dari hal ini adalah
borosnya anggaran pemerintah untuk kegiatan yang terkait penyelenggaraan
Informasi Geospasial, mengingat sebagian besar kegiatan pemetaan adalah
diselenggarakan oleh instansi pemerintah dan pemerintah daerah.
Asas keterpaduan karena itu harus menjiwai sebuah undang-undang tentang
Informasi Geospasial. Hal-hal terkait standardisasi harus merupakan hal penting
yang

diatur.

Undang-undang

ini

juga

harus

menjamin

asas

effisiensi

penyelenggaraan Informasi Geospasial. Harus ada lembaga pusat maupun


daerah yang berwenang mensinkronkan anggaran kegiatan yang terkait Informasi
Geospasial.

2.3 ASAS KETERBUKAAN


Setiap warga negara berhak mendapatkan Informasi Geospasial yang dapat
mewujudkan kehidupan yang adil, makmur dan sejahtera. Karenanya secara
umum Informasi Geospasial bersifat terbuka. Asas keterbukaan berarti bahwa
Informasi Geospasial diselenggarakan untuk dapat dipergunakan oleh banyak
pihak dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mendapatkannya.
42

Untuk itu Undang-Undang ini harus mengatur dengan jelas sifat terbuka
pada Informasi Geospasial yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah dan
pemerintah daerah. Aturan tentang penyebarluasan informasi gespasial harus
diakomodasi berdasarkan asas ini. Berbagai usaha pemerintah untuk mendorong
penyebarluasan Informasi Geospasial mesti diatur dengan sungguh-sungguh.
Diantara kegiatan penting dalam kaitan ini adalah pembangunan infrastruktur
Informasi Geospasial yang cakupannya nasional dan dibangun pada tingkat pusat
dan tingkat daerah.

2.4 ASAS KEMUTAKHIRAN


Informasi Geospasial yang disajikan dan atau tersedia, harus dapat
menggambarkan fenomena dan atau perubahannya menurut keadaan yang
terbaru. Oleh karena itu, penyelenggaraan Informasi Geospasial harus senantiasa
diupayakan secara terus menerus, berkesinambungan dan runtut waktu.
Asas kemutakhiran menjadi penting dalam penyelenggaraan Informasi
Geospasial, karena setiap informasi memiliki masa validitasnya. Informasi yang
tidak up-to-date akan berkurang manfaatnya atau bahkan tidak bermanfaat sama
sekali. Dalam beberapa kasus, Informasi Geospasial yang out-of-date bahkan
dapat mengakibatkan bahaya bagi penggunanya. Karenanya Undang-Undang ini
harus menjamin adanya pemutakhiran Informasi Geospasial sesuai dengan sifat
dan jenis informasinya.

2.5 ASAS KEAKURATAN


Asas keakuratan akan mendorong seluruh penyelenggara

Informasi

Geospasial bekerja sungguh-sungguh dan teliti dalam menghasilkan informasi


yang cermat, tepat, dan benar. Asas ini menjadi landasan perlunya sumber daya
manusia yang berkualitas, penerapan teknologi yang tepat, dan proses kerja yang
tertata rapi dalam penyelenggaraan Informasi Geospasial.

43

3. BAB III
MATERI MUATAN

3.1 PENDAHULUAN
Rancangan Undang-Undang tentang Informasi Geospasial harus dapat
mengakomodasi pengaturan survei dan pemetaan, Informasi Geospasial dan
pengelolaan informasi tersebut dalam suatu sistem informasi spasial yang telah
berkembang. Pembinaan yang telah berjalan harus lebih terkoordinasi dan
terpadu untuk menentukan sasaran, optimasi kemampuan, ketepatan dan
kecepatan administrasi kegiatan pengelolaan Informasi Geospasial. Dengan
demikian produk Informasi Geospasial atau produk survei dan pemetaan yang
dihasilkan dapat lebih didayagunakan untuk mendukung pelaksanaan sistem
informasi spasial dalam mendukung kelancaran pembangunan nasional di segala
bidang guna meningkatkan kesejahteraan bangsa dan dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Pengaturan
penyelenggaraan

Undang-Undang
Informasi

ini

Geospasial,

mengikuti
yaitu

keseluruhan

pengumpulan,

proses

pengolahan,

penyimpanan, penggunaan Informasi Geospasial dari segala aspek yang


dilakukan pemerintah pada seluruh tingkatan dan juga yang dilakukan pihak
swasta dan masyarakat luas.
Pengaturan

Undang-Undang

ini

harus

dapat

menjawab

empat

permasalahan utama tersebut yang disampaikan pada BAB I. Sasaran utama


RUU ini pada prinsipnya untuk menyelesaikan permasalahan yang disampaikan,
yaitu:
1. menjamin ketersediaan Informasi Geospasial yang lengkap, mutakhir, dan
standar untuk seluruh wilayah Indonesia,
2. menjamin kemudahan akses Informasi Geospasial, dan
3. memberikan peningkatan kesadaran akan pentingnya Informasi Geospasial
sehingga adanya keputusan yang cepat dan tepat.
Undang-Undang ini mengisyaratkan bahwa Informasi Geospasial merupakan

44

aset nasional yang penting, karena informasi ini menjadi bagian penting dari
sistem informasi nasional, yang akan menjadi pemerintahan berlangsung berbasis
informasi dan pengetahuan yang handal (knowlegde based or smart governance).
Penyelenggaraan Informasi Geospasial akan mendukung penataan ruang, proses
inventarisasi dan pemanfaatan kekayaan alam, dan juga mengurangi resiko
bencana alam bagi masyarakat. Penyelenggaraan ini juga membantu proses
pelayanan publik yang baik dan mendorong kemajuan perekonomian. Tujuan
akhir dari penyelenggaraan Informasi Geospasial ini adalah menegakkan keadilan
dan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

3.2 JENIS INFORMASI GEOSPASIAL


Dalam dunia pemetaan yang merupakan dasar kegiatan pengadaan
Informasi Geospasial, dikenal 2 (dua) jenis peta. Dalam RUU ini dibedakan 2 jenis
Informasi Geospasial, yaitu Informasi Geospasial Dasar dan Informasi Geospasial
Tematik.

Skema jenis Informasi Geospasial.


3.2.1 Informasi Geospasial Dasar
Informasi

Geospasial

Dasar

merupakan

Informasi

Geospasial

yang

pemanfaatannya ditujukan untuk keperluan yang bersifat luas, baik bagi

45

pemerintah,

badan

usaha

maupun

perorangan,

yang

memiliki

ciri-ciri

pemanfaatannya relatif untuk jangka waktu yang panjang dan memiliki informasi
posisi atau lokasi suatu obyek yang dapat dilihat langsung atau diukur, dicatat
dan/atau dicitra dari kenampakan fisik di muka bumi.
Informasi Geospasial Dasar memiliki kriteria unik atau tunggal, terbuka,
diselenggarakan oleh negara melalui otoritas tertentu, dan menjadi dasar atau
referensi bagi pembuatan Informasi Geospasial Tematik. Informasi Geospasial
Dasar berbentuk titik, garis dan poligon dan nama-nama rupabumi (toponim).
Adapun asal usul Informasi Geospasial Dasar berupa unsur alam (garis pantai,
kontur, hipsografi), buatan manusia (bangunan fasilitas umum) dan tak berujud
(batas wilayah administrasi, nama-nama rupabumi).
Informasi Geospasial Dasar juga meliputi informasi yang menjadi kerangka
pembuatan Informasi Geospasial Dasar yaitu kerangka jaring titik kontrol yang
koordinatnya di atas permukaan bumi diketahui dengan ketelitian tertentu.
3.2.1.1 Kandungan Informasi Geospasial Dasar
Informasi Geospasial Dasar meliputi:
A. Jaring kontrol geodesi
1) Jaring kontrol geodesi horizontal
Jaring kontrol geodesi horizontal merupakan Jaring Kontrol Horizontal
Nasional yang digunakan sebagai kerangka acuan posisi horizontal dua dimensi
bagi Informasi Geospasial. Titik-titik kontrol geodesi horizontal diwujudkan di atas
permukaan bumi dalam bentuk tanda fisik. Posisi titik kontrol tersebut mengacu
pada satu sistem referensi yang berlaku secara nasional.
2) Jaring kontrol geodesi vertikal
Jaring kontrol geodesi vertikal merupakan Jaring Kontrol Vertikal Nasional
yang digunakan sebagai kerangka acuan posisi vertikal bagi Informasi
Geospasial. Jaring Kontrol Vertikal Nasional berupa titik-titik kontrol geodesi
vertikal yang mengacu pada satu sistem referensi tinggi yang berlaku secara
nasional.
3) Jaring kontrol gaya berat dan pasang surut laut

46

Jaring kontrol gaya berat merupakan jaring kontrol gaya berat nasional yang
digunakan sebagai acuan dalam penentuan posisi vertikal dan sistem referensi
tinggi. Nilai gaya berat di setiap titik pada jaring tersebut mengacu pada satu
sistem referensi gaya berat yang berlaku secara nasional.
Data pasang surut laut yang diperoleh dari pengamatan naik turunnya muka
laut di stasiun-stasiun pasang surut diperlukan pada penentuan bidang referensi
vertical. Lokasi stasiun-stasiun pasang surut laut tersebut tersebar di seluruh
wilayah Indonesia dengan kerapatan tertentu.
B. Peta Induk
Peta induk adalah peta yang digunakan sebagai dasar geometris untuk
pembuatan peta tematik, yang meliputi:
1) Peta Rupabumi Indonesia (RBI)
Peta rupabumi merupakan peta garis yang meliputi unsur garis pantai, garis
kontur, perairan, nama rupabumi, batas administratif, perhubungan, bangunan
fasilitas umum, dan/atau penutup lahan.
Penjelasan dari setiap unsur peta rupabumi tersebut adalah sebagai-berikut:

Unsur garis pantai merupakan garis pertemuan antara daratan dengan


lautan yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Unsur garis pantai
meliputi jenis, meliputi garis pantai surut terendah, garis pantai pasang
tertinggi; dan garis pantai tinggi permukaan air laut rata-rata. Pada setiap
unsur garis pantai harus dinyatakan jenis garis pantai yang digambarkan.
Dalam hal jenis garis pantai tidak dinyatakan maka garis pantai yang
digambarkan merupakan garis pantai tinggi permukaan air laut rata-rata.

Unsur garis kontur merupakan garis khayal untuk menggambarkan


semua titik yang mempunyai ketinggian yang sama di permukaan bumi
atau kedalaman yang sama di dasar laut. Unsur Garis kontur
digambarkan dengan selang ketinggian tertentu sesuai skala yang
digunakan dengan tetap memperhatikan tingkat ketelitian sumber data.
Pada permukaan bumi yang relatif datar, penggambaran informasi garis
kontur dapat menggunakan garis kontur bantu dan/atau titik-titik tinggi.

Unsur perairan merupakan garis yang menunjukkan pertemuan daratan

47

dengan permukaan tubuh air seperti sungai dan danau .

Nama rupabumi merupakan nama yang diberikan pada unsur rupabumi


yang meliputi unsur alam dan unsur buatan manusia. Yang dimaksud
dengan nama rupabumi adalah misalnya nama sungai, nama danau,
nama gunung, nama desa dan nama bendungan. Nama-nama unsur
rupabumi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah Informasi
Geospasial. Penamaan sebuah unsur haruslah mengikuti pedoman yang
berlaku, sehingga tidak terjadi kerancuan. Toponim merupakan hal yang
sangat penting dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, karena merupakan suatu cara menjaga eksistensi kedaulatan
negara. Penyajian toponim pada Informasi Geospasial diatur lebih lanjut
pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemberian
nama geografis.

Batas wilayah administratif meliputi batas wilayah antar kelurahan/desa,


antar kecamatan, antar kabupaten/kota, antar provinsi, dan antar negara
dengan ketentuan wilayah administratif digambarkan secara setara dan
masih dapat terlihat dalam skala dan/atau akurasi Informasi Geospasial.
Informasi mengenai batas wilayah baik itu batas negara, batas provinsi
maupun batas kabupaten/kota merupakan hal yang sangat sensitif dan
perlu penegasan dan kepastian hukum. Untuk itu dalam penyajiannya
pernyataan mengenai status dan keabsahan hukum dari batas batas
wilayah harus ditampilkan untuk menghindari konflik. Informasi batas
wilayah administratif digambarkan berdasarkan dokumen penetapan
penentuan batas secara pasti di lapangan oleh instansi pemerintah yang
berwenang. Dalam hal terdapat batas wilayah administratif belum
ditetapkan, batas wilayah digambarkan dengan menggunakan simbol
khusus

disertai

catatan

mengenai

status

batas.

Batas

wilayah

administratif di daratan ditandai dengan tanda fisik yang koordinatnya


ditentukan dengan pengukuran geodetik serta dinyatakan dalam sistem
referensi koordinat tertentu. Batas wilayah administratif di lautan ditarik
berdasarkan titik-titik pangkal yang ditandai dengan tanda fisik yang
koordinatnya ditentukan dengan pengukuran geodetik serta dinyatakan
dalam sistem referensi koordinat tertentu. Informasi batas wilayah

48

administratif selain digambarkan berdasarkan dokumen juga harus


didasarkan

pada

koordinat

tanda

fisik

yang

ditentukan

dengan

pengukuran geodetik serta dinyatakan dalam sistem referensi koordinat


tertentu.

Unsur perhubungan merupakan garis yang menggambarkan prasarana di


darat untuk perpindahan manusia dan/atau barang dari satu tempat ke
tempat lain seperti jalan, jalan kereta api, terminal, dermaga dan
landasan pacu pesawat terbang. Juga termasuk di dalam prasarana ini
adalah jaringan listrik, dan jaringan telekomunikasi.

Bangunan dan fasilitas umum merupakan titik dan/atau garis yang


menggambarkan seluruh obyek buatan manusia dan berbagai fasilitas
umum yang berujud bangunan seperti kantor pemerintahan, sekolah,
rumah ibadah, dan pemakaman.

Penutup lahan merupakan garis yang menggambarkan informasi tentang


objek muka bumi yang meliputi area bervegetasi di atas permukaan bumi,
yaitu batas antara area bervegetasi tumbuhan dengan area tidak
bervegetasi, atau area bervegetasi tertentu dengan area bervegetasi
tertentu lainnya. Contoh batas antara area bervegetasi hutan dengan
area bervegetasi persawahan, atau area bervegetasi persawahan dengan
perhubungan.

2) Peta Dasar Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)


Peta Dasar LPI adalah peta dasar di wilayah pantai yang mencakup daratan
pesisir dan laut dengan informasi batimetri dan obyek-obyek penting terkait
dengan navigasi laut, perikanan dan kelautan. Dalam sebuah Peta Dasar LPI
perbandingan cakupan luas daratan dan lautan adalah kurang lebih 1:2. Peta
Dasar LPI ini menggunakan skala 1:50.000.
3) Peta Dasar Lingkungan Laut Nasional (LLN)
Peta Dasar LLN adalah peta dasar di wilayah laut dengan informasi batimetri
dan obyek-obyek penting terkait dengan navigasi laut, perikanan dan kelautan.
Dalam sebuah Peta Dasar LLN perbandingan cakupan luas daratan dan lautan
adalah kurang lebih 1:2. Peta Dasar LLN ini menggunakan skala 1:500.000.

49

3.2.1.2 Cakupan dan Skala Informasi Geospasial Dasar


Penyelenggaraan Informasi Geospasial Dasar harus dilakukan secara
bertahap dan sistematis untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sehingga tidak ada wilayah yang terlewatkan. Penentuan wilayah mana
yang akan dibuat Informasi Geospasial Dasarnya terlebih dahulu harus tetap
memperhatikan prioritas pembangunan dan kebutuhan.
Informasi Geospasial Dasar juga harus diselenggarakan pada berbagai skala
yang dibutuhkan dalam tugas-tugas pemerintahan. Untuk mengatasi berbagai
permasalahan wilayah dibutuhkan tingkat kedetilan informasi dipresentasikan
dalam skala yang berbeda. Untuk overview pembangunan di tingkat nasional
(misalnya untuk sidang kabinet), diperlukan Informasi Geospasial pada suatu
skala yang dapat melihat seluruh Indonesia dalam sekali pandang. Ini dapat
disediakan pada skala 1:2.500.000, berupa peta dinding ukuran sekitar 1 x 2
meter. Untuk overview pembangunan di tingkat provinsi, diperlukan skala
1:1.000.000 hingga 1:50.000, tergantung luas dan bentang provinsi yang
bersangkutan. Yang penting seluruh provinsi dapat dipajang di dinding dilihat
dalam sekali pandang. Demikian untuk kabupaten dan kota, yang akan memakai
skala dari 1:100.000 hingga 1:10.000.
Sedang untuk perencanaan dalam level operasional, diperlukan skala yang
lebih detil dan homogen. Skala itu berkisar dari 1:25.000 hingga 1:1.000,
tergantung obyek yang ingin direncanakan serta tingkat akurasi batas yang
dianggap sensitif. Pada skala 1:25.000, 1 mm di atas peta adalah 25 meter di
lapangan, sedang pada skala 1:1000, 1 mm di atas peta adalah 1 meter di
lapangan. Oleh karena itu jika perencanaan terkait dengan kepemilikan tanah
(persil) biasanya digambarkan pada skala 1:1000, sementara untuk perencanaan
zona pembangunan kota secara garis besar, peta skala 1:25.000 boleh jadi cukup
memadai.
Skala peta ini dari sisi pengguna ditentukan oleh jenis kebutuhan. Sedang
dari sisi pembuat peta ditentukan dari tingkat akurasi sumber data yang dimiliki.
Sebuah citra satelit dengan resolusi tinggi (misalnya Quickbird dengan resolusi 60
cm), dapat digunakan untuk membuat peta dengan skala yang lebih besar
(misalnya 1:10.000), dibanding peta dengan citra resolusi menengah (misalnya
Landsat dengan resolusi 30 meter) yang mungkin hanya dapat untuk membuat
50

peta skala 1:100.000.


3.2.1.3 Pemutakhiran Informasi Geospasial Dasar
Informasi Geospasial Dasar harus dimutakhirkan secara periodik. Periodisasi
pemutakhiran memang tidak dapat ditentukan secara baku karena relatif
berbedanya kecepatan perubahan kondisi alam untuk masing-masing jenis dan
wilayah. Di samping itu faktor luasnya wilayah Indonesia dan terbatasnya sumber
daya yang dimiliki juga menjadi faktor untuk menentukan periode pemutakhiran
Informasi Geospasial Dasar ini.
Di samping pemutakhiran secara periodik, dalam kondisi tertentu informasi
ini dapat juga berubah seperti dalam kasus bencana alam, peperangan yang
merusak infrastruktur dan lain-lain. Dalam hal terjadi bencana alam, perang,
pemekaran atau perubahan wilayah administrasi atau kejadian lainnya yang
berakibat berubahnya unsur Informasi Geospasial dasar, sehingga mempengaruhi
pola dan struktur kehidupan masyarakat, pemutakhiran Informasi Geospasial
Dasar harus dilakukan tanpa menunggu kegiatan pemutakhiran secara periodik.
3.2.1.4 Spesifikasi Informasi Geospasial Dasar
Spesifikasi Informasi Geospasial dibuat untuk menjamin keseragaman
kualitas produk, sehingga antara Informasi Geospasial dari satu instansi dapat
digunakan bersama dengan Informasi Geospasial dari instansi yang lain.
Spesifikasi ini antara lain menyangkut sistem referensi koordinat tertentu. Pada
masa lalu, peta-peta pertambangan sama sekali tidak dapat ditumpangsusunkan
dengan peta-peta kehutanan atau peta-peta perkebunan, karena sistem referensi
koordinatnya sama sekali berbeda. Ini membuat konflik antara kepentingan
pertambangan atau kehutanan sering terjadi.
Kalau ada suatu spesifikasi yang dapat diterima dan disepakati oleh para
pihak pemangku kepentingan, maka spesifikasi itu dapat menjadi standar
nasional. Di Indonesia standar ini diadministrasikan oleh Badan Standardisasi
Nasional. Namun proses pembuatan standar selalu dilakukan dari bawah.
Biasanya akan dibentuk Panitia Teknis yang beranggotakan para pemangku
kepentingan dan mereka melakukan serangkaian rapat konsensus untuk
menyepakati atas suatu rancangan tentang suatu spesifikasi dapat menjadi

51

Standar Nasional Indonesia (SNI).


Namun jauh sebelum dibuat RSNI, tetap harus ada suatu spesifikasi. Untuk
Informasi Geospasial, pihak yang paling netral dan harus menyiapkan data dasar
untuk semua sektor adalah Badan. Karena itu Badan harus memiliki menyiapkan
spesifikasi untuk Informasi Geospasial dasar. Dalam spesifikasi ini diatur berbagai
hal yang akan mengikat sehingga di atas Informasi Geospasial dasar dapat
ditumpangsusun dengan mudah seluruh Informasi Geospasial Tematik. Untuk itu
spesifikasi ini selain mengatur aspek geometrik, jenis data beserta pengertian
(misalnya apa itu pantai, hutan, dan sebagainya) dan kriterianya (kapan suatu
kumpulan vegetasi disebut semak belukar, kapan disebut hutan) dan format
standarnya. Format standar diperlukan ketika ada pertukaran data, baik antar
sistem software atau sistem komputer yang berbeda, atau antar instansi yang
berbeda.
3.2.2 Informasi Geospasial Tematik
Peta Tematik adalah peta yang mempelihatkan data secara kualitatif dan
atau kuantitatif pada unsur-unsur yang spesifik. Unsur-unsur tersebut ada
hubungannya dengan detail-detail topografi (T. Lukman Aziz dan Ridwan
Rachman, 1977). Tema tersebut disajikan dalam bermacam-macam bentuk yang
berhubungan dengan unsur asli dari muka bumi atau unsur-unsur buatan
manusia. Peta tematik kadang-kadang juga memperlihatkan situasi atau keadaan
sebenarnya. Dalam pengertian lain Thematic maps concentrate on the spatial
variations of single phenomenon on the relationship between phenomena. In the
thematic maps the communication objective is to portray the structure of a
distribution, that is., the character of the whole as consisting of the interaction of
the parts (Robinson, A; Randall Sale; Joel Morrison, 1978).
Jenis Informasi Geospasial Tematik terdiri dari peta tematik dasar, peta
tematik analisis, dan peta tematik sintesis.
1. Peta Tematik Dasar adalah peta yang berisi satu tema tertentu yang
menyajikan informasi dasar muka bumi, baik fisik maupun hasil budidaya
manusia, serta merupakan fenomena muka bumi tunggal. Data untuk
penyusunan peta tematik dasar dapat diperoleh dari hasil survai lapangan,

52

interpretasi citra penginderaan jauh, dan data statistik.

Peta tematik dasar

bersifat terbuka dan dibuat oleh Instansi Pemerintah yang mempunyai otoritas
pada tema tersebut.
Contoh:
Peta Lereng, Peta Geologi, Peta Hidrologi, Peta Penutup Lahan, Peta Tanah,
Peta Hutan, Peta Jalan, Peta Utilitas Perkotaan dan Peta Penduduk.
2. Peta Tematik Analisis adalah peta yang berisi suatu tema tertentu hasil dari
proses analisis dan transformasi dari suatu peta tematik dasar.
Contoh:
Peta Sistem Lahan, Peta Bentuk Lahan, Peta Neraca Sumber daya Alam, Peta
Daerah Aliran Sungai (DAS) Peta Curah Hujan, Peta Temperatur dan Peta
Perolehan Suara Pemilu.
3. Peta Tematik Sintesis adalah peta yang berisi suatu tema tertentu hasil
proses sintesis (penggabungan) dari peta tematik dasar, dan atau peta tematik
analisis. Satuan pemetaan baru pada peta tematik sintesis

diperoleh dari

penggabungan dua atau lebih peta masukan (Sukwardjono, 1990; Sinaga,


1986).
Contoh:
Peta Potensi Mikrohidro, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah, Peta
Kemampuan Lahan, Peta Kesesuaian Lahan, Peta Potensi Wisata, Peta
Resiko Bencana, Peta Kemiskinan, Peta Daerah Tangkapan Ikan, Peta
Kerawanan Konflik, dan Peta Prediksi Penyebaran Penyakit Flu Burung.

Untuk tujuan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan Informasi Geospasial


secara umum, maka Informasi Geospasial Tematik meliputi titik-titik horizontal
yang mengacu kepada jaring kontrol geodesi horizontal pada Informasi
Geospasial dasar, titik-titik vertikal yang mengacu kepada jaring kontrol geodesi
vertikal pada

Informasi Geospasial dasar, dan unsur-unsur tema yang

digambarkan di atas peta rupabumi. Unsur peta rupabumi yang diambil untuk
penggambaran Informasi Geospasial Tematik ini disesuaikan dengan tema yang
ditampilkan dalam Informasi Geospasial Tematik tersebut.

