Anda di halaman 1dari 16

Laporan kasus

Cutaneous Larva Migrans

Oleh:
dr. Elza Astri Safitri

Pembimbing :
dr. Hj. Rita Yuliana

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS MUARA BULIAN
2016
1

PORTOFOLIO
Kasus 1
Topik: Cutaneous Larva Migrans
Tanggal (kasus): 20/04/2016

Persenter: dr. Elza Astri Safitri

Tangal presentasi: 25/04/2016

Pembimbing : dr. Hj. Rita Yuliana

Tempat presentasi: Ruang diskusi Puskesmas Muara Bulian


Obyektif presentasi:
Keilmuan

Keterampilan

Penyegaran

Tinjauan pustaka

Diagnostik

Manajemen

Masalah

Istimewa

Neonatus

Bayi

Anak

Remaja

Dewasa

Lansia

Bumil

Deskripsi:
Ny.M, 33 tahun, datang dengan keluhan terdapat penonjolan kulit yang
berkelok-kelok berwarna merah, gatal, terasa nyeri dan seperti ada yang
berjalan di payudara kiri sejak 1 minggu yang lalu.
Tujuan: Mendeteksi kemungkinan infeksi parasit agar pasien segera mendapatkan
pengobatan yang tepat.
Bahan bahasan:

Tinjauan pustaka

Cara membahas: Diskusi

Data pasien:

Riset

Kasus

Presentasi dan diskusi

Email

Nama: Ny. M

Puskesmas Muara Bulian

Usia: 33 tahun

Audit
Pos

No registrasi: Terdaftar sejak: -

Data utama untuk bahan diskusi:


1. Diagnosis/ Gambaran Klinis:
Diagnosis : Cutaneous Larva Migrans. Pasien datang ke Puskesmas Muara
Bulian dengan keluhan terdapat penonjolan kulit yang berkelok-kelok
berwarna merah, gatal, terasa nyeri dan seperti ada yang berjalan di
2

payudara kiri sejak 1 minggu yang lalu.


Awalnya muncul berupa benjolan kecil berwarna kemerahan yang gatal,
dan karena sering digaruk semakin lama semakin menyebar, berkelokkelok, dan memanjang. Gatal semakin hebat dimalam hari.
2. Riwayat Pengobatan: pasien belum pernah mendapatkan pengobatan medis untuk
penyakitnya.
3. Riwayat kesehatan/Penyakit: Pasien belum pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya.
4. Riwayat keluarga: tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa.
5. Riwayat pekerjaan: pasien seorang ibu rumah tangga.
6. Lain-lain : Sekitar 10 hari yang lalu pasien memang melakukan kegiatan
bercocok-tanam

tanpa

menggunakan

sarung

tangan

dan

hanya

mencuci tangan dengan air saja tanpa sabun, namun pasien merasa
payudaranya tidak pernah berkontak dengan tanah secara langsung.
Pasien tidak memelihara binatang peliharaan seperti anjing dan kucing,
dan tidak pernah kontak langsung dengan binatang.
Daftar Pustaka:
1. Abdullah B, 2009. Dermatologi Pengetahuan Dasar dan Kasus di Rumah Sakit.
Surabaya: Airlangga University Press. Hal: 141-144.
2. Aisah S, 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-6. Jakarta: FK Universitas
Indonesia. Hal: 125-126.
3. Siregar, RS. Atlas Bewarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi kedua. Jakarta: EGC; 2013
4. Buxton P.K., 2003. ABC of Dermatology 4 th Edition. London: BMJ Publishing Group.
Page: 107-108.
5. Hunter J, Savin J, & Dahl M, 2012. Clinical Dermatology 3rd Edition. United States of
America: Blackwell Production. Page: 232.
6. James W.D., Berger T.G, & Elston D.M. 2010. Andrews Diseases of the Skin Clinical
Dermatology, Tenth Edition. Canada: W.B Saunders Company. Page: 435-436.
7. Suyoso S, Ervianti E, Murtiastutik D, Agusni I, SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Unair/RSU Dr. Soetomo, 2011. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 2, Surabaya:
FK Unair/RSU Dr. Soetomo, hal: 57-58.
Hasil pembelajaran:
1. Definisi Cutaneous Larva Migrans
3

