I. PENDAHULUAN
Jantung memiliki peranan yang besar dalam mengatur siklus kehidupan manusia.
Apabila adanya gangguan terhadap sirkulasi kerja jantung, maka akan mengganggu
kehidupan manusia. Gejala yang ditimbulkan juga tidak semuanya dapat terlihat
sehingga sulit untuk mendiagnosis. Angina pectoris merupakan salah satu gejala
yang sering ditemui, dengan gejala nyeri dada di sebelah kiri yang menjalar hingga
ke rahang dan lengan.
II. PEMBAHASAN
A. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara
cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau luar jantung. Jika dicurigai
nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari
koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat miokard infark
sebelumnya, serta faktor risiko lain seperti hipertensi, DM, merokok, stress, dll.
Pada hampir setengah kasus, terdapat beberapa faktor pencetus sebelum terjadi
STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres, emosi, atau penyakit medis atau bedah.
Walaupun STEMI dapat terjadi pada sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian
dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
Nyeri dada. Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut, perlu dipastikan secara
cepat dan tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat
atau salah dapat memperburuk penyakit. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan
gejala cardinal pasien IMA, dengan sifat nyeri sbb:1
1. Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial.
2. Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk.
3. Penjalaaran : biasanya ke lengan kiri, leher, rahang bawah, gigi, punggung,
perut, dan dapat juga hingga ke lengan kanan.
4. Nyeri membaik atau mengjhilang setelah istirahat, atau obat nitrat.
5. Faktor pencetus: latihan fisik, stress, udara dingin.
6. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas,
dan lemas.
7. mengindikasikan disfungsi miokard iskemik berat sebagai akibat infark
sebelumnya.
B. Pemeriksaan
1. Gejala Klinis
a. Gejala umum (Sistemik)
Tekanan atau nyeri substernum atau dada sesak dengan atau tanpa
penyebaran ke leher, rahang, bahu kiri, atau lengan; dispneu; mual atau
muntah;
kepala
pening;
stress;
nyeri
berkurang
dengan
istirahat/berkepanjangan/menetap.2
b. Gejala khusus (khas)
- Angina pectoris stabil: nyeri dada episodik saat pasien berolahraga atau
mengalami bentuk stress lainnya. Nyeri mereda dengan istirahat atau
-
pemberian nitrogliserin.
Angina Prinzmetal: angina yang terjadi saat pasien beristirahat bahkan
saat tidur.
Angina pectoris tidak stabil: nyeri angina yang frekuensinya meningkat
dipicu oleh olahraga dan serangan menjadi lebih intens, dan lebih lama
dari angina pectoris stabil.
2. Pemeriksaan Fisik
Tidak ada hal yang spesifik dalam pemeriksaan fisik. Sering pemeriksaan
fisik normal didapatkan pada pasien tersebut. Mungkin, pemeriksaan fisis yang
dilakukan waktu nyeri dada dapat menemukan adanya aritmia, gallop bahkan
murmur, split S2 paradoksal, rongki basah bagian basal paru, yang menghilang
saat nyeri berhenti. Hal-hal lain yang bisa didapat dari pemeriksaan fisik adalah
tanda-tanda adanya faktor risiko, misalnya tekanan darah tinggi.
Denyut nadi, sering normal pada pasien dengan angina stabil. Selama
serangan akut, takikardia atau aritmia transien (misalnya fibrilasi atrium (AF),
takikardia ventrikel) dapat terjadi. Takikardia saat istirahat atau pulsus alternans
dapat mengindikasikan disfungsi miokard iskemik berat sebagai akibat infark
sebelumnya.
Selama episode iskemia akut, pasien akan mengalami cemas, takikardi,
takipneu, kemungkinan ada rongki paru, S3, S4 atau murmur. Bila terjadi syok
kardiogenik akan terjadi hipotensi dengan perfusi jaringan yang buruk .3
Sebagian besar, pasien cemas dan tidak dapat beristirahat. Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30
menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat
pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis dan
hampir setengahnya adalah sebaliknya. Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikuler
adalah S4 dan S3 Gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split
paradoksikal bunyi jantung ke dua. Dapat ditemukan murmur midsistolik yang
bersifat sementara karena disfungsi apartus katup mitral dan pericardial friction
rub. Peningkatan suhu sampai 38o C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca
STEMI.1
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac
specific troponin (cTn)T atau cTn 1 dan dilakukan secara serial. cTn harus
digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan
otot skelet, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada
pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera
mungkin dan tidak bergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukan ada
nekrosis jantung (infark miokard); 1
-
CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
mioglobin: dapat deteksi 12 jam setelah infark dan mencapai puncak dalam
4-8 jam.