53

3.2.2.1 Pembuatan Informasi Geospasial Tematik


Tema Informasi Geospasial Tematik harus mencakup seluruh fenomena
muka bumi yang bermanfaat untuk kehidupan manusia yaitu atmosfer, litosfer,
pedosfer, hidrosfer, biosfer dan antroposfer (Lihat BAB I). Dalam tatanan
pemerintahan,
pelaksanaan

Informasi
tugas

dan

Geospasial
fungsi

Tematik

kementerian,

dibuat
lembaga

sesuai

kebutuhan

pemerintah

non

kementerian, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota,


Badan Usaha, atau Perorangan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 85 tahun 2007
tentang Jaringan Data Spasial Nasional dijelaskan mengenai tugas dan
wewenang instansi pemerintah dalam penyelenggaraan informasi spasial.
Pengaturan tentang lokasi, cakupan, periodisasi dan spesifikasi pembuatan
Informasi Geospasial Tematik belum dapat dibakukan karena tergantung pada
tema yang ditampilkan. Tema dari Informasi Geospasial Tematik belum perlu
dibatasi dan hal ini akan berkembang sejalan dengan perkembangan berbagai
aspek kehidupan masyarakat.
Sumber data untuk penyusunan peta tematik dasar dapat berasal dari citra
penginderaan jauh (foto udara, SFAP, citra satelit, Lidar), hasil survei lapangan,
data statistik.
3.2.2.2 Skala Informasi Geospasial Tematik
Skala Informasi Geospasial Tematik dibuat sesuai dengan kebutuhan dan
ketelitian sumber data yang digunakan. Informasi Geospasial Tematik dibuat
dengan mengacu pada Informasi Geospasial Dasar Untuk itu skala Informasi
Geospasial Tematik tidak boleh lebih besar dari skala Informasi Geospasial Dasar
yang digunakan sebagai acuan. Pengacuan terhadap unsur Informasi Geospasial
Dasar sesuai dengan tujuan pembuatan Informasi Geospasial Tematik, harus
dilakukan tanpa mengubah posisi dan tingkat kedetilan geometrisnya.
3.2.2.3 Informasi Geospasial Tematik Berkekuatan Hukum
Informasi Geospasial Tematik yang akan berkekuatan hukum adalah
informasi yang memuat batas wilayah yang menunjukkan hak dan/atau kewajiban
pihak tertentu di dalam wilayah yang ditentukan oleh batas tersebut. Misalnya peta

54

yang menggambarkan izin pertambangan atau pengelolaan hutan yang


dikeluarkan instansi terkait.
Data tematik seperti data pertanahan, kehutanan, pertanian, mineral, tata
ruang, kelautan dan sebagainya, meski bertolak dari peta dasar yang sama,
kadang-kadang secara tematik mengalami batas yang bertumpang tindih, karena
dibuat dengan filosofi yang berbeda. Hal ini sangat krusial bila menyangkut
perizinan, misalnya suatu daerah sudah diberi izin pertambangan berdasarkan
peta yang dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, namun
ternyata pada peta yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan lokasi tersebut
berupa hutan lindung. Ini dapat menimbulkan ketidakpastian investasi, kemarahan
masyarakat adat, dan tuduhan pelanggaran hukum yang sebenarnya berawal
dari informasi dari peta-peta yang tidak sinergis.
Pada setiap peta Rupabumi Indonesia (RBI), gambar garis batas selalu
diberi disclaimer (Peta ini bukan merupakan referensi resmi batas-batas
internasional maupun nasional). Banyak orang sering tidak membaca disclaimer
ini, dan peta RBI menjadi awal dari persengketaan antar daerah. Pengguna peta
tentunya menginginkan agar disclaimer ini dihapus, dengan cara semua garis
batas yang digambar di atas peta diberi kejelasan status hukumnya, dan ini
mendorong agar semakin banyak data batas wilayah yang telah memiliki
kepastian hukum.
3.2.2.4 Pembuatan Informasi Geospasial Tematik untuk Pemutakhiran Informasi
Geospasial Dasar
Kalau dalam pembuatan suatu Informasi Geospasial Tematik diketahui
bahwa keseluruahan atau sebagian Informasi Geospasial Dasar yang diacunya
tidak lagi sesuai dengan kondisi alam, dan penyelenggara Informasi Geospasial
Tematik tersebut melakukan pemutakhiran terhadap Informasi Geospasial Dasar
tersebut untuk kepentingannya sendiri, maka hasil pemutakhiran ini harus
diserahkan kepada Badan untuk dijadikan bahan masukan pemutakhiran
Informasi Geospasial Dasar.

55

3.3 PENYELENGGARA INFORMASI GEOSPASIAL


3.3.1 Penyelenggara Informasi Geospasial Dasar
Mengingat Informasi Geospasial Dasar harus diselenggarakan secara
sistematis mencakup keseluruhan wilayah Negara Republik Indonesia dan akan
digunakan sebagai dasar pembuatan Informasi Geospasial Tematik, maka
Informasi Geospasial Dasar harus dilaksanakan oleh 1 (satu) instansi saja. Ini
akan menjamin keberlangsungan dan standardisasi Informasi Geospasial Dasar
yang ada di Indonesia. Juga hal ini memberikan kejelasan tentang siapa yang
bertanggungjawab apabila suatu Informasi Geospasial Dasar diperlukan untuk
proses pembangunan. Selanjutnya karena pembuatan Informasi Geospasial
Tematik harus mengacu kepada Informasi Geospasial Dasar, maka Informasi
Gepasial Tematik pun akan terstandardisasi sehingga mempermudah proses
pertukaran dan pemanfaatan bersama informasi tersebut. Untuk itu RUU ini
mengamanahi sebuah Badan untuk menyelenggarakan Informasi Geospasial
Dasar.
Tetapi karena Informasi Geospasial Dasar harus diselenggarakan secara
sistematis pada berbagai skala sampai skala yang sangat detil untuk kepentingan
pembangunan, maka untuk membantu percepatan penyelenggaraannya dibuka
kemungkinan bahwa Informasi Geospasial Dasar pada skala yang diperlukan
untuk pembangunan daerah (skala 1:1000 sampai dengan 1:10000) juga dapat
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dengan tetap bekerjasama dengan
Badan penyelenggara Informasi Geospasial Dasar. Pola seperti ini misalnya
dilaksanakan oleh Jepang, yang membagi tugas pembuatan Informasi Geospasial
Dasar skala 1:25.000 dan lebih kecil sebagai tugas dari GSI (Geographic Surveis
Institute) yang merupakan lembaga pemetaan tingkat nasional, dan pembuatan
Informasi Geospasial Dasar skala 1:10.000 dan lebih detil sebagai tugas
Pemerintah Daerah (Pemerintah Kota).
Penyelenggaraan Informasi Geospasial dasar, yang mencakup jaring
geodesi nasional dan peta dasar rupabumi, di Indonesia sejauh ini dilandaskan
pada Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang pembentukan Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) meskipun dalam
Kepres ini penyelenggaraan Informasi Geospasial Dasar masih diistilahkan
56

dengan kegiatan survei dan pemetaan.


Dalam Pasal 49 Kepres No 103 Tahun 2001 ini disebutkan bahwa tugas
BAKOSURTANAL melaksanakan tugas pemerintahan di bidang survei dan
pemetaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 50 menyebutkan fungsi BAKOSURTANAL sebagai-berikut:
a. pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang survei dan
pemetaan;
b. pembinaan infrastruktur data spasial nasional;
c. koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BAKOSURTANAL;
d. pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan
instansi pemerintah di bidang survei dan pemetaan nasional;
e. penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang
perencanaan

umum,

ketatausahaan,

organisasi

dan

tatalaksana,

kepegawaian, keuangan, kearsipan,hukum, persandian, perlengkapan, dan


rumah tangga.
Sedangkan kewenangan BAKOSURTANAL disebutkan dalam Pasal 51 yaitu:
a. penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya;
b. perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara
makro;
c. penetapan sistem informasi di bidangnya;
d. kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku yaitu:
1) perumusan dan pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang survei dan
pemetaan;
2) penetapan pedoman dan pemetaan dasar nasional.
3.3.2 Penyelenggara Informasi Geospasial Tematik
Informasi Geospasial Tematik karena dibuat untuk kebutuhan khusus, maka
pada dasarnya dapat diselenggarakan oleh instansi Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Badan Usaha maupun perorangan. Untuk menghilangkan tumpang tindih
dan pengulangan data, Instansi Pemerintah hanya menyelenggarakan Informasi

57

Geospasial

Tematik

yang

memang

sesuai

dengan

tugas,

fungsi

dan

kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Untuk mempercepat penyelenggaraan Informasi Geospasial Tematik, maka
Instansi Pemerintah maupun Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama
dengan Badan, dengan harapan Badan dapat memberikan alih teknologi,
pengalaman dan sumber daya lainnya.
Peraturan Presiden RI nomor 85 tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial
Nasional mengatur penyelenggara Informasi Geospasial Tematik sebagai-berikut.
No.
Instansi
1
Badan Pertanahan
Nasional

Informasi Geospasial Tematik


kerangka dasar kadastral dan bidang tanah,
penggunaan tanah, zona nilai tanah, zona nilai aset
kawasan, dan karakteristik tanah, serta Data
Spasial lain untuk bidang pertanahan
batas wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, batas wilayah administrasi
kepemerintahan, toponimi, serta Data Spasial lain
untuk bidang pemerintahan dalam negeri
transportasi dan Data Spasial lain untuk bidang
perhubungan
wilayah kode pos dan Data Spasial lain untuk
bidang komunikasi dan informasi

Kementerian Dalam
Negeri

Kementerian
Perhubungan
Kementerian
Komunikasi dan
Informasi
Kementerian Pekerjaan jaringan jalan, tubuh air/hidrologi lingkungan
Umum
bangunan, jaringan air bersih, instalasi pengolahan
limbah, dan rencana tata ruang, serta Data Spasial
lain untuk bidang pekerjaan umum
Kementerian
lingkungan budaya dan Data Spasial lain untuk
Kebudayaan dan
bidang kebudayaan dan kepariwisataan
Pariwisata
Badan Pusat Statistik
wilayah pengumpulan data statistik, dan hasil
kegiatan statistik, serta Data Spasial lain untuk
bidang statistik
Kementerian ESDM
kuasa pertambangan, geologi, sumber daya
mineral, seismik eksplorasi, gayaberat, geomagnet,
logging sumur pemboran dan hidrogeologi, serta
Data Spasial lain untuk bidang energi dan sumber
daya mineral
Kementerian Kehutanan kawasan hutan dan keanekaragaman hayati, serta
Data Spasial lain untuk bidang kehutanan
Kementerian Pertanian klasifikasi tanah, serta Data Spasial lain untuk
bidang pertanian
Kementerian Kelautan oseanografi dan Data Spasial lain untuk bidang
dan Perikanan
kelautan dan perikanan
BMKG
iklim dan geofisika dan Data Spasial lain untuk

9
10
11
12

58

No.

Instansi

13

LAPAN

14

Pemerintah Daerah

Informasi Geospasial Tematik


bidang meteorologi dan geofisika
cakupan citra satelit dan Data Spasial lain untuk
bidang antariksa dan penerbangan
Data Spasial sesuai dengan kewenangannya

Informasi Geospasial Tematik diselenggarakan secara terintegrasi secara


nasional.
3.3.2.1 Informasi Geospasial Tematik di Tingkat Daerah
Undang-Undang No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan
Pemerintah Daerah untuk memiliki data dan informasi yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan untuk kepentingan aktivitas perencanaanya. Dari daftar
informasi yang harus dimiliki Pemerintah Daerah sesuai Undang-Undang ini, 3
(tiga) diantaranya memiliki keterkaitan langsung dengan aspek keruangan. Karena
itulah, Pemerintah Daerah harus membuat Informasi Geospasial Tematik sebagaiberikut:
Informasi Geospasial kewilayahan,
Informasi Geospasial sumber daya alam,
Informasi Geospasial kependudukan
Informasi Geospasial lingkungan hidup

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, untuk tercapainya


daya guna dan hasil guna, pemanfaatan data dan Informasi Geospasial dikelola
dalam sistem informasi daerah yang terintegrasi secara nasional.
3.3.2.2 Kerjasama Penyelenggaraan Informasi Geospasial Tematik
Untuk mempercepat penyelenggaraan Informasi Geospasial Tematik, maka
Instansi Pemerintah maupun Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama
dengan Badan, dengan harapan Badan dapat memberikan alih teknologi,
pengalaman dan sumber daya lainnya kepada penyelenggara yang bersangkutan.

59

3.3.2.3 Integrasi Informasi Geospasial Tematik


Banyak Informasi Geospasial Tematik yang merupakan hasil analisis dan
sintesis

Informasi

Geospasial

Tematik

lainnya

yang

dibutuhkan

guna

menghasilkan informasi baru dalam rangka pembangunan nasional. Informasi


yang menggambarkan tingkat kerawanan dan resiko suatu daerah terhadap suatu
bencana merupakan contoh Informasi Geospasial Tematik yang pembuatannya
memerlukan integrasi berbagai Informasi Geospasial Tematik lainnya. Juga untuk
melakukan inventarisasi sumber daya alam secara nasional, perlu integrasi dari
banyak Informasi Geospasial Tematik yang ada. Kebutuhan nasional akan
Informasi Geospasial Tematik baru yang dihasilkan dari integrasi Informasi
Geospasial Tematik yang dibuat lembaga sektoral, perlu ada kejelasan dan
ketegasan lembaga mana yang berkewajiban membuat pengintegrasian. Dengan
azas efesiensi, tugas pengintegrasian ini dapat dibebankan kepada Badan yang
menyediakan Informasi Geospasial Dasar dan Informasi Geospasial Tematik yang
relevan.

3.4 PENYELENGGARAAN INFORMASI GEOSPASIAL


3.4.1 Pengumpulan Data
3.4.1.1 Metoda Pengumpulan Data
Pengumpulan data geospasial, yang dikenal dengan istilah survei, harus
diatur secara teknis dengan suatu peraturan pelaksanaan. Hasil survei ini yang
kemudian diolah untuk menjadi Informasi Geospasial. Pengumpulan data
geospasial atau survei ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Menggunakan instrumentasi ukur maupun rekam
Pengukuran di darat misalnya dilakukan menggunakan alat yang sangat
sederhana seperti meteran untuk mengukur jarak, alat dijital seperti Digital
Station yang juga merupakan instrumen pengukur jarak dan sudut, atau
menggunakan Global Positioning System (GPS) untuk menentukan koordinat
suatu titik. Pengukuran di air misalnya dilakukan untuk mengukur kedalaman
sungai atau lautan dari perahu atau kapal menggunakan echosounder,
mengukur parameter kualitas air seperti temperatur, pH dan kadar garam air

60

dengan alat Digital Water Checker. Pengukuran dengan wahana pesawat


terbang, balon maupun satelit dikenal dengan istilah penginderaan jauh
(remote sensing) yang tujuan utamanya adalah membuat foto atau citra
permukaan bumi untuk mendapatkan informasi yang diinginkan tentang suatu
obyek tanpa perlu menyentuh obyek tersebut.
b. Pencacahan
Tidak semua fenomena diperoleh datanya dengan menggunakan alat ukur.
Toponimi atau nama bagian rupabumi seperti nama gunung, nama sungai dan
nama desa, adalah data yang diperoleh dengan langsung menanyakan kepada
masyarakat di lokasi. Karena itulah, metoda pencacahan merupakan bagian
dari cara untuk mendapatkan data geospasial.

Teknologi Informasi Geospasial berkembang terus, karena itu perlu


diantisipasi cara lain yang mungkin akan muncul sejalan dengan perkembangan
teknologi ini. Secara umum, pengumpulan data geospasial dilakukan untuk
beberapa tujuan misalnya untuk memperoleh data yang tidak ada sama sekali
sebelumnya, untuk melengkapi data yang sudah ada, dan juga untuk
memutakhirkan data yang ada. Pengumpulan Informasi Geospasial termasuk
pemutakhiran secara periodik diselenggarakan dengan pola sistematis mencakup
seluruh wilayah nasional. Pemuktahiran, atau up-date Informasi Geospasial
dilakukan seiring dengan perubahan kondisi wilayah dan/atau teknologi serta
kualitas data dan informasi yang ada dan yang terbaru. Kualitas data yang
dimaksud di sini dapat dilihat dari segi akurasi, presisi, resolusi, dapat dipercaya,
pengulangan,

kemampuannya

untuk

diolah

kembali,

terkini,

relevansi,

kemampuannya untuk diaudit, kelengkapan, dan batas waktu penggunaannya.


Pengumpulan Informasi Geospasial harus memanfaatkan secara optimal
segenap potensi yang terdapat pada lembaga pemerintah maupun swasta
nasional, dan apabila diperlukan dapat dilengkapi dengan lembaga dari luar
negeri. Dalam penanganannya penggunaan Informasi Geospasial dari luar negeri
harus tetap mengacu pada standar dan spesifikasi yang telah disepakati di dalam
negeri.
3.4.1.2 Pembakuan dalam Pengumpulan Data

61

Keragaman jenis data yang diperoleh dari metoda pengumpulan dan


teknologi yang berbeda-beda menuntut suatu pembakuan atau standardisasi
pengumpulan data. Pembakuan dalam proses pengumpulan data harus dilakukan
untuk menjamin bahwa data yang dikumpulkan dapat dimanfaatkan secara
optimal dan dapat diintegrasikan serta disinkronkan dengan data lain.
Pembakuan dalam pengumpulan data geospasial harus menggunakan:
a. Sistem referensi koordinat berupa datum geodesi dan jaringan kontrol
pemetaan, dimana dalam kenyataannya bumi hampir berbentuk elipsoid,
sehingga penyelenggara Informasi Geospasial dalam memetakan suatu
wilayah harus mendefinisikan bumi sebagai elipsoid. Bentuk dan ukuran
ellipsoid berikut orientasinya dalam ruang harus tunggal secara nasional.
Selain itu elipsoid tersebut juga dijadikan acuan posisi.
b. Jenis

data

beserta

pengertian,

kriteria,

dan

format

standar.

Dalam

pengumpulan data dan Informasi Geospasial baku, jenis data beserta


pengertian, kriteria dan format standard harus dibakukan untuk menghindari
salah pengertian dalam pemahaman data yang diambil atau dikumpulkan.
Hasil dari data atau informasi yang dikumpulkan secara baku ini dapat
mempermudah dalam proses selanjutnya.
3.4.1.3 Perizinan Pengumpulan Data
Kegiatan pengumpulan data yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah atau
Pemerintah Daerah, adalah untuk kepentingan pembangunan dan masyarakat
umum dan karena itu tidak memerlukan izin. Dengan pentingnya peran Informasi
Geospasial dalam pembangunan, maka pengumpulan data tidak boleh dihambat
atau dipersulit, bahkan justru harus didorong agar semakin banyak Informasi
Geospasial berkualitas yang tersedia.
Tetapi apabila kegiatan pengumpulan data geospasial dilakukan oleh
Instansi Pemerintah atau pemerintah daerah itu memasuki suatu kawasan
tertentu, tentunya yang paling mengetahui kondisi kawasan tersebut tentulah
pemilik atau penguasa atau orang yang memperoleh manfaat dari kawasan
tersebut.

Karena

itulah

maka

pihak pengumpul

data

geospasial

harus

memberitahukan kegiatan pengumpulan data itu kepada pemilik atau penguasa


atau orang yang memperoleh manfaat dari kawasan tersebut. Kemudian apabila
62

diperkirakan di kawasan tersebut ada hal yang dapat membahayakan pemilik


kawasan atau pengumupul data, dan/atau apabila kegiatan pengumpulan data
dapat terganggu atau mengganggu kegiatan di kawasan tersebut, maka pemilik
atau penguasa atau orang yang memperoleh manfaat dari kawasan tersebut
dapat menolak kegiatan pengumpulan data.
Untuk mekanisme penolakan ini, perlu ketegasan waktu paling lambat pihak
pengumpul data memberi tahu pemilik/penguasa/pemanfaat kawasan dan dalam
waktu berapa lama pihak pemilik/ penguasa/ pemanfaat kawasan harus
memberitahukan penolakannya apabila hal-hal di atas terjadi.
3.4.2 Pengolahan Data dan Informasi Geospasial
3.4.2.1 Perangkat Pengolah Data dan Informasi Geospasial
Pengolahan Data dan Informasi Geospasial merupakan proses atau cara
mengolah data dan Informasi Geospasial. Untuk proses pengolahan ini,
penggunaan perangkat lunak dan perangkat keras dipilih dan diupgrade
berdasarkan fungsi-fungsi dan aplikasi yang dibutuhkan oleh institusi. Perangkat
lunak telah banyak berkembang secara eksponensial dalam beberapa tahun
terakhir ini dan begitu juga fungsi-fungsi dan aplikasinya.
Perlu diingat juga bahwa perangkat keras maupun lunak merupakan bagian
dari solusi pengelolaan informasi terpadu, sehingga perangkat lunakdan
perangkat keras ini perlu dipertimbangkan dalam hubungannya dengan komponen
lain seperti norma, prosedur, pedoman, standar, dan spesifikasi yang dirancang
untuk menyediakan aksesibilitas yang siap terhadap data dan informasi, dan
mendukung praktek yang terbaik.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih perangkat lunak dan
keras adalah sebagai berikut:
Produknya telah terbukti di pasaran, dan penggunaan produk yang sudah
kedaluwarsa dan tidak teruji di pasar dihindari;
Tersedianya mekanisme pendukung yang baik misalnya buku manual,
materi-materi pelatihan, dan bantuan teknis dari vendor;
Tersedianya staf atau teknisi yang memenuhi syarat untuk memperlancar

63

implementasi suatu pekerjaan; dan


Produk mempunyai fungsi-fungsi yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan.

Apabila perangkat lunak bebas dan terbuka tidak tersedia, maka wajib
menggunakan perangkat lunak berlisensi. Kebanyakan perangkat lunak di
pasaran berhubungan dengan lisensi, yaitu kondisi dan syarat yang disetujui oleh
pengguna selama dalam proses instalasi. Dalam pemasaran program-program
terdahulu, persetujuan lisensi standar dimaksudkan bahwa perangkat lunak
diberikan

lisensi

untuk

mesin

atau

perangkat

keras

tertentu.

Dalam

perkembangannya persetujuan tentang lisensi ini pun telah berkembang dan


cenderung lebih kompleks. Namun demikian sangat direkomendasikan untuk
mendiskusikan persyaratan lisensi dengan vendor untuk memastikan pembelian
perangkat lunak sesuai dengan kebutuhan kini dan yang direncanakan untuk
masa yang akan datang.
Karena begitu mahalnya produk-produk berlisensi merupakan alasan
diharuskannya

produk-produkbebas

dan

terbuka

untuk

digunakan.

Konsekuensinya, untuk meningkatkan penggunaan produk-produk bebas dan


terbuka ini di seluruh organisasi, lembaga pemerintah maka Pemerintah
menyediakan

insentif

bagi

penyelenggara

yang

mengembangkan

sendiri

perangkat lunaknya dan kemudian menjadikannya sebagai perangkat lunak bebas


dan terbuka. Insentif yang dapat diberikan berupa insentif pajak atau hibah untuk
pengembangan perangkat lunak.
3.4.2.2 Pengolahan di Luar Negeri
Sedapatnya pengolahan Informasi Geospasial dilakukan di dalam negeri. Hal
ini sangat penting untuk menjamin keberlangsungan koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi serta menghindari penyalahgunaan Informasi Geospasial dan
produknya oleh pihak asing, di mana kontrol terhadapnya masih dirasa kurang.
Apabila pengolahan Informasi Geospasial dilakukan di luar negeri, maka harus
mendapatkan ijin dari lembaga yang ditugasi Pemerintah untuk itu. Ketentuanketentuan lain yang harus diikutsertakan dalam pengolahan data di luar negeri
meliputi kepastian pengunaannya, distribusi, penggandaan, dan penyimpanannya.

64

Setelah pengolahan selesai dilakukan, pihak luar negeri yang mendapat tugas
untuk mengolah data wajib mengembalikan semua data/Informasi Geospasial
yang diolah kepada pihak di dalam negeri terkecuali kalau ada perjanjian khusus
mengenai hal tersebut yang bersifat mengikat dan mempunyai kekuatan hukum
secara internasional.
3.4.2.3 Tahapan Pengolahan
Pengolahan data dan informasi Geospasial meliputi:
a

Pemrosesan Data Geospasial. Ini adalah tahapan pengolahan data Geospaial


untuk menghasilkan Informasi Geospasial. Proses ini harus dilakukan sesuai
standar yang sekurang-kurangnya meliputi:
i. penggunaan sistem koordinat standar nasional; atau sistem koordinat
yang dengan jelas dan pasti dapat ditransformasikan kedalam sistem
koordinat standar nasional; dan
ii. penggunaan format standar basisdata dan metadata yang dapat dengan
mudah diintegrasikan dengan Informasi Geospasial lain.

