Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kearifan lokal (local wisdom) merupakan warisan nenek moyang dalam khasanah tata
nilai kehidupan yang menyatu dalam bentuk kepercayaan, budaya dan adat istiadat. Indonesia
memiliki keragaman bangsa yang dilihat dari sisi etnis, suku, budaya dan lainnya sejatinya juga
menunjuk kepada karaktreristik masing-masing. Pada saat yang sama, kekhasan itu pada
umumnya memiliki kearifan yang pada masa-masa lalu menjadi salah satu sumber nilai dan
inspirasi dalam merajut dan menapaki kehidupan mereka. Sejarah menunjukkan, masing-masing
etnis dan suku memiliki kearifan lokal sendiri.
Kearifan lokal itu tentu tidak muncul serta-merta, tapi berproses panjang sehingga
akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka. Keterujiannya dalam
sisi ini membuat kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan
masyarakat. Banyak kearifan lokal yang sampai sekarang terus menjadi panutan masyarakat di
Indonesia antara lain di Jawa (pranoto mongso, nyabuk gunung, menganggap suatu tempat
keramat); di Sulawesi (dalam bentuk larangan, ajakan, sanksi) dan di Badui Dalam (buyut dan
pikukuh serta dasa sila). Kearifan lokal-kearifan lokal tersebut ikut berperan dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungannya.
Namun sedemikian seiring dengan berkembangnya jaman. Lambat laun kearifan masyarakat
bersahabat dengan alam mulai tergerus oleh teknologi dan kesenjangan ekonomi. Berujung
peramabahan dan berakibat ketidak-seimbangan alam yang melahirkan bencana.
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan paparan latar belakang tersebut di atas dapat diajukan rumusan masalah
sebagai berikut.
1.
Apa pengertian dari kearifan lokal?
2.
Jelaskan bentuk dan jenis-jenis dari kearifan lokal!
3.
Jelaskan contoh dan fungsi dari kearifan lokal!
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin disampaikan sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengertian dari kearifan local
2. Untuk mengetahui bentuk dan jenis-jenis dari kearifan local
3. Untuk mengetahui contoh dan fungsi dari kearifan lokal

BAB II
1

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kearifan Lokal
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan
(wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan
Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara
umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat
(local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya.
Ketut Gobyah mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang
telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilainilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan
budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan
lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan
hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat
universal. Hubungan kearifan lokal dengan budaya lokal yaitu merupakan sesuatu yang berkaitan
secara spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan menecerminkan cara hidup suatu
masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dan kalau budaya lokal itu merupakan suatu budaya
yang dimiliki suatu masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari
budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain.

1.
2.
3.
4.
5.

Ciri-ciri dari kearifan lokal adalah


mampu bertahan terhadap budaya luar
memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli
mempunyai kemampuan mengendalikan
mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
2.2 Jenis dan Bentuk Kearifan Lokal
Jenis kearifan lokal meliputi tata kelola, nilai-nilai adat, serta tata cara dan prosedur, termasuk
dalam pemanfaatan ruang (tanah ulayat).
1.

Tata Kelola
Di setiap daerah pada umumnya terdapat suatu sistem kemasyarakatan yang mengatur
tentang struktur sosial dan keterkaitan antara kelompok komunitas yang ada, seperti Dalian
Natolu di Sumatera Utara, Nagari di Sumatera Barat, Kesultanan dan Kasunanan di Jawa dan
Banjar di Bali. Sebagai contoh, masyarakat Toraja memiliki lembaga dan organisasi sosial yang
mengelola kehidupan di lingkungan perdesaan. Pada setiap daerah yang memiliki adat besar
pada umumnya terdiri dari beberapa kelompok adat yang dikuasai satu badan musyawarah adat
2

yang disebut Kombongan Ada. SetiapKombongan Ada memiliki beberapa penguasa adat kecil
yang disebut Lembang. Di daerah lembang juga masih terdapat penguasa adat wilayah yang
disebut Bua (Buletin Tata Ruang, 2009).
Selain itu, terdapat pula pembagian tugas dan fungsi dalam suatu kelompok masyarakat
adat misalnya Kepatihan (patih), Kauman (santri) di perkampungan sekitar Keraton di
Jawa. Kewenangan dalam struktur hirarki sosial juga menjadi bagian dari tata kelola, seperti
kewenangan ketua adat dalam pengambilan keputusan, dan aturan sanksi serta denda sosial bagi
pelanggar peraturan dan hukum adat tertentu.
2.

Sistem Nilai
Sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat
tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baik-buruk serta benar atau salah. Sebagai
contoh, di Bali, terdapat sistem nilai Tri Hita Karana yang mengaitkan dengan nilai-nilai
kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan Tuhan, alamsemesta, dan manusia. Ketentuan
tersebut mengatur hal-hal adat yang harus ditaati, mengenai mana yang baik atau buruk, mana
yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, yang jika hal tersebut dilanggar, maka
akan ada sanksi adat yang mengaturnya.
3.

