Oleh:
dr. Elza Astri Safitri
Pembimbing :
dr. Hj. Rita Yuliana
PORTOFOLIO
Kasus 1
Topik: Cutaneous Larva Migrans
Tanggal (kasus): 20/04/2016
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Neonatus
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
Deskripsi:
Ny.M, 33 tahun, datang dengan keluhan terdapat penonjolan kulit yang
berkelok-kelok berwarna merah, gatal, terasa nyeri dan seperti ada yang
berjalan di payudara kiri sejak 1 minggu yang lalu.
Tujuan: Mendeteksi kemungkinan infeksi parasit agar pasien segera mendapatkan
pengobatan yang tepat.
Bahan bahasan:
Tinjauan pustaka
Data pasien:
Riset
Kasus
Nama: Ny. M
Usia: 33 tahun
Audit
Pos
tanpa
menggunakan
sarung
tangan
dan
hanya
mencuci tangan dengan air saja tanpa sabun, namun pasien merasa
payudaranya tidak pernah berkontak dengan tanah secara langsung.
Pasien tidak memelihara binatang peliharaan seperti anjing dan kucing,
dan tidak pernah kontak langsung dengan binatang.
Daftar Pustaka:
1. Abdullah B, 2009. Dermatologi Pengetahuan Dasar dan Kasus di Rumah Sakit.
Surabaya: Airlangga University Press. Hal: 141-144.
2. Aisah S, 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-6. Jakarta: FK Universitas
Indonesia. Hal: 125-126.
3. Siregar, RS. Atlas Bewarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi kedua. Jakarta: EGC; 2013
4. Buxton P.K., 2003. ABC of Dermatology 4 th Edition. London: BMJ Publishing Group.
Page: 107-108.
5. Hunter J, Savin J, & Dahl M, 2012. Clinical Dermatology 3rd Edition. United States of
America: Blackwell Production. Page: 232.
6. James W.D., Berger T.G, & Elston D.M. 2010. Andrews Diseases of the Skin Clinical
Dermatology, Tenth Edition. Canada: W.B Saunders Company. Page: 435-436.
7. Suyoso S, Ervianti E, Murtiastutik D, Agusni I, SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Unair/RSU Dr. Soetomo, 2011. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 2, Surabaya:
FK Unair/RSU Dr. Soetomo, hal: 57-58.
Hasil pembelajaran:
1. Definisi Cutaneous Larva Migrans
3
RANGKUMAN
Subyektif
Pasien datang ke Puskesmas Muara Bulian dengan keluhan terdapat
penonjolan kulit yang berkelok-kelok berwarna merah, gatal, terasa nyeri
dan seperti ada yang berjalan di payudara kiri sejak 1 minggu yang lalu.
Awalnya muncul berupa benjolan kecil berwarna kemerahan yang gatal,
dan karena sering digaruk semakin lama semakin menyebar, berkelokkelok, dan memanjang. Gatal semakin hebat dimalam hari. Pasien tidak
pernah mengeluh seperti ini sebelumnya. Di keluarga pasien tidak ada
menderita keluhan yang sama. Pasien tidak pernah berobat. Sekitar 10
hari yang lalu pasien memang melakukan kegiatan bercocok-tanam tanpa
menggunakan sarung tangan dan hanya mencuci tangan dengan air saja
tanpa sabun, namun pasien merasa payudaranya tidak pernah berkontak
dengan tanah secara langsung. Pasien tidak memelihara binatang
peliharaan seperti anjing dan kucing, dan tidak pernah kontak langsung
dengan binatang.
4
GCS 15
Tanda vital :
TD
: 120 / 80 mmHg
Nadi
: 86 x/menit (halus)
RR
: 20 x/menit
Suhu
: 36,5 c
Status Dermatologis
o Lokasi
o Distribusi
: Regional
o Bentuk
: berkelok-kelok
o Susunan
: linear
o Batas
: sirkumskrip
o Ukuran
: 8-10 cm
o Efloresensi
Pada kasus ini penegakan diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, adanya
riwayat pasien kontak dengan tanah 10 hari yang lalu, dan hasil pemeriksaan fisik
dengan gambaran yang khas. Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan pada pasien ini
adalah biopsi kulit dan pemeriksaan IgE, namun tidak dilakukan karena keterbatasan
fasilitas.
Assessment
Alur dalam menegakkan diagnosis:
Pasien mengeluhkan adanya
penonjolan kulit yang berkelokkelok berwarna merah, gatal
pada payudara kiri
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan
penunjang :
Biopsi Kulit, IgE
Diagnosis Banding
- Cutaneous Larva Migrans
- Scabies
- Dermatofitosis
Hasil Pemeriksaan Fisik:
o Tampak plak eritema seperti benang
berkelok-kelok 8-10 cm, sirkumkrip,
dan sedikit erosi pada kuadran medial
mammae sinistra
Tidak dilakukan biopsi kulit
dan pemeriksaan IgE
Prognosis :
1. Quo ad sanam
: Bonam
2. Quo ad vitam
: Bonam
3. Quo ad functionam
: Bonam
4. Quo ad kosmetikum
: Bonam
TINJAUAN PUSTAKA
c) Tinggal di daerah dengan keadaan pasir atau tanah yang lembab. Telur
Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum
dikeluarkan bersama tinja anjing dan kucing. Pada keadaan lingkungan yang
lembab dan hangat, telur akan menetas menjadi larva rabditiform dan kemudian
menjadi larva filariform yang infektif. Larva filariform inilah yang akan melakukan
penetrasi ke kulit dan menyebabkan CLM.
Faktor demografis
Adapun faktor demografis yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :
a) Usia. CLM paling sering terkena pada anak berusia 4 tahun. Hal ini disebabkan
karena anak pada usia tersebut masih jarang menggunakan alas kaki saat keluar
rumah.
b) Pekerjaan. Larva infektif penyebab CLM terdapat pada tanah atau pasir yang
lembab. Orang yang pekerjaannya sering kontak dengan tanah atau pasir tersebut
dapat meningkatkan risiko terinfeksi larva CLM. Pekerjaan yang memiliki risiko
teinfeksi larva penyebab CLM diantaranya petani, nelayan, tukang kebun,
pemburu, penambang pasir dan pekerjaan lain yang sering kontak dengan tanah
atau pasir.
c) Tingkat pendidikan. Suatu penelitian tentang prevalensi dan faktor risiko CLM
menunjukkan, dari 1114 penduduk pedesaan, didapati 23 dari 354 (6,5%)
penduduk dengan tingkat pendidikan rendah menderita CLM, sedangkan pada
penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi, didapati 34 dari 760 (4,5%) orang
menderita CLM.
4. Siklus Hidup Cutaneous Larva Migrans
Telur keluar bersama tinja pada kondisi yang menguntungkan
(lembab, hangat, dan tempat yang teduh). Setelah itu, larva
menetas dalam 1-2 hari. Larva rabditiform tumbuh di tinja dan/atau
tanah, dan menjadi larva filariform (larva stadium tiga) yang infektif
setelah 5 sampai 10 hari. Larva infektif ini dapat bertahan selama 3
sampai 4 minggu di kondisi lingkungan yang sesuai. Pada kontak
dengan pejamu hewan (anjing dan kucing), larva menembus kulit
dan dibawa melalui pembuluh darah menuju jantung dan paru-paru.
Larva kemudian menembus alveoli, naik ke bronkiolus menuju ke
11
12
stratum korneum, larva melepas kulitnya. Biasanya migrasi dimulai dalam waktu
beberapa hari.
Larva stadium tiga menembus kulit manusia dan bermigrasi beberapa cm per hari,
biasanya antara stratum granulosum dan stratum korneum. Larva ini tinggal di kulit
bergerak tanpa arah tujuan yang pasti sepanjang dermoepidermal. Hal ini menginduksi
reaksi inflamasi eosinofilik setempat. Setelah beberapa jam atau hari akan timbul gejala
di kulit.
Larva bermigrasi pada epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang menembus
ke dermis. Pada hewan, larva mampu menembus dermis dan melengkapi
siklus hidupnya dengan berkembang biak di organ dalam. Manusia
merupakan hospes penderita dan larva tidak mempunyai enzim kolagenase yang cukup
untuk penetrasi membran basalis sampai ke dermis. Sehingga penyakit ini menetap di
kulit saja. Enzim proteolitik yang diekskresi larva menyebabkan inflamasi sehingga
terjadi rasa gatal dan progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa mencapai intestinum untuk
melengkapi siklus hidup, larva sering kali migrasi ke paru-paru sehingga terjadi infiltrat
paru. Kebanyakan larva tidak mampu menembus lebih dalam dan mati setelah beberapa
hari sampai beberapa bulan.
6. Manifestasi klinis Cutaneous Larva Migrans
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula akan
timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau
berkelok-kelok (snakelike appearance), menimbul dengan diameter 2-3 mm, berwarna
merah segar, atau merah muda, dan terasa gatal. Adanya lesi papul yang eritematosa ini
menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari.
Waktu dari terekspos sampai adanya onset dari gejala biasanya memakan waktu 1-6 hari.
Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok,
polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk terowongan (burrow), mencapai
panjang beberapa milimeter sampai sentimeter setiap harinya. Bisa terdapat satu lesi
maupun beberapa lesi. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari. Terowongan
yang sudah lama akan mengering dan menjadi krusta dan bila pasien sering menggaruk
akan menimbulkan iritasi yang rentan terhadap infeksi sekunder.
Tempat predileksi adalah tungkai, plantar, tangan (unilateral/ bilateral), pinggang,
bahu, anus, bokong dan paha, juga di bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak
dengan tempat larva berada.
13
lurus
atau
berkelok-kelok,
15
Tiabendazol (50 mg per kg berat badan selama 2-4 hari) telah digunakan secara
luas sejak laporan mengenai efikasinya pada tahun 1963. Namun, tiabendazol yang
diberikan secara oral memiliki toleransi yang buruk. Selain itu, penggunaan
tiabendazol secara oral sering menimbul efek samping berupa pusing, mual muntah,
dan keram usus. Karena penggunaan ivermectin dan albendazol secara oral
menunjukkan hasil yang baik, penggunaan tiabendazol secara oral tidak
direkomendasikan.
Penggunaan tiabendazol secara topikal pada lesi dengan konsentrasi 10-15% tiga
kali sehari selama 5-7 hari terbukti memiliki efektivitas yang sama dengan pengguaan
ivermectin secara oral. Penggunaan secara topikal didapati tidak memiliki efek
samping, tetapi memerlukan kepatuhan pasien yang baik. Tiabendazol topikal terbatas
pada lesi multipel yang luas dan tidak dapat digunakan pada folikulitis. Ivermectin
dan albendazol adalah gabungan yang menjanjikan untuk penggunaan topikal,
terutama untuk anak-anak, namun data efikasi untuk penggunaan ini masih terbatas.
Infeksi sekunder harus ditangani dengan antiobiotik topikal.
Cara terapi lain ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan CO2 snow (dry ice)
dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, dua hari berturut-turut. Selain itu,
dapat juga dilakukan dengan menggunakan nitrogen liquid dan penyemprotan kloretil
sepanjang lesi. Akan tetapi, ketiga cara tersebut sulit karena sulit untuk mengetahui
secara pasti dimana larva berada. Di samping itu, cara ini dapat menimbulkan nyeri
dan ulkus. Pengobatan dengan cara ini sudah lama ditinggalkan.
10. Prognosis Cutaneous Larva Migrans
CLM termasuk ke dalam golongan penyakit self-limiting. Pada akhirnya, larva akan
mati di epidermis setelah beberapa minggu atau bulan. Hal ini disebabkan karena larva
tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada manusia. Lesi tanpa komplikasi yang
tidak diobati akan sembuh dalam 4-8 minggu, tetapi pengobatan farmakologi dapat
memperpendek perjalanan penyakit.
16