Penyajian kartografis Informasi Geospasial. Penyajian kartografis Informasi


Geospasial kegiatan untuk menggambarkan Informasi Geospasial sehingga
dapat dibaca dan dimanfaatkan. Dalam menyajikan Informasi Geospasial yang
baik, perlu diperhatikan beberapa element berikut ini meliputi: judul,
informasinya sendiri beserta simbolisasi dari unsur-unsur geografisnya,
legenda yang menerangkan simbol, skala peta, proyeksi, orientasi (arah
utara), serta hak cipta, sumber dan pernyataan-pernyataan penerbitnya.
Informasi Geospasial dapat disajikan dalam bentuk di bawah ini:
peta cetak, baik dalam bentuk lembaran ataupun buku (atlas),
peta digital (softcopy),
peta interaktif, termasuk yang dapat diakses melalui internet, dan
model tiga dimensi.
Semua bentuk penyajian ini harus mengikuti norma, pedoman, prosedur,
standar dan spesifikasi yang berlaku. Adapun bentuk penyajian selain yang
disebutkan di atas tidak dianggap sebagai Informasi Geospasial, misalnya
sketsa yang digambarkan untuk keperluan kerajinan tangan, undangan
pernikahan dan sebagainya.

65

Dalam penyajian Informasi Geospasial, peta memperlihatkan gambaran


tentang dunia nyata yang lebih kecil, sehingga perlu dicantumkan skala dari
peta tersebut pada produk akhirnya. Skala penyajian ditentukan berdasarkan
tingkat ketelitian sumber data dan/atau tujuan penggunaan Informasi
Geospasial. Skala dapat ditampilkan sebagai satuan unit maupun sebagai bar
skala.
3.4.3 Penyimpanan dan Pengamanan Data dan Informasi Geospasial
Penyimpanan dan Pengamanan Data dan Informasi Geospasial merupakan
cara menempatkan Data dan Informasi Geospasial pada tempat yang aman
sehingga tidak rusak atau hilang. Banyak data hasil survei dan peta baik kertas
maupun digital yang telah diadakan dengan dana sangat besar, namun kini sangat
rentan terhadap bencana (misalnya kebakaran, kelembaban tinggi, pencurian dsb)
yang akan membuat data tersebut tidak dapat digunakan lagi. Selain itu, banyak
sistem komputer yang kurang terlindung dari akses illegal ataupun virus.
3.4.3.1 Penyimpanan Data dan Informasi Geospasial
Informasi Geospasial dapat menjadi sangat penting, walaupun data tersebut
sudah tidak up-to-date karena dapat digunakan untuk keperluan riset dan melacak
kembali kejadian dimasa silam. Oleh karena itu penyimpanan Informasi
Geospasial sangat penting dan perlu mendapat perlakuan khusus, karena wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia berada di wilayah yang rawan akan
berbagai macam bencana,yang berpotensi membahayakan dokumen-dokumen
penting termasuk Informasi Geospasial ini. Hal ini dapat dirasakan setelah
terjadinya beberapa bencana alam besar di Aceh dan Sumatra Utara.
Dalam penyimpanannya, Informasi Geospasial yang bersifat terbuka dan
diselenggarakan oleh pemerintah, penyimpanan dilakukan pada masing-masing
penyelenggara dan pada beberapa bentuk penyajian yang memungkinkan,
duplikatnya diserahkan kepada Badan, lembaga yang bertanggung jawab tentang
perpustakaan nasional dan lembaga yang bertanggung jawab tentang arsip
negara. Apabila penyelenggara kehilangan Informasi Geospasial karena suatu
hal, maka penyelenggara atau pemilik data berhak untuk mengakses kembali
data-data atau Informasi Geospasial yang disimpan di lembaga yang bertanggung

66

jawab tentang arsip negara.


3.4.3.2 Pengamanan Informasi Geospasial
Selain

penyimpanan,

pengamanan

terhadap

keberadaan

Informasi

Geospasial ini juga sangat penting terlebih pengamanan terhadap data atau
Informasi Geospasial yang bersifat rahasia. Pengamanan Informasi Geospasial ini
mencakup pengamanan pada seluruh bentuk penyajiannya dan juga infrastruktur
fisik yang terkait Informasi Geospasial yang ada di lapangan.
Informasi Geospasial yang dikategorikan sebagai informasi khusus dan
bersifat rahasia dapat disandikan dengan suatu metode enkripsi. Dan data atau
Informasi Geospasial yang dienkripsi ini diserahkan kepada lembaga negara yang
ditugasi pemerintah untuk itu beserta kode dekripsi.
3.4.4 Penyebarluasan Informasi Geospasial
Saat ini kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan
pengumuman, pengedaran dan penyebaran Informasi Geospasial melalui internet
dalam penyajian multimedia. Para penyelenggara Informasi Geospasial mesti
memanfaatkan sarana ini untuk semakin mendekatkan masyakarat luas dengan
informasi yang mereka produksi.
3.4.4.1 Keterbukaan Informasi Geospasial
Penyebarluasan Informasi Geospasial ini terkait erat dengan sifat dari
informasi yang secara umum terbuka. Informasi Geospasial dasar mesti bersifat
terbuka. Informasi ini memiliki fungsi penting sebagai kerangka acuan posisi bagi
Informasi Geospasial Tematik. Dengan kesamaan kerangka posisi ini, berbagai
Informasi Geospasial Tematik dapat dikomunikasikan satu sama lain. Hal ini
menjadi salah satu tujuan penting pembuatan RUU tentang IG ini, yaitu untuk
mewujudkan kedayagunaan dan keberhasilgunaan Informasi Geospasial dalam
penyelenggaraan pemerintah dan berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Sifat terbuka juga mesti diberlakukan pada Informasi Geospasial Tematik
yang diproduksi instansi pemerintah dan pemerintah daerah, karena informasi ini
menjadi acuan pada proses perencanaan dan eksekusi pembangunan. Informasi

67

Geospasial Tematik juga menjadi acuan pengambilan keputusan-keputusan


ekonomi dan bisnis untuk dapat memilih atau meletakkan obyek investasi yang
sesuai dengan pertimbangan lokasi, kedekatan dengan sumber daya alam,
ketersediaan sumber daya manusia dan akses infrastruktur.
Akan tetapi karena alasan-alasan tertentu, seperti masalah pertahanan dan
keamanan negara, maka Informasi Geospasial Tematik yang dibuat oleh instansi
pemerintah dan pemerintah daerah dapat bersifat tertutup. Yang dimaksud
dengan bersifat tertutup adalah bahwa Informasi Geospasial tidak dapat diakses
dan atau diperoleh masyarakat, kecuali dengan syarat tertentu. Pengecualian ini
mesti memperhatikan peraturan perudang-undangan yang berlaku, seperti
Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik.
3.4.4.2 Insentif Untuk Mendorong Penyebarluasan Informasi Geospasial
Penyelenggara
mengumumkan

dan

Informasi

Geospasial

menyebarluaskan

yang

dalam

bersifat

terbuka

pengertian

mesti

membacakan,

menyiarkan, menjual, mengedarkan, atau menyebarkan Informasi Geospasial


termasuk juga kegiatan menterjemahkan, mengalihwujudkan, memamerkan, dan
mengkomunikasikan informasi. Informasi ini mesti diketahui keberadaannya oleh
berbagai instansi pemerintah dan masyarakat luas melalui proses pengumuman
atau penyiaran yang efektif. Ini menjadi tahap krusial agar Informasi Geospasial
dapat dimanfaatkan dengan optimal. Hal ini selaras dengan UUD 1945 pasal 28F
yang mengamanatkan bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia.
Badan usaha dan perorangan yang memproduksi Informasi Geospasial pada
prinsipnya memiliki kebebasan untuk mengolah, menyimpan dan menggunakan
informasi tersebut untuk keperluan sendiri. Akan tetapi beberapa informasi
diperlukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah dapat memberikan
insentif tertentu bagi badan usaha atau perorangan yang menginformasikan
keberadaan Informasi Geospasial yang mereka miliki kepada publik.
3.4.4.3 Jaringan Informasi Geospasial sebagai sarana pertukaran dan

68

penyebarluasan
Untuk memudahkan akses, proses pertukaran dan penyebarluasan data dan
Informasi Geospasial mesti digunakan teknologi mutakhir di bidang informasi dan
komunikasi, melalui suatu jaringan Informasi Geospasial yaitu suatu sistem
penyelenggaraan pengelolaan Informasi Geospasial secara bersama, tertib,
terukur, terintegrasi dan berkesinambungan serta berdayaguna. Jaringan ini
dibangun diantara instansi pemerintah pusat, diantara instansi pemerintah daerah
dan juga menghubungkan pusat dan daerah. Karena pekerjaan ini memerlukan
proses koordinasi yang intensif, maka mesti ada instansi pemerintah yang
memegang peran kunci (leading institution).
Pentingnya pembangunan jaringan Informasi Geospasial disadari oleh
negara-negara maju. Salah satu rujukan adalah kebijakan yang ditempuh
Pemerintah Amerika Serikat melalui Executive Order tentang infrastruktur data
spasial nasional.
Di Indonesia telah terbit Peraturan Presiden nomor 85/2007 tentang Jaringan
Data Spasial Nasional. Perpres ini mesti terus dilaksanakan secara konsisten.
3.4.4.4 Pengesahan Informasi Geospasial berkekuatan hukum sebelum
disebarluaskan
Catatan penting mengenani penyebarluasan Informasi Geospasial adalah
bahwa beberapa Informasi Geospasial seperti batas administrasi pemerintahan,
batas kawasan pengelolaan hutan, pertambangan dan lain-lain memiliki kekuatan
hukum. Untuk itu sebelum diumumkan dan disebarluaskan informasi yang
memiliki kekuatan hukum ini harus disahkan oleh pejabat yang berwenang.
3.4.5 Penggunaan Informasi Geospasial
Penggunaan Informasi Geospasial adalah kegiatan dimana pengguna
memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung dari Informasi Geospasial
tersebut. Pemanfaatan ini antara lain dengan mendapatkan salinan peta dalam
bentuk cetak maupun elektronik, mengakses peta melalui web, mendapatkan
informasi posisi layanan jasa terdekat, dan mendapatkan informasi kerawanan
bencana dari suatu tempat.

69

3.4.5.1 Kebijakan tentang Harga dan Kualitas Informasi


Semangat Rancangan Undang-Undang ini adalah untuk membuka akses
Informasi Geospasial, sehingga penggunaan informasi dapat dilakukan secara
optimal oleh instansi pemerintah dan masyarakat luas. Untuk itu selain aksi-aksi
menyebarluaskan Informasi Geospasial, diperlukan kebijakan yang tepat dalam
penentuan harga data dan informasi. Penerapan kebijakan harga data ini
berbeda-beda di berbagai negara. Beberapa negara Eropa, Amerika Serikat dan
Jepang yang menerapkan kebijakan free of charge untuk data dan informasi yang
disediakan oleh institusi publik. Pengguna hanya membayar untuk biaya proses
pencetakan, untuk peta-peta cetak, atau penggandaan data dan informasi untuk
data dan informasi yang disimpan secara digital.
Untuk kasus Indonesia, hingga saat ini kebijakan instansi pemerintah dalam
diseminasi data dan informasi spasial masih memberlakukan penerimaan negara
bukan pajak (PNBP). Karenanya Informasi Geospasial yang dihasilkan instansi
pemerintah pun masih mengikuti kebijakan ini. Akan tetapi di masa depan,
kebijakan tentang harga ini mesti mengarah pada harga semurah-murahnya dan
satu saat dapat memberlakukan kebijakan free of charge sebagaimana telah
diterapkan di beberapa negara.
Selain kebijakan tentang harga pada pemanfaatan langsung, diperlukan juga
perlindungan atas hak kepemilikan informasi. Peta termasuk ciptaan yang
dilindungi oleh Undang-Undang tentang Hak Cipta sehingga hal-hal yang terkait
dengan penggandaan dan penyebarluasan peta (Informasi Geospasial) termasuk
lisensi dan royalti harus mengikuti aturan Undang-Undang Hak Cipta.
Produk turunan dari Informasi Geospasial harus menyebutkan sumber
Informasi Geospasial yang dirujuk. Kebijakan tersebut berdampak mendorong
berkembangnya inovasi berbagai Informasi Geospasial Tematik yang dibutuhkan
masyarakat.
Apa manfaat atau jaminan bagi pengguna menjadi pertanyaan yang wajar
diajukan. Apalagi dengan ketentuan tentang harga yang harus dibayar pengguna.
Pada prinsipnya pengguna memiliki hak untuk mengetahui kualitas informasi yang
diperolehnya.
penyelenggara

Masalah

kualitas

Informasi

informasi

Geospasial

ini

untuk

merupakan

kewajiban

memberitahukannya.

bagi

Dengan

70

demikian data atau Informasi Geospasial ini dapat dipakai secara tepat sesuai
kualitasnya.
Penyelenggara Informasi Geospasial menyampaikan kualitas data yang
didistribusikan kepada publik dalam bentuk metadata, atau data tentang data.
Berbagai konvensi telah dikeluarkan untuk menyusun metadata secara sistematis
dan konsisten. Perangkat-perangkat lunak sistem Informasi Geospasial juga
sudah mengadopsi konvensi-konvensi ini.
3.4.5.2 Informasi Geospasial dalam proses pengambilan kebijakan terkait
keruangan dan kebencanaan
Informasi Geospasial yang berkualitas amat diperlukan dalam melakukan
penataan ruang yang terpadu, terukur dan berkelanjutan. Pengaturan umum telah
dituangkan pada Undang-Undang nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Rencana Tata Ruang merupakan bentuk intervensi dalam mewujudkan
alokasi ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keseimbangan antar wilayah. Proses
perencanaan tata ruang merupakan suatu sistem yang melibatkan masukan,
proses dan keluaran. Masukan yang digunakan adalah keadaan fisik seperti
kondisi alam dan geografis, sosial budaya seperti demografi sebaran penduduk,
ekonomi seperti lokasi pusat kegiatan perdagangan yang ada maupun yang
potensial dan aspek strategis nasional lainnya. Keseluruhan masukan ini diproses
dengan menganalisis masukan tersebut secara integral baik kondisi saat ini
maupun kedepan untuk masing-masing hirarki tata ruang Nasional, Propinsi
maupun Kabupaten/Kota sehingga menghasilkan output berupa Rencana Tata
Ruang yang menyeluruh.
Mengingat pentingnya penataan ruang tersebut maka segenap keputusan
dan kebijakan instansi pemerintah pusat dan daerah yang terkait dengan
keruangan wajib menggunakan informasi spasial yang tepat, akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Sementara

itu

Undang-Undang

tentang

Pemerintahan

Daerah

mengamanatkan keharusan penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan


data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Informasi Geospasial

71

merupakan informasi yang vital dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi


pembangunan. Karenanya pemerintah daerah wajib menggunakan Informasi
Geospasial dalam pengambilan keputusan dan pengambilan kebijakan yang
berhubungan dengan keruangan. Dengan demikian setiap kebijakan dan
keputusan instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, dapat dievaluasi
secara keruangan dan menjadi masukan bagi proses penataan ruang yang
bersifat dinamis.
Pada prinsipnya Informasi Geospasial Tematik yang diselenggarakan oleh
badan usaha atau perorangan menjadi milik masing-masing penyelenggara. Akan
tetapi pada saat terjadi bencana, dimana kebutuhan informasi spasial untuk
proses tanggap darurat, evakuasi korban, dan proses rehabilitasi amat urgen,
maka segenap sumber daya, termasuk Informasi Geospasial, mesti dapat
digunakan dengan optimal. Dalam kondisi darurat seperti ini, badan usaha dan
perorangan diwajibkan untuk memberikan Informasi Geospasial yang mereka
miliki untuk keperluan di atas kepada instansi pemerintah yang diberi tugas dalam
urusan penangulangan bencana.
3.4.6 Infrastruktur Penyelenggaraan Informasi Geospasial
Penyelenggaraan Informasi Geospasial dilakukan oleh instansi pemerintah
pusat dan daerah dan juga oleh badan usaha dan perorangan sesuai dengan
tugas dan fungsinya masing-masing. Untuk menjamin keharmonisan dalam
penyelenggaraannya maka diperlukan suatu infrastruktur Informasi Geospasial
yang komponen-komponennya mencakup komponen teknologi, kebijakan, standar
data dan informasi serta sumber daya manusia yang handal. Pemerintah mesti
memberikan arahan dan aksi praktis dengan memberikan pedoman dan
pengaturan infrastruktur ini.
Teknologi terkait dengan perangkat keras, perangkat lunak dan juga aplikasi
teknologi komputer dan teknologi informasi mesti dikaji dan ditentukan dengan
baik untuk mendukung penyelenggaraan Informasi Geospasial.
Standar data baik dalam format maupun prosedur penyelenggaraannya
menjadi bagian krusial untuk menjamin interoperabilitas data dan informasi.
Standarstandar tersebut diperoleh berdasarkan kesepakatan antar instansi

72

pemerintah penyelenggara Informasi Geospasial. Setiap penyelenggara Informasi


Geospasial

berkewajiban

untuk

mengkonsultasikan

kebutuhan

Informasi

Geospasial dan prioritasnya sebelum mengembangkan atau mendefinisikan


pengumpulan informasi atau program pemeliharaannya dan penentuan standar
untuk Informasi Geospasial yang dikelolanya. Dalam penentuan standarnya
penyelenggara harus merujuk pada standar nasional, internasional maupun
standar yang disetujui bersama. Begitu juga dengan kualitas Informasi
Geospasialnya, dimana penyelenggara Informasi Geospasial harus secara
terbuka menyertakan kualitas tentang sumber, keakuratan, kekomplitan, dan upto-date. Penyelenggara juga selalu menjaga kualitas informasi yang mereka kelola
dan akses terhadap Informasi Geospasial yang diselenggarakan harus juga
mudah dan siap sedia.
Dalam pengaturannya infrastruktur Informasi Geospasial melingkupi wilayah
nasional, yang meliputi Informasi Geospasial utama yang dikumpulkan dan diolah
oleh setiap lembaga penyelenggara Informasi Geospasial sesuai kompetensi dan
standar lembaga masing-masing. Jaringan pengelolaan yang diselenggarakan
atas dasar partisipasi fungsional dari segenap instansi pemerintah dalam suatu
keterpaduan.

3.5 PELAKSANA INFORMASI GEOSPASIAL


Penyelenggaraan Informasi Geospasial dasar dan Informasi Geospasial
Tematik yang menjadi bersifat terbuka menjadi tugas dan kewenangan instansi
pemerintah yang ditentukan berdasarkan rancangan undang-undang ini. Pada
prakteknya tugas ini dapat dilakukan oleh pelaksana, baik badan usaha ataupun
perorangan, tanpa mengurangi tanggung jawab instansi pemerintah bersangkutan
atas informasi yang dibuat.
Pelaksana yang ditunjuk oleh instansi pemerintah untuk melaksanakan
penyelenggaraan Informasi Geospasial terikat oleh beberapa perundangundangan, misalnya: Undang-undang mengenai Anti Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, dan Undang-undang mengenai Penanaman Modal.

73

3.5.1 Registrasi Badan Usaha


Saat ini praktis hanya diberlakukan registrasi umum bagi badan usaha di
bidang Informasi Geospasial sebagaimana lazimnya setiap perusahaan. Belum
ada registrasi yang khusus berlaku untuk mengawasi kompetensi dan kualitas
perusahaan

yang

bergerak

dalam

survei/pemetaan/Informasi

Geospasial,

misalnya menyangkut sumber daya manusia, peralatan maupun trackrecord


pekerjaan. Akibatnya, pendirian perusahaan jasa survei/pemetaan/Informasi
Geospasial tidak didasarkan pada proses administrasi yang mencukupi. Hal ini
dapat merugikan konsumen dan bahkan membahayakan keselamatan umum, bila
itu terkait survei atau peta yang digunakan untuk membangun fasilitas umum
seperti jembatan atau tanggul penahan banjir. Sebagai contoh peta kontur yang
diturunkan dari peta 1:10.000 tidak tepat dipakai untuk desain tanggul penahan
banjir, sebab kesalahan tanggul akibat toleransi kesalahan vertikal pada peta
1:10.000 adalah sekitar 1-2 meter.
Oleh karena itu dalam mewujudkan Informasi Geospasial yang akurat dan
dapat dipertanggungjawabkan, harus ada pengaturan yang jelas dan tegas untuk
menentukan badan usaha mana yang memenuhi syarat untuk menjadi pelaksana
penyelenggaraan Informasi Geospasial.
Persyaratan di atas terbagi atas dua bagian antara lain:
Persyaratan administrasi terkait dengan akte pendirian perusahaan dan izin
usaha.
Persyaratan teknis terdiri atas klasifikasi dan kualifikasi badan usaha,
peralatan yang tersertifikasi dengan baik, dan ketersediaan sumber daya
manusia yang bersertifikat.
Untuk terlaksananya tugas-tugas sertifikasi di atas harus dibentuk lembaga
yang diakreditasi.
3.5.2 Sertifikasi Profesi
Pengaturan masalah pelaksana perorangan pun harus disusun. Saat ini
praktis siapapun dapat mengklaim dirinya surveior, praktisi penginderaan jauh
(remote sensing), praktisi sistem informasi geografis dan lain-lain. Untuk

74

memenuhi kebutuhan SDM-nya, perusahaan jasa pemetaan atau jasa informasi


spasial juga sering merekrut lulusan SMA/SMK atau S1 ilmu-ilmu yang tidak
relevan, dan hanya menambah dengan training singkat yang sebenarnya kurang
memadai, lalu dalam CV yang bersangkutan langsung disebut GIS-specialist
atau Remote Sensing expert. Jika penyiapan SDM profesional di bidang
Informasi Geospasial tidak ditata dengan baik, maka produk-produk informasi
yang dihasilkan akan salah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini sudah
pasti akan merugikan pengguna data dan informasi.
Oleh

karenanya

penyelenggaraan

perorangan

Informasi

yang

Geospasial

melaksanakan

harus

terus

dijaga

tugas-tugas
kualifikasi

kompetensinya melalui proses sertifikasi. Pengaturan kualifikasi kompetensi ini


selain

dalam

rangka

menjaga

kualitas

informasi

yang

dihasilkan,

juga

dimaksudkan untuk menghargai profesi di bidang Informasi Geospasial. Merujuk


pada ISO TC 211 keahlian tersebut dicirikan dengan 10 teknologi berikut:
remote sensing
geographic information systems
automated cartography
digital survei instruments
global positioning systems
spatial system engineering tools
spatial database management
visualisation
modelling
spatial analysis

Sertifikasi keahlian terkait Informasi Geospasial harus didukung oleh sumber


daya manusia yang berkualitas di bidang teknologi geospasial. Peran institusi
pendidikan terkait Informasi Geospasial pada jenjang SLTA dan perguruan tinggi
amat penting. Diperlukan sebuah pengaturan untuk koordinasi, link and match
antara Badan dengan institusi pendidikan dan juga asosiasi profesi di bidang
Informasi Geospasial.

75

3.6 PEMBINAAN
Badan

yang

diamanatkan

oleh

Rancangan

Undang-Undang

ini

bertanggungjawab atas Informasi Geospasial Dasar mempunyai juga tanggung


jawab dalam melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan Informasi
Geospasial. Pembinaan dilakukan terhadap penyelenggara, pelaksana dan
pengguna Informasi Geospasial.
Tujuan pembinaan terhadap penyelenggara informasi adalah agar berbagai
Informasi Geospasial Tematik diselenggarakan secara sinkron, terintegrasi dan
kontinyu. Pembinaan dimaksud dilakukan melalui:
penerbitan peraturan perundang-undangan, pedoman, standar dan spesifikasi
teknis serta sosialisasinya;
pemberian

bimbingan,

supervisi,

pendidikan

dan

pelatihan

Informasi

Geospasial;
perencanaan,

penelitian,

pengembangan,

pemantauan

dan

evaluasi

pelaksanaan penyelenggaraan Informasi Geospasial;


penyelenggaraan jabatan fungsional secara nasional untuk sumber daya
manusia penyelenggara Informasi Geospasial di instansi pemerintah dan
pemerintah daerah; dan/atau
pensertifikasian profesi dan fasilitasi terhadap lembaga pendidikan dan
organisasi profesi di bidang Informasi Geospasial.
Adapun tujuan pembinaan kepada para pengguna adalah agar para
pengguna selalu memperoleh sosialisasi tentang keberadaan informasi beserta
potensi pemanfaatannya serta bimbingan yang sifatnya teknis dalam penggunaan
Informasi Geospasial.
Pembinaan dalam meningkatkan kesadaran di bidang Informasi Geopasial
dilakukan terhadap peserta didik sedini mungkin dari tingkat pendidikan dasar
sampai tingkat tinggi.
Pembinaan dalam penyiapan tenaga kerja dan profesi di bidang Informasi
Geospasial dilakukan di tingkat pendidikan menengah dan tinggi dengan
melibatkan lembaga pendidikan terkait, organisasi profesi dan penyelenggara
Informasi Geospasial.

76

3.7 KETENTUAN SANKSI


3.7.1 Tentang Perbuatan Yang Dikenai Sanksi
3.7.1.1 Pengertian Hukum Pidana
Menurut Prof. Moeljatno:
Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:
1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi
barang siapa melanggar larangan tersebut;
2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan;
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut
Menurut Simons:
kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang
berhubungan dengan kesalahan & dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggung jawab.

