Anda di halaman 1dari 14

JOURNALREADING

Kekuatan kontraksi otot levator dan hiatus genital sebagai


faktor resiko dari prolaps organ panggul berulang

PPDSTahapT3B
ModulUroginekologi

FAKULTASKEDOKTERANUNIVERSITASINDONESIA
RUMAHSAKITCIPTOMANGUNKUSUMO
PROGRAMPENDIDIKANDOKTERSPESIALIS

DEPARTEMENOBSTETRIDANGINEKOLOGI
FEBRUARI2015
Kekuatan kontraksi otot levator dan hiatus genital sebagai faktor
resiko dari prolaps organ panggul berulang
Levator contraction strength and genital hiatus as risk factors for
recurrent pelvic organ prolapse
Babak Vakili, MD,* Yong T. Zheng, MD, Holly Loesch, MD, Karolynn T. Echols, MD,
Nicholas Franco, MD, Ralph R. Chesson, MD
Department of Obstetrics and Gynecology, Division of Urogynecology and Reconstructive
Pelvic Surgery, Louisiana State University Health Sciences Center, New Orleans, La

Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara kekuatan kontraksi levator ani dan
pengukuran hiatus genital dengan kegagalan operasi pada pasien prolaps.
Desain penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan
menggunakan catatan data dokumentasi kekuatan kontraksi otot levator, pengukuran
hiatus genital, dan gangguan dasar panggul berulang pada wanita yang menjalani
operasi untuk prolaps.
Hasil: Tingkat prolaps berulang adalah 34,6%. Median interval follow-up adalah 5
bulan. Berkurangnya kekuatan otot levator dikaitkan dengan prolaps berulang (35,8%
vs 0%; P = 0,017). Hiatus genital 5 cm atau lebih dikaitkan dengan prolaps berulang
(44,2% vs 27,8%; P = 0,034). Ketidakmampuan otot levator ani untuk berkontraksi
dikaitkan dengan inkontinensia urin (35.1% vs 18,8%; P = 0,023). Meningkatnya
kekuatan kontraksi otot levator dikaitkan dengan penurunan tingkat reoperasi untuk
gangguan dasar panggul, sedangkan hiatus genital berhubungan baik dengan prolaps
berulang.
Kesimpulan: Hilangnya kekuatan kontraksi otot levator ani dan melebarnya hiatus
genital berhubungan dengan meningkatnya kegagalan operasi pada periode awal
pasca operasi. Penelitian ini berguna untuk konseling pasien mengenai operasi
prolapse sebelum dilakukan operasi.
Kata kunci: prolaps organ pelvik, operasi, faktor resiko, otot levator, hiatus genital

Insidensiprolapsorganpanggul(POP)diperkirakansetinggi39,8%, 1 dengan11%
dariwanitamembutuhkanoperasiprolapssetidaknyasekalidalamhidupmereka. 2
Diperkirakan bahwa kebutuhan untuk operasi prolaps dapat meningkat sebanyak
45%.3 Peningkatan akan kebutuhan operasi membutuhkan pula upaya untuk
meningkatkanhasilkeluaranoperasi.
Meskipun banyak prosedur yang tersedia untuk tatalaksana POP, operasi
dikaitkandenganrisikotinggiterjadinyarekurensidariprolaps.Tingkatkekambuhan
sekitar30%,2 denganpersentaseyangberbedabergantungpadaprosedurtertentu.46
Dengan meningkatnya angka kekambuhan, maka konseling diperlukan untuk
memastikanbahwaharapanpasienrealistis.Mengidentifikasipasienyangberesiko
tinggiuntukterjadikekambuhandibutuhkandalamsuatukonseling.Walaupunbelum
diteliti lebih luas, beberapa risiko terjadinya kekambuhan meliputi riwayat
histerektomisebelumnya,5operasirekonstruksipelviksebelumnya,6danpembedahan
vagina.7
Meskipun etiologi POP sampai saat ini masih kurang dipahami, teori yang
paling populer saat ini menunjukkan bahwa terjadi cedera pada otot levator ani.
Denganmelemahnyaototdasarpanggul,makaterjadinpelebarandarihiatusgenital
(GH).MelebarnyaGHmenyebabkanpenyokongjaringanikatuntukmenegangdan
menyebabkan prolaps.8 Oleh karena otot levator melemah dan melebar GH
berhubungandenganprolaps,adakemungkinanbahwapengukuranobjektifinidapat
digunakanuntukmemprediksiterjadinyaprolapsberulang.
Tujuandaripenelitianiniadalahuntukmengetahuiapakahkekuatankontraksi
ototlevatordanGHadalahfaktorrisikoterjadinyaprolapsorganpanggulberulang.

