Anda di halaman 1dari 13

laporan pendahuluan diare atau GEA

(Gastroenteritis)
July 13, 2015 by Lestari
Pengertian
Gastroenteritis adalah inflamasi pada lapisan membran gastrointestinal (lambung dan
usus halus), yang ditandai dengan diare dan pada beberapa kasus dapat muntah- muntah yang
berakibat kehilangan cairan dan elektrolit yang menimbulkan dehidrasi dan gangguan elektrolit.
Batasan karakteristik frekuensi BAB yang digunakan sebagai acuan dalam penegakan diagnosa
adalah frekuensi BAB encer lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak dalam
sehari dapat/tanpa disertai lendir dan darah (Betz, 2009; Corwin, 2009, Ngastiah, 2005).
Epidemiologi
Diare merupakan salah satu penyebab tersering kesakitan pada bayi maupun pada anak-anak.
Diare adalah suatu gejala yang dihasikan oleh adanya masalah dalam proses pencernaan,
penyerapan dan juga fungsi sekresi sistem gastrointestinal yang nantinya dapat menyebabkan
gangguan pada transport cairan dan elektrolit. WHO memperkirakan bahwa terjadis ekita 1,3 juta
kejadian diare setiap tahunnya. Selain itu diperkirakan bahwa 24% kematian pada anak-anak
disebabkan oleh diare dan dehidrasi. Data di United States memperkirakan bahwa sekitar
200.000 anak masuk rumah sakit dan sekitar 200 anak meninggal setiap tahunnya akibat diare
dan dehidrasi (Perry, Hockenberry, Lowdermik, & Wilson, 2009).
Etiologi
Berikut ini merupakan beberapa faktor penyebab terjadinya diare, antara lain:
a. Faktor infeksi
1. Infeksi enteral (infeksi saluran pencernaan melalui makanan yang merupakan penyebab
utama diare)
2. Infeksi Virus
1. Rotavirus

Penyebab tersering diare akut pada bayi, sering didahului atau disertai
dengan muntah.

Timbul sepanjang tahun, tetapi biasanya pada musim dingin.

Dapat ditemukan demam atau muntah.

2. Enterovirus

Biasanya timbul pada musim panas.

3. Adenovirus

Timbul sepanjang tahun.

Menyebabkan gejala pada saluran pencernaan/pernafasan.

4. Norwalk

Epidemik

Dapat sembuh sendiri (dalam 24-48 jam).

3. Infeksi bakteri
1. Sigella

Insiden paling tinggi pada umur 1-5 tahun

Dapat dihubungkan dengan kejang demam.

Muntah yang tidak menonjol

Ditemukan sel polos dalam feses

Ditemukan sel batang dalam darah

2. Salmonella

Semua umur tetapi lebih tinggi di bawah umur 1 tahun

Menembus dinding usus, feses berdarah, mukoid

Mungkin ada peningkatan temperature

Muntah tidak menonjol

Sel polos dalam feses

Masa inkubasi 6-40 jam, lamanya 2-5 hari.

Organisme dapat ditemukan pada feses selama berbulan-bulan.

3. Escherichia coli

Baik yang menembus mukosa (feses berdarah) atau yang menghasilkan


enterotoksin.

Pasien (biasanya bayi) dapat terlihat sangat sakit.

4. Campylobacter

Sifatnya invasif (feses yang berdarah dan bercampur mukus) pada bayi
dapat menyebabkan diare berdarah tanpa manifestasi klinik yang lain.

Kram abdomen yang hebat

Muntah/dehidrasi jarang terjadi

5. Yersinia Enterecolitica

Sering didapatkan sel polos pada feses

Mungkin ada nyeri abdomen yang berat

Diare selama 1-2 minggu.

Sering menyerupai apendicitis.

o Infeksi Parasit
Seperti cacing (ascaris), protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia,
Tricomonas hominis dan jamur (Candida albicans).
b. Faktor Malabsorpsi
1. Malabsorbsi karbohidrat
2. Disakarida seperti : intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa
3. Monosakarida seperti : intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa
4. Malabsorbsi lemak : long chain triglyceride.
5. Malabsorbsi protein : asam amino, B-laktoglobulin
c. Penyebab lain
1. Imunodefisiensi

