Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya bangkitan (seizure)
yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak
secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan
berlebihan pada neuron-neuron secara paroksismal yang disebabkan oleh
beberapa etiologi1,2. Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak
lebih dominan dari pada proses inhibisi. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk
inhibisi potensial postsinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah
lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik
disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan
neurotransmitter inhibitorik utama pada otak1,2,3.
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik 1,2. Menurut
International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi berdasarkan bangkitannya
diklasifikasikan menjadi

epilepsi bangkitan parsial, epilepsi bangkitan umum

(absence/lena/petit mal, klonik, tonik, tonik-klonik/Grand mal, mioklonik, atonik),

dan yang tak tergolongkan. Dimana epilepsi grand mal atau tonik-klonik
merupakan bentuk paling banyak yang terjadi pada penderita epilepsi4.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Epilepsi
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya bangkitan (seizure)
yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak
secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan
berlebihan pada neuron-neuron secara paroksismal yang disebabkan oleh
beberapa etiologi1,2.
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik dari bangkitan
serupa (stereotipik) yang berlangsung secara mendadak dan sementara dengan
atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok
sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked)1,2.
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang
terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan,
jenis bangkitan, faktor pencetus dan kronisitas1,2.

2.2 Etiologi Epilepsi


Tidak ada penyebab tunggal pada epilepsi. Banyak faktor yang dapat
mencederai sel-sel saraf otak atau lintasan komunikasi antarsel otak yang dapat
menyebabkan epilepsi. Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya
dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya
dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi,
kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan
metabolik1,2.
a. Idiopatik
Penyebab yang tidak diketahui ini dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih
sering padakelompok umur 5-20 tahun. Pada pemeriksaan CT scan atau
MRI, biasanya tidak ditemukan kelainan. Penderita juga sering
mempunyai riwayat keluarga yang menderita epilepsi2,3,1.

b. Kelainan metabolik
Penyebab ini dapat terjadi pada semua umur. Kebanyakan terjadi
akibat komplikasi dari diabetes melitus, gangguan keseimbangan
elektrolit, gagal ginjal, defisiensi nutrisi dan intoksikasi alkohol atau obatobatan2.
c. Trauma kepala
Penyebab ini dapat terjadi pada semua umur terutama pada dewasa
muda. Epilepsi lebih sering terjadi pada kontusio serebri dan biasanya
muncul bangkitkan 2 tahun pascacedera4.
d. Tumor
Tumor adalah penyebab yang bisa terjadi pada semua umur ,
terutama pada umur diatas 30 tahun yang pada awalnya berupa bangkitan
parsial dan kemudian berkembang menjadi bangkitan umum tonik-klonik3.
e. Infeksi
Infeksi juga bisa menyebabkan epilepsi yang biasanya dalama bentuk
ensefalitis, meningitis, atau abses.
Berikut ini merupakan penyebab spesifik epilepsi, antara lain1,2:
a. Kelainan yang terjadi selama kehamilan/perkembangan janin contohnya ibu
mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang dapat merusak otak janin, minumminuman alkhohol atau mendapatkan terapi penyinaran.
b. Kelainan yang terjadi saat kelahiran (bayi baru lahir) :
- Brain malformation
- Gangguan oksigenasi sebelum lahir (Hipoksia-Asfiksia)
- Gangguan elektrolit
- Gangguan metabolisme janin
- Infeksi
c. Saat usia bayi anak-anak
- demam (kejang demam)

- tumor otak (jarang)


- infeksi
d. Saat usia anak dewasa
- Kelainan kongenital sepeti sindrom down, neurofibromatosis, dan lain-lain.
- Faktor genetik dimana bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik)
maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang
tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%.
- Penyakit otak yang berjalan secara progresif seperti tumor otak (jarang)
- Trauma kepala
e. Saat usia tua/lanjut
- Stroke
- Penyakit Alzeimer
- Trauma
Selain hal-hal di atas, terdapat beberapa faktor pencetus dari epilepsi, yaitu1,2 :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Kurang tidur
Stress emosional
Infeksi
Perubahan hormonal
Terlalu lelah
Fotosensitif terhadap cahaya
Obat-obatan
alkohol

2.3 Patofisiologi Epilepsi


Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen,

disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel


opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal
inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan
keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron1,2,3.
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi
(focus) di otak. Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi
disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter
eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi
neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya
berperan pada reseptor n-methyl-D aspartic acid (NMDA) atau -amino 3 hydroxyl 5 - methyl 4 - isoxazolepropionic acid (AMPA) di post-sinaptik.
Keterlibatan NMDA receptor (NMDAR) subtipe dari reseptor glutamat disebutsebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsy.2
Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja
dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya
beberapa faktor yang bertanggung jawab atas bangkitan epilepsi antara lain
kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya
dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium).
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
a. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
b. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan
menyebarkan aktivitas kejang.
c. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang
bias dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang.
Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu
aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
d. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut
respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.

e. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi. Serangan epilepsi akan
muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi
yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat
dan berulang-ulang.
Cetusan listrik abnormal ini kemudian membawa neuron-neuron yang terkait di
dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik
dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk
suatu badai aktivitas listrik di dalam otak.
Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang
berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang
terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil
dengan manifestasi yang sangat bervariasi.
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :
a. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF) yang membedakan seseorang peka
tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang
sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis
rangsangan berbedabeda.
b. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas
timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi
merupakan kerja sama SED dan NPF.
c. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan
epilepsy pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang
yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak
ada.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan
demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan
konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari
Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium
ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. kalium dan

kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat
reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang
dibutuhkan dalam komunikasi sesama neuron. Jika terjadi kerusakan atau kelainan
pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu
sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor
neurotransmiter tertentu.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
a. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin)
kuran optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
b. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat)
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebiha juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid) tidak normal. Pada otak manusia yang
menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA
dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic
potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa
aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat
yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada
GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset
membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan
inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan.
Berbagai

macam

penyakit

dapat

menyebabkan

terjadinya

perubahan

keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer,


kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut
dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi
neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang
memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak
antara lain di hipokampus1,2,3.
Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas
neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan
7

kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi
yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu
tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di
lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi
dapatan1,2,3.
2.4 Klasifikasi Epilepsi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi
berdasarkan bangkitannya diklasifikasikan menjadi1,2,4:
a. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)
Dengan gejala motorik
Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
Dengan gejala autonom
Dengan gejala psikis
b. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)
Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.
Gangguan kesadaran saat awal serangan.
c. Parsial yang menjadi umum sekunder
Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik
Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonikkonik.
d. Bangkitan Umum

Absence / lena / petit mal : jenis yang jarang terjadi, umumnya hanya
terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja, dimana manifestasi
klinisnya berupa penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedipkedip, dengan kepala terkulai, kejadiannya cuma beberapa detik, dan
bahkan sering tidak disadari.
Klonik
Tonik
Tonik-klonik/Grand mal : merupakan bentuk paling banyak terjadi.
Manifestasi klinisnya berupa pasien yang tiba-tiba jatuh, kejang tonik
diikuti kejang klonik, nafas terengah-engah, keluar air liur hingga bisa
terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah terjadi beberapa menit,
kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala.
Mioklonik : biasanya terjadi pada pagi hari. Manifestasi klinisnya berupa
kejang tiba-tiba yang terjadi setelah bangun tidur (tapi non-epileptik) dan
bisa terjadi pada pasien normal.
Atonik : jarang terjadi. Manifestasi klinis berupa pasien yang tiba-tiba
kehilangan kekuatan otot jatuh, tapi bisa segera recovered.
e. Tak Tergolongkan
Sedangkan menurut ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi diklasifikasikan
menjadi1,2,4 :
a. Berkaitan dengan letak fokus (localized related)
Idiopatik (primer)

Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal


(Rolandik benigna)

Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital


9

Primary reading epilepsy

Simtomatik (sekunder)

Lobus temporalis

Lobus frontalis

Lobus parietalis

Lobus oksipitalis

Kronik progesif parsialis kontinua

Kriptogenik
b. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan
peningkatan usia
Idiopatik (primer)

Kejang neonatus familial benigna

Kejang neonatus benigna

Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

Epilepsi absans pada anak

Epilepsi absans pada remaja

Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga.

Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.

Kriptogenik atau simtomatik

Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia).

Sindroma Lennox Gastaut.

Epilepsi mioklonik astatik

Epilepsi absans mioklonik

10

Simtomatik

Etiologi non spesifik


o Ensefalopati mioklonik neonatal
o Sindrom Ohtahara

Etiologi / sindrom spesifik.


o Malformasi serebral.
o Gangguan Metabolisme.

c.

Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal dan umum
Bangkitan umum dan fokal

Serangan neonatal

Epilepsi mioklonik berat pada bayi

Sindroma Taissinare

Sindroma Landau Kleffner

Tanpa gambaran tegas fokal atau umum


Sindrom khusus : bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu.

Kejang demam

Bangkitan yang hanya terjadi karena alkohol, obat-obatan, eklampsi


atau hiperglikemik non ketotik

Status epileptikus yang hanya timbul sekali (isolated)


Epilepsi refrektorik

2.5 Epilepsi Grand Mal (Tonik-Klonik)1,2

11

Epilepsi grand mal (tonik-klonik) ini selalu menyerang secara tiba-tiba,


walaupun ada sebagian pasien yang mengaku mengalami simptom pre-konvulsi
beberapa waktu sebelum mengalami konvulsi.
a. Fase awal (fase tonik)
Diawali gejala prodromal : rasa tidak enak, sentakan-sentakan
mioklonik.
Serangan dimulai dengan jeritan (tangisan epileptik), kehilangan
kesadaran, jatuh / cedera.
Badan, anggota gerak kaku (fase tonik) (10-20 detik), disusul kejang
klonik (fase klonik)
Pada fase ini dapat terjadi inkontinensia uri atau alvi.
b. Fase Klonik
Setelah 10 hingga 20 detik, fase tonik akhirnya berubah menjadi fase
klonik, ditandai dengan relaksasi otot-otot secara menyeluruh. Periode
relaksasi ini bertahan sehingga hampir 1-2 menit sebelum pasien
memasuki fase post-ictal/pasca iktal
Pada fase ini kejang bilateral, mula-mula simetris, menjadi tidak teratur,
nafas mendengkur, mulut keluar busa, kadang bercampur darah (karena
lidah tergigit), sianosis, mata berkedip dan mendelik ke atas.
c. Fase post-ictal/pasca iktal
Ditandai dengan pasien secara perlahan-lahan kembali sadar
dalam jangka waktu menit ke jam, dan seringkali disertai dengan
letarghi dan kebingungan. Gejala-gejala post-ictal seperti sakit kepala,
capek,dan nyeri otot biasanya muncul dan bisa bertahan
sehingga

beberapa

jam.

Fase

kesadaran

menurun

bisa

berlangsung selama beberapa jam pada pasien dengan penyakit


sistem saraf pusat, seperti pada pasien serebral atropi disebabkan oleh
intoksikasi alkohol.