Kreatinin kinase atau CK : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard
dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
LDH : meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard mencapai
puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
4. Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan
nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan
segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD
merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat
menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang
bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan awal tidak
diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan
kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12
sadapan
secara
kontinyu
harus
dilakukan
untuk
mendeteksi
potensi
perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG
sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel
kanan.
5. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini bermanfaat sekali pada pasien dengan murmur sistolik untuk
memperlihatkan ada tidaknya stenosis aorta atau kardiomiopati hipertropik.
Selain itu dapat pula menentukan luasnya iskemi bila dilakukan waktu nyeri dada
sedang berlangsung. 4
6. Diagnosis
1. Working diagnosis
Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di
negara maju. IMA dengan elevasi ST merupakan bagian dari spectrum sindrom
koroner akut yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST
dan IMA dengan elevasi ST. Infark miokard dengan elevasi ST merupakan
bagian dari spektrum sindrom koroner akut yang gejalanya dapat ditandai dengan
adanya serangan angina pectoris. Angina pectoris adalah rasa nyeri yang timbul
akibat dari iskemi miokardium. Penyakit jantung iskemik tersebut adalah
sekelompok
sindrom
yang
berkaitan
erat
yang
disebabkan
oleh
sebesar 75% atau lebih pada satu atau lebih arteria koronaria besar, setiap
peningkatan aliran darah koroner yang mungkin terjadi akibat vasodilatasi
koroner kompensatorik akan kurang memadai untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan jantung.7
Diagnosis infark miokard dengan elevasi ST dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2 mm,
minimal pada 2 sadapan prekordial yang berdampingan atau 1 mm pada 2
sadapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang
meningkat, memperkuat diagnostic. Namun, keputusan memberikan terapi
revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam
tatalaksana infark miokard.
2. Differential diagnosis
Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST (Non ST Elevation Myokardia l
Infarction = NSTEMI)
Angina Pektoris Tak Stabil (unstable angina = UA) dan infark miokard
akut tanpa elevasi ST ( non ST Elevation Myokardial Infarction = NSTEMI )
diketahui merupakan kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran
klinis,
namun
berbeda
derajat
berat
ringannya
,sehingga
pada
prinsip
penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Yang terutama berbeda apakah iskemi yang
terjadi cukup berat untuk mengakibatkan kerusakan miokard dan petanda kerusakan
otot yang dapat diperiksa secara kuantitatif; yang tersering troponin I (Tn I), troponin
T (Tn T), atau creatine kinase-MB (CK-MB). Jika sudah terbukti tidak ada petanda
biokmia nekrosis miokard yang dikeluarkan, maka pasien dikatakan mengalami UA.
Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA
menunjukkan adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung. Pada
keadaan tersebut dapat terjadi perubahan pada segmen T atau gelombang T. Pada
pasien UA, hal ini bisa saja terjadi, namun biasanya tidak menetap. Petanda dari
kerusakan miokard dapat terdeteksi di dalam darah beberapa jam setelah kejadian
nyeri iskemik, yang memberikan petunjuk untuk membedakan UA dan NSTEMI.
7. Etiologi
Penyakit jantung iskemik adalah sekelompok sindrom yang berkaitan erat yang
disebabkan olehn ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan
aliran darah. Penyakit jantung iskemik juga merupakan salah satu penyakit
kardiovaskular yang timbul dengan keluhan dada seperti diikat atau nyeri seperti
ditekan di bagian tengah dada yaitu angina atau infark miokard. Penyebab tersering
PJI adalah menyempitnya lumen arteria koronaria oleh aterosklerosis, sehingga
sering disebut penyakit jantung koroner.
