TRIMESTER 2 dan 3
2.1. Hipertensi dalam Kehamilan 2.1.1. Definisi Hipertensi dalam Kehamilan
Hipertensi dalam kehamilan didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik 140
mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg (Boyce dkk, 2011). 2.1.2.
Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan. Berdasarkan Report of the National High
Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in
Pregnancy tahun 2000 yang digunakan sebagai acuan klasifikasi di Indonesia,
hipertensi dalam kehamilan dapat diklasifikasikan menjadi: 1) Hipertensi Kronik
2) Preeklampsia-eklampsia 3) Hipertensi kronik dengan superimposed
preeklampsia 4) Hipertensi gestasional 2.1.3. Diagnosis Hipertensi dalam
Kehamilan 1) Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur
kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah
umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca
persalinan. 2) Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria. 3) Eklampsia adalah preeklampsia yang
disertai dengan kejang-kejang atau koma. 4) Hipertensi kronik dengan
superimposed preeklampsia adalah hipertensi kronik disertai tanda-tanda
preeklampsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria. Universitas Sumatera
Utara 6 5) Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan
tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan
pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa
proteinuria. (Prawirohardjo, 2009) 2.1.4. Faktor Risiko Hipertensi dalam
Kehamilan Dari berbagai macam faktor risiko terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, maka dapat dikelompokkan sebagai berikut. 1) Primigravida 2)
Hiperplasentosis, seperti molahidatidosa, kehamilan ganda, diabetes melitus,
hidrops fetalis, bayi besar. 3) Umur yang ekstrim. 4) Riwayat keluarga yang
pernah mengalami preeklampsia dan eklampsia 5) Penyakit ginjal dan hipertensi
yang sudah ada sebelum hamil 6) Obesitas (prawirohardjo, 2009) 2.1.5.
Patofisiologi Hipertensi dalam Kehamilan Banyak teori yang dikemukakan
tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, yaitu: 1. Teori Kelainan
Vaskularisasi Plasenta Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas,
terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan
degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi
trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan
matriks menjadi hambur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami
distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi
dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular dan
peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta. Pada hipertensi dalam
kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis
dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri Universitas Sumatera Utara 7
spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak
memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis
relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan remodeling arteri
spiralis, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia
dan iskemia plasenta. Dampaknya akan menimbulkan perubahan pada
4.11.KORIOAMNIONITIS
Definisi
Korioamnionitis adalah infeksi pada korion dan amnion
Diagnosis
Korioamnionitis adalah diagnosis klinis yang ditegakkan bila ditemukan demam >38 0C
dengan 2 atau lebih tanda berikut ini:
Faktor predisposisi
Persalinan prematur
Persalinan lama
Alkohol
Rokok
Tatalaksana
a. Tatalaksana Umum
b. Tatalaksana Khusus
Definisi
intra uterine fetal deadth (IUFD) atau kematian janin dalam rahim adalah
kematian
janin
terjadi
usia kehamilan 28 minggu ke atas atau berat janin 1000 gram. (Moechtar R.
Pedarahan
Antepartum.
Dalam: Synopsis
Obstetri,
Obstetri
Fisiologis
dan
Obstetri Patologis, Edisi II. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998; 279)
(Rustam
Muchtar,
1998)
b.
Etiologi
Adapun penyebab IUFD:
1. perdarahan antepartum seperti plasenta previa dan solusio plasenta
2. pre eklamsi dan eklamsi
3. penyakit kelainan darah
4. penyakit infeksi menular
5. penyakit saluran kencing
6. penyakit endokrin sperti DM dan hipertiroid
7. malnutrisi
Faktor predisposisi IUFD
a. Factor ibu (High Risk Mothers)
1. status social ekonomi yang rendah
2. tingkat pendidikan ibu yang rendah
3. umur ibu yang melebihi 30 tahun atau kurang dari 20 tahun
4. paritas pertama atau paritas kelima atau lebih
5.