12

Kehilangan kesadarn, jatuh, menjerit & kekakuan


tonik umum, kadang dengan inkontinensia urin

Gambar 1. Manifestasi Klinis Epilepsi Grand Mal


2.6 Diagnosis Epilepsi
Diagnosis epilepsy didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik
dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis1,2,4.
a. Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis
(auto dan alloanamnesis), meliputi:
Pola/bentuk serangan
Lama serangan
Gejala sebelum, selama dan paska serangan
Frekuensi serangan
Ada/ tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
Usia saat serangan terjadinya pertama
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsy dalam keluarga
b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsy seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan congenital,
gangguan neurologic fokal atau difus. pemeriksaan fisik harus menepis sebabsebab terjadinya serangan

dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit

sebagai pegangan. pada anak-anak pemeriksan harus memperhatikan adanya


keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran anggota tubuh
dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral. Pada
Pemeriksaan neurologis gejala defisit unilateral atau bilateral dapat ditemukan.

13

Hemiparesis bahkan adanya hanya spastisitas, hiper-refleksia tendon atau babinski


positif sesisi sudah memberikan pengarahan yang berharga bagi penilaian epilepsy
umum fokal. Selain itu bagian lain dari pemeriksaan adalah memeriksa fungsi
mental seperti kemampuan untuk mengingat kata, nama objek, dan melakukan
perhitungan.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsy dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
menegakkan diagnosis epilepsy. Hasil EEG dikatakan bermakna jika
didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi structural di otak, sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan adanya kelainan genetic atau metabolic.
Rekaman EEG dikatakan abnormal jika:
Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak.
Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya misal gelombang delta.
Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksismal.
Pemeriksaan radiologis yang dikenal dengan istilah neuroimaging
bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila
dibandingkan dengan CT scan maka MRI lebih sensitif dan secara
anatomic

akan

tampak

lebih

rinci.

MRI

bermanfaat

untuk

membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi


pembedahan.
2.7 Terapi Epilepsi
Terdapat 3 prinsip terapi epilepsi, yaitu: tindakan awal, yaitu tindakan
yang harus dilakukan ketika pasien kejang ; mencari penyebab yang
menyebabkan seseorang kejang; terapi medikasi dengan obat-obatan .
a. Manajemen sewaktu kejang
Menjauhkan pasien dari api, lalu lintas, atau air
Hindarkan pasien dari benda-benda yang dapat membahayakan pasien
Longgarkan pakaian yang ketat
Letakkan benda yang lembut di bawah kepala pasien

14

Miringkan tubuh pasien, agar air liur dan lendir keluar dari mulut
(mencegah aspirasi)
Tetaplah bersama pasien sampai pasien sadar
Biarkan pasien istirahat atau lanjutkan aktivitas yang dilakukan pasien
sebelumnya
b. Terapi medikamentosa
Tujuan dari pengobatan pada epilepsi adalah membantu penderita epilepsi menjalani
kehidupan sepenuhnya & produktif, menyingkirkan seizure tanpa menimbulkan
efek samping, dan mengatur pengobatan yang diperlukan individual atau
masyarakat khusus (wanita, anak, usila, penyakit hati atau ginjal & penyakit
lainnya).
Pertimbangan dalam pengelolaan epilepsi:
Patologi yang mendasari
Usia dan jenis kelamin
Gejala dan jenis seizure
Komorbiditas
Frekuensi
Seizure
Efek samping obat
Faktor yang mempengaruhi pemilihan obat:
Jenis seizure/sindroma epilepsy
Efek samping & keamanan
Usia
Kemudahan penggunaan
Gaya hidup
Usia, jenis kelamin, potensi hamil
Pengobatan penyakit lain
Pemberian obat anti epilepsi (OAE)
Terapi dimulai setelah diagnosis dipastikan dan penyuluhan diberikan.
Pilih jenis OAE sesuai jenis bangkitan.
Kaidah terapi awal: MONOTERAPI.
Mulai dari dosis rendah, naikkan bertahap sampai tercapai dosis efektif (Start
low Go slow).
Jika serangan tidak terkontrol dengan terapi optimal rujuk neurolog.
Terapi pada pasien baru
Pilihan obat tergantung jenis bangkitan.
Terapi harus obat tunggal (monoterapi).
Dosis obat ditingkatkan bertahap.
Dosis rumatan serendah mungkin.

15

Jika obat pertama dengan dosis tertinggi yang masih dapat ditoleransi tidak
berhasil rujuk neurolog.
Evaluasi kepatuhan pasien, komplikasi medik dan psikiatrik.
Terapi pada pasien kronik
Pemilihan OAE, perhatikan:
o Jenis bangkitan.
o Riwayat pengobatan sebelumnya.
Batasi maksimal 2 jenis obat.
Tetapkan dosis yang:
o Mampu mengontrol bangkitan secara maksimal.
o Tanpa menimbulkan efek toksik.
Penggantian obat:
o Perlahan, waspadai eksaserbasi bangkitan.
Pemeriksaan kadar obat dalam darah.
Penghentian OAE
Minimal 2 tahun bebas serangan.
EEG perbaikan - normal.
Cara:
o Dosis diturunkan 25% dari dosis awal secara bertahap tiap bulan selama
3-6 bulan.
o Jika digunakan > 1 OAE hentikan mulai dari 1 jenis OAE yang bukan
obat utama (satu per satu).