Pada prinsipnya tentang sanksi pidana adalah Peraturan yang mengatur


perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang Informasi Geospasial
dan berakibat diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang melakukannya dan
memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang
Informasi Geospasial.
Semua unsur-unsur yang dimuat dalam rumusan delik yang ada dalam
Undang-Undang Informasi Geospasial merupakan bagian-bagian, yang apabila
dipenuhi membuat tingkah laku menjadi tindakan yang melawan hukum. Adapun
unsur-unsurnya adalah:
1. Subyek hukum dalam RUU Informasi Geospasial adalah setiap orang

dalam hal ini orang perseorangan, kelompok orang atau Badan Hukum,
dengan rumusan: Barangsiapa.;
2. Perbuatan

hukum

dalam

RUU

Informasi

Geospasial

adalah

menghilangkan, merusak, mengubah, memindahkan, atau membuat tidak

77

berfungsi suatu obyek;


3. Obyek hukum dalam RUU Informasi Geospasial adalah:

tanda fisik: titik kontrol geodesi, monumen, tugu batas antar


wilayah/negara,
instrumentasi ukur atau rekam yang sedang dioperasikan: theodolit,
GPS, gravimeter, stasiun pasang surut, sipat datar, alat ukur jarak,
spektroradiometer, echosounder, kamera udara, dan lain-lain,
Data dan Informasi Geospasial: peta cetak, peta digital, foto udara,
peta foto, citra satelit, peta citra, peta elektronik.
4. Syarat tambahan untuk maksud disebarkan kepada orang lain tanpa

persetujuan dari penyelenggara Informasi Geospasial.


Ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Informasi Geospasial
ini dikategorikan sebagai pelanggaran karena perbuatannya hanya dilarang oleh
Undang-Undang Informasi Geospasial ini.
Rancangan Undang-Undang Informasi Geospasial termasuk dalam pidana
formil karena dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, dalam
Undang-Undang Informasi Geospasial, apabila dipenuhi unsur-unsur itu berubah
menjadi delik.
3.7.2 Tentang Sanksi Pemidanaan Dan Denda
Dalam undang-undang Informasi Geospasial ini dirumuskan sanksi pidana
sebagai berikut:
1. Ketentuan pertama
- tanpa izin dari Badan
- menghilangkan, merusak, mengubah, atau memindahkan tanda fisik yang

merupakan bagian dari jaringan titik kontrol geodetik


- dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
- dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2. Ketentuan kedua

78

- tanpa izin dari Badan,


- menghilangkan, merusak, mengubah, memindahkan atau membuat tidak

berfungsi instrumentasi survei dan pemetaan yang sedang digunakan


untuk pengumpulan data,
- dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun,
- dan/atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta

rupiah).
3. Ketentuan ketiga
- mengubah Informasi Geospasial Dasar,
- untuk maksud disebarkan kepada orang lain,
- tanpa persetujuan dari penyelenggara Informasi Geospasial Dasar,
- dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun penjara,
- dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
4. Ketentuan keempat
- mengubah Informasi Geospasial Tematik,
- dengan maksud disebarkan kepada orang lain kecuali untuk keperluan

pendidikan dan penelitian,


- tanpa persetujuan dari penyelenggara Informasi Geospasial Tematik,
- dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun penjara,
- dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Tentang lamanya pemidanaan dan besarnya denda Rancangan UndangUndang Informasi Geospasial ini menggunakan ukuran dari beberapa sanksi
pidana pada undang-undang lain. Di bawah ini dipaparkan beberapa rumusan
perbuatan hukum, pidananya dan dendanya dari undang-undang tentang Hak
Cipta, Undang-Undang Keterbukaan Memperoleh Informasi Publik, UndangUndang Penataan Ruang, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, sebagai bahan perbandingan penyusunan pemidanaan
Undang-Undang Informasi Geospasial.

79

PER-UU-AN
Undangundang
Nomor 19
Tahun 2002
tentang Hak
Cipta

Undangundang
Nomor 14
Tahun 2008
tentang
Keterbukaan
Memperoleh
Informasi
Publik

PERBUATAN HUKUM
Barangsiapa dengan sengaja
dan tanpa hak melakukan
perbuatan :
- mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaannya,
yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan
dilahirkan tanpa mengurangi
pembatasan menurut
peraturan
perundang-undangan yang
berlaku.
- memberikan izin atau
melarang pihak lain yang
tanpa persetujuannya
membuat, memperbanyak,
atau menyiarkan rekaman
suara dan/atau gambar
pertunjukannya.
- Barangsiapa dengan sengaja
menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan
atau barang hasil
pelanggaran Hak Cipta
- Barangsiapa dengan sengaja
dan tanpa hak
memperbanyak penggunaan
untuk kepentingan komersial
suatu Program Komputer
- Setiap Orang yang dengan
sengaja menggunakan
Informasi Publik secara
melawan hukum
- Badan Publik yang dengan
sengaja tidak menyediakan,
tidak memberikan, dan/atau
tidak menerbitkan Informasi
Publik berupa Informasi
Publik secara berkala,
Informasi Publik yang wajib
diumumkan secara
sertamerta, Informasi Publik
yang wajib tersedia setiap
saat, dan/atau Informasi
Publik yang harus diberikan
atas dasar permintaan sesuai
dengan Undang-Undang ini,
dan mengakibatkan kerugian
bagi orang lain

DIPIDANA

DENDA

paling singkat 1
(satu) bulan

denda paling
sedikit Rp
1.000.000,00

pidana penjara
paling lama 7
(tujuh) tahun

paling banyak Rp
5.000.000.000,0
0 (lima miliar
rupiah).

dipidana dengan
pidana penjara
paling lama 5
(lima) tahun
dan/atau

denda paling
banyak Rp
500.000.000,00
(lima ratus juta
rupiah).

dipidana dengan
pidana penjara
paling lama 5
(lima) tahun
dan/atau

denda paling
banyak Rp
500.000.000,00
(lima ratus juta
rupiah).

dipidana dengan
pidana penjara
paling lama 1
(satu) tahun
dan/atau
dikenakan pidana
kurungan paling
lama 1 (satu)
tahun dan/atau

pidana denda
paling banyak Rp
5.000.000,00
(lima juta rupiah).
pidana denda
paling banyak Rp
5.000.000,00
(lima juta rupiah).

80

PER-UU-AN

Undangundang
Nomor 26
Tahun 2007
tentang
Penataan
Ruang

PERBUATAN HUKUM

DIPIDANA

DENDA

- Setiap Orang yang dengan


sengaja dan melawan hukum
menghancurkan, merusak,
dan/atau menghilangkan
dokumen Informasi Publik
dalam bentuk media apa pun
yang dilindungi negara
dan/atau yang berkaitan
dengan kepentingan umum

dipidana dengan
pidana penjara
paling lama 2
(dua) tahun
dan/atau

pidana denda
paling banyak Rp
10.000.000,00
(sepuluh juta
rupiah).

- Setiap Orang yang dengan


sengaja dan tanpa hak
mengakses dan/atau
memperoleh dan/atau
memberikan informasi yang
dikecualikan sebagaimana
diatur dalam Pasal 17 huruf c
dan huruf e

dipidana dengan
pidana penjara
paling lama 3
(tiga) tahun dan

pidana denda
paling banyak
Rp20.000.000,00
(dua puluh juta
rupiah).

- Setiap Orang yang dengan


sengaja membuat Informasi
Publik yang tidak benar atau
menyesatkan dan
mengakibatkan kerugian bagi
orang lain

dipidana dengan
pidana penjara
paling lama 1
(satu) tahun
dan/atau

pidana denda
paling banyak
Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah).

- Setiap orang yang tidak


menaati rencana tata ruang
yang telah ditetapkan yang
mengakibatkan perubahan
fungsi ruang,

dipidana dengan
pidana penjara
paling lama 3
(tiga) tahun dan

denda paling
banyak
Rp500.000.000,0
0 (lima ratus juta
rupiah).

- Jika tindak pidana di atas


mengakibatkan kerugian
terhadap harta benda atau
kerusakan barang,

pelaku dipidana
dengan pidana
penjara paling
lama 8 (delapan)
tahun dan

- Jika tindak pidana di atas


mengakibatkan kematian
orang,

pelaku dipidana
dengan pidana
penjara paling
lama 15 (lima
belas) tahun dan

denda paling
banyak
Rp1.500.000.000
,00 (satu miliar
lima ratus juta
rupiah).
denda paling
banyak
Rp5.000.000.000
,00 (lima miliar
rupiah).

- Setiap orang yang menderita


kerugian akibat tindak pidana,
dapat menuntut ganti
kerugian secara perdata
kepada pelaku tindak pidana.

81

PER-UU-AN

PERBUATAN HUKUM

DIPIDANA

DENDA

- Tuntutan ganti kerugian


secara perdata di atas
dilaksanakan sesuai dengan
hukum acara pidana.
Undangundang
Nomor 32
Tahun 2009
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup

- Setiap orang yang dengan


sengaja melakukan
perbuatan yang
mengakibatkan dilampauinya
baku mutu udara ambien,
baku mutu air, baku mutu air
laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup,

dipidana dengan
pidana penjara
paling singkat 3
(tiga) tahun dan
paling lama 10
(sepuluh) tahun
dan

- Apabila perbuatan di atas


mengakibatkan orang luka
dan/atau bahaya kesehatan
manusia,

dipidana dengan
pidana penjara
paling singkat 4
(empat) tahun
dan paling lama
12 (dua belas)
tahun dan

- Apabila perbuatan di atas


mengakibatkan orang luka
berat atau mati,

dipidana dengan
pidana penjara
paling singkat 5
(lima) tahun dan
paling lama 15
(lima belas) tahun
dan

- Setiap orang yang karena


kelalaiannya mengakibatkan
dilampauinya baku mutu
udara ambien, baku mutu air,
baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup,

dipidana dengan
pidana penjara
paling singkat 1
(satu) tahun dan
paling lama 3
(tiga) tahun dan

- Apabila perbuatan di atas


mengakibatkan orang luka
dan/atau bahaya kesehatan
manusia,

dipidana dengan
pidana penjara
paling singkat 2
(dua) tahun dan
paling lama 6
(enam) tahun dan

- Apabila perbuatan di atas


mengakibatkan orang luka

dipidana dengan
pidana penjara

denda paling
sedikit
Rp3.000.000.000
,00 (tiga miliar
rupiah) dan
paling banyak
Rp10.000.000.00
0,00 (sepuluh
miliar rupiah).
denda paling
sedikit
Rp4.000.000.000
,00 (empat miliar
rupiah) dan
paling banyak
Rp12.000.000.00
0,00 (dua belas
miliar rupiah).
denda paling
sedikit
Rp5.000.000.000
,00 (lima miliar
rupiah) dan
paling banyak
Rp15.000.000.00
0,00 (lima belas
miliar rupiah).
denda paling
sedikit
Rp1.000.000.000
,00 (satu miliar
rupiah) dan
paling
banyakRp3.000.
000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
denda paling
sedikit
Rp2.000.000.000
,00 (dua miliar
rupiah) dan
paling banyak
Rp6.000.000.000
,00 (enam miliar
rupiah).
denda paling
sedikit

82

PER-UU-AN

PERBUATAN HUKUM
berat atau mati,

DIPIDANA

DENDA

paling singkat 3
(tiga) tahun dan
paling lama 9
(sembilan) tahun
dan

Rp3.000.000.000
,00 (tiga miliar
rupiah) dan
paling banyak
Rp9.000.000.000
,00 (sembilan
miliar rupiah).
denda paling
banyak
Rp3.000.000.000
,00 (tiga miliar
rupiah).

- Setiap orang yang melanggar


baku mutu air limbah, baku
mutu emisi, atau baku mutu
gangguan

dipidana, dengan
pidana penjara
paling lama 3
(tiga) tahun dan

- Tindak pidana di atas hanya

dapat dikenakan
apabila sanksi
administratif yang
telah dijatuhkan
tidak dipatuhi
atau pelanggaran
dilakukan lebih
dari satu kali.

3.8 KETENTUAN PERALIHAN


3.8.1 Aturan Peralihan Terkait Dengan Penyelenggara Informasi Geospasial
Aturan peralihan terkait dengan penyelenggara Informasi Geospasial, saat
Undang-Undang INFORMASI GEOSPASIAL ini berlaku, Instansi Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah, Badan Usaha atau Perorangan tetap dapat
menjalankan kegiatannya. Dengan ketentuan dalam waktu paling lama 3 (tiga)
tahun wajib menyesuaikan berdasarkan Undang-Undang ini.
Di bawah ini peraturan perundang-undangan yang mengatur pembagian
urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota terkait dengan Pengelolaan
Antar

Negara,

Perbatasan

Daerah,

Toponimi

dan

Pengembangan Wilayah Perbatasan, Penetapan Luas

Perbatasan

Pemetaan

Wilayah,

Wilayah, berdasarkan

Lampiran T Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007


Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
83

SUB BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAH
DAERAH PROVINSI

PEMERINTAH
DAERAH
KABUPATEN/ KOTA

Wilayah Perbatasan:
a. Pengelolaan
Perbatasan
Antar Negara

b. Perbatasan
Daerah

c. Toponimi dan
Pemetaan
Wilayah

1. Penetapan
kebijakan
pengelolaan
perbatasan
antar negara.

1.

1.

2. Pelaksanaan
pengelolaan
perbatasan
antar negara.

2. Dukungan
pelaksanaan
kebijakan
pengelolaan
perbatasan antar
negara.

2. Dukungan
pelaksanaan
kebijakan
pengelolaan
perbatasan antar
negara.

3. Koordinasi
pengelolaan
perbatasan
antar negara.

3. Dukungan
koordinasi antar
kabupaten/kota
yang berbatasan
dengan negara
lain.

3. Dukungan
koordinasi antar
kecamatan/desa/k
elurahan yang
berbatasan
dengan negara
lain.

4. Pelaksanaan
penyelesaian
perselisihan
perbatasan
antar negara.

4.

4.

1. Penetapan
1. Dukungan
kebijakan,
pelaksanaan
pelaksanaan,
penegasan
dan penegasan
perbatasan
perbatasan
provinsi dan
daerah.
kabupaten/kota di
wilayah provinsi.

1. Penetapan
kebijakan dan
pelaksanaan
perbatasan
kecamatan dan
desa/kelurahan di
kabupaten/kota.

2. Penetapan
kebijakan
toponimi dan
pemetaan
wilayah.

2. Penetapan
2. Penetapan
kebijakan provinsi
kebijakan
mengacu pada
kabupaten/kota
kebijakan nasional
mengacu pada
mengenai toponimi
kebijakan nasional
dan pemetaan
mengenai toponimi
wilayah provinsi.
dan pemetaan
wilayah
kabupaten/kota.

1. Pengelolaan
toponimi dan
pemetaan
skala nasional.

1. Pengelolaan
toponimi dan
pemetaan skala
provinsi.

1. Pengelolaan
toponimi dan
pemetaan skala
kabupaten/kota.

84

2. Inventarisasi
laporan
toponimi dan
pemetaan.

d. Pengembangan
Wilayah
Perbatasan

e. Penetapan Luas
Wilayah

2. Inventarisasi dan
laporan toponimi
dan pemetaan
skala provinsi.

2. Inventarisasi dan
laporan toponimi
dan pemetaan
skala kabupaten/
kota.

1. Penetapan
1. Penetapan
kebijakan
kebijakan
pengembangan
pengembangan
wilayah
wilayah
perbatasan.
perbatasan antar
kabu-paten/kota
skala provinsi.
2. Pengelolaan
2. Pengelolaan
pengembangan
pengembangan
wilayah
wilayah
perbatasan
perbatasan skala
antar negara
provinsi.
dan antar
provinsi.
3. Koordinasi dan 3. Koordinasi dan
fasilitasi
fasilitasi
pengembangan
pengembangan
wilayah
wilayah
perbatasan
perbatasan
antar negara
provinsi.
dan antar
provinsi.

1. Penetapan
kebijakan
pengembangan
wilayah
perbatasan skala
kabupaten/kota.

1. Penetapan
kebijakan luas
wilayah.

1. Inventarisasi
perubahan luas
wilayah
kabupaten/kota
yang diakibatkan
oleh alam antara
lain delta, abrasi.
2. Pemetaan luas
wilayah sesuai
peruntukannya.

1. Inventarisasi
perubahan luas
wilayah provinsi
yang diakibatkan
oleh alam antara
lain delta, abrasi.

2. Koordinasi dan 2. Pemetaan luas


fasilitasi
wilayah sesuai
penetapan luas
peruntukannya.
wilayah
provinsi,
kabupaten/kota

2. Pengelolaan
pengembangan
wilayah
perbatasan skala
kabupaten/kota.

3. Koordinasi dan
fasilitasi
pengembangan
wilayah
perbatasan
kabupaten/kota.

3.9 ATURAN PERALIHAN TERKAIT DENGAN BADAN


Untuk mengisi kevakuman penyelenggara Informasi Geospasial Dasar
dengan adanya undang-undang ini, maka selama Badan yang dimaksudkan
Rancangan undang-undang ini belum ditetapkan dengan Peraturan Presiden,
kewajiban tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja Badan
sebagai penyelenggara Informasi Geospasial Dasar dilaksanakan oleh Badan

85

Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.


Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah Non Kementerian sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2005

3.10 KETENTUAN PENUTUP


Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya dari UndangUndang Informasi Geospasial ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak
Undang-Undang ini berlaku.
Jangka waktu 2 ( dua) tahun adalah cukup untuk menyusun peraturan
pelaksanaan

dari

Undang

undang

Informasi

Geospasial

ini,

peraturan

pelaksanaan dimaksud yang berbentuk


Peraturan Pemerintah yang akan mengatur:
1. Jangka waktu pemutakhiran Informasi Geospasial Dasar
2. Tata cara untuk memperoleh izin Pengumpulan Data Geospasial
3. Insentif Pengolahan Data dan Informasi Geospasial
4. Teknologi, kebijakan, standar, dan sumber daya manusia Infrastruktur
Penyelenggaraan Informasi Geospasial
5. Pembinaan Informasi Geospasial penyelenggara Informasi Geospasial
Tematik; dan pengguna Informasi Geospasial.

Peraturan Presiden yang akan mengatur:


1. Tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja Badan
2. Tugas penyelenggaraan Informasi Geospasial Tematik oleh Instansi
Pemerintah dan pemerintah daerah
3. Jaringan Informasi Geospasial Pemerintah membangun Jaringan Informasi
Geospasial untuk penyebarluasan dan pertukaran Informasi Geospasial
secara elektronik.

Keputusan Kepala Badan yang akan mengatur:

86

1. Standar dan tata cara pengumpulan data geospasial


2. Tata cara penyimpanan Informasi Geospasial
3. Tata cara sertifikasi persyaratan teknis
4. Format dan riwayat data

87

4. BAB IV
KETERKAITAN DENGAN HUKUM POSITIF

4.1 KETERKAITAN DENGAN HUKUM POSITIF


4.1.1 Undang-Undang Dasar 1945
4.1.1.1 Pembukaan Undang-undang Dasar 1945
Alinea IV Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, mengamanatkan bahwa:

UUD Tahun 1945:


PEMBUKAAN
(Preambule)
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,..

Tujuan nasional sebagaimana dikemukakan dalam alinea IV Pembukaan


UUD 1945 tersebut di atas merupakan salah satu sumber hukum utama dalam
setiap pembuatan hukum dan pengaturan kebijakan, termasuk dalam perumusan
kebijakan dan pengaturan nasional bagi kegiatan penyelenggaraan Informasi
Geospasial. Oleh karenanya, dalam konteks upaya perumusan Rancangan
Undang Undang Informasi Geospasial dengan berdasarkan pada tujuan nasional
tersebut kegiatan penyelenggaraan Informasi Geospasial dapat diarahkan pada
pencapaian tujuan-tujuan nasional seperti:
a. melindungi

kepentingan

nasional

dalam

dan/atau

dari

kegiatan

penyelenggaraan Informasi Geospasial yang dilakukan oleh Negara lain;


b. meningkatkan kesejahteraan umum bagi bangsa Indonesia;
c. meningkatkan kemandirian bangsa dalam penguasaan maupun penerapan

88

ilmu pengetahuan dan teknologi Informasi Geospasial melalui kerjasama


internasional dan alih teknologi; dan
d. mendorong dan memajukan pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan Informasi
Geospasial

dalam

kerangka

ketertiban

dan

perdamaian

internasional

berdasarkan prinsip kemerdekaan/kebebasan dan keadilan sosial.


4.1.1.2 Pasal 33 ayat (3)
UUD Tahun 1945:
Pasal 33
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sumber daya alam merupakan karunia dan amanah dari Tuhan Yang Maha
Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia sebagai kekayaan yang tak
ternilai harganya. Oleh karena itu sumber daya alam wajib dikelola secara
bijaksana agar dapat dimanfaatkan secara berdaya guna, berhasil guna dan
berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, baik generasi
sekarang maupun generasi yang akan datang. Ketersediaan sumber daya alam
baik hayati maupun nonhayati sangat terbatas, oleh karena itu pemanfaatannya
baik sebagai modal alam (stock resources) maupun komoditas (product) harus
dilakukan secara bijaksana sesuai dengan karakteristiknya, dengan menggunakan
media Informasi Geospasial.
Pada pasal ini diamanatkan bahwa setelah bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai negara, maka agar dapat dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat antara lain negara harus dapat
menginventarisasi seluruh kekayaan alamnya dalam hal ini antara lain melalui
kegiatan survei dan menyajikannya dalam peta/Informasi Geospasial, agar dari itu
dapat diketahui letak dan sebaran kekayaan alamnya.
4.1.1.3 Pasal 25A
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri
nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah serta memiliki hak-hak berdaulat di
luar wilayah kedaulatannya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

89

bagi kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

UUD Tahun 1945:


Pasal 25A
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang
berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya
ditetapkan dengan undang-undang.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A


mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah
negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan
hak-haknya

ditetapkan

dengan

undang-undang.

Dalam

rangka

mengejawantahkan Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945 tersebut diperlukan Informasi Geospasial yang berkaitan dengan:
perairan; daratan/tanah; udara; ruang; dan sumber kekayaan alam dan
lingkungannya.
Berkaitan dengan amanat pasal 25A ini telah ditetapkan undang-undang
nomor 6 tahun 1996 tentang perairan indonesia dan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 38 tahun 2002 tentang daftar koordinat geografis
titik-titik garis pangkal kepulauan indonesia yang telah diubah dengan peraturan
pemerintah republik indonesia nomor 37 tahun 2008.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang
ditetapkan untuk menindaklanjuti ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut, dalam Pasal 6 menentukan bahwa Garis-garis Pangkal
Kepulauan Indonesia harus dicantumkan dalam peta dengan skala yang memadai
untuk menegaskan posisinya, atau dapat pula dibuat Daftar Koordinat Geografis
Titik-titik Garis Pangkal untuk menarik Garis Pangkal Kepulauan disertai referensi
Datum Geodetis yang diperlukan.
4.1.1.4 Pasal 28F
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
28F disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh

90

Informasi (dalam kaitan ini Informasi Geospasial) untuk mengembangkan pribadi


dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan
menyimpan Informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Untuk memberikan jaminan terhadap semua orang dalam memperoleh Informasi
(dalam kaitan ini Informasi Geospasial), perlu dibentuk Undang-Undang yang
mengatur tentang keterbukaan Informasi Geospasial.

UUD Tahun 1945:


Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan negara


yang terbuka adalah hak publik untuk memperoleh informasi Geospasial sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Hak atas informasi Geospasial menjadi
sangat penting karena makin terbuka penyelenggaraan negara untuk diawasi
publik, penyelenggaraan negara tersebut makin dapat dipertanggungjawabkan.
Hak setiap Orang untuk memperoleh Informasi Geospasial juga relevan untuk
meningkatkan

kualitas

pelibatan

masyarakat

dalam

proses

pengambilan

keputusan publik. Partisipasi atau pelibatan masyarakat tidak banyak berarti tanpa
jaminan keterbukaan Informasi Geospasial.
Keterkaitan dengan Informasi Geospasial sangat penting sebagai landasan
hukum yang berkaitan dengan (1) hak setiap Orang untuk memperoleh Informasi
Geospasial; (2) kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan
Informasi Geospasial secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan
cara sederhana; (3) kewajiban Badan Publik untuk membenahi sistem
dokumentasi dan pelayanan Informasi Geospasial.

4.1.2 Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden


4.1.2.1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 Tentang

91

Wilayah Negara.

UU No. 43 Thn 2008:


Pasal 10
(1) Dalam pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan,
Pemerintah berwenang:
h.
i. membuat dan memperbarui peta Wilayah Negara dan
menyampaikannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat
sekurang-kurangnya setiap 5 (lima) tahun sekali; dan
j.

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat 1 huruf i Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara, seperti tersebut di
atas pemerintah diberikan kewenangan untuk membuat dan memperbarui peta
Wilayah Negara dan menyampaikannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat
sekurang-kurangnya setiap 5 (lima) tahun sekali. Hal ini terkait dengan pengadaan
Informasi Geospasial Dasar yang dilakukan oleh Pemerintah.
4.1.2.2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, telah ditetapkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar
Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun
2007.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 50 Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, dalam perairan kepulauan dapat ditarik
garis-garis penutup untuk menetapkan batas Perairan Pedalaman di Teluk, di
Muara Sungai atau Terusan, di Kuala dan di daerah Pelabuhan.