Diagnosis
1. Anamnesa/keluhan
a. Ibu tidak merasakan gerakan janin
b. Perut tidak bertambah besar
2. Inspeksi
Tidak tampak gerakan janin
3. palpasi
4.Auskultasi
DJJ (-)
5. Reaksi kehamilan
test kehamilan (-)
6. Rontgen foto abdomen
1. Adanya akumulasi gas dalam jantung dan pembuluh darah janin
2. Tanda nojosk
3. Tanda gernard
4. dTanda spalding
7. USG
Gerak anak tidak ada
8.Laboratorium
1. Reaksi biologis negative setelah 10 hari janin mati
2. Hipofibrinogenemia setelah 4-5 minggu janin mati
Kalau janin mati pada kehamilan yang telah lanjut terjadilah perubahanperubahan sebagai berikut :
a.
Rigor mortis
Maserasi Tingkat I
Timbul lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh ini mula-mula berisi cairan jernih. Tapi
kemudian menjadi merah. Berlangsung sampai 48 jam setelah mati.
c.
Maserasi Tingkat II
Lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah coklat, jam setelah anak
mati.
d.
Terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati. Badan janin sangat lemas,
hubungan antar tulang-tulang sangat longgar. Edema di bawah kulit.
d.
Komplikasi
Trauma emosional yg cukup berat terjadi bila wktu antara kematia janin
& persalinan cukup lama
Dapat terjadi infeksi bila ketuban pecah
Dapat terjadi koagulasi bila kematian janin berlangsung lebih dari 2minggu.
Kematian janin dalam kandungan 3-4 minggu, biasanya tidak memvbahayakan
ibu. Setelah lewat 4 minggu maka kemungkinan terjadinya kelainan darah
(hipofibrinogenemia) akan lebih besar. Kematian janin akan menyebabkan
desidua plasenta menjadi rusak menghasilkan tromboplastin masuk kedalam
peredaran darah ibu, pembekuan intravaskuler yang dimulai dari endotel
pembuluh darah oleh trombosit terjadilah pembekuan darah yang meluas
menjadi Disseminated intravascular coagulation hipofibrinogenemia (kadar
fibrinogen < 100 mg%).
Kadar normal fibrinogen pada wanita hamil adalah 300-700 mg%. Akibat
kekurangan fibrinogen maka dapat terjadi hemoragik postpartum. Partus
biasanya berlangsung 2-3 minggu setelah janin mati.
f.
Penanganan
1. Terapi
a.
Selama menunggu diagnosa pasti, ibu akan mengalami syok dan ketakutan
memikirkan bahwa bayinya telah meninggal. Pada tahap ini bidan berperan
sebagai motivator untuk meningkatkan kesiapan mental ibu dalam menerima
segala kemungkinan yang ada.
b.
minggu kehamilan.
Persiapan:
Kuretasi vakum
Kuretase tajam
2)
minggu
pemberian pertama.
pemberian pertama.
Kombinasi cara pertama dan ketiga untuk janin hidup maupun janin mati.
pemberian pertama.
sampai maksimal 60 tetes untuk primi dan multigravida, 40 tetes untuk grande
multigravida sebanyak 2 labu.
Catatan: dilakukan SC bila upaya melahirkan pervaginam tidak berhasil, atau bila
didapatkan indikasi ibu maupun janin untuk menyelesaikan persalinan.
2 .periksa ulangan (follow up)
Dilakukan kunjungan rumah pada hari ke 2, 6, 14, atau 40 hari. Dilakukan
pemeriksaan nifas seperti biasa. Mengkaji ulang tentang keadaan psikologis,
keadaan laktasi (penghentian ASI), dan penggunaan alat kontrasepsi.
Sumber: : http://jurnalbidandiah.blogspot.com/2012/04/intra-uterine-fetal-deadthiufd.html#ixzz4IRwQHQJ6
RUPTUR UTERI
Ruptura uteri atau robekan rahim merupakan peristiwa yang amat membahayakan baik untuuk ibu
maupun untuk janin.