40%

16

Gambar 2. Strategi dalam manajemen epilepsi baru didiagnosa


Berikut obat-obat antiepilepsi:
a. Hidantoin6,7,8
Fenitoin
Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonikklonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf. Fenitoin
memiliki range terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien dibutuhkan
pengukuran kadar obat dalam darah. Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan
menghambat kanal sodium (Na+) yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion
Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi
oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron.
Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20
mg/kg/hari tiap 6 jam. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan
fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan,
gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks, dan mengantuk.
Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan
tubuh dan nistagmus. Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi adalah
gingival hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut
dapat mengurangi resiko gingival hyperplasia.
b. Barbiturat6,7,8
Fenobarbital
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang
tonik-klonik. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan
fenobarbital obat yang penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya
serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah
mengurangi penggunaannya sebagai obat utama. Aksi utama fenobarbital terletak
pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital
menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor
GABA (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan
reseptor GABAA dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain itu,
fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic
GABAergic inhibition.

17

Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan


10-20 mg/kg 1kali sehari. Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi
pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah
kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anakanak dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan
kemerahan kulit, dan Stevens-Jhonson syndrome
c. Deoksibarbiturat6,7,8
Primidon
Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik.
Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori. Efek anti kejang
primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh
primidon

dirubah

menjadi

metabolit

aktif

yaitu

fenobarbital

dan

feniletilmalonamid (PEMA). PEMA dapat meningkatkan aktifitas fenobarbotal.


Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi
antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan, perubahan
perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi.

d. Iminostilben6,7,8
Karbamazepin
Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik.
Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan
tonik-klonik. Karbamazepin menghambat kanal Na+, yang mengakibatkan influk
(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat
terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron.
Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari,
anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400800 mg. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali
sehari. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah
gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual,
goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan hyponatremia. Resiko terjadinya efek
samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan usia.
Okskarbazepin
18

Okskarbazepin

merupakan analog keto karbamazepin. Okskarbazepin

merupakan prodrug yang didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk
aktifnya, yaitu suatu turunan 10-monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi
ginjal. Okskarbazepin digunakan untuk pengobatan kejang parsial. Mekanisme
aksi okskarbazepin mirip dengan mekanisme kerja karbamazepin.
Dosis penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali
sehari sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali sehari. Efek samping penggunaan
okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah, sakit kepala, diare, konstipasi,
dispepsia, ketidak seimbangan tubuh, dan kecemasan. Okskarbazepin memiliki
efek samping lebih ringan dibanding dengan fenitoin, asam valproat, dan
karbamazepin. Okskarbazepin dapat menginduksi enzim CYP450.
e. Suksimid6,7,8
Etosuksimid
Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens. Kanal kalsium merupakan
target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal
Ca2+ tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang
diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan
pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens.
Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal
dan 20 mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan
usia lebih dari 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari. Efek samping penggunaan
etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping penggunaan etosuksimid
yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan pencernaan,
goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan.
f. Asam valproat6,7,8
Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang
absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat
meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi
sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon GABA post
sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal
kalium.

19

Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari. Efek samping yang


sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah,
anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin
ditimbulkan adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan
kebotakan. Asam valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek
samping yang berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik.
Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan
kadar amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai
menyebabkan kerusakan hati.
Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah
terkait penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat
secara bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah
efek sedasi yang dihasilkan. Valproat sendiri juga dapat menghambat
metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin.

Obat yang dapat

menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme valproat. Hampir 1/3


pasien mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang dari 5% saja yang
menghentikan penggunaan obat terkait efek samping tersebut.
g. Benzodiazepin6,7,8
Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang. Benzodiazepin merupakan
agonis GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan
frekuensi pembukaan reseptor GABAA.
Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11
tahun 0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg, dan dewasa 4-40
mg/hari. Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin
adalah cemas, kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan
dikulit, konstipasi, dan mual.
h. Obat antiepilepsi lain6,7,8,9
Gabapentin
Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial epilepsi
walaupun kegunaan utamanya adalah untuk pengobatan nyeri neuropati. Uji
double-blind dengan kontrol plasebo pada penderita bangkitan parsial yang sulit
diobati menunjukkan bahwa penambahan gabapentin pada obat antikejang lain
leibh unggul dari pada plasebo. Penurunan nilai median seizure yang diinduksi

20

oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan dengan 12% pada plasebo. Penelitian
double-blind monoterapi gabapentin (900 atau 1800 mg/hari) mengungkapkan
bahwa efikasi gabapentin mirip dengan efikasi karbamazepin (600 mg/hari).
Gabapentin dapat meningkatkan pelepasan GABA nonvesikel melalui mekanisme
yang belum diketahui. Gabapentin mengikat protein pada membran korteks
saluran Ca2+ tipe L. Namun gabapentin tidak mempengaruhi arus Ca2+ pada
saluran Ca2+ tipe T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu mengurangi perangsangan
potensial aksi berulang terus-menerus9.
Dosis gabapentin untuk anak usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia
5-12 tahun 25-35 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 12 tahun atau lebih dan dewasa
300 mg 3 kali sehari. Efek samping yang sering dilaporkan adalah pusing,
kelelahan, mengantuk, dan ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang agresif
umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa pasien yang menggunakan
gabapentin mengalami peningkatan berat badan.

