Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Interaksi obat merupakan salah satu drug related problems (DRPs) yang dapat
mempengaruhi outcome terapi pasien. Dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat
yang digunakan dalam pengobatan pada saat ini, dan berkembangnya polifarmasi maka
kemungkinan terjadinya interaksi obat makin besar. Interaksi obat perlu diperhatikan
karena dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud Interaksi Obat?
2. Bagaimana kasus-kasus yang terjadi pada Interaksi Obat?
1.3 TUJUAN PENULISAN
1. Mahasiswa memahami secara mendalam tentang Interaksi Obat dengan adanya
kasus-kasus yang terjadi.
2. Salah satu tujuan tugas Interaksi Obat ini adalah untuk nilai tambahan.
1.4 MANFAAT PENULISAN
1. Mahasiswa dapat memahami ilmu tentang Interaksi Obat khususnya pada Studi
Kasus.
2. Mahasiswa dapat memenuhi tugas dalam mata kuliah Interaksi Obat (2 sks).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 INTERAKSI OBAT
1

Interaksi obat atau lebih dikenal dengan istilah drug interaction, merupakan
interaksi yang terjadi antar obat yang dikonsumsi secara bersamaan. Interaksi obat
dapat menghasilkan efek baik terhadap pasien, namun tidak jarang menghasilkan efek
buruk, sehingga hal ini merupakan salah satu penyebab terbanyak terjadinya kesalahan
pengobatan. Secara umum, kesalahan pengobatan akibat interaksi obat ini jarang
terungkap akibat kurangnya pengetahuan, baik dokter, apoteker, apalagi pasien tentang
hal itu.
Interaksi obat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat obat lain
yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan, sehingga keefektifan atau
toksisitas satu obat atau lebih berubah (Fradgley, 2003).
Interaksi obat didefinisikan oleh Committee for Proprietary Medicine Product
(CPMP) sebagai suatu keadaan bilamana suatu obat dipengaruhi oleh penambahan obat
lain dan menimbulkan pengaruh klinis.
Interaksi obat juga dapat diartikan sebagai fenomena yang terjadi apabila
pengaruh suatu obat diubah oleh pemberian obat sebelumnya atau untuk pemberian
obat yang bersamaan.
Obat yang mempengaruhi disebut dengan precipitant drug, sedangkan obat yang
dipengaruhi disebut sebagai object drug. Pada beberapa kasus, interaksi ini terkadang
dapat menimbulkan perubahan efek pada kedua obat, sehingga obat mana yang
mempengaruhi dan mana yang dipengaruhi, manjadi tidak jelas.
Interaksi obat terdiri dari 3 jenis, yaitu interaksi farmasetik (interaksi antar-obat
karena obat yang tidak dapat bercampur/inkompatibel); interaksi farmakokinetik
(interaksi antarobat yang menyebabkan peningkatan atau penurunan absorpsi,
metabolisme, distribusi, dan ekskresi obat lain); serta interaksi farmakodinamik
(interaksi obat yang berkompetisi pada tempat yang sama untuk bereaksi dalam tubuh).
Obat dapat berinteraksi dengan obat lain maupun dengan makanan atau minuman
yang dikonsumsi oleh pasien. Hal ini dapat terjadi karena dalam kehidupan sehari-hari,
tidak jarang seorang penderita mendapat obat lebih dari satu macam obat,
menggunakan obat ethical, obat bebas tertentu selain yang diresepkan oleh dokter
maupun mengkonsumsi makanan dan minuman tertentu seperti alkohol, kafein.
Perubahan efek obat akibat interaksi obat dapat bersifat membahayakan dengan
meningkatnya toksisitas obat atau berkurangnya khasiat obat. Namun, interaksi dari
beberapa obat juga dapat bersifat menguntungkan seperti efek hipotensif diuretik bila
dikombinasikan dengan beta-bloker dalam pengobatan hipertensi (Fradgley, 2003).
Jankel & Speedie (1990) mengemukakan kejadian interaksi obat pada pasien
rawat inap 2,2 % hingga 30 %, dan berkisar 9,2 % - 70,3 % pada pasien di masyarakat.
2