Ruptura uteri dapat terjadi secara komplet dimana robekan terjadi pada semua lapisan miometrium
termasuk peritoneum dan dalam hal ini umumnya janin sudah berada dalam cavum abdomen dalam
keadaan mati ; ruptura inkomplet , robekan rahim secara parsial dan peritoneum masih utuh.
Angka kejadian sekitar 0.5%
Ruptura uteri dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma dan dapat terjadi pada uterus yang
utuh atau yang sudah mengalami cacat rahim (pasca miomektomi atau pasca sectio caesar) serta
dapat terjadi dalam pada ibu yang sedang inpartu (awal persalinan) atau belum inpartu (akhir
kehamilan)
Kejadian ruptura uteri yang berhubungan dengan cacat rahim adalah sekitar 40% ; ruptura uteri yang
berkaitan dengan low segmen caesarean section ( insisi tranversal ) adalah kurang dari 1% dan pada
classical caesarean section ( insisi longitudinal ) kira kira 4% 7%
Faktor resiko :
1.
Makrosomia
6. Grande multipara
DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN
Gejala dan tanda ruptura uteri sangat ber variasi.
Secara klasik, ruptura uteri ditandai dengan nyeri abdomen akut dan perdarahan
pervaginam berwarna merah segar serta keadaan janin yang memburuk.
Gejala ruptura uteri iminen :
1.
2. Hiperventilasi
3. Gelisah cemas
4. Takikardia
Pasien dengan uterus normal dan utuh memiliki resiko mengalami ruptura uteri paling kecil ( 0.013%
atau 1 : 7449 kehamilan )
Strategi pencegahan kejadian ruptura uteri langsung adalah dengan memperkecil jumlah pasien
dengan resiko ; kriteria pasien dengan resiko tinggi ruptura uteri adalah:
1.
PLASENTA PREVIA
Defenisi
- Plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim, sehingga
dapat menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum (OUI) .
- Plasenta yang ada di depan jalan lahir. (prae = di depan, vias = jalan), jadi
yang di maksud adalah plasenta implantasinya tidak normal sehingga menutupi
seluruh atau sebahagian jalan lahir (Ostium Uteri Internium).
Faktor Predisposisi :
1. Multiparitas dan umur lanjut ( >/ = 35 tahun).
2. Defek vaskularisasi desidua yang kemungkinan terjadi akibat perubahan
atrofik dan inflamatorotik.
3. Cacat atau jaringan parut pada endometrium oleh bekas pembedahan (SC,
Kuret, dll).
4. Chorion leave persisten.
5. Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima
hasil konsepsi.
6. Konsepsi dan nidasi terlambat.
7. Plasenta besar pada hamil ganda dan eritoblastosis atau hidrops fetalis.
KLASIFIKASI
1)
2)
3)
1)
2)
3)
1.
a)
b)
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
a)
b)
a)
b)
a)
b)
c)
a)
b)
c)
d)
Strassman mengatakan bahwa faktor terpenting adalah vaskularisasi yang kurang pda
desidua yang menyebabkan atrofi dan peradangan, sedangkan Browne menekankan bahwa
faktor terpenting ialah Vili Khorialis persisten pada desidua kapsularis.
d.Faktor-faktor Etiologi :
Umur dan Paritas
Pada Primigravida, umur diatas 35 tahun lebih sering daripada umur dibawah 25 tahun
Lebih sering pada paritas tinggi dari paritas rendah
Di Indonesia, menurut Toha, plasenta previa banyak dijumpai pada umur muda dan paritas
kecil; hal ini disebabkan banyak wanita Indonesia menikah pada usia muda dimana
endometrium masih belum matang (inferior).
Hipoplasia endometrium; bila kawin dan hamil pada usia muda
Endometrium cacat pada bekas persalinan berulang-ulang, bekas operasi, post operasi
caesar, kuretase, dan manual plasenta.
Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima hasil konsepsi.
Kehamilan janin kembar,.
Tumor-tumor, seperti mioma uteri, polip endometrium
Kadang-kadang pada malnutrisi.