Bahandanmetode
Data dikumpulkan secara retrospektif dari grafik pasien setelah menjalani operasi
untukPOPdariFebruari1997sampaiJuni2003. InstitutionalReviewBoardofthe
Louisiana State University Health Sciences Center telah memberikan persetujuan
untukpenelitian.Auditsistematispadasemuagrafikpasientelahdilakukan.
Kriteriainklusipasiendalampenelitianjikamerekamenjalanioperasiuntuk
POPselamajangkawaktuyangditunjukkan.Kriteriaekslusipasiendalampenelitian
inijikamerekamenjalanioperasisebagaitatalaksanauntukinkontinensia.Datayang
dikumpulkanmeliputidemografidanlatarbelakang,termasukdiantaranyariwayat
bedahsebelumnya.Kunjunganawal,laporanoperasi,dansemuakunjunganpasca
operasiditinjau.
Pada kunjungan awal, dokter residen beserta fellow dalam pelatihan di divisi

uroginekologi,ataukeduanyamemeriksapasien.Stadiumprolapsditentukandengan
menggunakan Pelvic Organ ProlapseQuantification (POPQ) dimulai pada tahun
1998,9 Sebelum tahun tersebut, stadium prolaps ditentukan dengan menggunakan
sistem BadenWalker Halfway.10 Kekuatan kontraksi otot levator ani dinilai
menggunakan Oxford 05 Classification Scale of muscle strength yang digunakan
olehahlifisioterapi dandimodifikasiuntukpenilaianototdasarpanggul.11Skalaini
adalahskalaordinaldenganmelakukanpercobaanberulangpadaototdasarpanggul12
dimanakekuatankontraksiototbernilai05sebagaiberikut:0,tidakadakontraksi;1,
kedutan;2,kontraksiyanglemah;3,kontraksiyangcukup;4,kontraksiyangbaik;
dan5,kontraksiyangkuat(dianggapnormal).
SebelumadanyapenilaianPOPQ,GHtidakdilakukanpengukuran.Setelah
diperkenalkannya pengukuran POPQ, GH diukur sebagai jarak dari pertengahan
meatusuretraeksternalkebagianinferiordaricincinhimen.9
Padasetiapkunjunganpascaoperasi,pasiendievaluasiuntukkemungkinan
POP berulang dan kemungkinan inkontinensia urin berulang. Stadium prolaps
dilakukan dengan menggunakan sistem yang sudah dijelaskan di atas. Prolaps
berulangdidefinisikansecaraobyektifsebagaipenurunandarisetiapkompartemen
vaginadibandingkandenganposisianatominormal(stadiumlebihbesardari0pada
sistemPOPQataustadiumlebihbesardari0padasitemBadenWalkerHalfway).
Inkontinensiaberulangdidefinisikansebagaisetiapkeluhaninkontinensiasubjektif
padasetiapkunjunganpascaoperasi,terlepasdarijenisinkontinensianya.Pasienyang
membutuhkanoperasitambahanuntukPOPatauinkontinensiadiidentifikasihanya
jika operasi tambahan dilakukan oleh 1 dari 2 ahli bedah. Interval tindak lanjut
didefinisikan sebagai waktu dari operasi sampai kunjungan pasca operasi terakhir
yangtercatat.Jikapasienmemilikiprosedurkedua,intervaltercatatsebagaiwaktu
darioperasipertamakeoperasikedua.

Statistik
Datadicatatdalamdatadasarsebelumdilakukankompilasikekomputerdatadasar
(Microsoft Access, Microsoft Corp, Redmond, Washington). Statistik analisis
dilakukandenganmenggunakanSPSS11.0forWindows(SPSSInc,Chicago,Ill).Uji
t test dan analisis varians digunakan untuk membandingkan variable kontinu. X2
digunakanuntukmembandingkandatakategori.UjiFisherdilakukanketikaasumsi
untuk distribusi X2 dilanggar. Regresi logistik digunakan ketika berlaku. P < .05
dianggaphasilyangsignifikan.

