Anda di halaman 1dari 10

DISPEPSIA

A. Definisi
Dispepsia adalah perasaan tidak nyaman atau nyeri pada abdomen
bagian atas atau dada bagian bawah. Salah cerna (indigestion) mungkin
digunakan oleh pasien untuk menggambarkan dispepsia, gejala regurgitasi atau
flatus (Grace & Borley, 2006). Menurut Tarigan (2003), dispepsia merupakan
kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak perut bagian atas
yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasa penuh saat
makan, cepat kenyang, kembung, sendawa, anoreksia, mual, muntah, heartburn,
regurgitasi.
B. Klasifikasi
Berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok gejala maka
dispepsia dibagi atas dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia
organik adalah apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya ada ulkus
peptikum, karsinoma lambung, kholelithiasis, yang bisa ditemukan secara
mudah. Dispepsia fungsional adalah apabila penyebab dispepsia tidak diketahui
atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional,
atau tidak ditemukannya adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit
sistemik (Tarigan, 2003).
Dispepsia fungsional dibagi menjadi dua kategori berdasarkan gejala atau
keluhan (Dobrek dan Thor, 2009):
a. Postprandial Distress Syndrome
- Rasa kembung setelah makan, terjadi setelah mengkonsumsi makanan
porsi biasa paling sedikit beberapa kali selama seminggu.
- Cepat terasa penuh perut sehingga tidak dapat mernghabiskan makanan
dengan porsi biasa paling tidak beberapa kali selama seminggu.
b. Epigastric Pain Syndrome
- Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi di epigastrium dengan tingkat
keparahan sedang yang dialami minimal sekali seminggu.
- Nyeri interimiten.
- Tidak berkurang dengan defekasi atau flatus.
- Tidak memenuhi kriteria kelainan kandung empedu. Sindroma dispepsia
dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis
sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik
berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tak nyaman

pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara
usus yang keras (borborigmi).
Menurut Calcaneus (2010), klasifikasi klinis praktis didasarkan atas
keluhan/gejala yang dominan. Dengan demikian, dispepsia dapat dibagi menjadi
3 tipe, yaitu dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia)
dengan gejala yang dominan adalah nyeri ulu hati, dispepsia dengan gejala
seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia) dengan gejala yang dominan
adalah kembung, mual, cepat kenyang, dan dispepsia nonspesifik yaitu
dispepsia yang tidak bisa digolongkan dalam satu kategori diatas.
C. Etiologi
1. Faktor Genetik
Genetik merupakan faktor predisposisi pada penderita gangguan
gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin
antiinflamasi (Il-10, TGF-). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat menyebabkan
peningkatan sensitisasi pada usus. Selain itu polimorfisme genetik berhubungan
dengan protein dari sistem reuptake synaptic serotonin serta reseptor
polimorfisme alpha adrenergik yang mempengaruhi motilitas dari usus (Dobrek
dan Thor, 2009).
Insiden keluarga yang mengalami gangguan fungsional gastrointestinal
berhubungan dengan potensi genetik. Perbedaan pada kelenjar axis hipotalamus
pituitary adrenal menjadi hasil temuan yang menarik. Pada pasien gangguan
gastrointestinal fungsional terjadi hiperaktifitas dari axis hypothalamus pituitarity
adrenal (Dobrek dan Thor, 2009).
2. Faktor Psikososial
Penyelidikan atas pengaruh psikososisal mengungkapkan bahwa stres
adalah faktor yang mempengaruhi dispepsia fungsional. Emosi labil memberikan
kontribusi terhadap perubahan fungsi gastrointestinal. Hal ini merupakan akibat
dari pengaruh pusat di enterik. Stres adalah faktor yang diduga dapat mengubah
gerakan dan aktivitas sekresi traktus gastrointestinal melalui mekanismeneuroendokrin (Dobrek dan Thor, 2009).
Beberapa

kepustakaan

menyebutkan

bahwa

anak-anak

dengan

gangguan fungsi gastrointestinal lebih lazim disebabkan karena kecemasan pada


diri mereka dan orang tua terutama ibu. Satu studi menyatakan bahwa stres atau
kecemasan dapat mengaktifkan reaksi disfungsi otonomik traktus gastrointestinal
yang dapat menyebabkan gejala sakit perut berulang (Dobrek dan Thor, 2009).