8. Epidemiologi
Merupakan pembunuh nomor satu pada pria maupun wanita di Amerika Serikat.
Lebih dari satu juta infark miokard terjadi pertahun di AS. Kematian akibat
kardiovaskuler telah menurun 50% pada 3 dekade terakhir (angka penurunan ini
tertinggi terjadi pada pria kulit putih dan terendah pada wanita kulit hitam).
Diperkirakan bahwa lebih dari 2 juta warga AS menderita iskemia miokard silent
dengan peningkatan risiko menderiota MI dan kematian mendadak. Bahkan dari
tahun 2000-an dapat dipastikan kecenderungan penyebab kematian di Indonesia
bergeser dari penyakit infeksi ke penyakit kardiovaskuler. Penyakit ini dapat timbul
pada semua usia, tetapi paling sering pada usia lanjut, dengan insiden lebih dari 60
tahun pada laki-laki dan 70 tahun pada perempuan.
9. Faktor risiko
1. Dapat Diubah (dimodifikasi)
Hiperkolesterolemia Kolesterol, lemak dan substansi lainnya dapat menyebabkan
penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga lumen dari pembuluh derah
tersebut menyempit dan proses ini disebut aterosklerosis. Penyempitan pembuluh
darah ini akan menyebabkan aliran darah menjadi lambat bahkan dapat tersumbat
sehingga aliran derah pada pembuluh derah koroner yang fungsinya memberi 02
ke jantung menjadi berkurang. Kurangnya 02 akan menyebabkan otot jantung
menjadi lemah, sakit dada, serangan jantung bahkan kematian.
10
11
10.
melindungi wanita.
Ras
Herediter
Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya.
Stenosis arteri koroner berat, yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi
jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular, di mana
injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, huioertensi, dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur,
rupture, atau ulserasi, dan jika kondisi lokal atau iskemik memicu trombogenesis,
sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi
arteri koroner. Penelitianm histologist menunjukkan plak koroner cenderung
mengalami rupture jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya akan lipid.
Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri Dario fibrin rich red thrombus, yang
dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kiolagen, ADP,
epinefrin)memicu aktivasi trombosit yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2. Selain itu, aktivitas trombosit akan memicu perubahan
konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya,
reseptor memiliki afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi
yang larut dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat
12
darah
saluran
proksimal
menyebabkan
autoregulasi
13
Hasil metabolisme anaerob oleh miosit akan menghasilkan asam laktat yang
menyebabkan stimulasi saraf simpatis aferen lainnya menyerbabkan nyeri di
daerah substernum; stimulasi silang pada saraf simpatis aferen lainnya
menyenankan nyeri menyebar ke leher, rahang, bahu kiri, atau lengan kiri.
adalah
untuk
memantapkan
dan
14
15
lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca
infark. Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE ahrus diberikan tanpa batas pada pasien dengan
bukti klinis gagal jantung. Pada pasien dengan pemeriksaan imaging
menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat
abnormalitas dinding global. Penelitian klinis dalam tatalaksana pasien gagal
jantung trermasuk data dari penelitian klinis pada pasien STEMI
menunjukkan bahwa angiotensin receptor bloker (ARB) bermanfaat pada
pasien dengan fungsi ventrikel kiri menurun atau gagal jantung klinis yang
tak toleran terhadap inhibitor ACE.
4. Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibise cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan
absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg diruang emergensi.
Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
ANGINA STABIL:
1. Nitrat sublingual atau spray : untuk episode nyeri atau profilaksis terhadap
aktivitas yang diketahui mencetuskan angina; nitrat topical atau oral bila
angina terjadi lebih dari 3-4 kali perminggu.
2. Penyekat beta terutama pada pasien takikardi atau hipertensi, hindari pada
lansia dan gangguan PPOK.
3. Calcium channel blokers harus ditambahkan pada penyekat beta bila nyeri
tidak hilang.
-
Non medika
STEMI
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang aritmia.
Sasaran terapi reperfusi pada psien STEMI adalah door-to-needle ( atau medical
contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30
16
ANGINA STABIL:
1. Perubahan gaya hidup
2. Bila dari hasil pemeriksaan non invasive mennunjukkan adanya gangguan
pada 3 pembuluh darah atau penyakit utama koroner kiri, maka indikasikan
PTCA atau CABG.