2. Etiologi Cutaneous Larva Migrans


3. Faktor Risiko Cutaneous Larva Migrans
4. Siklus Hidup Cutaneous Larva Migrans
5. Patogenesis Cutaneous Larva Migrans
6. Manifestasi klinis Cutaneous Larva Migrans
7. Kriteria diagnosis Cutaneous Larva Migrans
8. Diagnosis banding Cutaneous Larva Migrans
9. Penatalaksanaan Cutaneous Larva Migrans
10. Prognosis Cutaneous Larva Migrans

RANGKUMAN

Subyektif
Pasien datang ke Puskesmas Muara Bulian dengan keluhan terdapat
penonjolan kulit yang berkelok-kelok berwarna merah, gatal, terasa nyeri
dan seperti ada yang berjalan di payudara kiri sejak 1 minggu yang lalu.
Awalnya muncul berupa benjolan kecil berwarna kemerahan yang gatal,
dan karena sering digaruk semakin lama semakin menyebar, berkelokkelok, dan memanjang. Gatal semakin hebat dimalam hari. Pasien tidak
pernah mengeluh seperti ini sebelumnya. Di keluarga pasien tidak ada
menderita keluhan yang sama. Pasien tidak pernah berobat. Sekitar 10
hari yang lalu pasien memang melakukan kegiatan bercocok-tanam tanpa
menggunakan sarung tangan dan hanya mencuci tangan dengan air saja
tanpa sabun, namun pasien merasa payudaranya tidak pernah berkontak
dengan tanah secara langsung. Pasien tidak memelihara binatang
peliharaan seperti anjing dan kucing, dan tidak pernah kontak langsung
dengan binatang.
4

Dari hasil anamnesis diatas, didapatkan keluhan utama berupa kulit


merah berkelok dan gatal pada payudara, keluhan ini dapat mengarah ke
berbagai macam penyakit kulit seperti dermatofitosis, dermatitis, maupun
penyakit kulit lainnya yang disebabkan oleh parasit, tungau, dan serangga.
Untuk memastikan lebih lanjut, perlu dilakukan pemeriksaan fisik.
Obyektif

Pada pemeriksaan fisik didapatkan :


-

Keadaan umum tampak sakit ringan

GCS 15

Tanda vital :

TD

: 120 / 80 mmHg

Nadi

: 86 x/menit (halus)

RR

: 20 x/menit

Suhu

: 36,5 c

Status Dermatologis
o Lokasi

: kuadran medial mammae sinistra

o Distribusi

: Regional

o Bentuk

: berkelok-kelok

o Susunan

: linear

o Batas

: sirkumskrip

o Ukuran

: 8-10 cm

o Efloresensi

: plak eritema seperti benang berkelok-kelok,

menimbul, dan sedikit erosi.


Dari hasil pemeriksaan fisik ini, didapatkan gambaran khas berupa plak eritema
berbatas tegas (sirkumkrip) seperti benang linier berkelok-kelok dengan papul pada
permulaan lesi. Gambaran khas ini ditambah dengan keluhan gatal terutama malam
hari, terasa nyeri dan seperti ada yang bergerak di dalam lesi, serta adanya
kemungkinan kontak antara kulit dengan tangan pasien yang bercocok-tanam tanpa
sarung tangan 10 hari yang lalu, mengarahkan diagnosis ke kemungkinan pasien
menderita cutaneous larva migrans.

