Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) IMA STEMI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit jantung merupakan salah satu penyebab kematian yang utama. Banyak pasien yang
mangalami kematian akibat penyakit jantung. Penanganan yang salah dan kurang cepat serta
cermat adalah salah satu penyebab kematian.
Infark miokard akut merupakan penyebab kematian utama bagi laki-laki dan perempuan di
USA. Diperkirakan lebih dari 1 juta orang menderita infark miokard setiap tahunnya dan
lebih dari 600 orang meninggal akibat penyakit ini.
Masyarakat dengan tingkat pengetahuan yang rendah membuat mereka salah untuk
pengambilan keputusan penangan utama. Sehingga menyebabkan keterlambatan untuk
ditangani. Hal ini yang sering menyebabkan kematian.
Berbagai penelitian standar terapi trombolitik secara besar-besaran telah dipublikasikan untuk
infark miokard akut (IMA) dengan harapan memperoleh hasil optimal dalam reperfusi
koroner maupun stabilisasi koroner setelah iskemia.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 Apa definisi dari STEMI.
1.2.2 Apa etiologi dari STEMI.
1.2.3 Apa manifestasi klinis dari STEMI.
1.2.4 Apa penatalaksanaan dari STEMI.
1.2.5 Bagaimana pathofisiologi dari STEMI.
1.2.6 bagaimana patoflow dari STEMI
1.2.7 Bagaimana Askep pada STEMI.

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari STEMI.
1.3.2 Untuk mengetahui etiologi dari STEMI.
1.3.3 Untuk mengetahui manifestasi klinis dari STEMI.
1.3.4 Untuk mengetahui penatalaksanaan dari STEMI.
1.3.5 Untuk mengetahui pathofisiologi dari STEMI.
1.3.6 Untuk mengetahui patoflow dari STEMI
1.3.6 Untuk mengetahui Askep dari STEMI.
1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami dan membuat asuhan
keperawatan pada anak dengan gangguan system pernafasan dengan penyakit asma, serta
mampu mengimplementasikannya dalam proses keperawatan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di Negara
maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien
mencapai Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade
terakhir, sekita 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam
tahun pertama setelah IMA (Sudoyo, 2006).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan bagian
dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA
tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang
sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2006).

2.2 Etiologi
a.

Penyempitan arteri koroner nonsklerolik

b. Penyempitan aterorosklerotik
c.

Trombus

d. Plak aterosklerotik
e.

Lambatnya aliran darah didaerah plak atau oleh viserasi plak

f.

Peningkatan kebutuhan oksigen miokardium

g. Penurunan darah koroner melalui yang menyempit


h. Penyempitan arteri oleh perlambatan jantung selama tidur
i.

Spasme otot segmental pada arteri kejang otot.

Gejala klinis
a.

Keluhan utama klasik : nyeri dada sentral yang berat , seperti rasa terbakar, ditindih

benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang berlangsung 20 menit,
tidak berkurang dengan pemberian nitrat, gejala yang menyertai : berkeringat, pucat dan
mual, sulit bernapas, cemas, dan lemas.
b. Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat atau obat nitrat.
c.

Kelainan lain: di antaranya atrima, henti jantung atau gagal jantung akut.

d. Bisa atipik:
Pada manula: bisa kolaps atau bingung.
Pada pasien diabetes: perburukan status metabolik atau atau gagal jantung bisa tanpa disertai
nyeri dada.
Sebagian besar pasien memiliki faktor resiko atau penyakit jantung koroner yang diketahui .
50% tanpa disertai angina.

2.3 Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi
thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner derajat
tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner
terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor
seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture
atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi
thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian
histology menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture jika mempunyai vibrous
cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik
terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan
respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin)
memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan
A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan
konformasi reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor,
mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut
(integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fdibrinogen, dimana keduanya adalah
molekul multivalent yang dapat mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel yang rusak. Faktor
VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang kemudian
menkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan
mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang
disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner dan berbagai
penyakit inflamasi sistemik.
2.4 Manifestasi Klinis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesa secara cermat
apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada
yang berasal dari jantung dibedakan apakah nyerinnya berasal dari koroner atau bukan. Perlu
dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor risiko
antara lain hipertensi, diabetes militus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit
jantung koroner pada keluarga.
1. Nyeri Dada

Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah
pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah dalam jangka
panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Gejala ini merupakan
petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:
1. Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.
2. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti
ditusuk, rasa diperas, dan diplintir.
3. Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan juga ke lengan kanan.
4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
5. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
6. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas dan
lemas.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta
akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal, Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada
STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes militus dan usia lanjut.
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat
disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai
manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan atau hipotensi). Tanda fisis lain pada
disfungsi fentrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama
dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late
sistlik apical yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial
friction rub. Peningkatan suhu sampai 38C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca
STEMI.
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas
dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang
berdampingan atau 1mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung,
terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan
terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam
tatalaksana IMA, prinsip utama Penatalaksanaan adalah time is muscle.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau
keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak
kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan senter dalam menentukan
keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi perfusi. JIka pemeriksan
EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12

sandapan secara continue harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi
segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk
mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evlolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil
menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak total,
obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil atau non
STEMI. Pada bagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q
disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG
menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard miokard non
transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T,
namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark
(mural/transmural) sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA
mural/nontransmural.
2.6 Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-data dari evidence based
berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembnag ataupun konsesus
dari para ahli sesuai pedoman (guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian
dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan
terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat
beberapa pedoman (guidelie) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA
tahun 2004 dan ESC tahun 2003. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi
sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di
bidang kardiologi Intervensi).
1. Tatalaksana Awal
2. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu:
komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar
kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak,
yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya
terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien yang
dicurigai STEMI antara lain:
1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
2. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi.
3. Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf
medis dokter dan perawat yang terlatih.
4. Melakukan terapi perfusi.

Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan selama
transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai
keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa di tanggulangi dengan cara
edukasi kepada masyarakat oleh tenaga professional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedic di ambulans
yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali
komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi. Di Indonesia saat ini
pemberian trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.
Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien STEMI
dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter (PCI
primer). Implementasi strategi ini bervariasi tergantung cara transportasi pasien dan
kemampuan penerimaan rumah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu
transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik
total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:
1. JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memennuhi
syarat tetapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit sejak EMS
tiba.
2. Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien
dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital door-needle time harus
dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik.
3. Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien
dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-balloon time harus dalam
waktu 90 menit.

1. Tatalaksana di Ruang Emergensi


Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat
terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
1. Tatalaksana Umum

Oksigen

Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada
semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.

Nitrogliserin (NTG)

Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga

dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan


meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena
infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NGT
intravena. NGT intravena juga diberikan untuk mngendalikan hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau pasien
yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat,
paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek
hipotensi nitrat.

Mengurangi/menghilangkan nyeri dada

Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan
aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.

Morfin

Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang
dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai
pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis,
sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek
hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada kondisi tertentu diperlukan
penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik
yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan
infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mgIV.

Aspirin

Aspirinmerupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325
mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.

Penyekat Beta

Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain nitrat
mungkin efektif. Regimen yang bias adiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit
sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100
mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas
menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam dan dilanjutkan 100 mg
tiap 12 jam.

Terapi Reperfusi

Reperfusi dini akan memeperpendek lamaoklusi koroner, meminimlakan derajat disfungsi


dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi
pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-toneedle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-toballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
C. Tatalaksana di Rumah Sakit
1. ICCU
1. Aktivitas. Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama.
2. Diet. Karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien
harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama.
Diet mencakup lemak <30% kalori total dan kandungan kolesterol <300
mg/hari. Menu harus diperkaya dengan makanan yang kaya serat kalium,
magnesium dan rendah natrium.
3. Bowels. Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk
menghilangkan nyeri sering mengakibatkan konstipasi. Dianjurkan
penggunaan kursi komod di amping tempat tidur, diet tinggi serat dan
penggunaan pencahar ringna secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat
(200 mg/hari).
4. Sedasi. Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan
periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30 mg
atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3 atau 4 kali sehari biasanya efektif.
5.

i.