UU No. 6 Thn 1996:

92

Pasal 6
(1) Garis pangkal kepulauan Indonesia yang ditarik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dicantumkan dalam peta dengan skala atau skala-skala
yang memadai untuk menegaskan posisinya, atau dapat pula dibuat daftar
titik-titik koordinat geografis yang secara jelas memerinci datum geodetik.
(2) Peta dengan skala atau skala-skala yang memadai yang menggambarkan
wilayah perairan Indonesia atau daftar titik-titik koordinat geografis dari
garis-garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Pemerintah Indonesia mengumumkan sebagaimana mestinya peta
dengan skala atau skala-skala yang memadai atau daftar titik-titik
koordinat geografis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta
mendepositokan salinan daftar titik-titik koordinat geografis tersebut pada
Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Walaupun ketentuan Pasal 50 tersebut tidak menentukan bahwa garis batas


perairan pedalaman di perairan kepulauan dapat ditarik di sepanjang pantai,
perairan yang terletak pada sisi dalam Garis Air Rendah sepanjang pantai
mempunyai kedudukan sebagai perairan pedalaman. Berhubung dengan itu garis
rendah tersebut juga merupakan batas perairan pedalaman dalam perairan
kepulauan. Ketentuan mengenai penetapan batas Perairan Pedalaman tersebut di
dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia tidak
terdapat suatu ketentuan untuk diatur lebih lanjut, namun demi kepastian hukum
mengenai penetapan batas Perairan Pedalaman dalam Perairan Kepulauan perlu
diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri.
Titik terluar pada Garis Air Rendah pantai yang berbatasan dengan negara
tetangga yang berhadapan atau berdampingan yang merupakan titik terluar
bersama untuk penarikan garis pangkal ditetapkan berdasarkan perjanjian kedua
negara serta memenuhi ketentuan Hukum Internasional. Perjanjian perbatasan
dengan negara tetangga tersebut pengesahannya dilakukan dengan Undangundang.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pada Peraturan Pemerintah No. 38
Tahun 2002 dilampirkan Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia.
4.1.2.3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1973 tentang Perjanjian Antara Indonesia
dan Australia Mengenai Garis-Garis Batas Tertentu Antara Indonesia dan

93

Papua New Guinea

UU No. 6 Thn 1973:


Pasal 9

(1) Koordinat-koordinat dari titik-titik yang tercantum dalam Perjanjian ini,


adalah koordinat-koordinat geografis letak yang sebenarnya dari setiap titik
atau garis yang disebut dalam Perjanjian ini dan yang belum ditetapkan,
akan ditentukan dengan cara yang akan disetujui bersama oleh pejabatpejabat yang berwenang dari Pemerintah Indonesia dan Australia.
(2) Untuk maksud ayat (1) Pasal ini, Pejabat-pejabat yang berwenang adalah
Ketua Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Indonesia atau
setiap orang yang dikuasakannya dan Director of National Mapping
Australia dan setiap orang yang.

Ketentuan tersebut di atas adalah satu dari sepuluh peraturan perundangundangan tentang batas wilayah laut maupun batas landas kontinen antara
Indonesia dengan Negara tetangga, Berdasarkan undang-undang dan Keputusan
Presiden tersebut di atas Ketua Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
diberikan kewenangan dalam menentukan koordinat-koordinat geografis letak
yang sebenarnya dari setiap titik atau garis yang disebut dalam Perjanjian itu yang
belum ditetapkan, akan ditentukan dengan cara yang akan disetujui bersama para
pihak dalam perjanjian internasional itu.
Dengan perumusan yang sama dalam suatu Pasal tertentu dalam perjanjian
tersebut di bawah ini Ketua Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
diberikan kewenangan dalam menentukan koordinat-koordinat geografis letak
yang sebenarnya dari setiap titik atau garis yang disebut dalam Perjanjian itu,
perjanjian dimaksud adalah sebagi berikut.
4.1.2.4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1973 tentang Perjanjian antara Republik
Indonesia dan Republik Singapura mengenai garis Batas laut Wilayah
kedua Negara di Selat Singapura
Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1971 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Commonwealth Australia
tentang Penetapan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu
Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1972 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Malaysia dan Pemerintah
Kerajaan Thailand tentang Penetapan Garis-Garis Batas Landas Kontinen di

94

Bagian Utara Selat Malaka


Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 1972 tentang Persetujuan Bersama
Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Commonwealth
Australia tentang Penetapan Garis Batas Dasar Laut di Daerah Laut Timor
dan Laut Arafura
Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1974 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India tentang
Penetapan Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara
Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1977 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang
Penetapan Garis Batas dasar Laut Antara Kedua Negara di Laut Andaman;
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1977 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India tentang
Garis Batas Landas Kontinen Tahun 1974 Antara Kedua Negara di Laut
Andaman dan Samudera Hindia;
Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1977 tentang Persetujuan antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang
Penetapan Batas Landas Kontinen antara kedua negara di Bagian Utara
Selat Malaka dan di Laut Andaman.
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1977 tentang Persetujun antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah India tentang Perpanjangan
Garis Batas Landas Kontinen tahun 1974 antara Kedua Negara di Laut
Andaman dan Samudera Hindia
Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1978 tentang Persetujuan antara
Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Republik India dan Pemerintah
Kerajaan Thailand tentang Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas dan
Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman.

4.1.2.5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang


Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 2025
(sebagai pengganti GBHN)
UU No. 17 Thn 2007:
Bab IV Arah, Tahapan, dan Prioritas Pembangunan Jangka Panjang Tahun
20052025.
IV.1 Arah Pembangunan Jangka Panjang Tahun 20052025
IV.1.6 Mewujudkan Indonesia Yang Asri Dan Lestari
8. Mitigasi Bencana Alam Sesuai dengan Kondisi Geologi Indonesia.
Secara geografis Indonesia berada di wilayah pertemuan tiga lempeng
tektonik. Kebijakan pembangunan berwawasan lingkungan memberikan ruang

95

untuk mengembangkan kemampuan dan penerapan sistem deteksi dini serta


sosialisasi dan diseminasi informasi secara dini terhadap ancaman kerawanan
bencana alam kepada masyarakat. Untuk itu, perlu ditingkatkan identifikasi
dan pemetaan daerah-daerah rawan bencana agar dapat diantisipasi secara
dini. Hal itu dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan
memberikan perlindungan terhadap manusia dan harta benda karena adanya
perencanaan wilayah yang peduli/peka terhadap bencana alam.

4.1.2.6 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang


UU No. 26 Thn 2007:
Pasal 14
(1) Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan:
a. rencana umum tata ruang; dan
b. rencana rinci tata ruang.
(2) Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
secara berhierarki terdiri atas:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. rencana tata ruang wilayah provinsi; dan
c. rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang
wilayah kota.
(3) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terdiri atas:
a. rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan
strategis nasional;
b. rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan
c. rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang
kawasan strategis kabupaten/kota.
(4) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
disusun sebagai perangkat operasional rencana umum tata ruang.
(5) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
dan huruf b disusun apabila:
a. rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam
pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang; dan/atau
b. rencana umum tata ruang mencakup wilayah perencanaan yang luas
dan skala peta dalam rencana umum tata ruang tersebut memerlukan
perincian sebelum dioperasionalkan.
(6) Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
dijadikan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat ketelitian peta rencana tata
ruang diatur dengan peraturan pemerintah.
Penjelasan Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Rencana rinci tata ruang merupakan penjabaran rencana umum tata
ruang yang dapat berupa rencana tata ruang kawasan strategis yang
penetapankawasannya tercakup di dalam rencana tata ruang wilayah.
Rencana rinci tata ruang merupakan operasionalisasi rencana umum tata
ruang yang dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan aspirasi

96

masyarakat sehingga muatan rencana masih dapat disempurnakan


dengan tetap mematuhi batasan yang telah diatur dalam rencana rinci
dan peraturan zonasi.
Ayat (2)
Rencana umum tata ruang dibedakan menurut wilayah administrasi
pemerintahan karena kewenangan mengatur pemanfaatan ruang dibagi
sesuai dengan pembagian administrasi pemerintahan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Secara administrasi pemerintahan, rencana tata ruang wilayah
kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota memiliki kedudukan
yang setara.
Ayat (3)
Huruf a
Rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan
strategis nasional merupakan rencana rinci untuk Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional.
Huruf b
Rencana tata ruang kawasan strategis provinsi merupakan rencana rinci
untuk rencana tata ruang wilayah provinsi.
Huruf c
Rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang
kawasan strategis kabupaten/kota merupakan rencana rinci untuk
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Efektivitas penerapan rencana tata ruang sangat dipengaruhi oleh tingkat
ketelitian atau kedalaman pengaturan dan skala peta dalam rencana tata
ruang.
Perencanaan tata ruang yang mencakup wilayah yang luas pada
umumnya memiliki tingkat ketelitian atau kedalaman pengaturan dan
skala peta yang tidak rinci. Oleh karena itu, dalam penerapannya masih
diperlukan perencanaan yang lebih rinci.
Apabila perencanaan tata ruang yang mencakup wilayah yang luasnya
memungkinkan pengaturan dan penyediaan peta dengan tingkat
ketelitian tinggi, rencana rinci tidak diperlukan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (7) Undang-Undang Nomor 26 tahun


2007 tentang Penataan Ruang Pemerintah, dalam hal ini BAKOSURTANAL

97

diminta oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang untuk menyusun Peraturan


Pemerintah terkait dengan tingkat ketelitian peta rencana tata ruang.
Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan antara yang satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai
dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan (i) dapat mewujudkan
pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu
mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; (ii) tidak terjadi
pemborosan pemanfaatan ruang; dan (iii) tidak menyebabkan terjadinya
penurunan kualitas ruang.
Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik, daya dukung dan daya
tampung

lingkungan,

serta

didukung

oleh

teknologi

yang

sesuai

akan

meningkatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan subsistem. Hal itu


berarti akan dapat meningkatkan kualitas ruang yang ada. Karena pengelolaan
subsistem yang satu berpengaruh pada subsistem yang lain dan pada akhirnya
dapat mempengaruhi sistem wilayah ruang nasional secara keseluruhan,
pengaturan

penataan

ruang

menuntut

dikembangkannya

suatu

sistem

keterpaduan sebagai ciri utama. Hal itu berarti perlu adanya suatu kebijakan
nasional tentang penataan ruang yang dapat memadukan berbagai kebijakan
pemanfaatan ruang. Seiring dengan maksud tersebut, pelaksanaan pembangunan
yang

dilaksanakan,

baik

oleh

Pemerintah,

pemerintah

daerah,

maupun

masyarakat, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah, harus dilakukan
sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian,
pemanfaatan ruang oleh siapa pun tidak boleh bertentangan dengan rencana tata
ruang.

4.1.2.7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah

98

UU No. 32 Tahun 2004:


Pasal 152
(1) Perencanaan pembangunan daerah didasarkan pada data dan informasi

yang Akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.


(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

penyelenggaraan pemerintahan daerah;


organisasi dan tata laksana pemerintahan daerah;
kepala daerah, DPRD, perangkat daerah, dan PNS daerah;
keuangan daerah;
potensi sumber daya daerah;
produk hukum daerah;
kependudukan;
informasi dasar kewilayahan; dan
informasi lain terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

(3) Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, untuk tercapainya

daya guna dan hasil guna, pemanfaatan data dan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikelola dalam sistem informasi daerah yang
terintegrasi secara nasional.

Bahwa sebagian besar unsur rupabumi yang merupakan bagian fisik alami
dari rupabumi kepulauan Indonesia maupun unsur rupabumi buatan yang tersebar
di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia masih belum bernama;
disamping itu unsur rupabumi kepulauan Indonesia yang sudah bernama masih
memerlukan pembakuan, untuk menjamin tertib administrasi wilayah dalam
kerangka

Negara

Kesatuan

Republik Indonesia, perlu

segera

dilakukan

pembakuan nama rupabumi.


Perpres No 112 Tahun 2006
Pasal 6
(1) Dalam melaksanakan tugasnya Tim Nasional dibantu oleh Tim Pelaksana dan

Sekretariat.
(2) Tim Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh Kelompok

Pakar.
Pasal 7
(1) Tim Pelaksana sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) terdiri dari:
a. Ketua : Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.
b. Wakil Ketua : Direktur Jenderal Pemerintahan Umum Kementerian
Dalam Negeri.
c. Anggota : Wakil-wakil dari instansi terkait.
(2) Anggota Tim Pelaksana sebagaimana pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Ketua Tim Nasional.

99

(3) Dalam melaksanakan tugasnya Tim Pelaksana dapat membentuk


kelompok-kelompok kerja.
Pasal 8
(1.) Sekretariat sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) secara fengsional
berada di Bakosurtanal.
(2.) Sekretariat bertugas mempersiapkan bahan-bahan teknis dalam rangka
penetapan kebijakan pembakuan nama rupabumi, dan melaksanakan
tugas-tugas lain yang diberikan oleh Tim Nasional.
(3.) Bahan-bahan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipersiapkan
secara bersama-sama oleh Sekretariat dan Kelompok Pakar.
(4) Keanggotaan Sekretariat Kementerian/instansi/lembaga teknis terkait.

Ketentuan pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun


2004 tentang Pemerintahan Daerah telah ditindak lanjuti dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2006 Tentang Tim Nasional Pembakuan
Nama Rupabumi.
Ketentuan Pasal 152 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan bahwa dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan untuk tercapainya daya guna dan
hasil guna, pemanfaatan data dan informasi dikelola dalam sistem informasi
daerah yang terintegrasi secara nasional.
Dari ketentuan ini dapat diartikan bahwa sistem informasi daerah terkait dengan
Informasi Geospasial potensi sumber daya daerah dan informasi dasar
kewilayahan serta informasi lain terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan
daerah harus terintegrasi secara nasional, dalam hal ini terintegrasi dengan
Informasi Geospasial dasar yang diselenggarakan oleh Badan.
4.1.2.8 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
UU No. 19 Thn 2002:
Pasal 2
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak

Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul


secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi
pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
(2) Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan

Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang

100

orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut unt


uk kepentingan yang bersifat komersial.

Pasal 12
(1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam
bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
k
l

buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis


yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan
pantomim;
seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir,
seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
arsitektur;
peta;
seni batik;
fotografi;
sinematografi;
terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain
dari hasil pengalihwujudan.

(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan


tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk
juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah
merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan
Perbanyakan hasil karya itu.

Apakah semua ciptaan itu dilindungi oleh undang-undang hak cipta?


(1) Dalam Undang-undang Hak Cipta, Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan
dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang
diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

101

f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari
hasil pengalihwujudan.
Apa sanksinya jika melanggar Hak Cipta ?
(1).

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan


mengumumkan atau memperbanyak ciptaan orang lain dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2).

Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,


atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil
pelanggaran Hak Cipta itu dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).

(3).

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak


penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Hak-hak apa saja yang dilindungi dalam Hak Cipta ?


Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral
rights).

Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas

Ciptaan serta produk Hak Terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri
Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa
pun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan.
Dengan hak moral, Pencipta dari suatu karya cipta memiliki hak untuk:

dicantumkan nama atau nama samarannya di dalam Ciptaannya ataupun


salinannya dalam hubungan dengan penggunaan secara umum;

mencegah bentuk-bentuk distorsi, mutilasi atau bentuk perubahan lainnya


yang meliputi pemutarbalikan, pemotongan, perusakan, penggantian yang

102

berhubungan dengan karya cipta yang pada akhirnya akan merusak apresiasi
dan reputasi Pencipta. Selain itu tidak satupun dari hak-hak tersebut di atas
dapat dipindahkan selama Penciptanya masih hidup, kecuali atas wasiat
Pencipta berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Apa yang dimaksud mengumumkan ?


Pengumuman adalah pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran
suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau
melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar,
atau dilihat orang lain.

Apa yang dimaksud dengan memperbanyak ?


Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu Ciptaan, baik secara
keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan
bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara
permanen atau temporer.
Dalam pengertian mengumumkan atau memperbanyak, termasuk kegiatan
menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual,
menyewakan,

meminjamkan,

mengimpor,

memamerkan,

mempertunjukkan

kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengomunikasikan Ciptaan kepada


publik melalui sarana apa pun.
Apa yang dimaksud dengan pengalihwujudan ?
Pengubahan bentuk
Siapa Pencipta itu ?
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang
atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran,
imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam
bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
Apa Ciptaan itu ?
Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya

103

dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Bahwa peta adalah suatu
gambaran dari unsur-unsur alam dan/atau buatan manusia yang berada di atas
ataupun di bawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar
dengan skala tertentu.
Database merupakan salah satu Ciptaan yang dilindungi adalah kompilasi
data dalam bentuk apapun yang dapat dibaca oleh mesin (komputer) atau dalam
bentuk lain, yang karena alasan pemilihan atau pengaturan atas isi data itu
merupakan kreasi intelektual. Perlindungan terhadap database diberikan dengan
tidak mengurangi hak Pencipta lain yang Ciptaannya dimasukkan dalam database
tersebut.
4.1.2.9 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik
UU No 14 Tahun 2008:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda
yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun
penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan
dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun
nonelektronik.
2. Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola,
dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan
penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan
penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan UndangUndang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
12. Pemohon Informasi Publik adalah warga negara dan/atau badan hukum
Indonesia yang mengajukan permintaan informasi publik sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 2
(1) Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap
Pengguna Informasi Publik.
(2) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.
(3) Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi
Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.
(4) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan
Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada
pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi

104

diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan


saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan
yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.
Pasal 17
Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi
Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali:
a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon
Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu
informasi yang dapat:
1. menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana;
2. mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban
yang mengetahui adanya tindak pidana;
3. mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencanarencana yang
berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk
kejahatan transnasional;
4. membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau
keluarganya; dan/atau
5. membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana
penegak hukum.
b. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon
Informasi Publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas
kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat;
c. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon
Informasi Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara,
yaitu:
1. informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik, dan teknik yang
berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan
negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran
atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar
negeri;
2. dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi, teknik dan
taktik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan
keamanan negara yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan
pengakhiran atau evaluasi;
3. jumlah, komposisi, disposisi, atau dislokasi kekuatan dan kemampuan
dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara
serta rencana pengembangannya;
4. gambar dan data tentang situasi dan keadaan pangkalan dan/atau
instalasi militer;
5. data perkiraan kemampuan militer dan pertahanan negara lain terbatas
pada segala tindakan dan/atau indikasi negara tersebut yang dapat
membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan/atau data terkait kerjasama militer dengan negara lain yang
disepakati dalam perjanjian tersebut sebagai rahasia atau sangat
rahasia;
6. sistem persandian negara; dan/atau
7. sistem intelijen negara.
d. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon
Informasi Publik dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia;

105

e. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon


Informasi Publik, dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional:
1. rencana awal pembelian dan penjualan mata uang nasional atau asing,
saham dan aset vital milik negara;
2. rencana awal perubahan nilai tukar, suku bunga, dan model operasi
institusi keuangan;
3. rencana awal perubahan suku bunga bank, pinjaman pemerintah,
perubahan pajak, tarif, atau pendapatan negara/daerah lainnya;
4. rencana awal penjualan atau pembelian tanah atau properti;
5. rencana awal investasi asing;
6. proses dan hasil pengawasan perbankan, asuransi, atau lembaga
keuangan lainnya; dan/atau
7. hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakan uang.
f. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon
Informasi Publik, dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri:
1. posisi, daya tawar dan strategi yang akan dan telah diambil oleh negara
dalam hubungannya dengan negosiasi internasional;
2. korespondensi diplomatik antarnegara;
3. sistem komunikasi dan persandian yang dipergunakan dalam
menjalankan hubungan internasional; dan/atau
4. perlindungan dan pengamanan infrastruktur strategis Indonesia di luar
negeri.
g. Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik
yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang;
h. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon
Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:
1. riwayat dan kondisi anggota keluarga;
2. riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis
seseorang;
3. kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang;
4. hasilhasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan
rekomendasi kemampuan seseorang; dan/atau
5. catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan
kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal.
i. memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik,
yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi
atau pengadilan;
j. informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.

4.1.2.10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang


Perikanan

106

UU No 31 Thn 2004:
Pasal 46
(1) Pemerintah menyusun dan mengembangkan sistem informasi dan data

statistik perikanan serta menyelenggarakan pengumpulan, pengolahan,


analisis, penyimpanan, penyajian, dan penyebaran data potensi, sarana
dan prasarana, produksi, penanganan, pengolahan dan pemasaran ikan,
serta data sosial ekonomi yang terkait dengan pelaksanaan pengelolaan
sumber daya ikan dan pengembangan sistem bisnis perikanan.
(2) Pemerintah mengadakan pusat data dan informasi perikanan untuk

menyelenggarakan sistem informasi dan data statistik perikanan.


Pasal 47
(1) Pemerintah membangun jaringan informasi perikanan dengan lembaga

lain, baik di dalam maupun di luar negeri.


(2) Sistem informasi dan data statistik perikanan harus dapat diakses dengan

mudah dan cepat oleh seluruh pengguna data statistik dan informasi
perikanan.

4.1.2.11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Kehutanan
UU No 41 Thn 1999:
Pasal 13

(1) Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data


dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta
lingkungannya secara lengkap.

(2) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan


dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna,
sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan di
sekitar hutan.

(3) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
a.
b.
c.
d.

inventarisasi hutan tingkat nasional,


inventarisasi hutan tingkat wilayah,
inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, dan
inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan.

(4) Hasil inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) antara lain dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan
hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, penyusunan rencana
kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.

(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

4.1.2.12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang

107

Minyak dan Gas Bumi

UU No 22 Thn 2001:
Pasal 1
6. Survei Umum adalah kegiatan lapangan yang meliputi pengumpulan,
analisis, dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi
geologi untuk memperkirakan letak dan potensi sumber daya Minyak dan
Gas Bumi di luar Wilayah Kerja;
8. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi
mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan
cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan;

UU No 22 Thn 2001:
Pasal 20
(1) Data yang diperoleh dari Survei Umum dan/atau Eksplorasi dan Eksploitasi

adalah milik negara yang dikuasai oleh Pemerintah.


(2) Data yang diperoleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap di Wilayah

Kerjanya dapat digunakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
dimaksud selama jangka waktu Kontrak Kerja Sama.
(3) Apabila Kontrak Kerja Sama berakhir, Badan Usaha atau Bentuk Usaha

Tetap wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh selama masa


Kontrak Kerja Sama kepada Menteri melalui Badan Pelaksana.
(4) Kerahasiaan data yang diperoleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap

di Wilayah Kerja berlaku selama jangka waktu yang ditentukan.


(5) Pemerintah mengatur, mengelola, dan memanfaatkan data sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) untuk merencanakan penyiapan
pembukaan Wilayah Kerja.
(6) Pelaksanaan ketentuan mengenai kepemilikan, jangka waktu penggunaan,

kerahasiaan, pengelolaan, dan pemanfaatan data sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan ayat (4):
Data atau informasi mengenai keadaan di bawah permukaan tanah dari hasil
investasi yang dilakukan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tidak dapat
dibuka secara langsung kepada umum untuk melindungi kepentingan
investasinya.
Data dapat dinyatakan terbuka setelah jangka waktutertentu, dan pihak-pihak
yang berkepentingan dapat menggunakan data tersebut.
Jangka waktu kerahasiaan data tergantung dari jenis dan klasifikasi data.

108

4.1.2.13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang


Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
UU No 5 Thn 1960:
Pasal 19.
(4) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(5) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
(6) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara
dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(7) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan
dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan
bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya
tersebut.

4.1.2.13.1

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997

Tentang Pendaftaran Tanah


PP No 24 Thn 1997:
Pasal 14
(1) Untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data fisik dilakukan
kegiatan pengukuran dan pemetaan.
(2) Kegaiatan pengukuran dan pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. pembuatan peta dasar pendaftaran;
b. penetapan batas bidang-bidang tanah;
c. pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta
pendaftaran;
d. pembuatan daftar tanah;
e. pembuatan surat ukur.
Pasal 15
(1) Kegiatan pendataran tanah secara sistematik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) dimulai dengan pembuatan peta dasar
pendaftaran.
(2) Di wilayah-wilayah yang belum ditunjuk sebagai wilayah pendaftaran tanah
secara sistematik oleh Badan Pertanahan nasional diusahakan tersedianya
peta dasar pendaftaran untuk keperluan pendaftaran tanah secara
sporadik.

109

Pasal 16
(1) Untuk keperluan pembuatan peta dasar pendaftaran tanah Badan
Pertanahan Nasional menyelenggarakan pemasaran, pengukuran,
pemetaan dan pemeliharaan titik-titik dasar teknik nasional di setiap
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2) Pengukuran untuk pembuatan peta dasar pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diikatkan dengan titik-titik dasar teknik nasional
sebagai kerangka dasarnya.
(3) Jika di suatu daerah tidak ada atau belum ada titik-titik dasar teknik
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam melaksanakan
pengukuran untuk pembuatan peta dasar pendaftaran dapat digunakan titik
dasar teknik yang bersifat sementara, yang kemudian diikatkan dengan titik
dasar teknik nasional.
(4) Peta dasar pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
menjadi dasar untuk pembuatan peta pendaftaran.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengukuran dan pemetaan titik dasar
teknik nasional dan pembuatan peta dasar pendaftaran ditetapkan oleh
Menteri.