Riwayat perokok.
e.Diagnosis dan Gejala Klinis
1. Anamnesis
Keluhan utama Perdarahan pada kehamilan setelah 28 minggu atau pada kehamilan lanjut
(trimester III)
Sifat perdarahan tanpa sebab, tanpa nyeri dan berulang
2. Inspeksi/inspekulo
Perdarahan keluar pervaginam (dari dalam uterus)
Tampak anemis
3. Palpasi abdomen
Janin sering blm cukup bulan, TFU masih rendah
Sering dijumpai kesalahan letak janin
Bagian terbawah janin belum turun
4. Pemeriksaan USG
Evaluasi letak dan posisi plasenta.
Posisi, presentasi, umur, tanda-tanda kehidupan janin.
Transabdominal ultrasonography
Suatu metode yang sederhana, akurat, dan aman untuk memvisualisasikan plasenta, teknik
ini memiliki keakuratan hingga 93-98%. Pembiasan hasil dan positif palsu dapat terjadi
pada kontraksi fokal uterus atau distensi vesika urinaria.
Transvaginal ultrasonography
Studi terbaru menunjukkan bahwa metode transvaginal ultrasonografi lebih akurat dan
aman dibanding metode transabdominal ultrasonografi. Suaru penelitian studi, 26% pasien
telah yang didiagnosa dengan plasenta previa oleh metode transabdominal ultrasonografi
dinyatakan salah setelah dicek ulang dengan transvaginal ultrasonografi.
Sudut antara probe transvaginal dan saluran cerviks diatur sedemikian rupa sehingga probe
tidak sampai masuk ke dalam servik. Beberapa ahli menyatakan probe dimasukkan tidak
lebih dari 3 cm untuk memberikan gambaran yang baik dari plasenta.
e) Transperineal ultrasonography.
Transperineal ultrasonography merupakan metode alternatif. Terutama pada kasus-kasus
kontraindikasi pemasukkan probe ke dalam kanal vagina. Tetapipemeriksaan lebih lanjut
perlu dilakukan untuk mengetahui efikasi dan efisiensinnya.
f) Magnetic resonance imaging (MRI.
MRI tetap merupakan cara yang aman dan paling baik untuk visualisasi placenta terutama
untuk menentukan visualisasi plasenta akreta.
PENANGANAN
Semua pasien dengan perdarahan per vagina pada kehamilan trimester ketiga,
dirawat di rumah sakit tanpa periksa dalam. Bila pasien dalam keadaan syok
karena pendarahan yang banyak, harus segera diperbaiki keadaan umumnya
dengan pemberian infus atau tranfusi darah. Selanjutnya penanganan plasenta
previa bergantung kepada : Keadaan umum pasien, kadar hb. Jumlah
perdarahan yang terjadi. Umur kehamilan/taksiran BB janin. Jenis plasenta
previa. Paritas clan kemajuan persalinan.
Penanganan Ekspektif
Kriteria :
- Umur kehamilan kurang dari 37 minggu. - Perdarahan sedikit - Belum ada
tanda-tanda persalinan - Keadaan umum baik, kadar Hb 8 gr% atau lebih.
Rencana Penanganan :
1. Istirahat baring mutlak. 2. Infus D 5% dan elektrolit 3. Spasmolitik. tokolitik,
plasentotrofik, roboransia. 4. Periksa Hb, HCT, COT, golongan darah. 5.
Pemeriksaan USG. 6. Awasi perdarahan terus-menerus, tekanan darah, nadi dan
denyut jantung janin. 7. Apabila ada tanda-tanda plasenta previa tergantung
keadaan pasien ditunggu sampai kehamilan 37 minggu selanjutnya penanganan
secara aktif.
Penanganan aktif
Kriteria
umur kehamilan >/ = 37 minggu, BB janin >/ = 2500 gram.
Perdarahan banyak 500 cc atau lebih.
Ada tanda-tanda persalinan.
Keadaan umum pasien tidak baik ibu anemis Hb < 8 gr%.