Hasil
Sebanyak505pasienyangmemenuhikriteriainklusidimasukkandalampenelitian.
Darijumlahtersebut,451pasienmemilikisetidaknya1kunjungantindaklanjutuntuk
penilaianulang.Subjekyangtidakmempunyaidatakekuatankontraksiototlevator
dieksklusikan dari penelitian ini. Selain itu, subjek yang melakukan penilaian

kekuatankontraksiototlevatordinilaidengansifatsubjektif(yaitu,''baik,''''lemah'')
dieksklusikan.Akibatnya,hanya358subyekyangtersediauntukpenelitian.TabelI
merupakandatamengenaidemografidanhasilsampel.Dengantindaklanjutratarata
5bulan,hasildiindikasikanhanyauntukperiodepascaoperasidini.Dilakukannya
prosedur yang berbeda ditmpilkan dalam Tabel II. Kekuatan otot levator dan
pengukuranPOPQtidakberbedadiantaraberbagairas.
Angkakejadianuntukprolapsberulang,inkontinensiaberulang,danoperasi
tambahan yangmasingmasingdinilai berdasarkankekuatankontraksiotot levator
dijelaskan pada Gambar. Meningkatnya kekuatan kontraksi otot levator dikaitkan
dengan berkurangnya kekambuhan dari prolaps organ panggul (P = 0,005).
Meningkatnyakekuatankontraksiototlevatorjugadikaitkandenganpenurunanrisiko
inkontinensiaberulang(P =0,010).Pasiendengankekuatankontraksiototlevator
yangkuatcenderungkurangmemilikioperasiberulang(P=0,013).

Hanya11wanitamemilikikekuatankontraksiototlevatoryangnormal(5/5).
Rincian pasien ini dibandingkan dengan wanita dengan kekuatan kontraksi otot
levator yang kurang (kurang dari 5/5) dijelaskan pada Tabel III. Wanita dengan
kekuatankontraksiototlevatoryangnormaltidakterjadiprolapsberulang(0%vs
35,8%;P=0,017).Meskipuntidakadasubjekdengankekuatankontraksiototlevator

yangnormaldiperlukantambahanoperasiuntukprolaps,perbedaantersebuttidak
signifikan(0%vs9,2%;P=0,291).

Empat puluh tujuh wanita tidak dapat mengkontraksikan otot levator ani
merekasamasekali(0/5).Pasienpasieninidibandingkandenganorangorangyang
bisamelakukankontraksiototdasarpanggul(lebihdari0/5)ditampilkanpadaTabel
IV.Terdapatinsidenyanglebihtinggidariinkontinensiaberulangpadawanitayang
tidakdapatberkontraksi(35,1%vs18,8%; P =0,023).Namun,setelahdilakukan
kontrolusia,tidakadaperbedaandalaminkontinensiaberulang(P =0,144).Tidak
adaperbedaandalamprolapsberulangataukejadianoperasilebihlanjut.

GH tercatat pada 185 pasien. Pelebaran GH dikaitkan dengan peningkatan


risikoprolapseberulang(P =0,028).PeningkatanGHbukanmenrupakanprediktif
terjadinyainkontinensiaberulangataudiperlukannyaoperasitambahan.Pengukuran
dari5cmdigunakanuntukmenetapkanpenilaianGH.DataditampilkanpadaTabel

V.GHdengan5cmataulebihdikaitkandenganinsidenyanglebihtinggidariprolaps
berulang (44,2% vs27,8%; P = 0,034) tetapi tidak dikaitkan dengan berulang
inkontinensiaataudiperlukannyaoperasilebihlanjut.Efekinitetapsignifikansetelah
dilakukankontrolusiadanparitas.Menariknya,GHdengan7cmataulebihdikaitkan
denganinsidenyanglebihtinggidiperlukannyaoperasilebihlanjutuntukprolapsatau
inkontinensia(36,4%vs10,8%;P=0,034).