Pada kasus ini penegakan diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, adanya
riwayat pasien kontak dengan tanah 10 hari yang lalu, dan hasil pemeriksaan fisik
dengan gambaran yang khas. Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan pada pasien ini
adalah biopsi kulit dan pemeriksaan IgE, namun tidak dilakukan karena keterbatasan
fasilitas.
Assessment
Alur dalam menegakkan diagnosis:
Pasien mengeluhkan adanya
penonjolan kulit yang berkelokkelok berwarna merah, gatal
pada payudara kiri
Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan
penunjang :
Biopsi Kulit, IgE

Diagnosis Banding
- Cutaneous Larva Migrans
- Scabies
- Dermatofitosis
Hasil Pemeriksaan Fisik:
o Tampak plak eritema seperti benang
berkelok-kelok 8-10 cm, sirkumkrip,
dan sedikit erosi pada kuadran medial
mammae sinistra
Tidak dilakukan biopsi kulit
dan pemeriksaan IgE

Keluhan pasien berupa penonjolan kulit yang berkelok-kelok berwarna


merah, gatal (terutama malam hari), terasa nyeri dan seperti ada yang
berjalan di payudara kiri sejak 1 minggu yang lalu dan diawali munculnya
benjolan kecil berwarna kemerahan yang gatal, dan karena sering digaruk
semakin lama semakin menyebar, berkelok-kelok, dan memanjang,
menunjukkan terdapatnya mikroorganisme hidup di bawah kulit pasien.
Mikroorganisme yang paling mungkin hidup dibawah kulit adalah tungau
dan parasit. Kemungkinan penyakit pasien disebabkan oleh tungau
terbantahkan karena hanya didapatkan 1 dari 3 gejala klinis yang perlu
dipenuhi untuk diagnosa penyakit kulit akibat tungau (scabies). Dalam
kasus ini pasien mengaku pernah ada riwayat bercocok-tanam tanpa
menggunakan sarung tangan sekitar 10 hari yang lalu, walaupun pasien
tidak menyadari adanya kontak langsung tanah terhadap lesi, namun ada
kemungkinan secara tidak sadar tangan yang tidak dicuci bersih setelah
bercocok tanam tersebut mengenai payudara pasien dan menyebabkan
6

invasi larva strongiloedes ke kulit payudara pasien sehingga 3 hari


kemudian muncul papul gatal yang semakin lama semakin gatal dan
menyebabkan lesi eritem, memanjang dan berkelok-kelok yang khas pada
cutaneous larva migrans.
Untuk pengobatan cutaneous larva migrans yang penyebabnya adalah
larva strongiloides, maka diperlukan pemberian obat anti-helmintic. Antihelmintic pilihan untuk CLM adalah ivermectin dan tiabendazol, namun
albendazol juga dilaporkan dapat dijadikan pilihan jika diberikan dalam
dosis tunggal selama 3 hari. Di Puskesmas Muara Bulian, obat antihelmintic yang tersedia adalah albendazol dengan sediaan tablet 400 mg,
maka terapi yang diberikan adalah albendazol 400 mg tablet satu kali
sehari selama 3 hari, ditambah dengan pemberian antihistamin
Chlorpeniramin Maleat (CTM) 4 mg 3 kali sehari untuk mengurangi rasa
gatal yang hebat pada pasien. Tindakan tambahan juga dilakukan pada
pasien ini untuk meningkatkan efektifitas pengobatan, yaitu berupa
penyemprotan chlor etil spray pada lesi untuk membekukan larva
strongiloides yang kemudian di tusuk dengan jarum disepanjang lesi
untuk membunuh larva strongiloides tersebut.
Perlu dijelaskan juga pada pasien bahwa sebenarnya CLM dapat
sembuh sendiri tanpa pengobatan (self limiting disease), karena larva akan
mati di epidermis setelah beberapa minggu atau bulan. Hal ini disebabkan karena larva tidak
dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada manusia. Tetapi pengobatan yang dilakukan
bertujan untuk memperpendek perjalanan penyakit dan mencegah terjadinya komplikasi.
Jelaskan juga kepada pasien mengenai cara pencegahan, yaitu untuk sedapat mungkin
menghindari kontak langsung ataupun dengan perantara (pakaian/handuk/kain) antara kulit
dengan tanah atau pasir dan memberikan pengobatan cacing berkala untuk kucing atau anjing
yang dipelihara.
Plan
Diagnosis: Cutaneous Larva Migrans
Pengobatan :
1. Medikamentosa
-

Albendazol tab 400 mg dosis tunggal, selama 3 hari


7

Chlorpeniramin Maleat (CTM) 4 mg, 3 x sehari

Penyemprotan Chlor etil spray + penusukan dengan jarum sepanjang lesi


2. Non-Medikamentosa
-

Menggunakan sarung tangan saat berkontak langsung dengan


tanah atau pasir

Jika tidak menggunakan sarung tangan, setelah bercocok


tanam atau kontak langsung dengan tanah atau pasir
hendaknya langsung mencuci tangan dengan air bersih dan
sabun

Kontrol setelah obat habis untuk melihat lesi dan melihat


apakah masih ada parasitnya.