TERAPI FARMAKOLOGIS

6. Antitrombotik
Penggunaan terapi antilatetlet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti
klinis dan laboratories bahwa thrombosis mempunyai peran penting dalam pathogenesis.
Tujuan primer pengobatan adalah untuk mementapkan dan memepertahankan potensi arteri
kororner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi
thrombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI dapat dilihat pada
Antiplatelets Trialists Collaboration. Data dari hampir 20.000 pasien dengan infark miokard
yang berasal dari 15 randomised trial dikumpulkan dan menunjukkan penurunan relative laju
mortalitas sebesar 27% dari 14,2% pada kelompok control dibandingkan 10,4% pada pasien
yang mendapat antiplatelet. PAda penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas
vascular sebesar 23% dan infark nonfatal sebesar 49%.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi thrombosis pada
pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan abciximab dan
stenting dengan placebo dan stenting. Hasilnya menunjukkan penurunan kematian, reinfark
atau revaskularisasi segera dan 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stent.

Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah infractionated heparin.
Pemberian UFHIV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik
spesifik fibrin relative (tPA, rPA atau TNK) membantu trombolisis dan memantapkan serta
mempertahankanpatensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasi adlah bolus
60U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infuse inisial 12U/kg perjam (maksimum 1000
U/jam). Activated partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai
1,5-2 kali.
Antikoagulan alternative pada pasien STEMI adalah low molecular weight heparin (LMWH).
Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh memperbaiki
mortalitas reinfark di Rumah Sakit dan iskemik refrakter di Rumah Sakit.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat
emboli, thrombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko
tinggi tromboemboli paru terapeutik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan
sekurang-kurangnya 3 bulan.

2.8 Komplikasi STEMI


1. Disfungsi Ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling
ventricular dan umumnya mendahuluai berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam
hitungan bulan atau tahun pasca infark. SEgera setetlah infark ventrikel kiri mengalami
dilatasi. Secara akut, hasil ini berasala dari ekspansi infark al: slippage serat otot, disrupsi sel
miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula
pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan
elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan
ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan
prognosis lebih buruk Progresivitas dilatasi dan knsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan
terapi inhi bitot ACE dan vasodilator lain. PAda pasien dengan fraksi ejeksi <40%, tanpa
melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitore ACE harus diberikan.
1. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada
STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal
pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang
tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada
pemeriksaan rontgen sering dijumpai kongesti paru.
c. Komplikasi Mekanik

Ruptur muskulus papilaris, rupture septum ventrikel, rupture dinding vebtrikel.


Penatalaksanaan: operasi.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Data Demografi/ identitas
1. Nama : Tn. H
2. Umur : 53 Tahun
3. Alamat: Perak 73 Surabaya
4. Keluhan Utama
Rasa tertimpa beban berat pada dada kiri.
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Tn. H datang ke RS dengan keluhan nyeri dada juga dirasakan sangat nyeri seperti rasa
terbakar dan ditindih benda berat. Keluhan dirasakan menjalar ke lengan kiri tetapi keluhan
agak berkurang jika OS istirahat.

paru Vesikuler +/+, jantung : Bunyi SI-S2 reguler, cardiomegali (-), bising sistolik (-), dari
pemeriksaan penunjang EKG didapatkan ST elevasi : V1 V5 , ST depresed : II, III, AVF, V6
1. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu memiliki penyakit riwayat penyakit hipertensi.
1. Keadaan Umum
1. Suhu

: 36,5C

2. Nadi

: 88x/menit

3. Tekanan Darah: 120/80 mmHg


4. RR

: 30x/menit

5. Breathing
Gejala : napas pendek
1. Pemeriksaan fisik :
Tanda : dispnea, inspirasi mengi, takipnea, pernapasan dangkal.
1. Blood
Gejala : penyakit jantung congenital
Tanda : takikardia, disritmia, edema.
1. Brain
Gejala : nyeri pada dada anterior (sedang sampai berat/tajam) diperberat oleh inspirasi
Tanda : Gelisah
1. Bowel
Normal
1. Bladder
Normal
2. Bone
Gejala: kelelahan, kelemahan.
Tanda : takikardia, penurunan tekanan darah, dispnea dengan aktivitas
1. Terapi
Terapi yang diberikan untuk pasien ini berupa O2 3 4 liter/menit, posisi duduk, diit
jantung I, infus D 5% Lini 16 tetes/menit, Captopril 3 x 6.25 mg (ACE inhibitor), Aspilet 2 x

80 mg (anti platelet), ranitidin 2 x 150 mg (antagonis reseptor H2), Inj, ISDN diberikan
secara sub lingual bila dada terasa nyeri (Vasodilator).