Tata Cara atau Prosedur


Beberapa aturan adat di daerah memiliki ketentuan mengenai waktu yang tepat untuk
bercocok tanam serta sistem penanggalan tradisional yang dapat memperkirakan kesesuaian
musim untuk berbagai kegiatan pertanian, seperti: Pranoto Mongso (jadwal dan ketentuan waktu
bercocok tanam berdasarkan kalender tradisional Jawa) di masyarakat Jawa atau sistem Subak di
Bali.
Selain itu, di beberapa daerah, seperti Sumatera, Jawa, Bali,Kalimantan, Sulawesi, dan
Papua umumnya memiliki aturan mengenai penggunaan ruang adat termasuk batas teritori
wilayah, penempatan hunian, penyimpanan logistik, aturan pemanfaatan air untuk persawahan
atau pertanian hingga bentuk-bentuk rumah tinggal tradisional. Di Tasikmalaya Jawa Barat
misalnya, terdapat sebuah kampung budaya yaitu Kampung Naga, yang masyarakatnya sangat
teguh memegang tradisi serta falsafah hidupnya, mencakup tata wilayah (pengaturan
pemanfaatan lahan), tata wayah (pengaturan waktu pemanfaatan), dan tata lampah (pengaturan
perilaku/perbuatan).
4.

Ketentuan Khusus (Kawasan Sensitif, Suci, Bangunan)


Mengenai pelestarian dan perlindungan terhadap kawasan sensitif, seperti di Sumatera
Barat, terdapat beberapa jenis kearifan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan hutan, tanah,
dan air seperti Rimbo Larangan (hutan adat/hutan larangan), Banda Larangan (sungai, anak
sungai / kali larangan), Parak (suatu lahan tempat masyarakat berusaha tani dimana terdapat
keberagaman jenis tanaman yang dapat dipanen sepanjang waktu secara bergiliran), serta Goro
Basamo (kegiatan kerja bersama secara gotong royong untuk kepentingan masyarakat banyak
3

seperti membuat jalan baru, bangunanrumah ibadah, membersihkan tali bandar (sungai), dan
menanam tanaman keras).
Terkait dengan bentuk adaptasi dan mitigasi tempat tinggal terhadap iklim, bencana atau
ancaman lainnya, masyarakat tradisional juga telah mengembangkan berbagai bentuk arsitektur
rumah tradisional seperti rumah adat batak, rumah gadang, rumah joglo, rumahpanjang, rumah
toraja, dan rumah adat lainnya yang dapat memberikan perlindungan dan ramah terhadap
lingkungan.
Bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu kearifan lokal
yang berwujud nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible).
1.
Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible)
Bentuk kearifan lokal yang berwujud nyata meliputi beberapa aspek berikut:
a)
Tekstual
Beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem nilai, tata cara, ketentuan khusus yang
dituangkan ke dalam bentuk catatan tertulis seperti yang ditemui dalam kitab tradisional
primbon, kalender dan prasi (budaya tulis di atas lembaran daun lontar). Sebagai contoh, prasi,
secara fisik, terdiri atas bagian tulisan (naskah cerita) dan gambar (gambar ilustrasi) (Suryana,
2010). Tulisan yang digunakan dalam prasi adalah huruf Bali. Gambar yang melengkapi tulisan
dibuat dengan gaya wayang dan menggunakan alat tulis/gambar khusus, yaitu sejenis pisau.
Seiring dengan pergantian zaman, fungsi prasi sudah banyak beralih dari fungsi awalnya,
yaitu awalnya sebagai naskah cerita yang beralih fungsi menjadi benda koleksi semata.
Sekalipun perubahan fungsi lebih mengemuka dalam keberadaan prasi masa kini,
penghargaannya sebagai bagian dari bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat Bali tetap
dianggap penting.
b)
Bangunan/Arsitektural
Banyak bangunan-bangunan tradisional yang merupakan cerminan dari bentuk kearifan
lokal, seperti bangunan rumah rakyat di Bengkulu. Bangunan rumah rakyatini merupakan
bangunan rumah tinggal yang dibangun dan digunakan oleh sebagian besar masyarakat dengan
mengacu pada rumah ketua adat. Bangunan vernakular ini mempunyai keunikan karena proses
pembangunan yang mengikuti para leluhur, baik dari segi pengetahuan maupun metodenya
(Triyadi dkk., 2010). Bangunan vernakular ini terlihat tidak sepenuhnya didukung oleh prinsip
dan teori bangunan yang memadai, namun secara teori terbukti mempunyai potensi-potensi lokal
karena dibangun melalui proses trial & error, termasuk dalam menyikapi kondisi lingkungannya.
c)
Benda Cagar Budaya/Tradisional (Karya Seni)
Banyak benda-benda cagar budaya yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal,
contohnya, keris. Keris merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang sangat penting.
Meskipun pada saat ini keris sedang menghadapi berbagai dilema dalam pengembangan serta
dalam menyumbangkan kebaikan-kebaikan yang terkandung di dalamnya kepada nilai-nilai
kemanusiaan di muka Bumi ini, organisasi bidang pendidikan dan kebudayaan atau UNESCO
Badan Perserikatan Bangsa Bangsa, mengukuhkan keris Indonesia sebagai karya agung warisan
kebudayaan milik seluruh bangsa di dunia. Setidaknya sejak abad ke-9, sebagai sebuah dimensi
4