2. Gangguan psikologis (cemas dan takut)


3. Faktor-faktor langsung seperti KKP (Kurang Kalori Protein), Kesehatan pribadi dan
lingkungan serta Sosio ekonomi.
Cara penularan diare dapat melalui cara faecal-oral yaitu melalui makanan atau minuman yang
tercemar kuman atau kontak langsung tangan penderita atau tidak langsung melalui lalat
( melalui 5F = faeces, flies, food, fluid, finger). Beberapa perilaku yang dapat meningkatkan
risiko terjadinya diare pada balita (Depkes RI, 2007), yaitu :
1. Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama pada kehidupan. Pada balita yang
tidak diberi ASI resiko menderita diare lebih besar daripada balita yang diberi ASI penuh,
dan kemungkinan menderita dehidrasi berat lebih besar.
2. Menggunakan botol susu, penggunaan botol ini memudahkan pencemaran oleh kuman
karena botol susah dibersihkan. Penggunaan botol yang tidak bersih atau sudah dipakai
selama berjam-jam dibiarkan di lingkungan yang panas, sering menyebabkan infeksi usus
yang parah karena botol dapat tercemar oleh kuman-kuman/bakteri penyebab diare,
sehingga balita yang menggunakan botol tersebut beresiko terinfeksi diare.
3. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar, bila makanan disimpan beberapa jam pada
suhu kamar, makanan akan tercermar dan kuman akan berkembang biak.
4. Menggunakan air minum yang tercemar.
5. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja anak atau
sebelum makan dan menyuapi anak.
6. Tidak membuang tinja dengan benar, seringnya beranggapan bahwa tinja tidak
berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar.
Selain itu tinja binatang juga dapat menyebabkan infeksi pada manusia.
Disamping faktor risiko tersebut diatas ada beberapa faktor dari penderita yang dapat
meningkatkan kecenderungan untuk diare antara lain: kurang gizi/malnutrisi terutama
anak gizi buruk, penyakit imunodefisiensi/imunosupresi dan penderita campak
(Kemenkes RI, 2011).
Faktor Risiko
a. Faktor Gizi

Sutoto (2008) menjelaskan bahwa interaksi diare dan gizi kurang merupakan lingkaran
setan. Diare menyebabkan kekurangan gizi dan kondisi itu akan semakin memperberat
diare. Oleh karena itu, pengobatan dengan makanan yang tepat dan cukup merupakan
komponen utama pengelolaan klinis diare dan juga pengelolaan di rumah. Berat dan
lamanya diare sangat dipengaruhi oleh status gizi panderita dan diare yang diderita oleh
anak dengan kekurangan gizi lebih berat jika dibandingkan dengan anak yang status
gizinya baik karena anak dengan status gizi kurang keluaran cairan dan tinja lebih banyak

sehingga anak akan menderita dehidrasi berat. Menurut Suharyono (2005), bayi dan
balita yang kekurangan gizi, sebagian besarnya meninggal karena diare. Hal ini dapat
disebabkan karena dehidrasi dan malnutrisi.
b. Faktor Sosial Ekonomi

Faktor sosial ekonomi juga mempunyai pengaruh langsung terhadap faktor-faktor


penyebab diare. Kebanyakan anak yang mudah menderita diare berasal dari keluarga
yang besar dengan daya beli yang rendah, kondisi rumah yang buruk, tidak mempunyai
sediaan air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan, pendidikan orang tuanya yang
rendah dan sikap serta kebiasaan yang tidak menguntungkan. Karena itu edukasi dan
perbaikan ekonomi sangat berperan dalam pencegahan dan penanggulangan diare
(Simatupang, 2004).

c. Faktor Umur Balita

Sebagian besar diare terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun. Hasil analisa lanjut SDKI
(2002) didapatkan bahwa umur balita 12-24 bulan mempunyai resiko terjadi diare 2,23
kali dibandingkan anak umur 25-59 bulan (Simatupang, 2004).

d. Faktor ASI

ASI eksklusif adalah pemberian air susu ibu bayi baru lahir sampai usia 6 bulan, tanpa
diberikan makanan tambahan lainnya. Brotowasisto (2007), menyebutkan bahwa insiden
diare meningkat pada saat anak untuk pertama kali mengenal makanan tambahan dan
makin lama makin meningkat. Pemberian ASI penuh akan memberikan perlindungan
diare 4 kali daripada bayi dengan ASI disertai susu botol. Bayi dengan susu botol saja
akan mempunyai resiko diare lebih besar dan bahkan 30 kali lebih banyak daripada bayi
dengan ASI penuh (Simatupang, 2004).

