PENDAHULUAN
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya bangkitan (seizure)
yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak
secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan
berlebihan pada neuron-neuron secara paroksismal yang disebabkan oleh
beberapa etiologi1,2. Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak
lebih dominan dari pada proses inhibisi. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk
inhibisi potensial postsinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah
lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik
disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan
neurotransmitter inhibitorik utama pada otak1,2,3.
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik 1,2. Menurut
International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi berdasarkan bangkitannya
diklasifikasikan menjadi
dan yang tak tergolongkan. Dimana epilepsi grand mal atau tonik-klonik
merupakan bentuk paling banyak yang terjadi pada penderita epilepsi4.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Epilepsi
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya bangkitan (seizure)
yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak
secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan
berlebihan pada neuron-neuron secara paroksismal yang disebabkan oleh
beberapa etiologi1,2.
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik dari bangkitan
serupa (stereotipik) yang berlangsung secara mendadak dan sementara dengan
atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok
sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked)1,2.
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang
terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan,
jenis bangkitan, faktor pencetus dan kronisitas1,2.
b. Kelainan metabolik
Penyebab ini dapat terjadi pada semua umur. Kebanyakan terjadi
akibat komplikasi dari diabetes melitus, gangguan keseimbangan
elektrolit, gagal ginjal, defisiensi nutrisi dan intoksikasi alkohol atau obatobatan2.
c. Trauma kepala
Penyebab ini dapat terjadi pada semua umur terutama pada dewasa
muda. Epilepsi lebih sering terjadi pada kontusio serebri dan biasanya
muncul bangkitkan 2 tahun pascacedera4.
d. Tumor
Tumor adalah penyebab yang bisa terjadi pada semua umur ,
terutama pada umur diatas 30 tahun yang pada awalnya berupa bangkitan
parsial dan kemudian berkembang menjadi bangkitan umum tonik-klonik3.
e. Infeksi
Infeksi juga bisa menyebabkan epilepsi yang biasanya dalama bentuk
ensefalitis, meningitis, atau abses.
Berikut ini merupakan penyebab spesifik epilepsi, antara lain1,2:
a. Kelainan yang terjadi selama kehamilan/perkembangan janin contohnya ibu
mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang dapat merusak otak janin, minumminuman alkhohol atau mendapatkan terapi penyinaran.
b. Kelainan yang terjadi saat kelahiran (bayi baru lahir) :
- Brain malformation
- Gangguan oksigenasi sebelum lahir (Hipoksia-Asfiksia)
- Gangguan elektrolit
- Gangguan metabolisme janin
- Infeksi
c. Saat usia bayi anak-anak
- demam (kejang demam)
Kurang tidur
Stress emosional
Infeksi
Perubahan hormonal
Terlalu lelah
Fotosensitif terhadap cahaya
Obat-obatan
alkohol
e. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi. Serangan epilepsi akan
muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi
yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat
dan berulang-ulang.
Cetusan listrik abnormal ini kemudian membawa neuron-neuron yang terkait di
dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik
dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk
suatu badai aktivitas listrik di dalam otak.
Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang
berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang
terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil
dengan manifestasi yang sangat bervariasi.
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :
a. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF) yang membedakan seseorang peka
tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang
sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis
rangsangan berbedabeda.
b. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas
timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi
merupakan kerja sama SED dan NPF.
c. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan
epilepsy pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang
yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak
ada.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan
demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan
konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari
Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium
ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. kalium dan
kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat
reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang
dibutuhkan dalam komunikasi sesama neuron. Jika terjadi kerusakan atau kelainan
pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu
sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor
neurotransmiter tertentu.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
a. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin)
kuran optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
b. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat)
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebiha juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid) tidak normal. Pada otak manusia yang
menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA
dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic
potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa
aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat
yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada
GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset
membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan
inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan.
Berbagai
macam
penyakit
dapat
menyebabkan
terjadinya
perubahan
kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi
yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu
tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di
lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi
dapatan1,2,3.
2.4 Klasifikasi Epilepsi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi
berdasarkan bangkitannya diklasifikasikan menjadi1,2,4:
a. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)
Dengan gejala motorik
Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
Dengan gejala autonom
Dengan gejala psikis
b. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)
Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.
Gangguan kesadaran saat awal serangan.
c. Parsial yang menjadi umum sekunder
Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik
Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonikkonik.
d. Bangkitan Umum
Absence / lena / petit mal : jenis yang jarang terjadi, umumnya hanya
terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja, dimana manifestasi
klinisnya berupa penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedipkedip, dengan kepala terkulai, kejadiannya cuma beberapa detik, dan
bahkan sering tidak disadari.
Klonik
Tonik
Tonik-klonik/Grand mal : merupakan bentuk paling banyak terjadi.
Manifestasi klinisnya berupa pasien yang tiba-tiba jatuh, kejang tonik
diikuti kejang klonik, nafas terengah-engah, keluar air liur hingga bisa
terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah terjadi beberapa menit,
kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala.
Mioklonik : biasanya terjadi pada pagi hari. Manifestasi klinisnya berupa
kejang tiba-tiba yang terjadi setelah bangun tidur (tapi non-epileptik) dan
bisa terjadi pada pasien normal.
Atonik : jarang terjadi. Manifestasi klinis berupa pasien yang tiba-tiba
kehilangan kekuatan otot jatuh, tapi bisa segera recovered.
e. Tak Tergolongkan
Sedangkan menurut ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi diklasifikasikan
menjadi1,2,4 :
a. Berkaitan dengan letak fokus (localized related)
Idiopatik (primer)
Simtomatik (sekunder)
Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
Kriptogenik
b. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan
peningkatan usia
Idiopatik (primer)
10
Simtomatik
c.
Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal dan umum
Bangkitan umum dan fokal
Serangan neonatal
Sindroma Taissinare
Kejang demam
11
beberapa
jam.
Fase
kesadaran
menurun
bisa
12
13
akan
tampak
lebih
rinci.
MRI
bermanfaat
untuk
14
Miringkan tubuh pasien, agar air liur dan lendir keluar dari mulut
(mencegah aspirasi)
Tetaplah bersama pasien sampai pasien sadar
Biarkan pasien istirahat atau lanjutkan aktivitas yang dilakukan pasien
sebelumnya
b. Terapi medikamentosa
Tujuan dari pengobatan pada epilepsi adalah membantu penderita epilepsi menjalani
kehidupan sepenuhnya & produktif, menyingkirkan seizure tanpa menimbulkan
efek samping, dan mengatur pengobatan yang diperlukan individual atau
masyarakat khusus (wanita, anak, usila, penyakit hati atau ginjal & penyakit
lainnya).
Pertimbangan dalam pengelolaan epilepsi:
Patologi yang mendasari
Usia dan jenis kelamin
Gejala dan jenis seizure
Komorbiditas
Frekuensi
Seizure
Efek samping obat
Faktor yang mempengaruhi pemilihan obat:
Jenis seizure/sindroma epilepsy
Efek samping & keamanan
Usia
Kemudahan penggunaan
Gaya hidup
Usia, jenis kelamin, potensi hamil
Pengobatan penyakit lain
Pemberian obat anti epilepsi (OAE)
Terapi dimulai setelah diagnosis dipastikan dan penyuluhan diberikan.
Pilih jenis OAE sesuai jenis bangkitan.
Kaidah terapi awal: MONOTERAPI.
Mulai dari dosis rendah, naikkan bertahap sampai tercapai dosis efektif (Start
low Go slow).
Jika serangan tidak terkontrol dengan terapi optimal rujuk neurolog.
Terapi pada pasien baru
Pilihan obat tergantung jenis bangkitan.
Terapi harus obat tunggal (monoterapi).
Dosis obat ditingkatkan bertahap.
Dosis rumatan serendah mungkin.
15
Jika obat pertama dengan dosis tertinggi yang masih dapat ditoleransi tidak
berhasil rujuk neurolog.
Evaluasi kepatuhan pasien, komplikasi medik dan psikiatrik.
Terapi pada pasien kronik
Pemilihan OAE, perhatikan:
o Jenis bangkitan.
o Riwayat pengobatan sebelumnya.
Batasi maksimal 2 jenis obat.
Tetapkan dosis yang:
o Mampu mengontrol bangkitan secara maksimal.
o Tanpa menimbulkan efek toksik.
Penggantian obat:
o Perlahan, waspadai eksaserbasi bangkitan.
Pemeriksaan kadar obat dalam darah.
Penghentian OAE
Minimal 2 tahun bebas serangan.
EEG perbaikan - normal.
Cara:
o Dosis diturunkan 25% dari dosis awal secara bertahap tiap bulan selama
3-6 bulan.
o Jika digunakan > 1 OAE hentikan mulai dari 1 jenis OAE yang bukan
obat utama (satu per satu).
40%
16
17
dirubah
menjadi
metabolit
aktif
yaitu
fenobarbital
dan
d. Iminostilben6,7,8
Karbamazepin
Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik.
Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan
tonik-klonik. Karbamazepin menghambat kanal Na+, yang mengakibatkan influk
(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat
terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron.
Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari,
anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400800 mg. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali
sehari. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah
gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual,
goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan hyponatremia. Resiko terjadinya efek
samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan usia.
Okskarbazepin
18
Okskarbazepin
merupakan prodrug yang didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk
aktifnya, yaitu suatu turunan 10-monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi
ginjal. Okskarbazepin digunakan untuk pengobatan kejang parsial. Mekanisme
aksi okskarbazepin mirip dengan mekanisme kerja karbamazepin.
Dosis penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali
sehari sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali sehari. Efek samping penggunaan
okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah, sakit kepala, diare, konstipasi,
dispepsia, ketidak seimbangan tubuh, dan kecemasan. Okskarbazepin memiliki
efek samping lebih ringan dibanding dengan fenitoin, asam valproat, dan
karbamazepin. Okskarbazepin dapat menginduksi enzim CYP450.
e. Suksimid6,7,8
Etosuksimid
Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens. Kanal kalsium merupakan
target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal
Ca2+ tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang
diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan
pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens.
Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal
dan 20 mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan
usia lebih dari 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari. Efek samping penggunaan
etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping penggunaan etosuksimid
yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan pencernaan,
goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan.
f. Asam valproat6,7,8
Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang
absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat
meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi
sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon GABA post
sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal
kalium.
19
20
oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan dengan 12% pada plasebo. Penelitian
double-blind monoterapi gabapentin (900 atau 1800 mg/hari) mengungkapkan
bahwa efikasi gabapentin mirip dengan efikasi karbamazepin (600 mg/hari).
Gabapentin dapat meningkatkan pelepasan GABA nonvesikel melalui mekanisme
yang belum diketahui. Gabapentin mengikat protein pada membran korteks
saluran Ca2+ tipe L. Namun gabapentin tidak mempengaruhi arus Ca2+ pada
saluran Ca2+ tipe T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu mengurangi perangsangan
potensial aksi berulang terus-menerus9.
Dosis gabapentin untuk anak usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia
5-12 tahun 25-35 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 12 tahun atau lebih dan dewasa
300 mg 3 kali sehari. Efek samping yang sering dilaporkan adalah pusing,
kelelahan, mengantuk, dan ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang agresif
umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa pasien yang menggunakan
gabapentin mengalami peningkatan berat badan.
Lamotrigin
Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum luas
yang memiliki efikasi pada parsial dan epilepsi umum. Lamotrigin tidak
menginduksi atau menghambat metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme
aksi utama lamotrigin adalah blokade kanal Na, menghambat aktivasi arus
Ca2+ serta memblok pelepasan eksitasi neurotransmiter asam amino seperti
glutamat dan aspartat. Dosis lamotrigin 25-50 mg/hari. Penggunaan lamotrigin
umumnya dapat ditoleransi pada pasien anak, dewasa, maupun pada pasien
geriatri. Efek samping yang sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan
(penglihatan berganda), sakit kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri
tegak). Lamotrigin dapat menyebabkan kemerahan kulit terutama pada
penggunaan awal terapi 3-4 minggu. Stevens-Johnson syndrome juga dilaporkan
setelah menggunakan lamotrigin.
Levetirasetam
Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifat pyrrolidone
((S)-ethyl-2-oxo-pyrrolidine acetamide). Levetirasetam digunakan dalam terapi
21
22
Kejang umum
Absens
Asam valproat
Etosuksimid
Mioklonik Asam valproat
Klonazepam
Tonikklonik
Fenitoin
Karbamazepin
Asam valproat
Obat alternatif
Gabapentin
Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
Tiagabin
Primidon
Fenobarbital
Felbamat
Lamotrigin
Levetiracetam
Lamotrigin
Topiramat
Felbamat
Zonisamid
Levetiracetam
Lamotrigin
Topiramat
Primidon
Fenobarbital
Okskarbanzepin
Levetiracetam
23
24
BAB III
25
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. S
Umur
: 53 Tahun
Alamat
: Pongkai, Tabing
Pekerjaan
: Tani
Agama
: Islam
Status Perkawinan
: Menikah
No. RM
: 096176
Tanggal Masuk
: 13/05/2014
Ruang/Kelas
: Poli Syaraf
B. ANAMNESIS
: Autoanamnesis
I.
II.
26
lebih dari 3 kali dalam sehari disertai dengan kehilangan kesadaran pada
saat kejang.
III.
IV.
C. PEMERIKSAAN FISIK
I.
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum
Kesadaran
: Composmentis kooperatif
GCS
: E4M6V5
Tinggi badan
: 160 cm
Berat badan
: 55 kg
Tanda Vital
-
Tekanan darah
: 120/60 mmHg
Frekuensi nadi
: 76 x/menit, reguler.
Suhu
Rambut
: 36. 4 oC
: Warna hitam, lebat.
Leher
27
Aksila
Inguinal
Kepala
Mata
Hidung
Mulut
: spasme otot-otot leher (-), spasme otot bahu (-), nyeri (-)
Thoraks
a. Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
: Timpani.
Ekstremitas
Superior
ada kelemahan.
28
Inferior
Status Neurologis
A. Tanda Rangsang Selaput Otak:
Kaku Kuduk
: Negatif
Brudzinski I
: Negatif
Brudzinski II
: Negatif
Kernig Sign
: Negatif
Laseg Sign
: Negatif
: Isokor
Refleks cahaya
: +/+
Kanan
Normal
Normal
Kiri
Normal
Normal
Kanan
Normal
Normal
Normal
Tidak dinilai
Kiri
Normal
Normal
Normal
Tidak dinilai
Kanan
Normal
Tidak ada
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Kiri
Normal
Tidak ada
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Bentuk
Normal
Normal
Refleks cahaya
Positif
Positif
29
Rrefleks akomodasi
Normal
Normal
Refleks konvergensi
Normal
Normal
N. IV (N. Trochlearis)
Gerakan mata ke bawah
Kanan
Normal
Kiri
Normal
Sikap bulbus
Normal
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Diplopia
N. V (N. Trigeminus)
Kanan
Kiri
Motorik :
Membuka mulut
Normal
Normal
Menggerakkan rahang
Normal
Normal
Menggigit
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Mengunyah
Sensorik :
Divisi Optalmika
Refleks kornea
Sensibilitas
Divisi Maksila
Refleks masseter
Sensibilitas
Divisi Mandibula
Sensibilitas
N. VI (N. Abduscen)
Gerakan mata lateral
Sikap bulbus
Diplopia
Kanan
Normal
Normal
Tidak ada
Kiri
Normal
Normal
Tidak ada
Kiri
30
Raut wajah
Sekresi air mata
Fisura palpebra
Menggerakkan dahi
Menutup mata
Mencibir/bersiul
Memperlihatkan gigi
Sensasi lidah 2/3 depan
Hiperakusis
Simetris
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Tidak ada
Simetris
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Tidak ada
Kanan
Normal
Normal
Tidak dinilai
Tidak dinilai
Tidak dinilai
Kiri
Normal
Normal
Tidak dinilai
Tidak dinilai
Tidak dinilai
Memanjang
Tidak dinilai
Tidak dinilai
Memendek
Nistagmus :
Tidak dinilai
Tidak dinilai
Pendular
Tidak ada
Tidak ada
Vertikal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
tidak ada
Kanan
Normal
Normal
Kiri
Normal
Normal
Kanan
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
76 x/menit
Kiri
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
76 x/menit
Siklikal
Pengaruh posisi kepala
N. IX (N. Glossopharingeus)
Sensasi lidah 1/3 belakang
Refleks muntah/Gag reflek
N. X (N. Vagus)
Arkus faring
Uvula
Menelan
Artikulasi
Suara
Nadi
N. XI (N. Assesorius)
31
Kanan
Normal
Normal
Normal
Normal
Menoleh ke kanan
Menoleh ke kiri
Mengangkat bahu ke kanan
Mengangkat bahu ke kiri
Kiri
Normal
Normal
Normal
Normal
Kanan
Normal
Kiri
Normal
Normal
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Normal
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Normal
Disatria
Disgrafia
Supinasi-pronasi
Tes jari-hidung
Tes hidung-hidung
Tidak ada
Tidak ada
Normal
Normal
Normal
Kanan
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Kiri
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Superior
Inferior
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Normal
Normal
Normal
Normal
555
555
555
555
Normotrofi
Normotrofi N normotrofi Normotrofi
Normotonus Normotonus normotonus normotonus
F. Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil
Sensibilitas nyeri
Sensibilitas termis
Sensibilitas kortikal
Stereognosis
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
32
Pengenalan 2 titik
Pengenalan rabaan
Normal
Normal
G. Sistem Refleks
Refleks Fisiologis
Kornea
Berbangkis
Laring
Masseter
Dinding perut
Atas
Bawah
Tengah
Biseps
Triseps
APR
KPR
Bulbokavernosus
Kremaster
Sfingter
Fungsi Otonom
Miksi
Defekasi
Sekresi keringat
4. Fungsi Luhur
Kesadaran
Reaksi bicara
Fungsi intelek
Reaksi emosi
Kiri
Normal
Tidak dinilai
Tidak dinilai
Normal
Normal
Normal
Normal
+2
+2
+2
+2
-
Normal
Normal
Normal
+2
+2
+2
+2
Normal
Refleks Patologis
Lengan
Hoffman-Tromner
Tungkai
Babinski
Chaddoks
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Klonus kaki
3.
Kanan
Normal
Tidak dinilai
Tidak dinilai
Normal
Kanan
Kiri
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
: Normal
: Normal
: Normal
Normal
Normal
Normal
Tanda Demensia
Reflek glabella
Reflek snout
Reflek menghisap
Reflek memegang
Refleks palmomental
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
33
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tidak dilakukan
Rencana Pemeriksaan Tambahan :
EEG
CT SCAN
E. MASALAH
Diagnosis
Diagnosis Klinis
: Grandmal Epilepsi
Diagnosis Topik
Diagnosis Etiologi
: Kelainan Metabolik
Diagnosis Sekunder : -
F. PEMECAHAN MASALAH
Terapi
Farmakologi
Fenitoin 3 x 100 mg perhari
Asam Folat 2x1 tablet perhari
Nonfarmakologi
Menjaga higienitas mulut, terutama gigi dan gusi, dengan cara gosok gigi
teratur.
Kontrol kembali ke poli syaraf 1 hari sebelum obat habis atau jika kejang
muncul walaupun obat terus dikonsumsi
34
Jika pasien kejang jauhkan pasien dari api, lalu lintas, atau air, dan
benda-benda yang dapat membahayakan pasien; longgarkan pakaian
yang ketat, letakkan benda yang lembut di bawah kepala pasien,
miringkan tubuh pasien agar air liur dan lendir keluar dari mulut
(mencegah aspirasi).
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Tn. S, berusia 15 tahun, datang ke poli saraf RSUD Bangkinang pada
tanggal 13/05/2014 dengan kejang sebanyak 5 kali 1 hari yang lalu. Menurut istri
pasien, sebelum muncul kejang, pasien termenung beberapa saat, kemudian
pingsan dan muncul kejang. Kejang berlangsung selama 30 menit, seperti gerakan
menghentak-hentakkan badan di seluruh tubuh, bola mata memutar ke atas, dan
pasien mengompol. Selama kejang berlangsung pasien tidak sadarkan diri. Setelah
serangan kejang berhenti, pasien tidak langsung sadar, melainkan tertidur
beberapa menit, baru kemudian sadar kembali. Setelah sadar, pasien tidak ingat
dengan peristiwa yang baru dialaminya. Menurut istri pasien, keluhan kejang ini
muncul setelah obat yang diberikan oleh dokter sebelumnya habis. Pasien sudah
menderita keluhan ini sejak 15 tahun yang lalu Keluhan sudah pernah diobati ke
dokter. Pasien bebas kejang jika obat rutin dikonsumsi, namun kejang akan
muncul kembali jika obat habis. Bila serangan kejang muncul, kejang bisa
berlangsung lebih dari 3 kali dalam sehari disertai dengan kehilangan kesadaran
pada saat kejang. Pasien memiliki riwayat menderita malaria tropicana 14 tahun
yang lalu dan sudah diobati. Pasien sehari-hari bekerja sebagai petani karet dan
sering kelelahan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan Kesadaran komposmentis kooperatif dengan
GCS (E4M6V5), TD=120/60 mmHg, HR=70 x/i, RR= 16x/i, T= 36,40C, dengan
pemeriksaan neurologis dalam batas normal.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, gejala klinis yang di alami
oleh pasien menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, keluhan
pasien termasuk dalam bangkitan umum yaitu berupa epilepsi grand mal (tonikklonik). Pada fase awal serangan epilepsi jenis ini dimulai dengan
35
kontraksi otot tonik di seluruh bagian badan (10-20 detik), diikuti dengan fase
klonik, ditandai dengan relaksasi otot-otot secara menyeluruh. Periode relaksasi
ini bertahan sehingga hampir 1 menit sebelum pasien memasuki fase postictal yang ditandai pasien secara perlahan-lahan kembali sadar dalam
jangka waktu menit ke jam, dan seringkali disertai dengan kebingungan.