Regresilogistikdilakukanuntukmembagiuntuksetiaphasilkeluaranmasing
masing otot dasar panggul (prolaps berulang, inkontinensia berulang, dan
diperlukannya operasi lebih lanjut). Setiap hasil dilakukan penggabungan semua
faktorkontribusipotensial,sepertiusia,indeksmassatubuh,paritas,merokok,operasi
sebelumnya/histerektomi,danras.Prosedurbedahdieksklusikandarihasilkeluaran
karena ada terdapat puluhan kombinasi yang berbeda dari prosedur. Kekuatan
kontraksi otot levator dan GH diperlakukan sebagai variabel kontinu untuk
terbentuknya hasil keluaran. Dengan menggunakan teknik bertahap, variabel yang
tidak signifikan (P > .10) dieliminasi. GH yang paling sangat berkorelasi dengan
prolapsberulang(P=0,022).Kekuatankontraksiototlevator,usia,danfaktorfaktor
lainnya tidak meningkatkan hasil keluaran tersebut. Namun, setiap hasil keluaran
menunjukkankorelasiyanglemah(r=0,217).Sehubungandenganoperasitambahan
untukprolapsatauinkontinensia,kekuatankontraksiototlevatorsendiriberkorelasi
kuat(P=0,011).SebaliknyaGH,usia,danfaktorfaktorlainnyatidakmeningkatkan
hasilkeluarantersebut(r=0,200).Inkontinensiaberulangpalingterkaitdenganusia
dankekuatankontraksiototlevator(P=0,003),denganusiayangpalingberkorelasi
kuat.Sekalilagi,hasiltersebutmenunjukkankorelasiyanglemah(r=0,251).

Komentar

Kegagalanbedahmenjadiperhatiandarisemuaahlibedahketikamelakukanoperasi
rekonstruksi panggul. Definisi kegagalan bedah sangat sulit untuk didefinisikan.
Akibatnya,hasilkeluaranoperasiuntukPOPtelahdifokuskanpadareoperasi.Dokter
bedah harus mendiskusikan risiko kekambuhan ketika dilakukan konseling pasien
untukoperasi.Mengidentifikasipasienyangmungkinterjadipeningkatanrisikountuk
terjadinyagangguandasarpanggulberulangakanmembantudalamdiskusitersebut.
Sepertiyangdijelaskandalampendahuluan,melemahnyaototlevatoranidan
melebarGHmungkinmemainkanperandalamterjadinyaPOP.Haliniditegaskan
dalam penelitian ini, di mana hanya 11 dari 358 pasien yang memiliki kekuatan
kontraksi otot levator normal, dan ratarata lebar GH 4,8 cm. Teori kami adalah
bahwa wanita dengan kekuatan kontraksi otot levator lemah atau tidak ada akan
memilikiinsidenyanglebihtinggiuntukterjadinyakekambuhan.Dasaruntukteori
ini adalah bahwa jenis operasi rekonstruktif yang noncompesatory (seperti,
ponyokongvaginadenganmenggunakanstrukturjaringanyangada)akanbergantung
padakekuatanligamenyangadauntukmenyokongvaginatersebut.Ligamentersebut
akantetappadapereganganjikaototdasarpanggullemahdanGHyangmelebar.
Akibatnya,merekaakanlebihrentanterhadapkegagalanoperasi.Datayangdisajikan
disinimendukungteorikami,setidaknyadiawalperiodepascaoperasi.
Beberapasistempenilaianuntukmenilaifungsiototlevatortersedia. 13 Kami
telah menilai fungsi otot levator dengan menggunakan Skala Oxford. Meskipun
sistem skala ini akan menghasilkan hasil yang berbeda antara pemeriksa, kami
memutuskan untuk mengdikotom kekuatan menjadi kontraksi yang normal dan
abnormal,karenaakanmembuatpenggambaranyanglebihmudah.Demikianpula,
ketidakmampuan untuk mengkontraksikan otot dasar panggul jauh lebih mudah
dibandingkan dengan menggunakan gradien yang berbeda di antara normal dan
abnormal. Dengan dikotomi data, kami menemukan beberapa hasil yangmenarik.
Sayangnya,hanyaterdapatsedikitsubjekyangmempunyaikekuatankontraksiyang
normal.
TidakhanyamelebarnyaGHyangdikaitkandengankejadianPOP,tetapijuga
telah dikaitkan dengan kegagalan bedah saat diukur pasca operasi.14 Data kami
menunjukkanbahwapelebaranGHpraoperasidikaitkandenganprolaps berulang
pada periode awal pasca operasi, meskipun tidak dapat memprediksi terjadinya
reoperasi.PenggunaanPOPQmemungkinkanpenilaianGHlebihakurat,sehingga
fenomenainidapatdikajilebihlanjut.
Operasi panggul tambahan merupakan hasil keluaran yang paling definitif
dalammenilaikegagalanoperasiuntukprolaps.Meskipuntrendisinimenjanjikan
dan terdapat korelasi yang lemah antara kekuatan kontraksi otot levator dan
diperlukannya operasi tambahan, data dibatasi oleh sedikitnya angka operasi
berulang.Meskipunangkakekambuhanyangrendahtelahmeyakinkankitabahwa
hasiloperasiyangbaik,namunhaltersebutmembatasianalisisdata.
Terdapat beberapa keterbatasan dengan penelitian ini. Faktor yang paling
penting adalah fakta bahwa penelitian ini menggunakan data retrospektif. Dalam