Untuk menentukan tindakan selanjutnya SC atau partus pervaginum, dilakukan
pemeriksaan dalam kamar operasi, infusi transfusi darah terpasang.
turun menjadi 7-25% terutama disebabkan oleh prematuritas, asfiksia, prolaps funikuli dan
persalinan buatan atau tindakan.
1)
2)
3)
4)
5)
a)
b)
c)
1.
2.
a)
b)
3.
a.Definisi
Solusio plasenta ialah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada corpus uteri sebelum
lahirnya janin, terjadi pada triwulan ketiga.
b.Klasifikasi Solusio Plasenta
Solusio plasenta totalis, bila plasenta terlepas seluruhnya
Solusio plasenta parsialis, bila plasenta sebagian terlepas
Ruptura sinus marginalis, bila hanya sebagian kecil pnggir plasenta yang terlepas.
Solusio plasenta dengan perdarahan yang keluar, perdarahan dapat menyelundup keluar
dibawah selaput ketuban.
Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, perdarahan tersembunyi dibelakang
plasenta.
Secara klinis berdasarkan derajat terlepasnya plasenta dan tanda klinik yang menyertainya,
solusio plasenta dibagi :
Solusio plasenta ringan
Solusio plasenta sedang
Solusio plasenta berat
Sebab yang jelas terjadinya solusio plasenta belum diketahui, hanya para ahli
mengemukakan teori:
Akibat turunnya tekanan darah secara tiba-tiba oleh spasme dari arteri yang menuju ke
ruangan interviler, maka terjadilah anoksemia dari jaringan bagian distalnya. Sebelum ini
menjadi nekrotis, Spasme hilang dan darah kembali mengalir ke dalam intervili, namun
pembuluh darah distal tadi sudah demikian rapuhnya serta mudah pecah, sehingga terjadi
hematoma yang lambat laun melepaskan plasenta dari rahim. Darah yang berkumpul
dibelakang plasenta disebut hematoma retroplasenter.
c.Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain :
Faktor vaskuler (80-90%), yaitu toksemia gravidarum, glomerulo nefritis kronika, dan
hipertensi esensial.
Karena desakan darah tinggi, maka pembuluh darah mudah pecah, kemudian terjadi
haematoma retroplasenter dan plasenta sebagian terlepas.
Faktor trauma:
Pengecilan yang tiba-tiba dari uterus pada hidramnion dan gemeli
Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar,
atau pertolongan persalinan.
Faktor paritas.
Lebih banyak dijumpai pada multi daripada primi. Holmer mencatat bahwa dari 83 kasus
solusio plasenta dijumpai 45 multi dan 13 primi.
4. Pengaruh lain seperti anemia, malnutrisi, tekanan uterus pada vena cava inferior, dan lainlain.
5. Trauma langsung seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.
Solusio plasenta yang ringan, pada umumnya tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas,
perdarahan antepartum hanya sedikit, dalam hal ini diagnosis baru kita tegakkan setelah
anak lahir. Pada plasenta kita dapati koagulum-koagulum darah dan karakter.
d. Diagnosis
Pada keadaan yang agak berat kita dapat membuat diagnosis berdasarkan :
1. Anamnesis
a) Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien bisa melokalisir tempat mana
yang paling sakit, dimana plasenta terlepas.
b) Perdarahan pervaginam yang sifatnya bisa hebat dan sekonyong-konyong (non-recurrent)
terdiri dari darah segar dan bekuan-bekuan darah.
c) Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak tidak
bergerak lagi).
d) Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, pandangan berkunang-kunang, ibu kelihatan
anemis tidak sesuai dengan banyaknya darah yang keluar.
e) Kadang-kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.
2. Inspeksi
a) Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
b) Pucat, sianosis, keringat dingin.
c) Kelihatan darah keluar pervaginam.
3. Palpasi
a) TFU naik karena terbentuknya retroplasenter hematoma; uterus tidak sesuai dengan tuanya
kehamilan.
b) Uterus teraba tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus)
baik waktu his maupun diluar his.
c) Nyeri tekan terutama di tempat plasenta tadi terlepas.
d) Bagian-bagian janin susah dikenali, karena perut (uterus) tegang.