Lamotrigin
Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum luas
yang memiliki efikasi pada parsial dan epilepsi umum. Lamotrigin tidak
menginduksi atau menghambat metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme
aksi utama lamotrigin adalah blokade kanal Na, menghambat aktivasi arus
Ca2+ serta memblok pelepasan eksitasi neurotransmiter asam amino seperti
glutamat dan aspartat. Dosis lamotrigin 25-50 mg/hari. Penggunaan lamotrigin
umumnya dapat ditoleransi pada pasien anak, dewasa, maupun pada pasien
geriatri. Efek samping yang sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan
(penglihatan berganda), sakit kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri
tegak). Lamotrigin dapat menyebabkan kemerahan kulit terutama pada
penggunaan awal terapi 3-4 minggu. Stevens-Johnson syndrome juga dilaporkan
setelah menggunakan lamotrigin.
Levetirasetam
Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifat pyrrolidone
((S)-ethyl-2-oxo-pyrrolidine acetamide). Levetirasetam digunakan dalam terapi

21

kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, kejang tonik-klonik. Mekanisme


levetirasetam dalam mengobati epilepsi belum diketahui. Namun pada suatu studi
penelitian disimpulkan levetirasetam dapat menghambat kanal Ca 2+ tipe N dan
mengikat protein sinaptik yang menyebabkan penurunan eksitatori (atau
meningkatkan inhibitori). Proses pengikatan levetiracetam dengan protein sinaptik
belum diketahui.
Dosis levetirasetam 500-1000 mg 2 kali sehari. Efek samping yang umum
terjadi adalah sedasi, gangguan perilaku, dan efek pada SSP. Gangguan perilaku
seperti agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat penggunaan levetirasetam.
Topiramat
Topiramat digunakan tunggal atau tambahan pada terapi kejang parsial,
kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Topiramat mengobati kejang dengan
menghambat kanal sodium (Na+), meningkatkan aktivitas GABAA, antagonis
reseptor glutamat AMPA/kainate, dan menghambat karbonat anhidrase yang
lemah.
Dosis topiramat 25-50 mg 2 kali sehari. Efek samping utama yang mungkin
terjadi adalah gangguan keseimbangan tubuh, sulit berkonsentrasi, sulit
mengingat, pusing, kelelahan,paresthesias (rasa tidak enak atau abnormal).
Topiramat dapat menyebabkan asidosis metabolik sehingga terjadi anorexia dan
penurunan berat badan.
Tiagabin
Tiagabin digunakan untuk terapi kejang parsial pada dewasa dan anak 16
tahun. Tiagabin meningkatkan aktivitas GABA, antagonis neuron atau
menghambat reuptake GABA.
Dosis tiagabin 4 mg 1-2 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi adalah
pusing, asthenia (kekurangan atau kehilangan energi), kecemasan, tremor, diare
dan depresi. Penggunaan tiagabin bersamaan dengan makanan dapat mengurangi
efek samping SSP.
Felbamat
Felbamat bukan merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang, felbamat
hanya digunakan bila terapi sebelumnya tidak efektif dan pasien epilepsi berat

22

yang mempunyai resiko anemia aplastik. Mekanisme aksi felbamat menghambat


kerja NMDA dan meningkatkan respon GABA.
Dosis felbamat untuk anak usia lebih dari 14 tahun dan dewasa 1200 mg 3-4
kali sehari. Efek samping yang sering dilaporkan terkait dengan penggunaan
felbamat adalah anorexia, mual, muntah, gangguan tidur, sakit kepala dan
penurunan berat badan. Anorexia dan penurunan berat badan umumnya terjadi
pada anak-anak dan pasien dengan konsumsi kalori yang rendah.
Zonisamid
Zonisamid merupakan suatu turunan sulfonamid yang digunakan sebagai
terapi tambahan kejang parsial pada anak lebih dari 16 tahun dan dewasa.
Mekanisme aksi zonisamid adalah dengan menghambat kanal kalsium (Ca2+) tipe
T.
Dosis zonisamid 100 mg 2 kali sehari. Efek samping yang umum terjadi
adalah mengantuk, pusing, anorexia, sakit kepala, mual, dan agitasi.

Tabel 1. Pilihan obat untuk gangguan kejang spesifik


Tipe seizure
Seizure parsial

Kejang umum

Terapi pilihan pertama


Karbamazepin
Fenitoin
Lamotrigin
Asam valproat
Okskarbanzepin

Absens

Asam valproat
Etosuksimid
Mioklonik Asam valproat
Klonazepam

Tonikklonik

Fenitoin
Karbamazepin
Asam valproat

Obat alternatif
Gabapentin
Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
Tiagabin
Primidon
Fenobarbital
Felbamat
Lamotrigin
Levetiracetam
Lamotrigin
Topiramat
Felbamat
Zonisamid
Levetiracetam
Lamotrigin
Topiramat
Primidon
Fenobarbital
Okskarbanzepin
Levetiracetam
23

Tabel 2. Obat-Obat Anti-epilepsi Beserta Dosisnya

24

BAB III

25

LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. S

Umur

: 53 Tahun

Alamat

: Pongkai, Tabing

Pekerjaan

: Tani

Agama

: Islam

Status Perkawinan

: Menikah

No. RM

: 096176

Tanggal Masuk

: 13/05/2014

Ruang/Kelas

: Poli Syaraf

B. ANAMNESIS

: Autoanamnesis

I.

Keluhan Utama: Kejang sebanyak 5 kali, 1 hari yang lalu

II.

Riwayat Penyakit Sekarang:


1 hari yang lalu pasien mengalami kejang sebanyak 5 kali. Menurut
istri pasien, sebelum muncul kejang, pasien termenung beberapa saat,
kemudian pingsan dan muncul kejang. Kejang berlangsung selama 30
menit, seperti gerakan menghentak-hentakkan badan di seluruh tubuh, bola
mata memutar ke atas, dan pasien mengompol. Selama kejang berlangsung
pasien tidak sadarkan diri. Setelah serangan kejang berhenti, pasien tidak
langsung sadar, melainkan tertidur beberapa menit, baru kemudian sadar
kembali. Setelah sadar, pasien tidak ingat dengan peristiwa yang baru
dialaminya. Menurut istri pasien, keluhan kejang ini muncul setelah obat
yang diberikan oleh dokter sebelumnya habis, dan waktu munculnya
kejang tidak bisa diprediksi.
Sejak 15 tahun yang lalu pasien sudah mengalami keluhan serupa
(kejang berulang). Keluhan sudah pernah diobati ke dokter. Pasien bebas
kejang jika obat rutin dikonsumsi, namun kejang akan muncul kembali
jika obat habis. Bila serangan kejang muncul, kejang bisa berlangsung

26

lebih dari 3 kali dalam sehari disertai dengan kehilangan kesadaran pada
saat kejang.
III.

Riwayat Penyakit Dahulu:


-

Riwayat menderita malaria tropicana 14 tahun yang lalu dan sudah


diobati

Riwayat alergi obat/makanan disangkal.

Riwayat trauma sebelum keluhan muncul disangkal

Riwayat kelahiran : lahir normal, cukup bulan, langsung menangis,


dan berat badan normal

IV.

Riwayat Penyakit Keluarga:


-

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama.

V. Riwayat Pribadi dan Sosial:


-

Pasien sehari-hari bekerja sebagai petani karet dan sering kelelahan.

C. PEMERIKSAAN FISIK
I.

Pemeriksaan Umum
Keadaan umum

: Tampak sakit ringan

Kesadaran

: Composmentis kooperatif

GCS

: E4M6V5

Tinggi badan

: 160 cm

Berat badan

: 55 kg

Tanda Vital
-

Tekanan darah

: 120/60 mmHg

Frekuensi nadi

: 76 x/menit, reguler.

Frekuensi Pernafasan : 16 x/menit

Suhu

Rambut

: 36. 4 oC
: Warna hitam, lebat.

Kelenjar Getah Bening


-

Leher

: tidak ada pembesaran

27

Aksila

: tidak ada pembesaran

Inguinal

: tidak ada pembesaran

Kepala
Mata

: Sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-, refleks pupil +/+

Hidung

: Sekret (-), deviasi septum (-).

Mulut

: Bibir kering (-).

Telinga: kelainan kongenital (-), keluar cairan dari telinga (-)


Leher

: spasme otot-otot leher (-), spasme otot bahu (-), nyeri (-)

Thoraks
a. Paru-paru
Inspeksi

: Gerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga tidak ada.

Palpasi

: Vokal Fremitus simetris kanan dan kiri.

Perkusi

: Sonor pada seluruh lapang paru.

Auskultasi : vesikuler +/+, Ronkhi -/-, wheezing -/b. Jantung


Inspeksi

: Ictus cordis tidak terlihat.

Palpasi

: Ictus cordis teraba. Thrill tidak ada.

Perkusi

Batas jantung kanan: SIC IV linea parasternalis dekstra.

Batas jantung kiri : SIC V 1 jari medial linea midclavicula


sinistra.

Auskultasi : Bunyi jantung I & II reguler, gallop (-), Murmur (-)


Abdomen
Inspeksi

: Bentuk datar, distensi (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal.

Palpasi

: Supel, nyeri tekan (-), tidak ada pembesaran hepar dan


lien

Perkusi

: Timpani.

Ekstremitas
Superior

: Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada, tidak

ada kelemahan.

28

Inferior

: Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada, tidak

ada kelemahan tungkai.


II.

Status Neurologis
A. Tanda Rangsang Selaput Otak:
Kaku Kuduk

: Negatif

Brudzinski I

: Negatif

Brudzinski II

: Negatif

Kernig Sign

: Negatif

Laseg Sign

: Negatif

B. Tanda Peningkatan Tekanan intrakranial:


Pupil

: Isokor

Refleks cahaya

: +/+

C. Pemeriksaan Saraf Kranial:


N.I (N. Olfactorius)
Penciuman
Subyektif
Obyektif dengan bahan

Kanan
Normal
Normal

Kiri
Normal
Normal

Kanan
Normal
Normal
Normal
Tidak dinilai

Kiri
Normal
Normal
Normal
Tidak dinilai

Kanan
Normal
Tidak ada
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Kiri
Normal
Tidak ada
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

N.II (N. Optikus)


Penglihatan
Tajam penglihatan
Lapang pandang
Melihat warna
Funduskopi
N.III (N. Okulomotorius)
Bola mata
Ptosis
Gerakan bulbus
Strabismus
Nistagmus
Ekso/Endophtalmus
Pupil :

Bentuk

Normal

Normal

Refleks cahaya

Positif

Positif

29

Rrefleks akomodasi

Normal

Normal

Refleks konvergensi

Normal

Normal

N. IV (N. Trochlearis)
Gerakan mata ke bawah

Kanan
Normal

Kiri
Normal

Sikap bulbus

Normal

Normal

Tidak ada

Tidak ada

Diplopia

N. V (N. Trigeminus)
Kanan

Kiri

Motorik :

Membuka mulut

Normal

Normal

Menggerakkan rahang

Normal

Normal

Menggigit

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Mengunyah
Sensorik :

Divisi Optalmika

Refleks kornea

Sensibilitas

Divisi Maksila

Refleks masseter

Sensibilitas

Divisi Mandibula

Sensibilitas
N. VI (N. Abduscen)
Gerakan mata lateral
Sikap bulbus
Diplopia

Kanan
Normal
Normal
Tidak ada

Kiri
Normal
Normal
Tidak ada

N. VII (N. Facialis)


Kanan

Kiri
30

Raut wajah
Sekresi air mata
Fisura palpebra
Menggerakkan dahi
Menutup mata
Mencibir/bersiul
Memperlihatkan gigi
Sensasi lidah 2/3 depan
Hiperakusis

Simetris
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Tidak ada

Simetris
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Tidak ada

Kanan
Normal
Normal
Tidak dinilai
Tidak dinilai
Tidak dinilai

Kiri
Normal
Normal
Tidak dinilai
Tidak dinilai
Tidak dinilai

Memanjang

Tidak dinilai

Tidak dinilai

Memendek
Nistagmus :

Tidak dinilai

Tidak dinilai

N. VIII (N. Vestibulocochlearis)


Suara berbisik
Detik arloji
Rinne test
Scwabach test
Webber test :

Pendular

Tidak ada

Tidak ada

Vertikal

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

tidak ada

Kanan
Normal
Normal

Kiri
Normal
Normal

Kanan
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
76 x/menit

Kiri
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
76 x/menit

Siklikal
Pengaruh posisi kepala
N. IX (N. Glossopharingeus)
Sensasi lidah 1/3 belakang
Refleks muntah/Gag reflek
N. X (N. Vagus)
Arkus faring
Uvula
Menelan
Artikulasi
Suara
Nadi
N. XI (N. Assesorius)

31

Kanan
Normal
Normal
Normal
Normal

Menoleh ke kanan
Menoleh ke kiri
Mengangkat bahu ke kanan
Mengangkat bahu ke kiri

Kiri
Normal
Normal
Normal
Normal

N. XII (N. Hipoglossus)


Kedudukan lidah di
dalam
Kedudukan lidah
dijulurkan
Tremor
Fasikulasi
Atrofi
D. Pemeriksaan Koordinasi
Cara berjalan
Romberg test
Ataksia
Rebound phenomen
Tes tumit-lutut

Kanan
Normal

Kiri
Normal

Normal

Normal

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Normal
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Normal

Disatria
Disgrafia
Supinasi-pronasi
Tes jari-hidung
Tes hidung-hidung

Tidak ada
Tidak ada
Normal
Normal
Normal

E. Pemeriksaan Fungsi Motorik


A. Berdiri dan Berjalan
Gerakan spontan
Tremor
Atetosis
Mioklonik
Khorea
Ekstremitas
Gerakan
Kekuatan
Trofi
Tonus

Kanan
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Kiri
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Superior
Inferior
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Normal
Normal
Normal
Normal
555
555
555
555
Normotrofi
Normotrofi N normotrofi Normotrofi
Normotonus Normotonus normotonus normotonus

F. Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil
Sensibilitas nyeri
Sensibilitas termis
Sensibilitas kortikal
Stereognosis

Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
32

Pengenalan 2 titik
Pengenalan rabaan

Normal
Normal

G. Sistem Refleks
Refleks Fisiologis
Kornea
Berbangkis
Laring
Masseter
Dinding perut
Atas
Bawah
Tengah
Biseps
Triseps
APR
KPR
Bulbokavernosus
Kremaster
Sfingter

Fungsi Otonom
Miksi
Defekasi
Sekresi keringat

4. Fungsi Luhur
Kesadaran
Reaksi bicara
Fungsi intelek
Reaksi emosi

Kiri
Normal
Tidak dinilai
Tidak dinilai
Normal

Normal
Normal
Normal
+2
+2
+2
+2
-

Normal
Normal
Normal
+2
+2
+2
+2
Normal

Refleks Patologis
Lengan
Hoffman-Tromner
Tungkai
Babinski
Chaddoks
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Klonus kaki
3.

Kanan
Normal
Tidak dinilai
Tidak dinilai
Normal

Kanan

Kiri

Negatif

Negatif

Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

: Normal
: Normal
: Normal

Normal
Normal
Normal

Tanda Demensia
Reflek glabella
Reflek snout
Reflek menghisap
Reflek memegang
Refleks palmomental

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

33

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tidak dilakukan
Rencana Pemeriksaan Tambahan :

EEG
CT SCAN

E. MASALAH
Diagnosis

Diagnosis Klinis

: Grandmal Epilepsi

Diagnosis Topik

: Korteks Cerebri Bilateral

Diagnosis Etiologi

: Kelainan Metabolik

Diagnosis Sekunder : -

F. PEMECAHAN MASALAH
Terapi
Farmakologi
Fenitoin 3 x 100 mg perhari
Asam Folat 2x1 tablet perhari
Nonfarmakologi

Hindari stress dan terlalu lelah

Menjaga higienitas mulut, terutama gigi dan gusi, dengan cara gosok gigi
teratur.

Minum obat secara teratur

Kontrol kembali ke poli syaraf 1 hari sebelum obat habis atau jika kejang
muncul walaupun obat terus dikonsumsi

34

Jika pasien kejang jauhkan pasien dari api, lalu lintas, atau air, dan
benda-benda yang dapat membahayakan pasien; longgarkan pakaian
yang ketat, letakkan benda yang lembut di bawah kepala pasien,
miringkan tubuh pasien agar air liur dan lendir keluar dari mulut
(mencegah aspirasi).
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Tn. S, berusia 15 tahun, datang ke poli saraf RSUD Bangkinang pada
tanggal 13/05/2014 dengan kejang sebanyak 5 kali 1 hari yang lalu. Menurut istri
pasien, sebelum muncul kejang, pasien termenung beberapa saat, kemudian
pingsan dan muncul kejang. Kejang berlangsung selama 30 menit, seperti gerakan
menghentak-hentakkan badan di seluruh tubuh, bola mata memutar ke atas, dan
pasien mengompol. Selama kejang berlangsung pasien tidak sadarkan diri. Setelah
serangan kejang berhenti, pasien tidak langsung sadar, melainkan tertidur
beberapa menit, baru kemudian sadar kembali. Setelah sadar, pasien tidak ingat
dengan peristiwa yang baru dialaminya. Menurut istri pasien, keluhan kejang ini
muncul setelah obat yang diberikan oleh dokter sebelumnya habis. Pasien sudah
menderita keluhan ini sejak 15 tahun yang lalu Keluhan sudah pernah diobati ke
dokter. Pasien bebas kejang jika obat rutin dikonsumsi, namun kejang akan
muncul kembali jika obat habis. Bila serangan kejang muncul, kejang bisa
berlangsung lebih dari 3 kali dalam sehari disertai dengan kehilangan kesadaran
pada saat kejang. Pasien memiliki riwayat menderita malaria tropicana 14 tahun
yang lalu dan sudah diobati. Pasien sehari-hari bekerja sebagai petani karet dan
sering kelelahan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan Kesadaran komposmentis kooperatif dengan
GCS (E4M6V5), TD=120/60 mmHg, HR=70 x/i, RR= 16x/i, T= 36,40C, dengan
pemeriksaan neurologis dalam batas normal.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, gejala klinis yang di alami
oleh pasien menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, keluhan
pasien termasuk dalam bangkitan umum yaitu berupa epilepsi grand mal (tonikklonik). Pada fase awal serangan epilepsi jenis ini dimulai dengan