Prognosis :
1. Quo ad sanam

: Bonam

2. Quo ad vitam

: Bonam

3. Quo ad functionam

: Bonam

4. Quo ad kosmetikum

: Bonam

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Cutaneous Larva Migrans


Cutaneous Larva Migrans (CLM) adalah kelainan kulit yang merupakan
peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan
oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing.

Gambar 1. Cutaneous Larva Migrans (CLM)


2. Etiologi Cutaneous Larva Migrans
Penyebab utama dari cutaneous larva migrans adalah larva yang berasal dari cacing
tambang binatang anjing dan kucing, yaitu Ancylostoma brazilienes (spesies yang paling
sering ditemukan pada manusia) dan Ancylostoma caninum.
9

3. Faktor Risiko Cutaneous Larva Migrans


Faktor perilaku
Adapun faktor perilaku yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :
a) Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki. Adanya bagian tubuh yang berkontak
langsung dengan tanah yang terkontaminasi akan mengakibatkan larva dapat
melakukan penetrasi ke kulit sehingga menyebabkan CLM.
b) Pengobatan teratur terhadap anjing dan kucing. Penyebab utama CLM adalah larva
cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing. Perawatan rutin anjing dan
kucing, termasuk de-worming secara teratur dapat mengurangi pencemaran
lingkungan oleh telur dan larva cacing tambang.
c) Berlibur ke daerah tropis atau pesisir pantai. Kondisi biogeografis yang hangat dan
lembab menyebabkan banyak terdapat larva penyebab penyakit ini di daerah tropis.
Selain itu, kebiasaan wisatawan untuk berjalan di pesisir pantai tanpa
menggunakan sandal dan berjemur di pasir tanpa menggunakan alas menyebabkan
banyaknya laporan kejadian CLM dari wisatawan yang baru berlibur ke pantai.
Faktor lingkungan
Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :
a) Keberadaan anjing dan kucing. Anjing dan kucing merupakan hospes definitif dari
cacing Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma
caninum. Tinja anjing dan kucing yang terinfeksi dapat mengandung telur cacing
Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum dan Ancylostoma caninum.
Telur tersebut dapat berkembang menjadi stadium larva yang infektif (filariform)
pada tanah dan pasir yang terkontaminasi. Larva filariform dari cacing tersebut
apabila kontak dengan kulit manusia, dapat menembus kulit dan menyebabkan
CLM.
b) Cuaca atau iklim lingkungan. Ada variasi musiman yang berbeda pada kejadian
CLM, dengan puncak kejadian selama musim hujan. Telur dan larva bertahan lebih
lama di tanah yang basah dibandingkan di tanah yang kering dan dapat tersebar
secara luas oleh hujan yang deras. Selain itu, iklim yang lembab juga
mengakibatkan peningkatan infeksi cacing tambang di anjing dan kucing sehingga
pada akhirnya meningkatkan jumlah tinja yang terkontaminasi dan risiko infeksi
pada manusia
10