3. Bila nyeri menetap atau memberat, dilaksanakan katerisasi dan kemungkinan
PTCA dengan atau tanpa stenting atau CABG. Bila angina tidak teratasi,
pertimbangkan revaskularisasi miokardium perkutan (PMR).
12. Pencegahan
- Olahraga dapat mengurangi risiko sebanyak 45%, penurunan berat badan
-
sebanyak 55%.
Pengontrolan tekanan darah dengan gaya hidup, diet, dan obat-obatan dapat
13. Komplikasi
Disfungsi ventricular1
17
Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan atau pump failure merupakan penyebab utama kematian di RS
pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan
tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.
Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3
dan S4 Gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering ditemukan kongesti paru.
Gagal Jantung
Gagal jantung (Heart Failure) umumnya didefinisikan sebagai ketidakmampuan
jantung untuk memasok aliran darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Ini memiliki berbagai kriteria diagnostik, dan istilah gagal jantung sering salah
digunakan untuk menjelaskan penyakit jantung terkait lainnya, seperti infark
miokard (serangan jantung) atau serangan jantung. Penyebab gagal jantung (Heart
Failure) termasuk infark miokard (serangan jantung) dan bentuk lain dari penyakit
18
normal.
Makin luas arteri koroner yang terkena atau makin buruk penyumbatannya, maka
prognosisnya makin jelek.
15. Pencegahan
Pencegahan terbaik untuk menurunkan resiko penyakit jantung koroner seperti: 9
a. Mengkonsumsi nitroglycerin sebelum melakukan aktivitas yang memicu
terjadinya angina.
b. Berusaha untuk mencegah stress berlebih, mengkontrol tekanan darah, diabetes,
dan kolesterol, berhenti merokok
19
c. Memakan makanan sehat rendah lemak dan kolesterol, serta buah-buahan dan
sayuran, olahraga teratur, menurunkan berat badan jika kelebihan berat badan.
d. Vitamin E atau C, antioksidan, asam folat dapat menjadi terapi pencegahan untuk
resiko penyakit jantung.
e. Konsumsi alcohol dapat menurunkan resiko masalah penyakit jantung (1
gelas/hari untuk wanita, 2 gelas/hari untuk pria). Tetapi, mengkonsumsi alcohol
berlebih dapat membangkitkan penyakit jantung.
III.PENUTUP
Adanya gejala seperti nyeri dada sebelah kiri yang timbul saat beraktivitas dan
membaik saat beristirahat merupakan salah satu gejala dari angina pectoris yang stabil
juga disertai elevasi ST yang merupakan STEMI (ST Elevasi Miocard Infark). Untuk itu,
pasien harus diperiksa secara menyeluruh untuk mendapatkan diagnosis yang pasti.
DAFTAR PUSTAKA
1. Idrus Alwi. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 2. Edisi V. Jakarta: interna
publishing; 2010, hal 1741-1756.
2. Davey P. At a glance medicine. Dalam Nyeri dada. Editor: Amalia Safitri. Jakarta:
Erlangga; 2007, hal 10.
3. H Huon, Dawkins KD, Simpson LA, Morgan JM. Lecture notes: kardiologi. Dalam
sindrom koroner akut. Editor Azwar Agus, Asri Dwi R, Hamed Oemar. Edisi 4.
Jakarta: Erlangga, 2005, hal 108-116.
4. Harijanto PN, Setiawan B, Zulkarnain I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Dalam
Infark miokard akut dengan elevasi ST oleh Idrus Alwi. Sudoyo WA, Setiyohadi B,
Alwi I, penyunting. Edisi 5 (II). Jakarta: Interna Publishing; 2009, hal 718-20.
5. Robbins, Cortan, Mitchell RN. Buku saku dasar patologi penyakit. Edisi 7. Jakarta:
EGC, 2008, hal 331.
6. Valentina L. Brashers. Aplikasi klinis patofisiologi. Jilid 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2008, hal 35-42.
7. Kumar, Cotran, Robbins. Buku ajar patologi. Edisi 7. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran ECG; 2007, hal 409.
20