Epilepsi grand mal (tonik-klonik) merupakan jenis epilepsi yang paling sering
terjadi.
Pada pasien ini diberikan fenitoin sebagai antiepileptik. Fenitoin merupakan
obat pilihan pertama untuk epilepsi grand mal (kejang tonik-klonik). Mekanisme
aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+) yang mengakibatkan
influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat
terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron.
Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20
mg/kg/hari tiap 6 jam dengan dosis maksimal 500-600 mg. Efek samping yang
sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga
mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan berganda),
disfungsi korteks, dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat
menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh dan nistagmus. Salah satu efek
samping kronis yang mungkin terjadi adalah gingival hyperplasia (pembesaran
pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat mengurangi risiko gingival
hyperplasia. Selain itu fenitoin memiliki efek merduksi kadar asam folat di dalam
darah sehingga dapat menyebabkan terjadinya anemia aplastik, untuk mencegah
hal tersebut setiap pemberian fenitoin selalu diberikan juga asam folat sebagai
profilaksis.
36
BAB V
KESIMPULAN
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya bangkitan (seizure)
yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak
secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan
berlebihan pada neuron-neuron secara paroksismal yang disebabkan oleh
beberapa etiologi1,2. Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak
lebih dominan dari pada proses inhibisi. Terjadinya epilepsi juga diperantarai oleh
berbagai faktor pemicu, seperti kurang tidur, stres emosional, infeksi, perubahan
hormonal, terlalu lelah, fotosensitif terhadap cahaya, obat-obatan, dan alcohol.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi berdasarkan
bangkitannya diklasifikasikan menjadi epilepsi bangkitan parsial, epilepsi bangkitan
umum (absence/lena/petit mal, klonik, tonik, tonik-klonik/Grand mal, mioklonik,
atonik), dan yang tak tergolongkan. Dimana epilepsi grand mal atau tonik-klonik
merupakan bentuk paling banyak yang terjadi pada penderita epilepsi. Manifestasi
klinisnya dimulai dengan kontraksi otot tonik di seluruh bagian badan (10-20
detik), diikuti dengan fase klonik, ditandai dengan relaksasi otot-otot secara
menyeluruh (1 menit). Kemudia diikuti fase post-ictal yang ditandai dengan
pasien secara perlahan-lahan kembali sadar dalam jangka waktu menit
ke jam, dan seringkali disertai dengan kebingungan.
Terapi lini pertama epilepsi grand mal (tonik-klonik) adalah fenitoin dengan
dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20
mg/kg/hari tiap 6 jam dengan dosis maksimal 500-600mg perhari. Efek samping
yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga
mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (diplopia), disfungsi
korteks, dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan
gangguan keseimbangan tubuh dan nistagmus. Salah satu efek samping kronis
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press: 2008.
2. Ginsberg lionel. Lecture Notes Neurologi. Edisi ke-8. Jakarta : Erlangga:
2008.
3. Elizabeth J. Buku Saku Patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta : EGC: 2009.
4. Utoyo Sunaryo. Presentation Pedoman Tatalaksana Epilepsi Kelompok Studi
Epilepsi PERDOSSI. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kesuma.
Surabaya. 2007.
5. Gunawan sulistia. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 2007.
6. Oodman, Gilman.Dasar Farmakologi Terapi.vol.1.Jakarta:EGC.2007.h:506531.
7. WibowoS, Gofir
Press.2006.h:85.
A.Obat
Antiepilepsi.Yogyakarta:Pustaka
Cendekia
38