budaya, Keris tidak hanya berfungsi sebagai alat beladiri, namun sering kali merupakan media
ekspresi berkesenian dalam hal konsep, bentuk, dekorasi hingga makna yang terkandung dalam
aspek seni dan tradisi teknologi arkeometalurgi. Keris memiliki fungsi sebagai seni simbol jika
dilihat dari aspek seni dan merupakan perlambang dari pesan sang empu penciptanya.
Ilustrasi lainnya adalah batik, sebagai salah satu kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi
dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Terdapat berbagai
macam motif batik yang setiap motif tersebut mempunyai makna tersendiri. Sentuhan seni
budaya yang terlukiskan pada batik tersebut bukan hanya lukisan gambar semata, namun
memiliki makna dari leluhur terdahulu, seperti pencerminan agama (Hindu atau Budha), nilainilai sosial dan budaya yang melekat pada kehidupan masyarakat.
2.
Kearifan Lokal yang Tidak Berwujud (Intangible)
Selain bentuk kearifan lokal yang berwujud, ada juga bentuk kearifan lokal yang
tidak berwujud seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun yang
dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional. Melalui
petuahatau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan
secara oral/verbal dari generasi ke generasi.
2.3 Contoh dan Fungsi Kearifan Lokal
Menurut Prof. Nyoman Sirtha dalam Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali dalam
http://www.balipos.co.id, bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai,
norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena
bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka
fungsinya menjadi bermacam-macam.
Balipos terbitan 4 September 2003 memuat tulisan Pola Perilaku Orang Bali Merujuk
Unsur Tradisi, antara lain memberikan informasi tentang beberapa fungsi dan makna kearifan
lokal, yaitu:
1.
Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
2.
Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara
daur hidup, konsep kanda pat rate.
3.
Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara
saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji.
4.
Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
5.
Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
6.
Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
7.
Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben danpenyucian roh
leluhur.
8.
Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaanpatron client
Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah keraifan lokal, mulai dari
yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis. Elly Burhainy Faizal
5

mencontohkan beberapa kekayaan budaya, kearifan lokal di Nusantara yang terkait dengan
pemanfaatan alam yang pantas digali lebih lanjut makna dan fungsinya serta kondisinya sekarang
dan yang akan datang. Kearifan lokal terdapat di beberapa daerah:
1.

2.
3.
4.

5.

Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan
Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dari hidup
manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam secara hati-hati.
Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarianlingkungan terwujud dari
kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak.
Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana ulen. Kawasan hutan dikuasai dan
menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat.
Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat ini mengembangkan kearifan
lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan
memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan
masa bera,dan mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada
teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan.
Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat. Mereka
mengenal upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hati-hati. Tidak
diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat.

Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat,
tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam
mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral
sampai yang profan.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
6

Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari paparan pembahasan diatas diantaranya.
1. Secara umum, kearifan local adalah gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya.
2. Jenis kearifan lokal meliputi tata kelola, nilai-nilai adat, serta tata cara dan
prosedur, termasuk dalam pemanfaatan ruang (tanah ulayat) dan adapun bentuk kearifan
lokal dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu kearifan lokal yang berwujud nyata
(tangible) dan yang tidak berwujud (intangible).
3. Fungsi dari kearifan lokal salah satunya yaitu berfungsi untuk konservasi dan pelestarian
sumber daya alam sebagai contoh di Papua terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam
adalah aku). Gunung Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah
dianggap sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber
daya alam dapat digunakan secara hati-hati.

DAFTAR PUSTAKA

http://anditiyas.blogspot.com/2013/01/kearifan-lokal.html
http://kangebink.blogspot.com/2013/10/sekilas-tentang-kearifan-lokal.html
http://kangebink.blogspot.com/2013/10/sekilas-tentang-kearifan-lokal.html
http://krewengcool.blogspot.com/2012/06/makalah-kearifan-lokal-di-muria.html
7

Anda mungkin juga menyukai