TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Skizofrenia
2.1.1 Definisi
Skizofrenia secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu
schizo yang berarti terpotong atau terpecah dan phrn yang berarti pikiran,
sehingga skizofrenia berarti pikiran yang terpecah (Veague, 2007). Arti dari katakata tersebut menjelaskan tentang karakteristik utama dari gangguan skizofrenia,
yaitu pemisahan antara pikiran, emosi, dan perilaku dari orang yang
mengalaminya. Definisi skizofrenia yang lebih mengacu kepada gejala
kelainannya adalah gangguan psikis yang ditandai oleh penyimpangan realitas,
penarikan diri dari interaksi sosial, juga disorganisasi persepsi, pikiran, dan
kognisi (Wiramihardja, 2007).
Dalam Diagnostic and Stastistical Manual of Mental Disorder, 4th edition
(DSM-IV), skizofrenia didefinisikan sebagai sekelompok ciri dari gejala positif
dan negatif, ketidakmampuan dalam fungsi sosial, pekerjaan ataupun hubungan
antar pribadi, dan menunjukkan terus gejala-gejala ini selama paling tidak enam
bulan. Referensi lain juga menyebutkan bahwa skizofrenia merupakan suatu
gangguan yang mencakup gejala kelainan kekacauan pada isi pikiran, bentuk
pikiran, persepsi, afeksi, perasaan terhadap diri sendiri, motivasi, perilaku, dan
fungsi interpersonal (Halgin & Whitboume, 2014). Berdasarkan definisi-definisi
yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa skizofrenia adalah salah
8
satu jenis kelainan mental yang mengacaukan hampir seluruh fungsi manusia
yang mencakup fungsi berpikir, persepsi, emosi, motivasi, perilaku, dan sosial.
2.1.2 Etiologi
Skizofrenia disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab skizofrenia telah
diselidiki dan menghasilkan beraneka ragam pandangan. Sebagian besar ilmuwan
meyakini bahwa skizofrenia adalah penyakit biologis yang disebabkan oleh faktor
faktor genetik, ketidakseimbangan kimiawi di otak, atau abnormalitas dalam
lingkungan prenatal. Berbagai peristiwa stress dalam hidup dapat memberikan
kontribusi pada perkembangan skizofrenia pada mereka yang telah memiliki
predisposisi pada penyakit ini. Penyebab munculnya skizofrenia terbagi menjadi
berbagai pendekatan seperti pendekatan biologis, teori psikogenik, dan
pendekatan gabungan atau stree-vulnerability model.
a. Pendekatan biologis
Pada pendekatan biologis menyangkut faktor genetik, struktur otak, dan
proses biokimia sebagai penyebab skizofrenia (Halgin, 1997).
1. Teori genetik
Teori ini menekankan pada ekspresi gen yang bisa menyebabkan
gangguan mental. Hasil dari beberapa penelitian menunjukan bahwa faktor
genetik sangat berperan dalam perkembangan skizofrenia, dimana ditemukan
hasil bahwa skizofrenia cenderung menurun dalam keluarga. Hal ini
dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan National Institute of Mental
10
(DISC),
G-Protein
Signalling-4
(RGS4),
Prolyne
11
kerentanan
seseorang
untuk
menjadi
seorang
dengan
skizofrenia.
2. Teori neurostruktural
Berdasarkan pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dan A
computed tomography (CT) scan otak pada orang-orang dengan skizofrenia
menunjukkan ada tiga tipe abnormalitas struktural, yaitu pembesaran pada
ventrikel otak, atrofi kortikal, dan asimetri serebral yang terbalik (reversed
cerebral asimetry) (Semiun, 2006).
a) Pembesaran pada ventrikel otak
Ventrikel adalah rongga atau saluran otak tempat cairan serebrospinal
mengalir, diperkirakan pada pasien skizofrenia terjadinya pembesaran pada
daerah ini hingga 20 hingga 50%. Kerusakan pada ventrikel berhubungan
dengan skizofrenia kronis dan simptom negatif (Semiun, 2006). Struktur otak
yang tidak normal seperti pembesaran ventrikel otak diyakini menyebabkan
tiga sampai empat orang yang mengalaminya menderita skizofrenia (Nevid,
12
dalam
memahami
masalah-masalah
kognitif
pada
pasien
skizofrenia.
3. Teori biokimia
Pada teori biokimia, dikenal hipotesis dopamin dan serotonin-glutamat.
Overaktivitas
reseptor
dopamin
saraf
pada
jalur
mesolimbik
bisa
13
tersebut
mengganggu
kognitif
yang
kemudian
3.
14
15
a. Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak
masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinan
itu tidak rasional, namun klien tetap meyakini kebenarannya.
b. Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa rangsangan (stimulus).
Misalnya klien mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan ditelingannya
padahal tidak ada sumber dari suara atau bisikan itu.
c. Kekacauan alam pikiran, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya.
Misalnya bicara kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.
d. Gaduh, gelisah tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan
semangat dan gembira berlebihan.
e. Merasa dirinya orang besar, merasa serba mampu, serba hebat, dan
sejenisnya.
f. Pikiran penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap
dirinya.
g. Menyimpan rasa permusuhan.
2.1.4 Gejala Negatif Skizofrenia
Gejala negatif skizofrenia merupakan gajala yang tersamar dan tidak
mengganggu keluarga ataupun masyarakat, oleh karenannya pihak keluarga
seringkali terlambat membawa klien berobat (Hawari, 2003). Gejala-gejala
nergatif yang diperlihatkan pada klien skizofrenia yaitu :
16
17
c. Skizofrenia Katatonia
Jenis skizofrenia yang ditandai dengan berbagai gangguan motorik,
termasuk kegembiraan ekstrim dan pingsan. Orang yang menderita bentuk
skizofrenia ini akan menampilkan gejala negatif: postur katatonik dan
fleksibilitas seperti lilin yang bisa di pertahankan dalam kurun waktu
yang panjang. Skizofrenia Tanpa Kriteria / Golongan yang jelas Jenis
skizofrenia dimana penderita penyakitnya memiliki delusi, halusinasi dan
perilaku tidak teratur tetapi tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia
paranoid, tidak teratur, atau katatonik.
d. Skizofrenia Residual
Skizofrenia residual akan di diagnosis ketika setidaknya epsiode dari
salah satu dari empat jenis skizofrenia yang lainnya telah terjadi. Tetapi
skizofrenia ini tidak mempunyai satu pun gejala positif yang menonjol.
2.1.6 Kriteria Diagnostik Skizofrenia
Adapun kriteria diagnostik skizofrenia meliputi (Maramis, 2009):
a. Gangguan pada isi pikiran
Delusi atau kepercayaan salah yang mendalam merupakan gangguan
pikiran yang paling umum dihubungkan dengan skizofrenia. Delusi ini
mencakup delusi rujukan, penyiksaan, kebesaran, cinta, kesalahan diri,
kontrol, nihil atau doss dan pengkhianatan. Delusi lain berkenan dengan
kepercayaan irasional mengenai suatu proses berpikir, seperti percaya bahwa
18
pikiran bisa disiarkan, dimasuki yang lain atau hilang dari alam pikirannya
karena paksaan dari orang lain atau objek dari luar. Delusi somatik meliputi
kepercayaan yang salah dan aneh tentang kerja tubuh, misalnya pasien
skizofrenia menganggap bahwa otaknya sudah dimakan rayap.
b. Gangguan pada bentuk pikiran, bahasa dan komunikasi
Proses berpikir dari pasien skizofrenia dapat menjadi tidak terorganisasi
dan tidak berfungsi, kemampuan berpikir mereka menjadi kehilangan logika,
cara mereka mengekspresikan dalam pikiran dan bahasa dapat menjadi tidak
dapat dimengerti, akan sangat membingungkan jika kita berkomunikasi
dengan penderita, gangguan pikiran. Contoh umum gangguan berpikir adalah
inkoheren, kehilangan asosiasi, neologisms, blocking dan pemakaian kata-kata
yang salah.
c. Gangguan persepsi halusinasi
Halusinasi adalah salah satu simpton skizofrenia yang merupakan
kesalahan dalam persepsi yang melibatkan kelima alat indera kita walaupun
halusinasi tidak begitu terikat pada stimulus yang di luar tetapi kelihatan
begitu nyata bagi pasien skizofrenia. Halusinasi tidak berada dalam kontrol
individu, tetapi tejadi begitu spontan walaupun individu mencoba untuk
menghalanginya.
19
20
21
terapi
baru,
cognitive
enhancement
therapy
(CET),
22
faktor yang meningkatkan hasil bagi klien, keterlibatan keluarga sering diabaikan
oleh para profesional perawatan kesehatan. Keluarga sering memiliki waktu yang
sulit menghadapi kompleksitas dan konsekuensi dari penyakit klien. Hal ini
menciptakan stres di antara anggota keluarga yang tidak menguntungkan bagi
anggota klien atau keluarga. Pendidikan keluarga membantu untuk membuat
anggota keluarga bagian dari tim pengobatan.
2.2 Pengertian Halusinasi
2.2.1 Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah pencerapan (persepsi) tanpa adanya rangsang apa pun
pada pancaindra seseorang,yang terjadi pada kesadaran sadar/bangun dasarnya
munkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik (Maramis, 1990). Oleh
karena itu secara singkat halusinasi adalah persepsi atau pengalaman palsu.
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang
ditandai dengan perubahan sensori persepsi; halusinasi merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, penciuman, perabaan atau penghidungan. Klien
merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada (Keliat, 2010).
2.2.2 Jenis Halusinasi
Menurt Stuart (2007), halusinasi dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu :
a. Halusinasi pendengaran : karakteristiknya ditandai dengan mendengar
suara terutama suara-suara orang biasanya klien mendengar suara orang
23
24
a. Tahap I (comforting):
Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang, secara umum halusinasi
merupakan suatu kesenangan dengan karakteristik klien mengalami ansietas,
kesepian, rasa bersalah dan ketakutan, mencoba berfokus pada pikiran yang dapat
menghilangkan ansietas, pikiran dan pengalaman masih dalam kontrol kesadaran
Perilaku klien yang mencirikan dari tahap I (comforting) yaitu tersenyum atau
tertawa sendiri, menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat,
respon verbal yang lambat, diam dan berkonsentrasi.
b. Tahap II (Condeming):
Menyalahkan, tingkat
kecemasan
25
26
Pikiran logis
Persepsi akurat
Emosi konsisten
Perilaku sesuai
Hubungan sosial
ketidakteraturan
Respon Maladatif
Kelainan pikiran
Halusinasi
disorganisasi
Emosi
Isolasi sosial
27
28
pengalaman masa lalu yang menghasilkan proses persepsi klien yang maladaptif
atau distruktif, misalnya kemarahan, kebencian, putus hubungan, pandangan
negatif pada orang lain, dan halusinasi. Kemudian dilatih persepsi klien terhadap
stimulus. Menurut Keliat (2005) TAK : Stimulasi Persepsi ada 5 sesi yakni sesi 1:
mengenal halusinasi, sesi 2 : mengontrol halusinasi dengan menghardik, sesi 3
:mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan, sesi 4 : Mencegah halusinasi
dengan cara bercakap-cakap, sesi 5 : Mengontrol halusinasi dengan patuh minum
obat.
Tujuan dari terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif atau persepsi
adalah meningkatkan kemampuan orientasi realita, meningkatkan kemampuan
29
memusatkan
perhatian,
meningkatkan
kemampuan
intelektual,
dan
30
satu
tugas
pemimpin
kelompok
yang
terpenting
adalah
31
dalam
32
mencapai tujuan. Hal ini memengaruhi anggota kelompok untuk tetap betah dalam
kelompok. Apa yang membuat anggota kelompok tertarik dan puas terhadap
kelompok, perlu diidentifikasi agar kehidupan kelompok dapat dipertahankan.
Pemimpin kelompok (terapis) perlu melakukan upaya agar kekohesifan kelompok
dapat terwujud, seperti mendorong anggota kelompok bicara satu sama lain,
diskusi dengan kata-kata "kita", menyampaikan kesamaan anggota kelompok,
membantu anggota kelompok untuk mendengarkan ketika yang lain bicara.
Kekohesifan perlu diukur melalui seberapa sering antar anggota memberi pujian
dan mengungkapkan kekaguman satu sama lain.
2.3.4 Prinsip Terapi Aktivitas Kelompok
Prinsip memilih klien untuk Terapi aktivitas kelompok Menurut Keliat (2005)
adalah sebagai berikut :
a. Gejala sama
Misalnya terapi aktivitas kelompok khusus untuk pasien depresi,
khusus untuk pasien halusinasi, dan lain sebagainya. Setiap
terapi
33
34
tercapai.
2.3.6 Peran Perawat Dalam Terapi Aktivitas Kelompok
Peran perawat jiwa professional dalam pelaksanaan terapi aktivitas kelompok
pada penderita skizofrenia adalah
a. Mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi
Sebelum melaksanakan terapi aktivitas kelompok, perawat harus
terlebih dahulu, membuat proposal. Proposal tersebut akan dijadikan
panduan dalam pelaksanaan terapi aktivitas kelompok, komponen yang
dapat disusun
klien, masalah
kelompok,
menjadi
motivator,
membantu
kelompok
35
intervensi
keperawatan
yang
dilakukan
untuk
36
2.4
37
38
39
40
4) Metoda
a) Diskusi dan tanya jawab.
b) Bermain peran/simulasi.
5) Langkah kegiatan
a) Persiapan
(1) Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok yang telah
mengikuti TAK stimulasi persepsi: halusinasi sesi 1.
(2) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
b) Orientasi
(1) Salam terpaeutik
(a) Salam dari terapis kepada klien.
(b) Klien dan terapis memakai papan nama.
(2) Evaluasi/validasi.
(a) Terapis menanyakan perasaan klien saat ini.
(b) Terapis menanyakan pengalaman halusinasi yang terjadi : isi,
waktu, situasi, dan perasaan.
(3) Kontrak.
(a) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu dengan latihan satu cara
mengontrol halusinasi.
(b) Menjelaskan aturan main berikut :
I. Jika ada klien yang akan meninggalkan kelompok harus
meminta ijin kepada terapis.
II. Lama kegiatan 45 menit.
41
42
cara
menghardik
halusinasi.
Anjurkan
klien
43
44
b) Orientasi
(1) Salam terapeutik
(a) Salam dari terapis kepada klien.
(b) Peserta dan terapis memakai papan nama.
(2) Evaluasi/validasi.
(a) Terapis menanyakan perasaan klien saat ini.
(b) Terapis menanyakan cara mengontrol halusinasi yang sudah
dipelajari.
(c) Terapis
menanyakan
pengalaman
klien
menerapkan
cara
menghardik halusinasi.
(3) Kontrak:
(a) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mencegah terjadinya
halusinasi dengan melakukan kegiatan.
(b) Menjelaskan aturan main berikut :
I. Jika ada klien yang akan meninggalkan kelompok harus
meminta ijin kepada terapis.
II. Lama kegiatan 45 menit.
III. Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c) Tahap kerja
(1) Terapis menjelaskan cara kedua, yaitu melakukan kegiatan
sehari-hari. Jelaskan bahwa dengan melakukan kegiatan yang
teratur akan mencegah munculnya halusinasi.
45
menggunakan
formulir,
terapis
menggunakan
whiteboard.
(5) Terapis melatih klien memperagakan kegiatan yang telah
disusun.
(6) Berikan pujian dengan tepuk tangan bersama kepada klien yang
sudah selesai membuat jadwal dan memperagakan kegiatan.
d) Tahap terminasi
(1) Evaluasi.
(a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah selesai menyusun
jadwal kegiatan dan memperagakannya.
(b) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
(2) Rencana tindak lanjut.
Terapis menganjurkan klien melaksanakan dua cara mengontrol
halusinasi, yaitu menghardik dan melakukan kegiatan.
46
membuat
kesepakatan
dengan
klien
untuk
TAK
47
2) Setting
a) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran.
b) Ruangan nyaman dan tenang.
3) Alat
a) Jadwal kegiatan harian klien dan pulpen.
b) Fliphchart/Whiteboard dan spidol.
4) Metoda
a) Diskusi dan tanya jawab
b) Bermain peran/simulasi
5) Langkah kegiatan
a) Persiapan
(1)
48
(3) Kontrak
(a) Terapis menjelaskan tujuan, yaitu mengontrol halusinasi
dengan bercakap-cakap.
(b) Terapis menjelaskan aturan main berikut :
I. Jika ada klien yang akan meninggalkan kelompok harus
meminta ijin kepada terapis.
II. Lama kegiatan 45 menit.
III. Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal samapai selesai.
c) Tahap kerja
(1) Terapis menjelaskan pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain
untuk mengontrol dan mencegah halusinasi.
(2) Terapis meminta setiap klien menyebutkan orang yang biasa dan
bisa diajak bercakap-cakap.
(3) Terapis meminta setiap klien menyebutkan pokok pembicaraan
yang biasa dan bisa dilakukan.
(4) Terapis memperagakan cara bercakap-cakap jika halusinasi
muncul, Suster, ada suara di telinga, saya mau ngobrol saja
dengan suster atau Suster, saya mau ngobrol tentang kapan saya
boleh pulang.
(5) Terapis meminta klien untuk memperagakan percakapan dengan
orang di sebelahnya.
(6) Berikan pujian atas keberhasilan klien.
(7) Ulangi kegiatan no. 5 dan 6 sampai semua klien mendapat giliran.
49
d) Tahap terminasi
(1) Evaluasi
(a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
(b) Terapis menanyakan TAK mengontrol halusinasi yang sudah
dilatih.
(c) Memberi pujian atas keberhasilan kelompok.
(2) Rencana tindak lanjut
Menganjurkan klien menggunakan tiga cara mengontrol halusinasi,
yaitu menghardik, melakukan kegiatan harian, dan bercakap-cakap.
(3) Kontrak yang akan datang
(a) Terapis membuat kesepakatan dengan klien untuk TAK
berikutnya, yaitu belajar cara mengontrol halusinasi dengan patuh
minum obat.
(b) Terapis menyepakati waktu dan tempat
6) Evaluasi dan dokumentasi
a) Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung, khususnya pada
tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai
dengan tujuan TAK. Untuk TAK Stimulasi persepsi halusinasi sesi 4,
dievaluasi kemampuan mencegah halusinasi dengan bercakap-cakap,
yaitu dengan menggunakan formulir evaluasi.
b) Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien ketika melakukan TAK
pada catatan proses keperawatan setiap klien. Contoh : klien mengikuti
TAK stimulasi persepsi : halusinasi sesi 4. Klien belum mampu secara
50
51
b) Orientasi
(1) Salam terpaeutik
(a) Salam dari terapis kepada klien.
(b) Peserta dan terapis memakai papan nama
(2) Evaluasi/validasi
(a) Menanyakan perasaan klien saat ini
(b) Terapis menanyakan pengalaman klien mengontrol halusinasi
setelah menggunakan tiga cara yang telah dipelajari (menghardik,
menyibukkan diri dengan kegiatan dan bercakap-cakap).
(3) Kontrak
(a) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan dengan anggota kelompok,
yaitu mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat.
(b) Menjelaskan aturan main berikut :
I. Jika klien akan meninggalkan kelompok harus meminta ijin
kepada terapis.
II. Lama kegiatan 45 menit.
III. Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c) Tahap kerja
(1) Terapis menjelaskan untungnya patuh minum obat, yaitu
mencegah kambuh, karena obat member perasaan tenang, dan
memperlambat kambuh.
(2) Terapis menjelaskan kerugian tidak patuh minum obat, yaitu
penyebab kambuh.
52
53
54
cara minum obat, manfaat minum obat, dan akibat tidak patuh minum obat
(kambuh). Anjurkan klien minum obat dengan cara yang benar