3.2 Analisa Data

Data

Etiologi

DS: Klien mengeluh nyeri Vaskularisasi terganggu


pada bagian anterior,
diperberat oleh inspirasi, i
gerakan menelan.
Aliran darah ke arteri
DO: Gelisah, pucat
koronari terganggu

Masalah Keperawatan

Nyeri akut

i
Iskemia
i
As Laktat
i
Nyeri akut

DS: Disritmia
DO: riwayat penyakit
jantung konginetal

Kontraktilitas jantung
menurun

Penurunan Cardiac Output

i
Gagal jantung
i
Penurunan CO

DS: Pasien mengeluh lemah Rupture dalam pembuluh


karena hipoksia
darah

Perubahan perfusi jaringan

DO: Pasien terlihat lemah i


dan pucat karena O2
jaringan menurun.
Obstruksi pembuluh darah
i
Aliran darah ke jaringan
terganggu
i
Perubahan perfusi jaringan

DS: Klien mengeluh sesak, Perubahan perfusi jaringan


nafas pendek.
O2 dalam darah menurun
DO: dispnea, inspirasi
mengi, takipnea,
i
pernapasan dangkal.

Pola nafas tidak efektif

3.3Diagnosa dan Intervensi


1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan miokardium.
Kriteria hasil: Mengidentifikasi metode yang dapat menghilangkan nyeri,melaporkan nyeri
hilang atau terkontrol.
Intervensi :

Intervensi

Rasional

Kolaboratif
Berikan obat-obatan sesuai indikasi:
1. Agen non steroid, mis:
indometasin(indocin);, ASA(aspirin)

1. Dapat menghilangkan nyeri, menurunkan


respon inflamasi.

2. Antipiretik mis: ASA/asetaminofen


(tylenol)

2. Untuk menurunkan demam dan


meningkatkan kenyamanan.

3. Steroid

3. Diberikan untuk gejala yang lebih berat.

4. Oksigen 3-4 liter/menit

4. Memaksimalkan ketersediaan oksigen


untuk menurunkan beban kerja jantung dan
menurunkan ketidaknyamanan karena
iskemia.

Mandiri
1. Selidiki keluhan nyeri dada,
memperhatikan awitan, faktor
pemberat atau penurun

1. Mengetahui lokasi dan derajat nyeri. Pada


iskemia miokardium nyeri dapat
memburuk dengan inspirasi dalam,
gerakan atau berbaring dan hilang dengan
duduk tegak atau membungkuk.
2. Memberikan lingkungan yang tenang dan
tidakan kenyamanan. Mislanya merubah
posisi, menggunakan kompres hangat, dan
menggosok punggung
1. Tindakan ini dapat meningkatkan
kenyamanan fisik dan emosional
pasien.

2. Resiko terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan konstriksi


fungsi ventrikel, degenerasi otot jantung.
Kriteria hasil: Menurunkan episode dispnea, angina dan disritmia. Mengidentifikassi perilaku
untuk menurunkan beban kerja jantung.
Intervensi :

Intervensi

Rasional

Mandiri
1. Pantau irama dan frekuensi jantung

1. Takikardia dan disritmia dapat


terjadi saat jantung berupaya untuk
meningkatkan curahnya berespon
terhadap demam. Hipoksia, dan
asidosis karena iskemia.

1. Auskultasi bunyi jantung.


Perhatikan jarak / tonus jantung,
murmur, gallop S3 dan S4.

2. Memberikan deteksi dini dari


terjadinya komplikasi misalnya
GJK, tamponade jantung.
3. Menurunkan beban kerja jantung,
memaksimalkan curah jantung

1. Dorong tirah baring dalam posisi


semi fowler
2. Berikan tindakan kenyamanan
misalnya perubahan posisi dan
gosokan punggung, dan aktivitas
hiburan dalam toleransi jantung
3. Dorong penggunaan teknik
menejemen stress misalnya latihan
pernapasan dan bimbingan imajinasi
4. Evaluasi keluhan lelah, dispnea,
palpitasi, nyeri dada kontinyu.
Perhatikan adanya bunyi napas
adventisius, demam

4. Meningkatkan relaksasi dan


mengarahkan kembali perhatian

1. Perilaku ini dapat mengontrol


ansietas, meningkatkan relaksasi
dan menurunkan kerja jantung

1. Manifestasi klinis dari GJK yang


dapat menyertai endokarditis atau
miokarditis

Kolaboratif
1. Meningkatkan keseterdian oksigen

1. Berikan oksigen komplemen

untuk fungsi miokard dan


menurunkan efek metabolism
anaerob,yang terjadi sebagai akibat
dari hipoksia dan asidosis.
2. Dapat diberikan untuk
meningkatkan kontraktilitas
miokard dan menurunkan beban
kerja jantung pada adanya GJK
( miocarditis)

1. Berikan obat obatan sesuai dengan


indikasi misalnya digitalis, diuretik

1. Antibiotic/ anti microbial IV

3. Diberikan untuk mengatasi


pathogen yang teridentifikasi,
mencegah kerusakan jantung lebih
lanjut.
4. prosedur dapat dilakuan di tempat
tidur untuk menurunkan tekanan
cairan di sekitar jantung.
5. Penggantian katup mungkin
diperlukan untuk memperbaiki
curah jantung

1. Bantu dalam periokardiosintesis


darurat

1. Siapkan pasien untuk pembedahan


bila diindikasikan

3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b.d menurunya suplai oksegen ke otot.
Kriteria hasil: mempertahankan atau mendemonstrasikan perfusi jaringan adekuat secara
individual misalnya mental normal, tanda vital stabil, kulit hangat dan kering, nadi
perifer`ada atau kuat, masukan/ haluaran seimbang.
Intervensi:

Intervensi

Mandiri

Rasional

1. Evaluasi status mental. Perhatikikan 1. Indicator yang menunjukkan embolisasi


terjadinya hemiparalisis, afasia,
sistemik pada otak.
kejang, muntah, peningkatan TD.
2. Selidiki nyeri dada, dispnea tibatiba yang disertai dengan takipnea, 2. Emboli arteri, mempengaruhi jantung
nyeri pleuritik, sianosis, pucat
dan / atau organ vital lain, dapat terjadi
sebagai akibat dari penyakit katup, dan/
atau disritmia kronis
1. Tingkatkan tirah baring dengan
tepat

3. Dapat mencegah pembentukan atau


migrasi emboli pada pasien endokarditis.
Tirah baring lama, membawa resikonya
sendiri tentang terjadinya fenomena
tromboembolic.

4. Meningkatkan sirkulasi perifer dan


aliran balik vena karenanya menurunkan
resiko pembentukan thrombus.
1. Dorong latihan aktif/ bantu dengan
rentang gerak sesuai toleransi.

Kolaborasi
Berikan antikoagulan, contoh heparin,
warfarin (coumadin)

Heparin dapat digunakan secara profilaksis


bila pasien memerlukan tirah baring lama,
mengalami sepsis atau GJK, dan/atau
sebelum/sesudah bedah penggantian katup.
Catatan : Heparin kontraindikasi pada
perikarditis dan tamponade jantung.
Coumadin adalah obat pilihan untuk terapi
setelah penggantian katup jangka panjang,
atau adanya thrombus perifer.

4.Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan perfusi jaringan


Kriteria Hasil: mempertahankan pola nafas efektif bebas sianosis, dan tanda lain dari
hipoksia.
Intervensi:

Intervensi

Rasional

Mandiri:
1. Evaluasi frekuensi pernafasan dan
kedalaman. Contoh adanya dispnea,
penggunaan otot bantu nafas,
pelebaran nasal.

1. Lihat kulit dan membran mukosa


untuk adanya sianosis.

1.

Tinggikan kepala tempat tidur


letakkan pada posisi duduk tinggi
atau semifowler.

1. Kecepatan dan upaya mungkin


meningkat karena nyeri, takut,
demam, penurunan volume
sirkulasi, hipoksia atau diatensi
gaster.
2. Sianosis bibir, kuku, atau daun
telinga menunjukkan kondisi
hipoksia atau komplikasi paru
3. Merangsang fungsi
pernafasan/ekspansi paru. Efektif
pada pencegahan dan perbaikan
kongesti paru.