Diantaranya terdapat 11 % pasien yang benar-benar mengalami gejala akibat interaksi


obat. Penelitian lain pada 691 pasien, ditemukan 68 (9,8%) pasien masuk rumah sakit
karena penggunaan obat dan 3 (0,4 %) pasien disebabkan oleh interaksi obat (Stanton
et al., 1994).
Suatu survei mengenai insiden efek samping penderita rawat inap yang menerima
05 macam obat adalah 3,5 %, sedangkan yang mendapat 1620 macam obat 54 %.
Peningkatan insidens efek samping yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat
diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat (Setiawati, 1995).
2.2 MEKANISME INTERAKSI OBAT
Mekanisme interaksi obat dapat dibagi menjadi interaksi yang melibatkan aspek
farmakokinetika obat dan interaksi yang mempengaruhi respons farmakodinamik obat.
Interaksi farmakikinetik dapat terjadi pada beberapa tahap, meliputi absorpsi, distribusi,
metabolisme, atau ekskresi. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi di mana efek
suatu obat diubah oleh obat lain pada tempat aksi (Fradgley, 2003).
Beberapa kejadian interaksi obat sebenarnya dapat diprediksi sebelumnya dengan
mengetahui efek farmakodinamik serta mekanisme farmakokinetika obat-obat tersebut.

Pengetahuan mengenai hal ini akan bermanfaat dalam melakukan upaya pencegahan
terhadap efek merugikan yang dapat ditimbulkan akibat interaksi obat (Quinn and Day,
1997).
Perubahan efek obat akibat interaksi obat sangat bervariasi diantara individu
karena dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti dosis, kadar obat dalam darah, rute
pemberian obat, metabolisme obat, durasi terapi dan karakteristik pasien seperti umur,
jenis kelamin, unsur genetik dan kondisi kesehatan pasien (Fradgley, 2003).
Keparahan/severitas interaksi juga harus diberi tingkatan dan

dapat

diklasifikasikan ke dalam tiga level yaitu minor, moderate, dan major. Sebuah interaksi
termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi mungkin terjadi tetapi
dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika terjadi kelalaian.
Contohnya adalah penurunan absorbsi ciprofloxacin oleh antasida ketika dosis
diberikan kurang dari dua jam setelahnya. Sebuah interaksi termasuk ke dalam
keparahan moderate jika satu dari bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien, dan
beberapa tipe intervensi/monitor sering diperlukan. Efek interaksi moderate mungkin
menyebabkan perubahan status klinis pasien, menyebabkan perawatan tambahan,
perawatan di rumah sakit dan atau perpanjangan lama tinggal di rumah sakit.
Contohnya adalah dalam kombinasi vankomisin dan gentamisin perlu dilakukan
monitoring nefrotoksisitas. Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika
3

terdapat probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk


kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen.
Contohnya adalah perkembangan aritmia yang terjadi karena pemberian eritromisin dan
terfenadin (Bailie, 2004).
Tidak semua interaksi obat akan bermakna secara signifikan, walaupun secara
teoritis mungkin terjadi. Banyak interaksi obat yang kemungkinan besar berbahaya
terjadi hanya pada sejumlah kecil pasien. Namun demikian seorang farmasis perlu
selalu waspada terhadap kemungkinan timbulnya efek merugikan akibat interaksi obat
ini untuk mencegah timbulnya resiko morbiditas atau bahkan mortalitas dalam
pengobatan pasien (Rahmawati, 2006).
2.3 PRECIPITANT DRUG DAN OBJECT DRUG
Secara farmakologis, obat yang bertindak sebagai precipitant drug mempunyai
sifat sebagai berikut:
a. Obat yang terikat banyak oleh protein plasma, akan menggeser obat lain (object
drug) dari ikatan proteinnya. Contoh: Aspirin, Fenilbutazon dan golongan Sulfa.
b. Obat yang menghambat atau merangsang metabolisme obat lain. Contohnya:
Perangsang metabolisme: Fenitoin, Karbamazepam, Rifampisin, Antipirin dan

Griseofulvin.
Penghambat metabolisme: Allopurinol, Simetidin, Siklosporin, Luminal,

Ketokonazol, Eritromisin, Klaritromisin dan Siprofloksasin.