35

kontraksi otot tonik di seluruh bagian badan (10-20 detik), diikuti dengan fase
klonik, ditandai dengan relaksasi otot-otot secara menyeluruh. Periode relaksasi
ini bertahan sehingga hampir 1 menit sebelum pasien memasuki fase postictal yang ditandai pasien secara perlahan-lahan kembali sadar dalam
jangka waktu menit ke jam, dan seringkali disertai dengan kebingungan.
Epilepsi grand mal (tonik-klonik) merupakan jenis epilepsi yang paling sering
terjadi.
Pada pasien ini diberikan fenitoin sebagai antiepileptik. Fenitoin merupakan
obat pilihan pertama untuk epilepsi grand mal (kejang tonik-klonik). Mekanisme
aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+) yang mengakibatkan
influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat
terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron.
Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20
mg/kg/hari tiap 6 jam dengan dosis maksimal 500-600 mg. Efek samping yang
sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga
mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan berganda),
disfungsi korteks, dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat
menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh dan nistagmus. Salah satu efek
samping kronis yang mungkin terjadi adalah gingival hyperplasia (pembesaran
pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat mengurangi risiko gingival
hyperplasia. Selain itu fenitoin memiliki efek merduksi kadar asam folat di dalam
darah sehingga dapat menyebabkan terjadinya anemia aplastik, untuk mencegah
hal tersebut setiap pemberian fenitoin selalu diberikan juga asam folat sebagai
profilaksis.

36

BAB V
KESIMPULAN
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya bangkitan (seizure)
yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak
secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan
berlebihan pada neuron-neuron secara paroksismal yang disebabkan oleh
beberapa etiologi1,2. Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak
lebih dominan dari pada proses inhibisi. Terjadinya epilepsi juga diperantarai oleh
berbagai faktor pemicu, seperti kurang tidur, stres emosional, infeksi, perubahan
hormonal, terlalu lelah, fotosensitif terhadap cahaya, obat-obatan, dan alcohol.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi berdasarkan
bangkitannya diklasifikasikan menjadi epilepsi bangkitan parsial, epilepsi bangkitan
umum (absence/lena/petit mal, klonik, tonik, tonik-klonik/Grand mal, mioklonik,

atonik), dan yang tak tergolongkan. Dimana epilepsi grand mal atau tonik-klonik
merupakan bentuk paling banyak yang terjadi pada penderita epilepsi. Manifestasi
klinisnya dimulai dengan kontraksi otot tonik di seluruh bagian badan (10-20
detik), diikuti dengan fase klonik, ditandai dengan relaksasi otot-otot secara
menyeluruh (1 menit). Kemudia diikuti fase post-ictal yang ditandai dengan
pasien secara perlahan-lahan kembali sadar dalam jangka waktu menit
ke jam, dan seringkali disertai dengan kebingungan.
Terapi lini pertama epilepsi grand mal (tonik-klonik) adalah fenitoin dengan
dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20
mg/kg/hari tiap 6 jam dengan dosis maksimal 500-600mg perhari. Efek samping
yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga
mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (diplopia), disfungsi
korteks, dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan
gangguan keseimbangan tubuh dan nistagmus. Salah satu efek samping kronis

37

yang mungkin terjadi adalah

gingival hyperplasia (pembesaran pada gusi).

Menjaga kebersihan rongga mulut dapat mengurangi risiko gingival hyperplasia.

DAFTAR PUSTAKA
1. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press: 2008.
2. Ginsberg lionel. Lecture Notes Neurologi. Edisi ke-8. Jakarta : Erlangga:
2008.
3. Elizabeth J. Buku Saku Patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta : EGC: 2009.
4. Utoyo Sunaryo. Presentation Pedoman Tatalaksana Epilepsi Kelompok Studi
Epilepsi PERDOSSI. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kesuma.
Surabaya. 2007.
5. Gunawan sulistia. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 2007.
6. Oodman, Gilman.Dasar Farmakologi Terapi.vol.1.Jakarta:EGC.2007.h:506531.
7. WibowoS, Gofir
Press.2006.h:85.

A.Obat

Antiepilepsi.Yogyakarta:Pustaka

Cendekia

8. McNemara J.O.Dasar Farmakologi Terapi.Ed.10.vol.1.diterjemahkan oleh


alih bahasa sekolah farmasi ITB.Jakarta:EGC.h:1517, 522, 524.
9. Rani, Vidia M.Gambaran Efektivitas Antiepilepsi Pada Pasien Epilepsi Yang
Menjalani
Rawat
Inap
Di
RSUP
Dr. Sardjito
Yogyakarta.Yogyakarta:Universitas Islam Indonesia.h:41-70.

38

Anda mungkin juga menyukai