banyak kasus kekuatan kontraksi otot levator tidak tercatat, yang menyebabkan
hilangnya93pasien.Meskipunperbedaanpasieninitidakberbedasecarasignifikan,
namun kontribusi mereka terhadap penelitian dapat mempengaruhi hasil. Terdapat
perbedaanhasilyanglebihbesaruntukGHkarenakurangnyapenggunaanPOPQ.
Halinimembatasianalisisdanmenguranginilain.
Kelemahan lain adalah tidak adanya tindak lanjut jangka panjang. Pasien
seringtidakkembalijikamerekamemilikihasilyangbaik;pasiendengantidakada
keluhanseringtidakkembalikedokter.Sebaliknya,pasiendenganhasilyangburuk
tidakdapatkembalikedokteryangsamakarenapasientersebutseringtidakpercaya
dengandoktersebelumnya.Pasiendapatberpindahrumahsakit,kehilanganasuransi
mereka,meninggal,atauterjadikondisimedislainyangmenghalangimerekauntuk
kembali. Kurangnya tindak lanjut berpengaruh dalam menilai hasil keluaran.
Meskipun 89% dari pasien dalam penelitian ini memiliki setidaknya 1 kunjungan
tindaklanjutsetidaknya6minggusetelahoperasi,banyakdarimerekatidakmemiliki
lebih6bulantindaklanjut(mediantindaklanjut5bulan).Karenabanyakkekambuhan
seringterjadibeberapatahunsetelahoperasi,penilaiankekambuhanjangkapanjang
tidakmungkinterjadi,dankasuskasuskekambuhandanreoperasitidakterdeteksi.
Adakemungkinanbahwajikamengetahuitindaklanjutjangkapanjangmungkinakan
menghasilkanhasilyangberbeda.
Keterbatasanutamalainnyadalampenelitianinimelibatkansejumlahfaktor
yang mempengaruhi hasil. Faktorfaktor tersebut termasuk usia, penggunaan
tembakau,kegiatanpasien,fungsikandungkemih,ahlibedah,danprosedur.Sebagai
contoh,pasiendapatmemiliki1darisejumlahproseduryangberbedaataudalam
kombinasi. Kombinasi yang berbeda dalam prosedur membuat sulit untuk
mengendalikan factorfaktor ini. Karena semua faktor yang berbeda dapat
berkontribusidalamkekambuhan,menghubungkanantarakegagalanbedahdengan1
variabelsangatsulit.
Definisi optimal gangguan oto dasar panggul berulang tidak jelas. Bukti
objektif prolaps secara klinis tidak signifikan jika pasien tidak memiliki keluhan.
Selainitu,adakontroversiapakahstadium1atau2prolapsyangditentukandengan
POPQ harus dianggap sebagai kegagalan bedah. Inkontinensia berulang dapat
didefinisikanmenggunakanbeberapatessepertiurodinamikataukuesioner.Namun,
sifat retrospektif dari penelitian ini membatasi kemampuan untuk menilai
kekambuhankarenabanyakpasientidakmemilikidokumentasidaritesstres.Oleh
karena itu, penelitian ini harus fokus pada keluhan subjektif seperti yang tercatat
dalamgrafik.
Namun, jika hubungan ini ternyata benar, mungkin memiliki konsekuensi
yangmenarik.Seorangahlibedahdapatmemberikankonselingyangberbedakepada
pasienmengenaikelemahanototdasarpanggul,termasukkemungkinanmengubah
prosedurmengingatinformasiyangdidapatkan.Sebagaicontoh,jikaseorangpasien
ditemukantidakmemilikikontraksiototlevatordanGHyangsangatluas,ahlibedah
dapat memilih untuk melakukan operasi rekonstruksi yang berkompensasi (yaitu,