Kolaborasi:
Berikan tambahan oksigen dengan kanul
atau masker, sesuai indikasi

Meningkatkan pengiriman oksigen ke paru


untuk kebutuhan sirkulasi khususnya pada
adanya gangguan ventilasi

5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan degenerasi sel-sel otot miokard,
penurunan curah jantung
Kriteria hasil: menunjukkan toleransi aktivitas, menunjukkan pemahaman tentang
pembatasan terapeutik yang diperlukan.
Intervensi:

Intervensi

Mandiri

Rasional

1. Kaji respon pasien terhadap


aktivitas. Perhatikan adanya dan
perubahan dalam keluhan
kelemahan, keletihan, dan dispnea
berkenaan dengan aktivitas

1. Miokarditis menyebabkan
inflamasi dan kemungkinan
kerusakan sel-sel miokardial,
sebagai akibat GJK. Penurunan
pengisian dan curah jantung dapat
menyebabkan pengumpulan
cairan dalam kantung perikardial
bila ada perikarditis. Akhirnya
endikarditis dapat terjadi dengan
disfungsi katup, secara negatif
mempengaruhi curah jantung
2. Membantu derajad dekompensasi
jantung and pulmonal penurunan
TD, takikardia, disritmia, takipnea
adalah indikasi intoleransi jantung
terhadap aktivitas.

1. Pantau frekuensi dan irama


jantung, tekanan darah, dan
frekuensi pernapasan sebelum dan
sesudah aktivitas dan selam di
perluka

3. Demam meningkatkan kebutuhan


dan konsumsi oksigen, karenanya
meningkatkan beban kerja
jantung, dan menurunkan
toleransi aktivitas

2. Mempertahankan tirah baring


selama periode demam dan sesuai
indikasi.

4. Pada saat terjadi inflamasi klien


mungkin dapat melakukan
aktivitas yang diinginkan, kecuali
kerusakan miokard permanen.

1. Membantu klien dalam latihan


progresif bertahap sesegera
mungkin untuk turun dari tempat
tidur, mencatat respon tanda vital
dan toleransi pasien pada
peningkatan aktivitas

5. Ansietas akan terjadi karena


proses inflamasi dan nyeri yang di
timbulkan. Dikungan diperlukan
untuk mengatasi frustasi terhadap
hospitalisasi.

2. Evaluasi respon emosional

Kolaborasi
Berikan oksigen suplemen

Peningkatan ketersediaan oksigen


mengimbangi peningkatan konsumsi
oksigen yang terjadi dengan aktivitas.

1. Kurang pengetahuan kondisi penyakit


Kriteria hasil : menyatakan pemahaman tentang proses inflamasi, kebutuhan pengobatan dan
kemungkinan komplikasi.
Intervensi

Intervensi

Rasional

Mandiri
1. Jelaskan efek inflamasi pada
jantung, ajarkan untuk
memperhatikan gejala sehubungan
dengan komplikasi/berulangnya
dan gejala yang dilaporkan dengan
segera pada pemberi perawatan
misalny demam, nyeri,
peningkatan berat badan,
peningkatan toleransi terhadap
aktifitas.
2. Anjurkan pasien/orang terdekat
tentang dosis, tujuan dan efek
samping obat: kebutuhan
diet/pertimbangan khusus:
aktivitas yang diizinkan/dibatasi

1. Kaji ulang perlunya antibiotic


jangka panjang/terapi
antimikrobial

1. Untuk bertanggung jawab


terhadap kesehatan sendiri, pasien
perlu memahami penyebab
khusus, pengobatan, dan efek
jangka panjang yang diharapkan
dari kondisi inflamasi, sesuai
dengan tanda/gejala yang
menunjukkan
kekambuhan/komplikasi

1. Untuk bertanggung jawab


terhadap kesehatan sendiri, pasien
perlu memahami penyebab
khusus, pengobatan, dan efek
jangka panjang yang diharapkan
dari kondisi inflamasi, sesuai
dengan tanda/gejala yang
menunjukkan
kekambuhan/komplikasi
2. Perawatan di rumah sakit
lama/pemberian antibiotic
IV/antimicrobial perlu sampai
kultur darah negative/hasil darah
lain menunjukkan tak ada infeksi.
3. Pemahaman alasan untuk
pengawasan medis dan rencana
untuk/penerimaan tanggung jawab

1. Tekankan pentingnya evaluasi


perawatan medis teratur. Anjurkan

pasien membuat perjanjian.

3.4 Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau
intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). Evaluasi yang diharapkan pada pasien
dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah :
1. Nyeri hilang atau terkontrol
2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
3. Suplai oksigen adekuat.
4. Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
5. Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

Andrianto, Petrus. 1995. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Jakarta


http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35460-Kep%20Kardiovaskuler-Askep
%20IMA%20STEMI.html#popup

Anda mungkin juga menyukai