4. Auskultasi
Sulit, karena uterus tegang. Bila denyut jantung janin terdengar biasanya diatas 140,
kemudian turun dibawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari
sepertiga.
5. Pemeriksaan dalam
a) Serviks bisa telah terbuka atau masih tertutup.
b) Kalau sudah terbuka maka ketuban dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his
maupun diluar his.
c) Kalau ketuban sudah pecah dan plasenta sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan turun
ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus plasenta, ini sering dikacaukan
dengan plasenta previa.
6. Pemeriksaan umum.
a) Tensi semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit vaskuler, tetapi
lambat laun turun dan pasien jatuh syok.
b) Nadi cepat, kecil, dan filiformis.
7. Pemeriksaan Ultrasonography (USG).
Ultrasonography adalah suatu metode yang penting untuk mengetahui adanya pendarahan
di dalam uterus. Kualitas dan sensitifitas ultrasonografi dalam mendeteksi solusio plasenta
telah meningkat secra signifikan belakangan ini.
Tetapi bagaimanapun juga ini bukan metode yang sempurna dan sensitif untuk mendeteksi
solusio plasenta, tercatat hanya 25% kasus solusio plasenta yang ditegakkan dengan USG.
Solusio plasenta tampak sebagai gambaran gumpalan darah retroplacental, tetapi tidak
semua solusio plasenta yang di USG ditemukan gambaran seperti di atas. Pada fase akut,
suatu perdarahan biasanya hyperechoic, atau bahkan isoechoic, maka kita bandingkan
dengan plasenta.
Gambaran konsisten yang mendukung diagnosa solusio plasenta antara lain adalah;
gumpalan hematom retroplasenta (hyperochoic hingga isoechoic pada fase akut, dan
berubah menjadi hypoechoic dalam satu minggu), gambaran perdarahan tersembunyi,
gambaran perdarahan yang meluas. Manfaat lainnya adalah USG dapat dipakai untuk
menyingkirkan kemungkinan penyebab lain perdarahan antepartum.
8. Pemeriksaan laboratorium
a) Urin
albumin (+); pada pemeriksaan sedimen terdapat silinder dan lekosit.
b) Darah
Hb menurun (anemi), periksa golongan darah, kalau bisa cross match test.
Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah
a/hipofibrinogenemia, maka diperiksakan pula COT (Clot Observation Test) tiap 1 jam, test
kualitatif fibrinogen (fiberindex), dan test kuantitatif fibrinogen (kadar normalnya 150 mg
%).
9. Pemeriksaan plasenta
Sesudah bayi dan plasenta lahir, kita periksa plasentanya. Biasanya tampak tipis dan cekung
di bagian plasenta yang terlepas (krater) dan terdapat koagulum atau darah beku di
belakang plasenta, yang disebut hematoma retroplasenter.
3. Perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya, mungkin disebabkan : ruptura sinus
marginalis, atau vasa previa.
e. komplikasi
Solusio Plasenta
a. Langsung (immediate)
1) Perdarahan
2) Infeksi
3) Emboli dan syok obstetrik
b. Komplikasi tidak langsung (delayed)
Tanda dan gejalanya belum diketahui secara pasti, perdarahan padainsersi velamentosa ini terlihat jika telah terjadi
vasa previa yaituperdarahan segera setelah ketuban pecah dan karena perdarahan iniberasal dari anak
dengan cepat bunyi jantung anak menjadi buruk bsa juga menyebabkan bayi tersebut meninggal.Satusatunya cara mengetahui adanya insersi velamentosa inisebelum terjadinya perdarahan adalah dengan
cara USG. Jadi sebaiknyapada ibu dengan kehamilan gemeli dianjurkan untuk dilakukanpemeriksaan
USG, karena untuk mengantisipasi dengan segalakemungkinan penyulit yang ada, salah satunya
insersio velamentosa ini.
(5)
Penatalaksanaan
Seksio sesarea.