c) Tinggal di daerah dengan keadaan pasir atau tanah yang lembab. Telur
Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum
dikeluarkan bersama tinja anjing dan kucing. Pada keadaan lingkungan yang
lembab dan hangat, telur akan menetas menjadi larva rabditiform dan kemudian
menjadi larva filariform yang infektif. Larva filariform inilah yang akan melakukan
penetrasi ke kulit dan menyebabkan CLM.
Faktor demografis
Adapun faktor demografis yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :
a) Usia. CLM paling sering terkena pada anak berusia 4 tahun. Hal ini disebabkan
karena anak pada usia tersebut masih jarang menggunakan alas kaki saat keluar
rumah.
b) Pekerjaan. Larva infektif penyebab CLM terdapat pada tanah atau pasir yang
lembab. Orang yang pekerjaannya sering kontak dengan tanah atau pasir tersebut
dapat meningkatkan risiko terinfeksi larva CLM. Pekerjaan yang memiliki risiko
teinfeksi larva penyebab CLM diantaranya petani, nelayan, tukang kebun,
pemburu, penambang pasir dan pekerjaan lain yang sering kontak dengan tanah
atau pasir.
c) Tingkat pendidikan. Suatu penelitian tentang prevalensi dan faktor risiko CLM
menunjukkan, dari 1114 penduduk pedesaan, didapati 23 dari 354 (6,5%)
penduduk dengan tingkat pendidikan rendah menderita CLM, sedangkan pada
penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi, didapati 34 dari 760 (4,5%) orang
menderita CLM.
4. Siklus Hidup Cutaneous Larva Migrans
Telur keluar bersama tinja pada kondisi yang menguntungkan
(lembab, hangat, dan tempat yang teduh). Setelah itu, larva
menetas dalam 1-2 hari. Larva rabditiform tumbuh di tinja dan/atau
tanah, dan menjadi larva filariform (larva stadium tiga) yang infektif
setelah 5 sampai 10 hari. Larva infektif ini dapat bertahan selama 3
sampai 4 minggu di kondisi lingkungan yang sesuai. Pada kontak
dengan pejamu hewan (anjing dan kucing), larva menembus kulit
dan dibawa melalui pembuluh darah menuju jantung dan paru-paru.
Larva kemudian menembus alveoli, naik ke bronkiolus menuju ke
11

faring dan tertelan. Larva mencapai usus kecil, kemudian tinggal


dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing dewasa hidup dalam lumen
usus kecil dan menempel di dinding usus. Beberapa larva ditemukan
di jaringan dan menjadi sumber infeksi bagi anak anjing melalui
transmammary atau transplasenta.
Manusia juga dapat terinfeksi dengan cara larva filariform
menembus kulit. Larva filariform dapat menembus kulit manusia dengan bantuan
enzim proteolitik yang dimilikinya namun tidak dapat menembus hingga ke dermis
karena tidak mempunyai enzim kolagenase, akibatnya larva akan mengembara
diantara dermis dan epidermis sehingga tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya
secara normal dan larva akhirnya mati.

5. Patogenesis Cutaneous Larva Migrans


Cutaneous larva migrans disebabkan oleh berbagai spesies cacing tambang binatang
yang didapat dari kontak kulit langsung dengan tanah yang terkontaminasi feses anjing
atau kucing. Hospes normal cacing tambang ini adalah kucing dan anjing. Telur cacing
diekskresikan ke dalam feses, kemudian menetas pada permukaan tanah berpasir yang
hangat dan lembab dalam waktu 1 hari dan berkembang menjadi larva
infektif tahap ketiga setelah sekitar 1 minggu. Manusia yang berjalan tanpa
alas kaki terinfeksi secara tidak sengaja oleh larva dimana larva menggunakan enzim
protease untuk menembus melalui folikel, fisura atau kulit intak. Setelah penetrasi

12

stratum korneum, larva melepas kulitnya. Biasanya migrasi dimulai dalam waktu
beberapa hari.
Larva stadium tiga menembus kulit manusia dan bermigrasi beberapa cm per hari,
biasanya antara stratum granulosum dan stratum korneum. Larva ini tinggal di kulit
bergerak tanpa arah tujuan yang pasti sepanjang dermoepidermal. Hal ini menginduksi
reaksi inflamasi eosinofilik setempat. Setelah beberapa jam atau hari akan timbul gejala
di kulit.
Larva bermigrasi pada epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang menembus
ke dermis. Pada hewan, larva mampu menembus dermis dan melengkapi
siklus hidupnya dengan berkembang biak di organ dalam. Manusia
merupakan hospes penderita dan larva tidak mempunyai enzim kolagenase yang cukup
untuk penetrasi membran basalis sampai ke dermis. Sehingga penyakit ini menetap di
kulit saja. Enzim proteolitik yang diekskresi larva menyebabkan inflamasi sehingga
terjadi rasa gatal dan progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa mencapai intestinum untuk
melengkapi siklus hidup, larva sering kali migrasi ke paru-paru sehingga terjadi infiltrat
paru. Kebanyakan larva tidak mampu menembus lebih dalam dan mati setelah beberapa
hari sampai beberapa bulan.
6. Manifestasi klinis Cutaneous Larva Migrans
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula akan
timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau
berkelok-kelok (snakelike appearance), menimbul dengan diameter 2-3 mm, berwarna
merah segar, atau merah muda, dan terasa gatal. Adanya lesi papul yang eritematosa ini
menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari.
Waktu dari terekspos sampai adanya onset dari gejala biasanya memakan waktu 1-6 hari.
Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok,
polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk terowongan (burrow), mencapai
panjang beberapa milimeter sampai sentimeter setiap harinya. Bisa terdapat satu lesi
maupun beberapa lesi. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari. Terowongan
yang sudah lama akan mengering dan menjadi krusta dan bila pasien sering menggaruk
akan menimbulkan iritasi yang rentan terhadap infeksi sekunder.
Tempat predileksi adalah tungkai, plantar, tangan (unilateral/ bilateral), pinggang,
bahu, anus, bokong dan paha, juga di bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak
dengan tempat larva berada.
13

7. Kriteria diagnosis Cutaneous Larva Migrans


a. Anamnesis
Penderita tinggal atau habis bepergian ke daerah tropis atau subtropis yang hangat
dan lembab. Memiliki kebiasaan sering berjalan tanpa menggunakan alas kaki atau
memiliki kegiatan yang sering berhubungan dengan tanah atau pasir. Terdapat kucing
atau anjing yang berkeliaran di sekitar tempat tinggal penderita.
b. Pemeriksaan Fisis
Dengan inspeksi pada daerah tungkai, plantar, tangan, anus, bokong atau paha,
juga di bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan tempat larva berada,
akan tampak adanya lesi seperti benang yang

lurus

atau

berkelok-kelok,

menimbul, dan terdapat papul dan vesikel di atasnya.


c. Pemeriksaan penunjang
Untuk menunjang diagnosis bisa dilakukan biopsi kulit. Walaupun tidak terlalu
bermakna. Bila infeksi ekstensif, bisa dijumpai tanda sistemik berupa eosinofilia
perifer, sindrom loeffler (infiltrat paru yang berpindah-pindah), peningkatan IgE.
Hanya sedikit pasien yang menunjukkan eosinofilia perifer dan peningkatan IgE.
Pemeriksaan histologi bisa juga digunakan dimana akan tampak larva nematoda
terperangkap di antara kanal folikel, stratum korneum atau di dermis bersama dengan
infiltrat eosinofilik inflamasi.

8. Diagnosis banding Cutaneous Larva Migrans


a. Skabies
Etiologi: Sarcoptes scabiei, termasuk filum Arthropoda
Gejala klinis: - Pruritus nokturna, gatal pada malam hari
- Menyerang manusia secara berkelompok
- Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi.
Pada skabies terowongan yang terbentuk tidak sepanjang seperti
pada CLM dan gatal pada malam hari. Pada skabies terdapat
papul atau vesikel yang berpasangan.
- Menemukan tungau
b. Dermatitis insects bite: Papul yang terdapat pada insect bite memiliki kemiripan
terhadap lesi permulaan dari CLM yang berbentuk papul.
c. Dermatofitosis : penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut, kuku yang disebabkan golongan jamur
dermatofita.
14

9. Penatalaksanaan Cutaneous Larva Migrans


Non-medikamentosa
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian CLM antara lain:
a. Mencegah bagian tubuh untuk berkontak langsung dengan tanah atau pasir yang
terkontaminasi
b. Saat menjemur pastikan handuk atau pakaian tidak menyentuh tanah
c. Melakukan pengobatan secara teratur terhadap anjing dan kucing dengan
antihelmintik
d. Hewan dilarang untuk berada di wilayah pantai ataupun taman bermain
e. Menutup lubang-lubang pasir dengan plastik dan mencegah binatang untuk
defekasi di lubang tersebut
f. Wisatawan disarankan untuk menggunakan alas kaki saat berjalan di pantai dan
menggunakan kursi saat berjemur
Medikamentosa
Obat pilihan utama pada CLM adalah ivermectin. Dosis tunggal (200 g/kg berat
badan) dapat membunuh larva secara efektif dan menghilangkan rasa gatal dengan
cepat. Angka kesembuhan dengan dosis tunggal berkisar 77% sampai 100%. Dalam
hal kegagalan pengobatan, dosis kedua biasanya dapat memberikan kesembuhan.
Ivermectin kontradiksi pada anak-anak dengan berat kurang dari 15 kg atau berumur
kurang dari 5 tahun dan pada ibu hamil atau wanita menyusui. Namun, pengobatan
offlabel pada anak-anak dan ibu hamil sudah pernah dilakukan dengan tanpa adanya
laporan kejadian merugikan yang signifikan.
Dosis tunggal ivermectin lebih efektif daripada dosis tunggal albendazol, tetapi
pengobatan berulang dengan albendazol dapat dilakukan sebagai alternative yang baik
di negara-negara dimana ivermectin tidak tersedia. Oral albendazol (400 mg setiap
hari) yang diberikan selama 5-7 hari menunjukkan tingkat kesembuhan yang sangat
baik, dengan angka kesembuhan mencapai 92-100%. Karena dosis tunggal albendazol
memiliki efikasi yang rendah, albendazol dengan regimen tiga hari biasanya lebih
direkomendasikan. Jika diperlukan, dapat dilakukan pendekatan alternatif dengan
dosis awal albendazol dan mengulangi pengobatan.

15

Tiabendazol (50 mg per kg berat badan selama 2-4 hari) telah digunakan secara
luas sejak laporan mengenai efikasinya pada tahun 1963. Namun, tiabendazol yang
diberikan secara oral memiliki toleransi yang buruk. Selain itu, penggunaan
tiabendazol secara oral sering menimbul efek samping berupa pusing, mual muntah,
dan keram usus. Karena penggunaan ivermectin dan albendazol secara oral
menunjukkan hasil yang baik, penggunaan tiabendazol secara oral tidak
direkomendasikan.
Penggunaan tiabendazol secara topikal pada lesi dengan konsentrasi 10-15% tiga
kali sehari selama 5-7 hari terbukti memiliki efektivitas yang sama dengan pengguaan
ivermectin secara oral. Penggunaan secara topikal didapati tidak memiliki efek
samping, tetapi memerlukan kepatuhan pasien yang baik. Tiabendazol topikal terbatas
pada lesi multipel yang luas dan tidak dapat digunakan pada folikulitis. Ivermectin
dan albendazol adalah gabungan yang menjanjikan untuk penggunaan topikal,
terutama untuk anak-anak, namun data efikasi untuk penggunaan ini masih terbatas.
Infeksi sekunder harus ditangani dengan antiobiotik topikal.
Cara terapi lain ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan CO2 snow (dry ice)
dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, dua hari berturut-turut. Selain itu,
dapat juga dilakukan dengan menggunakan nitrogen liquid dan penyemprotan kloretil
sepanjang lesi. Akan tetapi, ketiga cara tersebut sulit karena sulit untuk mengetahui
secara pasti dimana larva berada. Di samping itu, cara ini dapat menimbulkan nyeri
dan ulkus. Pengobatan dengan cara ini sudah lama ditinggalkan.
10. Prognosis Cutaneous Larva Migrans
CLM termasuk ke dalam golongan penyakit self-limiting. Pada akhirnya, larva akan
mati di epidermis setelah beberapa minggu atau bulan. Hal ini disebabkan karena larva
tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada manusia. Lesi tanpa komplikasi yang
tidak diobati akan sembuh dalam 4-8 minggu, tetapi pengobatan farmakologi dapat
memperpendek perjalanan penyakit.

16

Anda mungkin juga menyukai