Patofisiologi
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare (Ngastiah, 2005) yaitu:
a. Gangguan osmotik

Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik
dalam lumen usus naik sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam lumen
usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya
sehingga timbullah diare.

b. Gangguan sekresi

Akibat rangsangan tertentu (toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi
air dan elektrolit ke dalam lumen usus dan selanjutnya timbul diare karena kenaikan isi
lumen usus. Diare akibat gangguan transport elektrolit terjadi karena baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Diare tipe ini disebabkan adanya hambatan

mekanisme transport aktif NA+ K+ ATPase di enterosit dan absorpsi Na+ dan air yang
abnormal (Simadibrata, 2006). Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan
bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak rantai pendek,
atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin vasoactive
intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
c. Gangguan eksudatif

Diare eksudatif dan inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus
maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau
bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD)
atau akibat radiasi.
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada beberapa keadaan.
Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan hidrostatik dalam
pembuluh darah dan limfatik menyebabkan air, elektrolit, mukus, protein dan seringkali
sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare akibat
inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare osmotik dan diare
sekretorik.

d. Infeksi bakteri

Infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering dari diare. Dari sudut kelainan usus,
diare oleh bakteri dibagi atas non-invasif dan invasif (merusak mukosa). Bakteri noninvasif menyebabkan diare karena toksin yang disekresikan oleh bakteri tersebut.

e. Gangguan motilitas usus

Diare tipe ini disebabkan hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus sehingga
menyebabkan absorpsi yang abnormal di usus halus. Hiperperistaltik akan menyebabkan
berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan, sehingga timbul diare.
Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan,
selanjutnya dapat timbul diare pula.

Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada diare akibat infeksi bakteri paling
tidak ada dua mekanisme yang bekerja, yaitu peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di
usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan
terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit
dalam feses. Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi
penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan
produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih
mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus.
Diare akibat infeksi terutama ditularkan secara fekal oral. Hal ini disebabkan masukan minuman
atau makanan yang terkontaminasi. Penularannya adalah transmisi orang ke orang melalui
aerosolisasi (Norwalk, Rotavirus), tangan yang terkontaminasi (Clostridium difficile), atau
melalui aktivitas seksual. Faktor penentu terjadinya diare akut adalah faktor penyebab (agent)

dan faktor pejamu (host). Faktor pejamu adalah kemampuan pertahanan tubuh terhadap
mikroorganisme, yaitu faktor daya tahan tubuh atau lingkungan lumen saluran cerna, seperti
keasaman lambung, motilitas lambung, imunitas, juga mencakup lingkungan mikroflora usus.
Faktor penyebab yang mempengaruhi patogenesis antara lain daya penetrasi yang merusak sel
mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang mempengaruhi sekresi cairan di usus, serta daya
lekat kuman. Kuman tersebut membentuk koloni-koloni yang dapat menginduksi diare
(Smeltzer, 2002).
Klasifikasi
a. Menurut Wilson & Wong (2009) Gastroenteritis diklasifikasikan berdasarkan durasinya yaitu
1. Diare Akut
Diare akut merupakan penyebab tersering kesakitan pada anak-anak dibawah usia 5 tahun
dengan menunjukkan gejala peningkatan frekuensi dan perubahan konsitensi feses secara
tiba-tiba, biasanya disebabkan oleh agen infeksius pada saluran gastrointestinal. Gejala
ini biasanya berhubungan dengan infeksi saluran napas atas, infeksi saluran kemih,
penggunaan terapi antibiotik, dan juga penggunaan laksatif. Diare akut terjadi dengan
durasi kurang dari 14 hari dan tidak memerlukan terapi yang spesifik jika tidak terjadi
dehidrasi
2. Diare Kronis
Diare kronis terjadi selama lebih dari 14 hari yang juga ditandai dengan adanya
peningkatan frekuensi dan juga pengeluaran feses yang lebih encer. Biasanya disebabkan
oleh keadaan yang bersifat kronis seperti malabsorpsi, intoleransi laktosa, inflamatory
bowel syndrom (IBS), imunodefisiensi, dan juga akibat ketidakadekuatan terapi dari diare
akut.
3. Diare Kronis Tidak Spesifik
Diare kronis tidak spesifik sering pada usia anak-anak dan juga toddler yaitu pada usia 654 bulan. Karakteristik yang muncul pada diare kronis tidak spesifik adalah feses encer
dan sering dijumpai adanya partikel-partikel makanan yang tidak dicerna serta durasinya
lebih dari 14 hari. Anak yang mengalami diare kronis tidak spesifik biasanya tidak
mengalami masalah dalam pertumbuhan, tidak mengalami malnutrisi, tidak terdapat
darah dalam fesenya, dan juga tidak terdapat infeksi pada usus.
b. Menurut Mekanisme patofisilogik
1. Osmotik : diindikasikan dengan adanya faktor malabsorpsi akibat adanya gangguan
absorpsi karbohidrat, lemak, atau protein, dan tersering adalah malabsorpsi lemak.
2. Sekretorik : terdapat gangguan transport akibat adanya perbedaan osmotik intralumen
dengan mukosa yang besar sehingga terjadi penarikan cairan dan elektrolit ke dalam
lumen usus dalam jumlah besar.
Tingkat dehidrasi gastroenteritis:

1. Dehidrasi Ringan
Kehilangan cairan <5 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit kurang
elastis, suara serak, klien belum jatuh pada keadaan syok. Pada tingkat diare ini penderita
mengalami diare 3 kali atau lebih, kadang-kadang muntah, terasa haus, kencing sudah
mulai berkurang, nafsu makan menurun, aktifitas sudah mulai menurun, tekanan nadi
masih normal atau takikardia yang minimum dan pemeriksaan fisik dalam batas normal.
2. Dehidrasi Sedang
Kehilangan cairan 5-10 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit jelek,
suara serak, presyok nadi cepat dan dalam. Pada keadaan ini, penderita akan mengalami
produksi urin berkurang atau langsung tidak ada, irritabilitas atau lesu, mata dan ubunubun besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering, air
mata berkurang dan masa pengisian kapiler memanjang ( 2 detik) dengan kulit yang
dingin dan pucat
3. Dehidrasi Berat
Kehilangan cairan >10 % dari berat badan dengan gambaran klinik seperti tanda-tanda
dehidrasi sedang ditambah dengan kesadaran menurun, apatis sampai koma, otot-otot
kaku sampai sianosis.
Manifestasi Klinis
Gejala akibat kekurangan volume cairan dapat dikatagorikan berdasarkan derajat dehidrasi antara
lain:
a. Derajat Dehidrasi Berdasarkan Kehilangan Berat Badan

Tidak ada dehidrasi

Dehidrasi ringan bila terjadi penurunan berat badan 3-5%.

Dehidrasi sedang bila terjadi penurunan berat badan 6-9%

Dehidrasi berat bila terjadi penurunan berat badan 10%


(Ball & Bindler, 2003).

b. Turgor Kulit
Menentukan elastisitas turgor kulit dapat dilakukan dengan cara kulit perut dijepit antara ibu jari
dan telunjuk (selama 30-60 detik) kemudian dilepaskan, jika kulit kembali dalam :

1 detik : elastisitas turgor kulit agak kurang (dehidrasi ringan)

1-2 detik : elastisitas turgor kulit kurang (dehidrasi sedang)

2 detik : elastisitas turgor kulit sangat kurang (dehidrasi berat)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan, antara lain:
1. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan penunjang yang paling penting untuk penegakan diagnosis dan juga
pemberian tindakan pada gastroenteritis adalah dengan pemeriksaan feses. Pemeriksaan
Feses merupakan cara yang dilakukan untuk mengambil feces sebagai bahan
pemeriksaan. Indikasi dilakukan kultur feses adalah sebagai berikut:
Diare berat
Suhu tubuh > 38,50C
Adanya darah dan/atau lender pada feses, ditemukan leukosit pada feses, laktoferin, dan
diare persisten yang belum mendapat antibiotik.
Pemeriksaan feses terdiri dari pemeriksan lengkap dan pemeriksaan kultur.Pemeriksaan
feces lengkap merupakan pemeriksaan feces yang terdiri atas :
o Pemeriksaan makroskopik (dapat dilihat dengan mata telanjang: konsistensi,
warna, darah, lendir). Adanya darah dan lendir menandakan infeksi yang harus
segera diobati, yaitu infeksi karena amuba atau bakteri shigella.
o Pemeriksaan mikroskopik (hanya dapat dilihat melalui mikroskop: leukosit,
eritrosit, epitel, amilum, telur cacing dan amuba). Adanya amuba menandakan
adanya infeksi saluran cerna terhadap amuba tersebut, dan adanya telur cacing
menandakan harus diobatinya pasien dari infeksi parasit tersebut.
Sedangkan pemeriksaan kultur feses adalah pemeriksaan feces melalui biakan
bakteri dan mengidentifikasi jenis bakteri yang terdapat dalam sampel feces.
2. Pemeriksaan darah
o pH darah dan cadangan dikali dan elektrolit (Natrium, Kalium, Kalsium dan
Fosfor) dalam serum untuk menentukan keseimbangan asam basa.
o Kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
2. Doudenal Intubation ( pemeriksaan elektrolit intubasi duodenum )
Untuk mengatahui jasad renik atau parasit secara kualitatif dan kuantitatif, terutama
dilakukan pada penderita diare kronik.
3. Pemeriksaan urine lengkap
4. Pemeriksaan biakan empedu bila demam tinggi dan dicurigai infeksi sistemik
5. Pemeriksaan sediaan darah malaria serta serologi helicobacter jejuni sangat dianjurkan
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi :

a) Adanya muntah

b) BAB 3 x sehari dengan konsistensi yang cair

c) Ubun-ubun dapat ditemukan tampak cekung

d) Membran mukosa kering

e) Daerah anus tampak lecet-lecet

f) Tampak lemas

g) Frekuensi napas meningkat (pernapasan cepat dan dalam)

h) Mata tampak cekung

Auskultasi :

a) Bising usus hiperaktif > 5-35 x/menit

Palpasi :

a) Denyut nadi meningkat

b) Turgor kulit menurun

Perkusi :

a) Adanya distensi abdomen

Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung dan
pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadaran,
rasa haus, dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya: ubun-ubun besar cekung
atau tidak, mata: cowong atau tidak, ada atau tidaknya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah
kering atau basah (Juffrie, 2010).
Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolik. Bising usus yang lemah
atau tidak ada bila terdapat hipokalemia. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan
capillary refill dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi (Juffrie, 2010). Penilaian
beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara: obyektif yaitu dengan
membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Subyektif dengan menggunakan criteria
WHO dan lain-lain (Juffrie, 2010).
Therapi dan tindakan penanganan
Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana diare pada balita adalah LINTAS DIARE
(Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia dengan

rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-satunya cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki
kondisi usus serta mempercepat penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah anak
kekurangan gizi akibat diare juga menjadi cara untuk mengobati diare. Adapun program LINTAS
DIARE yaitu:
a. Rehidrasi menggunakan Oralit osmolalitas rendah
b. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
c. Teruskan pemberian ASI dan Makanan
d. Antibiotik Selektif
e. Nasihat kepada orang tua/pengasuh
Berikut dijelaskan program lintas diare.
1. Rehidrasi
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah tangga dengan
memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan cairan rumah
tangga seperti air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit saat ini yang beredar di pasaran
sudah oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat mengurangi rasa
mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk
mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum harus segera di bawa ke
sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui infus. Pemberian oralit
didasarkan pada derajat dehidrasi (Kemenkes RI, 2011).
1. Diare tanpa dehidrasi
Umur < 1 tahun : gelas setiap kali anak mencret
Umur 1 4 tahun : 1 gelas setiap kali anak mencret
Umur diatas 5 Tahun : 1 1 gelas setiap kali anak mencret
2. Diare dengan dehidrasi ringan sedang
Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb dan selanjutnya
diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi.
3. Diare dengan dehidrasi berat
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke Puskesmas untuk
di infus.
(Kemenkes RI, 2011)
2. Zinc
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Zinc dapat
menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana ekskresi enzim ini
meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel usus. Zinc juga berperan
dalam epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama
kejadian diare (Kemenkes RI, 2011). Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu
mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar,
mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan
berikutnya. Berdasarkan bukti ini semua anak diare harus diberi Zinc segera saat anak
mengalami diare.

Dosis pemberian Zinc pada balita:


a. Umur < 6 bulan : tablet (10 mg) per hari selama 10 hari
b. Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari.
Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti. Cara pemberian tablet
zinc : Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang atau ASI, sesudah larut berikan
pada anak diare (Kemenkes RI, 2011).
3. Pemberian ASI atau Makanan
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita
terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat
badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering di beri ASI. Anak yang minum
susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih
termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan yang
mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti,
pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat
badan (Kemenkes RI, 2011).
4. Pemberian Antibiotik
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare pada balita
yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita diare dengan
darah (sebagian besar karena shigellosis), suspek kolera (Kemenkes RI, 2011). Obatobatan anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang menderita diare karena
terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak dianjurkan kecuali muntah berat. Obatobatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan
sebagian besar menimbulkan efek samping yang berbahaya dan bisa berakibat fatal. Obat
anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia)
(Kemenkes RI, 2011).
5. Pemberian Nasihat
Menurut Kemenkes RI (2011), ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita
harus diberi nasehat tentang:
1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah
2. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila : Diare lebih sering,
Muntah berulang, Sangat haus, Makan/minum sedikit
Komplikasi
1. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik/ hipertonik
2. Renjatan hipovolemi
3. Hipokalemia/dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, takikardia, perubahan
EKG
4.

Hipoglikemia

5. Intoleransi sekunder akibat kerusakan vili mukosa usus dan defisiensi enzim laktosa
6. Kejang pada dehidrasi hipertonik
7. Malnutrisi energi protein (muntah dan mual bila lama/kronik)

Anda mungkin juga menyukai