4.1.2.14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang


Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
UU No 27 Thn 2007:
Pasal 15
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengelola data dan informasi
mengenai Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
(2) Pemutakhiran data dan informasi dilakukan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah secara periodik dan didokumentasikan serta
dipublikasikan secara resmi, sebagai dokumen publik, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(3) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dimanfaatkan oleh setiap Orang dan/atau pemangku kepentingan utama
dengan tetap memperhatikan kepentingan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah.
(4) Setiap Orang yang memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan data dan
informasi kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah selambatlambatnya 60 (enam puluh) hari kerja sejak dimulainya pemanfaatan.
(5) Perubahan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan dengan seizin Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
(6) Pedoman pengelolaan data dan informasi tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diatur dalam Peraturan Menteri.

110

Penjelasan
Ayat (1)
Data dan informasi yang dimaksud bersifat akurat, dapat
dipertanggungjawabkan, terkini, dan sesuai kebutuhan mengenai wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.
Ayat (2)
Publikasi resmi dimaksud antara lain melalui berita negara pada tingkat
nasional, berita daerah pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

4.1.2.15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang


Sumber Daya Air
UU No 7 Thn 2004:
Pasal 65
(1) Untuk mendukung pengelolaan sumber daya air, Pemerintah dan
pemerintah daerah menyelenggarakan pengelolaan sistem informasi
sumber daya air sesuai dengan kewenangannya.
(2) Informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
informasi mengenai kondisi hidrologis, hidrome-teorologis, hidrogeologis,
kebijakan sumber daya air, prasarana sumber daya air, teknologi sumber
daya air, lingkungan pada sumber daya air dan sekitarnya, serta kegiatan
sosial ekonomi budaya masyarakat yang terkait dengan sumber daya air.
Pasal 66
(1) Sistem informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
ayat (1) merupakan jaringan informasi sumber daya air yang tersebar dan
dikelola oleh berbagai institusi.
(2) Jaringan informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dapat diakses oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam
bidang sumber daya air.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat membentuk unit pelaksana
teknis untuk menyelenggarakan kegiatan sistem informasi sumber daya air.
Pasal 67
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah serta pengelola sumber daya air,
sesuai dengan kewenangannya, menyediakan informasi sumber daya air
bagi semua pihak yang berkepentingan dalam bidang sumber daya air.
(2) Untuk melaksanakan kegiatan penyediaan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), seluruh instansi Pemerintah, pemerintah daerah,
badan hukum, organisasi, dan lembaga serta perseorangan yang
melaksanakan kegiatan berkaitan dengan sumber daya air menyampaikan
laporan hasil kegiatannya kepada instansi Pemerintah dan pemerintah
daerah yang bertanggung jawab di bidang sumber daya air.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, pengelola sumber daya air, badan hukum,
organisasi, lembaga dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat

111

(1) dan ayat (2) bertanggung jawab menjamin keakuratan, kebenaran, dan
ketepatan waktu atas informasi yang disampaikan.
Pasal 68
(1) Untuk mendukung pengelolaan sistem informasi sumber daya air
diperlukan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrome-teorologi, dan
hidrogeologi wilayah sungai pada tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota.
(2) Kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrome-teorologi, dan
hidrogeologi ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan usul Dewan Sumber
Daya Air Nasional.
(3) Pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan pengelola sumber daya air sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan melalui kerja sama
dengan pihak lain.
Pasal 69
Ketentuan mengenai sistem informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68 diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.

4.1.2.16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No. 32 Thn 2009:
Pasal 62
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi
lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan
kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan
terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat.
(3) Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi
mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan
informasi lingkungan hidup lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 96
Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;

112

d.
e.
f.
g.

surat;
petunjuk;
keterangan terdakwa; dan/atau
alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan
perundangundangan.

Penjelasan huruf f
Yang dimaksud dengan alat bukti lain, meliputi, informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik,
optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman,
atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan
dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik,
tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna
atau yang dapat dipahami atau dibaca.

4.1.2.17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 tentang


Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
UU No. 18 Thn 2002:
Pasal 21
(1)

Pemerintah dan pemerintah daerah berperan mengembangkan


instrumen kebijakan untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1).

(2)

Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan


sebagai bentuk kemudahan dan dukungan yang dapat mendorong
pertumbuhan dan sinergi semua unsur Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

(3)

Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
dapat berbentuk dukungan sumber daya, dukungan dana, pemberian
insentif, penyelenggaraan program ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
pembentukan lembaga.

(4)

Lembaga yang dimaksud dalam ayat (3) dapat meliputi lembaga litbang
dan lembaga penunjang, baik yang berdiri sendiri sebagai Lembaga
Pemerintah Non Kementerian maupun sebagai unit kerja Kementerian
atau pemerintah daerah tertentu.

(5)

Pelaksanaan instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)


diselenggarakan secara adil, demokratis, transparan, dan akuntabel.

Penjelasan ayat (4)


Pada tingkat pusat, pembentukan lembaga yang dimaksud dalam ayat ini
dapat berupa:
a. Lembaga litbang Kementerian dan lembaga lain yang sejenis yang berada
di bawah naungan Kementerian tertentu yang kegiatannya berkaitan

113

dengan permasalahan sektor tertentu;


b. Lembaga litbang non Kementerian yang merupakan organisasi yang berdiri
sendiri yang kegiatannya berkaitan dengan permasalahan lintas sektor.
Pada saat undang-undang ini dibuat, yang termasuk dalam jenis lembaga
ini, antara lain, adalah Badan Tenaga Nuklir Nasional, Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional;
c. Lembaga penunjang Kementerian dan lembaga lain yang sejenis berada di
bawah naungan Kementerian tertentu yang kegiatannya berkaitan dengan
permasalahan sektor tertentu;
d. Lembaga penunjang non Kementerian merupakan organisasi yang berdiri
sendiri yang kegiatannya berkaitan dengan permasalahan lintas sektor.
Pada saat undang-undang ini dibuat, yang termasuk dalam jenis lembaga
ini, antara lain, adalah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional,
Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Badan Standardisasi Nasional.
Di daerah pembentukan lembaga yang dimaksud dalam ayat ini dapat
berupa lembaga litbang dan lembaga penunjang yang diperlukan untuk
mengembangkan kemampuan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya yang diperlukan untuk
menggali dan mengembangkan potensi daerah sesuai dengan
karakteristik daerah

4.1.2.18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2009 Tentang


Pembentukan Kabupaten Maybrat Di Provinsi Papua Barat
UU No 13 Thn 2009:
Pasal 5
(1) Kabupaten Maybrat mempunyai batas-batas wilayah:
a. sebelah utara berbatasan dengan Distrik Fef Kabupaten Tambrauw,
Distrik Senopi dan Distrik Kebar Kabupaten Manokwari;
b. sebelah timur berbatasan dengan Distrik Moskona Utara dan Distrik
Moskona Selatan Kabupaten Teluk Bintuni;
c. sebelah selatan berbatasan dengan Distrik Kokoda dan Distrik Kais
Kabupaten Sorong Selatan; dan
d. sebelah barat berbatasan dengan Distrik Moswaren, Distrik Wayer, dan
Distrik Sawiat Kabupaten Sorong Selatan.
(2) Batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam
peta wilayah yang tercantum dalam lampiran dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Penegasan batas wilayah Kabupaten Maybrat secara pasti di lapangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan oleh Menteri
Dalam Negeri paling lama 5 (lima) tahun sejak diresmikannya Kabupaten
Maybrat.

114

Penjelasan Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Lampiran peta cakupan wilayah yang digambarkan dengan skala
1:100.000 diterbitkan oleh Pemerintah dan diserahkan kepada
Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat pada saat dilakukan peresmian
sebagai daerah otonom baru.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ketentuan tersebut di atas adalah satu dari banyak Undang-undang tentang


pembetukan suatu Kabupaten atau Provinsi, berdasarkan undang-undang
tersebut

diatas

batas

wilayah

provinsi/kabupaten

bentukan

baru,

harus

dicantumkan dalam peta wilayah/ peta cakupan wilayah yang digambarkan


dengan skala 1:100.000 yang diterbitkan oleh Pemerintah.
Penegasan batas wilayah Provinsi/ Kabupaten bentukan baru secara pasti di
lapangan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri, dengan kalimat lain harus
ditentukan koordinat-koordinat geografis letak yang sebenarnya dari setiap titik
atau garis yang disebut dalam undang-undang itu.
4.1.2.19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik
UU No. 11 Thn 2008:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki
arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik
lainnya.
3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan,
menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis,
dan/atau menyebarkan informasi.

115

4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,


diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol
atau perforasi yang memiliki makan atau arti atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu memahaminya.
Pasal 32
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan
cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi,
merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau
milik publik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan
cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak
berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan
keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.

4.2 KETERKAITAN DENGAN KONVENSI INTERNASIONAL


4.2.1 United Nations Convention on the Law of the Sea
Sudah diratifikasi Undang Undang No. 17 Tahun 1985 Tentang: Pengesahan
United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan
Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut).
Article 5
Normal baseline
Except where otherwise provided in this Convention, the normal baseline for
measuring the breadth of the territorial sea is the low-water line along the coast
as marked on large-scale charts officially recognized by the coastal State.
Pasal 5
Garis pangkal biasa
Kecuali ditentukan lain dalam konvensi ini, garis pangkal biasa untuk
mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai
sebagaimana terlihat pada peta skala besar yang diakui resmi oleh negara
pantai tersebut

116

Article 6
Reefs
In the case of islands situated on atolls or of islands having fringing reefs, the
baseline for measuring the breadth of the territorial sea is the seaward lowwater line of the reef, as shown by the appropriate symbol on charts officially
recognized by the coastal State.
Pasal 6
Karang
Dalam hal pulau yang terletak pada atol atau pulau yang mempunyai karangkarang disekitarnya, maka garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial
adalah garis air rendah pada sisi karang kearah laut sebagaimana ditunjukkan
oleh tanda yang jelas untuk itu pada peta yang diakui resmi oleh negara pantai
yang bersangkutan.

Article 16
Charts and lists of geographical coordinates
1. The baselines for measuring the breadth of the territorial sea determined in
accordance with articles 7, 9 and 10, or the limits derived therefrom, and
the lines of delimitation drawn in accordance with articles 12 and 15 shall
be shown on charts of a scale or scales adequate for ascertaining their
position. Alternatively, a list of geographical coordinates of points,
specifying the geodetic datum, may be substituted.
2. The coastal State shall give due publicity to such charts or lists of
geographical coordinates and shall deposit a copy of each such chart or list
with the Secretary-General of the United Nations.
Pasal 16
Peta dan Daftar Koordinat Geografis
1. Garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial sebagaimana ditetapkan
sesuai dengan pasal 7, 8, dan 10, atau garis batas yang ditarik sesuai
dengan pasal 12 dan 15, harus dicantumkan dalam peta dengan skala
atau skala-skala yang memadai untuk penetapan garis posisinya. Sebagai
gantinya dapat diberikan suatu daftar titik-titik koordinat geografis, yang
menjelaskan datum geodetik.
2. Negara pantai harus memeberikan pengumuman sebagaimana mestinya
mengenai peta dan daftar koordinat geografis tersebut dan mendepositkan
satu copy/turunan setiap peta atau daftar tersebut kepada Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.

117

Article 22
Sea lanes and traffic separation schemes in the territorial sea
1. The coastal State may, where necessary having regard to the safety of
navigation, require foreign ships exercising the right of innocent passage
through its territorial sea to use such sea lanes and traffic separation
schemes as it may designate or prescribe for the regulation of the passage
of ships.
2. In particular, tankers, nuclear-powered ships and ships carrying nuclear or
other inherently dangerous or noxious substances or materials may be
required to confine their passage to such sea lanes.
3. In the designation of sea lanes and the prescription of traffic separation
schemes under this article, the coastal State shall take into account:
(a) the recommendations of the competent international organization;
(b) any channels customarily used for international navigation;
(c)the special characteristics of particular ships and channels; and
(d) the density of traffic.
4. The coastal State shall clearly indicate such sea lanes and traffic
separation schemes on charts to which due publicity shall be given.
Pasal 22
Alur laut dan skema pemisah lalu lintas dilaut teritorial
1. Negara pantai dimana perlu dengan memperhatikan keselamatan navigasi,
dapat mewajibkan kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai
melalui laut teritorialnya untuk mempergunakan alur laut dan skema
pemisah lalu lintas sebagaiman yang dapat ditetapkan dan yang harus
diikuti untuk pengaturan lintas kapal.
2. Khususnya, kapal tanki, kapal bertenaga nuklir dan kapal yang
mengangkut nukliratau barang atau bahan lain yang karena sifatnya
berbahaya atau beracun dapat diharuskan untuk membatasi lintasnya pada
alur laut yang demikian.
3. Dalam penetapan alur laut dan penentuan skema pemisah lalu lintas
menurut pasal ini, negara pantai harus memperhatikan:
a.
b.
c.
d.

Rekomendasi organisasi internasional yang kompeten;


Setiap alur yang biasanya digunakan untuk navigasi internasional;
sifat-sifat khusus kapal dan alur tertentu;dan
kepadatan lalu lintas

4. Negara pantai harus mencantumkan secara jelas alur laut dan skema
pemisah lalu lintas demikian pada peta yang harus diumumkan
sebagaimana menstinya.

Article 41
Sea lanes and traffic separation schemes in straits used for international
navigation
1. In conformity with this Part, States bordering straits may designate sea

118

lanes and prescribe traffic separation schemes for navigation in straits


where necessary to promote the safe passage of ships.
2. Such States may, when circumstances require, and after giving due
publicity thereto, substitute other sea lanes or traffic separation schemes
for any sea lanes or traffic separation schemes previously designated or
prescribed by them.
3. Such sea lanes and traffic separation schemes shall conform to generally
accepted international regulations.
4. Before designating or substituting sea lanes or prescribing or substituting
traffic separation schemes, States bordering straits shall refer proposals to
the competent international organization with a view to their adoption. The
organization may adopt only such sea lanes and traffic separation schemes
as may be agreed with the States bordering the straits, after which the
States may designate, prescribe or substitute them.
5. In respect of a strait where sea lanes or traffic separation schemes through
the waters of two or more States bordering the strait are being proposed,
the States concerned shall cooperate in formulating proposals in
consultation with the competent international organization.
6. States bordering straits shall clearly indicate all sea lanes and traffic
separation schemes designated or prescribed by them on charts to which
due publicity shall be given.
7. Ships in transit passage shall respect applicable sea lanes and traffic
separation schemes established in accordance with this article.
Pasal 41
Alur laut dan skema pemisah lalu lintas dalam selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional
1. Sesuai dengan ketentuan Bab ini, Negara yang berbatasan dengan selat
dapat menentukan alur laut dan dapat menetapkan skema pemisah lalu
lintas untuk pelayaran diselat apabila diperlukan untuk meningkatkan
lintasan yang aman bagi kapal
2. Negara yang demikian, apabila keadaan menghendakinya, dan setelah itu
memberikanpengumuman sebagaimana mestinya, dapat menggantikan
setiap alur-alur laut atau skema pemisah lalu lintas yang telah ditentukan
atau ditetapkan sebelumnya dengan alur-alur laut dan skema pemisah lalu
lintas yang lain.
3. Alur laut dan skema pemisah lalu lintas demikian harus sesuai
denganperaturan internasional yang telah diterima secara umum.
4. Sebelum menentukan atau mengganti alur laut atau menetapkan skema
pemisah lalu lintas, negara yang berbatasan dengan selat harus
mengajukan usul kepada organisasi internasional yang berwenang dengan
maksud dapat merimanya.Organisasi itu hanya dapat menerima alur laut
dan skema pemisah lalu lintas yang telah disepakati dengan Negaranegara yang berbatasan dengan selat, setelah mana Negara-negara itu
dapat menentukan, menetapkan atau menggantinya.
5. Bertalian dengan suatu selat dimana sedang diusulkan alur laut skema
pemisah lalu lintas melalui perairan dua atau lebih negara yang berbatasan
dengan selat, Negara-negara yang bersangkutan harus bekerjasama

119

dalam merumuskan usul melalui konsultasi dengan organisasi internasional


yang berwenang
6. Negara yang berbatasan dengan selat harus secara jelas mencantumkan
semua alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang ditetapkankannya
pada peta yang diumumkan sebagaimana mestinya.
7. Kapal dalam lintas transit harus menghormati alur laut dan skema pemisah
lalu lintas yang berlaku dan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan
pasal ini.

Article 47
Archipelagic baselines
1. An archipelagic State may draw straight archipelagic baselines joining the
outermost points of the outermost islands and drying reefs of the
archipelago provided that within such baselines are included the main
islands and an area in which the ratio of the area of the water to the area of
the land, including atolls, is between 1 to 1 and 9 to 1.
2. The length of such baselines shall not exceed 100 nautical miles, except
that up to 3 per cent of the total number of baselines enclosing any
archipelago may exceed that length, up to a maximum length of 125
nautical miles.
3. The drawing of such baselines shall not depart to any appreciable extent
from the general configuration of the archipelago.
4. Such baselines shall not be drawn to and from low-tide elevations, unless
lighthouses or similar installations which are permanently above sea level
have been built on them or where a low-tide elevation is situated wholly or
partly at a distance not exceeding the breadth of the territorial sea from the
nearest island.
5. The system of such baselines shall not be applied by an archipelagic State
in such a manner as to cut off from the high seas or the exclusive economic
zone the territorial sea of another State.
6. If a part of the archipelagic waters of an archipelagic State lies between two
parts of an immediately adjacent neighbouring State, existing rights and all
other legitimate interests which the latter State has traditionally exercised in
such waters and all rights stipulated by agreement between those States
shall continue and be respected.
7. For the purpose of computing the ratio of water to land under paragraph l,
land areas may include waters lying within the fringing reefs of islands and
atolls, including that part of a steep-sided oceanic plateau which is
enclosed or nearly enclosed by a chain of limestone islands and drying
reefs lying on the perimeter of the plateau.
8. The baselines drawn in accordance with this article shall be shown on
charts of a scale or scales adequate for ascertaining their position.
Alternatively, lists of geographical coordinates of points, specifying the
geodetic datum, may be substituted.
9. The archipelagic State shall give due publicity to such charts or lists of
geographical coordinates and shall deposit a copy of each such chart or list

120

with the Secretary-General of the United Nations.


Pasal 47
Garis pangkal kepulauan
1. Suatu Negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan
yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering
terluar kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa didalam garis pangkal
demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana
perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan, termasuk atol,
adalah antara satu berbanding satu dan sembilan berbanding satu.
2. Panjang garis pangkal demuikian tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali
bahwa hingga 3% dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi
setiap kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga pada suatu
kepanjangan maksimum 125 mil laut.
3. Penarikan garis pangkal demikian tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari
konfigurasi umum kepulauan tersebut.
4. Garis pangkal demikian tidak boleh ke dan dari elevasi surut, kecuali
apabila diatasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang
secara permanen berada diatas permukaan laut atau apabila elevasi surut
terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi
lebar laut teritorialdari pulau yang terdekat.
5. Sistem garis pangkal demikian tidak boleh diterapkan oleh suatu
negarakepulauan dengan cara yang demikian rupa sehingga memotong
laut teritorial Negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.
6. Apabila suatu bagian perairan kepulauan suatu Negara kepulauan terletak
diantara dua bagian suatu negara tetangga yang langsung berdampingan,
hak-hak yang ada, dan kepentingan-kepentingan sah lainnyayang
dilaksanakan secara tradisional oleh negara tersebutterakhir diperairan
demikian, serta segala hak yang ditetapkan dalam perjanjian antara
Negara-negara tersebut akan tetap berlaku dan harus dihormati.
7. Untuk maksud menghitung perbandingan perairan dengan daratan
berdasarkan ketentuan ayat 1, daerah dartan dapat mencakup didalamnya
perairan yang terletak didalam tebaran karang, pulau-pulau dan atol,
termasuk bagian plateau oceanik yang bertebing curamyang tertutup atau
hampir tertutup oleh serangkaian pulau batu gamping dan karang kering
diatas permukaan lautyang terletak disekeliling plateau tersebut
8. Garis pangkal yang ditarik sesuai dengan pasal ini, harus dicantumkan
pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk
menegaskan posisinya.Sebagai gantinya, dapat dibuat daftar koordinat
geografis titik-titik yang secara jelas memerinci datum geodetik.
9. Negara kepulauan harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau
daftar koordinat geografis demikian dan harus mendepositkan satu salinan
setiap peta atau daftar demikian pada Sekretaris Jendral Perserikatan
Bangsa-Bangsa.

121

Article 53
Right of archipelagic sea lanes passage
1. An archipelagic State may designate sea lanes and air routes thereabove,
suitable for the continuous and expeditious passage of foreign ships and
aircraft through or over its archipelagic waters and the adjacent territorial
sea.
2. All ships and aircraft enjoy the right of archipelagic sea lanes passage in
such sea lanes and air routes.
3. Archipelagic sea lanes passage means the exercise in accordance with this
Convention of the rights of navigation and overflight in the normal mode
solely for the purpose of continuous, expeditious and unobstructed transit
between one part of the high seas or an exclusive economic zone and
another part of the high seas or an exclusive economic zone.
4. Such sea lanes and air routes shall traverse the archipelagic waters and
the adjacent territorial sea and shall include all normal passage routes used
as routes for international navigation or overflight through or over
archipelagic waters and, within such routes, so far as ships are concerned,
all normal navigational channels, provided that duplication of routes of
similar convenience between the same entry and exit points shall not be
necessary.
5. Such sea lanes and air routes shall be defined by a series of continuous
axis lines from the entry points of passage routes to the exit points. Ships
and aircraft in archipelagic sea lanes passage shall not deviate more than
25 nautical miles to either side of such axis lines during passage, provided
that such ships and aircraft shall not navigate closer to the coasts than 10
per cent of the distance between the nearest points on islands bordering
the sea lane.
6. An archipelagic State which designates sea lanes under this article may
also prescribe traffic separation schemes for the safe passage of ships
through narrow channels in such sea lanes.
7. An archipelagic State may, when circumstances require, after giving due
publicity thereto, substitute other sea lanes or traffic separation schemes
for any sea lanes or traffic separation schemes previously designated or
prescribed by it.
8. Such sea lanes and traffic separation schemes shall conform to generally
accepted international regulations.
9. In designating or substituting sea lanes or prescribing or substituting traffic
separation schemes, an archipelagic State shall refer proposals to the
competent international organization with a view to their adoption. The
organization may adopt only such sea lanes and traffic separation schemes
as may be agreed with the archipelagic State, after which the archipelagic
State may designate, prescribe or substitute them.
10. The archipelagic State shall clearly indicate the axis of the sea lanes and
the traffic separation schemes designated or prescribed by it on charts to
which due publicity shall be given.
11. Ships in archipelagic sea lanes passage shall respect applicable sea lanes
and traffic separation schemes established in accordance with this article.
12. If an archipelagic State does not designate sea lanes or air routes, the right

122

of archipelagic sea lanes passage may be exercised through the routes


normally used for international navigation.
Pasal 53
Hak lintas alur laut kepulauan
1. Suatu Negara kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute
penerbangan diatasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan
pesawat udara asing yang terus menerus dan langsung serta secepat
mungkin melalui atau diatas perairan kepulauannya dan laut teritorial yang
berdampingan dengannya.
2. Semua kapal dan pesawat udar menikmati hak lintas alur laut kepulauan
dalam alur laut dan rute penerbangan demikian.
3. Lintas alur laut kepulauan berarti pelaksanaan hak pelayaran dan
penerbangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvesi ini dalam cara
normal semata-mata untuk melakukan transit yang terus menerus,
langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang antara satu bagian
laut lepas atau zone ekonomi eksklusif lainnya.
4. Alur laut dan rute udara demikian harus melintasi perairan kepulauan dan
laut teritorial yang berdampingan dan mencakup semua rute lintas normal
yang digunakan sebagai rute atau alur untuk pelayaran internasional atau
penerbangan melalui atau melintasi perairan kepulauan dan didalam rute
demikian, sepanjang mengenai kapal, semua alur navigasi normal dengan
ketentuan bahwa duplikasi rute yang sama kemudahannya melalui tempat
masuk dan keluar yang sama tidak perlu.
5. Alur Laut dan rute penerbangan demikian harus ditentukan dengan suatu
rangkaian garis sumbu yang bersambungan mulai dari tempat masuk rute
lintashingga tempat keluar. Kapal dan pesawat udara yang melakukan
lintas melalui alur laut kepulauan tidak boleh menyimpang lebih daripada
25 mil lautkedua sisi garis sumbu demikian, dengan ketentuan bahwa
kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat
kepantai kurang dari 10% jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulaupulau yang berbatasan dengan alur laut tersebut.
6. Suatu Negara kepulauan yang menentukan alur laut menurut ketentuan
pasal ini dapat juga menetapkan skema pemisah lalu lintas untuk
keperluan lintas kapal yang aman melalui terusan sempit dalam alur laut
demikian.
7. Suatu Negara kepulauan, apabila keadaan menghendaki, setelah untuk itu
mengadakan pengumuman sebagaimana mestinya, dapat mengganti alur
laut atau skema pemisah lalu lintas yang telah ditentukan atau
ditetapkannya sebelumnya dengan alur laut atau skema pemisah lalu lintas
lain.
8. Alur laut atau skema pemisah lalu lintas demikian harus sesuai dengan
peraturan internasionalyang diterima secara umum.
9. Dalam menentukan atau mengganti alur laut, atau menetapkan atau
mengganti skema pemisah lalu lintas , suatu negara kepulauan harus
mengajukan usul-usul kepada organisasi internasional berwenang dengan
maksud untuk dapat diterima. Organisasi tersebut hanya dapat menerima
alur laut atau skema pemisah lalu lintas yang demikian sebagaimana
disetujui bersama dengan Negara kepulauan, setelah mana Negara

123

kepulauan dapat menentukan,menetapkan atau menggantinya.