3. Pengaruh Flora Bakteri


Infeksi Hp menyebabkan dispepsia fungsional. Penyelidikan epidemiologi
menunjukkan kejadian infeksi Hp pada pasien dengan dispepsia cukup tinggi,
walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai pengaruh Hp terhadap
dispepsia fungsional. Diketahui bahwa Hp dapat merubah sel neuroendokrin
lambung. Sel neuroendokrin menyebabkan peningkatan sekresi lambung dan
menurunkan kadar somatostatin (Dobrek dan Thor, 2009).
4. Gangguan Motilitas dari Saluran Pencernaan
Stres mengakibatkan gangguan motilitas gastrointestinal. Pada pasien
dispepsia fungsional terjadi gangguan motilitas dibandingkan dengan kontrol
yang sehat, dari 17 penelitian kohort yang di teliti tahun 2000 menunjukkan
keterlambatan esensial pengosongan lambung pada 40% pasien dispepsia
fungsional. Gastric scintigraphy ultrasonography dan barostatic measure
menunjukkan terganggunya distribusi makanan didalam lambung, dimana terjadi
akumulasi isi lambung pada perut bagian bawah dan berkurangnya relaksasi
pada daerah antral. Dismolitas duodenum adalah keadaan patologis yang dapat
terjadi pada dispepsia fungsional, dimana terjadi gangguan aktivitas mioelektrikal
yang merupakan pengatur dari aktivitas gerakan gastrointestinal (Dobrek dan
Thor, 2009).
5. Hipersensitivitas Viseral
Hipersensitivitas viseral merupakan suatu distensi mekanik akibat
gastrointestinal hipersensitif terhadap rangsangan, merupakan salah satu
hipotesis penyakit gastrointestinal fungsional. Fenomena ini berdasarkan
mekanisme

perubahan

perifer.

Sensasi

viseral

ditransmisikan

dari

gastrointestinal ke otak, dimana sensasi nyeri dirasakan. Peningkatan persepsi


nyeri sentral berhubungan dengan peningkatan sinyal dari usus (Dobrek dan
Thor, 2009).
Peningkatan perangsangan pada dinding perut menunjukkan disfungsi
pada aktivitas aferen. Secara umum terganggunya aktivitas serabut aferen
lambung

mungkin

menyebabkan

timbulnya

gejala

dispepsia.

Dispepsia

fungsional juga ditandai oleh respon motilitas yang cepat setelah rangsangan
kemoreseptor usus. Hal ini mengakibatkan rasa mual dan penurunan motilitas
duodenum (Dobrek dan Thor, 2009).
Mekanisme hipersensitivitas viseral ini juga terkait dengan mekanisme
sentral. Penelitian pada nyeri viseral dan somatik menunjukkan bagian otak yang

terlibat dalam afektif, kognitif dan aspek emosional terhadap rasa sakit yang
berhubungan dengan pusat sistem saraf otonom. Kemungkinan bahwa
perubahan periperal pada gastrointestinal dimodulasi oleh mekanisme sentral.
Bagian kortikolimbikpontin otak adalah bagian pusat terpenting dalam persepsi
stimuli periperal (Dobrek dan Thor, 2009).
D. Patofisiologi (terlampir)
E. Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas keluhan/
gejala yang dominan menjadi tiga tipe yakni (Miele, et. al., 2004):
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia)
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (disminolity like dyspepsia)
3. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat
akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakit. Pembagian akut dan
kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak
nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa
dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita,
makan dapat memperburuk nyeri, sedangkan pada penderita lainnya,
makan bisa mengurangi nyeri. Gejala lain meliputi nafsu makan menurun,
mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung). Jika dispepsia
menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi respon
terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala
lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan.19,20
Gejala klinis dispepsia fungsional harus dapat kita bedakan dengan sakit
perut berulang yang disebabkan oleh kelainan organik yang mempunyai
tanda peringatan (alarm symptoms) seperti pada tabel berikut (Boediarso,
2010).
F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu,
diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil rendah

lemak dapat membantu mengurangi intensitas gejala. Ada juga yang


merekomendasikan untuk menghindari makan yang terlalu banyak terutama di
malam hari dan membagi asupan makanan sehari-hari menjadi beberapa
makanan kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi
relaksasi dan terapi perilaku.
2. Penatalaksanaan Farmakologis
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa obat, yaitu
1) Antasida
Golongan ini mudah didapat dan murah. Antasida akan menetralisir
sekresi

asam

lambung. Antasida

biasanya

mengandung

natrium

bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan magnesium trisiklat. Pemberian