sakrokolpopeksiperabdominal)dibandingkandenganoperasirestorasi.Selainitu,ahli
bedah dapat mempertimbangkan melakukan prosedur untuk mempersempit GH
(yaitu, perineorafi) untuk mengurangi kekambuhan. korelasi yang kuat akan
diperlukanuntukmembuatrekomendasitersebut.
Pengukuran kekuatan kontraksi oto levator dan GH tidak sulit untuk
dipelajari15danmudahuntukdilakukan.Penilaianototdasarpanggulmerupakanhal
yang bagus dilakukan.12 Kekuatan kontraksi otot levator dan pengukuran GH
bermaknadikaitkandengangangguandasarpanggulberulang,meskipunmempunyai
korelasilemah.Padaawalperiodepascaoperasi,pasiendengankontraksiototlevator
yanglemahdanGHyanglebarlebihmungkinuntukmemilikikekambuhanprolaps
organpangguldaninkontinensiaurin.Sebuahstudiprospektifdengantindaklanjut
jangkapanjangdiperlukanuntukmengkonfirmasikekuatanhubunganinidanhasil
jangkapanjang.

DAFTARPUSTAKA
1. Hendrix SL, Clark A, Nygaard I, Aragaki A, Barnabei V, McTiernan A. Pelvic
organ prolapse in the Womens Health Initiative: gravity and gravidity. Am J
Obstet Gynecol 2002; 186:1160-6.
2. Olsen AL, Smith VJ, Bergstrom JO, Colling JC, Clark AL. Epidemiology of
surgically managed pelvic organ prolapse and urinary incontinence. Obstet
Gynecol 1997;89:501-6.
3. Luber KM, Boero S, Choe JY. The demographics of pelvic floor disorders:
current observations and future projections. Am J Obstet Gynecol
2001;184:1496-501.
4. Kholhede P, Noren B, Ryden G. Prediction of genital prolapse after Burch
colposuspension. Acta Obstet Gynecol Scand 1996; 75:849-54.
5. Mant J, Painter R, Vessey M. Epidemiology of genital prolapse: observations
from the Oxford Family Planning Association Study. Br J Obstet Gynecol
1997;104:579-85.
6. Clark AL, Gregory T, Smith VJ, Edwards R. Epidemiologic evaluation of
reoperation for surgically treated pelvic organ prolapse and urinary
incontinence. Am J Obstet Gynecol 2003; 189:1261-7.
7. Benson JT, Lucente V, McLellan E. Vaginal versus abdominal reconstructive
surgery for the treatment of pelvic support defects: a prospective randomized
study with long-term outcome evaluation. Am J Obstet Gynecol
1996;175:1418-22.
8. Gill EJ, Hurt WG. Pathophysiology of pelvic organ prolapse. Obstet Gynecol
Clin North Am 1998;25:757-69.
9. Bump RC, Mattiasson A, Bo K, et al. The standardization ofterminology of
female pelvic organ prolapse and pelvic floordysfunction. Am J Obstet
Gynecol 1996;175:10-7.
10. Baden WF, Walker TA. Genesis of the vaginal profile: a correlated
classification of vaginal relaxation. Clin Obstet Gynecol 1972; 15:1048-54.
11. Mantle J. Physiotherapy for incontinence. In: Cardozo L, Staskin D, editors.
Textbook of female urology and urogynaecology. London: Isis Medical Media
Ltd; 2001. p. 352-3.
12. Laycock J. Pelvic floor dysfunction [PhD thesis]. Bradford, UK: University of

Bradford; 1995.
13. Sampselle CM, Brink CA, Wells TJ. Digital measurement of pelvic muscle
strength in childbearing women. Nurs Res 1989;38:134-8.
14. DeLancey JOL, Hurd WW. Size of the urogenital hiatus in the levator ani
muscles in normal women and women with pelvic organ prolapse. Obstet
Gynecol 1998;91:364-8.
15.
Steele A, Mallipeddi P, Welgoss J, Soled S, Kohli N, Karram M.
Teaching the Pelvic Organ Prolapse Quantitation system. Am J Obstet
Gynecol 1998;179:1458-64.

Anda mungkin juga menyukai