10. Negara kepulauan harus dengan jelas menunjukkan sumbu-sumbu alur
laut dan skema pemisah lalu lintas yang ditentukan atau ditetapkannya
pada peta-peta yang harus diumumkan sebagaimana mestinya.
11. Kapal yang melakukan lintas alur laut kepulauan harus mematuhi alur laut
atau skema pemisah lalu lintas yang berlaku yang ditetapkan sesuai
dengan ketentuan pasal ini.
12. Apabila suatu Negara kepulauan tidak menentukan alur laut atau rute
penerbangan, maka hak lintas alur laut kepulauan dapat dilaksanakan
melalui rute yang biasanya digunakan untuk pelayaran internasional.

Article 75
Charts and lists of geographical coordinates
1. Subject to this Part, the outer limit lines of the exclusive economic zone and
the lines of delimitation drawn in accordance with article 74 shall be shown
on charts of a scale or scales adequate for ascertaining their position.
Where appropriate, lists of geographical coordinates of points, specifying
the geodetic datum, may be substituted for such outer limit lines or lines of
delimitation.
2. The coastal State shall give due publicity to such charts or lists of
geographical coordinates and shall deposit a copy of each such chart or list
with the Secretary-General of the United Nations.
Pasal 75
Peta dan daftar koordinat geografis
1. Dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan bab ini, garis batas terluar zona
ekonomi ekslusif dan garis penetapan batas yang ditarik sesuai dengan
ketentuan pasal 74 harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skalaskala yang memadai untuk menentukan posisinya. Dimana perlu, daftar
titik-titik koordinat-koordinat geografis, yang memerinci datum geodetik,
dapat menggantikan garis batas terluar atau garis-garis penetapan
perbatasan yang demikian.
2. Negara pantai harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau
daftar koordinat geografis demikian dan harus mendepositokan satu copy
setiap peta atau daftar demikian pada Sekretaris Jendral Perserikatan
Bangsa-Bangsa.

Article 76
Definition of the continental shelf
1. The continental shelf of a coastal State comprises the seabed and subsoil of
the submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the
natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental
margin, or to a distance of 200 nautical miles from the baselines from which

124

the breadth of the territorial sea is measured where the outer edge of the
continental margin does not extend up to that distance.
2. The continental shelf of a coastal State shall not extend beyond the limits
provided for in paragraphs 4 to 6.
3. The continental margin comprises the submerged prolongation of the land
mass of the coastal State, and consists of the seabed and subsoil of the
shelf, the slope and the rise. It does not include the deep ocean floor with
its oceanic ridges or the subsoil thereof.
4. (a) For the purposes of this Convention, the coastal State shall establish the
outer edge of the continental margin wherever the margin extends beyond
200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the
territorial sea is measured, by either:
(i) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference to the
outermost fixed points at each of which the thickness of sedimentary
rocks is at least 1 per cent of the shortest distance from such point to
the foot of the continental slope; or
(ii) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference to fixed
points not more than 60 nautical miles from the foot of the continental
slope.
(b) In the absence of evidence to the contrary, the foot of the continental
slope shall be determined as the point of maximum change in the
gradient at its base.
5. The fixed points comprising the line of the outer limits of the continental shelf
on the seabed, drawn in accordance with paragraph 4 (a)(i) and (ii), either
shall not exceed 350 nautical miles from the baselines from which the
breadth of the territorial sea is measured or shall not exceed 100 nautical
miles from the 2,500 metre egara , which is a line connecting the depth of
2,500 metres.
6. Notwithstanding the provisions of paragraph 5, on submarine ridges, the
outer limit of the continental shelf shall not exceed 350 nautical miles from
the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured. This
paragraph does not apply to submarine elevations that are natural
components of the continental margin, such as its egara , rises, caps,
banks and spurs.
7. The coastal State shall delineate the outer limits of its continental shelf,
where that shelf extends beyond 200 nautical miles from the baselines from
which the breadth of the territorial sea is measured, by straight lines not
exceeding 60 nautical miles in length, connecting fixed points, defined by
coordinates of latitude and longitude.
8. Information on the limits of the continental shelf beyond 200 nautical miles
from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured
shall be submitted by the coastal State to the Commission on the Limits of
the Continental Shelf set up under Annex II on the basis of equitable
geographical
representation.
The
Commission
shall
make
recommendations to coastal States on matters related to the establishment
of the outer limits of their continental shelf. The limits of the shelf
established by a coastal State on the basis of these recommendations shall
be final and binding.
9. The coastal State shall deposit with the Secretary-General of the United
Nations charts and relevant information, including geodetic data,

125

permanently describing the outer limits of its continental shelf. The


Secretary-General shall give due publicity thereto.
10. The provisions of this article are without prejudice to the question of
delimitation of the continental shelf between States with opposite or
adjacent coasts.
Pasal 76
Batas Landas Kontinen
1. Landas kontinen suatu Negara meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya
dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial
sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar
tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari pangkal darimana
lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak
mencapai jarak tersebut.
2. Landas kontinen suatu negara pantai tidak boleh melebihi batas-batas
sebagaimana ditentukan dalam ayat 4 hingga 6.
3. Tepian kontinen meliputi kelanjutan bagian daratan negara pantai yang
berada dibawah permukaan air, dan terdiri dari dasar laut dan tanah di
bawahnya dari dataran kontinen, lereng (slope) dan tanjakan (rise). Tepian
kontinen ini tidak mencakup dasar samudera dalam dengan bukit-bukit
samudera atau tanah di bawahnya.
4. (a). Untuk maksud konvensi ini, Negara pantai akan menetapkan pinggiran
luar tepian kontinen dalam hal tepian kontinen tersebut lebih lebar dari 200
mil laut dari garis pangkal dan manalebar laut teritorial diukur, atau dengan:
(i) suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 menunjuk pada titik
tetap terluar dimana ketebalan batu endapan adalah paling sedikit 1
% dari jarak terdekat antara titik tersebut dan kaki lereng kontinen;
atau
(ii) Suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 dengan menunjuk
apada titik-titik tetap yang terletak tidak lebih dari 60 mil laut dari
kaki lereng kontinen.
(b). Dalam hal tidak terdapatnya bukti yang bertentangan, kaki lereng
kontinen harus ditetapkan sebagai titik perubahan maksimum dalam
tanjakan pada kakinya.
5. Titiik-titik tetap yang merupakan garis batas luar landas kontinen pada
dasar laut, yang ditarik sesuai dengan ayat 4 (a) (i) dan (ii), atau tidak akan
boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur
atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman (isobath)
2.500 meter, yaitu suatu garis yang menghubungkan kedalaman 2.500
meter.
6. Walaupun ada ketentuan ayat 5, pada bukit-bukit dasar laut, batas luar
landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal dari
mana laut teritorial diukur. Ayat ini tidak berlaku bagi elevasi dasar laut
yang merupakan bagian-bagian alamiah tepian kontinen, seperti pelataran
(plateau), tanjakan (rise), puncak (caps), ketinggian yang datar (banks) dan
puncak gunung yang bulat (spurs) nya.
7. Negara pantai harus menetapkan batas terluar landas kontinennya di mana
landas kontinen itu melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana laut
teritorial diukur dengan cara menarik garis-garis lurus yang tidak melebihi
60 mil laut panjangnya, dengan menghubungakan titik-titik tetap, yang

126

ditetapkan dengan koordinat-koordinat lintang dan bujur.


8. Keterangan mengenai batas-batas kontinen di luar 200 mil laut dari garis
pangkal dari mana laut teritorial diukur harus disampaikan oleh Negara
pantai kepada Komisi Batas-batas Landas Kontinen (Commision on the
Limits of the Continental Shelf) yang didirikan berdasarkan Lampiran II atas
dasar perwakilan geografis yang adil. Komisi ini harus membuat
rekomendasi kepada Negara pantai mengenai masalah yang bertalian
dengan penetapan batas luar landas kontinen mereka. Batas-batas landas
kontinen yang ditetapkan oleh suatu Negara pantai berdasarkan
rekomendasi-rekomendsai ini adalah tuntas dan mengikat.
9. Negara pantai harus mendepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa peta-peta dan ketrangan yang relevan termasuk data
geodesi, yang secara permanen menggambarkan batas luar landas
kontinennya. Sekretris Jenderal ini tidak boleh mengurangi arti masalah
penetapan batas landas kontinen antara Negara-negara yang berhadapan
atau berdampingan.
10. Ketentuan pasal ini tidak boleh mengurangi arti masalah penetapan batas
landas kontinen antara Negara-negara yang berhadapan atau
berdampingan.

Article 84
Charts and lists of geographical coordinates
1. Subject to this Part, the outer limit lines of the continental shelf and the lines
of delimitation drawn in accordance with article 83 shall be shown on charts
of a scale or scales adequate for ascertaining their position. Where
appropriate, lists of geographical coordinates of points, specifying the
geodetic datum, may be substituted for such outer limit lines or lines of
delimitation.
2. The coastal State shall give due publicity to such charts or lists of
geographical coordinates and shall deposit a copy of each such chart or list
with the Secretary-General of the United Nations and, in the case of those
showing the outer limit lines of the continental shelf, with the SecretaryGeneral of the Authority.
Pasal 84
Peta dan daftar koordinat geografis
1. Dengan tunduk pada ketentuan Bab ini, garis batas luar landas kontinen
dan garis-garis penetapan batas yang ditarik sesuai dengan pasal 83 harus
dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai
untuk penentuan posisinya. Di mana perlu daftar titik-titik koordinat
geografis, yang memerinci datum geodetik, dapat menggantikan garis-garis
batas laut atau garis-garis penetapan batas demikian.
2. Negara pantai harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta-peta
atau daftar-daftar koordinat hgeografis demikian dan harus mendepositkan
satu copy/salinan dari setiap peta atau daftar demikian pada Sekretaris
Jenderal Perserikata Bangsa-Bangsa dan dalam hal peta dalam daftar
yang mencantumkan garis-garis batas luar kontinen, pada Sekretaris
Jenderal.

127

Article 94
Duties of the flag State
1. Every State shall effectively exercise its jurisdiction and control in
administrative, technical and social matters over ships flying its flag.
2. In particular every State shall:
(a) maintain a register of ships containing the names and particulars of
ships flying its flag, except those which are excluded from generally
accepted international regulations on account of their small size; and
(b) assume jurisdiction under its internal law over each ship flying its flag
and its master, officers and crew in respect of administrative, technical
and social matters concerning the ship.
3. Every State shall take such measures for ships flying its flag as are
necessary to ensure safety at sea with regard, inter alia, to:
(a) the construction, equipment and seaworthiness of ships;
(b) the manning of ships, labour conditions and the training of crews, taking
into account the applicable international instruments;
I the use of signals, the maintenance of communications and the
prevention of collisions.
4. Such measures shall include those necessary to ensure:
(a) that each ship, before registration and thereafter at appropriate
intervals, is surveied by a qualified surveior of ships, and has on board
such charts, nautical publications and navigational equipment and
instruments as are appropriate for the safe navigation of the ship;
(b) that each ship is in the charge of a master and officers who possess
appropriate qualifications, in particular in seamanship, navigation,
communications and marine engineering, and that the crew is
appropriate in qualification and numbers for the type, size, machinery
and equipment of the ship;
(c) that the master, officers and, to the extent appropriate, the crew are fully
conversant with and required to observe the applicable international
regulations concerning the safety of life at sea, the prevention of
collisions, the prevention, reduction and control of marine pollution, and
the maintenance of communications by radio.
5. In taking the measures called for in paragraphs 3 and 4 each State is
required to conform to generally accepted international regulations,
procedures and practices and to take any steps which may be necessary to
secure their observance.
6. A State which has clear grounds to believe that proper jurisdiction and
control with respect to a ship have not been exercised may report the facts
to the flag State. Upon receiving such a report, the flag State shall
investigate the matter and, if appropriate, take any action necessary to
remedy the situation.
7. Each State shall cause an inquiry to be held by or before a suitably qualified
person or persons into every marine casualty or incident of navigation on
the high seas involving a ship flying its flag and causing loss of life or

128

serious injury to nationals of another State or serious damage to ships or


installations of another State or to the marine environment. The flag State
and the other State shall cooperate in the conduct of any inquiry held by
that other State into any such marine casualty or incident of navigation.
Pasal 94
Kewajiban Negara bendera
1. Setiap Negara harus melaksanakan secara efektif yurisdiksi dan
pengawasannya dalam bidang administratif, teknis dan sosial atas kapal
yang mengibarkan benderanya.
2. Khususnya setiap negara harus:
(a) memelihara suatu daftar (register) kapal-kapal yang memuat nama dan
keterangan-keterangan lainnya tentang kapal yang mengibarkan
benderanya, kecuali kapal dikecualikan dari peraturan-peraturan
internaional yang diterima secara umum karena ukurannya yang kecil;
dan
(b) menjalankan yurisdiksi di bawah perundang-undangan nasionalnya
atas setiap kapal yang mengibarkan benderanya dan nakhoda, perwira
serta awak kapalnya bertalian dengan masalah administratif, teknis dan
sosial mengenai kapal itu.
3. Setiap Negara harus mengambil tindakan yang diperlukan bagi kapal yang
memakai benderanya, untuk menjamin keselamatan di laut, berkenaan,
internalia, dengan:
(a) konstruksi, peralatan dan kelayakan laut kapal;
(b) pengawakan kapal, persyaratan perburuhan dan latihan awak kapal,
dengan memperhatikan ketentuan internasional yang berlaku;
(c) pemakaian tanda-tanda, memelihara komunikasi dan pencegahan
tubrukan.
4. Tindakan demikian harus meliputi tindakan yang diperlukan untuk
menjamin:
(a) bahwa setiap kapal, sebelum pendaftaran dan sesudahnya pada jangka
waktu tertentu, diperiksa oleh seorang surveior kapal yang berwenang,
dan bahwa diatas kapal tersedia peta, penerbitan pelayaran dan
peralatan navigasi dan alat-alat lainnya yang diperlukan untuk navigasi
yang aman kapal itu;
(b) bahwa stiap kapal ada dalam pengendalian seorang nakhoda dan
perwira-perwira yang memiliki persyaratan yang tepat, khusunya
mengenai seamanship (kepelautan), navigasi, komunikasi dan
permesianan kapal, dan bahwa awak kapal itu nmemenuhi syarat
dalam kualifikasi dan jumlahnya untuk jenis dan ukuran, mesin dan
peralatan kapal itu;
(c) bahwa nakhoda, perwira, dan sedapat mungkin awak kapalsepenuhnya
mengenal dan diharuskan untuk mematuhi peraturan internasional yang
berlaku tentang keselamatan jiwa di laut, pencegahan tubrukan da
pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran laut serta
pemeliharan komunikasi melalui radio.
5. Dalam mengambil tindakan yang diharuskan dalam ayat 3 dan 4 setiap

129

negara diharuskan untuk mengikuti peraturan-peraturan, prosedur dan


praktek internasional yang umum diterima dan untuk mengambil setiap
langkah yang mungkin diperlukan untuk pentaatannya.
6. Suatu Negara yang mempunyai alasan yang kuat untuk mengira bahwa
yurisdiksi dan pengendalian yang layak bertalian dengan suatu kapal telah
tidak terlaksana, dapat melaporkan fakta itu kepada Negara bendera.
Setelah menerima laporan demikian, Negara bendera harus menyelidiki
masalah itu, dan apabila diperlukan, harus mengambil tindakan yang
diperlukan untuk memperbaiki keadaan.
7. Setiap Negara harus mengadakan pemeriksaan oleh atau dihadapan
seseorang atau orang-orang yang berwenang, atas setiap kecelakaan
kapal atau insiden pelayaran di laut lepas yang menyangkit kapal yang
mengibarkan benderanya dan mengakibatkan hilangnya nyawa atau luka
berat pada warganegara dari negara lain atau kerusakan berat pada kapalkapal atau instalasi-instalasi Negara lain atau pada lingkungan laut. Negara
bendera dan Negara yang lain itu harus bekerja sama dalam
penyelenggaraan suatu pemeriksaan yang diadakan oleh negara yang lain
itu terhadap setiap kecelakaan laut atau insiden pelayaran yang demikian
itu.

Article 134
Scope of this Part
1. This Part applies to the Area.
2. Activities in the Area shall be governed by the provisions of this Part.
3. The requirements concerning deposit of, and publicity to be given to, the
charts or lists of geographical coordinates showing the limits referred to in
article l, paragraph l(1), are set forth in Part VI.
4. Nothing in this article affects the establishment of the outer limits of the
continental shelf in accordance with Part VI or the validity of agreements
relating to delimitation between States with opposite or adjacent coasts.
Pasal 134
Ruang lingkup Bab ini
1. Ketentuan- ketentuan Bab ini berlaku bagi kawasan.
2. Kegiatan-kegiatan di kawasan diatur oleh ketentuan-ketentuan Bab ini.
3. Syarat-syarat mengenai penyimpanan dan pengumuman peta-peta atau
daftar koordinat-koordinat geografis yang menunjukkan batas-batas seperti
dimaksud dalam pasal 1 ayat 1, tercantum dalam Bab VI.
4. Tidak satu ketentuanpun dalam pasal ini mempengaruhi penetapan garis
batas terluar landas kontinen sesuai denfgan Bab VI atau keabsahan dari
perjanjian-perjanjian mengenai penetapan garis batas di antara Negaranegara yang pantainya berhadapan atau berdampingan.

130

4.3 CONVENTION ON INTERNASIONAL CIVIL AVIATION


Article 1
The contracting States recognize that every State has complete and
exclusive sovereignty over the airspace above its territory
Article 12
Each contracting State undertakes to adopt measures to insure that every
aircraft flying over or maneuvering within its territory and that every aircraft
carrying its nationality mark, wherever such aircraft may be, shall comply with
the rules and regulations relating to the flight and maneuver of aircraft there in
force. Each contracting States undertake to keep its own regulations in these
respects uniform, to the greatest possible extent, with those established from
time to time under this Convention. Over the high seas, the rules in force shall
be those established under this Convention. Each contracting State undertakes
to insure the prosecution of all persons violating the regulation applicable.

4.4 TREATY ON PRINCIPLES GOVERNING THE ACTIVITIES OF STATES IN


THE EXPLORATION AND USE OF OUTER SPACE
Diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2002 Tentang Pengesahan Treaty On Principles Governing The Activities Of
States In The Exploration And Use Of Outer Space, Including The Moon And
Other Celestial Bodies, 1967 (traktat mengenai prinsip-prinsip Yang
mengatur kegiatan negara-negara dalam eksplorasi Dan penggunaan
antariksa, termasuk bulan dan Benda-benda langit lainnya, 1967)
Article I
This exploration and use of outer space, including the Moon an other
celestial bodies, shall be carried out for the benefit and in the interests of all
countries, irrespective of their degree of economic or scientific development,
and shall be the province of all mankind.
Outer space, including the Moon and other celestial bodies, shall be free
for exploration and use by all States without discrimination of any kind, on a
basis of equality and in accordance with international law, and there shall be
free access to all areas of celestial bodies.
There shall be freedom of scientific investigation in outer space, including
the Moon and other celestial bodies, and States shall facilitate and encourage
international cooperation in such investigation.
Article II
Outer space, including the Moon and other celestial bodies, is not subject
to national appropriation by claim of sovereignity, by means of use or
occupation, or by any other means.

131

4.5 ASPEK-ASPEK HUKUM PENGINDERAAN JAUH


(diambil dari buku K. Martono, SH.; Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum
Angkasa)
4.5.1 Sarana Remote Sensing
Penggunaan satelit hanyalah merupakan salah satu cara penginderaan dari
jarak jauh' permukaan bumi. Di samping penginderaan jarak jauh dengan satelit,
penginderan

jarak

jauh

dapat

pula

dilakukan

dengan

pesawat

udara.

Penginderaan jarak jauh dengan pesawat udara sebenarnya sudah mulai sejak
awal abad ke-20. Walaupun penginderaan jarak jauh dengan pesawat udara
mempunyai kelemahan-kelemahan, penginderaan jarak jauh dengan pesawat
udara sampai saat ini masih mempunyai peranan yang penting.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa di samping mempergunakan
pesawat udara remote sensing dapat pula dilakukan dengan satelit. Dengan
segala keunggulannya, remote sensing dengan satelit semakin populer. Remote
sensing dimgan satelit dapat mengatasi segala kelemahan-kelemahan yang
dihadapi oleh remote sensing dengan pesawat udara.
Remote sensing dengan satelit dapat dipergunakan untuk memonitor
perubahan lingkungan alam tanpa dipengaruhi adanya musim, tidak memerlukan
bahan bakar, dapat dipasang terus menerus dan lain-lain. Tetapi pengoperasian
satelit sebagai sarana remote sensing dapat berhasil dengan baik bilamana
dilengkapi dengan prasarana ruas antariksa berupa satelit, ruas darat yang
meliputi pusat handling, prasarana interpretasi dan analisis yang baik. Demikian,
pula harus mempunyai tenaga ahli yang mampu menginterpretasi foto yang
diperoleh dari satelit.
4.5.2 Hukum yang Berlaku
Di atas telah dikatakan bahwa remote sensing di samping mempergunakan
satelit dapat pula dengan mempergunakan pesawat udara. Penggunaan pesawat
udara untuk remote sensing jelas tunduk pada hukum udara. Prinsip ini telah
diakui di dalam pasal 1 konvensi Chicago tahun 1944 yang menyatakan bahwa
negara anggota konvensi mengakui bahwa setiap negara berdaulat mempunyai

132

kedaulatan sepenuhnya atas ruang udara di atasnya. Konsekuensi pasal ini


adalah semua penerbangan di atas negara berdaulat tunduk pada hukum udara
nasional Negara tersebut.
Selanjutnya

pasal

12

konvensi

Chicago

1944

menyatakan

bahwa

penerbangan di atas lautan bebas (tidak bertuan atau high seas) berlaku
ketentuan konvensi Chicago 1944. Oleh karena, itu baik penerbangan di atas
wilayah suatu negara maupun di lautan bebas atau daerah tidak bertuan, berlaku
ketentuan hukum udara baik hukum udara nasional maupun internasiona.
Berbeda dengan pesawat udara, penggunaan satelit untuk remote sensing
tunduk pada Treaty on Principles Governing the Activities of States in the
Exploration and Use of Outer Space Including the Moon and Other Celestial
Bodies yang biasa disebut Outer Space Treaty of 1967.
Paragraf 2 pasal l Outer Space Treaty menyatakan antara lain bahwa pada
prinsipnya, setiap negara bebas explorasi dan menggunakan ruang angkasa luar
tanpa adanya diskriminasi dalam bentuk apapun. Selanjutnya di dalam pasal II
konvensi tersebut dinyatakan negara tidak boleh memiliki ruang angkasa luar
secara nasional atas dasar tuntutan kedaulatan, penggunaan atau pemakaian
dengan cara apapun juga.
Sebenarnya, masalah hukum yang timbul sebagai akibat remote sensing
dengan satelit, tidak begitu sederhana seperti dikemukakan di atas. Sebagaimana
halnya Direct Broadcasting by Satellite (DBS), Remote Sensing by Satellite (RSS)
juga mempunyai persoalan hukum yang sulit dipecahkan.
Baik DBS maupun RSS dilakukan di ruang angkasa luar yang berarti tunduk
pada ketentuan umum yang termuat di dalam Outer Space Treaty. Walaupun
kegiatan tersebut adalah di permukaan bumi, sehingga kemungkinan akan
melanggar hak-hak prerogatif negara berdaulat. Dengan DBS mereka dapat
menyiarkan informasi-informasi yang tidak dikehendaki oleh negara penerima,
berita-berita yang bersifat menghasut, propaganda yang akan menimbulkan suatu
ketegangan-ketegangan politik suatu negara berdaulat.
Demikian

pula

penggunaan

satelit

untuk

remote

sensing.