c. Obat yang mempengaruhi renal clearance object drug. Contohnya: Furosemid
(diuretik-peluruh kencing), dapat menghambat ekskresi gentamisin, sehingga
menimbulkan toksik.
Sedangkan object drug, biasanya merupakan obat yang mempunyai kurva dose
respone yang curam. Obat-obat ini menimbulkan perubahan reaksi terapeutik yang
besar dengan perubahan dosis kecil. Kelainan yang ditimbulkan bisa mmperbesar efek
terapinya. Juga bila dosis toksik suatu object drug, dekat dengan dosis terapinya, maka
mudah keracunan obat bila terjadi suatu interaksi. Pada umumnya akan terjadi dua hal,
yaitu pengurangan efek terapinya dan terjadinya efek samping. Contoh obat dengan
profil demikian seperti antibiotika golongan aminoglikosida, antikoagulan, antikonvulsi
dan obat-obat sitotoksik dan imunosupresan, kontasepsi oral serta obat-obat susunan
syaraf pusat.
2.4 CONTOH INTERAKSI OBAT yang MENGUNTUNGKAN
Interaksi yang menguntungkan:

1.

Penisilin dengan Probenesid ; Probenesid akan menghambat sekresi Penisilin


ditubuli ginjal sehingga meningkatkan kadarnya dalam plasma sehingga

2.

meningkatkan efektivitasnya dalam terapi gonore.


Kombinasi obat antihipertensi ; meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek

3.

samping.
Kombinasi obat anti tuberculosis ; memperlambat timbulnya resistensi kuman
terhadap obat.

2.5

BAB III
PEMBAHASAN
KASUS 1
Tabel 3.1 Interaksi obat-obat pada protokol kemoterapi dengan jenis kanker padat di
RS Kanker Dharmais
No

Kombinasi Obat

.
1.

Carboplatin-

2.

Etoposid
Doksorubisin-

3.

Siklofosfamid
Siklofosfamid-

Farmakodinamik

Farmakokineti

Farmasetik

Keterangan

Deksametason

IO OK-OK pada PN
dan PR
IO OK-OK pada PN
IO OK-OP pada PN

4.

Siklofosfamid-

5.

Ondansetron
CisplatinOndansetron

IO OK-OP pada PN
IO OK-OP pada PO

Keterangan :
IO: Interaksi Obat
PN: Protokol Neuroblastoma
PR: Protokol Retinoblastoma
PO: Protokol Osteosarkoma
OK: Obat Kemoterapi
OP: Obat Penunjang
Tabel 3.2 Efek interaksi yang terjadi
No.
1.
2.
3.
4.
5.

Kombinasi Obat
Carboplatin-Etoposid
Doksorubisin-Siklofosfamid
Siklofosfamid-Deksametason
Siklofosfamid-Ondansetron
Cisplatin-Ondansetron

Mekanisme
Inhibisi Enzim
Sinergis, additive
Induksi Enzim
Induksi Enzim
Induksi Enzim

Efek
AUC etoposid
Efek kardiotoksik
Efikasi dan toksisitas siklofosfamid
AUC Siklofosfamid
AUC Cisplatin

Tabel 3.3 Hasil Evaluasi Protokol Kemoterapi


No.

Interaksi Kombinasi Obat

Rekomendasi

1.

yang Terjadi
Carboplatin-Etoposid

Karena interaksi yang terjadi tidak bermakna klinis maka

2.

Doksorubisin-Siklofosfamid

kombinasi obat kemoterapi tersebut masih dapat digunakan.


Karena apabila kedua obat ini dikombinasi dalam
penggunaannya maka efek kardiotoksik doksorubisin akan
diperberat

3.
4.

Siklofosfamid-Deksametason
Siklofosfamid-Ondansetron

oleh

siklofosfamid

maka

sebaiknya

jangan

digunakan bersamaan.
Deksametason diganti dengan Palonosetron.
Karena ondansetron dapat menyebabkan AUC Siklofosfamid
lebih rendah maka sebaiknya Ondansetron diganti dengan

5.

Cisplatin-Ondansetron

Palonosetron.
Kombinasi tersebut dapat menyebabkan AUC Cisplatin rendah,
sebaiknya Ondansetron diganti dengan Metoklopramid atau
Palonosetron.
6

KASUS 2
KASUS 3

BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
4.2 SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai