PENDAHULUAN
Pertanian merupakan bidang yang sangat penting untuk menunjang kehidupan umat manusia.
Perkembangan pertanian diawali dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat prasejarah, yaitu perubahan dari
budaya food gathering (berburu dan meramu) menjadi food producing (bercocok tanam). Sejak periode bercocok
tanam tersebut, bidang pertanian selalu mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Bahkan sejak
revolusi industri di Inggris akhir abad ke-18, industri pertanian, termasuk juga industri pengolahan hasil pertanian dan
industri pangan, berkembang dengan pesat.
Perkembangan bidang pertanian yang begitu pesat, ternyata menimbulkan permasalahan tersendiri. Menurut
Kasumbogo-Untung (2010), penerapan pertanian konvensional yang selama ini dilakukan antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Penerapan pertanian konvensional pada awalnya mampu meningkatkan produktivitas pertanian dan pangan secara
nyata, sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia. Tetapi ternyata diketahui kemudian efisiensi
produksi semakin lama semakin menurun karena pengaruh umpan balik berbagai dampak samping yang merugikan.
Untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, para pakar mengeluarkan gagasan mengenai pertanian
berkelanjutan. Dengan konsep pertanian berkelanjutan diharapkan sistem pertanian dapat bertahan sesuai dengan
perkembangan zaman, yaitu untuk memenuhi kebutuhan manusia pada masa sekarang dan masa yang akan
datang.Food and Agriculture Organization (FAO) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai manajemen dan
konservasi basis sumberdaya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin
tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang. Pembangunan pertanian
berkelanjutan menkonservasi lahan, air, sumberdaya genetik tanaman maupun hewan, tidak merusak lingkungan,
tepat guna secara teknis, layak secara ekonomis, dan diterima secara sosial (FAO, 1989). Sedangkan Thrupp (1996)
menjelaskan pertanian perkelanjutan sebagai praktek-praktek pertanian yang secara ekologi layak, secara ekonomi
menguntungkan, dan secara sosial dapat dipertanggungjawabkan
Dalam pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa petanian berkelanjutan bertumpu pada 3 pilar, yaitu ekologi,
ekonomi, dan sosial. Achmad-Suryana (2005) menghubungkan ketiga pilar tersebut menjadi sebuah diagram
Segitiga Pilar Pertanian Berkelanjutan, seperti yang terdapat dalam Gambar 1.
Mengamati Segitiga Pilar Pertanian Berkelanjutan pada Gambar 1, sesungguhnya ada salah satu pilar yang
tertinggal, yaitu Dimensi Teknologi. Teknologi mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan pertanian
berkelanjutan. Teknologi berperan dalam menjaga ekologi agar dapat digunakan secara optimal pada saat ini, tetapi
juga tetap memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang. Teknologi juga sangat berperan dalam Dimensi
Ekonomi, terutama untuk menciptakan efisiensi produksi, serta meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan laba
hasil pertanian.
Pentingnya teknologi dalam pertanian berkelanjutan sebenarnya telah tersurat secara gamblang dalam definisi
pertanian berkelanjutan menurut FAO (1989) dengan menyertakan kalimat . tepat guna secara teknis.. Oleh
karena itu, makalah ini akan membicarakan lebih jauh mengenai peran teknologi dalam bidang pertanian untuk
mendukung pertanian berkelanjutan, terutama dalam kaitannya dengan peningkatan nilai tambah, daya saing, dan
laba hasil pertanian.
FROM FARM TO TABLE
Untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian, teknologi diperlukan selama budidaya, penanganan pasca
panen, dan pengolahan hasil pertanian. Untuk meningkatkan daya saing di mata konsumen dan laba dari produkproduk pertanian, teknologi juga diperlukan selama distribusi dan penjualan (penyajian). Dapat disimpulkan bahwa
teknologi diperlukan sejak berada di lahan hingga disajikan di hadapan konsumen (from farm to table). Teknologi
tersebut diperlukan untuk mendukung pelaksanaan setiap tahap farm to table, yaitu good farming practices (cara
bertani yang baik), good handling practices (cara penanganan hasil panen yang baik), good manufacturing
practices(cara pengolahan hasil pertanian yang baik), good distribution practices (cara pengangkutan hasil pertanian
yang baik), dan good retailing practices (cara penyajian yang baik untuk konsumen).
(2004), GAP merupakan rekomendasi yang dapat digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas dan keamanan
tanaman pertanian selama dibudidayakan. Dalam hal ini GAP dapat difokuskan menjadi dasar pelaksanaan Good
Farming Practices (GFP). Good Farming Practices bertujuan untuk mendapatkan hasil panen yang baik atau bahan
baku industri pertanian yang baik. Ciri-ciri keberhasilan Good Farming Practices adalah hasil panennya secara
kuantitas (jumlah); kualitas (nilai gizi dan keamanan); serta kontinuitas (ketersediaan) dapat diandalkan.
Beberapa tahun belakangan ini, untuk mencapai tujuan Good Farming Practices dikembangkan suatu teknologi
rekayasan genetika, yang dikenal dengan nama Genetic Modified Organism (GMO). Tanaman hasil rekayasa
genetika terbukti mempu menghasilkan hasil panen (buah dan sayur) yang kuantitas, kualitas, dan kontinuitasnya
dapat diandalkan. Bahkan buah-buahan yang dihasilkan secara sensoris dapat memenuhi keinginan konsumen.
Tetapi sampai saat ini teknologi GMO tersebut masih diperdebatkan, karena sebagian ahli pangan dan kesehatan
masih mempertanyakan keamanan produk-produk hasil rekayasa genetika. Hal yang perlu digarisbawahi adalah
teknologi rekayasa genetika mampu menjawab tantangan untuk memenuhi keinginan konsumen akan suatu produk
pertanian. Jika masih ada yang sebagian ahli yang mempertanyakan keamanannya, maka teknologi rekayasa
genetika harus terus dikembangkan untuk menghasilkan produk-produk yang aman secara meyakinkan.
Sejalan dengan konsep pertanian berkelanjutan, di dalam Good Farming Practices juga ditekankan pentingnya
aspek ekologi, terutama untuk menghindari penurunan kesuburan tanah pertanian. Penggunaan pupuk kimia yang
selama ini diterapkan secara nyata telah merusak ekologi tanah, sehingga semakin lama kesuburan tanah semakin
berkurang. Oleh karena itu, penggunaan pupuk organik kembali digalakkan. Salah satu kelemahan pupuk organik
adalah bentuk dan ukurannya yang tidak teratur, sebab terbuat dari campuran kompos, kotoran hewan ternak, dan
bahan lain, sehingga menghambat penerapannya di lapangan. Di sini salah satu peran teknologi menjadi cukup
menonjol. Dengan adanya inovasi teknologi, telah diciptakan instalasi mesin Pupuk Organik Granul (POG). Inovasi
teknologi ini mampu menjadikan pupuk organik yang tidak bentuk dan ukurannya tidak beraturan menjadi pupuk
organik yang berbentuk butiran padat dengan ukuran 2-4 mm pada tingkat kekerasan tertentu, sehingga
mempermudah penggunaannya di lapangan.
Kesadaran tentang pentingnya pertanian berkelanjutan sudah menjadi trend global. Bahkan akhir-akhir ini negaranegara yang tergabung dalam Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) menyepakati untuk melakukan
pembangunan sektor pertanian secara berkelanjutan. Hal itu merupakan salah satu kesepakatan yang dihasilkan
dalam Pertemuan Tingkat Menteri APEC tentang Ketahanan Pangan yang pertama (The 1st APEC Ministerial
Meeting On Food Security) di selenggarakan Nigata, Jepang pada 16-17 Oktober 2010.
Pada kesempatan itu disepakati deklarasi tentang ketahanan pangan di kawasan Asia Pasifik atau Nigata
Declaration on APEC Food Security yang mana Indonesia berhasil memasukkan dua hal terkait upaya pencapaian
Ketahanan Pangan berkelanjutan. Kedua hal itu adalah pentingnya diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal
dan pentingnya kerjasama regional dalam mengatasi permasalahan kerawanan pangan darurat di kawasan (Antara,
2010).
Langkah kembali kepada sumber daya lokal juga merupakan salah satu penerapan Good Farming Practices. Selama
ini, akibat kebijakan era orde baru, tanaman pangan yang digalakkan untuk dibudidayakan hanya padi dan jagung.
Tanaman pangan lain, seperti sagu, ketela pohon, ubi jalar, umbi-umbian seperti uwi, talas, suweg, garut, ganyong,
gadung, pisang, sukun, labu kuning, dan sebagainya menjadi dianggap inferior dan dipandang sebelah mata oleh
masyarakat. Akibatnya, berbagai tanaman asli nusantara tersebut perlahan-lahan mulai menghilang. Padahal
menurut Murdijati-Gardjito (2010a), potensi jenis pangan di Indonesia ini sangat menakjubkan, karena telah
diidentifikasi, ada 77 macam tanaman sumber karbohidrat, 75 macam sumber lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389
jenis buah-buahan, 226 jenis sayuran, dan 110 jenis rempah-rempah.
Potensi yang melimpah tersebut sama sekali belum dioptimalkan oleh negara. Justru yang terjadi adalah impor
bahan pangan, terutama impor tepung terigu untuk keperluan industri dalam negeri. Hal tersebut menjadikan
Indonesia sebagai negara pengimpor pangan terbesar no 2 di dunia dengan nilainya Rp 50 triliun atau setara
dengan 5 milyar US Dollar (Kompas, 19/06/2010). Oleh sebab itu, alangkah baiknya apabila pertanian di Indonesia
kembali membudidayakan potensi pangan nusantara. Setelah sumber daya lokal tersebut kembali digalakkan,
selanjutnya inovasi dan teknologi berperan besar dalam mengolah ubi kayu, ubi jalar, dan umbi-umbian lain tersebut
menjadi pangan yang setara dengan beras atau tepung terigu.
Good Handling Practices
Bahan pertanian merupakan bahan yang mudah mengalami proses kerusakan (perishable), sehingga penanganan
bahan pertanian harus dilakukan dengan hati-hati. Good Handling Practices (GHP) adalah cara penanganan
pascapanen yang baik yang berkaitan dengan penerapan teknologi serta cara pemanfaatan sarana dan prasarana
yang digunakan. Good Handling Practices merupakan salah satu usaha untuk meminimalkan kerusakan pada bahan
pertanian pasca panen. Tahapan penanganan pasca panen hasil pertanian yang sering dilakukan antara lain sortasi,
pembersihan/pencucian, dan grading. Inovasi teknologi tepat guna telah banyak diaplikasikan pada beberapa
tahapan pasca panen, seperti pada proses pembersihan/pencucian dan proses grading.
Pencucian merupakan suatu upaya untuk membuang kotoran pada permukaan kulit buah atau sayuran, sekaligus
dapat mengurangi residu pestisida dan hama penyakit yang terbawa, sebelum komoditi tersebut dikonsumsi atau
diolah lebih lanjut. Pencucian dapat berfungsi juga untuk pre-cooling, yaitu untuk menurunkan suhu bahan pertanian,
agar laju respirasi bahan pertanian tersebut semakin lambat, dan laju kerusakannya semakin lambat pula. Dalam
skala industri, inovasi teknologi telah mempermudah proses pencucian buah atau sayuran ini. Hal ini terbukti dengan
terciptanya alat pencuci buah atau alat pencuci sayuran. Tidak dapat dibayangkan jika tidak ada alat pencuci buah
atau sayur, padahal suatu industri harus mencuci berton-ton buah atau sayur dalam sehari.
Inovasi teknologi tepat guna juga telah banyak diaplikasikan pada proses grading buah-buahan, contohnya pada
buah jeruk. Jeruk dapat dipisahkan berdasarkan ukurannya dengan suatu mesin, dimana tingkat ukuran
tiap gradedapat diatur. Mesin grading terdiri dari beberapa bagian yaitu hopper, meja sortasi yang terdapat lubang
untuk pengeluaran, penggerak dan transmisi, serta frame. Alat grading buah jeruk ini bekerja berdasarkan prinsip
gravitasi. Buah jeruk cukup dicurahkan pada hopper, selanjutnya buah menggelinding di dalam meja sortasi. Buah
jeruk yang diameter vertikalnya lebih kecil dari diameter lubang, akan lolos atau jatuh akibat beratnya sendiri,
sedangkan buah jeruk yang belum lolos akan menggelinding menuju lubang pengeluaran yang lebih besaur yang
terdapat di bawahnya. Sekali lagi teknologi membuktikan pera strategisnya dalam bidang pertanian.
Good Manufacturing Practices
Good Manufacturing Practices (GMP), dikenal pula dengan nama Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB),
merupakan sekumpulan ketentuan/pedoman untuk melaksanakan proses produksi dengan baik dan benar. Tujuan
utama Good Manufacturing Practices adalah menciptakan produk olahan secara sensoris diterima dan aman
apabila dikonsumsi. Inovasi dan teknologi merupakan tulang punggung dalam untuk mencapai tujuan tersebut.
Peranan inovasi dan teknologi untuk menciptakan produk olahan yang secara sensoris diterima konsumen dapat
terlihat jelas pada pengolahan produk-produk pangan lokal, seperti sagu, ketela pohon, ubi jalar, dan umbi-umbian.
Tujuan inovasi pengolahan bahan lokal tersebut, terutama untuk mensejajarkan nilainya dengan beras atau tepung
terigu di mata konsumen. Teknologi penepungan merupakan salah satu contoh yang baik untuk diaplikasikan pada
bahan lokal. Menurut Murdijati-Gardjito (2010b), dalam bentuk tepung akan mempunyai kadar air yang lebih rendah.
Selain itu, tepung lebih mudah didistribusikan, lebih awet, serta lebih luwes penggunaannya, seperti bubur, puding,
kue basah, kue kering, dan berbagai macam hidangan lain.
Inovasi dan teknologi penepungan tersebut sampai sekarang masih dikembangkan oleh para peneliti dan ahli
pangan di seluruh dunia. Penelitian yang masih dikembangkan antara lain penelitian mengenai tepung ubi kayu
(Arye, et al., 2006; Falade, et al., 2007; Shittu, et al., 2008; Sciarini,et al., 2008; Akingbala, et al., 2009), penelitian
mengenai tepung ubi jalar (Yadav, et al., 2006; Jasim-Ahmed, et al., 2006; Zaidul, et al., 2008; Krishnan, et al., 2010),
penelitian mengenai tepung sagu (Purwani, et al., 2006; Wong, et al., 2007; Singhal, et al., 2008; Datu, et al., 2010),
penelitian mengenai tepung pisang (Zhang, et al., 2005; Rodrguez-Ambriz, et al., 2008; Nwokocha., et al., 2009;
Martinez, et al., 2009; Chong Li Choo, et al., 2010), serta penelitian mengenai umbi-umbian lainnya (Perez, et al.,
2005; Jaykodi, et al., 2007; Sutardi, et al., 2009). Harapannya, penelitian-penelitian tersebut dapat menghasilkan
teknologi untuk memproduksi tepung secara optimal, dan selanjutnya tepung tersebut dapat diolah lebih lanjut
menjadi produk yang secara sensoris dapat diterima oleh konsumen.
Peranan inovasi dan teknologi untuk menciptakan produk olahan yang aman untuk dikonsumsi juga signifikan.
Inovasi tersebut diperlukan untuk menghilangkan mikroorganisme patogen atau senyawa berbahaya dalam bahan
pertanian. Sejak ditemukan teknik sterilisasi dan pasteurisasi untuk menghilangkan mikrobia patogen pada produk
pangan, teknologi untuk menciptakan produk yang aman terus berkembang. Tetapi teknologi yang dikembangkan
masih melibatkan panas (thermal process). Kemudian, diketahui bahwa proses yang melibatkan panas dapat
menurunkan nilai gizi atau mutu bahan pertanian, sehingga saat ini trend pengembangan teknologi tersebut
mengarah pada proses-proses non-thermal (tidak melibatkan panas).
Salah satu contoh untuk proses non-thermal untuk menciptakan makanan yang aman dikonsumsi adalah High
Hydrostatic Pressure (HHP). HHP salah satu metode untuk mengurangi populasi mikrobia dalam pangan
dengantekanan yang tinggi tanpa penambahan panas (Cheftel, 1995). Proses ini dapat mempertahankan kualitas
sensoris bahan pangan, mempertahankan kesegaran alaminya, mempertahankan nilai gizinya, serta
memperpanjang umur simpan bahan pangan. Contoh aplikasi HHP pada hasil pertanian antara lain kubis (Lin Li, et
al., 2010); wortel,, apel, kacang hijau (Yucel, et al., 2010); raspberry, strawberry (Palazon, et al., 2004); dan
sebagainya. Bahkan HHP dapat diaplikasikan juga pada susu (Dongsheng Guan, et al., 2005); yoghurt (Penna, et al.,
2007); daging (Zhou, et al.,2010); keju (Delgado, et al., 2010); dan juice (Ferrari, et al., 2010).
Selain HHP, contoh-contoh proses non-thermal yang telah ditemukan dan dapat diaplikasikan pada bidang
pangan/pertanian antara lain light pulse (Barbosa, 1997); Radio Frequency Electric Fields (Gaveke,
2007); ultrasonic(Elvira, 2007); teknologi isotop dan radiasi (Anonim, 2010); HIPEF (high intensity pulsed electric
field) (Morales, 2010); teknologi pasteurisasi dengan electron beam (Salengke, 2011); dan sebagainya. Selanjutnya,
berbagai teknologinon-thermal tersebut diharapkan dapat dikembangkan lagi untuk menciptakan produk-produk
olahan hasil pertanian yang aman dikonsumsi, dengan tetap mempertahankan nilai gizi dan mutunya.
Ketentuan Good Manufacturing Practices mulai diperkenalkan pada akhir Tahun 1980-an. Setelah itu Good
Manufacturing Practices mengalami perkembangan menjadi HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), dan
selanjutnya mengalami penyempurnaan menjadi ISO 22000:2005 tentang Sistem Manajemen Keamanan
Pangan.Ketiga hal tersebut pada prinsipnya sama, yaitu untuk menciptakan dan menjamin keamanan produk
pangan. Hal yang perlu ditekankan adalah ketiga pedoman tersebut tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik,
tanpa dukungan teknologi.
Saat ini, indikator proses produksi yang baik oleh suatu industri ternyata bukan hanya dihasilkannya produk yang
secara sensori dan keamanannya memenuhi kriteria yang diinginkan konsumen. Lebih jauh dari itu, indikator proses
produksi yang baik adalah tidak adanya limbah yang ditinggalkan oleh industri tersebut (zero waste). Bahkan ada
semacam kesepakatan tidak tertulis bagi orang-orang yang peduli terhadap lingkungan bahwa mereka tidak akan
membeli/mengkonsumsi barang-barang yang dihasilkan suatu indsutri yang masih meninggalkan limbah dan
merusak lingkungan. Tuntutan jaman seperti ini lah yang sekali lagi harus dijawab oleh inovasi teknologi. Teknologi
harus terus dikembangkan untuk meminimalisir limbah yang dihasilkan dari suatu proses produksi. Jika suatu proses
produksi masih menyisakan limbah, inovasi teknologi harus mampu mendaur ulang limbah tersebut menjadi produk
lain yang bermanfaat. Jika limbah yang dihasilkan ternyata tidak dapat didaur ulang, maka teknologi harus dapat
menangani limbah tersebut agar tidak berbahaya bagi manusia. Hal ini sesuai dengan prinsip pengelolaan limbah
yang harus dilakukan secara berurutan yaitu (a) minimalisasi limbah, (b) pemanfaatan limbah, dan (c) penanganan
limbah.
Pada prinsipnya, produk pertanian harus sampai di tangan konsumen dalam kondisi yang baik. Proses distribusi
berresiko untuk mempercepat terjadinya kerusakan, sebab kemungkinan terjadinya tekanan mekanis yang dapat
menyebabkan luka atau memar sangat besar. Oleh karena itu, diperlukan berbagai inovasi bahan pengemas dan
pelindung, agar produk pertanian terhindar dari sinar matahari, tekanan mekanis, pukulan, getaran, maupun
benturan yang dapat menyebabkan luka dan memar selama proses distribusi.
Waktu yang dibutuhkan selama perjalanan, juga berpengaruh terhadap kerusakan bahan pertanian. Semakin lama
waktu yang dibutuhkan untuk proses distribusi, maka semakin besar juga kemungkinan terjadi penurunan mutu
bahan pertanian. Hal ini disebabkan, bahan pertanian masih mengalami proses fisiologis, seperti respirasi dan
transpirasi, meskipun bahan pertanian tersebut sudah lepas dari tanaman induknya (sudah dipanen) (Weichmann,
1987). Respirasi merupakan proses oksidasi substrat komplek menjadi lebih sederhana (Lambers, et al., 2005),
sehingga semakin cepat respirasi akan semakin mempercepat kerusakan bahan pertanian. Kecepatan respirasi
antara lain dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi O2, konsentrasi CO2, serta konsentrasi CO (Ryall dan Lipton, 1972).
Berdasarkan pengertian tersebut, diperlukan inovasi dan teknologi untuk mengendalikan laju respirasi bahan
pertanian selama distribusi. Inovasi teknologi mampu menjawab tantangan dengan terciptanya kontainer distribusi
yang dapat diatur suhu, kelembaban udara, komposisi udara, bahkan tekanannya. Alat tersebut dikenal dengan
namaControlled Atmosphere Storage (CAS), Modified Atmosphere Storage (MAS), penyimpanan dengan
pendinginan, dan penyimpanan hipobarik. Saat ini, teknologi tersebut telah digunakan secara luas karena terbukti
efektif untuk mencegah kerusakan bahan pertanian selama distribusi.
ternyata bermanfaat untuk menekan laju respirasi (Roosmani, 1973); memperpanjang umur simpan produk
hortikultura, menutupi luka-luka goresan kecil (Pantastico, 1986); menurunkan resiko terjadinya memar dan abrasi
pada permukaan buah (Buchner, et al., 2003), mencegah infeksi patogen (Loekas, 2006), sekaligus menimbulkan
kesan yang lebih baik secara fisik karena lebih mengkilat (Prusky, et al., 1999). Produk pertanian yang dapat
diperlakukan dengan pelapisan lilin antara lain alpukat, apel, cabai, jeruk, kentang, mangga, nanas, pepaya, pisang,
starwberry, tomat, dan wortel. Hal yang perlu diperhatikan adalah pelapis lilin yang digunakan harus aman untuk
dikonsumsi, mudah dibuat dan diaplikasin, serta murah harganya. Oleh karena itu, inovasi dan penelitian untuk
membuat pelapis lilin produk pertanian masih terus dikembangkan.
Sementara itu, untuk mencegah kerusakan mekanis, diperlukan pengemas retail yang baik, yang mampu melindungi
dari tekanan atau gesekan, sekaligus memperindah penampilan. Contoh pengemas retail yang dapat memenuhi
kriteria tersebut adalah pengemas jaring-jaring polysteren pada buah apel atau pir. Pengemas retail buah apel dan
pir tersebut mungkin dapat dijadikan inspirasi untuk berinovasi menciptakan pengemas-pengemas retail bagi produk
pertanian lainnya.
PENUTUP
Dari berbagai uraian yang telah dijelaskan, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa teknologi mempunyai peran
yang strategis dalam menopang pertanian berkelanjutan. Teknologi bukan hanya berperan pada pertanian on
farm saja, melainkan selalu andil pada setiap tahapan proses from farm to table. Untuk mempercepat tercapainya
cita-cita dan tujuan pertanian berkelanjutan, inovasi-inovasi teknologi, khususnya teknologi yang dapat diaplikasikan
pada bidang pertanian, harus terus dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Suryana. 2005. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Andalan Pembangunan Nasional. Makalah
disampaikan pada Seminar Sistem Pertanian Berkelanjutan untuk Mendukung Pembangunan Nasional Tanggal 15
Pebruari 2005 di Universitas Sebelas Maret Solo.
Akingbala, J.O, Falade, K. O., Ogunjobi, M.A (2009). The effect of root maturity, pre-process holding and flour storage
on quality of cassava biscuits. Food and Bioprocess Technology (in press) DOI 10.1007/s11947-009-0185-z.
Anonim, 2004. On-farm Food Safety: Guide to Good Agricultural Practices (GAPs). PM 1974a October 2004. Iowa
State University. Diakses pada Tanggal 11 Januari 2011 dari
http://www.extension.iastate.edu/Publications/PM1974a.pdf
Anonim, 2010. IPTEK TTG : PANGAN RADIASI NUKLIR. Download pada Selasa, 25 Januari 2011 pada
http://www.ristek.go.id/?module=News%20News&id=5186
Antara, 2010. APEC Sepakati Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Kantor Berita Antara. Dimuat pada Tanggal
Selasa, 19 Oktober 2010 01:32 WIB pada http://www.antaranews.com/berita/1287426761/apec-sepakatipembangunan-pertanian-berkelanjutan Diakses pada Tanggal 11 Januari 201
Aryee, F.N.A. Oduro, I. Ellis, W.O. and Afuakwa, J.J. 2006. The physicochemical properties of flour samples from the
roots of 31 varieties of cassava. Food Control 17: 916922
Barbosa-Canovas, PhD, E., Pothakamury, UR dan Swanson, BG 1997. Application of light pulses in the sterilization
of foods and packaging materials. Nonthermal Preservation of Foods. Chapter 6-139-161. Bab 6-139-161. Marcel
Dekker. Marcel Dekker. New York.
Buchner, S., Dewar, J., Kaiser, C. dan Minnaar, A., 2003. Use edible coating to extend shelf life export fruit. CSIR
Afrika Selatan, Departemen Produksi Tanaman dan Ilmu Tanah, dan Departemen Ilmu Pangan Universitas Pretoria.
Afrika Selatan.
Cheftel J. C., and J. Culioli. 1995. Review: High pressure, microbial inactivation and food preservation. Food Sci.
Technol. Int. 1: 7590, 1995.
Chong Li Choo, Noor Aziah Abdul Aziz. 2010. Effects of banana flour and -glucan on the nutritional and sensory
evaluation of noodles. Food Chemistry, Volume 119, Issue 1, 1 March 2010, Pages 34-40
Datu, D.Y.R., M. Bilang dan S. D. Amrullah. 2010. Mempelajari Pengolahan Mie dari Campuran Tepung Sagu Dan
Tepung Jagung. Teknologi Hasil Pertanian Universitas Hasanuddin www.unhas.ac.id/tekpert
Delgado, F. J., Jos Gonzlez-Crespo, Ramn Cava, Rosario Ramrez. 2010. Changes in the volatile profile of a raw
goat milk cheese treated by hydrostatic high pressure at different stages of maturation International Dairy Journal, In
Press, Corrected Proof, Available online 5 November 2010
Derek F. Keenan, Nigel P. Brunton, T. Ronan Gormley, Francis Butler, Brijesh K. Tiwari, Ankit Patras. 2010. Effect of
thermal and high hydrostatic pressure processing on antioxidant activity and colour of fruit smoothies. Innovative
Food Science & Emerging Technologies, Volume 11, Issue 4, October 2010, Pages 551-556
Dongsheng Guan, Haiqiang Chen, Dallas G. Hoover. 2005. Inactivation of Salmonella typhimurium DT 104 in UHT
whole milk by high hydrostatic pressure. International Journal of Food Microbiology, Volume 104, Issue 2, 15 October
2005, Pages 145-153
Elvira, L., L. Sampedro, J. Matesanz, Y. Gmez-Ullate, P. Resa, J.R. Iglesias, F.J. Echevarra, F. Montero de
Espinosa. 2005. Non-invasive and non-destructive ultrasonic technique for the detection of microbial contamination in
packed UHT milk . Food Research International, Volume 38, Issue 6, July 2005, Pages 631-638.
Falade, K. O. and Akingbala, J.O. 2007. Improved Nutrition and National Development Through the Utilization of
Cassava in Baked Foods. Proceedings of the 13th ISTRC Symposium, pp. 466 472
FAO.1989. Sustainable Development And Natural Resources Management. Twenty-Fifth Conference, Paper C 89/2
Simp 2, Food And Agriculture Organization, Rome.
Ferrari. G., P. Maresca, R. Ciccarone. 2010. The application of high hydrostatic pressure for the stabilization of
functional foods: Pomegranate juice. Journal of Food Engineering, Volume 100, Issue 2, September 2010, Pages
245-253Jasim-Ahmed, Hosahalli S. Ramaswamy. 2006. Viscoelastic properties of sweet potato puree infant
food Journal of Food Engineering, Volume 74, Issue 3, June 2006, Pages 376-382
Geveke, D.J., Christopher Brunkhorst, Xuetong Fan. 2007. Radio frequency electric fields processing of orange
juice . Innovative Food Science & Emerging Technologies, Volume 8, Issue 4, December 2007, Pages 549-554
Jayakody, L., Hoover, R., Liu, Q., Donner, E. 2007. Studies on tuber starches. II. Molecular structure, composition
and physicochemical properties of yam (Dioscorea sp.) starches grown in Sri Lanka. Carbohydrate Polymers 69:
148163
Kasumbogo-Untung. 2010. Penerapan Pertanian Berkelanjutan untuk Meningkatkan Ketahanan
Pangan. Artikel. Diakses pada Tanggal 11 Januari 2011 dari http://kasumbogo.staff.ugm.ac.id/?
satoewarna=index&winoto=base&action=listmenu&skins=1&id=137&tkt=2
Krishnan,J.G., G. Padmaja ., S.N. Moorthy, G. Suja, M.S. Sajeev. 2010.Effect of pre-soaking treatments on the
nutritional profile and browning index of sweet potato and yam flours. Innovative Food Science and Emerging
Technologies 11 (2010) 387393
Lambers, Hans, dan Miquel, R., 2005. Plant Respiration: From Cell to Ecosystem (Advances in Photosynthesis &
Respiration), Kluwer Academic Publishers, Dordrecht.
Lin Li, Lun Feng, Junjie Yi, Cheng Hua, Fang Chen, Xiaojun Liao, Zhengfu Wang, Xiaosong Hu. 2010 High
hydrostatic pressure inactivation of total aerobic bacteria, lactic acid bacteria, yeasts in sour Chinese
cabbage. International Journal of Food Microbiology, Volume 142, Issues 1-2, 15 August 2010, Pages 180-184
Loekas-Soesanto. 2006. Penyakit Pasca Panen Sebuah Pengantar. Cetakan ke 5. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Martinez, M. O., Sonia Syago-Ayerdi, Edith Agama-Acevedo, Isabel Goi, Luis A. Bello-Prez. 2009. Unripe banana
flour as an ingredient to increase the undigestible carbohydrates of pasta. Food Chemistry, Volume 113, Issue 1, 1
March 2009, Pages 121-126
Morales-de la Pea, M., L. Salvia-Trujillo, M.A. Rojas-Gra, O. Martn-Belloso. 2010. Impact of high intensity pulsed
electric field on antioxidant properties and quality parameters of a fruit juicesoymilk beverage in chilled
storage . LWT Food Science and Technology, Volume 43, Issue 6, July 2010, Pages 872-881
Murdijati-Gardjito. 2010a. Kuliner Nusantara Signature Pariwisata Indonesia: Mungkinkah? Disampaikan pada Dies
Natalis Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata Trisakti ke 41. Jakarta
Murdijati-Gardjito. 2010b. Potensi Pangan Nusantara Dalam Diversifikasi Menuju Mandiri Pangan. Disampaikan pada
Seminar Ketahanan Pangan dan Energi, dengan tema Pengembangan Pertanian Berkelanjutan Menuju Mandiri
Pangan dan Energi. Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta
Nwokocha, L.M., and Williams, P.A. 2009. Some properties of white and yellow plantain (Musa paradisiaca,
Normalis) starches. Carbohydrate Polymers 76: 133138
Palazon, A.G., Winai Suthanthangjai, Paul Kajda, Ioannis Zabetakis. 2004. The effects of high hydrostatic pressure
on -glucosidase, peroxidase and polyphenoloxidase in red raspberry (Rubus idaeus) and strawberry (Fragaria
ananassa). Food Chemistry, Volume 88, Issue 1, November 2004, Pages 7-10
Pantastico, Er. B., 1986. Fisiologi Pasca Panen. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Penna, A.L.B., Subbarao-Gurram, G.V. Barbosa-Cnovas. 2007. High hydrostatic pressure processing on
microstructure of probiotic low-fat yogurt. Food Research International, Volume 40, Issue 4, May 2007, Pages 510519
Perez, Elevina, Schultzb, F. S., de Delahaye, Emperatrz Pacheco. 2005. Characterization of some properties of
starches isolated from Xanthosoma sagittifolium (tannia) and Colocassia esculenta (taro). Carbohydrate Polymers
60: 139145
Prusky, Dov et al., 1999. Effect of hot water brushing, prochloraz treatment and waxing on the incindence of black
spot decay caused by alternaria alternata in mango fruits. Postharvest Technology and Biology 15: 165 174.
Purwani, E.P., Widaningrum, R. Thahir and Muslich. 2006. Effect of Heat Moisture Treatment of Food Sago Starch on
its Noodle Quality. Indonesian Journal of Agricultural and Development 7(1):8-14.
Ryall, A. L. dan Lipton, W.J., 1972. Handling, Transpotation, and Storage of Fruit and Vegetables. Westport.
Connecricut. The AVI Publishing Company.
Rodrguez-Ambriz, S.L., J.J. Islas-Hernndez, E. Agama-Acevedo, J. Tovar, L.A. Bello-Prez. 2008. Characterization
of a fibre-rich powder prepared by liquefaction of unripe banana flour. Food Chemistry, Volume 107, Issue 4, 15 April
2008, Pages 1515-1521
Roosmani, A. B. 1973. Pelapisan lilin terhadap hasil-hasil hortikultura. Buletin Penelitian Hortikultura. LPH. Pasar
Minggu, Jakarta.
Salengke, 2011. Inovasi Teknologi Pengolahan Berbasis Therman dan Nonthermal untuk Menunjang Ketahanan
Pangan. Pidato pengukuhan guru besar dalam Bidang Ilmu Food Process Engineering Fakultas Pertanian
Universitas Hasanuddinn. Dalam Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Hasanudding pada Tanggal 19 Januari
2011.
Sciarini, L. S., Ribotta, P. D., Len, A. E. and Prez, G.T. (2008). Influence of gluten-free flours and their mixtures on
batter properties and bread quality. Food and Bioprocess Technology (in press) DOI 10.1007/s11947-008-0098-2.
Singhal, R.S., Kennedy, J.F., M. Sajilata. Gopalakrishnan, Kaczmarek, A., Knill, C.J., Akmar, P.F. 2008. Review
Industrial production, processing, and utilization of sago palm-derived products. Carbohydrate Polymers 72 (2008) 1
20
Shittu, T.A., A. Dixon, S.O. Awonorin, L.O. Sanni, and B. Maziya-Dixon (2008). Bread from composite cassavawheat
flour. II: Effect of cassava genotype and nitrogen fertilizer on bread quality. Food Research International 41, 569578
Sutardi, Agnes Murdiati, Yuliana Reni Swasti, Rusdin Rauf, Amaliah, dan Murdijati Gardjito. 2009. Kajian Sifat
Tepung dan Pengembangan Produk Umbi-umbian dan Sumber karbohidrat Alternatif di DIY. Disampaikan pada
Workshop Pengembangan Pangan Lokal dan Pusat Kajian Makanan Tradisional 22-24 Juli 2009 di Bukittinggi
Thrupp, L.A. (ed).1996. New Partnerships for Sustainable Agriculture. World Resource Institute New York. 136 pp.
Weichmann, J., 1987. Postharvest Physiology of Vegetables. Marcel Dekker Inc. New York and Basel.
Wong, C.W., S.K.S. Muhammad, M.H. Dzulkifly, N. Saari, H.M. Ghazali. 2007. Enzymatic production of linear longchain dextrin from sago (Metroxylon sagu) starch. Food Chemistry 100 (2007) 774780
Yadav, A. R., Guha, M., Tharanathan, R.N. and Ramteke, R.S. 2006. Changes in characteristics of sweet potato flour
prepared by different drying techniques. LWT 39 (2006) 2026
Yucel, U., Hami Alpas, Alev Bayindirli. 2010. Evaluation of high pressure pretreatment for enhancing the drying rates
of carrot, apple, and green bean. Journal of Food Engineering, Volume 98, Issue 2, May 2010, Pages 266-272
Zaidul I.S.M., N. Absar , S.-J. Kim , T. Suzuki, A.A. Karim, H. Yamauchi, T. Noda. 2008. DSC study of mixtures of
wheat flour and potato, sweet potato, cassava, and yam starches. Journal of Food Engineering 86 (2008) 6873
Zhang , P., Whistler, R.L., BeMiller, J.N., Hamaker, B.R., (2005) Banana starch: production, physicochemical
properties and digestibility. Carbohydrate Polymers 59 : 443458
Zhou, G.H., X.L. Xu, Y. Liu Preservation technologies for fresh meat A review. Meat Science, Volume 86, Issue 1,
September 2010, Pages 119-128
http://blog.umy.ac.id/shidiqsamdani/pertanian/teknologi-pertanian/
http://www.ieep.eu/assets/709/seminar1report.pdf
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Good Farming Practicess
Good Farming Practices bertujuan untuk mendapatkan hasil panen yang baik atau
bahan baku industri pertanian yang baik. Ciri-ciri keberhasilan Good Farming
Practices adalah hasil panennya secara kuantitas (jumlah); kualitas (nilai gizi dan
keamanan); serta kontinuitas (ketersediaan) dapat diandalkan.
Beberapa tahun belakangan ini, untuk mencapai tujuan Good Farming
Practices dikembangkan suatu teknologi rekayasan genetika, yang dikenal dengan
nama Genetic Modified Organism (GMO). Tanaman hasil rekayasa genetika terbukti
mempu menghasilkan hasil panen (buah dan sayur) yang kuantitas, kualitas, dan
kontinuitasnya dapat diandalkan.
Good Handling Practices
Good Handling Practices merupakan salah satu usaha untuk meminimalkan kerusakan
pada bahan pertanian pasca panen. Tahapan penanganan pasca panen hasil pertanian
yang sering dilakukan antara lain sortasi, pembersihan/pencucian, dan grading. Inovasi
teknologi tepat guna telah banyak diaplikasikan pada beberapa tahapan pasca panen,
seperti pada proses pembersihan/pencucian dan proses grading.
Pencucian merupakan suatu upaya untuk membuang kotoran pada permukaan kulit
buah atau sayuran, sekaligus dapat mengurangi residu pestisida dan hama penyakit
yang terbawa, sebelum komoditi tersebut dikonsumsi atau diolah lebih lanjut.
Good Manufacturing Practices
Tujuan utama Good Manufacturing Practices adalah menciptakan produk olahan secara
sensoris diterima dan aman apabila dikonsumsi. Inovasi dan teknologi merupakan
tulang punggung dalam untuk mencapai tujuan tersebut.Peranan inovasi dan teknologi
untuk menciptakan produk olahan yang secara sensoris diterima konsumen dapat
terlihat jelas pada pengolahan produk-produk pangan lokal, seperti sagu, ketela pohon,
ubi jalar, dan umbi-umbian. Tujuan inovasi pengolahan bahan lokal tersebut, terutama
untuk mensejajarkan nilainya dengan beras atau tepung terigu di mata konsumen.
Teknologi penepungan merupakan salah satu contoh yang baik untuk diaplikasikan
pada bahan lokal.
Good Distribution Practices
Good Distribution Practices diperlukan untuk meminimalkan kerusakan selama proses
distibusi.Pada prinsipnya, produk pertanian harus sampai di tangan konsumen dalam
kondisi yang baik. Proses distribusi berresiko untuk mempercepat terjadinya kerusakan,
sebab kemungkinan terjadinya tekanan mekanis yang dapat menyebabkan luka atau
memar sangat besar. Oleh karena itu, diperlukan berbagai inovasi bahan pengemas
dan pelindung, agar produk pertanian terhindar dari sinar matahari, tekanan mekanis,
pukulan, getaran, maupun benturan yang dapat menyebabkan luka dan memar selama
proses distribusi.
Waktu yang dibutuhkan selama perjalanan, juga berpengaruh terhadap kerusakan
bahan pertanian. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk proses distribusi, maka
semakin besar juga kemungkinan terjadi penurunan mutu bahan pertanian. Hal ini
disebabkan, bahan pertanian masih mengalami proses fisiologis, seperti respirasi dan
transpirasi, meskipun bahan pertanian tersebut sudah lepas dari tanaman induknya
(sudah dipanen) (Weichmann, 1987).
Good Retailing Practices
Good Retailing Practices merupakan tahap terakhir untuk menjaga mutu produk
pertanian sampai ke tangan konsumen. Saat ini tuntutan konsumen terhadap suatu
barang sangat beragam. Khusus untuk produk-produk pertanian, konsumen
menginginkan barang yang masih segar dan berkualitas tinggi. Padahal, lahan
pertanian biasanya berada jauh dari konsumen, sehingga membutuhkan waktu untuk
distribusi. Hal itu tentu saja berresiko menurunkan kesegaran dan menimbulkan
kerusakan mekanis produk-produk pertanian. Dengan demikian diperlukan inovasi
teknologi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
BAB III
From Farm to Table
Untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian, teknologi diperlukan selama
budidaya, penanganan pasca panen, dan pengolahan hasil pertanian. Untuk
meningkatkan daya saing di mata konsumen dan laba dari produk-produk pertanian,
teknologi juga diperlukan selama distribusi dan penjualan (penyajian). Dapat
disimpulkan bahwa teknologi diperlukan sejak berada di lahan hingga disajikan di
hadapan konsumen (from farm to table).
Teknologi tersebut diperlukan untuk mendukung pelaksanaan setiap tahap farm to
table, yaitu good farming practices (cara bertani yang baik), good handling
practices (cara penanganan hasil panen yang baik), good manufacturing practices (cara
pengolahan hasil pertanian yang baik), good distribution practices (cara pengangkutan
hasil pertanian yang baik), dan good retailing practices(cara penyajian yang baik untuk
konsumen).
2.1 Good Farming Practices
Pertanian berkelanjutan telah menjadi dasar penyusunan standar prosedur operasi
Praktek Pertanian yang Baik (PPB) atau dikenal pula dengan istilah Good Agricultural
Practices (GAP) (Achmad-Suryana, 2005). GAP merupakan rekomendasi yang dapat
digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas dan keamanan tanaman pertanian
selama dibudidayakan. Dalam hal ini GAP dapat difokuskan menjadi dasar
pelaksanaan Good Farming Practices (GFP). Good Farming Practices bertujuan untuk
mendapatkan hasil panen yang baik atau bahan baku industri pertanian yang baik. Ciriciri keberhasilan Good Farming Practicesadalah hasil panennya secara kuantitas
(jumlah); kualitas (nilai gizi dan keamanan); serta kontinuitas (ketersediaan) dapat
diandalkan.
Good Manufacturing Practices (GMP), dikenal pula dengan nama Cara Produksi
Pangan yang Baik (CPPB), merupakan sekumpulan ketentuan/pedoman untuk
melaksanakan proses produksi dengan baik dan benar. Tujuan utama Good
Manufacturing Practices adalah menciptakan produk olahan secara sensoris diterima
dan aman apabila dikonsumsi. Inovasi dan teknologi merupakan tulang punggung
dalam untuk mencapai tujuan tersebut.
Peranan inovasi dan teknologi untuk menciptakan produk olahan yang secara sensoris
diterima konsumen dapat terlihat jelas pada pengolahan produk-produk pangan lokal,
seperti sagu, ketela pohon, ubi jalar, dan umbi-umbian. Tujuan inovasi pengolahan
bahan lokal tersebut, terutama untuk mensejajarkan nilainya dengan beras atau tepung
terigu di mata konsumen. Teknologi penepungan merupakan salah satu contoh yang
baik untuk diaplikasikan pada bahan lokal. Menurut Murdijati-Gardjito (2010b), dalam
bentuk tepung akan mempunyai kadar air yang lebih rendah. Selain itu, tepung lebih
mudah didistribusikan, lebih awet, serta lebih luwes penggunaannya, seperti bubur,
puding, kue basah, kue kering, dan berbagai macam hidangan lain.
Inovasi dan teknologi penepungan tersebut sampai sekarang masih dikembangkan oleh
para peneliti dan ahli pangan di seluruh dunia. Penelitian yang masih dikembangkan
antara lain penelitian mengenai tepung ubi kayu (Arye, et al., 2006; Falade, et al., 2007;
Shittu, et al., 2008; Sciarini,et al., 2008; Akingbala, et al., 2009), penelitian mengenai
tepung ubi jalar (Yadav, et al., 2006; Jasim-Ahmed, et al., 2006; Zaidul, et al., 2008;
Krishnan, et al., 2010), penelitian mengenai tepung sagu (Purwani, et al., 2006;
Wong, et al., 2007; Singhal, et al., 2008; Datu, et al., 2010), penelitian mengenai tepung
pisang (Zhang, et al., 2005; Rodrguez-Ambriz, et al., 2008; Nwokocha., et al., 2009;
Martinez, et al., 2009; Chong Li Choo, et al., 2010), serta penelitian mengenai umbiumbian lainnya (Perez, et al., 2005; Jaykodi, et al., 2007; Sutardi, et al., 2009).
Harapannya, penelitian-penelitian tersebut dapat menghasilkan teknologi untuk
memproduksi tepung secara optimal, dan selanjutnya tepung tersebut dapat diolah
lebih lanjut menjadi produk yang secara sensoris dapat diterima oleh konsumen.
Peranan inovasi dan teknologi untuk menciptakan produk olahan yang aman untuk
dikonsumsi juga signifikan. Inovasi tersebut diperlukan untuk menghilangkan
mikroorganisme patogen atau senyawa berbahaya dalam bahan pertanian. Sejak
ditemukan teknik sterilisasi dan pasteurisasi untuk menghilangkan mikrobia patogen
pada produk pangan, teknologi untuk menciptakan produk yang aman terus
berkembang. Tetapi teknologi yang dikembangkan masih melibatkan panas (thermal
process). Kemudian, diketahui bahwa proses yang melibatkan panas dapat
menurunkan nilai gizi atau mutu bahan pertanian, sehingga saat ini trend
pengembangan teknologi tersebut mengarah pada proses-proses non-thermal (tidak
melibatkan panas).
Salah satu contoh untuk proses non-thermal untuk menciptakan makanan yang aman
dikonsumsi adalah High Hydrostatic Pressure (HHP). HHP salah satu metode untuk
mengurangi populasi mikrobia dalam pangan dengan tekanan yang tinggi tanpa
penambahan panas (Cheftel, 1995). Proses ini dapat mempertahankan kualitas
sensoris bahan pangan, mempertahankan kesegaran alaminya, mempertahankan nilai
gizinya, serta memperpanjang umur simpan bahan pangan. Contoh aplikasi HHP pada
hasil pertanian antara lain kubis (Lin Li, et al., 2010); wortel, apel, kacang hijau
(Yucel, et al., 2010); raspberry, strawberry (Palazon, et al., 2004); dan sebagainya.
Bahkan HHP dapat diaplikasikan juga pada susu (Dongsheng Guan, et al., 2005);
yoghurt (Penna, et al., 2007); daging (Zhou, et al., 2010); keju (Delgado, et al., 2010);
dan juice (Ferrari, et al., 2010).
Selain HHP, contoh-contoh proses non-thermal yang telah ditemukan dan dapat
diaplikasikan pada bidang pangan/pertanian antara lain light pulse (Barbosa,
1997); Radio Frequency Electric Fields (Gaveke, 2007); ultrasonic (Elvira, 2007);
teknologi isotop dan radiasi; HIPEF (high intensity pulsed electric field) (Morales, 2010);
teknologi pasteurisasi dengan electron beam (Salengke, 2011); dan sebagainya.
Selanjutnya, berbagai teknologi non-thermal tersebut diharapkan dapat dikembangkan
lagi untuk menciptakan produk-produk olahan hasil pertanian yang aman dikonsumsi,
dengan tetap mempertahankan nilai gizi dan mutunya.
Ketentuan Good Manufacturing Practices mulai diperkenalkan pada akhir Tahun 1980an. Setelah itu Good Manufacturing Practices mengalami perkembangan menjadi
HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), dan selanjutnya mengalami
penyempurnaan menjadi ISO 22000:2005 tentang Sistem Manajemen Keamanan
Pangan. Ketiga hal tersebut pada prinsipnya sama, yaitu untuk menciptakan dan
menjamin keamanan produk pangan. Hal yang perlu ditekankan adalah ketiga
pedoman tersebut tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik, tanpa dukungan
teknologi.
Saat ini, indikator proses produksi yang baik oleh suatu industri ternyata bukan hanya
dihasilkannya produk yang secara sensori dan keamanannya memenuhi kriteria yang
diinginkan konsumen. Lebih jauh dari itu, indikator proses produksi yang baik adalah
tidak adanya limbah yang ditinggalkan oleh industri tersebut (zero waste). Bahkan ada
semacam kesepakatan tidak tertulis bagi orang-orang yang peduli terhadap lingkungan
bahwa mereka tidak akan membeli/mengkonsumsi barang-barang yang dihasilkan
suatu indsutri yang masih meninggalkan limbah dan merusak lingkungan. Tuntutan
jaman seperti ini lah yang sekali lagi harus dijawab oleh inovasi teknologi. Teknologi
harus terus dikembangkan untuk meminimalisir limbah yang dihasilkan dari suatu
proses produksi. Jika suatu proses produksi masih menyisakan limbah, inovasi
teknologi harus mampu mendaur ulang limbah tersebut menjadi produk lain yang
bermanfaat. Jika limbah yang dihasilkan ternyata tidak dapat didaur ulang, maka
teknologi harus dapat menangani limbah tersebut agar tidak berbahaya bagi manusia.
Hal ini sesuai dengan prinsip pengelolaan limbah yang harus dilakukan secara
berurutan yaitu (a) minimalisasi limbah, (b) pemanfaatan limbah, dan (c) penanganan
limbah.
2.4 Good Distribution Practices
Telah disebutkan di atas, bahwa bahan pertanian mudah mengalami kerusakan.
Kerusakan bahan pertanian dapat disebabkan beberapa hal yaitu kerusakan fisiologis
(kerusakan yang disebabkan oleh reaksi-reaksi yang diakibatkan oleh kerja enzim),
mikrobiologis (kerusakan akibat serangan mikroorganisme), mekanis (kerusakan akibat
tekanan sehingga menimbulkan luka atau memar), fisis (kerusakan akibat suhu yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah), serta khemis (kerusakan alami akibat proses
pemasakan buah). Good Distribution Practices diperlukan untuk meminimalkan
kerusakan selama proses distibusi.
Pada prinsipnya, produk pertanian harus sampai di tangan konsumen dalam kondisi
yang baik. Proses distribusi berresiko untuk mempercepat terjadinya kerusakan, sebab
kemungkinan terjadinya tekanan mekanis yang dapat menyebabkan luka atau memar
sangat besar. Oleh karena itu, diperlukan berbagai inovasi bahan pengemas dan
pelindung, agar produk pertanian terhindar dari sinar matahari, tekanan mekanis,
pukulan, getaran, maupun benturan yang dapat menyebabkan luka dan memar selama
proses distribusi.
Waktu yang dibutuhkan selama perjalanan, juga berpengaruh terhadap kerusakan
bahan pertanian. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk proses distribusi, maka
semakin besar juga kemungkinan terjadi penurunan mutu bahan pertanian. Hal ini
disebabkan, bahan pertanian masih mengalami proses fisiologis, seperti respirasi dan
transpirasi, meskipun bahan pertanian tersebut sudah lepas dari tanaman induknya
(sudah dipanen) (Weichmann, 1987). Respirasi merupakan proses oksidasi substrat
komplek menjadi lebih sederhana (Lambers, et al., 2005), sehingga semakin cepat
respirasi akan semakin mempercepat kerusakan bahan pertanian. Kecepatan respirasi
antara lain dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi O 2, konsentrasi CO2, serta konsentrasi
CO (Ryall dan Lipton, 1972). Berdasarkan pengertian tersebut, diperlukan inovasi dan
teknologi untuk mengendalikan laju respirasi bahan pertanian selama distribusi. Inovasi
teknologi mampu menjawab tantangan dengan terciptanya kontainer distribusi yang
dapat diatur suhu, kelembaban udara, komposisi udara, bahkan tekanannya. Alat
tersebut dikenal dengan namaControlled Atmosphere Storage (CAS), Modified
Atmosphere Storage (MAS), penyimpanan dengan pendinginan, dan penyimpanan
hipobarik. Saat ini, teknologi tersebut telah digunakan secara luas karena terbukti efektif
untuk mencegah kerusakan bahan pertanian selama distribusi.
2.5 Good Retailing Practices
Good Retailing Practices merupakan tahap terakhir untuk menjaga mutu produk
pertanian sampai ke tangan konsumen. Saat ini tuntutan konsumen terhadap suatu
barang sangat beragam. Khusus untuk produk-produk pertanian, konsumen
menginginkan barang yang masih segar dan berkualitas tinggi. Padahal, lahan
pertanian biasanya berada jauh dari konsumen, sehingga membutuhkan waktu untuk
distribusi. Hal itu tentu saja berresiko menurunkan kesegaran dan menimbulkan
kerusakan mekanis produk-produk pertanian. Dengan demikian diperlukan inovasi
teknologi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Kesegaran produk pertanian sangat dipengaruhi oleh proses transpirasi (menguapnya
air dari subtrat) yang masih berlangsung, meskipun bahan pertanian tersebut telah
dipanen. Proses transpirasi berlangsung terus menerus dan akan berakhir apabila
substrat dan air sudah habis (Sirivatanapa, 2006), sehingga menentukan kualitas dan
masa simpan bahan hasil pertanian (Tan, 2007). Menurut Ben-Yehoshua (1987),
transpirasi dapat menurunkan kualitas buah dan sayuran dengan terjadinya penurunan
berat, pengkerutan, dan pelunakan. Penurunan kadar air 1-2% sudah mampu merubah
kenampakan bahan pertanian, sedangkan penurunan kadar air 3-10% mengakibatkan
penurunan kesegaran.
Salah satu contoh inovasi teknologi di bidang pertanian yang dapat menekan laju
transpirasi tersebut adalah pelapisan lilin, sebab dengan pelapisan sebagian pori dan
kulit tertutup oleh lapisan lilin. Selain itu, pengemasan lilin ternyata bermanfaat untuk
menekan laju respirasi (Roosmani, 1973); memperpanjang umur simpan produk
hortikultura, menutupi luka-luka goresan kecil (Pantastico, 1986); menurunkan resiko
terjadinya memar dan abrasi pada permukaan buah (Buchner, et al., 2003), mencegah
infeksi patogen (Loekas, 2006), sekaligus menimbulkan kesan yang lebih baik secara
fisik karena lebih mengkilat (Prusky, et al., 1999). Produk pertanian yang dapat
diperlakukan dengan pelapisan lilin antara lain alpukat, apel, cabai, jeruk, kentang,
mangga, nanas, pepaya, pisang, starwberry, tomat, dan wortel. Hal yang perlu
diperhatikan adalah pelapis lilin yang digunakan harus aman untuk dikonsumsi, mudah
dibuat dan diaplikasin, serta murah harganya. Oleh karena itu, inovasi dan penelitian
untuk membuat pelapis lilin produk pertanian masih terus dikembangkan.
Sementara itu, untuk mencegah kerusakan mekanis, diperlukan pengemas retail yang
baik, yang mampu melindungi dari tekanan atau gesekan, sekaligus memperindah
penampilan. Contoh pengemas retail yang dapat memenuhi kriteria tersebut adalah
pengemas jaring-jaring polysteren pada buah apel atau pir. Pengemas retail buah apel
dan pir tersebut mungkin dapat dijadikan inspirasi untuk berinovasi menciptakan
pengemas-pengemas retail bagi produk pertanian lainnya.
BAB IV
SIMPULAN
Teknologi merupakan penunjang penting bagi setiap produksi pertanian. Dibutuhkan
dalam proses dari from farm to table. Setiap produk pertanian bernilai jual jika teknologi
ikut berperan didalamnya. Teknologi-teknologi itu diantaranya :
Good farming practices atau cara bertani yang baik,
Good handling practices atau cara penanganan hasil panen yang baik,
Good manufacturing practices atau cara pengolahan hasil pertanian yang baik,
Good distribution practices atau cara pengangkutan hasil pertanian yang baik, dan
Good retailing practices atau cara penyajian yang baik untuk konsumen.
Diposkan oleh iyan mulyana di 05.38
Reaksi:
Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Kebutuhan protein untuk orang dewasa untuk diet barat menurut FAO/WHO sekitar
0,8 g/kg berat badan. Untuk orang Indonesia dewasa diperkirakan sekitar 0,9 g/kg
berat badan (Puslitbang Gizi).
Bahan makanan yang banyak mengandung protein misalnya telur, susu sapi, daging
sapi, ayam, kedelai, dan lain-lain.
Lemak merupakan bahan pangan berenergi tinggi karena setiap gramnya memberi
lebih banyak energi daripada karbohidrat atau protein. Lemak merupakan cadangan
energi yang disimpan dalam jaringan adipose.
Vitamin merupakan zat-zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit.
Vitamin-vitamin tersebut esensial dalam arti tidak dapat disintesis oleh jaringan tubuh
manusia semuanya atau dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
dalam kondisi normal.
Berdasarkan kelarutannya, vitamin dibagi menjadi dua. Yaitu vitamin yang larut
dalam air (vitamin B dan C) dan yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E, K)
Contoh-contoh bahan makanan yang mengandung vitamin tsb di antaranya:
Vitamin B misalnya kacang, telur, biji-bijian, hati, dll
Vitamin C misalnya jeruk, tomat, kubis, buah-buahan, dll
Vitamin A misalnya wortel, hati, minyak ikan, dll
Vitamin D misalnya minyak ikan, telur
Vitamin E misalnya sayur-sayuran hijau, minyak, dll
Vitamin K misalnya daun hijau, sayur-sayuran, keju, kuning telur.
Mineral juga merupakan unsur yang diperlukan tubuh. Mineral yang dibutuhkan
tubuh secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu makro mineral dan mikro
mineral.
Makro mineral yang dibutuhkan oleh tubuh yaitu Ca, P (phospor), S (belerang), K
(kalium), Na (natrium), Cl (chlor) dan Mg (magnesium). Banyak didapatkan dari keju,
kerang-kerangan, garam meja, kacang-kacangan , dll.
Sedangkan mikromineral yang dibutuhkan tubuh misalnya Fe, Flour, Zn (seng), Si
(silicon), dll. Namun di antara mikromineral tersebut, Fe adalah mikromineral yang
paling banyak dalam tubuh manusia.
Air bukan merupakan salah satu zat gizi. Namun sangat dibutuhkan oleh tubuh.
Sekitar 70% komponen massa tubuh orang dewasa adalah air. Karena itu
usahakan untuk mengkonsumsi air 2-2,5 liter per hari untuk orang dewasa.
Zat nabati sekunder atau fungsional
Sekarang ini telah diketahui bahwa di samping zat-zat makanan yang telah diulas di
atas terdapat pula zat-zat lainnya di dalam bahan makanan nabati (asal dari
tanaman) yang tidak mempunyai sifat sebagai zat gizi, namun sangat diperlukan oleh
tubuh karena mengkondisikan tubuh untuk terhindar dari berbagai macam penyakit.
Kelompok zat ini dinamakan zat nabati sekunder atau fungsional dan terdapat
terutama pada buah dan sayur. Zat-zat sekunder ini jumlahnya kecil sekali, namun
sudah cukup untuk menghasilkan efek positif yang sangat besar terhadap
kesehatan. Di samping sebagai sumber zat nabati fungsional, bahan pangan nabati
juga mengandung serat kasar yang meskipun tidak menyumbang energi namun
mutlak diperlukan untuk proses pencernaan. Serat kasar akan dikeluarkan kembali
oleh tubuh dalam bentuk feses (kotoran) saat buang air besar. Jadi, makanan kita
hendaknya tidak hanya mengenyangkan dan mendatangkan energi, namun juga
mengandung zat-zat gizi lengkap sesuai kebutuhan tubuh serta zat nabati fungsional
dan serat.
Pola makan
Pedoman praktis untuk mengatur makanan sehari-hari yang seimbang tertuang
dalam 13 pesan dasar sebagai berikut (Pedoman Umum Gizi Seimbang, Direktorat
Gizi Masyarakat, RI):
1. Makanlah aneka ragam makanan
2. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi
3. Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi
4. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kebutuhan energi
5. Gunakan garam beryodium
6. Makanlah makanan sumber zat besi
7. Berikan ASI saja kepada bayi sampai umur empat bulan
8. Biasakan makan pagi
9. Minumlah air bersih, aman yang cukup jumlahnya
10. Lakukan kegiatan fisik dan olah raga secara teratur
11. Hindari minum minuman beralkohol
12. Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan
13. Bacalah label pada makanan yang dikemas.
Sedangkan pada masyarakat Jepang, ada beberapa anjuran untuk menjaga
kesehatan ini (Dept. Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang, 2002):
1. Bila badan dan hati merasa puas maka akan dapat menciptakan kesehatan
2. Makanlah makanan yang bergizi lengkap, karbohidrat, lemak, protein, mineral,
vitamin dan juga air
3. Makanlah tiga kali sehari dengan porsi yang seimbang
4. Makanlah cukup sayuran dan buah buahan
5. Minumlah susu
6. Makan jangan berlebihan
7. Jangan lupa makan pagi
8. Setelah makan jangan langsung tidur
9. Jangan banyak garam, bahan tambahan makanan, makanan instant dan bumbu
penyedap
10. Usahakan ragam makanan 30 jenis dalam 1 hari
11. Jangan lupa olahraga
12. Diet yang aman
13. Kunyahlah makanan dengan baik dan jangan terburu-buru
14. Lakukan olahraga dengan teratur
15. Makanlah bersama keluarga dengan gembira
Pengecekan Pola Makan
Ada cara sederhana untuk mengecek apakah pola makan Anda selama ini sudah
cukup baik atau belum, yaitu dengan menggunakan metode Body Mass Index (BMI).
berat badan (dalam kilogram)
BMI= ------------------------------------------kuadrat tinggi badan (dalam meter)
Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan alat atau cara
yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Berat badan kurang dapat
meningkatkan resiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan lebih akan
meningkatkan resiko terhadap penyakit degeneratif. Oleh karena itu,
mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai
usia harapan hidup yang lebih panjang.
Pedoman ini bertujuan memberikan penjelasan tentang cara-cara yang dianjurkan
untuk mencapai berat badan normal berdasarkan IMT dengan penerapan hidangan
sehari-hari yang lebih seimbang dan cara lain yang sehat.
Untuk memantau indeks massa tubuh orang dewasa digunakan timbangan berat
badan dan pengukur tinggi badan.
IMT Sebagai Alat Pemantau Berat Badan
Dengan IMT akan diketahui apakah berat badan seseorang dinyatakan normal,
kurus atau gemuk. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa berumur > 18 tahun
dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan.
Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO, yang
membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan. Disebutkan bahwa
batas ambang normal untuk laki-laki adalah: 20,1 - 25,0; dan untuk perempuan
adalah : 18,7 -23,8. Untuk kepentingan pemantauan dan tingkat defisiensi kalori
ataupun tingkat kegemukan, lebih lanjut FAO/WHO menyarankan menggunakan satu
batas ambang antara laki-laki dan perempuan. Ketentuan yang digunakan adalah
menggunakan ambang batas laki-laki untuk kategori kurus tingkat berat dan
menggunakan ambang batas pada perempuan untuk kategori gemuk tingkat berat.
Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi berdasarkan
pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa negara berkembang. Pada
akhirnya diambil kesimpulan, batas ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai
berikut (Direktorat Gizi Masyarakat, RI):
Kategori IMT
Kekurangan berat
badan tingkat berat
Kurus < 17,0
Kekurangan berat
badan tingkat ringan
17,0
18,4
Normal 18,5
25,0
Kelebihan berat
badan tingkat ringan
25,1
27,0
Gemuk
Kelebihan berat
badan tingkat berat
> 27,0
Kategori seseorang menurut IMT-nya :
1. IMT < 17,0: keadaan orang tersebut disebut kurus dengan kekurangan berat
Status gizi Eko adalah kurus tingkat ringan. Eko dianjurkan menaikkan berat badan
sampai menjadi normal antara 41 - 54 kg dengan IMT 18,5 25,0.
PERHATIAN !
Seseorang yang termasuk kategori kekurangan berat badan tingkat ringan
(KEK ringan) sudah perlu mendapat perhatian untuk segera menaikkan berat
badan.
Opong dengan tinggi badan 159 cm, mempunyai berat badan 70 kg. Maka IMT
Opong adalah :
( ) 27 7
159 159 m
70 kg
2,
,,
=
Berarti status gizi Opong adalah gemuk tingkat berat, dan Opong dianjurkan
menurunkan berat badannya sampai menjadi 47 - 63 kg agar mencapai berat badan
normal (dengan IMT 18,5 25,0).
PERHATIAN !
Seseorang dengan IMT > 25,0 harus berhati-hati agar berat badan tidak naik.
Dianjurkan untuk menurnkan berat badannya sampai dalam batas normal.
Penutup
Mudah-mudahan bermanfaat. Khususnya bagi para wanita, para ratu dapur,
antarkan keluarga Anda menuju kesuksesan dengan diawali dari pola makan yang
sehat !
Sumber :
1. Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS), Direktorat Gizi Masyarakat, RI.
2. Pedoman Praktis Memantau Status Gizi Orang Dewasa, Direktorat Gizi
Masyarakat, RI.