Dengan

mempergunakan RSS, negara ketiga yang tidak berhak dapat mempergunakan


data sumber-sumber alam tanpa seizing negara yang mempunyai jurisdiksi

133

terhadap sumber-sumber alam tersebut. Bahkan dengan RSS dapat pula untuk
melakukan kegiatan mata-mata negara asing.
Baik DBS maupun RSS menimbulkan pertentangan hukum mana yang
berlaku antara prinsip penggunaan ruang aogkasa di satu pihak, dan prinsip
kedaulatan negara di wilayah jurisdiksinya di lain pihak. Untuk pemecahan
persoalan hukum mana yang berlaku terhadap remote sensing dengan satelit,
pada tahun 1969 beberapa negara Amerika Latin dan Eropa mengajukan masalah
tersebut kepada Sub Komite Hukum COPUOS.
4.5.3 Hukum yang berlaku terhadap RSS (Remote Sensing by Satellite).
Berbicara mengenai hukum yang berlaku terhadap kegiatan angkasa luar,
khususnya berkenaan dengan penginderaan jarak jauh dengan satelit, sepanjang
belum ada suatu norma-norma hukum yang disetujui dan disahkan oleh bangsabangsa yang berupa "Treaty" atau peraturan-peraturan formal lainnya, kegiatan
remote sensing dengan satelit berlaku ketentuan-ketentuan Outer Space Treaty of
1967, piagam-piagam PBB dan prinsip-prinsip umum hukum internasional. Oleh
karena itu, sebelum membahas draft pengaturan RSS, terutama masalah yang
belum dapat dipecahkan, perlu meneliti terlebih dahulu norma-norma hukum
internasional yang ada pada saat ini.
Walaupun kegiatan pengamatan bumi melalui ruang angkasa telah
dilakukan, baik oleh Amerika Serikat maupun oleh Rusia, jauh sebelum lahirnya
Outer Space Treaty of 1967, isi (teks) dari Outer Space Treaty of 1967 tidak
menyinggung sama sekali masalah kegiatan remote sensing dengan satelit secara
terperinci.
Di dalam Outer Space Treaty of 1967, hanya disinggung secara umum
dalam pasal I Outer Space Treaty of 1967 yang meletakkan suatu prinsip bahwa
setiap negara bebas mengadakan kegiatan explorasi dan penggunaan ruang
angkasa luar.
Tetapi kebebasan tersebut tidak berarti tanpa persyaratan. Explorasi dan
penggunaan ruang angkasa harus dilakukan untuk kemanfaatan bagi semua
negara. Demikian pula kegiatan tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan
kepentingan" ngara anggota lainnya, memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama

134

saling menguntungkan serta kewajiban bagi negara tersebut memberi tahu


kegiatan mereka kepada Sekretaris Jenderal PBB.
Dari persyaratan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perancang
(drafter) Outer Space Treaty of 1967 tidak bermaksud menghalangi kegiatan
explorasi dan penggunaan ruang angkasa luar, khususnya remote sensing
dengan satelit.

135

5. BAB V
PENUTUP

5.1

RINGKASAN PERMASALAHAN DAN SOLUSI PENGATURAN

No
1.

Topik
Jenis Informasi

2.

Penyelenggara
Informasi
Geospasial
Dasar

3.

Permasalahan
Perencanaan penataan ruang dan
kebijakan-kebijakan terkait keruangan
memerlukan data dan Informasi
Geospasial Tematik beragam. Untuk
memenuhi keperluan ini berbagai
instansi pemerintah cenderung
membuat Informasi Geospasial dari
awal, yaitu dengan membuat Informasi
Geospasial dasar. Ini mengakibatkan
pemborosan anggaran yang besar.
Sementara itu keakuratan informasi
dasar ini pun seringkali tidak standar.
Akibatnya berbagai informasi tematik
yang dibuat tidak dapat
ditumpangtindihkan dalam analisa.
Akibatnya kualitas perencanaan dan
kebijakan menjadi rendah.

Informasi Geospasial Dasar mesti


diprioritaskan pembuatannya dan
dijamin standardisasinya, karena
menjadi referensi pembuatan Informasi
Geospasial Tematik. Tanpa kejelasan
institusi yang bertanggung jawab dan
memiliki kewenangan dalam
penyelenggaraan Informasi Geospasial
Dasar, potensi terjadinya ineffisiensi
anggaran dalam pembuatannya akan
menjadi besar.
Pengaturan
Pada setiap peta Rupabumi Indonesia
Informasi
(RBI), yang merupakan Informasi
Geospasial
Geospasial Dasar, gambar garis batas
tentang Batas wilayah administrasi selalu diberi
Kawasan yang disclaimer Peta ini bukan merupakan
Berkekuatan
referensi resmi batas-batas
Hukum
internasional maupun nasional.
Banyak orang tidak membaca
disclaimer ini, dan peta RBI dalam
beberapa kasus menjadi awal dari
persengketaan antar antar daerah.
Sedang orang yang membaca,
menginginkan agar disclaimer ini
dihapus, dengan cara semua garis

Solusi Pengaturan
Jenis Informasi
Geospasial dibagi
menjadi Informasi
Geospasial Dasar dan
Informasi Geospasial
Tematik. Mengingat
peran krusial yang
dimilikinya, Informasi
Gespasial Dasar mesti
dijelaskan dengan
detil. Untuk menjamin
integritas informasi,
posisi dan ketelitian
geometris Informasi
Geospasial Tematik
harus mengacu pada
Informasi Geospasial
Dasar.
Mesti dibentuk atau
dikukuhkan suatu
Badan yang
berkewajiban
menyelenggarakan
Informasi Geospasial
Dasar.

Perlu ada pengaturan


tentang penuangan
batas-batas kawasan
administrasi dan
pengelolaan sumber
daya alam yang
disajikan berdasarkan
kekuatan hukum
tertentu pada peta atau
Informasi Geospasial
dasar dan tematik.

136

No

4.

5.

6.

Topik

Permasalahan
batas yang digambar di atas peta diberi
kejelasan status hukumnya, dan harus
makin banyak data batas wilayah yang
telah memiliki kepastian hukum.
Hal yang sama juga terjadi pada
Informasi Geospasial Tematik. Batasbatas kawasan pengelolaan hutan,
pertambangan dan, yang saat ini
menjadi perbincangan ilmiah, batas
pengelolaan kawasan pantai (marine
cadaster) mesti diperjelas siapa yang
berwenang menentukannya.
Penyelenggara Ineffisiensi anggaran juga sering terjadi
Informasi
karena adanya duplikasi pembuatan
Gespasial
Informasi Geospasial Tematik tertentu.
Tematik.
Tidak jarang ketidakjelasan instansi
mana yang bertugas membuat
informasi apa, menyebabkan konflik di
lapangan ketika harus memutuskan
informasi mana yang dijadikan acuan,
contohnya konflik perijinan lokasi /
kawasan pengelolaan hutan yang
dikeluarkan Kementerian Kehutanan
dan Pemda setempat.
Perijinan
Seringkali pelaksanaan pengumpulan
Survei
data geospasial terhambat proses
perijinan yang tidak jelas dan panjang
(harus melalui berbagai instansi
berbeda). Akibatnya pembuatan
informasi menjadi lambat dan dunia
usaha bidang Informasi Geospasial pun
jadi lambat perkembangannya. Di sisi
lain, mesti ada perlindungan atau
jaminan bagi keselamatan para
surveior pengumpul data lapangan,
sebab tidak jarang mereka harus
memasuki kawasan-kawasan yang
sedang dilanda konflik sosial, kawasan
yang rawan bencana, atau kawasan
berbahaya lainnya.
Sementara itu Informasi Geospasial
pun menjadi informasi penting dalam
masalah kebijakan geopolitik dunia,
terutama terkait masalah pemenuhan
energi dan sumber daya alam.
Karenanya diperlukan pengamanan
Informasi Geospasial Tematik penting
yang hanya dapat dikumpulkan lewat
survei lapangan.
Perangkat
Pemanfaatan software proprietary telah
Lunak Bebas menyebabkan tiga hal:
Terbuka
pemborosan sumber daya finansial
untuk membeli lisensi dan berarti
juga pemborosan devisa;

Solusi Pengaturan

Perlu pengaturan yang


tegas tentang tugas
dan kewenangan
berbagai instansi
pemerintah dalam
pembuatan Informasi
Geospasial Tematik.

Perlu ada pengaturan


perijinan yang
tujuannya adalah: 1)
untuk menjamin
kemudahan dan
keselamatan pekerjaan
survei pengumpulan
Informasi Geospasial
dan 2) mencegah
penguasaan Informasi
Geospasial strategis
kepada pihak asing
yang berniat buruk.
Meskipun ada
perijinan, kepastian
waktu dan instansi
yang berwenang mesti
diatur dalam proses
perijinan ini.

Pengolahan data
geospasial mesti
menggunakan
perangkat lunak yang
bersifat bebas dan

137

No

8.

Topik

Permasalahan
ketergantungan yang tinggi
terhadap vendor software dari luar
negeri yang apabila vendor ini
hilang dari peredaran menyebabkan
seluruh sistem tidak dapat lagi
diteruskan, karena tidak tersedia
source code yang dapat diteruskan
oleh siapapun;
menghambat kreativitas dan
kemandirian teknologi dari anak
bangsa.
Sifat Terbuka Kesan yang ada di masyarakat seakanInformasi
akan data dan Informasi Geospasial
Geospasial
bersifat rahasia. Berbagai instansi
pemerintah yang menghasilkan
Informasi Geospasial seperti peta
sangat sulit untuk dimintai informasi
tersebut, baik oleh instansi lain apalagi
oleh masyarakat. Akibat dari ini
semua:
suatu instansi yang ingin
menggunakan Informasi Geospasial
dari instansi pemerintah lainnya
kadang-kadang harus melalui
prosedur yang berbelit (tidak jelas),
atau harus membelinya dengan
harga mahal sehingga terjadi
anggaran berulang yang
menjadikan APBN tidak efisien.
berbagai instansi akhirnya bahkan
mengadakan informasi sendirisendiri, pada lokasi yang sama,
sehingga sangat boros sumber
daya keuangan nasional (APBN).
berbagai instansi tidak
menggunakan Informasi Geospasial
yang sama, akibatnya koordinasi
antar instansi sangat sulit,
akibatnya pemborosan anggaran
pembangunan dalam skala ekonomi
yang lebih besar.
perbedaan informasi dan sulitnya
akses atas data dan informasi
membuat masyarakat kesulitan,
atau ragu untuk menggunakan peta
yang mana; akibatnya tingkat melek
peta dan tingkat penggunaan peta
di masyarakat Indonesia termasuk
sangat rendah; ini berdampak pada
mobilitas yang kurang cerdas,
seperti tidak tahu jalan alternatif,
sehingga menumpuk di rute-rute
tertentu, dan akibatnya macet,

Solusi Pengaturan
terbuka (free and open
source). Pemerintah
bahkan seharusnya
memberikan insentif
kepada pihak-pihak
yang memajukan
perang lunak bebasterbuka untuk
memajukan teknologi
Informasi Geospasial
secara umum.
Informasi Geospasial
Dasar mesti bersifat
terbuka. Informasi
Geospasial Tematik
yang dibuat instansi
pemerintah juga pada
prinsipnya terbuka.
Hanya informasi
tertentu yang
dikecualikan dari sifat
terbuka ini didasarkan
peraturan perundangundangan tertentu.

138

No

9.

10.

11.

Topik

Permasalahan
hingga partisipasi pengawasan
pembangunan yang rendah,
misalnya karena tidak tahu peta tata
ruang atau peta kebencanaan di
daerahnya.
pada sisi lain, informasi yang
semestinya dapat diakses publik
tetapi diperlakukan seperti rahasia
ini membuat banyak data dan
informasi hanya menumpuk di
lemari atau di hard disk tanpa diberi
nilai tambah.
Jaminan Hak Tidak semua orang yang ingin
untuk
memperoleh Informasi Geospasial
Mengetahui
bahkan yang paling asasipun akan
Keberadaan
dapat memperolehnya dengan mudah
dan
dan murah. Ketika seseorang datang
Memperoleh
ke kantor kecamatan, hanya untuk
Informasi
melihat peta wilayah kecamatan itu
Geospasial
atau ingin mengetahui sebaran
penduduk atau masjid, maka petugas
sering meminta membawa surat
pengantar. Jika ini terjadi pada
masyarakat awam, tentu mereka tidak
tahu harus meminta surat pengantar ke
mana? Mereka ingin memperoleh
informasi untuk kenyamanan hidupnya,
bukan untuk dalam rangka membuat
skripsi, berinvestasi bisnis, atau
mempersiapkan diri ikut pilkada.
Kepastian
Orang menggunakan data tanpa
tentang
mengetahui kualitasnya, sehingga
Kualitas
sering berharap lebih dari apa yang
Informasi
disediakan data tersebut. Ada orang
bernavigasi di dalam kota dengan peta
skala 1:100.000, yang kesalahan baca
1 cm berarti 1 km di lapangan. Ada
orang mengukur posisi tanahnya
dengan GPS, tetapi
membandingkannya dengan peta tata
guna hutan kesepakatan (TGHK) skala
1:500.000, yang akurasi
penggambarannya saja sudah
memungkinkan salah 500 meter.
Sertifikasi
Saat ini praktis hanya ada registrasi
Badan Usaha
umum sebagaimana lazimnya setiap
perusahaan. Belum ada registrasi yang
khusus berlaku untuk mengawasi
kompetensi dan kualitas perusahaan
yang bergerak dalam survei / pemetaan
/ Informasi Geospasial, misalnya
menyangkut SDM, peralatan maupun
trackrecord. Akibatnya, siapapun dapat
mendirikan perusahaan jasa

Solusi Pengaturan

Penyebarluasan
Informasi Geospasial,
termasuk
pengumumannya,
mesti dilakukan
dengan luas dengan
memanfaatkan
berbagai sarana
informasi dan
komunikasi mutakhir.

Pengguna Informasi
Geospasial berhak
mengetahui kualitas
informasi yang
diperolehnya. Artinya
pembuat informasi
wajib memberitahukan
kualitas informasi yang
dibuatnya.

Badan usaha Informasi


Geospasial mesti
disertifikasi
kualifikasinya,
peralatan yang
dimilikinya dan juga
SDM yang
dipekerjakannya untuk
menjamin kualitas
informasi yang

139

No

Topik

12.

Sertifikasi
Kompetensi
SDM

13.

IDSN

14.

Integrasi
INFORMASI
GEOSPASIAL
Tematik

Permasalahan
survei/pemetaan/Informasi Geospasial.
Hal ini dapat merugikan konsumen dan
bahkan membahayakan keselamatan
umum, bila itu terkait survei atau peta
yang digunakan untuk membangun
fasilitas umum seperti jembatan atau
tanggul penahan banjir. Kalau peta
kontur yang diturunkan dari peta
1:10.000 dipakai untuk desain tanggul
penahan banjir, maka kesalahan
tanggul akibat toleransi kesalahan
vertikal pada peta 1:10.000 adalah
sekitar 1-2 meter.
Saat ini praktis siapapun dapat
mengklaim dirinya surveior atau praktisi
remote sensing atau GIS dan lain-lain.
Untuk SDM-nya, perusahaan jasa
pemetaan juga sering merekrut lulusan
SMA atau S1 ilmu-ilmu yang tidak
relevan, dan hanya menambah dengan
training singkat yang sebenarnya
kurang memadai, lalu dalam CV yang
bersangkutan langsung disematkan
julukan GIS-specialist atau Remote
Sensing expert. Hal ini juga sangat
membahayakan konsumen.
Pertukaran dan penggunaan Informasi
Geospasial masih sangat lambat.
Padahal saat ini teknologi informasi dan
komukasi sudah sedemikian maju dan
merasuki sendi-sendi kehidupan praktis
masyarakat, misalnya lewat
penggunaan mobile-phone yang
semakin mengintegrasikan berbagai
informasi, termasuk Informasi
Geospasial, dengan memasukkan
berbagai konten geografi dan
penggunaan penerima GPS.
Data-data tematik seperti data
pertanahan (BPN), kehutanan,
pertanian, ESDM, PU, DKP dan
sebagainya, meski bertolak dari peta
dasar yang sama, kadang-kadang tetap
saja secara tematik tumpang tindih,
karena dibuat dengan filosofi yang
berbeda. Tidak adanya lembaga yang
secara jelas bertugas dan berwenang
untuk mengintegrasikan berbagai
informasi tematik itu membuat bingung
pengguna peta, terutama di daerah.
Hal ini sangat krusial bila menyangkut
perizinan, misalnya suatu daerah sudah
diberi izin pertambangan berdasarkan
peta yang dikeluarkan DESDM, namun

Solusi Pengaturan
diproduksinya.

SDM pelaksana
produksi Informasi
Geospasial mesti
memenuhi kualifikasi
dan sertifikat
kompetensi dari
lembaga yang
berwenang.

Mesti ada pengaturan


tentang jaringan
Informasi Geospasial
dalam sebuah
kerangka infrastruktur
data spasial nasional.

140

No

15.

16.

5.2

Topik

Permasalahan
ternyata pada petanya Kementerian
kehutanan itu adalah hutan lindung.
Akibatnya fatal: mulai dari
ketidakpastian investasi, kemarahan
masyarakat adat, hingga tuduhan
pelanggaran hukum yang sebenarnya
berawal dari peta yang tidak sinergis.
Informasi
Banyak perencanaan kebijakan dan
Geospasial
evaluasi program, pemerintah terkait
dalam
keruangan yang masih belum
Penentuan
menggunakan Informasi Geospasial
Kebijakan yang yang tepat. Akibatnya perencanaan dan
Berhubungan
evaluasi tersebut menjadi lemah,
dengan
karena kehilangan konteks keruangan.
Keruangan
Sebaliknya berbagai studi di luar negeri
telah membuktikan effisiensi anggaran
pembangunan ketika dipandu Informasi
Geospasial yang baik.
Kebijakan
Penampakan unsur-unsur rupabumi
terkait
bias berubah drastis ketika terjadi
penanganan
bencana alam, perang, dan lain-lain.
bencana
Selain itu saat terjadi kondisi di atas,
diperlukan akses terhadap semua
Informasi Geospasial yang ada, baik
yang dimiliki instansi pemerintah,
pemerintah daerah ataupun yang
dimiliki badan usaha dan perorangan.

Solusi Pengaturan

Instansi pemerintah
dan pemerintah daerah
diwajibkan untuk
menggunakan
Informasi Geospasial
dalam kebijakan terkait
masalah keruangan.

Mesti ada pengaturan


khusus untuk
pemutakhiran data dan
Informasi Geospasial
dasar ketika terjadi
bencana, perang, atau
kejadian lain yang
mengubah
penampakkan unsur
rupabumi secara
signifikan. Juga perlu
pengaturan untuk
dapat memperoleh
informasi yang ada
pada perorangan atau
badan usaha pada
kasus-kasus khusus di
atas, dalam rangka
proses penanganan
bencana atau akibat
peperangan.

KESIMPULAN
Semua materi muatan yang ada dalam Naskah Akademik ini diatur dalam

suatu undang-undang dikarenakan:


1. Bahwa sumber daya alam yang sangat besar yang dikuasai oleh negara dan
dipergunakan

untuk

sebesar-besar

kemakmuran

rakyat

sebagaimana

diamanatkan amanat UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3,4 dan 5, memerlukan peta
dan Informasi Geospasial untuk menunjukkan lokasi dan sebaran potensinya.

141

Dengan adanya Undang undang tentang Informasi Geospasial diharapkan


inventarisasi kekayaan alam yang tersedia lebih akurat, pendataan perubahan
alam yang dinamis dapat dilakukan secara optimal, potensi sumber daya alam
Indonesia dapat diketahui.
2. Bahwa untuk menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dalam rangka mendukung sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta
serta mencegah berbagai kejahatan transnasional diperlukan peta dan
Informasi Geospasial terkini dan akurat tentang wilayah terdepan dan pulaupulau terluar sepanjang perbatasan. Hal ini untuk menjalankan amanat UUD
45 Pasal 25A, dan Pasal 30 Ayat 2.
3. Informasi atas fasilitas umum dibuat milik publik (peta fasilitas publik) hartus
mengacu pada Informasi Geospasial Dasar, Informasi fasilitas publik harus
benar sehingga harus dikoordinasikan, karena ini menyangkut berbagai sistem
pemetaan yang berbeda, dalam hal ini pada klasifikasi obyek dan visualisasi.
Oleh karena itu pemerintah wajib melakukan koordinasi antar instansi dan
masyarakat.
4. Agar penggunaan data spasial (seperti peta) dapat optimal, maka perlu
diberikan insentif kepada penyelenggara Informasi Geospasial (yaitu yang
menyediakan peta secara gratis dengan didanai sponsor, seperti dari jaringan
hotel dan restoran yang membuat peta turis lengkap dan jaringan angkutan
umum) untuk informasi yang berhasil digunakan secara optimal oleh
masyarakat. Insentif ini dapat berupa pengurangan pajak atau sejenisnya.
Insentif ini diberikan karena secara makro, masyarakat mendapatkan benefit,
misalnya dari berkurangnya kemacetan atau meningkatnya devisa dari sektor
pariwisata.
5. Bahwa agar hak setiap orang untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari
kemajuan ilmu dan teknologi Informasi Geospasial serta agar negara dapat
maksimal memajukan ilmu dan teknologi Informasi Geospasial demi kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia, maka diperlukan pengaturan
yang baik.
6. Untuk mencegah ketidaksinkronan dalam perencanaan pembangunan yang
berbasis spasial antar instansi berakibat pada perencanaan yang tidak efisien,

142

tidak efektif dan tidak transparan, juga duplikasi kegiatan yang tidak
bermanfaat dan mengakibatkan pemborosan anggaran maka diperlukan
pengaturan yang baik.
7. Bahwa agar masyarakat mendapatkan pelayanan prima dari pemerintah
(good-governance) diperlukan peta dan Informasi Geospasial yang akurat dan
mutakhir.
8. Bahwa untuk penanggulangan bencana alam yang sangat banyak dan
beragam di Indonesia dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia
dan aset-aset nasional hasil pembangunan diperlukan peta dan Informasi
Geospasial yang berkualitas.
9. Bahwa untuk melakukan penataan ruang yang terpadu, terukur dan
berkelanjutan diperlukan peta dan Informasi Geospasial yang berkualitas.
Pengaturan umum telah dituangkan pada Undang-Undang nomor 26/2007
tentang Penataan Ruang. Keterpaduan dalam penyelenggaraan penataan
ruang sudah lama menjadi isu antar daerah baik itu di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota, dalam meng-implementasikan substansi dari tata ruang
tingkat nasional maupun tingkat provinsi. Terlebih lagi dengan adanya Undangundang yang mengatur kepemerintahan daerah. Seringkali kawasan yang
seharusnya mempunyai peruntukan sama di tingkat provinsi maupun nasional,
diimplementasikan lain di tingkat kabupaten/kota yang bertetanggaan. Konsep
keterpaduan dalam penyelenggaraan penataan ruang ini akan menjadi lebih
mudah apabila Informasi Geospasial yang mempunyai referensi sama
digunakan oleh dua atau lebih daerah yang bertetanggaan. Sehingga
pembangunan di daerah pun akan menjadi selaras dengan kebijakan di tingkat
nasional. Kualitas peta dan Informasi Geospasial dalam hal ini sangat penting,
baik itu secara geometris maupun substansi. Sehingga keterpaduan dalam
penyelenggaraan penataan ruang dapat dipantau.
10. Bahwa untuk mendorong iklim investasi sehingga calon investor dapat optimal
memilih atau meletakkan obyek investasi yang sesuai dengan pertimbangan
lokasi, kedekatan dengan sumber daya alam, ketersediaan sumber daya
manusia dan akses infrastruktur diperlukan peta dan Informasi Geospasial.

143

5.3

SARAN

1. Semua materi muatan yang ada dalam Naskah Akademik ini disarankan diatur
dalam bentuk undang-undang dikarenakan mengatur tentang hak dan
kewajiban warga negara, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undangundang nomor 10 tahun 2004 tentanmg Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
2. Sambil menunggu Keputusan DPR RI tentang Daftar Prolegnas RUU Prioritas
tahun 2010, berdasarkan Surat Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor: PHN.HN.01.01 175,
hal: Penyampaian Daftar Prolegnas 2010-2014 dan Prolegnas Prioritas tahun
2010, tanggal 8 Desember 2009, dimana RUU tentang Informasi Geospasial
tercantum pada nomor 57, maka disarankan untuk dapat kiranya dibahas
bersama antara DPR-Ri dengan Pemerintah sesuai dengan tata cara dan
prosedur yang berlaku.
3. Untuk

mengantisipasi

berlakunya

undang-undang

tentang

Informasi

Geospasial maka perlu dipersiapkan aturan-aturan pelaksanaannya, baik


dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun Peraturan
Kepa!a Badan.
4. Dalam pembahasan dan penyusunan RUU-Informasi Geospasial, Naskah
Akademik ini dapat digunakan sebagai salah satu rujukan sebagaimana telah
diatur dalam pasal 5 dalam Perpres No 68 tahun 2005 tentang Tata Cara
mempersiapkan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang,

Rancangan

Peraturan

Pemerintah,

dan

Rancangan

Peraturan Presiden.

-0-

144

LAMPIRAN

Rancangan Undang-Undang Tentang Informasi Geospasial.

145

Anda mungkin juga menyukai