antasida tidak dapat dilakukan terus-menerus, karena hanya bersifat
simtomatis untuk mengurangi nyeri. Magnesium trisiklat merupakan
adsorben nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare
karena terbentuk senyawa MgCl2.
2) Antikolinergik
Kerja obat ini tidak sepsifik, Obat yang agak selektif adalah pirenzepin
yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan
sekresi asam lambung sekitar 28% sampai 43%. Pirenzepin juga memiliki
efek sitoprotektif
3) Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik
atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan ini
adalah simetidin, ranitidin, dan famotidin.
4) Proton Pump inhibitor (PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir
dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan
PPI adalah omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
5) Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2)
selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi asam lambung oleh sel
parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan prostaglandin endogen, yang
selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus
dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan
protektif (sile protective) yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi
mukosa saluran cerna bagian atas.
6) Golongan Prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia

fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan


memperbaiki asam lambung.
7) Golongan Antidepresi
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti
depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena
tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan
seperti cemas dan depresi. Contoh dari obat ini adalah golongan trisiclic
antidepressants (TCA) seperti amitriptilin.
Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa
pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah pemberantasan
Helicobacter pylori, PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum didukung
bukti : antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal, antagonis
reseptor H2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotoninreuptake
inhibitor, sukralfat, dan antidepresan.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah
lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan
leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir
atau banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan
menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia
ulkus sebaiknya diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu
keganasan, dapat diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan
karsinoma kolon), dan CA 19-9 (dugaan karsinoma pancreas).
2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang
mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau
mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.
3. Endoskopi biasanya digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari
lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah
mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Hp. Endoskopi
merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus
terapeutik.
4. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi Hp,
urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi (Talley, et. al.,
2005).

H. Komplikasi
Komplikasi dari dispepsia yaitu luka pada lambung yang dalam atau
melebar tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung dan
dapat mengakibatkan kanker pada lambung.
I. Pencegahan
1. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko
dispepsia bagi individu yang belum ataupun mempunyai faktor resiko dengan
melaksanakan pola hidup sehat, promosi kesehatan (Health Promotion)
kepada masyarakat mengenai :
a.

Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana


mengenali dan menghindari keadaan yang potensial mencetuskan

b.

serangan dispepsia.
Menjaga sanitasi lingkungan

c.

sosioekonomi dan gizi dan penyediaan air bersih.


Khusus untuk bayi, perlu diperhatikan pemberian makanan. Makanan

agar

tetap

bersih,

perbaikan

yang diberikan harus diperhatikan porsinya sesuai dengan umur bayi.


d.

Susu yang diberikan juga diperhatikan porsi pemberiannya.


Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman yang

beralkohol, kopi serta merokok.


2. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan
pengobatan segera (Early Diagmosis and Prompt Treatment).
a.
Diagnosis Dini (Early Diagnosis)
Setiap penderita dispepsia sebaiknya diperiksa dengan cermat.
Evaluasi klinik meliputi anamnese yang teliti, pemeriksaan fisik,
laboratorik serta pemeriksaan penunjang yang diperlukan, misalnya
endoskopi atau ultrasonografi. Bila seorang penderita baru datang,
pemeriksaan lengkap dianjurkan bila terdapat keluhan yang berat,
muntah-muntah telah berlangsung lebih dari 4 minggu, penurunan
b.
-

berat badan dan usia lebih dari 40 tahun.


Pengobatan Segera (Prompt Treatment)
Diet mempunyai peranan yang sangat penting. Dasar diet tersebut
adalah makan sedikit berulang kali, makanan yang banyak
mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan
harus lembek, mudah dicerna, tidak merangsang peningkatan

dalam lambung dan kemungkinan dapat menetralisir asam HCL.


Perbaikan keadaan umum penderita

Pemasangan infus untuk pemberian cairan, elektrolit dan nutrisi.


Penjelasan penyakit kepada penderita.
3. Pencegahan Tersier (Tertiarry Prevention)
a.
Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi
penderita gangguan mental akibat tekanan yang dialami penderita
b.

dispepsia terhadap masalah yang dihadapi.


Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang sudah lama
dirawat di rumah sakit agar tidak mengalami gangguan ketika kembali
ke masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
AAP Subcommittee and NASPGHAN Committee on Chronic Abdominal Pain.
Chronic abdominal pain in children : A technical report of the American
Academy of Pediatrics and the North American Society for Pediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. JPGN. 2005;40:249-61.
Calcaneus. (2010). Dispepsia. Diunduh tanggal 31 Agustus 2016 dari :
http://www.tbmcalcaneus.org/dispepsia/
Dobrek L, Thor PJ. Pathophysiological concepts of functional dyspepsia and
irritable bowel syndrome future pharmacotherapy. Drug Reseach.
2009;66: 447 460.
Grace, A. P & Borley, R. N. (2006). At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga.
Jakarta : Erlangga.
Miele E, Simeone D, Marino A, reco L, Aurichio R, Novek SJ, dkk. Functional
gastrointestinal in children: an Italian prospective survey. Pediatrics.
2004;114:73-8.
Talley NJ, Vakil N. Guidelines for the management of dyspepsia. Am J
Gastroenterol. 2005;100:2324-37.
Tarigan, C. J. (2003). Perbedaan Depresi pada Pasien Dispepsia Fungsional dan
Dispepsia Organik. Diunduh tanggal 31 Agustus 2016 dari :
http://library.usu.ac.id/download/fk/psikiatri-citra.pdf

Patofisiologi

Anda mungkin juga menyukai

  • SKALA Triase Australasia
    SKALA Triase Australasia
    Dokumen25 halaman
    SKALA Triase Australasia
    Ketut Aryawan
    100% (4)
  • Form Mcu Awal
    Form Mcu Awal
    Dokumen2 halaman
    Form Mcu Awal
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • Patofis Asma
    Patofis Asma
    Dokumen2 halaman
    Patofis Asma
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • PNC
    PNC
    Dokumen25 halaman
    PNC
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • Mobilisasi Dini
    Mobilisasi Dini
    Dokumen12 halaman
    Mobilisasi Dini
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • Patofis Diare Fix
    Patofis Diare Fix
    Dokumen2 halaman
    Patofis Diare Fix
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • Isolation Room
    Isolation Room
    Dokumen8 halaman
    Isolation Room
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • Keluarga Dengan Anak Balita
    Keluarga Dengan Anak Balita
    Dokumen8 halaman
    Keluarga Dengan Anak Balita
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • PATOFISIOLOGI
    PATOFISIOLOGI
    Dokumen1 halaman
    PATOFISIOLOGI
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • SAP Keracunan
    SAP Keracunan
    Dokumen8 halaman
    SAP Keracunan
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • Patofisiologi Sepsis
    Patofisiologi Sepsis
    Dokumen2 halaman
    Patofisiologi Sepsis
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • LP Vulnus Apertum
    LP Vulnus Apertum
    Dokumen15 halaman
    LP Vulnus Apertum
    Dwi Retno Selvitriana
    100% (1)
  • Karsinoma Sel Basal
    Karsinoma Sel Basal
    Dokumen17 halaman
    Karsinoma Sel Basal
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • Lampiran Kuesioner Manajemen
    Lampiran Kuesioner Manajemen
    Dokumen13 halaman
    Lampiran Kuesioner Manajemen
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen12 halaman
    Bab I
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • LP Stemi Pci
    LP Stemi Pci
    Dokumen49 halaman
    LP Stemi Pci
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • LP Diabetic Foot
    LP Diabetic Foot
    Dokumen24 halaman
    LP Diabetic Foot
    Dwi Retno Selvitriana
    75% (4)
  • Kulit Histologi
    Kulit Histologi
    Dokumen10 halaman
    Kulit Histologi
    Laksmi Puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Basalioma Refrat
    Basalioma Refrat
    Dokumen18 halaman
    Basalioma Refrat
    OviAmoi
    Belum ada peringkat
  • Pyeloneprhitis
    Pyeloneprhitis
    Dokumen6 halaman
    Pyeloneprhitis
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • LP Dispepsia
    LP Dispepsia
    Dokumen10 halaman
    LP Dispepsia
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • Asidosis Metabolik
    Asidosis Metabolik
    Dokumen3 halaman
    Asidosis Metabolik
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • Pyeloneprhitis
    Pyeloneprhitis
    Dokumen6 halaman
    Pyeloneprhitis
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • GMO
    GMO
    Dokumen25 halaman
    GMO
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kelompok 1-Herpes
    Laporan Kelompok 1-Herpes
    Dokumen10 halaman
    Laporan Kelompok 1-Herpes
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • LP Hisprung
    LP Hisprung
    Dokumen23 halaman
    LP Hisprung
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • Pathway Adhf
    Pathway Adhf
    Dokumen2 halaman
    Pathway Adhf
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • BRONKIOLITIS
    BRONKIOLITIS
    Dokumen10 halaman
    BRONKIOLITIS
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat
  • BRONKIOLITIS
    BRONKIOLITIS
    Dokumen10 halaman
    BRONKIOLITIS
    Dwi Retno Selvitriana
    Belum ada peringkat